• Tidak ada hasil yang ditemukan

Embriogenesis Somatik dari Eksplan Benih Gandum Tropis (Triticum aestivum L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Embriogenesis Somatik dari Eksplan Benih Gandum Tropis (Triticum aestivum L.)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Embriogenesis Somatik dari Eksplan Benih Gandum Tropis (Triticum

aestivum L.)

Somatic Embryogenesis in Seed Explant of Tropical Wheat (Triticum aestivum L.)

Endang Pudjihartati

*

dan Maria Marina Herawati

Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jln. Diponegoro 5560 Salatiga E-mail: [email protected] *Penulis untuk korespondensi

Abstract

Somatic embryogenesis of tropical wheat, Dewata variety and two wheat lines collection of the Wheat Studies Center, SWCU Agriculture and Business Faculty, namely R-036 and R-040, were investigated using mature embryos (seeds) as explants. These studies consists of the embryogenic callus induction and proliferation phase, to obtain tropical wheat genotypes that can be cultured in vitro and the best medium in order to get somatic embryos (SE). In induction phase, the wheat seeds explants were cultured on four concentrations of 2,4-d (2; 2.5; 3 and 3.5 ppm). Four compositions media containing 2.5 and 3 ppm 2,4-D with and without 0.5 ppm BAP has been studied for proliferation phase. The results showed that the number of primary SE and SE score relatively high on the Dewata variety at 3 ppm 2,4-d, the R-040 line at 2.5 ppm 2,4-d, and R-036 line at 2 ppm 2.4-d. The R-036 wheat line produces the number of primary SE and SE scores are relatively high compared to the other genotypes. The quality of seeds affect explant response to the primary SE and SE scores and less affect to the number of secondary ES and ES score. In the proliferation phase, the relatively highest number of secondary ES, from R-036 line at 2.5 ppm 2,4-d, while the Dewata variety and R-040 at 2.5 ppm and 3.0 ppm 2,4-d, respectively.Application of 2,4-d with BAP decrease the number of SE, but only small decrease the secondary ES scores on three genotypes.The maximum secondary SE score of R-036 line at 2.5 ppm 2.4 - d but there was no influence PGR compositions studied (2,4-D and BAP) to the SE scores proliferation on Dewata variety and R-040 line.

Keywords: Tropical wheat, callus induction, proliferation, 2.4-d,BAP Abstrak

Embriogenesis somatik dalam penelitian ini menggunakan eksplan embrio dewasa (benih) gandum tropis varietas Dewata dan galur R-036 dan R-040 koleksi Pusat Studi Gandum Fakultas Pertanian dan Bisnis UKSW, meliputi tahap induksi dan proliferasi. Penelitian ini bertujuan mendapatkan genotipe gandum tropis yang mudah di kultur secara in vitro dan medium yang baik dalam rangka memperoleh Embrio Somatik (ES). Pada tahap induksi, benih gandum dikultur pada empat konsentrasi 2,4-d (2; 2,5; 3 dan 3,5 ppm). Pada tahap proliferasi diteliti empat komposisi media yang mengandung 2,5 dan 3 ppm 2,4-d dengan dan tanpa 0,5 ppm BAP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah ES dan skor ES primer relatif tertinggi dari varietas Dewata pada 3 ppm 2,4-d, galur R-040 pada 2,5 ppm 2,4-d, dan galur R-036 pada 2 ppm 2,4-d. Eksplan gandum galur R-036 menghasilkan jumlah ES dan skor ES primer relatif tertinggi dibandingkan genotipe lain. Mutu benih yang digunakan mempengaruhi respons eksplan dalam menghasilkan jumlah ES dan skor ES primer dan kurang mempengaruhi jumlah ES dan skor ES sekunder. Pada tahap proliferasi, jumlah ES sekunder relatif tertinggi, dari galur R-036 pada 2,5 ppm 2,4-d, sedangkan varietas Dewata dan R-040 berturut-turut pada 2,5 ppm dan 3,0 ppm 2,4-d. Aplikasi 2,4-d yang dikombinasikan dengan BAP dapat menurunkan jumlah ES, tetapi hanya cenderung menurunkan skor ES sekunder pada ketiga genotipe. Pada skor ES hasil proliferasi tidak diamati adanya pengaruh komposisi ZPT yang diteliti (2,4-d dan BAP) pada varietas Dewata dan galur R-040, sedangkan pada galur R-036 skor ES sekunder maksimum pada 2,5 ppm 2,4-d.

