II - 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang digunakan untuk menunjang penelitian yang akan dilakukan serta studi pustaka mengenai penelitian-penelitian sebelumnya.
2.1 Komposit
Kata komposit (composit) berasal dari kata “to compose” yang berarti menyusun atau menggabungkan. Komposit adalah suatu material yang terbentuk dari kombinasi dua atau lebih material pembentuknya melalui campuran yang tidak homogen, dimana sifat mekanik dari masing-masing material pembentuknya berbeda (Matthews dkk, 1993). Bahan komposit umumnya terdiri dari dua unsur, yaitu serat (fiber) sebagai bahan pengisi dan matriks sebagai bahan pengikat serat. Dari campuran tersebut akan dihasilkan material komposit yang mempunyai sifat mekanik dan karakteristik yang berbeda dari material pembentuknya.
Komposit merupakan sejumlah sistem multi fasa sifat dengan gabungan, yaitu gabungan antara bahan matriks atau pengikat dengan penguat. Matriks adalah bagian komposit yang secara kontinyu melingkupi penguat dan berfungsi mengikat penguat yang satu dengan yang lain serta meneruskan beban yang diterima oleh komposit ke penguat. Sedangkan penguat adalah komponen yang dimasukkan ke dalam matriks yang berfungsi sebagai penerima atau penahan beban utama yang dialami oleh komposit (Mehta, 1986). Bahan penyusun komposit tersebut masing-masing memiliki sifat yang berbeda dan ketika digabungkan dalam komposisi tertentu terbentuk sifat baru yang disesuaikan dengan keinginan (Krevelen, 1994).
Sebagai bagan pengisi, serat digunakan untuk menahan gaya yang bekerja pada bahan komposit, matriks berfungsi melindungi dan mengikat serat agar dapat bekerja dengan baik terhadap gaya-gaya yang terjadi. Oleh karena itu untuk bahan serat digunakan bahan yang kuat, kaku dan getas, sedangkan bahan matriks dipilih bahan-bahan yang liat, lunak dan tahan terhadap perlakuan kimia.
Karakteristik dan sifat komposit dipengaruhi oleh material-material yang menyusunnya. Dalam hal ini susunan struktur dan interaksi antar unsur-unsur penyusunnya. Interaksi antar unsur-unsur penyusun komposit, yaitu serat dan
II - 2
matrik sangat berpengaruh terhadap kekuatan ikatan antarmuka. Kekuatan ikatan antarmuka yang optimal antara matrik dan serat merupakan aspek yang penting dalam penunjukkan sifat-sifat mekanik komposit (Gibson, 1994).
Penggabungan material yang berbeda bertujuan untuk menemukan material baru yang mempunyai sifat antara material penyusunnya yang tidak akan diperoleh jika material penyusunnya berdiri sendiri. Material penyusun komposit tersebut bias berupa fibers, particles, laminate or layers, flakes fillers, dan matrik. Matrik sering disebut sebagai unsur pokok bodi sedangkan fibers, particles, laminate or layers, flakes fillers disebut sebagai unsur pokok struktur (Schwartz, 1986). Sifat material hasil penggabungan ini diharapkan saling memperbaiki kelemahan dan kekurangan bahan-bahan penyusunnya. Sifat-sifat yang dapat diperbaiki antara lain kekuatan, kekakuan, ketahanan lelah, ketahanan bending, ketahanan korosi, berat jenis, pengaruh terhadap temperatur dan isolasi konduktivitas termal (Jones, 1975). Berdasarkan cara penguatannya komposit dibedakan menjadi tiga (Jones, 1975) yaitu :
a. Fibrous Composite (komposit serat) merupakan jenis komposit yang hanya terdiri atas satu lamina atau satu lapisan yang menggunakan penguat serat atau fiber. Fiber yang digunakan yaitu glass fiber, carbon fiber, aramid fiber (poly aramide) dan sebagainya. Fiber ini dapat disusun secara acak maupun dengan orientasi tertentu bahkan dapat juga dalam bentuk yang lebih kompleks seperti anyaman.
b. Laminated Composite (komposit lapisan) merupkan jenis komposit yang terdiri atas dua lapisan atau lebih yang digabung menjadi satu dan setiap lapisannya memiliki karakteristik sifat sendiri.
c. Particulate Composite (komposit partikel) merupakan komposit yang menggunakan partikel atau serbuk sebagai penguatnya dan berdistribusi secara merata dalam perekatnya.
Skema pengelompokan komposit berdasarkan penguatnya disajikan pada Gambar2.1.
II - 3
Gambar 2.1 Pembagian Komposit Berdasarkan Penguatnya
Terdapat tiga faktor yang menentukan sifat-sifat dari material komposit, yaitu (Sirait, 2010):
1. Material pembentuk. Sifat-sifat intrinsik material pembentuk memegang peranan yang sangat penting terhadap pengaruh sifat kompositnya.
2. Susunan struktural komponen. Dimana bentuk serta orientasi dan ukuran tiap-tiap komponen penyusun struktur dan distribusinya merupakan faktor penting yang memberi kontribusi dalam penampilan komposit secara keseluruhan. 3. Interaksi antar komponen. Karena komposit merupakan campuran atau
kombinasi komponen-komponen yang berbeda baik dalam hal bahannya maupun bentuknya, maka sifat kombinasi yang diperoleh pasti akan berbeda. Jones (1975) menjelaskan beberapa sifat material dapat diperbaiki melalui pembentukan material menjadi material komposit. Sifat-sifat tersebut antara lain:
a. Kekuatan (strength) b. Kekerasan (stiffness)
c. Ketahanan terhadap korosi (corrosion resistance) d. Tidak mudah rusak (wear resistance)
e. Daya tarik (attractiveness) f. Berat (weight)
g. Usia fatigue (fatigue life)
h. Temperature-dependent behavior i. Hambat panas (thermal insulation)
j. Konduktivitas thermal (thermal conductivity) k. Serap bising (acoustical insulation)
II - 4 2.2 Papan Partikel
Menurut SNI 03-2105-2006, papan partikel merupakan hasil pengempaan panas campuran partikel kayu atau bahan. Papan partikel adalah papan buatan yang terbuat dari serpihan kayu dengan bantuan perekat sintetis kemudian mengalami kempa panas sehingga memiliki sifat seperti kayu, tahan api dan merupakan bahan isolasi serta bahan akustik yang baik (Dumanauw, 1993). Menurut Badan Standar Nasional (2006) papan partikel adalah produk kayu yang dihasilkan dari pengempaan panas antara campuran partikel kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya dengan perekat organik serta bahan perekat lainnya yang dibuat dengan cara pengempaan mendatar dengan dua lempeng datar. Sedangkan menurut Irfandi (2011) papan partikel adalah salah satu jenis produk papan komposit yang dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan bahan baku kayu, serta mengoptimalkan pemanfaatan bahan lignoselulosa lainnya. Beberapa kelebihan yang dimiliki papan partikel dibanding kayu asalnya antara lain bebas dari mata kayu, pecah dan retak, ukuran dan kerapatan papan partikel dapat disesuaikan dengan kebutuhan, tebal dan kerapatannya seragam dan mudah dikerjakan, mempunyai sifat isotropis, sifat dan kualitasnya dapat diatur.
