• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Pusat Pertumbuhan dan Wilayah Hinterland di Kabupaten Sleman. Ajeng Fara Nandya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Identifikasi Pusat Pertumbuhan dan Wilayah Hinterland di Kabupaten Sleman. Ajeng Fara Nandya"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Identifikasi Pusat Pertumbuhan dan Wilayah Hinterland di Kabupaten Sleman

Ajeng Fara Nandya 13313206

Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia

Jl. Prawiro Kuat, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Abstrak

Dalam suatu pemerintahan daerah, penting untuk mengetahui daerah yang memiliki potensi untuk dijadikan pusat pertumbuhan. Karena dengan ditentukannya pusat pertumbuhan, maka akan lebih mudah dalam mempercepat pembangunan daerah. Semakin majunya wilayah pusat pertumbuhan maka wilayah hinterland atau wilayah pendukung juga akan semakin maju. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kecamatan yang menjadi pusat pertumbuhan dan wilayah hinterland di Kabupaten Sleman. Hal tersebut dapat dianalisis menggunakan skalogram dan analisis gravitasi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Kecamatan Depok menjadi pusat pertumbuhan di Kabupaten Sleman. Namun ada hal-hal yang perlu ditingkatkan untuk menyesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman, yaitu penambahan fasilitas-fasilitas di beberapa kecamatan yang diproyeksikan sebagai pusat pertumbuhan.

(2)

PENDAHULUAN

Banyaknya permasalahan dan hal-hal yang perlu dibenahi dan ditingkatkan akan memberatkan usaha pemerintah pusat jika tidak dibantu oleh pemerintah-pemerintah daerah yang lebih mengenal tentang daerahnya masing-masing. Seperti topografi, kelemahan maupun kurangnya kelengkapan fasilitas yang dimiliki dan potensi yang dimiliki oleh suatu daerah. Solusi untuk meningkatkan pembangunan secara serentak di daerah-daerah adalah dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah tentang desentralisasi. Dengan adanya desentralisasi maka pemerintah daerah akan lebih leluasa untuk meningkatkan pembangunan daerahnya masing-masing. Dengan menggali potensi yang ada, serta meningkatkan fasilitas yang belum mencukupi, diharapkan dapat mempercepat pembangunan di Indonesia.

Solusi untuk mempercepat pembangunan adalah dengan menentapkan pusat pertumbuhan pada wilayah tersebut. Diharapkan daerah pusat pertumbuhan dapat menimbulkan spillover effect positif pada daerah belakangnya atau hinterland dari daerah pusat pertumbuhan. Berbagai kelengkapan fasilitas yang dimiliki daerah pusat seperti sekolah, rumah sakit, puskesmas, pasar, supermarket, terminal, tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang bermukim di daerah pusat saja, tetapi masyarakat yang berasal dari

hinterland juga bisa memanfaatkannya (Utari, 2015). Infrastruktur dan fasilitas sangatlah

berperan dalam peningkatan perekonomian masyarakat maupun pembangunan wilayah. Juga berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesenjangan antar wilayah. Semakin lengkap fasilitas yang dimiliki oleh suatu daerah maka masyarakat dapat lebih mudah dalam mengaksesnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang ada.

Kabupaten Sleman merupakan bagian dari wilayah Yogyakarta yang terkenal sebagai Kota Pelajar di Indonesia. Banyaknya fasilitas pendidikan dengan kualitas baik yang terdapat di Sleman merupakan daya tarik bagi masyarakat yang berasal dari luar wilayah Kota Yogyakarta untuk datang dan menimba ilmu. Dari BPS Kabupaten Sleman, didapati Kabupaten Sleman memiliki 41 perguruan tinggi, merupakan angka yang besar pada sarana pendidikan. Banyaknya jumlah universitas di Kabupaten Sleman menimbulkan tingginya tingkat imigran yang datang untuk berkuliah di universitas-universitas di Kabupaten Sleman. Hal tersebut menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk dan kepadatan penduduk, seperti terdapat pada tabel berikut,

(3)

Luas Wilayah, Banyaknya Penduduk dan Kepadatan Penduduk per Km2 menurut Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2015 No Kecamatan / Ditricts Luas Wilayah / Total Area (Km2) Banyaknya Penduduk / Population Kepadatan Penduduk Per Km2 / Population Density per Km2 1 Moyudan 27,62 30.719 1.112 2 Minggir 27,27 28.954 1.062 3 Seyegan 26,63 46.869 1.760 4 Godean 26,84 70.754 2.636 5 Gamping 29,25 106.330 3.635 6 Mlati 28,52 111.180 3.898 7 Depok 35,55 185.707 5.224 8 Berbah 22,99 56.813 2.472 9 Prambanan 41,35 48.419 1.171 10 Kalasan 35,84 84.150 2.348 11 Ngemplak 35,71 64.187 1.797 12 Ngaglik 38,52 115.321 2.994 13 Sleman 31,32 66.567 2.125 14 Tempel 32,49 50.628 1.558 15 Turi 43,09 34.189 793 16 Pakem 43,84 37.430 854 17 Cangkringan 47,99 29.246 609 Jumlah / Total 574,82 1.167.481 2.031

Sumber : Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2016 BPS Kabupaten Sleman

Migrasi Penduduk per kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2015

No Kecamatan/

Districts

Lahir / Born Datang / In Migration Pindah / Out Migration Mati / Death 1 Moyudan 776 395 291 455 2 Minggir 460 369 225 317 3 Seyegan 353 499 347 219 4 Godean 310 976 626 254 5 Gamping 547 1.726 1.162 291 6 Mlati 735 1.438 1.061 431 7 Depok 1.118 2.729 2.085 615 8 Berbah 366 973 642 181 9 Prambanan 437 630 515 244 10 Kalasan 1.064 1.427 887 491 11 Ngemplak 631 1.022 578 250 12 Ngaglik 803 2.342 1.162 276 13 Sleman 755 1.022 534 467 14 Tempel 173 513 346 104 15 Turi 471 351 285 279 16 Pakem 384 528 308 243 17 Cangkringan 386 272 212 218 Jumlah / Total 9.769 17.212 11.267 5.335 Tahun / Year 2014 14.844 12.885 9.439 4.985 Tahun / Year 2013 9543 14.464 11.121 5.047

Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil BPS Kabupaten Sleman

Dengan makin banyaknya jumlah penduduk di Kabupaten Sleman, perlu untuk melakukan peningkatan fasilitas sebagai pendorong kegiatan ekonomi maupun pelayanan terhadap masyarakat. Fasilitas yang dimiliki oleh tiap kecamatan pasti berbeda-beda.

(4)

Perbedaan fasilitas tersebut akan menjadi hierarki penentuan wilayah pusat pertumbuhan. Kecamatan yang memiliki fasilitas yang paling lengkap akan menjadi wilayah pusat pertumbuhan. Dan kecamatan yang fasilitasnya kurang, akan menjadi hinterland atau wilayah pendukung bagi wilayah pusat. Dalam meningkatkan pertumbuhan wilayah, hal tersebut penting untuk diketahui sehingga dapat menyusun rencana ataupun proyek yang cocok untuk dikembangkan pada masing-masing kecamatan. Penentuan wilayah pusat pertumbuhan dan

hinterland dapat diketahui dengan menggunakan analisis skalogram. Serta analisis gravitasi

digunakan untuk melihat keterkaitan atau interaksi pada tiap-tiap kecamatan yang menjadi pusat pertumbuhan dengan kecamatan sebagai hinterland.

Perumusan Masalah

1. Bagaimana pencapaian suatu kecamatan ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman dibandingan keadaan sebenarnya?