Kata kunci: Gandum tropis, induksi kalus, proliferasi, 2,4-d, BAP

(2)

Pendahuluan

Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan makanan pokok kedua setelah padi (Eva, 2012), padahal selama ini kebutuhan industri gandum Indonesia 100% dipasok dari gandum impor dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Loppies dalam Suhendra, 2009). Berdasarkan data statistik pada 4 tahun terakhir, impor gandum Indonesia tahun 2009 sebesar 4,5 juta ton, tahun 2010 sebesar 4,85 juta ton, tahun 2011 sebesar 5,2 juta ton dan pertengahan tahun 2012 impor gandum sebesar 5,85 dan diperkirakan akan menembus 6,6 juta ton sampai akhir tahun 2012 (BPS, 2012) Gandum juga dikenal sebagai bahan pangan dengan kandungan gluten dan proteinnya yang cukup tinggi dibandingkan bahan makanan lainnya sesama serealia. Menurut Direktorat Gizi Depkes RI (1981) kandungan protein gandum sebesar 13,8 gram sedangkan kandungan protein dalam beras sebesar 7,5 gram dan jagung 9,2 gram per 100 gram bahan.

Tanaman gandum jarang ditemukan di Indonesia karena kondisi lingkungan fisik memang tidak cocok untuk tanaman gandum yang merupakan tanaman subtropis (Arini, 2010). Kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan gandum membuka peluang pemulia untuk menghasilkan varietas gandum yang dapat dibudidayakan di daerah tropis, yaitu varietas gandum yang hasil produksinya tinggi pada kondisi lingkungan tropis. Pemanfaatan bioteknologi, khususnya kultur jaringan dalam pemuliaan sudah banyak dilakukan, seperti rekayasa genetika untuk memperoleh tanaman transgenik dan induksi mutasi secara in vitro (induksi variasi somaklonal), baik menggunakan bahan kimia (Soedjono, 2003), senyawa metabolit organisme

pengganggu tanaman maupun radiasi (Endang dkk., 2006).

Dalam teknik rekayasa genetika untuk menghasilkan tanaman transgenik dan induksi mutasi secara in vitro membutuhkan dukungan teknik kultur jaringan yang mantap, baik untuk tahap regenerasi maupun dalam penyediaan embrio somatik. Zat pengatur tumbuh auksin, khususnya 2,4-d banyak digunakan untuk induksi kalus (embriogenik) gandum. Aplikasi 2,4-d dengan kisaran konsentrasi 2,0 2,5 3,0

3,5 4,0 mg/l yang dilakukan oleh Shah dkk., (2003) menggunakan varietas Lu-26S, kalus terbaik (remah berwarna kuning pucat) diamati pada konsentrasi 3,5 mg/l, sedangkan yang dilakukan oleh Noor dkk., (2009) pada dua kultivar Kohsar dan Khyber-87 menunjukkan bahwa hasil induksi maksimum berturut-turut pada konsentrasi 2,4-d sebesar 3,0 dan 3,5 mg/l. Beberapa peneliti juga telah mencoba mengombinasikannya 2,4-d dengan 2-benzothiazoleoxyacetic acid (Yasmin dkk., 2001), NAA (Ayse dkk., 2006) dan Kinetin (Rashid dkk., 2009), tetapi kalus embriogenik atau embrio somatik terbanyak diperoleh bila hanya menggunakan 2,4-d.

Penelitian untuk tahap proliferasi ES gandum sangat sedikit. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan 2,4-d dengan konsentrasi terlalu tinggi justru menurunkan perolehan kalus embriogenik (ES). Dalam penelitiannya, Malik dkk., (2004) melakukan pemeliharaan embrio somatik gandum pada media MS ditambah 2,4-d dengan konsentrasi 2 mg/l. Hasil penelitian Rashid dkk., (2009) menggunakan empat varietas (Inqilab-91, Chakwal-97, Tatara dan Manthar) menunjukkan bahwa proliferasi terbaik pada penggunaan 2,4-d berkisar antara 2dan3 mg/l. Pada aplikasi 4 mg/l diamati bobot kalus meningkat tetapi tidak embriogenik, jumlah embrio somatic menurunkan dan aplikasi pada konsentrasi 5 mg/l menurunkan bobot kalus. Untuk meningkatkan perolehan kalus yang embriogenik (ES), Shah dkk., (2003) mengkombinasi zat pengatur tumbuh 2,4-d dengan BAP dan Kin pada proliferasi kalus gandum varietas Lu-26S. Kalus embriogenik terbaik diperoleh pada kombinasi 2,4-d dan BAP.

