• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI KHOIRUNNISYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI KHOIRUNNISYA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT

Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum

PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI

KHOIRUNNISYA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

KHOIRUNNISYA. Potensi Bakterisida Senyawa Metabolit Penicillium spp. terhadap Ralstonia solanacearum Penyebab Penyakit Layu Bakteri pada Cabai. Dibimbing oleh GIYANTO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara in-vitro dan in-vivo potensi senyawa metabolit Penicillium spp. sebagai bakterisida Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu bakteri pada cabai. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor mulai Februari hingga Mei 2009. Isolat yang digunakan antara lain Bacillus subtilis B-12, Pseudomonas fluorescens Pf P-24 dan Ralstonia solanacearum Rs-32 koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB, lima isolat Penicillium spp. (Penicillium

brevicompactum, P. chrysogenum, P. hirsutum, P. italicum dan P. viridicatum)

koleksi IPB culture collection, Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB. Dari lima isolat tersebut, tiga diantaranya (P. chrysogenum, P. brevicompactum dan P.

viridicatum) mampu menghambat pertumbuhan R. solanacearum. Pada uji dual culture yang paling efektif menghambat pertumbuhan R. solanacearum adalah

senyawa metabolit dari P. brevicompactum dengan waktu inkubasi selama 3 minggu dan pada konsentrasi 1,5% senyawa metabolit tersebut paling efektif menekan populasi R. solanacearum pada media cair. Pada uji in-vivo, baik pada perlakuan dengan atau tanpa aplikasi senyawa metabolit P. brevicompactum, tanaman tidak menunjukkan gejala penyakit layu bakteri. Namun perendaman benih menggunakan senyawa metabolit tersebut mampu meningkatkan daya berkecambah benih dengan pertumbuhan tanaman yang lebih bagus.

(3)

POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT

Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum

PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI

KHOIRUNNISYA

A34052674

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul Skripsi : POTENSI BAKTERISIDA SENYAWA METABOLIT

Penicillium spp. TERHADAP Ralstonia solanacearum

PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA CABAI

Nama Mahasiswa : KHOIRUNNISYA

NRP : A34052674

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Giyanto, MSi. NIP 19670709 199303 1 002

Diketahui,

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Dadang, MSc. NIP 19640204 199002 1 002

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bangkalan, 28 September 1987, dari pasangan H. Moh. Rifai dan Hj. Suhaimah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Penulis telah menyelesaikan pendidikan formal dari SMAN 1 Bangkalan pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur USMI dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB pada tahun 2006. Selama di IPB penulis pernah aktif dalam beberapa kegiatan organisasi, antara lain sebagai sekretaris Organisasi Mahasiswa Daerah Madura periode 2005-2006 dan 2006-2007 serta sebagai staf Departemen Keprofesian HIMASITA (Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman) periode 2007-2008. Dalam bidang akademik, penulis pernah aktif sebagai anggota pelaksana Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKMK) tahun 2007 dengan judul Minuman Sari Daun Asam sebagai Minuman Fungsional, ketua PKM bidang Penelitian (PKMP) tahun 2009 dengan judul Potensi Bakterisida Metabolit Sekunder Penicillium spp. terhadap Xanthomonas

campestris pv. oryzae Penyebab Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Padi serta

ketua PKM bidang Artikel Ilmiah (PKMAI) tahun 2009 dengan judul Potensi Bakterisida Filtrat dan Nonfiltrat Penicillium spp. terhadap Ralstonia

solanacearum Rs Cg-9 Penyebab Penyakit Layu Bakteri pada Cabai. Selain itu,

penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Dasar-Dasar Proteksi Tanaman tahun 2009 dan menjadi salah satu penyaji makalah Seminar Nasional Perlindungan Tanaman 2009 dengan tema Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi Perubahan Iklim Global dan Sistem Perdagangan Bebas.

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T untuk setiap petunjuk dan kemudahan yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman. Penulisan ini bertujuan untuk mempublikasikan hasil penelitian penulis yang berjudul Potensi Bakterisida Senyawa Metabolit Penicillium spp. terhadap

Ralstonia solanacearum Penyebab Penyakit Layu Bakteri pada Cabai.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor mulai Februari hingga Mei 2009. Sumber dana penelitian berasal dari Komisi Pendidikan Departemen Proteksi Tanaman.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua untuk dukungan dan kepercayaan yang telah diberikan, Dr. Ir. Giyanto, MSi. selaku pembimbing skripsi, Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc. selaku penguji tamu, dan Komisi Pendidikan Departemen Proteksi Tanaman IPB selaku penyandang dana penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutakin, MSi., Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, MAgr., rekan-rekan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB (Mbak Didi, Mbak Sak-Sak, Sulis, Ade, Eko, Ika, Methy, Reny dan Anggie), Hafsah, Dede, Rita, Mahathir, Uyuy dan semua rekan-rekan DPT 42, Pak De dan Mak De (Alm)., Icha, Mbak Unik, Mas Roni dan keluarga, Mas Ris dan keluarga, Pak Umar dan Keluarga, Om Rusdi dan keluarga, Mas Arif, Rusydan, Marconi, teman-teman di Harmony 2 (Verdha, Diah, Nina, Jazy, Santia, Riana, Septi, Ima, Metha, Sella, Nicha, Mbak Asih dan Sri) serta semua orang yang telah memberi bantuan dan dukungan selama penelitian.

Penulis berharap karya tulis ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini.

Bogor, Agustus 2009

(7)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Hipotesis ... 2 Manfaat ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Arti Penting Tanaman Cabai ... 4

Ralstonia solanacearum ... 5

Pengendalian secara Biologi (Biological Control) ... 6

Cendawan sebagai Agens Hayati ... 6

Penicillium spp. sebagai Agens Hayati ... 7

Senyawa Antibiotik ... 7

Peran Penisilin dalam Menghambat Sintesis Peptidoglikan Dinding Sel Bakteri ... 8

BAHAN DAN METODE ... 9

Tempat dan Waktu Penelitian ... 9

Isolat yang Digunakan ... 9

Pengaruh Senyawa Metabolit Penicillium spp. terhadap Penghambatan Pertumbuhan R. solanacearum secara in-vitro dengan Metode Dual Culture ... 9

Pengaruh Konsentrasi dan Waktu Inkubasi P. brevicompactum terhadap Penekanan Populasi R. solanacearum secara in-vitro pada Media Cair ... 11

Pengaruh Perendaman Benih dengan Senyawa Metabolit P. brevicompactum terhadap Daya Berkecambah Benih dan Pengaruh Frekuensi Aplikasi Senyawa Metabolit P. brevicompactum terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Penekanan Kejadian Penyakit Layu Bakteri R. solanacearum pada Tanaman Cabai Fase Pembibitan ... 12

(8)

Analisis Data ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

Pengaruh Senyawa Metabolit Penicillium spp. terhadap Penghambatan Pertumbuhan R. solanacearum secara in-vitro dengan Metode Dual Culture ... 14

Pengaruh Konsentrasi dan Waktu Inkubasi P. brevicompactum terhadap Penekanan Populasi R. solanacearum secara in-vitro pada Media Cair ... 18

Pengaruh Perendaman Benih dengan Senyawa Metabolit P. brevicompactum terhadap Daya Berkecambah Benih dan Pengaruh Frekuensi Aplikasi Senyawa Metabolit P. brevicompactum terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Penekanan Kejadian Penyakit Layu Bakteri R. solanacearum pada Tanaman Cabai Fase Pembibitan ... 20

KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

Kesimpulan ... 23

Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1

Pengaruh waktu inkubasi Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh filtrat dan

non-filtrat Penicillium spp. ……… 15

2 Pengaruh jenis isolat Penicillium spp. terhadap

penghambatan pertumbuhan R. solanacearum ………… 15

3

Pengaruh interaksi jenis isolat dengan waktu inkubasi

Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R.

solanacearum oleh filtrat Penicillium spp. ………… 16

4

Pengaruh interaksi jenis isolat dan waktu inkubasi

Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R.

solanacearum oleh non-filtrat Penicillium spp. ……. 17

5 Pengaruh tingkat konsentrasi filtrat P. brevicompactum

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1

Skema uji pengaruh senyawa metabolit Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum

secara in-vitro dengan metode dual culture ……… 10

2 Zona hambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh senyawa

metabolit P. brevicompactum pada uji dual culture………….. 14

3 Pengaruh penambahan filtrat P. brevicompactum terhadap

populasi R. solanacearum selama lima jam waktu inkubasi ... 20

4 Daya berkecambah benih pada 1 MST (a) dan pertumbuhan

tanaman cabai pada 5 MST (b) ……… 21

5 Pengaruh apliksi filtrat P. brevicompactum terhadap daya

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Hasil analisis ragam zona hambatan pertumbuhan R.

solanacearum oleh filtrat Penicillium spp. ………. 28

2 Hasil analisis ragam zona hambatan pertumbuhan R.

solanacearum oleh non-filtrat Penicillium spp. ……….. 28

3 Hasil analisis ragam penekanan populasi R. solanacearum

oleh filtrat P.brevicompactum ………. 29

4 Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai pada 1

MST ………. 29

5 Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai pada 2

MST ………. 29

6 Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai pada 3

MST ………. 30

7 Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai pada 4

MST ………. 30

8 Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai pada 5

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai merupakan salah satu tanaman sayuran penting di Indonesia. Menurut Basis Data Deptan (2009), luas panen cabai secara nasional meningkat dari 176.264 ha pada tahun 2003 menjadi 194.588 ha pada tahun 2004. Peningkatan produksi cabai juga mengikuti peningkatan luas panen tersebut. Pada tahun 2003 produksi cabai mencapai 1.066.722 ton dan pada tahun 2004 menjadi 1.100.514 ton.

Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor pembatas produksi cabai. Salah satu patogen pada cabai yang menimbulkan kerugian cukup besar adalah Ralstonia solanacearum – penyebab penyakit layu bakteri (Djafruddin 2004; Semangun 2007; Pracaya 2007). Menurut Agrios (2005), penyakit layu bakteri umum dijumpai di wilayah tropis, subtropis dan pada daerah dengan iklim hangat di wilayah dunia. Patogen ini menyerang lebih dari 50 spesies tanaman dan merupakan patogen penghuni tanah (Schaad et al. 2001).

R. solanacearum berkembang didalam jaringan tanaman setelah melalui

bagian interseluler tanaman dengan bantuan angin dan/ atau lubang alami, misalnya stomata. Secara alami, patogen ini menginfeksi akar dengan kisaran inang yang luas dan secara agresif mengkolonisasi jaringan xilem, menyebabkan layu letal yang diketahui sebagai penyakit layu bakteri (Meyer et al. 2006) bahkan tidak jarang dapat menyebabkan kematian pada inang (Schaad et al. 2001).

Beberapa cara pengendalian penyakit layu bakteri yang umum dilakukan antara lain dengan pengapuran pada lahan terinfestasi, rotasi tanaman dengan tanaman non-Solanaceae (Wiryanta 2002), menanam tanaman dari varietas yang resisten terhadap penyakit layu bakteri serta mencabut tanaman terserang (Tim Bina Karya Tani 2008).

Selain itu, beberapa agens hayati juga dapat megendalikan patogen penyebab penyakit layu bakteri tersebut. Nawangsih (2006) melaporkan bahwa

Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens (Nawangsih 2006; Ratdiana 2007)

(13)

Mikroorganisme lain yang juga berpotensi sebagai agens hayati adalah cendawan (Vey et al. dalam Butt 2006). Keunggulan cendawan sebagai agens hayati antara lain menghasilkan senyawa metabolit berupa antibiotik dan senyawa-senyawa lainnya. Cendawan yang telah diketahui sebagai penghasil senyawa antibiotik diantaranya adalah Penicillium dan Cephalosporium spp. (Bruehl 1987).

Penicillium merupakan penghasil penisilin, grup β-laktam antibiotik,

untuk menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Penghambatan sintesis peptidoglikan akan melemahkan bakteri karena dinding sel merupakan struktur penting bagi sistem pertahanan bakteri.

Beberapa spesies Penicillium dan senyawa metabolit sekundernya yang pernah diuji sebagai agens hayati antara lain P. frequentans terhadap Monilinia

laxa (Cal and Melgarejo 1994) dan terhadap busuk coklat pada anggerek

(Guijarno 2008). Fang and Tsao (1995) melaporkan bahwa P. funiculosum mampu menekan Phytophthora penyebab busuk akar pada Azalea and jeruk. Larena (2002) juga melaporkan P. oxalicum berpotensi sebagai agen biokontrol

Fusarium pada tomat. Selain itu, Nicoletti et al. (2007) menyebutkan bahwa

metabolit sekunder beberapa isolat P. canescens dan P. janczewskii bersifat fungitoksik dan berperan dalam mengendalikan Rhizoctonia solani.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai potensi senyawa metabolit beberapa spesies Penicillium sebagai bakterisida R.

solanacearum penyebab penyakit layu bakteri pada cabai secara in-vitro dengan

mengkaji pengaruh waktu inkubasi dan konsentrasi senyawa metabolit

Penicillium sp. terhadap penghambatan pertumbuhan dan penekanan populasi R. solanacearum serta penekanan kejadian penyakit layu bakteri secara in-vivo.

Hipotesis

Senyawa metabolit Penicillium spp. mampu menekan R. solanacearum penyebab penyakit layu bakteri pada cabai.

(14)

Manfaat

Mendapatkan informasi mengenai potensi seyawa metabolit Penicillium spp. sebagai bakterisida terhadap R. solanacearum penyebab penyakit layu bakteri pada cabai.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Arti Penting Tanaman Cabai

Cabai (Capsicum annuum) merupakan komoditas sayuran dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan dengan jenis sayuran lainnya. Hal ini terbukti dengan peningkatan luas panen cabai secara nasional. Pada tahun 2003 luas panen cabai mencapai 176.264 ha dan meningkat menjadi 194.588 ha pada tahun 2004 (Deptan 2009). Menurut basis data Deptan (2009), peningkatan produksi cabai juga mengikuti peningkatan luas panen tersebut. Pada tahun 2003 produksi cabai mencapai 1.066.722 ton dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 1.100.514 ton. Untuk cabai merah, penanaman pada musim kemarau akan meningkatkan produksinya (Tim Bina Karya Tani 2008).

Saat ini, cabai bersama 17 jenis sayuran komersial lainnya menempati urutan atas dalam skala prioritas pusat penelitian dan pengembangan hortikultura di Indonesia. Daerah-daerah pusat produksi cabai di Indonesia, mulai dari urutan yang paling besar adalah daerah-daerah di Jawa Timur, Padang dan Bengkulu (Tim Bina Karya Tani 2008).