Menurut Sutigno (1994) ada beberapa macam papan partikel yang dibedakan berdasarkan:
a. Bentuk
Papan partikel pada umumnya berbentuk datar dengan ukuran relatif panjang tipis sehingga disebut panel. Ada beberapa papan partikel yang tidak datar (papan partikel lengkung) dan mempunyai bentuk tertentu tergantung pada cetakan yang dipakai seperti bentuk kotak radio.
b. Pengempaan
Cara pengempaan dapat secara mendatar atau secara ekstrusi. Cara mendatar ada yang kontinyu dan tidak kontinyu. Cara kontinyu berlangsung melalui ban baja yang menekan pada saat bergerak memutar. Cara tidak kontinyu pengempaan berlangsung pada lempeng yang bergerak vertikal dan banyaknya celah dapat satu atau lebih. Pada cara ekstrusi, pengempaan berlangsung kontinyu diantara dua lempeng statis. Penekanan dilakukan oleh semacam piston yang bergerak vertikal dan horizontal.
II - 5 c. Kerapatan
Ada tiga kelompok kerapatan papan partikel, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Terdapat perbedaan batas antara setiap kelompok tersebut, tergantung pada standar yang digunakan.
d. Kekuatan (Sifat Mekanis)
Pada prinsipnya sama seperti kerapatan, pembagian berdasarkan kekuatan pun ada yang rendah, sedang dan tinggi, Terdapat perbedaan batas antara setiap macam (tipe) tersebut, tergantung pada standar yang digunakan. Ada standar yang menambahkan persyaratan beberapa sifat fisis.
e. Macam perekat
Macam perekat yang dipakai mempengaruhi ketahanan papan partikel terhadap pengaruh kelembaban yang selanjutnya menentukan penggunaannya. Ada standar yang membedakan berdasarkan sifat perekatnya, yaitu interior dan eksterior. Ada standar yang memakai penggolongan berdasarkan macam perekat, yaitu tipe U (urea formaldehyde atau yang setara), Tipe M (melamin urea formaldehyde atau yang setara) dan tipe P (phenol formaldehyde atau yang setara).
f. Susunan Partikel
Pada saat membuat partikel dapat dibedakan berdasarkan ukurannya, yaitu halus dan kasar. Pada saat membuat papan partikel kedua macam partikel tersebut dapat disusun tiga macam sehingga menghasilkan papan partikel yang berbeda yaitu papan partikel homogen (berlapis tunggal), papan partikel berlapis tiga dan papan partikel berlapis bertingkat.
g. Arah Partikel
Pada saat mebuat hamparan, penaburan partikel (yang sudah dicampur dengan perekat) dapat dilakukan secara acak (arah serat partikel tidak teratur) atau arah serat diatur, misalnya sejajar atau bersilangan tegak lurus. Untuk yang disebutkan terakhir dipakai partikel yang relatif panjang, biasanya berbentuk untai (strand) sehingga disebut papan untai terarah (oriented strand board atau OSB).
h. Penggunaan
Bersadarkan penggunaan yang berhubungan dengan beban, papan partikel dibedakan menjadi papan partikel penggunaan umum dan papan partikel struktural (memerlukan kekuatan yang lebih tinggi). Untuk membuat mebel, pengikat dinding
II - 6
dipakai papan partikel penggunaan umum. Untuk membuat komposisi dinding, peti kemas dipakai papan partikel struktural.
i. Pengolahan
Ada dua macam papan partikel berdasarkan tingkat pengolahannya, yaitu pengolahan primer dan pengolahan sekunder. Papan partikel pengolahan primer adalah papan partikel yang dibuat melalui pembuatan partikel, pembentukan hamparan dan pengempaan yang menghasilkan papan partikel. Papan partikel pengolahan sekunder adalah pengolahan lanjutan dari papan partikel pengolahan primer misalnya dilapisi vinir indah, dilapisi kertas aneka corak.
2.3 Material Penyusun Komposit
Material pada komposit yang akan dikembangkan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu ampas tebu yang sebelumnya direndam dalam boraks, NaOH atau aquades sebagai bahan penguat dan tepung ketan sebagai perekat atau matriknya. 2.3.1 Tebu
Tanaman tebu termasuk tumbuhan monokotil. Batang dari tebu memiliki anakan tunas dari pangkal batang yang membentuk rumpun. Waktu musim tanam ini sepanjang 11-12 bulan. Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan semusim, yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula. Akar tanaman tebu adalah akar serabut dan tanaman ini termasuk dalam kelas monocotyledone (Supriyadi 1992).
Klasifikasi botani tanaman tebu adalah sebagai berikut (Slamet, 2004): Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Agiospermae Famili : Poaceae Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum officinarum
Tebu memiliki batang yang tinggi kurus, tidak bercabang dan tumbuh tegak. Tanaman yang tumbuh baik tinggi batangnya dapat mencapai 3-5 meter atau lebih. Pada batangnya terdapat lapisan lilin yang berwarna putih keabu-abuan. Batangnya beruas-ruas dengan panjang ruas 10-30 cm. Daun berpangkal pada buku batang dengan kedudukan yang berseling (Penebar Swadaya, 2000).
II - 7
Tebu dapat hidup dengan baik pada ketinggian tempat 5-500 meter di atas permukaan laut (mdpl), pada daerah beriklim panas dan lembab dengan kelembaban > 70% hujan yang merata setelah tanaman berumur 8 bulan dan suhu udara berkisar antara 28-340 C (Slamet, 2004). Tebu merupakan salah satu komoditi pertanian yang mengandung unsur lignoselulosa (gabungan serat dan lemak). Proses pembuatan gula berbahan baku tebu akan menghasilkan produk utama berupa gula, serta produk samping berupa tetes (molasse), blotong (mud), ampas tebu (bagasse).
2.3.2 Ampas Tebu (Bagasse)
Ampas tebu (baggase) adalah campuran dari serat yang kuat dengan jaringan parenchyma yang lembut yang mempunyai tingkat higroskopis yang tinggi, dihasilkan melalui penggilingan tebu. Ampas tebu adalah bahan sisa berserat dari batang tebu yang telah mengalami ekstraksi niranya dan banyak mengandung parenkim serta tidak tahan disimpan karena mudah terserang jamur. Istilah baggase dipakai oleh Persatuan Teknisi Gula Internasional untuk residu hasil perasan tebu. Ampas tebu sebagian besar mengandung lignocellulose. Panjang seratnya antara 1,7-2 mm dengan diameter sekitar 20 µm, sehingga ampas tebu ini dapat memenuhi persyaratan untuk diolah menjadi papan-papan buatan (Malau, 2009).
Pada proses penggilingan tebu, terdapat 5 kali proses penggilingan tebu dari batang tebu sampai menjadi ampas tebu, dimana pada hasil penggilingan pertama dan kedua dihasilkan nira mentah yang berwarna kuning kecoklatan kemudian pada proses penggilingan ketiga, keempat dan kelima akan menghasilkan nira dengan volume yang berbeda-beda. Setelah gilingan terakhir menghasilkan ampas tebu kering. Pada proses penggilingan pertama dan kedua dihasilkan ampas tebu basah.
Berikut pada tabel 2.1 merupakan komposisi atau struktur dari ampas tebu.