Prinsip kultur jaringan sendiri adalah sederhana, tetapi dalam pelaksanaannya sangat spesifik untuk jenis maupun genotipe tertentu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan genotipe gandum koleksi Pusat Studi Gandum yang mudah dikultur secara in vitro dan komposisi zat pengatur tumbuh khususnya auksin jenis 2,4-d yang paling baik pada induksi kalus embriogenik dan proliferasi, dalam rangka untuk memperoleh kalus yang embriogenik (embrio somatik) gandum.

(3)

Metode Penelitian

Teknik kultur jaringan gandum dalam penelitian ini meliputi tahapan induksi kalus dan proliferasi untuk memperoleh kalus embriogenik (embrio somatik/ES) sekunder, yang dapat digunakan untuk transformasi genetik dan induksi variasi somaklonal. Genotipe gandum yang digunakan adalah varietas Dewata dan 2 genotipe gandum koleksi Pusat Studi Gandum (PSG) Fakultas Pertanian dan Bisnis (FPB), Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), yaitu R-036 dan R-040.

Induksi kalus dan pembentukan embrio somatik primer

Untuk mengetahui respons genotipe pada media induksi kalus gandum dan kisaran 2,4-d yang akan ditetapkan menggunakan media dasar MS, digunakan eksplan embrio dewasa (benih) dari 6 genotipe gandum (var. Dewata serta beberapa galur koleksi PSG FPB UKSW, yaitu R035, R036, R039, R040 dan R043). Medium induksi menggunakan MS ditambah dua macam konsentrasi 2,4-d, yaitu 2,5 ppm dan 3,5 ppm. Setelah 2 x 24 jam dan satu minggu, perkembangan eksplan diamati dan dibedakan atas tipe perkembangan A = tumbuh tunas dan akar, B = tumbuh kalus dan akar, C = benih belum memperlihatkan perkembangan.

Percobaan induksi kalus embriogenik selanjutnya menggunakan eksplan benih gandum var Dewata serta dua galur R036 dan R040 yang dikultur pada media MS ditambah berbagai konsentrasi 2,4-d (2 ppm, 2,5 ppm, 3,0 ppm dan 3,5 ppm 2,4-d). Kultur induksi kalus menggunakan 10 eksplan untuk tiap unit percobaan dan diulang sebanyak 3 kali. Kultur dilakukan selama 1 (satu bulan) pada ruang inkubasi dengan fotoperiodisitas 12 jam, sumber cahaya matahari.

Proliferasi kalus dan pembentukan embrio somatik sekunder

Setelah dipotong dan dibuang bagian pucuk dan akarnya, kalus dan ES primer hasil induksi yang terbentuk pada bagian pangkal daun (leaf base) disubkultur dan digunakan sebagai eksplan untuk percobaan proliferasi. Untuk tahap proliferasi, dicoba empat komposisi media yang mengandung auksin dan

sitokinin, yaitu 2,5 dan 3,0 ppm 2,4-d, dengan atau tanpa ditambah 0,5 ppm BAP. Kultur tetap diletakkan pada ruang penyimpanan dengan kondisi terang 12 jam/gelap 12 jam hingga membentuk ES sekunder.

Hasil ES primer dan sekunder yang diperoleh pada tahap induksi dan proliferasi dilakukan pengamatan jumlah ES total, jumlah ES pada setiap tahap perkembangan (globular, heart-shape dan torpedo) dan skoring proses embriogenesis berdasarkan perkembangan embrio somatik hasil proliferasi.