Umumnya, masyarakat menkonsumsi cabai sebagai bahan penyedap (bumbu dapur), penggugah selera makan (appetizer) dan sebagai media untuk terapi kesehatan (Wiryanta 2008). Selain manfaat yang telah disebutkan, Tim Bina Karya Tani (2008) juga menyebutkan beberapa manfaat cabai lainnya, antara lain sebagai bahan baku industri makanan jadi, bahan minyak atsiri, bahan ramuan obat tradisional dan sebagai bahan baku kosmetik.

Menurut Wiryanta (2008), khasiat cabai yang begitu banyak tersebut disebabkan oleh senyawa kapsaikin (C18 H 27NO3) yang terkandung di dalam buah

cabai. Kapsaikin yang merupakan unsur aktif dan pokok yang berkhasiat terdiri dari lima komponen kapsaikinoid, yaitu nordihidro kapsaikin, kapsaikin, dihidro kapsaikin, homo kapsaikin, dan homo dihidro kapsaikin. Senyawa-senyawa tersebut bisa dijadikan obat untuk pengobatan sirkulasi darah yang tidak lancar ditangan, kaki dan jantung.

Selain mengandung kapsaikin, cabai juga mengandung kapsikidin. Senyawa yang terdapat dalam biji ini berguna untuk memperlancar sekresi asam

(16)

lambung dan mencegah infeksi sistem pencernaan. Senyawa lain yang juga dimiliki cabai adalah kapsikol. Senyawa ini bisa berfungsi sebagai pengganti minyak kayu putih yang berguna untuk mengurangi pegal-pegal, rematik, sakit gigi, sesak napas dan gatal-gatal. Selain senyawa-senyawa tersebut, cabai juga mengandung protein, vitamin A, C, B1, dan B2 (Wiryanta 2008).

Ralstonia solanacearum

Ralstonia solanacearum merupakan bakteri patogen gram negatif yang

menyebabkan layu pada lebih dari 50 famili tanaman, terutama tanaman dari famili Solanaceae. Inangnya antara lain kacang, kentang, tomat, tembakau, pisang, dan beberapa tanaman pohon-pohonan yang memiliki nilai ekonomi penting lainnya (Schaad et al. 2001). Selain itu, patogen ini juga menyerang tanaman cabai (Djafruddin 2004; Semangun 2007; Pracaya 2007).

Penyakit layu bakteri umum dijumpai pada tanaman tropis dan di daerah dengan iklim yang lebih hangat (Agrios 2005). Penyakit layu bakteri pada tanaman Solanaceae terjadi sebagai penyakit layu yang tiba-tiba. Jika menginfeksi tanaman muda maka tanaman akan segera mati. Pada tanaman yang lebih tua, pertama akan menunjukkan gejala layu pada daun yang lebih muda, kemudian seluruh tanaman akan layu secara permanen hingga akhirnya mati.

R. solanacearum menginfeksi jaringan xilem pada tanaman, bersifat

nonmotil pada tanaman, namun pada media pertumbuhan bersifat motil (Kersten

et al. 2001). R. solanacearum bertahan melewati musim dingin didalam tanaman

sakit atau sisa-sisa tanaman, pada organ propagatif vegetatif, seperti pada umbi, dan juga mampu bertahan pada tanah. Bakteri menyebar melalui air tanah, benih yang terinfeksi atau terkontaminasi, luka yang terbentuk pada saat pemindahan tanaman, dan melalui alat-alat pertanian yang terkontaminasi (Schaad et al. 2001). Upaya yang umum dilakukan untuk mengendalikan penyakit layu bakteri antara lain dengan pengapuran pada lahan terinfestasi, rotasi tanaman dengan tanaman non-Solanaceae (Wiryanta 2002), menanam tanaman dari varietas yang resisten terhadap penyakit layu bakteri dan mencabut tanaman terserang (Tim Bina Karya Tani 2008).

(17)

Selain beberapa cara pengendalian yang telah disebutkan, beberapa agens hayati juga mampu menekan R. solanacearum. Agens hayati yang efektif menekan R. solanacearum, penyebab penyakit layu bakteri antara lain Bacillus

subtilis (Nawangsih 2006) dan Pseudomonas fluorescens (Nawangsih 2006;

Ratdiana 2007).

Pengendalian secara Biologi (Biological Control)

Pengendalian secara biologi (biological control) adalah pengendalian suatu penyakit menggunakan makhluk hidup yang bukan atau selain dari tanaman inang dan patogen yang menyebabkan penyakit tersebut. Pengendalian dengan cara ini dapat diatur (buatan manusia) dan terjadi secara alami (Djafruddin 2004) .

Baker and Cook (1996) menyebutkan ada empat prinsip pengendalian biologi sebagai mekanisme proteksi materi tanaman di masa depan. Pertama, antibiois sebagai senjata pengendalian biologi. Kedua, produksi strain antibiotik yang digunakan dalam pengendalian biologi harus bersifat sebagai koloni yang agresif di permukaan tanaman atau titik infeksi. Ketiga, pengendalian hayati dapat dikembangkan melalui manipulasi genetik mikroorganisme. Keempat,

pengendalian hayati yang diperoleh dari antibiotik spesifik dapat menimbulkan risiko resistensi populasi patogen atau insensitivitas terhadap antibiotik.

Cendawan sebagai Agens Hayati

Salah satu keunggulan cendawan sebagai agens hayati adalah kemampuannya menghasilkan senyawa metabolit yang bersifat toksik. Senyawa tersebut memiliki berat molekul yang rendah dan aktif pada konsentrasi rendah (Vey et al. 2006).

Vey et al. (2006) menyatakan bahwa metabolit antarcendawan memiliki perbedaan fungsi, tergantung pada relung ekologi dari cendawan yang bersangkutan. Beberapa metabolit merupakan senyawa antibiotik yang berperan untuk melindungi agens hayati tersebut melawan mikroorganisme antagonis, atau untuk mencegah pertumbuhan saprofitik suatu mikroba setelah membunuh inangnya dan hal ini dapat meningkatkan ketahanan agens hayati tersebut. Cendawan yang telah diketahui sebagai penghasil senyawa antibiotik diantaranya adalah Penicillium dan Cephalosporium spp. (Bruehl 1987).

(18)

Penicillium spp. sebagai Agens Hayati

Alexopoulos et al. (1996) menyebutkan bahwa Penicillium merupakan salah satu genus dari cendawan Deuteromycetes (imperfect fungi). Kelompok Deuteromycetes disebut sebagai imperfect fungi karena reproduksi dan struktur seksualnya jarang dibentuk. Deuteromycetes membentuk spora aseksual yang disebut sebagai konidia. Miselium cendawan ini berkembang baik, bersepta dan bercabang.

Dalam bidang patologi tanaman, beberapa spesies Penicillium berperan sebagai penyebab beberapa penyakit tanaman. Gejala yang umum ditimbulkan oleh patogen dari genus ini berupa busuk buah (Agrios 2005).

Selain memiliki dampak negatif, Penicillium juga memiliki dampak positif. Aktivitas kimia Deuteromycetes memiliki peranan penting bagi makhluk hidup lain, termasuk manusia, karena diketahui sebagai penghasil metabolit sekunder (Alexopoulos et al. 1996). Penicillium chrysogenum dilaporkan telah digunakan dalam beberapa produk komersial kimia, termasuk antibiotik. Selain itu, beberapa spesies Penicillium juga memiliki peranan penting dalam produksi makanan.