2. Bagaimana tingkat ketersediaan fasilitas publik pada tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Sleman?

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis pencapaian penentuan suatu kecamatan ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan di Kabupaten Sleman.

2. Untuk menganalisis tingkat ketersediaan fasilitas publik pada tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Sleman.

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Kajian Pustaka

Dalam melakukan penelitian, selain menggunakan teori-teori, juga digunakan hasil-hasil penelitian sebelumnya sebagai acuan dan gambaran dalam melakukan penelitian ini.

Penelitian yang dilakukan oleh Gulo (2015). Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi kecamatan-kecamatan yang berada di Kabupaten Nias. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan hasil dari analisis dengan menggunalan skalogram bahwa di Kabupaten Nias yang menjadi pusat pertumbuhan utama adalah Kecamatan Gido, pusat pertumbuhan kedua adalah Kecamatan Idanogawo dan pusat pertumbuhan ketiga yaitu Kecamatan Botomuzoi. Kecamatan Gido dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan utama karena memiliki fasilitas yang paling lengkap serta memiliki fungsi yang lebih besar dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain. Semakin lengkap fasilitas ekonomi dan sosial yang dimiliki maka akan menarik minat masyarakat untuk untuk beraktivitas di wilayah tersebut.

Penelitian oleh Nainggolan (2013), bertujuan untuk menemukan pusat pertumbuhan di Kabupaten Simalungun dan melihat hubungan antara daerah pusat bertumbuhan dengan daerah pinggirannya (hinterland). Hasil dari analisis skalogram didapatkan 30 jenis fasilitas dari keseluruhan fasilitas yang berada di Kabupaten Simalungan. Hasil analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut menunjukkan ada 5 kecamatan yang menjadi pusat

(5)

pertumbuhan yaitu Kecamatan Siantar dengan Kecamatan Gunung Malela sebagai

hinterlandnya, Kecamatan Bandar dengan hinterlandnya Kecamatan Pematang Bandar,

Kecamatan Tanah Jawa dengan hinterlandnya Kecamatan Hatonduhan, Kecamatan Raya dengan Kecamatan Panei sebagai daerah hinterland, dan Kecamatan Bosar Maligas dengan Kecamatan Bandar.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Utari (2015), bertujuan untuk mengetahui karakteristik Kota Yogyakarta dan mengetahui kecamatan-kecamatan yang menjadi pusat pertumbuhan dilihat dari kelengkapan fasilitas yang tersedia yang disesuaikan dengan pusat pertumbuhan Kota Yogyakarta. Penelitian menggunakan alat analsisi skalogram. Dari hasil penelitian menunjukkan terdapat ketidaksesuaian hasil analisis skalogram dengan kecamatan yang diproyeksikan untuk menjadi pusat kota dalam RTRW Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta memroyeksikan Kecamatan Gedongtengen, Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Danurejan sebagai pusat pertumbuhan. Namun hasil analisis menunjukkan bahwa Kecamatan Umbulharjo dan Kecamatan Gondokusuman memiliki fasilitas yang lebih baik daripada kecamatan-kecamatan lain walaupun Kecamatan Umbulharjo dan Kecamatan Gondokusuman bukanlah kecamatan yang diproyeksikan untuk menjadi pusat pertumbuhan di Kota Yogyakarta.

Penelitian oleh Danastri (2011), bertujuan untuk mengetahui kekuatan interaksi antar daerah di Kecamatan Harjamukti, menganalisis kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam mengembangkan pusat pertumbuhan, serta untuk mengetahui wilayah pembangunan mana saja yang dapat ditetapkan sebagai kutub pertumbuhan untuk mendorong pembangunan wilayah Kecamatan Harjamukti. Metode analisis yang digunakan dengan analisis basis ekonomi secara survey primer, analisis gravitasi, analisis skalogram, dan metode overlay. Dari hasil analisis menggunakan gravitasi, dapat diketahui bahwa semua kelurahan yang ada di Kecamatan Harjamukti memiliki interaksi kuat dengan pusat Kecamatan Harjamukti, yaitu Kelurahan Kalijaga. Dengan analisis skalogram, dapat diurutkan kelurahan dengan fasilitas terlengkap adalah Kelurahan Kecapi, Kelurahan Harjamukti, Kelurahan Kalijaga, Kelurahan Larangan, dan Kelurahan Argasunya sebagai kelurahan dengan jumlah fasilitas paling sedikit. Hasil dari analisis basis ekonomi menunjukkan bahwa potensi daerah yang ada di Kecamatan Harjamukti adalah perdagangan dan jasa, dengan beberapa daerah memiliki potensi untuk dijadikan lahan peternakan dan perkebunan. Dengan teknik overlay, Kelurahan Kecapi merupakan kelurahan dengan kelengkapan fasilitas tertinggi, interaksi tertinggi dan memiliki potnesi perdagangan dan jasa sesuai dengan visi misi Kota Cirebon. Dan Kelurahan Argasurnya sebagai wilayah yang memiliki kelengkapan fasilitas paling rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Habib (2016), bertujuan untuk mengetahui kecamatan mana yang menjadi pusat pertumbuhan di Kabupaten Tulang Bawang Barat dan hubungan interkasi antara pusat pertumbuhan dengan kawasan hinterland. Penelitian dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dan indeks gravitasi. Hasil yang dapat adalah Kecamatan Tulang Bawang Tengah sebagai ibukota dan pusat pemerintahan dari Kabupaten Tulang Bawang Barat, menjadi pusat pertumbuhan dengan tiga daerah hinterland yaitu Kecamatan Tulang Bawang Udik, Kecamatan Tumijajar dan Kecamatan Pagara Dewa. Interkasi paling kuat dengan pusat pertumbuhan didapatkan dari Kecamatan Tulang Bwang Udik yang lokasinya lebih dekat dengan Kecamatan Tulang Bawang Tengah, dengan nilai interaksi sebesar 6.943.036,09. Sedangakn kekuatan interkasi dengan Kecamatan Tulang Bawang Tengah

(6)

dengan Kecamatan Tumijajar sebesar 5.084.954,9, dan kekuatan interaksi dengan Kecamatan Pagar Dewa sebesar 51.360,47.

Landasan Teori Teori Pusat Pertumbuhan

Teori pusat pertumbuhan atau Growth Poles Theory diperkenalkan oleh ekonom asal Perancis, Francis Perroux. Sjafrizal (2008) menjelaskan teori Perroux tentang pole croisanse atau pole de development yang artinya pusat pertumbuhan sebagai perangkat industri-industri yang sedang mengalami perkembangan dan berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lanjut dari kegiatan ekonomi melalui daerah pengaruhnya. Juga dikatakan bahwa “growth does not growth”, hal tersebut ditemukannya dalam analisisnya terhadap industri kendaraan yang cenderung terkelompok pada daerah tertentu. Dengan begitu pertumbuhan ekonomi cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu yang didorong oleh adanya keuntungan aglomerasi (Aglomeration Economies) yang timbul karena adanya konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut. Munculnya beberapa konsentrasi tersebut kegiatan ekonomi tersebut selanjutnya mendorong pula pada peningkatan efisiensi kegiatan ekonomi yang berdampak positif pada pembangunan ekonomi nasional. Skala ekonomi yang ditemukan di kota-kota terbesar akan memberikan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi, dukungan komersial, administrasi dan infrastruktur layanan yang dibutuhkan oleh industri untuk beroperasi secara efisien, dan membawa diversifikasi pertumbuhan ekonomi (Rondinelli, 1985)

Teori Tempat Sentral

Teori tempat sentral dikemukakan oleh seorang ahli geografi Jerman yaitu Walter Christaller. Hartono (2007) menjelaskan teori Christaller tentang kota sentral yang merupakan pusat bagi daerah sekitarnya yang menjadi penghubung perdagangan dengan wilayah lainnya. Apabila sebuah tempat mempunyai berbagai fungsi sentral untuk daerah-daearah disekitarnya yang kurang begitu penting, daerah tersebut dinamakan tempat sentral tingkat tinggi. Adapun sebuah tempat yang hanya merupakan pusat bagi kegiatan setempat dinamakan tempat sentral rendah.