Skoring proses embriogenesis somatik gandum

Penskoran kalus dan embrio somatic primer dan sekunder (skor 1 sampai skor 5) berdasarkan jumlah ES total dan tahap perkembangan ES (globular, heart-shape dan torpedo). Skor 0: Kalus embriogenik kurang dari 10%, belum terlihat struktur embrio somatik; Skor 1: Kalus embriogenik 10–19%, 0–4 ES/eksplan, fase globular; Skor 2: Kalus embriogenik 20–39%, 5–8 ES/eksplan, fase globular dan Heart Shape; Skor 3: Kalus embriogenik 40–59%, 9–12 ES/eksplan, fase globular dan Heart Shape; Skor 4: Kalus embriogenik 60–79%, 13–16 ES/eksplan, fase globular, Heart Shape dan Torpedo; Skor 5: Kalus embriogenik lebih dari 80%, > 16 ES/eksplan, fase globular, Heart Shape dan Torpedo.

Hasil dan Pembahasan

Induksi embriogenesis somatik

Induksi kalus dan ES primer semula menggunakan eksplan pangkal daun kecambah in vitro gandum umur satu minggu, yaitu prosedur untuk menginduksi ES gandum dan proliferasinya menggunakan metode rapid induction Somatic Embryo (SE) hasil penemuan Mahalakshmi dkk., (2003). Metode tersebut dirasakan terlalu rumit dan membutuhkan waktu lebih lama. Selanjutnya, penelitian ini menggunakan benih gandum sebagai eksplan, berdasarkan hasil penelitian Shah dkk., (2003) dan Bi dkk., (2007) yang menyatakan bahwa embrio dewasa (benih) gandum dapat langsung digunakan sebagai

(4)

eksplan untuk menginduksi kalus embriogenik. Metode ini lebih praktis dan membutuhkan waktu lebih singkat.

Induksi kalus gandum menggunakan eksplan embrio dewasa berupa benih gandum pada medium yang mengandung 2,4-d pada konsentrasi 2,5 ppm dan 3,5 ppm, diamati menghasilkan tiga tipe perkembangan, yaitu benih hanya berimbibisi tetapi tidak memperlihatkan perkembangan (tipe A), hanya terbentuk atau tumbuh kalus saja (tipe B) dan tumbuh tunas dan akar serta kalus di pangkal daunnya (tipe C). Ketiga tipe perkembangan eksplan dapat dilihat pada Gambar 2.

Jumlah dan persentase tiap-tiap tipe perkembangan dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi 2,4-d dari 2,5 ppm menjadi 3,5 ppm mampu meningkatkan persentase benih yang membentuk kalus saja (B), kecuali pada galur R-039 dan R-040. Pada galur R-039 justru menurunkan persentase benih yang membentuk kalus saja dan meningkatkan jumlah benih yang membentuk tunas, akar dan kalus (C). Respons galur terhadap perubahan konsentrasi 2,4-d menunjukkan bahwa galur R-040 kurang responsif karena tidak menunjukkan pengaruh yang berarti dan sebagian besar masih membentuk tunas dan akar. Hal ini karena dipengaruhi oleh ZPT endogen pada tiap-tiap genotype Interaksi dan perimbangan antara 2,4-d eksogen yang diaplikasikan dalam medium dan ZPT endogen pada tiap-tiap genotipe menentukan arah perkembangan eksplan. Selain itu, banyak eksplan varietas Dewata tidak menunjukkan perkembangan, baik pada konsentrasi 2,5 ppm maupun 3,5 ppm 2,4-d. Diduga mutu benih var. Dewata kurang baik atau memiliki vigor rendah. Hal ini didukung oleh pengamatan persentase benih yang terkontaminasi pada saat kultur in vitro, yaitu var. Dewata 26,24%, galur R-036 sebanyak 6,25% dan galur R-040 sebanyak 7,50%.

Untukmengetahuiresponsembriogenesis somatik pada medium induksi kalus dengan empat konsentrasi 2,4-d (yaitu 2,0 ppm; 2,5 ppm; 3,0 ppm; dan 3,5 ppm) dilakukan penelitian menggunakan tiga genotipe gandum, yaitu varietas Dewata (varietas yang dihasilkan PSG FPB UKSW), galur R-036 yang sangat

responsif dan galur R-040 yang tidak/kurang responsif terhadap peningkatan konsentrasi 2,4-d. Jumlah eksplan yang membentuk kalus dapat dilihat pada Tabel 2.