Senyawa Antibiotik

Menurut Bruehl (1987), organisme yang memproduksi antibiotik yang kuat umumnya ditemukan di tanah. Actinomycetes, bakteri sejati dan cendawan, umumnya Penicillium dan Cephalosporium spp. , merupakan organisme yang umum diketahui sebagai penghasil antibiotik. Antibiotik merupakan produk limbah suatu organisme yang aktif pada konsentrasi rendah, berubah dalam substrat pH dan dapat menghambat pertumbuhan organisme lain yang tidak sesuai dengan antibiotik tertentu.

Beberapa patogen memproduksi antibiotik pada sel inang sebelum kematian inang, dan pada beberapa kasus antibiotik bersifat fitotoksik. Secara umum, penghasil antibiotik bersifat toleran terhadap antibiotik (Bruehl 1987).

Sebagian besar organisme memproduksi antibiotik setelah melewati perkembangan vegetatif atau ketika kondisi lingkungan kurang mendukung untuk perkembangan organisme selanjutnya (Bruehl 1987). Beberapa berpendapat

(19)

bahwa antibiotik merupakan produk buangan yang dapat bersifat toksik pada organisme lain. Misalnya antibiotik penisilin yang diproduksi oleh cendawan dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri. Secara umum, spesies-spesies dari Xanthomonas sangat sensitif terhadap antibiotik, disusul oleh Pseudomonas spp. dan yang paling toleran adalah Erwinia spp. (Bruehl 1987).

Peran Penisilin dalam Menghambat Sintesis Peptidoglikan Dinding Sel Bakteri

Penisilin merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh

Penicillium spp. Senyawa ini merupakan grup β-laktam antibiotik yang digunakan

untuk menghambat pembentukan peptidoglikan dinding sel bakteri. β-laktam antibiotik merupakan bakterisida, bekerja dengan cara menghambat sintesis peptidoglikan yang merupakan penyusun dinding sel bakteri.

Bagian β-laktam dari penisilin mengikat enzim DD-transpeptidase yang mengelilingi molekul peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Dengan kata lain, antibiotik menyebabkan sitolisis atau kematian serta tekanan osmotik terhadap organisme sasaran (dalam hal ini bakteri).

Antibiotik penisilin mengikat secara irreversibel dan menghambat aktivitas enzim transpeptidase dengan membentuk enzim intermediat penisilloyl yang sangat stabil. Karena interaksi antara penisilin dan transpeptidase inilah enzim tersebut dikenal sebagai penicillin-binding protein (penisilin-pengikat protein).

Pada awalnya, β-laktam antibiotik hanya aktif untuk melawan bakteri gram positif, namun dalam perkembangan terakhir, β-laktam antibiotik juga efektif melawan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif disebut protoplas setelah kehilangan dinding selnya sedangkan bakteri gram negatif tidak kehilangan seluruh dinding selnya dan disebut sferoplas setelah perlakuan dengan penisilin (Wikipedia 2009).

(20)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor mulai Februari hingga Mei 2009.

Isolat yang Digunakan

Isolat bakteri Bacillus subtilis B-12, Pseudomonas fluorescens Pf P-24 dan

Ralstonia solanacearum Rs-32 koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan

Departemen Proteksi Tanaman IPB, lima isolat Penicillium spp. (Penicillium

chrysogenum, P. brevicompactum, P. hirsutum, P. italicum dan P. viridicatum)

koleksi IPB culture collection, Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB.

Berdasarkan uji pendahuluan diperoleh informasi bahwa tiga dari lima isolat Penicillium spp. yang digunakan (P. chrysogenum, P. brevicompactum dan

P. viridicatum) mampu menghambat pertumbuhan R. solanacearum. Oleh karena

itu, hanya ketiga isolat tersebut yang digunakan untuk pengujian selanjutnya.

Pengaruh Senyawa Metabolit Penicillium spp. terhadap Penghambatan Pertumbuhan R. solanacearum secara in-vitro dengan Metode Dual Culture

Rancangan percobaan yang digunakan pada uji dual culture R.

solanacearum baik dengan filtrat maupun non-filtrat Penicillium spp. adalah

Rancangan Faktorial dalam Rancagan Acak Lengkap dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah jenis isolat Penicillium spp. yang terdiri dari tiga taraf, yaitu P.

brevicompactum, P. chrysogenum dan P. viridicatum. Faktor kedua adalah waktu

inkubasi Penicillium spp. yang terdiri dari enam taraf, yaitu 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 minggu waktu inkubasi. Percobaan diulang secara acak dengan tiga ulangan.

Tiga isolat Penicillium spp. yang terbukti mampu menghambat pertumbuhan R. solanacearum pada uji pendahuluan (P. chrysogenum, P.

brevicompactum dan P. viridicatum) diremajakan pada media Potato Dextrose Agar (PDA: 40 g dextrose; 200 g kentang; 32 g agar; 1 l aquades) kemudian

(21)

Penicillium diinkubasi di dalam tabung erlenmeyer 250 ml yang berisi 50 ml Potato Dextrose Broth (Kompsisi PDB = komposisi PDA, tanpa agar).

Pengujian ini menggunakan filtrat dan non-filtrat Penicillium spp. Filtrat

Penicillium spp. diperoleh dengan cara larutan dari masing-masing hasil inkubasi Penicillium spp. disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rotation per minute (rpm)

selama 10 menit sehingga pelet (endapan) dan supernatan (cairan) terpisah. Non-filtrat Penicillium spp. merupakan suspensi hasil inkubasi Penicillium spp. tanpa disentrifugasi.

R. solanacearum berumur 1 hari pada media Nutrient Agar (NA: 3 g beef extract, 5 g peptone, 15 g agar, 1 l aquades) diinkubasi kedalam media Luria Broth (LB: 10 gram Tryptone, 5 gram NaCl, 5 gram Yeast extract, 1 l aquades) 10

ml selama 12 jam. Setelah 12 jam, 100 µl biakan R. solanacearum diencerkan kedalam 9,9 ml media LB. Dari hasil pengenceran diambil 100 µl untuk ditumbuhkan pada media NA dengan metode sebar menggunakan glass beed steril kemudian dikeringanginkan. Setelah kering, diatas media berpatogen diletakkan 7 kertas saring steril. Diatas tiga kertas saring pertama diteteskan 20 µl filtrat

Penicillium spp., masing-masing sebagai ulangan ke-1, ke-2 dan ke-3. Diatas tiga

kertas saring berikutnya diteteskan 20 µl non-filtrat Penicillium spp., masing-masing sebagai ulangan ke-1, ke-2 dan ke-3 dan diatas kertas saring terakhir diteteskan 20 µl media Luria broth (LB) sebagai perlakuan kontrol. Pengamatan penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh filtrat dan non-filtrat

Penicillium spp. dilakukan 24 jam setelah perlakuan dengan mengukur lebar zona

bening yang terbentuk disekitar kertas saring.

Gambar 1 Skema uji pengaruh senyawa metabolit Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum secara in-vitro dengan metode dual culture

Diteteskan LB

Diteteskan filtrat Penicillium spp.