Konsep dasar dari teori tempat sentral menurut Christaller sebagai berikut,

a. Population Threshold yaitu jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk

melancarkan dan kesinambungan unit.

b. Range (Jangkauan) yaitu jarak maksimum yang diperlukan untuk ditempuh penduduk

untuk mendapatkan barang/jasa yang dibutuhkan dari tempat pusat.

Menurut Christaller setiap orde memiliki wilayah heksagonal sendiri-sendiri. Bentuk pola pelayanan heksagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Hagget, 2001). Kota sebagai pusat pelayanan diharapkan memiliki fasilitas pelayanan seperti,

a. Pusat dan pertokoan sebagai fokus point dari suatu kota. b. Saranan dan prasarana transportasi.

c. Tempat rekreasi dan olahraga.

(7)

Dengan demikian kota menyediakan segala fasilitas bagi kehidupan baik sosial maupun ekonomi, sehingga baik tempat tinggal maupun bekerja dan berkreasi dapat dilakukan didalam kota (Jayadinata, 1992).

Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional

Konsep teori Hirschman yang dipaparkan oleh Sjafrizal (2008), menyatakan bahwa lebih mengutamakan perhatiannya pada pertumbuhan wilayah tidak seimbang. Dimana secara geografis pertumbuhan ekonomi wilayah akan dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan di suatu wilayah pada satu titik tempat yang menimbulkan dorongan ke arah perkembangan titik-titik atau tempat-tempat berikutnya. Perkembangan suatu wilayah dimulai dari satu titik original yang disebut dengan growing point atau growing center sebelum akhirnya tersebar ke berbagai wilayah lainnya. Teori Hirschman melihat tingkat pembangunan di suatu wilayah cenderung tercapai pada beberapa titik pertumbuhan. Dimana kegiatan atau aktivitas ekonomi lebih lebih berpusat pada daerah tersebut karena ketersediaan dan kelengkapan fasilitas pelayanan dibandingkan tempat lainnya. Dampaknya akan terjadi peningkatan migrasi dari daerah luar ke daerah growing center.

Teori Gravitasi

Teori gravitasi pertama kali diperkenalkan dalam ilmu fisika oleh Sir Issac Newton. Utoyo (2007) memaparkan inti dari teori gravitasi bahwa dua buah benda yang memiliki massa tertentu akan memiliki gaya tarik menarik antara keduanya yang dikenal sebagai gaya gravitasi. Kekuatan gaya tarik menarik ini akan berbanding lurus dengan hasil kali kedua massa benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda tersebut. Model gravitasi Newton kemudian diterapkan oleh W. J. Reilly, seorang ahli geografi untuk mengukur kekuatan nteraksi keruangan antar dua wilayah atau lebih. Berdasar hasil penelitiannya, Reilly berpendapat bahwa bahwa kekuatan interaksi antara dua wilayah yang berbeda dapat diukur dengan memerhatikan faktor jumlah penduduk dan jarak antara kedua wilayah tersebut.

Teori gravitasi ini dapat digunakan untuk menganalisis besarnya pengaruh interaksi antar wilayah yang berdekatan secara kuantitatif, dengan asumsi bahwa suatu wilayah sebagai benda dan jumlah penduduk dari wilayah yang bersangkutan sebagai massanya. Besarnya kekuatan interaksi dapat diwujudkan dalam bentuk besarnya perpindahan atau transportasi dan komunikasi antara dua wilayah. Wujud dari perpindahan tersebut dapat berbentuk orang, barang, jasa, ataupun berupa informasi (Hartono, 2007). Perbandingan potensi interaksi antar wilayah dengan memanfaatkan formula yang dikemukakan Reilly dalam buku Utoyo (2007) dapat diterapkan jika kondisi wilayah-wilayah yang dibandingkan memenuhi persyaratan tertentu sebagai berikut.

a. Kondisi sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, mata pencaharian, mobilitas, dan kondisi sosial-budaya penduduk setiap wilayah yang dibandingkan relatif memiliki kesamaan. b. Kondisi alam setiap wilayah relatif sama, terutama berkaitan dengan kondisi

topografinya.

c. Keadaan sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan wilayah-wilayah yang dibandingkan relatif sama.

(8)

Otonomi Daerah

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 angka 5, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan umum kebijakan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kualitas keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi seluruh unsur bangsa yang beragam di Indonesia yang utuh. Adapun tujuan khusus adalah,

a. Meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan maupun implementasinya sehingga terwujud suatu pemerintahan lokal yang bersih, efisien, transparan, responsif, dan akunTabel.

b. Memberikan pendidikan politik kepada masyarakat akan urgensi keterlibatan mereka dalam proses pemerintahan lokal dan kontribusinya bagi tegaknya oemerintahan nasional yang kokoh dan sah.

c. Memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin mereka secara langsung dan demokratis.

d. Membangun kesalingpercayaan antar masyarakat di satu pihak, dan antara masyarakat dan pemerintah di pihak lain.

Haris memaparkan peranan Smith tentang pemerintah di daerah yang dijalankan secara demokratis akan memberikan ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk ikut menuangkan kedaulatannya. Hal ini bukan saja akan memperkuat proses demokrasi lokal, tetapi juga memberikan kontribusi bagi demokrasi dan integrasi nasional (Haris dkk, 2006).

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No. 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011 – 2031, kebijakan tersebut bertujuan untuk,

a. Untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Sleman dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.

b. Agar pemanfaatan ruang lebih bijaksana maka perlu dirumuskan penetapan struktur dan pola ruang wilayah, kebijakan dan strategi pengembangan serta pengelolaannya dalam rencana tata ruang wilayah.

Pengembangan sistem perkotaan Kabupaten Sleman sebagaimana dalam pasal 6 huruf a yaitu,

a. Pusat Kegiatan Nasional atau PKN, adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasioanl, nasional, atau beberapa provinsi.

b. Pusat Kegiatan Wilayah atau PKW, adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten / kota.

c. Pusat Kegiatan Lokat atau PKL, adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan.

d. Pusat Pelayanan Kawasan atau PPK, adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.

(9)

e. Pusat Pelayanan Lingkungan atau PPL, adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.

Pada bab III pasal 5, tertulis bahwa rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Sleman terdiri dari pengembangan sistem pusat kegiatan, dan pengembangan sistem pusat jaringan prasarana. Pengembangan sistem pusat kegiatan yang dimaksudkan dalam pasal 5 terdiri atas pengembangan sistem perkotaan kabupaten dan pengembangan sistem pedesaan kabupaten.