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada induksi kalus eksplan benih gandum, diamati jumlah eksplan yang membentuk kalus paling sedikit terbentuk dari genotipe Dewata, yaitu pada media 2 hingga 3 ppm 2,4-d dengan kisaran 5,33 hingga 9,67. Pada konsentrasi 2,4-d sebanyak 3,5 ppm, jumlah eksplan gan2,4-dum var. Dewata yang membentuk kalus relatif rendah, yaitu sebanyak 12 buah. Pada eksplan galur R-036 menunjukkan jumlah eksplan yang membentuk kalus paling banyak bila digunakan 2,4-d dengan konsnetrasi ≥ 2,5 ppm, yaitu berkisar antara 16,3 hingga16,67. Eksplan galur R-040 tetap menunjukkan respons yang rendah terhadap perubahan konsentrasi 2,4-d, seperti halnya yang diamati pada Tabel 1. Berdasarkan jumlah eksplan gandum yang membentuk kalus diduga menggambarkan bahwa apabila menggunakan eksplan embrio dewasa dalam bentuk benih, respons genotipe dalam membentuk kalus terhadap aplikasi konsentrasi 2,4-d juga dipengaruhi oleh mutu benih, yang digunakan sebagai eksplan (Tabel 1).

Pengaruh mutu benih yang digunakan sebagai eksplan, juga diamati pada variable jumlah ES total primer (Tabel 3). Mutu benih var. Dewata yang rendah juga menghasilkan jumlah ES total primer yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan genotype R-036

dan R-040. Pengaruh konsentrasi 2,4-d pada

berbagai genotipe (Tabel 3) menunjukkan bahwa pada genotipe Dewata, peningkatan konsentrasi dari 2 ppm menjadi 2,5 ppm belum dapat meningkatkan jumlah ES total primer. Jumlah ES primer nyata mengalami peningkatan pada konsentrasi 3 ppm, tetapi pada konsentrasi 3,5 ppm jumlah ES primer mengalami penurunan. Hal ini karena peningkatan konsentrasi 2,4-d menjadi 3,5 ppm menghambat pembentukan ES karena konsentrasi 2,4-d yang terlalu tinggi dapat bersifat racun, seperti yang dinyatakan Djojosumarto (2008), dalam takaran yang sangat rendah senyawa ini berfungsi sebagai hormon untuk merangsang pertumbuhan tanaman, tetapi dalam takaran yang lebih tinggi senyawa ini dapat bekerja sebagai herbisida

(5)

yang bersifat post-emergence (setelah berkecambah). Pada kultur jaringan gandum varietas Inqilab-91, Chakwal-97 and Manthar, yang dilakukan Rashid dkk., (2009), pembentukan kalus embriogenik maksimum pada konsentrasi 3 mg/l dan menunjukkan penurunan ES yang diperoleh apabila konsentrasi 2,4-d ditingkatkan.

Genotipe R-036 menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi 2,4-d yang dicoba tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (Tabel 3). Diduga pada konsentrasi 2 ppm genotipe R-036 sudah dapat menghasilkan jumlah ES primer secara maksimal. Peningkatan konsentrasi hingga 3,5 ppm tidak menjadi penghambat dalam pembentukan jumlah ES primer. Diduga respons genotipe R-036 dalam membentuk ES primer kurang peka terhadap berbagai konsentrasi 2,4-d. Pengaruh konsentrasi 2,4-d pada genotipe R-040

menunjukkan peningkatan konsentrasi dari 2 ppm menjadi 2,5 ppm nyata meningkatkan jumlah ES primer. Peningkatan konsentrasi yang lebih tinggi hingga 3,5 ppm tidak meningkatkan atau menurunkan jumlah ES primer secara nyata. Hal itu menunjukkan bahwa aplikasi 2,4-d hingga konsentrasi tertinggi yang dicoba (3,5 ppm) belum bersifat menghambat. Respons genotipe yang berbeda pada aplikasi berbagai konsentrasi 2,4-d terhadap induksi kalus dengan eksplan benih juga diamati pada penelitian Noor dkk., (2009) yang menggunakan dua varietas komersial gandum Pakistan, Kohsar dan Khyber-87. Induksi kalus varietas Kohsar optimum pada konsentrasi 3,0 ppm 2,4-d (83,3%) sedangkan varietas Khyber-87 pada konsentrasi 3,5 ppm (71,7%).