(22)

Pengaruh Konsentrasi dan Waktu Inkubasi P. brevicompactum terhadap Penekanan Populasi R. solanacearum secara in-vitro pada Media Cair

Rancangan percobaan yang digunakan pada uji penekanan populasi R.

solanacearum pada media cair adalah Rancangan Faktorial dalam Rancagan Acak

Lengkap dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi P. brevicompactum yang terdiri dari empat taraf, yaitu 0, 0,5, 1 dan 1,5%. Faktor kedua adalah waktu inkubasi larutan R. solanacearum yang ditambah dengan filtrat P.

brevicompactum, yang terdiri dari enam taraf, yaitu 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 jam waktu

inkubasi. Percobaan diulang secara acak dengan dua ulangan.

Filtrat dari isolat dan waktu inkubasi P. brevicompactum yang membentuk zona hambatan terlebar pada uji dual culture digunakan pada pengujian penekanan populasi R. solanacearum pada media cair. Sebanyak 102 populasi R.

solanacearum per ml ditumbuhkan bersama dengan filtrat P. brevicompactum

didalam tabung erlenmeyer 500 ml yang berisi 100 ml media 523 (Sukrosa 10 g;

Yeast extract 4 g; Casein hydrolysate 8 g; K2HPO4 2 g; MgSO4.7H2O 0,3 g;

Aquades 1 l). Perhitungan populasi bakteri R. solanacearum dilakukan setiap jam sejak 0 hingga 5 jam waktu inkubasi dengan metode pencawanan, yaitu sebanyak 100 µl larutan hasil inkubasi disebar diatas media NA menggunakan glass beed steril. Pengamatan jumlah koloni R. solanacearum yang tumbuh pada media NA dilakukan 24 jam setelah perlakuan dan populasi bakteri/ml dihitung dengan rumus:

P = x p.v

Keterangan: P = populasi bakteri per ml

x = koloni tunggal R. solanacearum yang tumbuh pada media NA

p = tingkat pengenceran

(23)

Pengaruh Perendaman Benih dengan Senyawa Metabolit P. brevicompactum terhadap Daya Berkecambah Benih dan Pengaruh Frekuensi Aplikasi Senyawa Metabolit P. brevicompactum terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Penekanan Kejadian Penyakit Layu Bakteri R. solanacearum pada Tanaman Cabai Fase Pembibitan

Rancangan percobaan yang digunakan pada uji pengaruh perendaman benih dengan senyawa metabolit P. brevicompactum terhadap daya berkecambah benih adalah Rancangan Faktorial dalam Rancagan Acak Lengkap dengan satu faktor. Faktor perlakuan terdiri dari dua taraf, yaitu perlakuan perendaman benih tanpa penambahan filtrat P. brevicompactum (P0) dan perendaman benih dengan penambahan filtrat P. brevicompactum (P1). Percobaan diulang secara acak dengan empat ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 50 benih uji.

Rancangan percobaan yang digunakan pada uji pengaruh frekuensi aplikasi senyawa metabolit P. brevicompactum terhadap pertumbuhan tanaman dan penekanan kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum adalah Rancangan Faktorial dalam Rancagan Acak Lengkap dengan satu faktor. Faktor perlakuan terdiri dari enam taraf, yaitu perlakuan perendaman benih tanpa penambahan filtrat P. brevicompactum (P0), perendaman benih dengan penambahan filtrat P.

brevicompactum (P1), perendaman benih dengan penambahan filtrat P. brevicompactum dan penyemprotan dengan filtrat P. brevicompactum pada 1

MST (P2), perendaman benih dengan penambahan filtrat P. brevicompactum, penyemprotan dengan filtrat P. brevicompactum pada 1 dan 2 MST (P3), perendaman benih dengan penambahan filtrat P. brevicompactum, penyemprotan dengan filtrat P. brevicompactum pada 1, 2 dan 3 MST (P4), perendaman benih dengan penambahan filtrat P. brevicompactum, penyemprotan dengan filtrat P.

brevicompactum pada 1, 2, 3 dan 4 MST (P5). Percobaan diulang secara acak

dengan empat ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 50 benih uji.

Tingkat konsentrasi P. brevicompactum yang paling efektif menekan populasi R. solanacearum secara vitro pada media cair digunakan untuk uji

in-vivo. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah steril dan kompos sapi

steril dengan perbandingan 1:1. Sebanyak 1 kg media tanam dimasukkan kedalam baki yang telah dilubangi bagian bawahnya kemudian pada media tanam tersebut

(24)

diinokulasikan 106 populasi R. solanacearum per gram media tanam. Benih cabai yang digunakan adalah benih cabai merah keriting varietas TM 999. Sebelum ditanam, benih disterilisasi permukaan menggunakan kloroks 1% kemudian dibilas dengan air steril. Selanjutnya, benih direndam dengan atau tanpa penambahan filtrat P. brevicompactum selama lima jam.

Kegiatan pemeliharaan dan pengamatan dilakukan hingga tanaman berumur 5 MST. Kegiatan pemeliharaan berupa penyiraman dilakukan setiap hari sedangkan pengamatan dilakukan setiap minggu. Parameter yang diamati adalah persentase perkecambahan benih, tinggi tanaman dan tingkat kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman uji.

Analisis Data

Data pengaruh senyawa metabolit Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solaacearum secara in-vitro dengan metode dual

culture, pengaruh konsentrasi dan waktu inkubasi P. brevicompactum terhadap

penekanan populasi R. solanacearum secara in-vitro pada media cair serta pengaruh frekuensi aplikasi senyawa metabolit P. brevicompactum terhadap pertumbuhan tanaman dan penekanan kejadian penyakit layu bakteri R.

solanacearum secara in-vivo pada tanaman cabai fase pembibitan diolah

menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi 6.12. Perlakuan yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata α = 0,05. Microsoft Excell juga digunakan untuk mengolah data uji in-vivo, yaitu pengaruh perendaman benih dengan senyawa metabolit P. brevicompactum terhadap daya berkecambah benih dan pengaruh frekuensi aplikasi senyawa metabolit P. brevicompactum terhadap pertumbuhan tanaman cabai fase pembibitan.

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Senyawa Metabolit Penicillium spp. terhadap Penghambatan Pertumbuhan R. solanacearum secara in-vitro dengan Metode Dual Culture

Filtrat dan non-filtrat Penicillium spp. yang membentuk zona bening pada uji dual culture mengindikasikan penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh senyawa metabolit Penicillium spp. secara in-vitro. Zona bening tersebut merupakan zona hambatan pertumbuhan R. solanacearum. Semakin lebar zona hambatan pertumbuhan R. solanacearum yang terbentuk, semakin besar potensi senyawa metabolit Penicillium spp. sebagai agens hayati patogen penyebab penyakit layu bakteri tersebut.

Gambar 2 Zona hambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh senyawa metabolit

P. brevicompactum pada uji dual culture

Hasil analisis sidik ragam pengaruh waktu inkubasi dan jenis isolat

Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum

menunjukkan bahwa waktu inkubasi Penicillium spp. pada media PDB berpengaruh terhadap keefektifan penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh filtrat dan non-filtrat Penicillium spp. Tabel 1 menyajikan pengaruh waktu inkubasi Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh filtrat dan non-filtrat Penicillium spp.

Zona hambatan oleh filtrat Penicillium sp. Perlakuan kontrol (tidak terbentuk zona hambatan)

(26)

Tabel 1. Pengaruh waktu inkubasi Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh filtrat dan non-filtrat Penicillium spp.