Berikut adalah daftar daerah pengembangan sistem perkotaan Kabupaten Sleman: a. PKN berupa kawasan perkotaan kabupaten yang berada di dalam KPY meliputi:

1. Kawasan perkotaan Kecamatan Gamping, meliputi: a) Desa Ambarketawang

b) Desa banyuraden c) Desa Nogotirto d) Desa Trihanggo

2. Kawasan perkotaan Kecamatan Godean meliputi Desa Sidoarum. 3. Kawasan perkotaan Kecamatan Mlati, meliputi:

a) Desa Sendangadi b) Desa Sinduadi

4. Kawasan perkotaan Kecamatan Depok, meliputi: a) Desa Caturtunggal

b) Desa Maguwoharjo c) Desa Condongcatur

5. Kawasan perkotaan Kecamatan Ngemplak, meliputi Desa Wedomartani. 6. Kawasan perkotaan Kecamatan Ngaglik, meliputi:

a) Desa Sariharjo b) Desa Sinduharjo c) Desa Minomartani

b. PKW berada di Kecamatan Sleman c. PKL meliputi,

1. Kawasan perkotaan Kecamatan Godean 2. Kawasan perkotaan Kecamatan Prambanan 3. Kawasan perkotaan Kecamatan tempel 4. Kawasan perkotaan Kecamatan pakem d. PPK meliputi,

1. Kawasan perkotaan Kecamatan Moyudan 2. Kawasan perkotaan Kecamatan Minggir 3. Kawasan perkotaan Kecamatan Seyegan 4. Kawasan perkotaan Kecamatan Mlati 5. Kawasan perkotaan Kecamatan Berbah 6. Kawasan perkotaan Kecamatan Kalasan 7. Kawasan perkotaan Kecamatan Ngemplak 8. Kawasan perkotaan Kecamatan Ngaglik 9. Kawasan perkotaan Kecamatan Turi

(10)

METODE PENELITIAN Jenis dan Pengumpulan Data

Pada penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif untuk melihat wilayah kecamatan yang menjadi pusat pertumbuhan di Kabupaten Sleman, serta menganalisis fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing kecamatan di Kabupaten Sleman. Jenis data yang diteliti adalah data sekunder, yaitu data yang didapatkan dari sumber lain. Dalam penelitian ini data yang didapatkan berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sleman dengan media internet. Untuk melakukan analisis pada penelitian ini, data yang digunakan adalah data tentang jumlah fasilitas-fasilitas sosial dan ekonomi yang dimiliki oleh 17 kecamatan yang berada di Kabupaten Sleman. Nama kecamatan-kecamatan tersebut yaitu

1. Kecamatan Cangkringan 2. Kecamatan Pakem 3. Kecamatan Turi 4. Kecamatan Tempel 5. Kecamatan Ngaglik 6. Kecamatan Ngemplak 7. Kecamatan Berbah 8. Kecamatan Depok 9. Kecamatan Godean 10. Kecamatan Sleman 11. Kecamatan Gamping 12. Kecamatan Kalasan 13. Kecamatan Prambanan 14. Kecamatan Moyudan 15. Kecamatan Mlati 16. Kecamatan Seyegan 17. Kecamatan Minggir

Dari tiap kecamatan akan dilihat apa saja fasilitas yang tersedia, serta berapa banyak jumlahnya. Jenis-jenis fasilitas yang dilihat antara lain,

1. Sarana pemerintahan 2. Sarana pendidikan 3. Sarana kesehatan 4. Tempat ibadah 5. Fasilitas olah raga 6. Sarana perekonomian

Metode Analisis Analisis Skalogram

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model skalogram. Skalogram adalah alat analisis untuk mengidentifikasi pusat pertumbuhan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimiliki, sehingga dapat ditentukan hierarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu wilayah (Rondinelli, 1985).

Analisis ini digunakan untuk melihat jumlah dan jenis fasilitas yang berada pada tiap kecamatan di Kabupaten Sleman. Dari jumlah ketersediaan fasilitas tersebut dapat ditentukan kecamatan yang menjadi pusat pertumbuhan di Kabupaten Sleman adalah kecamatan yang paling lengkap fasilitasnya. Sedangkan kecamatan yang ketersediaan fasilitasnya kurang lengkap akan menjadi wilayah hinterland atau wilayah pendukung. Rumus yang digunakan

(11)

untuk mencari banyak kelas pada setiap kecamatan sebagai pusat pertumbuhan sebagai berikut, k = 1 + 3,3 log n Keterangan: k = banyak kelas n = banyak kecamatan

selanjutnya menentukan besarnya interval kelas atau range dengan rumus sebagai berikut,

Range = 𝐴−𝐵

𝑘

Keterangan:

A = jumlah fasilitas tertinggi B = jumlah fasilitas terendah k = banyak kelas

Langkah terakhir dalam melakukan analisis skalogram adalah dengan menghitung Coeffisien of Reproducibility atau COR, yang memiliki fungsi untuk menguji kelayakan analisis skalogram. Penelitian dengan analisis skalogram dapat dikatakan layak jika nilai COR sebesar 0,9 sampai dengan 1. Cor dihitung dengan rumus seperti dibawah,

(CR)

= 1 −

∑𝑒 𝑁𝑥𝑘 Keterangan: CR : tingkat kesalahan ∑𝑒 : Jumlah kesalahan N : Jumlah fasilitas K : Jumlah kecamatan Analisis Gravitasi

Analisis gravitasi digunakan untuk melihat besarnya daya tarik suatu potensi yang berada pada suatu lokasi, kaitan potensi suatu lokasi dengan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut (Utoyo, 2007).

Rumus gravitasi adalah sebagai berikut,

𝐴𝑖𝑗 = 𝑘𝑃𝑖 . 𝑃𝑗 𝑑𝑖𝑗𝑏

Keterangan :

Aij = Besarnya interaksi wilayah i dengan wilayah j

Pi = Jumlah penduduk di wilayah i, dalam ribuan jiwa Pj = jumlah penduduk di wilayah j, dalam ribuan jiwa dij = Jarak dari wilayah i dengan wilayah j, dalam kilometer

k = Angka konstanta empiris, bernilai 1

(12)

Untuk melihat keterkaitan atau interaksi antara kecamatan sebagai pusat pertumbuhan dengan kecamatan yang menjadi hinterland atau wilayah pendukungnya

Analisis skalogram digunakan untuk menganalisis dan menentukan hierarki atau kelasnya. Analisis tersebut dapat dilakukan dengan melihat jenis fasilitas dan jumlah fasilitas yang berada di tiap-tiap kecamatan, dan dalam penelitian ini adalah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sleman. Jumlah fasilitas tersebut digunakan sebagai penentuan dalam menempatkan suatu lokasi menjadi pusat pertumbuhan dan lokasi sebagai daerah hinterland atau daerah belakangnya.

Tabel Kesimpulan Data Jumlah Fasilitas Kabupaten Sleman Tahun 2015

Kecamatan Jumlah Unit Fasilitas Jumlah

Total Pemerin tahan Pendidi kan Tempat Ibadah Kesehata n Olahraga Perekono mian Berbah 12 56 212 24 64 300 668 Cangkringan 14 46 135 13 * 3* 211* Depok 17 181 317 531 160 211 1417 Gamping 14 99 271 94 * 31 509* Godean 18 80 244 77 * 18 437* Kalasan 12 94 268 639 152 1914 3079 Minggir 14 51 159 21 * 177 422* Mlati 14 109 225 111 * 46 505* Moyudan 12 48 168 360 56* 8* 652* Ngaglik 16 115 313 51 267 948 1710 Ngemplak 14 65 347 26 * 4* 456* Pakem 14 61 144 78 179 756 1232 Prambanan 16 69 204 93 184 4* 570* Seyegan 14 57 185 28 133 26 443 Sleman 14 93 166 41 131* 28* 473* Tempel 20 78 175 48 118 513 952 Turi 8 51 166 75 39 172 511

Pada tabel perhitungan skalogram, yang memberikan angka “1” pada jenis fasilitas yang dimiliki oleh kecamatan, dan memberikan angka “0” pada fasilitas yang tidak tersedia pada kecamatan tersebut.