Gambar 1. Skoring embrio somatic (ES) primer dan sekunder gandum (skor 0 sampai

skor 5). Tampak bentuk embrio somatik fase globular (a), fase heart-shape (b) dan fase torpedo (c).

a b c Skor 0 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 5

(6)

Gambar 2. Perkembangan eksplan embrio dewasa dua hari (a) dan (b) serta satu minggu (c) dan

(d) setelah diinduksi. (A) benih tidak memperlihatkan perkembangan, (B) hanya membentuk kalus, (C) membentuk kalus, tumbuh tunas dan akar.

Tabel 1. Perkembangan eksplan benih pada tahap induksi kalus pada media yang mengandung 2,4-d dengan

konsentrasi 2,5 ppm dan 3,5 ppm.

Genotipe Jumlah Eksplan

Persentase (%) tiap Tipe Perkembangan Eksplan setelah 2x24 jam

A B C 2,5 ppm 3,5 ppm 2,5 ppm 3,5 ppm 2,5 ppm 3,5 ppm 2,5 ppm 3,5 ppm Dewata 30 112 40,0 37,5 40,0 54,5 20,0 8,0 R-035 29 114 3,4 1,8 20,7 43,9 75,9 54,4 R-036 35 19 100,0 5,3 0,0 36,8 0,0 57,9 R-039 41 77 0,0 2,6 43,9 16,9 56,1 80,5 R-040 30 49 3,3 4,1 16,7 14,3 80,0 81,6 R-043 30 107 6,7 6,5 26,7 33,6 66,7 59,8

Keterangan: A = benih tidak/belum memperlihatkan perkembangan, B = tumbuh kalus saja, C = tumbuh tunas, akar dan kalus pada pangkal daun

Tabel 2. Jumlah eksplan gandum yang membentuk kalus untuk varietas Dewata, galur R-036 dan R-040 pada

berbagai konsentrasi 2,4-d. Genotipe Konsentrasi 2,4-d 2 ppm 2,5 ppm 3 ppm 3,5 ppm Dewata 6 9,67 5,33 12 R-036 13,33 16,67 16,3 16,3 R-040 13,67 12,67 13 13,7

Tabel 3. Jumlah ES total primer dari genotipe Dewata, R-036 dan R-040 pada berbagai konsentrasi 2,4-d.

Genotipe Konsentrasi 2,4-D 2 ppm 2,5 ppm 3 ppm 3,5 ppm Dewata 2,778 a A 2,553 a A 3,500 b C 2,601 a A R-036 4,620 c C 4,414 c C 4,601 c C 4,359 c C R-040 3,600 b B 4,405 c C 4,562 c C 4,481 c C

Keterangan: Huruf besar di bawah bilangan ke arah vertikal, berguna untuk membedakan adanya pengaruh genotipe, sedangkan huruf kecil di sisi bilangan ke arah horizontal, berguna untuk membedakan pengaruh konsentrasi 2,4-d. C (a) (b) (c) (d) A B

(7)

Pengaruh genotipe pada berbagai konsentrasi terhadap jumlah ES primer menunjukkan pada semua konsentrasi 2,4-d yang dicoba jumlah ES genotipe 036 dan R-040 nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe Dewata. Diduga perbedaan ini dipengaruhi kondisi ZPT endogen pada tiap-tiap genotipe. Aplikasi ZPT dengan konsentrasi tertentu pada media induksi kalus akan menimbulkan interaksi dan membentuk perimbangan ZPT tertentu pada tiap-tiap genotipe dan menyebabkan tiap genotipe memberikan respons yang berbeda, yang dapat dilihat pada Tabel 3. Pada perimbangan auksin/sitokinin yang tinggi akan memacu perbanyakan jumlah ES, sehingga diduga jumlah auksin endogen dari genotipe R-036 dan R-040 lebih tinggi dibandingkan genotipe Dewata. Pada konsentrasi 2,4-d yang tinggi pun jumlah ES primer genotipe Dewata nyata lebih rendah dibandingkan kedua genotipe lain. Adanya perbedaan respons tiap genotipe pada berbagai konsentrasi dalam pembentukan ES primer diduga juga dipengaruhi mutu benih, yang dapat ditunjukkan dengan jumlah benih membentuk ES (Tabel 2), yaitu pada genotipe R-036 dan R-040 lebih tinggi dibandingkan genotipe Dewata.