Waktu inkubasi (minggu) Zona hambatan oleh Penicillium spp. (cm)

Fltrat Non-filtrat 1 1,35ab 1,59a 2 1,09abc 0,91bc 3 1,59a 1,46ab 4 0,84bcd 0,61cd 5 0,43d 0,15d 6 0,71cd 0,61cd

*Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05)

Waktu inkubasi Penicillium spp. selama tiga minggu pada media PDB menghasilkan filtrat yang paling efektif menghambat pertumbuhan R.

solanacearum sedangkan waktu inkubasi Penicillium spp. selama satu minggu

pada media PDB menghasilkan non-filtrat yang paling efektif menghambat pertumbuhan R. solanacearum. Baik filtrat maupun non-filtrat dari Penicillium spp. dengan lima minggu waktu inkubasi pada media PDB kurang efektif menghambat pertumbuhan R. solanacearum.

Selain waktu inkubasi, jenis isolat Penicillium spp. juga mempengaruhi keefektifan penghambatan pertumbuhan R. solanacearum. Tabel 2 menyajikan pengaruh jenis isolat Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R.

solanacearum oleh filtrat dan non-filtrat Penicillium spp.

Tabel 2. Pengaruh jenis isolat Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum

Isolat Penicillium spp. Zona hambatan rata-rata (cm) Filtrat Non-filtrat

P. brevicompactum 1,51a 1,21a

P. chrysogenum 0,93a 0,69b

P. viridicatum 0,92a 0,76b

*Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05)

(27)

Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis isolat Penicillium spp. tidak menunjukkan keefektifan yang berbeda nyata terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh filtrat Penicillium spp. Namun, berdasarkan nilai rataan pada tabel 2, filtrat P. brevicompactum memiliki tingkat keefektifan paling tinggi (1,51 cm) daripada filtrat P. chrysogenum (0,93 cm) dan P.

viridicatum (0,92 cm) dalam menghambat pertumbuhan R. solanacearum.

Sebaliknya, jenis isolat Penicillium spp. menunjukkan keefektifan yang berbeda nyata terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh non-filtrat Penicillium spp. Non-non-filtrat P. brevicompactum paling efektif menghambat pertumbuhan R. solanacearum (1,21 cm) daripada non-filtrat P. viridicatum (0,76 cm) dan non-filtrat P. chrysgenum (0,69 cm).

Walaupun jenis isolat Penicillium spp. tidak mempengaruhi keefektifan filtrat Penicillium spp. dalam menghambat pertumbuhan R. solanacearum, namun terdapat interaksi antara jenis isolat dengan waktu inkubasi Penicillium spp. dalam menghambat pertumbuhan R. solanacearum. Tabel 3 menyajikan pengaruh interaksi tersebut.

Tabel 3. Pengaruh interaksi jenis isolat dengan waktu inkubasi Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh filtrat Penicillium spp.

Waktu inkubasi (minggu)

Zona hambatan oleh filtrat (cm)

P. brevicompactum P. chrysogenum P. viridicatum

1 0,85bcdefg 1,44abc 1,75ab

2 1,11bcdef 1,07bcdef 1,08bcdef

3 2,19a 1,33abcd 1,26abcde

4 0,34efg 1,08bcdef 1,10bcdef

5 0,27fg 0,60cdefg 0,40defg

6 2,13a 0,00g 0,00g

*Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05)

(28)

Tabel 3 menunjukkan bahwa filtrat dari isolat Penicillium spp. dengan beberapa waktu inkubasi memiliki tingkat keefektifan yang berbeda dalam menghambat pertumbuhan R. solanacearum. Filtrat dari isolat P. brevicompactum dengan waktu inkubasi selama tiga dan enam minggu paling efektif menghambat pertumbuhan R. solanacearum daripada kombinasi perlakuan lainnya. Sebaliknya, pada minggu keenam waktu inkubasi, filtrat dari isolat P. chrysogenum dan P.

viridicatum tidak mampu menghambat pertumbuhan R. solanacearum.

Interaksi jenis isolat dan waktu inkubasi Penicillium spp. juga berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh non-filtrat

Penicillium spp. Tabel 4 menyajikan pengaruh interaksi tersebut.

Tabel 4. Pengaruh interaksi jenis isolat dan waktu inkubasi Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh non-filtrat

Penicillium spp.

Waktu inkubasi (minggu)

Zona hambatan oleh non-filtrat (cm)

P. brevicompactum P. chrysogenum P. viridicatum

1 1,61abc 1,55abc 1,62abc

2 0,66cde 1,00bc 1,05bc

3 2,38a 0,90bcde 1,12bc

4 0,32de 0,69cde 0,80cde

5 0,45de 0,00e 0,00e

6 1,84ab 0,00e 0,00e

*Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05)

Tabel 4 menunjukkan bahwa non-filtrat dari isolat Penicillium spp. dengan beberapa waktu inkubasi memiliki tingkat keefektifan yang berbeda dalam menghambat pertumbuhan R. solanacearum. Non-filtrat dari P. brevicompactum dengan waktu inkubasi selama tiga minggu paling efektif menghambat pertumbuhan R. solanacearum daripada kombinasi perlakuan lainnya. Pada minggu ke-5 waktu inkubasi, non-filtrat P. brevicompactum masih mampu menghambat pertumbuhan R. solanacearum sedangkan non-filtrat P. chrysogenum dan P. viridicatum sudah tidak mampu menghambat pertumbuhan R. solanacearum.

(29)

Kemampuan Penicillium spp. dalam membentuk zona hambatan pertumbuhan R. solanacearum merupakan indikator bahwa senyawa metabolit

Penicillium spp. mengandung senyawa penghambat pertumbuhan (antibiotik) bagi R. solanacearum. Menurut Bruehl (1987), sebagian besar organisme

memproduksi antibiotik setelah melewati perkembangan vegetatif atau ketika kondisi lingkungan kurang mendukung untuk perkembangan organisme selanjutnya.

Sebagian besar senyawa metabolit yang diproduksi Penicillium spp. berupa penisilin. Penisilin merupakan grup β-laktam antibiotik (Hoff , Poggeler and Kuch 2008) yang berperan sebagai antibakteri dengan cara mencegah pembentukan peptidoglikan dinding sel bakteri. Pada bakteri gram negatif, seperti

R. solanacearum, peptidoglikan merupakan bagian kecil dari keseluruhan struktur

dinding sel bakteri sehingga sebagian besar struktur dinding sel masih utuh setelah aplikasi dengan penisilin. Walaupun demikian, tanpa peptidoglikan pembentukan dinding sel bakteri secara keseluruhan akan terhambat. Penghambatan pembentukan dinding sel bakteri tersebut berimplikasi terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri secara keseluruhan karena dinding sel merupakan struktur esensial bagi pertumbuhan dan sistem pertahanan bakteri.

Pada P. brevicompactum dan P. viridicatum, selain penisilin, dilaporkan ada senyawa metabolit lain yang dihasilkan, yaitu asam mikofenolik pada P.

brevicompactum (Rovirosa et al. 2006), asam penisilik, asam terestrik dan

xanthomegnin pada P. viridicatum (Khaddor et al. 2007). Asam mikofenolik dilaporkan mampu menyebabkan immunosuppresi sehingga menyebabkan sistem ketahanan organisme lawan menurun (Rovirosa et al. 2006).

Pengaruh Konsentrasi dan Waktu Inkubasi P. brevicompactum terhadap Penekanan Populasi R. solanacearum secara in-vitro pada Media Cair

Pengujian pengaruh senyawa metabolit Penicillium spp. terhadap penghambatan pertumbuhan R. solanacearum dengan metode dual culture secara

in-vitro menghasilkan informasi bahwa senyawa metabolit dari P. brevicompactum dengan waktu inkubasi selama tiga minggu paling efektif

(30)

penekanan populasi R. solanacearum pada media cair menggunakan filtrat dari P.

brevicompactum dengan waktu inkubasi selama 3 minggu.