(13)

Tabel 4.8 Tabel Skalogram

Kecamatan Jenis Fasilitas

Pemerintahan Pendidikan Kesehatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Berbah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 Cangkringan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 Depok 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Gamping 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 Godean 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Kalasan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 Minggir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 Mlati 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 Moyudan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 Ngaglik 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Ngemplak 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 Pakem 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 Prambanan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 Seyegan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 Sleman 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 Tempel 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 Turi 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1

(14)

Lanjutan Tabel 4.8 Tabel Skalogram

Kecamatan Jenis Fasilitas Jumlah

Tempat Ibadah Olahraga Ekonomi

18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Berbah 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 28 Cangkringan 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 27 Depok 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 30 Gamping 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 28 Godean 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 28 Kalasan 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 28 Minggir 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 27 Mlati 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 28 Moyudan 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 27 Ngaglik 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 29 Ngemplak 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 28 Pakem 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 28 Prambanan 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 28 Seyegan 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 29 Sleman 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 28 Tempel 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 26 Turi 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 25

(15)

Keterangan tabel: Sarana Pemerintahan 1 : Kantor Camat 2 : Kantor Desa 3 : Balai Desa 4 : Polsek 5 : Koramil 6 : KUA Sarana Pendidikan 7 : TK 8 : SD 9 : SLTP 10 : SMA 11 : Perguruan Tinggi Sarana Kesehatan

12 : Poliklinik / Rumah Sakit 13 : Puskesmas

14 : Puskesmas Pembantu 15 : RS. Bersalin

16 : Tempat Praktek Dokter 17 : Pos KB Desa Tempat Ibadah 18 : Masjid 19 : Mushola / Surau 20 : Gereja 21 : Pura 22 : Wihara Sarana Olahraga 23 : Sepak Bola 24 : Bola Volly 25 : Bulu Tangkis 26 : Bola Basket 27 : Tenis Meja 28 : Tenis lapangan Sarana Ekonomi 29 : Pasar Umum

30 : Pertokoan Kios / Warung 31 : KUD, Bank, BPR

Selanjutnya adalah menghitung dengan menggunakan metode Struges untuk menentukan orde-orde dari pusat pertumbuhan.

Jumlah Orde = 1 + 3,3 log n = 1 + 3,3 log 17

= 1 + 3,3 (1,230448921) = 1 + 4,060481441 = 5,060481441

Jumlah orde dalam penelitian ini sebesar 5,060481441 yang dibulatkan menjadi 5 kelas atau orde untuk kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sleman. Selanjutnya adalah menentukan interval kelas atau range untuk 5 orde yang telah dihitung sebelumnya. Yaitu dengan rumus,

Range = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝑕 𝐹𝑎𝑠𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 −𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝑕 𝑓𝑎𝑠𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎 𝑕 𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑂𝑟𝑑𝑒

Range = 30−25 5 Range = 1

Didapatkan interval kelas atau range sebesar 1, dengan jumlah kelas atau orde sebanyak 5, maka dapat dibuat tabel orde seperti dibawah,

(16)

Tabel Orde dan Range Orde Range Orde I 30 – 31 Orde II 28 – 29 Orde III 26 – 27 Orde IV 24 – 25 Orde V 22 – 23

Langkah terakhir dalam melakukan analisis skalogram adalah dengan menghitung tingkat kesalahan atau disebut Coefficient of Redductbility (COR).

(CR)= 1 − ∑𝑒 𝑁𝑥𝑘 (CR) = 1 − 48 31 𝑥 17 (CR) = 1 – 0,0910 (CR) = 0,908

Dari perhitungan tersebut menunjukkan tingkat kesalahan sebesar 0,908, berada diantara 0,9 – 1 atau lebih dari 90%, sehingga analisis skalogram pada fasilitas-fasilitas di tiap kecamatan di Kabupaten Sleman ini dianggap sudah layak.Berikut adalah tabel hasil akhir dari analisis skalogram yang menunjukkan urutan kecamatan berdasarkan orde atau kelasnya.

Hierarki Pusat Pertumbuhan Kecamatan berdasarkan Analisis Skalogram di Kabupaten Sleman Tahun 2015 Peringkat Hierarki Kecamatan Jumlah Penduduk Jumlah Jenis Fasilitas Jumlah Unit Fasilitas Orde Kota 1 Depok 185.707 30 1417 Orde I 2 Ngaglik 115.321 29 1710 Orde II 3 Seyegan 46.869 29 443 Orde II 4 Kalasan 84.150 28 3079 Orde II 5 Pakem 37.430 28 1232 Orde II 6 Berbah 56.813 28 668 Orde II 7 Prambanan 48.419 28 570* Orde II 8 Gamping 106.330 28 509* Orde II 9 Mlati 111.180 28 505* Orde II 10 Sleman 66.567 28 473* Orde II 11 Godean 70.754 28 437* Orde II 12 Ngemplak 64.187 28 456* Orde II

13 Tempel 50.628 26 952 Orde III

14 Moyudan 30.719 27 652* Orde III

15 Minggir 28.954 27 422* Orde III

16 Cangkringan 29.246 27 211* Orde III

17 Turi 34.189 25 511 Orde IV

Sumber: Kecamatan dalam Angka 2015, diolah BPS Kabupaten Sleman

Keterangan *: Terdapat ketidaklengkapan data

Dari tabel diatas dapat dilihat jumlah fasilitas dari masing-masing kecamatan pada enam kelompok fasilitas yang berbeda, serta jumlah total dari semua unit fasilitas tiap

(17)

kecamatan. Dapat diketahui yang termasuk dalam orde I adalah kecamatan dengan jumlah unit fasilitas terbanyak sehingga dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan. Dalam hasil analisis skalogram dalam tabel diketahui yang terdapat pada orde I hanya satu kecamatan saja, artinya hanya satu kecamatan yang memenuhi kriteria sebagai kecamatan pusat pertumbuhan di Kabupaten Sleman. Kecamatan yang menjadi pusat pertumbuhanadalah Kecamatan Depok dengan jumlah jenis fasilitas terlengkap dibandingkan kecamatan lain yaitu 30 jenis fasilitas, dan dengan jumlah unit fasilitas sebanyak 1417 dengan data yang lengkap. Jumlah penduduk tahun 2015 pada Kecamatan Depok juga merupakan jumlah penduduk tertinggi kedua, dibandingkan kecamatan yang lain, sehingga memang tepat dengan penyediaan jenis fasilitas yang lengkap.

Pada orde II terdapat dua jumlah jenis fasilitas, yaitu kecamatan dengan jumlah jenis fasilitas sebanyak 29 dan jumlah jenis fasilitas sebanyak 28. Kecamatan yang memiliki jumlah jenis fasilitas sebanyak 29 adalah Kecamatan Ngaglik dan Kecamatan Seyegan. Kedua kecamatan tersebut sangat berpotensi untuk menjadi pusat pertumbuhan kedua dan pusat pertumbuhan ketiga. Kecamatan Ngaglik memiliki jumlah unit fasilitas terbanyak bahkan melebihi jumlah unit fasilitas Kecamatan Depok, yaitu sebanyak 1710. Jumlah tersebut sangat sepadan dengan tingginya jumlah penduduk pada Kecamatan Ngaglik menurut data BPS tahun 2015. Jumlah unit fasilitas yang dimiliki Kecamatan Ngaglik jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah unit fasilitas yang dimiliki Kecamatan Depok, namun karena jumlah jenis fasilitas yang dimiliki Kecamatan Depok sedikit lebih banyak dari Kecamatan Ngaglik, maka peringkat hierarki Kecamatan Depok berada diatas Kecamatan Ngaglik. Kecamatan Seyegan hanya memiliki 443 unit fasilitas, jumlah tersebut jauh dibandingkan kecamatan-kecamatan yang ada pada peringkat hierarki dibawahnya. Jumlah jenis fasilitas Kecamatan Seyegan yang tinggi adalah penentu tingkatan hierarkinya.

