• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII MODEL PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KEPARIWISATAAN DI PANTAI KEDONGANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII MODEL PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KEPARIWISATAAN DI PANTAI KEDONGANAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

131

KEDONGANAN

7.1 Model Kepemilikan dan Pengelolaan Café di Pantai Kedonganan Rekomendasi Bupati Badung Nomor 603 Tahun 2006 dan SK Bupati Badung Nomor 1238/I/HK/2008 telah memberikan kewenangan bagi Desa Adat Kedonganan untuk melakukan penataan Pantai Kedonganan. Penataan dilakukan dengan tetap memberikan sosialisasi kepada krama (warga) desa adat. Perencanaan disusun berdasarkan konsep Tri Hita Karana serta rencana penataan (blue print) yang mengacu kepada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Kuta. Rekomendasi dan Keputusan Bupati tersebut menyatakan bahwa jumlah café yang didirikan setelah penataan ulang Pantai Kedonganan adalah sejumlah 24, dimana kepemilikannya akan dibagi rata oleh 6 banjar di lingkungan Desa Adat Kedonganan sehingga setiap banjar memiliki 4 café.

Masing-masing banjar selanjutnya menyerahkan kepemilikan café kepada

krama banjar (warga banjar). Setiap banjar memiliki 4 kelompok pemilik café.

Pembagian warga ke dalam kelompok-kelompok pemilik café dilakukan melalui 2 mekanisme, seperti yang dijelaskan oleh Ketua BPKP2K, Bapak I Wayan Mertha yang menyatakan bahwa:

“Pembagian dilakukan melalui 2 mekanisme yaitu warga banjar (masing-masing KK/Kepala Keluarga) dibagi langsung oleh Kelihan

Banjar menjadi 4 kelompok, dan warga banjar (KK/Kepala Keluarga )

membagi dirinya sendiri menjadi 4 kelompok, dimana masing-masing kelompok akan memiliki 1 café” (Wawancara tanggal 7 Nopember 2013)

(2)

Masing-masing kelompok pemilik café selanjutnya mengumpulkan uang sebagai modal untuk mendirikan dan mengoperasikan café. Jumlah modal café pada waktu itu bervariasi seperti yang disampaikan oleh Bapak I Made Sukra, Kordinator Operasional BPKP2K, sebagai berikut:

“Investasi awal untuk pendirian dan operasional café besarnya bervariasi. Rp.200.000.000,00 untuk bangunan café, ditambah untuk peralatan sehingga total investasi sebesar Rp. 360.000.000,00 sampai

Rp. 400.000.000,00 yang dibagi total krama anggota suatu kelompok” (Wawancara tanggal 11 September 2014)

Lebih lanjut beliau juga menyatakan:

“Setiap krama banjar menyerahkan modal dalam jumlah yang berbeda sesuai kemampuan, ada juga yang membagi rata kebutuhan modalnya sesuai jumlah anggota kelompok pemilik café tersebut.” (Wawancara tanggal 11 September 2014)

Informasi terkait jumlah modal dan mekanisme penentuan modal awal untuk pendirian dan operasional café juga disampaikan oleh Bapak I Wayan Sandi, mantan Lurah Kedonganan yang juga pengelola café. Beliau menyatakan sebagai berikut:

“Kita buat konsep 24, masing-masing banjar 4 café. Dari perencanaan kita sudah rancang mengenai kepemilikannya, dibagi kelompok dan sebagainya. Banjar nantinya akan membagi kelompok. Banjar kan bervariasi jumlah KKnya…..mereka akan menentukan dirinya masuk ke kelompok yang mana. Seperti saya itu kan di Banjar Kertayasa…..kalau di kelompok saya dibikin saham. Saham kita anggarkan biaya membikin café bianyanya 500 juta, kita bagi dengan 500 saham, masing-masing saham harganya 1 juta….jadi saya lempar ke kelompok saya waktu itu. Masing-masing kan nggak sama sahamnya sesuai kemampuannya sehingga mereka membeli sesuai kemampuannya. Nah begitulah model kepemilikannya. Nantinya pemilik saham akan menerima deviden” (Wawancara 2 Juni 2014). Pernyataan Bapak I Wayan Sandi sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bapak I Made Sukra mengenai model kepemilikan café sebagai berikut:

(3)

“Di tiap-tiap banjar ada 4 café. Warga banjar selanjutnya membagi diri menjadi 4 kelompok pemilik café. Untuk permodalan, pembagiannya ada dalam bentuk saham, ada juga dalam bentuk pembagian rata-rata. Misal modal 500 juta dibagi jumlah total anggota kelompok. Kalau saham, misal modal awal 500 juta, setoran modal terendah ditentukan 5 juta untuk 1 saham. Ada yang setor 1 juta, ada yang setor 10 juta, yang lain 20 juta. Penyetor saham terbesar diberikan hak menjadi pengelola café, dengan kewajiban memberikan laporan ke banjar-nya mengenai operasional café-nya. (Wawancara tanggal 17 Oktober 2014)

Berdasarkan petikan-petikan wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa model kepemilikan café di Kedonganan adalah milik bersama seluruh warga banjar di lingkungan Desa Adat Kedonganan, dimana masing-masing warga banjar membagi diri menjadi 4 kelompok pemilik café. Kepemilikan warga anggota kelompok pemilik sebuah café ditentukan melalui salah satu dari 2 mekanisme penyertaan modal. Mekanisme pertama yaitu modal awal dikumpulkan melalui penyertaan modal dalam bentuk saham sesuai kemampuan warga, sehingga besaran penyertaan modalnya berbeda. Mekanisme kedua yaitu total modal awal dibagi dengan jumlah total anggota suatu kelompok pemilik

café, sehingga besar sahamnya akan sama.

Setelah disepakati mekanisme pembagian kelompok pemilik café dan penyertaan modal oleh anggota masing-masing kelompok pemilik café, timbul masalah yaitu bahwa tidak semua warga banjar di Desa Adat Kedonganan memiliki kemampuan untuk menyetorkan sejumlah uang sebagai bagian dari modal pendirian dan operasional café. Masalah tersebut akhirnya teratasi setelah LPD Desa Adat Kedonganan bersedia memberikan pinjaman lunak tanpa jaminan kepada warga Desa Adat Kedonganan, seperti yang disampaikan oleh Bapak I Ketut Mudra, mantan Jro Bendesa Adat Kedonganan, sebagai berikut:

(4)

“Tiga lembaga akhirnya berkoordinasi dengan LPD sebagai satu-satunya lembaga keuangan milik Desa Adat sebagai pennyandang dana. Masyarakat yang tidak punya modal boleh pinjam Rp. 5.000.000,00 di LPD dengan jaminan dari Jro Bendesa. Warga mencicil dari hasil

café……sehingga 24 café di Kedonganan milik komunitas” (Wawancara

tanggal 1 Juli 2014)

Hal tersebut juga dinyatakan oleh Bapak I Ketut Madra, Ketua LPD Desa Adat Kedonganan yang menyatakan bahwa:

“Setelah pembongkaran kan rata…….nah selanjutnya siapa yang membangun kembali? Waktu itu semua bingung……dari mana sumber dana untuk pembangunan kembali. Disanalah LPD memegang peranan…..disitu Pak Bendesa Mudra menyampaikan agar LPD berperan layaknya LPD…..agar LPD membantu menyediakan dana bagi seluruh warga Desa Adat Kedonganan, meskipun ada resiko dalam pengembaliannya. Mengenai resiko akan ditangung oleh Jro Bendesa dikaitkan dengan awig-awig desa”. (Wawancara tanggal 14 Juli 2014) Pernyataan Bapak I Ketut Mudra, dan Bapak I Ketut Madra, diperkuat lagi oleh Koordinator Bidang Operasional BPKP2K yaitu Bapak I Made Sukra yang menyatakan sebagai berikut:

“Di masing-masing banjar ada 4 café. Penyertaan modalnya ada yang dibagi rata, ada yang berbeda. Kalau kemampuan masyarakat kurang bisa pinjam di LPD” (Wawancara tanggal 17 Oktober 2014)

Setelah modal awal terbentuk, langkah selanjutnya adalah menentukan model pengelolaan café masing-masing. Terkait dengan model pengelolaan café, Koordinator Operasional BPKP2K, Bapak I Made Sukra, yang sekaligus juga pengelola Café Furama menyatakan sebagai berikut:

“model pengelolaan ada 2, yaitu pengelolaan bersama dan pengelolaan oleh profesional. Café yang dikelola dengan model pengelolaan bersama menyerahkan pengelolaan café kepada penyetor modal terbesar yang memiliki kompetensi dalam mengelola café. Atas perannya sebagai pengelola, setiap café mengalokasikan 25 – 30% dari pendapatan mereka untuk diserahkan kepada pengelola. Café yang dikelola oleh professional menyerahkan pengelolaan kepada pihak luar sebagai tenaga professional yang memiliki kemampuan untuk mengelola café. Tenaga profesionaal

(5)

ini tidak harus berasal dari Desa Adat Kedonganan, dimana mereka memperoleh bayaran dengan besaran antara 40 sampai 50 juta rupiah per bulan” (Wawancara tanggal 17 Oktober 2014)

Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa model pengelolaan café di Pantai Kedonganan dilaksanakan berdasarkan salah satu dari 2 model berikut, yaitu pengelolaan bersama, dan pengelolaan oleh professional. Penentuan model pengelolaan café dilakukan sendiri oleh kelompok café berdasarkan berbagai pertimbangan.

Setiap café di Pantai Kedonganan berkewajiban menyerahkan dana kompensasi yang dibayar setiap 5 tahun kepada Desa Adat. Selain itu, setiap café berkewajiban menyelenggarakan operasionalnya dengan baik berdasarkan panduan yang tercantum dalam Perarem yang telah disepakati bersama. Setiap tahun, café wajib membagikan keuntungan kepada seluruh krama (anggota kelompoknya sesuai dengan modal yang diserahkan. Selain itu, setiap 6 bulan, setiap café juga berkewajiban membagikan catu, yaitu pembagian uang ataupun barang untuk seluruh anggota kelompok pemiliknya.

Setiap café mempekerjakan tenaga kerja seperti misalnya juru masak, pramusaji, bartender, accounting, tenaga parkir, tenaga steward dan tenaga keamanan. Jumlah tenaga kerja disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing

café, sehingga jumlahnya di masing-masing café berbeda. Café dengan tenaga

kerja paling sedikit adalah Bintang Laut Café dan Legong Segara Café dengan tenaga kerja berjumlah 24 orang. Café dengan tenaga kerja terbanyak adalah New Matahari Café, dengan jumlah 71 orang. Jumlah total dari tenaga kerja seluruh

(6)

Desa Adat Kedonganan maupun luar Kedonganan. Bapak I Wayan Mertha, Ketua BPKP2K menyatakan sebagai berikut:

”Konsep awal penataan Pantai Kedonganan terkait tenaga kerja adalah 60% tenaga kerja berasal dari Kedonganan. Namun dalam perkembangannya, jumlah tersebut berkurang dan sekarang tenaga kerja yang berasal dari Kedonganan berjumlah sekitar 30% dari total jumlah tenaga kerja, dan 8% berasal dari luar Bali. Jadi tidak benar kalau pengembangan kepariwisataan di Kedonganan adalah Kedonganan

Centris” (wawancara tanggal 17 Oktober 2014).

Model kepemilikan dan pengelolaan café di Pantai Kedonganan menunjukkan bahwa prinsip partisipasi masyarakat dan prinsip ekonomi lokal dari pariwisata berbasis masyarakat yang dikembangkan di Kedonganan mampu memberikan kesempatan bagi seluruh warga untuk berpartisipasi dalam kepemilikan dan memperoleh manfaat ekonomi dari kebeadaan café. Terimplementasikannya prinsip-prinsip tersebut juga sangat ditentukan oleh adanya kepemimpinan para tokoh adat, sinergi dan jaringan sosial serta saling percaya di antara lembaga Desa Adat Kedonganan, Kelurahan Kedonganan, LPM Kedonganan dan khususnya LPD Kedonganan yang telah menyediakan pinjaman lunak bagi warrga untuk modal keikutsertaan mereka dalam kelompok pemiik café.

Dukungan segenap pemangku kepentingan telah memungkinkan terdistribusikannya akses kepemilikan seluruh warga Desa Adat Kedongaan terhadap 24 café yang ada di Pantai Kedonganan. Hal tersebut menunjukkan bahwa prinsip ekonomi lokal dan partisipasi masyarakat telah terimplementasikan sehingga seluruh warga Desa Adat Kedonganan menjadi pemilik 24 café yang ada dan juga sebagai pihak yang secara langsung (direct) memperoleh manfaat (benefit) ekonomi dari kepariwisataan di daerahnya.