Tabel 2.1. Struktur Ampas Tebu
Nama Bahan Jumlah %
Cellulose 28-43
Hemicellulosa 14-23
Pentosans 20-33
Lignin 13-22
II - 8
Selama ini pemanfaatan tebu masih terbatas pada industri pengolahan gula dengan hanya mengambil airnya, sedangkan ampasnya sekitar 35-40% dari berat tebu yang digiling hanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar industri atau mungkin dibuang sehingga menjadi limbah. Melalui pembuatan komposit dari ampas tebu diharapkan terjadi peningkatan nilai tambah dari tanaman tebu dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah ampas tebu yang terbuang. Pada Tabel 2.2 adalah sifat mekanis serat tebu dan serat-serat penting lainnya :
Tabel 2.2 Sifat mekanis beberapa serat penting
Sumber : Malau, 2009
2.3.3 Tepung Ketan
Tepung ketan adalah salah satu jenis tepung yang berasal dari oryza sativa glutinous yaitu varietas dari padi (oryza sativa) family graminae yang termasuk dalam biji-bijian yang ditumbuk atau digiling dengan mesin penggiling (Widyaningrum, 2011). Tepung ketan saat ini sangat mudah untuk mendapatkannya karena banyak dijual di pasaran dalam bentuk tepung yang halus dan kering. Tepung ketan merupakan hasil olahan dari beras ketan putih yang ditumbuk halus. Berfungsi untuk merekatkan adonan agar lebih kental. Tepung ketan memberi sifat kental sehingga lebih elastis.
Karbohidrat di dalam tepung ketan terdapat 2 senyawa yaitu amilosa dan amilopektin dengan kadar masing-masing sebesar 1% dan 99%. Rasio antara amilosa dan amilopektin berbeda untuk setiap pati. Pada umumnya tergantung dari jenis tumbuhan asalnya. Perbandingan kadar amilosa dan amilopektin untuk pati disajikan pada Tabel 2.3 berikut ini.
Kekuatan Tarik Pemanjangan Kekerasan
(Mpa) (%) (Mpa) Tandan sawit 248 14 2000 Mesocarp sawit 80 17 500 Sabut tebu 140 25 3200 Pisang 540 3 816 Sasal 580 4,3 1200 Daun nanas 640 2,4 970 Serat
II - 9
Tabel 2.3 Kadar Amilosa dan Amilopektin pada Pati
Sumber : Imanningsih, 2012
Kandungan amilopektin yang tinggi akan menyebabkan sifat lebih lekat. Sedangkan apabila kadar amilosa tinggi, maka akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung meresap air lebih banyak. Tepung ketan memiliki amilopektin yang lebih besar dibandingkan dengan tepung-tepung lainnya. Amilopektin inilah yang menyebabkan tepung ketan (beras ketan) lebih pulen dibandingkan dengan tepung lainnya. Semakin tinggi kandungan amilopektin pada pati maka akan semakin pulen pati tersebut. Amilopektin menyebabkan adanya sifat lengket. Sehingga apabila dibandingkan dengan tepung jagung, tepung beras, tepung kentang, tepung gandum, maupun tepung terigu, sifat pulen dan lengket dari tepung ketan lebih baik (Margareta, 2013). Menurut Hartati (1996) dalam Widyaningrum (2011), kadar amilopektin yang tinggi menyebabkan sangat mudah terjasi gelatinisasi apabila ditambah dengan air dan memperoleh perlakuan pemanasan pada suhu 56 0C. Hal tersebut terjadi akibat pengikatan hidrogen dan molekul-molekul tepung ketan (gel) yang bersifat kental. Perekat pati dapat dibuat dengan cara mendidihkan tepung pati dengan air dan dapat pula dengan produk degradasinya (Ruhendi dkk, 2007).
Diantara sifat-sifat amilopektin yang sangat disukai oleh ahli pengolahan memiliki daya perekat yang tinggi, suhu gelatinisasi lebih rendah, tidak mudah pecah atau rusak pada suhu rendah dan tidak mudah menggumpal pada suhu normal (Collinson, 1986). Kelebihan perekat pati antara lain ramah lingkungan, murah, tidak mudah terdekomposisi, dan dapat menggunakan kempa dingin dengan tekanan kempa relative rendah. Namun, kekurangan dari perekat pati adalah terlalu kental sehingga sukar dalam peleburannya (Ruhendi dkk, 2007).
Jenis Pati Kadar Amilosa Kadar Amilopektin
Pati Jagung 24% 76% Pati Singkong 17% 83% Pati Kentang 25% 75% Pati Gandum 25% 75% Pati Pisang 20.5% 75.5% Pati Beras 40% 60% Pati Sagu 27% 73% Pati Ketan 1% 99%
II - 10 2.4 Perlakuan Alkali (NaOH)
Serat ampas tebu (bagasse) melalui proses modifikasi serat dalam pemanfaatannya sebagai serat penguat. Modifikasi ampas tebu berupa perlakuan kimia serat, dimana perlakuan yang sering dilakukan adalah perlakuan alkali. Selain peningkatan kekuatannya cukup baik, prosesnya sederhana dan relatif murah. Pada proses alkali, larutan kimia yang sering digunakan adalah NaOH.
Adanya perendaman alkali dengan NaOH bertujuan untuk menghilangkan lapisan yang menyerupai lilin di permukaan serat (Maryanti dkk, 2011). Selama perlakuan alkali sebagian unsur serat alam larut dalam larutan alkali, antara lain lignin dan lilin (waxes) akan terlepas dengan perlakuan tersebut. Adanya pelarutan unsur tersebut yakni lignin yang merupakan unsur lemah dalam serat, dan lilin yang bersifat mengurangi kemampuan ikatan serat diharapkan dapat meningkatkan kekuatan serat. Terlarutnya sebagian unsur permukaan serat menjadikan permukaan serat setelah perlakuan menjadi semakin kasar dan masing-masing helai serat dapat terlepas dari ikatannya menjadi serat dengan diameter yang lebih kecil. Transfer tegangan tiap unit volume serat pada daerah ikatan antarmuka antara serat dan matrik akan meningkat seiring dengan peningkatan perbandingan panjang dengan diameter serat (Gibson, 1994). Sehingga dengan diameter serat yang lebih kecil serta kekasaran permukaan serat, diharapkan dapat dihasilkan ikatan antarmuka yang lebih baik dan meningkatkan kekuatan bahan secara keseluruhan.
Sodium hidroksida (NaOH) adalah senyawa kimia yang berbentuk kristal putih yang rapuh dan tembus cahaya. Karena sifatnya yang sangat korosif dan dapat merusak kulit, senyawa ini disebut juga soda kaustik. NaOH merupakan larutan basa yang tergolong mudah larut dalam air dengan reaksi timbulnya panas selama pelarutan didalam air, dan termasuk basa kuat yang dapat terionisasi dengan sempurna. Larutan basa memiliki rasa pahit, dan jika mengenai tangan terasa licin (seperti sabun). Sifat licin terhadap kulit itu disebut sifat kaustik basa.
Alkali yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah NaOH kristal dengan kadar 5% terhadap pelarut air. Lamanya perendaman dengan alkali pada penelitian ini adalah selama 2 jam. Hal tersebut karena perendaman alkali yang terlalu singkat belum sepenuhnya dapat menghilangkan lapisan lilin pada serat, sehingga ikatan serat dan matrik belum optimal. Akan tetapi, apabila dilakukan perendaman alkali
II - 11
yang terlalu lama maka akan terjadi penurunan nilai kuat tarik. Hal ini disebabkan hemiselulosa, lignin dan pektin hilang sama sekali sehingga kekuatan serat alam akan menurun karena kumpulan microfibril penyusun serat yang disatukan oleh lignin dan pectin akan terpisah, sehingga serat hanya berupa serat-serat halus yang terpisah satu sama lain (Maryanti dkk, 2011).