Pada orde II dan orde III mayoritas hasil analisis merupakan data yang tidak lengkap. Pada orde II terdapat tujuh kecamatan yang memiliki ketidaklengkapan data dari jumlah total 11 kecamatan, sedangkan orde III didapatitiga diantara empat kecamatan tidak memiliki kelengkapan data. Ada kemungkinan untuk terjadinya pergeseran jika didapatnya data yang lengkap. Jumlah penduduk yang tinggi pada Kecamatan Mlati dan Kecamatan Gamping merupakan indikator untuk mengimbanginya dengan jumlah unit dan jenis fasilitas yang memadahi, hasil analisis skalogram dengan data yang tidak lengkap menunjukkan kedua kecamatan tersebut masuk kedalam orde II dengan jumlah fasilitas yang rendah jika dibandingkan jumlah penduduknya. Tingginya jumlah penduduk kemungkinan fasilitas yang tersedia pun memiliki jumlah yang jauh lebih banyak daripada yang terdata oleh BPS Kabupaten Sleman.Jika mendapatkan data secara lengkap, hasil analisis skalogram ini masih dapat berubah, dan dapat merubah kecamatan-kecamatan menurut ordenya. Kecamatan yang terdapat pada orde IV bisa berubah masuk kedalam kelompok orde III ataupun orde II. Tetapi pada Kecamatan Depok yang dalam penelitin ini memenuhi syarat sebagai pusat pertumbuhan, mempunyai data yang lengkap. Jumlah jenis fasilitas terendah berada pada Kecamatan Turi dengan jumlah 25, hal tersebut membuat Kecamatan Turi masuk kedalam orde IV. Sedangkan jumlah unit fasilitas terendah terdapat pada Kecamatan Cangkringan dengan jumlah 211 fasilitas dengan data yang tidak lengkap.

(18)

Analisis Gravitasi

Untuk menganalisis interaksi antara kecamatan sebagai pusat pertumbuhan dengan kecamatan sebagai wilayah hinterland, dapat dilihat dalam Tabel 4.11 berikut.

Tabel 4.11

Hasil Nilai Interaksi Wilayah antara Pusat Pertumbuhan dan Hinterland

Kecamatan Asal Kecamatan Tujuan Penduduk daerah asal Penduduk daerah Tujuan Jarak i - j (Jarak i-j)b Angka Interaksi Peringkat Interaksi (i) (j) (Pi) (Pj) (dij)/km (dij) 2 (Aij) Depok Berbah 185.707 56.813 11,4 129,96 81.183.224 5 Cangkringan 185.707 29.246 18,8 353,44 15.366.645 14 Depok 185.707 185.707 0 0 0 0 Gamping 185.707 106.330 13,6 184,96 106.759.436 4 Godean 185.707 70.754 13,7 187,69 70.006.463 7 Kalasan 185.707 84.150 10,9 118,81 131.531.387 3 Minggir 185.707 28.954 21,2 449,44 11.963.689 16 Mlati 185.707 111.180 9,1 82,81 249.328.635 2 Moyudan 185.707 30.719 20,1 404,01 14.120.278 15 Ngaglik 185.707 115.321 5,6 31,36 682.905.515 1 Ngemplak 185.707 64.187 13,2 174,24 68.411.244 8 Pakem 185.707 37.430 13,6 184,96 37.581.169 11 Prambanan 185.707 48.419 14,2 201,64 44.593.073 10 Seyegan 185.707 46.869 12,2 148,84 58.478.241 9 Sleman 185.707 66.567 12,3 151,29 81.710.344 6 Tempel 185.707 50.628 17,7 313.29 30.010.450 12 Turi 185.707 34.189 16,8 282,24 22.495.524 13

Untuk melihat wilayah hinterland dari kecamatan yang menjadi pusat pertumbuhan, yaitu Kecamatan Depok, dapat dijelaskan pada tabel. Untuk menentukan kecamatan yang menjadi wilayah hinterland dari suatu pusat pertumbuhan, dilihat dari nilai interaksi kecamatan hinterland dengan kecamatan-kecamatan pusat pertumbuhan. Kecamatan

hinterland akan menjadi kecamatan pendukung bagi kecamatan pusatnya jika nilai

interaksinya menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan dengan nilai interaksi dengan kecamatan pusat pertumbuhan lainnya.

Dalam penelitian ini hanya ditemukan satu kecamatan yang dapat dijasikan pusat pertumbuhan yaittu Kecamatan Depok, sehingga semua kecamatan lainnya merupakan kecamatan hinterland bagi Kecamatan Depok. Namun angka interaksi terhadap pusat pertumbuhan yang ditunjukkan oleh tiap kecamatan hinterland memiliki jumlah yang berbeda-beda. Jumlah interaksi terendah ditunjukkan oleh interaksi Kecamatan Minggir yaitu dengan nilai interaksi hanya 11.963.689. Dalam segi geografis, Kecamatan Minggir memiliki jarak yang cukup jauh dengan Kecamatan Depok, hal tersebut mungkin berpengaruh terhadap rendahnya nilai interaksi antar kecamatan. Kecamatan lain yang memiliki nilai interaksi yang rendah terhadap Kecamatan Depok adalah Kecamatan Moyudan dengan jumlah nilai interaksi sebesar 14.120.278, dan Kecamatan Cangkringan dengan nilai interaksi sebesar 15.366.645.

(19)

Terdapat empat kecamatan yang memiliki nilai interaksi yang tinggi terhadap Kecamatan Depok. Kecamatan Gamping memiliki nilai interaksi sebesar 106.759.436, Kecamatan Kalasan dengan nilai interaksi sebesar 131.531.387, Kecamatan Mlati dengan nilai interaksi sebesar 249.328.635, dan Kecamatan Ngaglik menunjukkan nilai interkasi paling besar yaitu 682.905.515. Jika diamati dalam segi geografis, Kecamatan Gamping, Kecamatan Kalasan, Kecamatan Mlati, dan Kecamatan Ngaglik memiliki kedakatan lokasi dengan Kecamatan Depok, sehingga memungkinkan tingginya nilai interaksi diantara kecamatan tersebut. Namun juga terdapat kecamatan yang memiliki kedakatan wilayah dengan Kecamatan Depok tetapi nilai interaksi yang ditunjukkan tidak terlalu besar. Kecamatan Berbah yang bersebelahan dengan Kecamatan Depok memiliki nilai interkasi yang sedang, yaitu sebesar 81.183.224. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh Kecamatan Ngemplak yang bersebalahan dengan Kecamatan Depok namun nilai interaksinya hanya sebesar 68.411.244.

Kecamatan Depok merupakan kecamatan yang berlokasi strategis, berada pada perbatasan dengan Kota Yogyakarta, berhadapan langsung dengan jalur lintas yang menghubungkan dengan Kota Yogyakarta, Kecamatan Gunungkidul maupun Jawa Tengah. Kecamatan Depok juga memiliki perguruan tinggi paling banyak diantara kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Sleman. Faktor tersebut yang mungkin membuat banyak kecamatan memiliki nilai interaksi yang tinggi dengan Kecamatan Depok.