(7)

7.2 Model Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan

Pengelolaan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan dilakukan oleh Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BPKP2K). Badan pengelola ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama Bendesa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan dan Ketua LPM Kedonganan Nomor 03 / 2007 tertanggal 19 Pebruari 2007. BPKP2K bertugas untuk menjalankan tata kelola Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan termasuk 24 café yang ada di dalamnya.

Struktur organisasi BPKP2K terdiri atas seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, dan dibantu oleh seorang Sekretaris. Selain itu terdapat seorang Bendahara dan 4 orang Kepala Bagian, yaitu Kepala Bagian Umum, Operasional, Promosi dan Humas, serta Kepala Bagian Keamanan. Dalam melaksanakan tugasnya, BPKP2K dibina oleh Bendesa Adat Kedonganan dan Lurah Kedonganan, serta diawasi oleh badan pengawas yang terdiri atas para Kepala Adat (Kelihan) dan Kepala Lingkungan dari masing-masing banjar di Desa Adat Kedonganan. BPKP2K secara rutin melaksanakan 3 kali rapat setiap bulan, yaitu rapat Pengurus BPKP2K, rapat BPKP2K dan 24 café, dan rapat BPKP2K dengan 3 Lembaga, para Kepala Lingkungan dan para Kelihan Adat.

Dalam Keputusan Bendesa Adat Kedonganan Nomor 01 Tahun 2012 Tentang Perarem Pantai Dan Café, dinyatakan bahwa BPKP2K merupakan “pengawal” Perarem Desa Adat Kedonganan. Perarem Desa Adat Kedonganan merupakan seperangkat peraturan yang mengatur mengenai hal-hal yang khusus yang tidak diatur dalam awig-awig desa, mengenai Pantai Kedonganan dan 24

(8)

Perarem yang berlaku saat ini merupakan perarem yang disusun pada

Penataan Pantai Kedonganan Tahap II, yang isinya merupakan penyempurnaan dari perarem yang disusun pada saat Penataan Pantai Kedonganan Tahap I. Aspek pengelolaan kawasan Pantai Kedonganan yang diatur dalam perarem adalah ketentuan mengenai bangunan café yang berdiri di Pantai Kedonganan, kewajiban

café terhadap Desa Adat Kedonganan dan BPKP2K, ketentuan mengenai

operasional café, ketentuan mengenai café tutup, sanksi-sanksi terhadap pelanggaran, hal-hal mengenai BPKP2K, serta masa berlakunya perarem.

Berkaitan dengan bangunan café, perarem mencantumkan ketentuan bahwa tiap café di Pantai Kedonganan dibangun dengan ukuran lebar depan 17 meter, panjang 25 meter, teras 6 meter, dan memiliki tempat parkir/area publik selebar 8 – 10 meter yang memisahkan bangunan café dengan bangunan café lainnya. Aturan mengenai bangunan café mengakibatkan seluruh bangunan café di Pantai Kedonganan secara umum bentuknya sama, namun dekorasinya berbeda. Hal tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa di antara cafe seharusnya tidak terjadi persaingan, melainkan kerjasama, sehingga perlu dibuatkan mekanisme untuk memungkinkan dihilangkannya persaingan, misalnya dengan memanfaatkan BPKP2K sebagai 1 pintu masuk bagi reservasi tamu cafe.

Ketentuan mengenai bangunan café tersebut mengacu kepada blue print penataan yang telah mendapat persetujuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Badung. Ketentuan mengenai bangunan harus semi-permanen sesuai yang diatur dalam Perda mengenai RTRW Kuta tidak tercantum dalam perarem. Model

(9)

bangunan café di Kedonganan berdasarkan blue print adalah seperti yang terlihat dalam Gambar 14.