Hasil pengujian penekanan populasi R. solanacearum menunjukkan bahwa penambahan filtrat P. brevicompactum dengan konsentrasi 0,5 – 1,5% pada media tumbuh R. solanacearum mampu menekan populasi bakteri tersebut. Tabel 5 menyajikan pengaruh tingkat konsentrasi filtrat P. brevicompactum terhadap penekanan populasi R. solanacearum.

Tabel 5. Pengaruh tingkat konsentrasi filtrat P. brevicompactum terhadap penekanan populasi R. solanacearum

Konsentrasi filtrat Log populasi (cfu/ml)

0% 7,79a

0,5% 7,62a

1% 7,22a

1,5% 5,75b

*Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05)

Tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi filtrat P. brevicompactum berbanding terbalik dengan tingkat populasi R. solanacearum. Semakin tinggi konsentrasi filtrat P. brevicompactum pada media tumbuh R. solanacearum, semakin kecil tingkat populasi R. solanacearum pada media tumbuhnya. Tabel 5 menunjukkan bahwa konsentrasi filtrat P. brevicompactum sebanyak 1,5% paling efektif menekan P. brevicompactum pada media cair.

Selain tingkat konsentrasi filtrat P. brevicompactum, waktu inkubasi media tumbuh R. solanacearum dengan atau tanpa penambahan filtrat P.

brevicompactum dan interaksi antara kedua faktor tersebut juga mempengaruhi

penekanan populasi R. solanacearum pada media cair. Gambar 3 menyajikan grafik penekanan populasi R. solanacearum dengan atau tanpa penambahan filtrat

(31)

Gambar 3 Pengaruh penambahan filtrat P. brevicompactum terhadap populasi R. solanacearum selama lima jam waktu inkubasi

Gambar 3 menunjukkan bahwa pada 3 jam waktu inkubasi populasi R.

solanacearum dengan penambahan filtrat sebanyak 1 dan 1,5% mulai menurun

sedangkan pada perlakuan kontrol dan dengan penambahan filtrat sebanyak 0,5% populasi R. solanacearum mulai menurun pada 4 jam waktu inkubasi. Secara umum, populasi R. solanacearum semakin menurun seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi dan mencapai titik terendah pada 5 jam waktu inkubasi.

Pengaruh Perendaman Benih dengan Senyawa Metabolit P. brevicompactum terhadap Daya Berkecambah Benih dan Pengaruh Frekuensi Aplikasi Senyawa Metabolit P. brevicompactum terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Penekanan Kejadian Penyakit Layu Bakteri R. solanacearum pada Tanaman Cabai Fase Pembibitan

Pengujian pengaruh konsentrasi dan lama inkubasi P. brevicompactum terhadap penekanan populasi R. solanacearum secara in-vitro pada media cair menghasilkan informasi bahwa penambahan filtrat P. brevicompactum sebanyak 1,5% pada media pertumbuhan R. solanacearum paling efektif menekan populasi

R. solanacearum. Oleh karena itu, pada pengujian in-vivo menggunakan

konsentrasi filtrat sebanyak 1,5%.

Pengamatan selama 5 MST terhadap tanaman uji menunjukkan tidak ada tanaman yang terserang penyakit layu bakteri baik pada perlakuan kontrol maupun dengan aplikasi filtrat P. brevicompactum, sehingga belum ada informasi mengenai kemampuan senyawa metabolit P. brevicompactum dalam menekan kejadian penyakit layu bakteri. Namun, dari hasil pengamatan diperoleh informasi

(32)

bahwa aplikasi filtrat P. brevicompactum berpengaruh terhadap daya berkecambah benih dan pertumbuhan tanaman cabai. Gambar 4 menyajikan daya berkecambah benih pada 1 MST dan pertumbuhan tanaman cabai pada 5 MST serta Gambar 5 menyajikan pengaruh senyawa metabolit P. brevicompactum terhadap daya berkecambah benih dan pertumbuhan tanaman.

Gambar 4 Daya berkecambah benih pada 1 MST (a) dan pertumbuhan tanaman cabai pada 5 MST (b)

a b

b a

(33)

Gambar 5 Pengaruh apliksi filtrat P. brevicompactum terhadap daya berkecambah benih (a) dan pertumbuhan tanaman cabai (b)

Gambar 4a menyajikan pengaruh perendaman benih dengan penambahan filtrat P. brevicompactum terhadap daya berkecambah benih pada 1 MST. Pada 1 MST, persentase daya berkecambah benih pada perlakuan kontrol (perendaman benih tanpa penambahan filtrat P. brevicompactum) lebih besar daripada persentase daya berkecambah benih pada perlakuan perendaman benih dengan penambahan filtrat P. brevicompactum. Namun pada 2 MST, perendaman benih dengan penambahan filtrat P. brevicompactum menunjukkan persentase daya berkecambah yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Perendaman benih dengan penambahan filtrat P. brevicompactum mampu meningkatkan daya berkecambah benih sebesar 10,77% (Gambar 5a).

Gambar 5b menunjukkan pengaruh frekuensi aplikasi filtrat P.

brevicompactum terhadap pertumbuhan tanaman cabai fase pembibitan. Pada 1

MST, tanaman menunjukkan pertumbuhan yang seragam baik pada perlakuan kontrol maupun pada perlakuan penyemprotan dengan penambahan filtat P.

brevicompactum. Setelah tanaman mencapai 5 MST, aplikasi filtrat P. brevicompactum sebanyak tiga kali menunjukkan pertumbuhan tanaman yang

lebih bagus daripada perlakuan lainnya.

(34)

KESIMPULAN

Isolat Penicillium spp. yang menghasilkan senyawa metabolit paling efektif menghambat pertumbuhan R. solanacearum pada uji dual culture adalah

P. brevicompactum dengan waktu inkubasi selama 3 minggu dan pada konsentrasi

1,5% senyawa metabolit tersebut mampu menekan populasi R. solanacearum pada media cair. Perendaman benih dengan penambahan filtrat P.

brevicompactum sebesar 1,5% mampu meningkatkan daya berkecambah benih

cabai. Selain itu, aplikasi filtrat P. brevicompactum sebanyak 3 kali mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai.

SARAN

Perlu dilakukan uji in-vivo untuk mendapatkan informasi mengenai kemampuan senyawa metabolit P. brevicompactum dalam menekan kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman cabai menggunakan varietas yang rentan terhadap penyakit layu bakteri.

(35)

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. 5th Edition. Florida: Academic Press.

Alexopoulus CJ, Mims CW and Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. Ed ke-4. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Bruehl GW. 1987. Soilborne Plant Pathogens. Canada: Macmillan Publishing Company.

Cook RJ and Baker K. 1996. The Nature and Practice of Biological Control of

Plant Pathogens. 3rd Edition. Amerika: The American Phytopathological Society.

Cal DA and Melgarejo P. 1994. Effects of Penicillium frequentans and its antibiotics on unmelanized hyphae of Monilinia laxa [abstract].

Phytopathology 84:1010-1014.

Djafruddin. 2004. Dasar-Dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Jakarta: PT Bumi Aksara.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Basis data Departemen Pertanian Republik Indonesia. Luas panen dan produktivitas cabe.

http://ditjen.deptan.go.id. [07 Februari 2009].