Hasil dari analisis skalogram dan analisis gravitasi, dapat disederhanakan dalam tabel dibawah,

Hasil Analisis Skalogram dan Gravitasi Kecamatan Pusat Pertumbuhan Kecamatan Hinterland

Kecamatan Depok Kecamatan Ngaglik

Kecamatan Mlati Kecamatan Kalasan Kecamatan Gamping

Perbandingan dengan RTRW Kabupaten Sleman

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011 – 2031 Pasal 51 dituliskan mengenai pelaksanaan pembangunan wilayah yang akan dilakukan pada sistem perkotaan Kabupaten Sleman, yaitu:

1. Pengembangan PKN

Pengembangan yang akan dilakukan pada wilayah PKN meliputi: a. Pengembangan pusat akomodasi wisata regional.

b. Pengembangan pusat pendidikan skala internasioanl. c. Pengembangan pusat pelayanan kesehatan skala regional. d. Pengembangan pusat perdagangan dan jasa regional. 2. Pengembangan dan pemantapan PKW

a. Pengembangan pusat pemerintahan kabupaten.

b. Pengembangan pusat pelayanan kesehatan skala kabupaten.

(20)

d. Pengembangan permukiman. 3. Pengembangan PKL

a. Pengembangan pusat pertumbuhan skala lingkungan.

b. Pengembangan pusat pelayanan kesehatan skala lingkungan. c. Pengembangan permukiman.

4. Pengembangan PPK

a. Pengembangan pusat pelayanan skala kawasan. b. Pengembangan pelayanan kesehatan skala kawasan. c. Pengembangan permukiman.

Pada tabel dapat dilihat perbandingan hasil dari analisis skalogram, analisis gravitasi, dan kebijakan RTRW Kabupaten Sleman.

(21)

Tabel Hasil Analisis dibandingkan Kebijakan RTRW

No. Kecamatan Hasil Analisis Skalogram Hasil Analisis Gravitasi

Kebijakan RTRW 1. Berbah Pusat Pertumbuhan

Kedua (Orde II)

Peringkat Interaksi 5 PPK 2. Cangkringan Pusat Pertumbuhan

Kedua (Orde III)

Peringkat Interaksi 14 PPK 3. Depok Pusat Pertumbuhan

(Orde I)

Pusat Pertumbuhan PKN 4. Gamping Pusat Pertumbuhan

Kedua(Orde II)

Hinterland Pusat

Pertumbuhan (Depok)

PKN

5. Godean Pusat Pertumbuhan Kedua (Orde II)

Peringkat Interaksi 7 PKN PKL 6. Kalasan Pusat Pertumbuhan

Kedua (Orde II)

Hinterland Pusat

Pertumbuhan (Depok)

PPK

7. Minggir Pusat Pertumbuhan Ketiga (Orde III)

Peringkat Interaksi 16 PPK 8. Mlati Pusat Pertumbuhan

Kedua (Orde II)

Hinterland Pusat

Pertumbuhan (Depok)

PKN PPK 9. Moyudan Pusat Pertumbuhan

Ketiga (Orde III)

Peringkat Interaksi 15 PPK 10. Ngaglik Pusat Pertumbuhan

Kedua (Orde II)

Hinterland Pusat

Pertumbuhan (Depok)

PKN PPK 1!. Ngemplak Pusat Pertumbuhan

Kedua (Orde II)

Peringkat Interaksi 8 PKN PPK 12. Pakem Pusat Pertumbuhan

Kedua (Orde II)

Peringkat Interaksi 11 PKL 13. Prambanan Pusat Pertumbuhan

Kedua (Orde II)

Peringkat Interaksi 10 PKL 14. Seyegan Pusat Pertumbuhan

Kedua (Orde II)

Peringkat Interaksi 9 PPK 15. Sleman Pusat Pertumbuhan

Kedua (Orde II)

Peringkat Interaksi 6 PKW 16. Tempel Pusat Pertumbuhan

Ketiga (Orde III)

Peringkat Interaksi 12 PKL 17. Turi Pusat Pertumbuhan

Keempat (Orde IV)

Peringkat Interaksi 13

PPK

Dari tabel dapat diketahui pencapaian dari kondisi sebenarnya di masing-masing kecamatan jika dibandingkan dengn Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman.

Menurut RTRW Kabupaten Sleman, yang termasuk kedalam Pusat Kegiatan Nasional atau PKN adalah Kecamatan Depok, Kecamatan Gamping, Kecamatan Godean, Kecamatan Mlati, Kecamatan Ngaglik, dan Kecamatan Ngemplak. Dalam RTRW Kabupaten Sleman,

(22)

wilayah PKN akan dikembangkan dalam pusat akomodasi wisata regional, pusat pendidikan skala internasional, pusat kesehatan skala regional, dan pusat perdagangan dan jasa regional. Hasil analisis menunjukkan bahwa Kecamatan Gamping, Kecamatan Godean, Kecamatan Mlati, dan Kecamatan Ngemplak termasuk ke dalam orde II, kecamatan-kecamatan tersebut adalah sebagai daerah hinterland dari kecamatan pusat pertumbuhan. Wilayah PKN cenderung merupakan pengembangan untuk wilayah pusat pertumbuhan. Pengembangan tersebut sudah sesuai dengan Kecamatan Depok dan Kecamatan Ngaglik karena Kecamatan Depok merupakan pusat pertumbuhan , sedangkan Kecamatan Ngaglik adalah kecamatan dengan penyedia fasilitas masyarakat yang paling lengkap. Terutama untuk Kecamatan Depok yang sudah memiliki banyak perguruan tinggi, dan akan dikembangkan sebagai pusat pendidikan skala internasional, maka kecamatan ini sudah berada dalam kondisi yang sesuai.

Untuk daerah Pusat Kegiatan Wilayah atau PKW adalah Kecamatan Sleman. Wilayah tersebut akan dikembangkan sebagai pusat pemerintahan kabupaten, pelayanan kesehatan skala kabupaten, dan pusat koordinasi penanggulangan bencana alam. Hasil dari analisis menunjukkan Kecamatan Sleman berada pada orde II dan nilai interaski berada pada peringkat 6. Kecamatan Sleman adalah ibukota Kabupaten Sleman dan sebagai tempat untuk pusat administrasi wilayah kabupaten Sleman. Penetapannya ke dalam wilayah PKW sudah sesuai dengan kondisi yang ada. Akan adanya pengembangan pusat pemerintahan yang dilakukan, diharapkan akan mempermudah masyarakat dalam mengurus administrasi skala kabupaten, sehingga akan meningkatkan keejahteraan masyarakat.

Wilayah Pusat Kegiatan Skala Lokal atau PKL meliputi Kecamatan Godean, Kecamatan Pakem, Kecamatan Prambanan, dan Kecamatan Ngemplak. Wilayah ini akan mengalami pengembangan dalam hal pusat pertumbuhan dan pelayanan kesehatan skala lingkungan. Kecamatan Godean dan Kecamatan Ngemplak selain termasuk ke dalam wilayah PKN juga dimasukkan ke wilayah PKL. Hasil analisis menunjukkan kedua kecamatan tersebut lebih cocok berada pada wilayah PKL daripada wilayah PKN karena jumlah fasilitas yang dimiliki jauh lebih rendah dibandingkan kecamatan lain yang masuk dalam wilayah PKN. Harus ada peningkatan jumlah unit fasilitas dan jenis fasilitas untuk memasukkannya ke wilayah PKN. Untuk Kecamatan Pakem dan Kecamatan Prambanan, berada pada orde II dari hasil analisis skalogram, dan nilai interaksinya berada pada tingkat 11 untuk Kecamatan Pakem, serta peringkat 10 untuk Kecamatan Prambanan.