Gambar 14. Rancangan bentuk bangunan cafe di Pantai Kedonganan Sumber : Rencana Penataan (Blue Print) Pantai Kedonganan, diolah

Setiap café di Pantai Kedonganan berkewajiban membayar kompensasi sebesar Rp. 100.000.000 kepada Desa Adat Kedonganan atas bangunan dan lahan untuk operasional café. Kompensasi dibayar setiap 5 tahun sekali. Dari pembayaran kompensasi 24 café, Desa Adat Kedonganan memperoleh dana

(10)

sebesar Rp.2.400.000.000 setiap 5 tahun. Perarem mengatur agar 35% dari uang tersebut dibagikan ke 6 banjar yang ada di lingkungan Desa Adat Kedonganan, sedangkan sisanya ditetapkan untuk Desa Adat Kedonganan. Selain membayar kompensasi setiap 5 tahun sekali, perarem juga mensyaratkan agar setiap café menyetorkan uang keamanan dan kebersihan kepada BPKP2K. Setoran keamanan dan kebersihan dibayar setiap bulan sekali sebesar Rp. 500.000. Selain uang kebersihan dan keamanan, 24 café juga membayar retribusi ke Desa Adat Kedonganan sebesar Rp.500.000 setiap bulan, dan Rp.250.000 untuk cadangan kontribusi.

Berkaitan dengan operasional café, perarem mencantumkan 13 larangan yang harus dipatuhi oleh 24 café. Larangan-larangan tersebut adalah larangan melakukan kecurangan terhadap timbangan ikan yang sangat merugikan pelanggan, larangan membangun café di luar alokasi tempat yang telah ditentukan, larangan membuang sampah sembarangan serta parkir tidak pada tempat yang telah disepakati, larangan menampilkan hiburan yang tidak sesuai dengan norma kesopanan yang berlaku, larangan bagi pedagang asongan untuk berjualan di Pantai Kedonganan, larangan bagi pemusik dan pedagang jagung untuk mengganggu ataupun memaksa meminta bayaran kepada tamu café, larangan bagi café untuk menutup lorong-lorong di antara bangunan café (di kiri dan kanan bangunan) sehingga tidak mengganggu akses ke pantai, larangan untuk mengganti nama café, larangan untuk memberikan komisi bagi pramuwisata maupun driver melebihi 25% dari harga jual makanan, dan larangan untuk memberikan tambahan-tambahan selain komisi tersebut, larangan menyalakan

(11)

mercon, berfoya-foya, maupun menyalakan musik dengan keras pada saat ulang tahun café, larangan untuk mengangkat owner dan pengelola café selain dari unsur krama ngarep yang telah diputuskan melalui mekanisme paruman (rapat)

banjar, larangan bagi seseorang untuk mengelola lebih dari 1 café, dan larangan

bagi penanaman modal café selain oleh krama banjar yang menjadi anggota kelompok pemilik sebuah café.

Selain larangan, perarem mencantumkan 8 kewajiban bagi 24 café yang ada, yaitu kewajiban untuk menjaga nama baik Desa Adat Kedonganan, kewajiban untuk memelihara keamanan, kenyamanan dan kebersihan Pantai Kedonganan, serta memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan, kewajiban untuk menjaga nama baik café, kewajiban untuk membayar kompensasi dan retribusi, kewajiban untuk memberikan catu bagi krama ngarep berupa uang maupun barang sesuai keputusan rapat kelompok café. Selain itu, tercantum juga kewajiban café untuk memberikan pelayanan yang baik dengan makanan yang berkualitas, kewajiban café untuk menghijaukan, membersihkan dan mengamankan area di kiri dan kanan café, serta kewajiban menjaga kesucian tempat suci yang ada. Perarem juga mengatur agar 24 café tidak beroperasi (tutup) pada saat Hari Raya Nyepi dan Hari Raya Galungan, serta pada saat upacara (piodalan) di Pura Segara dan pada saat prosesi “Ida Ratu Ayu ke Pura

Dalem Tengkulung”. Perarem juga mengatur mekanisme penentuan “café tutup”

selain di 4 hari di atas yaitu melalui paruman prajuru Desa Adat Kedonganan. Untuk menegakkan aturan-aturan dalam perarem, BPKP2K melakukan inspeksi mendadak ke 24 café di Pantai Kedonganan. Jika dari inspeksi mendadak

(12)

maupun dari mekanisme lain diketahui ada pelanggaran, BPKP2K akan membuat laporan kejadian untuk kemudian dibahas di BPKP2K. Laporan tersebut selanjutnya diteruskan ke pemuka (manggala) banjar yang memiliki café pelaku pelanggaran, untuk kemudian berdasarkan laporan tersebut manggala banjar akan melakukan pengecekan. Berdasarkan hasil pengecekan, manggala banjar akan menentukan apakah kasus tersebut diteruskan ke 3 lembaga (Desa Adat Kedonganan, Kelurahan Kedonganan, dan LPM Kedonganan). Jika terbukti ada pelanggaran, maka sanksi akan dijatuhkan oleh 3 lembaga tersebut.