2.5 Perlakuan Boraks (Na2B4O7)
Salah satu sifat kayu yang kurang menguntungkan manusia yakni tidak tahan lama atau kurang awet dibandingkan dengan material logam, keramik, karena itu dilakukan perendaman untuk mengawetkan dan juga menghilangkan zat ekstraktif (senyawaan lemak dan lilin). Boraks merupakan suatu zat padat kristal putih, kehijauan atau keabuan, sedikit larut dalam air dingin tapi sangat larut dalam air panas. Boraks ini merupakan nama trivial dari dinatrium tetraboratdekahidrat dengan rumus kimianya Na2B4O7.10 H2O. Boraks ini cenderung bersifat basa dan
memiliki pH sekitar 9,5. Boraks ini terdapat secara alamiah sebagai endapan-endapan garam di dasar danau kering atau ditanah alkali, dan merupakan bahan industri yang penting yang digunakan dalam pabrik kaca tahan panas sebagai bahan mentah dalam pembuatan natrium borat. Boraks jarang digunakan dalam bentuk aslinya, tetapi dialihkan dalam bentuk lain berupa konsentrasi atau pekatan yang diformulasikan sehingga menjadi bahan siap pakai. Sebelum dipakai, formulasi tersebut harus dicampur dengan bahan pengencer seperti air dan larutan asam boraks (Sutrisno, 2011). Dalam dunia industri, boraks menjadi bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu dan anti jamur, mematri logam, antiseptik kayu, dan pengontrol kecoak. Bahan pengawet kayu adalah pestisida yang bersifat racun sistemik, yaitu masuk ke dalam jaringan kayu kemudian bersentuhan atau dimakan oleh hama (sistemik) atau sebagai racun kontak, yaitu langsung menyerap melalui kulit pada saat pemberian sehingga beracun bagi hama (Tarumingkeng, 2007). Salah satu bahan pengawet yang digunakan adalah campuran boraks dengan asam borat. Asam borat dan boraks banyak dipilih karena mempunyai toksisitas yang rendah (Yamauchi dkk, 2007).
II - 12
2.6 Pengujian Hambat Panas (Thermal Conductivity)
Perpindahan panas melalui benda padat disebut konduksi. Panas tersebut bergerak dari partikel yang lebih panas (memiliki energi lebih tinggi) ke molekul yang lebih dingin (memiliki energi yang lebih rendah). Perpindahan panas ini tidak menyebabkan perpindahan molekul benda. Kecepatan aliran panas pada suatu benda padat ditunjukkan dari nilai konduktivitas termal material tersebut. Semakin besar nilai konduktivitas termal suatu material maka material tersebut semakin baik dalam memindahkan panas, dan sebaliknya (Badrawada dan Agung, 2009). Konduktivitas termal adalah laju aliran panas (dalam Watt) melalui suatu luasan material yang homogen dengan ketebalan 1 m yang menyebabkan perbedaan suhu 1 K. Konduktivitas termal memiliki satuan W/m.K. Konduktivitas merupakan ukuran keefektifan suatu material dalam menghantarkan panas (Eka dkk, 2009).
Panas telah diketahui dapat berpindah dari tempat dengan temperatur lebih tinggi ke tempat dengan tempeatur lebih rendah. Hukum percampuran panas juga terjadi karena panas itu berpindah. Perpindahan tenaga panas terbagi dalam beberapa golongan cara perpindahan:
1. Perpindahan panas konduksi atau hantaran
Perpindahan panas konduksi atau hantaran adalah perpindahan energi dari bagian yang bersuhu tinggi ke bagian yang bersuhu rendah apabila terdapat perbedaan temperatur atau temperatur gradien. Konduktivitas termal (k) adalah sifat bahan dan menunjukan jumlah panas yang mengalir melintasi satu satuan luas jika gradien temperaturnya satu. Persamaan Fourier merupakan persamaan dasar tentang konduktivitas termal, yang mana dengan persamaan tersebut dapat dilakukan perhitungan dalam percobaan untuk menentukan konduktivitas termal suatu benda (Miseno, 2009).
q = k A ∆𝑇
𝐿 (2.1)
Keterangan:
q : Laju perpindahan kalor konduksi (watt). k : Konduktivitas (W/m0C).
A : Luas penampang ( m2 ).
ΔT : Perbedaan temperatur (0C).
II - 13 2. Perpindahan panas konveksi
Perpindahan panas konveksi adalah proses perpindahan panas dimana cairan atau gas yang suhunya tinggi mengalir ke tempat yang suhunya rendah, memberikan panas pada permukaan yang suhunya lebih rendah.
3. Perpindahan panas radiasi
Menurut Buchori (2004), perpindahan panas radiasi adalah perpindahan panas yang terjadi karena pancaran/sinaran/ radiasi gelombang elektromagnetik. Perpindahan panas radiasi berlangsung elektromagnetik dengan panjang gelombang pada interval tertentu. Jadi perpindahan panas radiasi tidak memerlukan media, sehingga perpindahan panas dapat berlangsung dalam ruangan hampa udara. Contoh : panas matahari yang sampai ke bumi.
4. Hambat Panas (R)
Para insinyur biasanya menggunakan konsep hambatan termal R untuk menyatakan kemampuan suatu bahan dalam menghambat aliran kalor. Hambatan termal merupakan perbandingan antara ketebalan suatu bahan dengan konduktivitas termal bahan tersebut. Secara matematis bisa dirumuskan sebagai berikut (Holman, 1998) :
𝑅 = 𝐿
𝐾𝐴 (2.2)
Keterangan :
A =luas penampang bahan (m²)
K = konduktivitas panas bahan (W/m0C) L = tebal spesimen (m)
R = hambatan termal (0C /W)
2.7 Pengujian Bending (Modulus Of Rupture)
Pengujian kekuatan bending terhadap material untuk mengetahui kelenturan material tersebut. Pada uji bending, spesimen ditempatkan pada dua tumpuan lalu diterapkan beban ditengah tumpuan dengan lalu pembebanan konstan. Kekuatan bending atau kekuatan lengkung adalah kekuatan beban terbesar yang dapat diterima akibat pembebanan luar tanpa mengalami deformasi yang besar atau kegagalan. Akibat pengujian bending, pada bagian atas spesimen akan mengalami tekanan, dan bagian bawah akan mengalami tegangan tarik. Kondisi pengujian menyatakan bahwa pada bagian atas terlebih dulu terjadi retak (crack) terhadap
II - 14
matrik kemudian disusul perambatan retak (crack propagation) pada serat sampai menuju permukaan bagian bawah spesimen uji. Dengan demikian kegagalan spesimen uji bending dinyatakan ketika terjadi putus atau terlepasnya ikatan antar muka antara matrik dan serat pada komposit serat.
Pengujian bending dikenal dengan dua metode, yaitu bending empat titik dan bending tiga titik. Pada uji bending 3 titik daerah dengan tegangan yang seragam cukup kecil dan berada ditengah-tengah antara 2 tumpuan sehingga dapat diketahui besarnya beban disatu titik, sedangkan pada pengujian 4 titik daerah dengan tegangan seragam berada diantara dua titik pembebanan sehingga dapat diketahui besarnya beban merata. Pada uji bending 3 titik, besarnya defleksi dapat diketahui dengan mengukur loading nose, sedangkan pada uji bending 4 titik, untuk mengetahui besarnya defleksi harus menggunakan alat deflektometer untuk mengetahui secara akurat besarnya defleksi yang terjadi pada bagian tengah tumpuan.