Wilayah Pusat Pelayanan Kawasan atau PPK meliputi Kecamatan Berbah, Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Kalasan, Kecamatan Minggir, Kecamatan Mlati, Kecamatan Moyudan, Kecamatan Ngaglik, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Seyegan, dan Kecamatan Turi. Jika dibandingkan dengan hasil analisis, wilayah PPK ini berasal dari kecamatan dengan tingkatan orde yang beragam. Seperti Kecamatan Berbah, Kecamatan Ngaglik, Kecamatan Seyegan, Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan Kalasan dari orde II, Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Moyudan dan Kecamatan Minggir dari orde III, serta Kecamatan Turi dari orde IV.Untuk Kecamatan Seyegan, dalam RTRW Kabupaten Sleman hanya dimasukkan kedalam wilayah PPK saja, padahal hasil analisis menunjukkan kecamatan tersebut berada di orde IIdengan jumlah unit fasilitas yang cukup lengkap yaitu sebanyak 29 unit.

Dengan adanya kesesuaian pelaksanaan pembangunan terhadap kondisi masing-masing kecamatan, diharapkan akan menambah kesejahteraan masyarakat dengan lebih tersusun dan

(23)

terencana mengenai fungsi-fungsi pelayanan tiap wilayah. Pembangunan wilayah yang bagus dan sesuai, juga dapat mendorong aktivitas masyarakat serta dapat meningkatkan perekonomian pada tiap-tiap kecamatan. Seperti dengan peningkatan sarana transportasi umum, peningkatan teknologi, dan juga peningkatan pendidikan. Terutama bagi kecamatan yang menjadi pusat pertumbuhan yaitu Kecamatan Depok, diharapkan dapat memberikan pengaruh dan manfaat untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah-wilayah hinterlandnya. Masyarakat yang berasal dari wilayah hinterland pun dapat dengan mudah memanfaatkan keberagaman fasilitas yang berada di kecamatan pusat pertumbuhan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari analisis skalogram, analisis gravitasi dan melihat kesesuaian pencapaian dengan Rencata Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman, dapat disimpulan bahwa hanya ada satu kecamatan yang menjadi pusat pertumbuhan di Kabupaten Sleman, yaitu Kecamatan Depok. Nilai interaksi tertinggi ditunjukkan oleh empat kecamatan yaitu Kecamatan Gamping dengan nilai interaksi sebesar 106.759.436, Kecamatan Kalasan dengan nilai interaksi sebesar 131.531.387, Kecamatan Mlati dengan nilai interaksi sebesar 249.328.635, dan Kecamatan Ngaglik menunjukkan nilai interkasi paling besar yaitu 682.905.515.

Untuk kesesuaian pencapaian dibandingkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman, ada beberapa kecamatan yang kurang sesuai dengan hasil analisis skalogram dan hasil analisis gravitasi. Perlunya perbaikan ataupun penambahan-penambahan fasilitas pada kecamatan yang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman diproyeksikan dalam wilayah PKN.

Implikasi

Berdasarkan dari hasil analisis, terdapat beberapa hal yang bisa dijadikan masukan bagi pemerintah Kabupaten Sleman, yaitu untuk Kecamatan Seyegan yang dalam RTRW hanya dimasukkan dalam wilayah PPK, padahal kecamatan tersebut dalam segi fasilitas memiliki potensi untuk menjadi pusat pertumbuhan di Kabupaten Sleman, dan bisa masuk ke wilayah PKN.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Danastri, S. (2011). "Analisis Penetapan Pusat-Pusat Pertumbuhan Baru di Kecamatan Harjamukti, Cirebon Selatan". Skripsi Sarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang.

Gulo, Y. (2015). "Identifikasi Pusat Pertumbuhan dan Hinterland Dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Nias". Widyariset, Volume 18 Nomor 1, Halaman 37-48.

Habib, S. (2016). "Analisis Kecamatan Dalam Rangka Penentuan Kecamatan Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Tulang Bawang Barat". Skripsi Sarjana, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Bandar Lampung, Lampung.

Hagget. (2001). Geography: A Global Synthesis. New Jersey: Pearson Education Ltd.

Haris, S., Pabottingi, M., Hidayat, S., Salamm, A., Ratnawati, T., & Romli, L. (2006).

Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press.

Hartono. (2007). Geografi: Jelajah Bumi dan Alam Semesta. Bandung: Citra Raya.

Jayadinata, J. (1992). Tata Guna Tanah Dalam Perancanaan Pedesaan Perkotaan dan

Wilayah Bandung. Bandung: ITB.

Kabupaten Sleman Dalam Angka 2016. (2016, Juli). Dipetik Oktober 22, 2016, dari Badan

Pusat Statistik Kabupaten Sleman: https://sleman.kab.bps.go.id/index.php/Publikasi

Kecamatan Dalam Angka 2016. (2016, Juli). Dipetik Oktober 22, 2016, dari Badan Pusat

Statistik Kabupaten Sleman: https://slemankab.bps.go.id/index.php/Publikasi

Nainggolan, P. T. (2013). "Analisis Penentuan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Simalungun". Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Volume 1 Nomer 12, Halaman 15-26.

Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No. 12 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031. (t.thn.). Sleman, Sleman: Pemerintah

Daerah Kabupaten Sleman.

Rondinelli, D. A. (1985). Applied Methods of Regional Analysis, The Spatial Dimensions of

Development Policy. Colorado: Westview Press.

Sjafrizal. (2008). Ekonomi Regional Teori dan Terapan. Padang: Baduose Media.

Tarigan, R. (2005). Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Aksara Bumi.

Todaro, & Smith. (2006). Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Erlangga.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 Tentang otonomi Daerah. (t.thn.). Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.

(25)

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. (t.thn.). Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. (t.thn.).

Departemen Dalam Negeri Indonesia.

Utari, E. S. (2015). "Analisis Sistem Pusat Pelayanan Pemukiman di Kota Yogyakarta Tahun 2014". Journal of Economics and Policy, Volume 8 Nomor 1, Halaman 1-88.

Utoyo, B. (2007). Geografi: Membuka Cakrawala Dunia. Bandung: PT. Setia Purna Inves.

Yani, A., & Ruhimat, M. (2007). Geografi: Menyingkap Fenomena Geosfer. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Gambar

Tabel Kesimpulan Data Jumlah Fasilitas Kabupaten Sleman Tahun 2015
Tabel 4.8  Tabel Skalogram
Tabel Orde dan Range  Orde  Range  Orde I  30 – 31  Orde II  28 – 29  Orde III  26 – 27  Orde IV  24 – 25  Orde V  22 – 23
Tabel Hasil Analisis dibandingkan Kebijakan RTRW

Referensi

Dokumen terkait

(2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga dilakukan atas permintaan 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu

Membuktikan asersi kelengkapan transaksi yang berkaitan dengan sedaan yang dicatat dalam catatan akuntansi dan kelengkapan saldo sediaan yang disajikan di neraca.. Membuktikan

Hal tersebut dapat dilihat pada tingginya ketidak hadiran/absen kryawan di lingkungan PT Surveyor Indonesia Cabang Rembang, yang berarti bahwa tingkat produktivitas kerja

Adapun prinsip-prinsip pengembangan KTSP menurut Permendiknas nomor 22 tahun 2006 sebagaimana dikutip dari Mulyasa (2006: 151-153) adalah sebagai berikut. 1) Berpusat pada

Already implementing integrated coastal management activities that included biodiversity conservation, livelihood development, and HIV/AIDS communication and planning, it made

Penyebab lain dari rendahnya kadar 25(OH)D serum pada penderita obesitas adalah kadar lemak yang tinggi menyebabkan bioavailabilitas vitamin D menurun dan kadar 25(OH)D

In Thailand, the United States Agency’s (USAID) Regional Development Mission/Asia (RDM/A) will support an integrated coastal management program (Post-Tsunami Sustainable

This form is to be used by licensees to report all transactions in which an unlicensed person acquired two or more pistols or revolvers or any combination of pistols or