Sanksi terhadap pelanggaran yang bersifat pidana mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan sanksi untuk pelanggaran larangan dan kewajiban café adalah teguran tertulis, café ditutup antara 1 – 7 hari, dicabut haknya jika pelanggaran dilakukan oleh perseorangan, dan dikenakan sanksi sesuai awig-awig. Mekanisme penentuan sanksi adalah melalui paruman baik di tingkat banjar maupun desa adat.

Selain menegakkan aturan-aturan perarem, BPKP2K diberikan hak untuk memungut tiket masuk kawasan, seperti yang terlihat pada Gambar 15.

.

(13)

Setiap kendaraan pengunjung yang masuk ke Kawasan Pantai Kedonganan dikenakan biaya tiket masuk. Harga tiket masuk adalah sebesar Rp.5000 untuk mobil dan sepeda motor, dan Rp. 10.000 untuk bus. Biaya tiket masuk tersebut dipungut oleh petugas BPKP2K di 3 loket tiket yang berlokasi di Jalan Pasir Putih, Jalan Pemelisan Agung dan Jalan Pantai Kedonganan. Biaya tiket masuk beserta uang yang terkumpul dari retribusi kebersihan dan keamanan 24 café dikumpulkan oleh BPKP2K, dan setiap tahun, 60% dari total uang yang masuk diserahkan kepada Desa Adat Kedonganan dan sisanya (40%) dialokasikan untuk BPKP2K. Dana yang diserahkan kepada Desa Adat Kedonganan, dipergunakan untuk simpanan Desa Adat Kedonganan, dibagikan kepada 6 banjar, untuk membiayai Pecalang, untuk perbaikan pendidikan di Desa Adat Kedonganan, dan untuk kegiatan yang sifatnya sosial, dimana alokasi dana untuk hal-hal tersebut adalah sebesar 40% dari total dana yang diterima. Sisanya sekitar 60% dipergunakan untuk membiayai pembangunan kawasan Pantai Kedonganan tahun berikutnya. Uang yang dialokasikan untuk BPKP2K dipergunakan untuk membayar gaji para pengurus dan staf BPKP2K, serta untuk operasional harian. Sumber dana BPKP2K lainnya adalah dari retribusi kelompok pedagang jagung sebesar Rp.2.400.000 setiap bulan dan retribusi kelompok pemusik sebesar Rp. 6.000.000 setiap bulan. (Wawancara Bapak I Made Sukra, tanggal 12 September 2014).

Pembentukan BPKP2K sebagai lembaga pengelola kawasan Pantai Kedonganan sesungguhnya merupakan upaya untuk menyediakan kepemimpinan (leadership) yang diistilahkan sebagai destination leadership/organization.

(14)

(Gunn, 1994). Pembentukan organisasi/lembaga pengelola ini sangat penting karena peranan organisasi kepariwisataan seperti misalnya kamar dagang dan industri ataupun dinas pariwisata dianggap terlalu sempit dan berfokus pada bidang-bidang tertentu, seperti misalnya promosi ataupun regulasi. Gunn beranggapan bahwa sangat penting bagi sebuah kawasan untuk memiliki sebuah organisasi pengelola yang mampu berperan dalam bidang lebih luas, dimana anggotanya diharapkan mewakili seluruh pemangku kepentingan yang ada.

Pendapat Gunn (1994: 279) sejalan dengan pendapat Morrison (2013: 5) yang menyatakan bahwa sebuah kawasan pariwisata memerlukan upaya-upaya yang terkoordinir dalam hal perencanaan, pengembangan maupun pemasarannya. Morrison (2013) menyatakan bahwa koordinasi yang baik dapat dicapai melalui pembentukaan Destination Management Organization (DMO). Lebih lanjut, Morrison menyatakan bahwa DMO merupakan organisasi/lembaga pengelola yang melaksanakan 4 peran penting bagi sebuah kawasan, yaitu: melaksanakan peran sebagai pemimpin dan koordinator, melaksanakan kegiatan pemasaran, menciptakan lingkungan fisik maupun non-fisik yang mendukung pencapaian tujuan, serta sebagai pelaksana.