Uji bending 4 titik lebih diutamakan untuk material yang bersifat liat, dimana regangan yang terjadi melebihi batas 5%. Pada pengujian bending 3 titik apabila regangan maksimum telah mencapai 5% dan belum mengalami kegagalan bending maka direkomendasikan untuk menggunakan uji bending 4 titik. Skema perbedaan pengujian bending 3 titik dan 4 titik seperti pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 (a) Uji bending 3 titik dan (b) Uji bending 4 titik
Sumber: Triyono, 2007
Spesimen untuk uji bending berdasarkan ASTM D-1037. Kekuatan bending suatu material dapat ditentukan sesuai persamaan berikut (SNI 01-4449, 2006) :
𝑀𝑂𝑅 = 3𝐵𝑆
2𝐿𝑇2 (2.3)
Keterangan :
MOR : modulus of rupture (MPa) B : besarnya beban maksimum (N) S : jarak sangga (mm)
II - 15 L : lebar contoh uji papan serat (mm) T : tebal contoh uji papan serat (mm)
S = 150 S/2 S/2 25 25 T B a a a
Gambar 2.3 Uji keteguhan lentur
Sumber: SNI, 2006
Keterangan : B : beban (N)
S : jarak sangga (mm) a : diameter
T : tebal papan serat
2.8 Pengujian Densitas
Pengujian densitas merupakan pengujian sifat fisis terhadap spesimen, yang bertujuan untuk mengetahui nilai kerapatan massa dari spesimen yang diuji. Rapat massa (mass density) suatu zat adalah massa per satuan volume .Untuk mencari nilai densitas material spesimen ampas tebu, dilakukan pengujian berdasarkan ASTM D 3800. Sample terlebih dahulu diukur beratnya di udara terbuka dan yang kedua di dalam liquid. Perbedaan hasil pengukuran di udara terbuka dan di dalam liquid disebut dengan gaya Buoyancy atau gaya apung ampas tersebut. Gaya tersebut yang akan digunakan untuk mencari volume spesimen, dengan cara membagi gaya tersebut dengan nilai densitas liquid, kemudian berat spesimen di udara terbuka dibagi dengan volume spesimen didapatkan nilai densitas dari spesimen tersebut. Berikut formulasi untuk mencarinilai densitas spesimen :
𝜌
𝑓=
𝑀𝑢 𝑥 𝜌𝑚𝑀𝑢− 𝑀𝑚...(2.4)
Keterangan:
ρf = densitas spesimen (gr/cm3) ρm = densitas liquid (gr/ cm3)
Mu = berat spesimen di udara terbuka (gr)
II - 16
Menurut ANSI A208.1-1999, particleboard yaitu bentuk umum dari panel komposit yang terdiri dari bahan berselulosa (biasanya kayu), yang direkatkan bersama dengan sistem perekat, yang mungkin mengandung bahan aditif. Particleboard diklasifikasikan berdasarkan kerapatannya yaitu
a) High density dengan kerapatan diatas 0,8 g/cm3
b) Medium density dengan kerapatan antara 0,64-0,8 g/cm3 c) Low density dengan kerapatan kurang dari 0,64 g/cm3
2.9 Metode Taguchi
Tujuan sebuah perancangan dalam pembuatan produk adalah untuk membuat cara-cara meminimalkan penyimpangan karakteristik kualitas dari nilai targetnya. Hal ini dapat dilakukan dengan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dengan cara mengubah level-level dari faktor-faktor yang sesuai sehingga penyimpangannya dapat dibuat sekecil mungkin dan karakteristik kualitas dapat mencapai target.
Daur hidup produk mempunyai 4 tahap yaitu product design, production process design, manufacturing dan costumer usage. Kegiatan pengendalian kualitas dilakukan pada tiap tahapnya. Aktifitas pengendalian kualitas dalam proses dan perancangan produk sebelum produk dibuat disebut off-line quality control. Off-line quality control adalah suatu metode yang berprinsip pada peningkatan mutu dengan meminimalkan pengaruh dari penyebab-penyebab perubahan tanpa menghilangkan penyebab-penyebab itu sendiri. Tiga tahap penting dalam perancangan proses off-line quality control, yaitu:
1. System design (primary design),
Tahap ini adalah tahap yang berkaitan dengan pengembangan teknologi. Tahap ini memerlukan pengetahuan teknis yang luas dan mendalam untukmenilai pengembangan produk atau proses (tidak memerlukan perancangan eksperimen).
2. Parameter design (secondary design),
Tahap perancangan parameter berkaitan dengan penekanan biaya dan peningkatkan kualitas dengan menggunakan metode perancangan eksperimen yang efektif. Hal ini termasuk penentuan nilai parameter yang kurang sensitif
II - 17
terhadap faktor noise dan mencari kombinasi level parameter yang dapat mengurangi faktor noise. Tahap ini adalah tahap utama dalam perancangan kokoh agar produk atau proses mempunyai kehandalan yang tinggi, walaupun material yang digunakan tidak mahal, mempunyai keragaman tinggi dan mudah rusak (aus).
3. Tolerance design (tertiary design),
Tahap ini berkaitan dengan pengendalian faktor-faktor yang mempengaruhi nilai target dengan menggunakan komponen mutu tinggi dan biaya tinggi yang tidak dapat dielakkan. Setelah sistem dirancang (melalui system design) dan nilai tengah parameternya ditentukan (melalui parameter design), langkah berikutnya membuat toleransi parameter (melalui tolerance design). Faktor noise, termasuk juga parameter sistem dimasukkan dalam rancangan eksperimen untuk menentukan dampaknya pada karakteristik keluaran. Toleransi yang lebih sempit harus diberikan pada faktor noise yang mempunyai pengaruh terbesar pada karakteristik keluaran.
Karena faktor noise tidak dapat dihilangkan, karakteristik kualitas dari produk tidak akan mencapai nilai target. Prinsip kekokohan berusaha untuk mengurangi kerugian dengan melakukan pengendalian faktor terhadap faktor noise, sehingga spesifikasi produk dapat diidentifikasi dan membuat karakteristik kualitas tidak sensitif terhadap noise.
2.9.1 Klasifikasi Karakteristik Kualitas
Karakteristik kualitas (variabel respons) adalah obyek yang menarik dari produk atau proses. Karakteristik kualitas dapat dikelompokkan menurut nilai targetnya sebagai berikut:
a. Nominal the best
Karakteristik kualitas nominal the best adalah karakteristik terukur dengan nilai target yang ditentukan secara spesifik. Nilai tersebut dapat positif maupun negatif.
b. Smaller the better,
Karakteristik kualitas smaller the better adalah karakteristik terukur nonnegative yang mempunyai kondisi ideal atau nilai target 0 (nol).
II - 18 c. Larger the better,
Karakteristik kualitas larger the better adalah karakteristik terukur non-negatif yang mempunyai kondisi ideal atau nilai target infinitif (tak terbatas). 2.9.2 Klasifikasi Parameter
Beberapa faktor yang mempengaruhi karakteristik kualitas dijelaskan pada Gambar 2.4. Faktor-faktor ini diklasifikasikan menjadi faktor noise, faktor control, faktor signal dan faktor skala.
Gambar 2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik kualitas
Sumber : Belavendram, 1995
Penjelasan lebih lanjut mengenai gambar 2.4 di atas, sebagai berikut:
1. Faktor noise, suatu parameter yang menyebabkan penyimpangan karakteristik kualitas dari nilai targetnya disebut faktor noise. Faktor noise dapat mempengaruhi karakteristik kualitas secara tidak terkendali dan sulit diprediksi. Faktor noise biasanya sulit, mahal dan tidak menjadi sasaran pengendalian. Tetapi untuk tujuan eksperimen, faktor noise perlu dikendalikan dalam skala kecil.
2. Faktor terkendali, parameter-parameter yang nilai-nilainya ditentukan oleh ahli teknik. Faktor kontrol dapat mempunyai nilai satu atau lebih yang disebut level. Pada akhir eksperimen, level yang sesuai dalam faktor terkendali akan dipilih. Salah satu aspek dari perancangan kokoh adalah mencari kondisi level optimal untuk faktor terkendali sehingga karakteristik kualitas tidak sensitive terhadap noise.