Fang JG and Tsao PH. 1995. Efficacy of Penicillium funiculosum as a biological control agent against Phytophthora root rots of azalea and citrus [abstract].

Phytopathology 85: 871-878.

Guijarno B, Melgarejo P, Torres R, et al. 2008. Penicillium frequentans population dynamics on peach fruits after its applications against brown rot in orchards [abstract]. Journal of applied microbiology 104(3): 659

Hoff B, Poggeler S and Kuch U. 2008. Eighty years after first discovery Fleming’s Penicillium strain discloses the secret of its sex. Jerman: Elsevier.

Khaddor M, Saidi R, Aidoun A, et al. 2007. Antibacterial effects and toxigenesis of Penicillium aurantiogriseum and P. viridicatum. African Journal of Biotechnology Vol. 6 (20), pp. 2314 – 2318, 18 Oktober 2007.

http://www.academicjournals.org/AJB. [26 April 2009].

Kersten JT, Huang H and Allen C. 2001. Ralstonia solanacearum Needs Motility for Invasive Virulence on Tomato. Madison: Department of Plant Pathology University of Wisconsin.

(36)

Larena I, Melgarejo P and Cal D A. 2002. Production, survival, and evaluation of solid-substrate inocula of Penicillium oxalicum, a biocontrol agent against Fusarium wilt of tomato [abstract]. Phytopathology 92: 863-869.

Meyer M, Cunnac S, Gueneron M, et al. 2006. PopF1 and PopF2, Two Proteins Secreted by the Type III Protein Secretion System of Ralstonia

solanacearum, Are Translocators Belonging to the HrpF/NopX Family.

France: Paris University.

Nawangsih AA. 2006. Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (R. solanacearum) pada tomat [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Nicoletti R, Gresa MPL, Manzo E, Carella A and Ciavatta ML. 2007. Production and fungitoxic activity of Sch 642305, a secondary metabolite of

Penicillium canescens [abstract]. Mycopathologia 163: 295.

Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Ratdiana. 2007. Kajian pemanfaatan air kelapa dan limbah cair peternakan sebagai media alternatif perbanyakan Pseudomonas fluorescens serta uji potensi antagonismenya terhadap Ralstonia solanacearum [Skripsi]. Bogor: Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Rovirosa J, Marreno AD, Darias J, et al. 2006. Secondary metabolites from marine Penicillium brevicompactom. Journal of the Chilean Chemical Society. www.schqjournal@entelchile.net. [27 April 2009].

Semangun H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

[Editor]. Schaad NW, Jones JB and Chun W. 2001. Plant Pathogenic Bacteria. 3rd Edition. Amerika: APS Press.

[Tim Bina Karya tani]. 2008. Pedoman Bertanam Cabai. Bandung: CV. Yrama Widya.

Todar K. 2009. The genus Bacillus gram positive, aerobic or facultative endospore forming bacteria. www.textbookbacteriology.net. [12 Mei 2009].

Vey A, Hongland RE and Butt TM. 2006. Toxic metabolites of fungal biocontrol agents. Dalam Fungi as Biocontrol Agents, Progress, Problems and

Potential. Butt TM, Jackson C, Magan N, editor. 2006. England: Biddles

(37)

Wiryanta BT. 2008. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. Jakarta: AgroMedia Pustaka.

[Wikipedia]. 2009. How Penicillin Kills Bacteria.

(38)

LAMPIRAN

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil analisis ragam zona hambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh filtrat Penicillium spp.

(39)

Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung Pr > F Minggu 5 8,269 1,654 5,09 0,0012 Isolat 2 0,598 0,299 0,92 0,4076 Minggu*isolat 10 12,655 1,265 3,90 0,0012 Galat 36 11,695 0,327 Total terkoreksi 53 33,217

Lampiran 2. Hasil analisis ragam zona hambatan pertumbuhan R. solanacearum oleh non-filtrat Penicillium spp.

Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung Pr > F Minggu 5 13,801 2,760 7,69 0,0001 Isolat 2 2,855 1,427 3,89 0,0275 Minggu*isolat 10 8,798 0,879 2,45 0,0238 Galat 36 12,920 0,359 Total terkoreksi 53 38,374

Lampiran 3. Hasil analisis ragam penekanan populasi R. solanacearum oleh filtrat P.brevicompactum Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung Pr > F

(40)

Jam 5 182,371 34,474 22, 13 0,0001 Konsentrasi 3 31,017 10,339 6,2 7 0,0027 Jam*konsentrasi 15 55,075 3,672 2,2 3 0,0388 Galat 24 39,550 1,648 Total terkoreksi 47 308,014

Lampiran 4. Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai pada 1 MST Sumber Derajat Bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung Pr > F Frekuensi 5 0,224 0,044 0,57 0,719 Galat 18 1,406 0,078 Total terkoreksi 23 1,631

Lampiran 5. Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai pada 2 MST

Sumber Derajat Bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung Pr > F Frekuensi 5 2,018 0,404 0,62 0,688 Galat 18 11,768 0,653 Total terkoreksi 23 13,786

Lampiran 6. Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai pada 3 MST

Sumber Derajat Bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung Pr > F

(41)

Frekuensi 5 1,359 0,271 0,08 0,994

Galat 18 58,324 3,240

Total terkoreksi

23 59,683

Lampiran 7. Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai pada 4 MST

Sumber Derajat Bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung Pr > F Frekuensi 5 3,515 0,703 0,06 0,9967 Galat 18 195,582 10,865 Total terkoreksi 23 199,097

Lampiran 8. Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai pada 5 MST

Sumber Derajat Bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung Pr > F Frekuensi 5 5,584 1,117 0,07 0,995 Galat 18 268,317 14,906 Total terkoreksi 23 273,900

Gambar

Gambar 3    Pengaruh penambahan filtrat P. brevicompactum terhadap   populasi R. solanacearum selama lima jam waktu inkubasi
Gambar 4   Daya  berkecambah  benih  pada 1 MST (a)  dan pertumbuhan tanaman  cabai pada 5 MST (b)

Referensi

Dokumen terkait

Asam humat adalah zat organik makromolekul polielektrolit, diketahui berkemampuan untuk berinteraksi sangat kuat dengan berbagai logam membentuk kompleks logam

Menongkah Lumrah seperti kebanyakan karya Azmah Nordin sebelumnya, masih akur dengan rumus “wanita yang ditampilkan, wanita yang dimenangkan.” Maka kali ini Menongkah Lumrah

rendahnya kesadaran masyarakat atas keselamatan berkendara. Teori-teori yang menjadi rujukan penyusunan konsep operasional yaitu Teori Kritik Seni yang mendukung

Tujuan dari studi ini adalah untuk : Melihat dan mengenali lebih lanjut potensi dan permasalahan yang ada pada kawasan studi sehingga bisa ditetapkannya konsep

Dengan demikian penggunaan media audio visual pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam materi gangguan organ peredaran darah manusia dapat meningkatkan hasil belajar

Hal ini menunjukkan, pengadukan yang cepat akan memperpendek jarak antar partikel sehingga gaya tarik-menarik antar partikel menjadi lebih besar dan dominan

Pada setiap siklus jumlah total yang diperoleh oleh kelompok pembudidaya udang vannamei dari ukuran 40-60/kg pada keseluruhan tambak adalah sebagai berikut: pada saat