Dalam pengelolaan kepariwisataan yang berbasis masyarakat, sejalan dengan Gunn (1994: 279) dan Morrison (2013: 5), Hausler & Strasdas (2003: 28) menyatakan sebagai berikut:

“In order to achieve this it is recommended to set up a community tourism committee as a representative body. Every year the community should elect a committee of not more than ten persons. Traditional leadership, local government, as well as community institutions (e.g., women and youth groups, handicraft group) should be represented within this body. The committee has to handle finance and management

(15)

issues such as: 1). Managing the finances of the community income earned by CBT: opening a bank account, keeping records, etc. 2). Representing the community on any meetings and discussions with stakeholders and other institutions. 3). Monitoring tourism development to ensure that it meets the policy goals in its operation”

Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dalam pengembangan kepariwisataan berbasis masyarakat, perlu dibentuk sebuah organisasi yang mewakili masyarakat dalam mengelola kepariwisataannya. Keterwakilan tokoh adat dan pemerintah, juga diperlukan dalam organisasi tersebut. Dalam konteks pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Pantai Kedonganan, pembentukan BPKP2K ditujukan untuk mengelola Kawasan Pantai Kedonganan termasuk 24 café yang ada di dalamnya. Dengan demikian, BPKP2K pada dasarnya merupakan lembaga/oraginisasi yang menjalankan peran seperti yang dijelaskan oleh Gunn (1994), Morrison (2013) dan Hausler & Strasdas (2003)

Pengelolaan kepariwisataan di Pantai Kedonganan dilakukan dengan menerapkan 4 prinsip pariwisata berbasis masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip partisipasi masyarakat, prinsip konservasi alam, prinsip ekonomi lokal dan prinsip konservasi sosial-budaya. Penerapan 4 prinsip tersebut berkesesuaian dengan 3 pilar keberlanjutan (sustainability).

Prinsip partisipasi masyarakat yang diimplementasikan terutama yang berkaitan dengan pelibatan warga Desa Adat Kedonganan untuk mengambil keputusan terkait rencana penataan Pantai Kedonganan. Selain itu, partisipasi masyarakat juga terwujud dalam kepemilikan seluruh warga Desa Adat Kedonganan terhadap 24 café yang ada. Kepemilikan warga mengakibatkan kesejahteraan warga Desa Adat Kedonganan maupun Desa Adat Kedonganan

(16)

meningkat. Hal tersebut menunjukkan terimplementasikannya prinsip ekonomi lokal dalam pengelolaan kepariwisataan di Pantai Kedonganan.

Peningkatan kesejahteraan masyarakat berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan. Sebelum berkembangnya pariwisata di Pantai Kedonganan, warga memperoleh penghasilan dari penggalian terumbu karang untuk dijadikan gamping. Selain itu, warga juga menebang pohon bakau sebagai kayu bakar untuk memasak (Bapak I Ketut Madra, wawancara tanggal 14 Jui 2014). Setelah penataan Pantai Kedonganan dilakukan, kesejahteraan warga Desa Adat Kedonganan meningkat sehingga warga tidak lagi menggali terumbu karang sebagai sumber penghasilan, ataupun menebang pohon bakau sebagai sumber kayu bakar. Penerapan prinsip konservasi alam juga terlihat dari pengurangan jumlah cafe menjadi 24 dari sebelumnya berjumlah 76. Pengurangan tersebut mengurangi tekanan terhadap lingkungan Pantai Kedonganan serta mengurangi jumlah limbah yang diproduksi. Selain itu, dilakukan zonasi untuk mengakomodir beberapa fungsi Pantai Kedonganan, yaitu sebagai tempat dilaksanakannya upacara keagamaan, tempat warga lokal berekreasi dan tempat penambatan

jukung (perahu) milik nelayan.