3. Faktor signal, faktor-faktor yang mengubah nilai-nilai karakteristik kualitas yang akan diukur. Karakteristik kualitas dalam perancangan eksperimen dimana faktor signal mempunyai nilai konstan (dalam hal ini tidak dimasukkan sebagai faktor) disebut karakteristik statis. Jika faktor signal dapat mengambil banyak nilai, maka karakteristik mempunyai sifat dinamik.
II - 19
Faktor signal tidak ditentukan oleh ahli teknik, tetapi oleh konsumen berdasarkan hasil yang diinginkan.
4. Faktor skala, faktor yang digunakan untuk mengubah rata-rata level karakteristik kualitas untuk mencapai hubungan fungsional yang diperlukan antara faktor signal dengan karakteristik kualitas. Faktor scaling disebut juga faktor penyesuaian.
Dalam penentuan faktor-faktor yang berpengaruh dalam eksperimen beserta setting level ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
1. Factor levels, merupakan jumlah level atau atribut yang diberikan oleh faktor- faktor yang berpengaruh dalam eksperimen, baik faktor terkendali, faktor noise, faktor signal, atau faktor skala.
2. Number of factor levels, jumlah level dan seting level yang dipilih tergantung pada sejauh mana diketahui proses atau produk yang diteliti.
3. Range of factor levels, semakin luas jarak yang digunakan dalam eksperimen, maka kemungkinan ditemukannya efek dari faktor yang ada dalam penentuan karakteristik kualitas akan semakin baik
4. Feasibility of factor levels, dalam pemilihan level untuk tiap faktornya perlu mempertimbangkan apakah level yang dipilih memungkinkan atau dapat dijalankan dalam membuat kombinasi eksperimen.
2.10 Eksperimen dengan Metode Taguchi
Desain eksperimen dengan metode Taguchi termasuk dalam kelompok fractional factorial experiment. Taguchi menyusun orthogonal array untuk tata letak eksperimennya. Keuntungan dari orthogonal array (OA) adalah kemampuan untuk mengevaluasi beberapa faktor dengan jumlah test minimum.
Sebuah orthogonal array biasanya dilambangkan seperti pada Gambar 2.5 dan informasi yang bisa diperoleh dari orthogonal array sebagai berikut :
Gambar 2.5 Notasi orthogonal array
II - 20 Uraian notasi adalah sebagai berikut :
1. Notasi L, merupakan informasi yang berdasarkan pada penyususnan faktor latin square. Penyusunan latin square adalah penyusunan square matrik dengan pemisahan faktor-faktor yang berpengaruh. Sehingga notasi L menggambarkan informasi orthogonal array.
2. Jumlah baris, merupakan jumlah eksperimen yang dibutuhkan pada saat menggunakan orthogonal array.
3. Jumlah kolom, merupakan jumlah faktor yang dapat dipelajari dalam orthogonal array yang dipilih
4. Jumlah level, merupakan jumlah level dari faktor-faktor yang digunakan dalam eksperimen.
Orthogonal array L8(27) diartikan sebagai orthogonal array yang mempunyai
7 faktor dengan 2 level dan eksperimen dilakukan 8 kali. Bentuk standar orthogonal array dari Taguchi dijelaskan pada Tabel 2.4 berikut ini.
Tabel 2.4 Orthogonal array standar dari Taguchi
Sumber: Belavendram, 1995
Interaksi adalah suatu faktor bergantung pada level tertentu dari faktor lain. Interaksi terjadi bila pengaruh bersama 2 faktor atau lebih berbeda dari jumlah masing-masing secara individu.
2.10.1 Langkah-Langkah Eksperimen Metode Taguchi
Langkah-langkah dalam eksperimen dengan metode Taguchi meliputi : 1. Perumusan Masalah
Pada tahap ini perlu didefinisikan masalah yang akan diteliti dengan tepat. Perumusan masalah harus spesifik dan jelas batasannya dan juga secara teknis harus dapat dilaksanakan dalam eksperimen.
2. Tujuan Eksperimen
II - 21
3. Tentukan respon (karakteristik kualitas) yang akan diukur dan metode pengukuran.
Data respon yang didapatkan dari eksperimen harus diukur dengan alat ukur yang valid dan dengan pengukuran yang benar.
4. Identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada performansi karakteristik kualitas
Pada tahap ini akan dipilih faktor-faktor mana saja yang akan diselidiki pengaruhnya. Dalam eksperimen tidak seluruh faktor yang diperkirakan mempengaruhi respon diselidiki. Hanya faktor yang dianggap penting saja yang diselidiki. Beberapa metode yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh adalah brainstorming, flowcharting, cause-effect diagram, pareto analysis dan metode Delphi.
5. Pemisahan faktor terkontrol dan faktor tidak terkontrol
Hal yang harus diperhatikan adalah faktor tidak terkontrol perlu dipisahkan antara yang dapat diukur dan yang tidak dapat diukur.
6. Penentuan jumlah level dan nilai level faktor
Pemilihan jumlah level mempunyai peranan penting karena berkaitan dengan ketelitian eksperimen dan ongkos eksperimen. Level faktor dapat dinyatakan secara kuantitatif seperti temperature 400 C dan dapat juga dinyatakan secara kualitatif seperti rendah-tinggi.
7. Identifikasi interaksi antar faktor
Interaksi muncul ketika dua faktor atau lebih memiliki perlakuan secara bersama dalam memberikan hasil yang berbeda pada respon dibandingkan jika faktor mengalami perlakuan sendiri. Tetapi Taguchi lebih mementingakan engineering approach, dengan cara mengamati pada penyebab utama (main effect) karena seringkali interaksi sulit untuk dijelaskan.
8. Perhitungan derajat kebebasan
Perhitungan derajat kebebasan digunakan untuk menghitung jumlah minimum eksperimen yang harus dilakukan.
9. Pemilihan orthogonal array
Dalam pemilihan orthogonal array haruslah memenuhi Vln ˃ Vp dengan Vln
II - 22 10. Penugasan faktor pada orthogonal array
Penugasan faktor pada orthogonal array yang dipilih didasarkan pada grafik linier dan tabel triangular. Kedua hal tersebut merupakan alat bantu yang dirancang oleh Taguchi.
11. Persiapan pelaksanaan eksperimen
Persiapan eksperimen meliputi penentuan jumlah replikasi dan randomisasi pelaksanaan eksperimen. Replikasi dilakukan untuk mengurangi tingkat kesalahan percobaan dan meningkatkan ketelitian data eksperimen. Sedangkan randomisasi dimaksudkan untuk meratakan pengaruh faktor error, memberi kesempatan yang sama pada semua unit eksperimen sehingga ada kehomogenan pengaruh dan mendapatkan hasil pengamatan yang independen satu dengan yang lain.
12. Analisis data
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan, pengaturan, perhitungan dan penyajian data dalam suatu layout tertentu sesuai dengan desain yang dipilih. Beberapa tool yang digunakan adalah analisis variansi, test F, pooling up, dan signal to noise ratio.
13. Intepretasi hasil
Dapat dilakukan menggunakan persentase kontribusi dan selang kepercayaan faktor.