Penerapan pinsip konservasi alam, khususnya zonasi mendukung penerapan pinsip konservasi sosial budaya dalam pengelolaan kepariwisataan Pantai Kedonganan. Prinsip konservasi budaya terlihat dari dibangunnya zona/area Pemelisan, yaitu tempat yang khusus disediakan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara Melasti oleh warga Desa Adat Kedonganan. Selain itu, keberadaan café juga memberikan kesempatan bagi muda-mudi Desa Adat

(17)

Kedonganan yang memiliki keterampilan menari tradisional Bali untuk memperoleh penghasilan. Para penari tampil menghibur pengunjung yang sedang makan dan memperoleh penghasilan dari penampilannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa selain berkontribusi dalam melestarian kesenian tradisional Bali, penerapan prinsip konservasi budaya berimplikasi terhadap penyediaan sumber pendapatan tambahan bagi warga Desa Adat Kedonganan. Hal tersebut juga menunjukkan adanya keterkaitan dalam penerapan 4 prinsip pariwisata berbasis masyarakat dalam pengelolaan kepariwisataan Pantai Kedonganan, antara prinsip yang satu dengan prinsip lainnya, seperti yang digambar kan dalam Gambar 16.

Empat prinsip pariwisata berbasis masyarakat dalam pengelolaan kepariwisataan Pantai Kedonganan terkristalisasi dalam perarem. yaitu peraturan desa adat yang berlaku di Desa Adat Kedonganan mengenai Pantai Kedonganan dan 24 café. Perarem disusun oleh Desa Adat Kedonganan sebagai pihak yang memperoleh izin untuk menata dan mengelola Pantai Kedonganan. Selain menyusun perarem, Desa Adat Kedonganan bersama Kelurahan Kedonganan dan LPM Kedonganan (3 Lembaga) membentuk BPKP2K untuk menegakkan aturan-aturan dalam perarem. Hal tersebut tergambar dalam model pariwisata berbasis masyarakat yang diimplementasikan di Pantai Kedonganan, seperti yang terlihat pada Gambar 16.

Model tersebut dapat diimplementasikan di tempat lain dengan syarat masyarakat yang ingin mengimplementasikan harus cohesive atau memiliki

(18)

kesamaan persepsi dan harapan mengenai pengembangan pariwisata yang akan dilakukan.

Penyesuaian-penyesuaian yang perlu dipertimbangkan adalah dalam hal prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat yang perlu diimplementasikan, pemangku kepentingan yang terlibat dan jenis atraksi wisatanya.

Gambar 16. Model pariwisata berbasis masyarakat yang diimplementasikan dalam pengelolaan kepariwisataan di Pantai Kedonganan

Pariwisata Pantai Kedonganan dan 24 café Konservasi Alam Pemerintah Daerah Kabupaten Badung Ekonomi Lokal Partisipasi Masyarakat Konservasi Sos-Bud

Desa Adat Kedonganan BPKP2K

Kesejahteraan masyarakat dan pajak

Gambar

Gambar 16.  Model pariwisata berbasis masyarakat yang diimplementasikan  dalam pengelolaan kepariwisataan di Pantai Kedonganan

Referensi

Dokumen terkait

Meningkatkan sosialisasi pengembangan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang negara, khususnya bagi instansi pelaksana program pengembangan kawasan perbatasan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Bukti Fisik yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung melalui www.bandungtourism.com

Prosedur pengembangan yang digunakan dalam penelitian pengembangan media gambar gerak (GIF) ini menggunakan model Borg & Gall.. Tujuan pertama disebut sebagai fungsi

Jika Tertanggung pertama kali terdiagnosis Penyakit Kritis Major maka Great Eastern Life Indonesia akan membebaskan pembayaran Premi Asuransi Dasar dan Ekstra Premi Asuransi

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap ibu- ibu PKK tentang kanker payudara di Desa Arapayung, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai

perhitungan skor asam aminonya, karena nilai standar asam amino untuk methionine yang tertulis dalam FAO adalah jumlah nilai asam amino methionine dan sistin,

Pewarna sintetis yang terdapat dalam sampel krupuk rengginang dengan warna sampel merah mengandung pewarna sintetis ponceau 4R, sampel berwarna kuning mengandung pewarna

Dari hasil penelitian identifikasi deksametason dalam jamu pegal linu yang beredar di Pasar-Pasar Kota Bandar Lampung secara Kromatografi Lapis Tipis dapat