14. Pemilihan setting faktor yang optimal
2.11 Analisis Variansi (ANOVA)
Analisis variansi diperkenalkan pertama kali oleh Sir Ronald Fisher, ahli statistik dari Inggris. Analisis variansi adalah suatu metode yang membagi variansi menjadi sumber variansi yang dapat diidentifikasikan dan merupakan pengumpulan derajat kebebasan dalam eksperimen. Data-data yang diambil, baik data kondisi sebenarnya maupun data hasil eksperimen dalam robust design dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu:
1. Variabel, yaitu data yang dapat dipertanggungjawabkan selama pengukuran dalam skala yang kontinu.
II - 23
2. Atribut, yaitu data dari eksperimen yang mempunyai karakteristik yang bukan kontinu tetapi dapat diklasifikasikan dalam skala diskret.
3. Digital, yaitu suatu data yang memiliki nilai 0 atau 1.
Dalam perhitungan analisis variansi metode Taguchi, langkah-langkah pengerjaannya, sebagai berikut:
Langkah 1: menghitung rata-rata respon setiap eksperimen dengan rumus sebagai berikut:
(2.5) Langkah 2: menghitung rata-rata total seluruh eksperimen dengan rumus
sebagai berikut:
(2.6) Langkah 3: membuat tabel respon, perbedaan dapat diketahui dengan cara
melakukan pengurangan nilai tertinggi dengan nilai terendah dari tiap-tiap level kemudian dirangking dari nilai tertinggi sampai nilai terendah kemudian dimasukkan dalam Tabel respon 2.5 seperti berikut ini:
Tabel 2.5 Respon tabel faktor
Langkah 4: menghitung the total sum of squres dengan rumus sebagai berikut:
(2.7)
Langkah 5: menghitung the sum of squares due to the mean dengan rumus sebagai berikut:
II - 24
Langkah 6: menghitung the sum of squares due to the factors dengan rumus sebagai berikut:
(2.9)
Langkah 7: menghitung the sum of squares due to the error dengan rumus sebagai berikut:
(2.10) Langkah 8: menghitung the mean sum of squares dengan rumus sebagai berikut:
(2.11) Langkah 9: menghitung F-ratio dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
(2.12) Langkah 10: menghitung pure sum of squares dengan rumus sebagai berikut:
(2.13) Langkah 11: menghitung percent contribution dengan rumus sebagai berikut:
(2.14) Langkah 12: membuat tabel analisa variansi hasil perhitungan
2.12 Signal To Noise Ratio (S/N Ratio)
Signal to noise ratio (S/N Ratio) adalah logaritma dari suatu fungsi kerugian kuadratik. S/N Ratio bertindak sebagai indikator mutu selama perancangan untuk mengevaluasi akibat perubahan suatu perancangan parameter tertentu terhadap terhadap unjuk kerja produk. Maksimasi ukuran performansi ditunjukkan dengan tingginya nilai signal dan rendahnya noise, karena itu karakteristik kualitas perlu dikelompokkan terlebih dahulu agar diperoleh konsistensi dalam mengambil keputusan terhadap hasil eksperimen.
Penerapan S/N Ratio dalam memperbaiki dan merancang mutu suatu produk atau proses lebih menekankan pada reduksi derau daripada peningkatan signalnya. Peningkatan signal menekankan penambahan sumber daya tambahan, inspeksi
II - 25
pengendalian produk dan penggunaan bahan mentah yang lebih mahal sehingga biaya yang dikeluarkan lebih besar. Reduksi derau menekankan pada kendali proses statistik untuk mendeteksi adanya variasi dan kemudian dihilangkan penyebabnya (menekankan pada perancangan parameter).
Taguchi merekomendasikan karakteristik dari SNR sebagai berikut : 1. Smaller the better (s.t.b),
Memiliki karakteristik kualitas yang kontinu dan tidak negatif yang mempunyai nilai dari 0 sampai ~ dimana nilai defect yang diinginkan adalah 0. Sehingga signal to noise ratio dapat dihitung sebagai berikut:
(2.15) dengan;
n = jumlah pengulangan eksperimen
yi = data pengamatan ke-i (i = 1,2,3,……,n) 2. Larger the better (l.t.b),
Memiliki karakteristik kualitas yang kontinu dan tidak negatif yang mempunyai nilai 0 sampai ~ dimana nilai target yang diharapkan adalah selain
0 atau dengan kata lain mempunyai nilai sebesar mungkin. Sehingga signal to noise ratio dapat dihitung dengan rumus:
(2.16) dengan;
n = jumlah pengulangan eksperimen
yi = data pengamatan ke-i (i = 1,2,3,……,n) 3. Nominal the best (n.t.b),
Memiliki karakterisik kualitas yang kontinu dan non negatif yang mempunyai nilai dari 0 sampai ~ dimana nilai target yang diharapkan adalah selain 0 dan merupakan bilangan yang terbatas. Sehingga signal to noise ratio dapat dihitung dengan rumus:
II - 26
(2.17) dengan;
n = jumlah pengulangan eksperimen
yi = data pengamatan ke-i (i = 1,2,3,……,n) µ = rata-rata
σ = standar deviasi 4. Signed target,
Memiliki karakteristik kualitas yang dapat digunakan, baik bernilai positif maupun negatif meskipun target nilai dari karakteristik kualitasnya adalah 0. Sehingga signal to noise ratio dapat dihitung dengan rumus:
(2.18)
5. Fraction defection,
Memiliki karakteristik kualitas yang sebanding dan dinyatakan dalam nilai pecahan antara 0 sampai 1. Sehingga signal to noise ratio dapat dihitung dengan rumus:
(2.19) dengan; p = nilai kecacatan produk dalam pecahan
2.13 Confidence Interval
Setelah suatu eksperimen dijalankan, maka tindakan selanjutnya adalah menghitung rata-rata proses pada kondisi yang diinginkan. Selang kepercayaan (confidence interval) adalah selang antara dua nilai statistik dengan tingkat probabilitas tertentu dimana nilai yang sebenarnya dari parameter berada di dalamnya. Sehingga tujuan penggunaan confidence interval adalah untuk membuat perkiraan dari level-level faktor dan prediksi rata-rata proses pada keadaan optimal. Adapun pembagian confidence interval, sebagai berikut:
II - 27
1. Confidence interval level faktor, penghitungan confidence interval untuk level faktor menggunakan rumus :
(2.20) dengan;
Fαv1v2 : F ratio dari tabel α : tingkat kesalahan
V1 : derajat kebebasan yang bernilai 1 untuk interval kepercayaan V2 : derajat kebebasan dari pooled error variance
Ve : error variance n : jumlah observasi
Misalnya suatu eksperimen yang melibatkan empat faktor dua level A, B, C dan D. Jika faktor A pada level 1 berpengaruh pada nilai respon, maka confidence interval untuk level faktor A1 dapat dihitung dengan rumus:
(2.21) 2. Confidence interval nilai prediksi rata-rata, confidence interval nilai prediksi
rata-rata dihitung berdasarkan nilai rata-rata faktor dan interaksi yang mempengaruhi nilai respon. Misalnya suatu eksperimen yang melibatkan empat faktor A, B, C dan D, ternyata dari keempat faktor tersebut hanya faktor B pada level 1 dan D pada level 2 yang mempengaruhi nilai respon., sehingga nilai prediksi rata-ratanya (predicted process mean) dapat dihitung sebagai berikut:
(2.22)
Sedangkan confidence interval untuk nilai prediksi rata-rata dapat dihitung dengan rumus :
(2.23)
II - 28 Fαv1v2 : F ratio dari tabel
α : tingkat kesalahan
V1 : derajat kebebasan yang bernilai 1 untuk interval kepercayaan V2 : derajat kebebasan dari pooled error variance
Ve : error variance
neff : jumlah observasi yang efektif
(2.24) Sehingga confidence interval untuk prediksi nilai rata-rata dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
(2.25) 3. Confidence interval eksperimen konfirmasi, confidence interval untuk
eksperimen konfirmasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
𝐶𝐼 = √𝐹𝛼,𝑣1.𝑣1𝑥 𝑉𝑒 𝑥 [𝑛𝑒𝑓𝑓1 + 1𝑟] (2.26)
dengan;
Fαv1v2 : F ratio dari tabel α : tingkat kesalahan
V1 : derajat kebebasan yang bernilai 1 untuk interval kepercayaan V2 : derajat kebebasan dari pooled error variance
Ve : error variance
neff : jumlah observasi yang efektif r : jumlah pengulangan (replikasi)
Sehingga confidence interval untuk eksperimen konfirmasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
𝜇𝑐𝑜𝑛𝑓𝑖𝑟𝑚𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛− 𝐶𝐼 ≤ 𝜇𝑐𝑜𝑛𝑓𝑖𝑟𝑚𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 ≤ 𝜇𝑐𝑜𝑛𝑓𝑖𝑟𝑚𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛+ 𝐶𝐼 (2.27) Keputusan kondisi optimal dapat diterima atau tidak yaitu dengan membandingkan rata-rata nilai estimasi dan rata-rata hasil eksperimen konfirmasi dengan masing-masing selang kepercayaan. Penjelasan lebih lanjut diuraikan pada Tabel 2.6 berikut ini.
II - 29
Tabel 2.6 Perbandingan Selang Kepercayaan
2.14 Kelebihan dan Kekurangan Metode Taguchi
Metode Taguchi merupakan metodologi baru dalam bidang teknik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas produk dan proses serta dapat menekan biaya kualitas dan resources seminimal mungkin. Sasaran Metode tersebut adalah menjadikan produk tidak sensitif terhadap noise, sehingga disebut sebagai robust design.
Kelebihan menggunakan metode Taguchi dibandingkan dengan desain eksperimen yang lain adalah sebagai berikut:
a. Metode Taguchi memungkinkan eksperimen dengan banyak faktor dengan jumlah eksperimen yang sedikit sehingga menghemat waktu dan biaya. b. Metode Taguchi memisahkan antara faktor tidak terkendali dan faktor
terkendali.
c. Metode Taguchi memperhatikan pengaruh terhadap rata-rata dan variansi suatu performansi, ini memungkinkan diperolehnya suatu rancangan proses yang akan menghasilkan produk yang lebih konsisten.
d. Hasil yang diperoleh tidak hanya mengenai faktor-faktor yang berpengaruh tetapi juga mengenai level-level faktor yang optimal.
Keunggulan lain Metode Taguchi yang cukup fenomenal adalah transformasi data eksperimen dalam bentuk Signal-to-noise ratio (SNR). SNR bahkan diklaim mampu memilih kombinasi level yang mengoptimalkan respon baik dari sisi rata-rata maupun variasi data percobaan bahkan dari sisi biaya kualitas (Belavendram, 1995), karena SNR mengakomodasi quality loss function serta dapat disesuaikan dengan jenis optimasi yang diinginkan (nominal the best, smaller the better, larger the better). Hal inilah yang menjadi ide dasar istilah robut design, yakni desain parameter produk yang handal dan meminimalkan adanya variasi antar produk serta
II - 30
kerugian biaya kualitasnya ketika akan dilakukan produksi secara massal. Namun, keunggulan ini juga mengandung titik kelemahan Taguchi, yakni tidak adanya prosedur untuk menemukan level-level baru untuk setiap faktor selain level-level yang telah ditentukan sebelumnya. Artinya, Taguchi hanya mencari kombinasi level-level faktor untuk mengoptimalkan respon, tanpa mempertimbangkan adanya kemungkinan menggeser level faktor ke arah optimal yang lebih baik. Adapun kekurangan metode Taguchi adalah jika pemilihan rancangan eksperimen tidak sesuai maka beberapa rancangan akan mengorbankan interaksi dan ada yang membaurkan pengaruh utama dengan pengaruh interaksi (Pujiyanto, 1998).
2.15 PCR-TOPSIS
Process Capability Ratio (PCR) dan Technique for Order Performance by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) merupakan metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah multirespon. PCR merupakan kemampuan sebuah proses untuk memenuhi spesifikasi desain yang ditetapkan oleh permintaan konsumen, walaupun sebuah proses terkendali secara statistik. TOPSIS merupakan metode pengambilan keputusan multikriteria yang menggunakan prinsip bahwa alternatif yang terpilih harus mempunyai jarak terdekat dari solusi ideal positif dan jarak terjauh dari solusi ideal negatif dari sudut pandang geometris menggunakan jarak antara dua titik (Djami dan Sony, 2014).
Sebuah proses dikatakan mampu jika nilainya berada diantara spesifikasi atas dan bawah. Jika PCR > 1 maka proses yang dilakukan baik (Capable), PCR < 1 maka proses yang dilakukan tidak baik (Not Capable), dan jika PCR = 1 maka proses sesuai dengan spesifikasi konsumen. Semakin tinggi rasio kemampuan proses, maka semakin besar proses berada dalam spesifikasi yang diinginkan.
Solusi ideal pada TOPSIS didefinisikan sebagai jumlah dari seluruh nilai terbaik yang dapat dicapai untuk setiap atribut, sedangkan solusi ideal negatif terdiri dari seluruh nilai terburuk yang dicapai untuk setiap atribut. TOPSIS mempertimbangkan jarak terhadap solusi ideal positif dan negatif dengan mengambil kedekatan relatif terhadap solusi ideal positif. Berdasarkan perbandingan terhadap jarak relatifnya, susunan prioritas alternatif bisa dicapai.
II - 31
Metode PCR-TOPSIS dihitung setelah data diolah menjadi S/N Ratio menggunakan metode Taguchi. Rumus untuk menghitung PCR-SNR adalah sebagai berikut. 𝐶𝑗 𝑖 = 𝜂𝑗 𝑖− − 𝑋𝜂𝑗 3𝑠𝜂𝑗 (2.28) Dimana, − 𝑋𝜂𝑗 = ∑𝑚𝑖=1𝜂𝑗𝑖 𝑚−1 (2.29) 𝑠𝜂𝑗= √ ∑ (𝜂𝑗𝑖− −𝑋 𝜂𝑗) 2 𝑚 𝑖=1 𝑚−1 (2.30) Dengan, 𝐶𝑗 𝑖 = nilai PCR-SNR
𝜂𝑗𝑖 = kontribusi kualitas maksimal untuk respon ke-j percobaan ke-i −
𝑋𝜂𝑗 = rata-rata sampel untuk respon SNR pada respon ke-j
𝑠𝜂𝑗 = standar deviasi sampel untuk SNR respon ke-j.
Rumus untuk menghitung TOPSIS dari hasil PCR-SNR adalah sebagai berikut. 𝑆𝑖 = 𝑑𝑖− 𝑑𝑖++ 𝑑𝑖− (2.31) Dimana, 𝑑𝑖+ = √∑ (𝐶 𝑗𝑖− 𝐶𝑗+)2 𝑛 𝑗=1 untuk i = 1,...,m. (2.32) 𝑑𝑖− = √∑𝑛 (𝐶𝑗𝑖− 𝐶𝑗−)2 𝑗=1 untuk i = 1,...,m. (2.33) Dengan, 𝑆𝑖 = nilai TOPSIS
𝑑𝑖+ = jarak percobaan ke-i dari solusi ideal (solusi ideal positif) 𝑑𝑖− = jarak percobaan ke-i dari solusi ideal (solusi ideal negatif).