Untuk variable skor ES primer, pengaruh konsentrasi 2,4-d dan genotipe dapat dilihat pada Tabel 4. Pengaruh konsentrasi pada berbagai genotipe menunjukkan bahwa pada genotipe Dewata penambahan konsentrasi 2,4-d ti2,4-dak menunjukkan skor yang berbe2,4-da nyata. Peningkatan jumlah ES total primer yang nyata pada konsentrasi 3 ppm 2,4-d (Tabel 3) tetapi sebagian besar masih pada tahap globular (Tabel 5) yang membuat skor kalus primer genotipe Dewata menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan variable jumlah ES total primer. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa pada genotipe R-036, peningkatan konsentrasi 2,4-d yang ditambahkan pada media juga tidak meningkatkan skor kalus primer. Hal ini memperkuat dugaan bahwa genotipe R-036 kurang responsif terhadap peningkatan konsentrasi 2,4-d yang diteliti.

Pada genotipe R-040, peningkatan konsentrasi 2,4-d yang ditambahkan pada media induksi kalus dari 2 ppm menjadi 2,5 ppm nyata meningkatkan skor kalus primer.

Peningkatan konsentrasi 2,4-d selanjutnya hingga 3,5 mg/L 2,4-d menunjukkan adanya

penurunan skor kalus. Skor kalus primer

tertinggi pada konsentrasi 2,5 ppm 2,4-d ini

disebabkan adanya peningkatan jumlah ES pada tahap torpedo (lihat Tabel 5). Hal ini berarti pada aplikasi 2,4-d yang optimum mampu meningkatkan jumlah ES total primer dan memacu proses diferensiasi kalus menjadi kalus embriogenik. Peningkatan konsentrasi 2,4-d yang diaplikasikan, meski tidak menurunkan jumlah ES total primer (Tabel 3) tetapi mampu menghambat proses diferensiasi. Aplikasi 2,4-d dengan konsentrasi yang terlalu tinggi cenderung akan memacu pembelahan sel dan tidak mendorong proses diferensiasi sehingga menjadi kalus embriogenik atau pendewasaan embrio. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5, yang menunjukkan bahwa jumlah ES pada tahap globular meningkat pada aplikasi 3,5 ppm 2,4-d.

Pengaruh genotipe pada berbagai konsentrasi 2,4-d terhadap skor ES primer (Tabel 4) juga menunjukkan bahwa skor kalus tertinggi diamati pada genotipe R-040 dan aplikasi 2,4-d dengan konsentrasi 2,5 ppm. Pada media dengan aplikasi 2,4-d konsentrasi 2 ppm, 3 ppm dan 3,5 ppm, skor tertinggi terdapat pada genotipe R-036 sedangkan genotipe Dewata dan R-040 skor ES primer tidak berbeda nyata. Pengaruh mutu benih (Tabel 2) juga diamati pada variabel skor kalus primer. Dari ketiga genotipe yang diteliti, skor ES primer terendah diamati pada genotipe Dewata yang disebabkan oleh rendahnya jumlah ES total primer dan lambatnya proses diferensiasi.

Proliferasi embrio somatik

Embrio Somatik primer yang diperoleh pada tahap induksi kalus embriogenik eksplan biji gandum, selanjutnya disubkultur ke media proliferasi untuk memperbanyak jumlah ES. Berdasarkan hasil penelitian induksi kalus embriogenik (ES primer), diketahui bahwa konsentrasi 2,4-d yang optimum pada tiga genotipe berkisar antara 2,5 ppm dan 3,0 ppm, sehingga hanya dua konsentrasi ini yang dilanjutkan untuk tahap proliferasi, selain itu juga dicoba dengan menambahkan 0,5 BAP

(8)

agar diperoleh kalus embriogenik (ES sekunder) yang lebih banyak.

Berdasarkan hasil analisis statistik data jumlah ES sekunder yang dilakukan (Tabel 6) menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi 2,4-d pa2,4-da berbagai genotipe terha2,4-dap jumlah ES hasil proliferasi menunjukkan kecenderungan yang berbeda dibandingkan tahap induksi kalus primer (Tabel 3) dengan aplikasi konsentrasi 2,4-d yang sama. Pada genotipe Dewata dan R-040 peningkatan konsentrasi 2,4-d dari 2,5 ppm menjadi 3 ppm menghasilkan jumlah ES yang sama. Hal ini karena rasio auksin/sitokinin endogen ES primer termasuk rendah. Selain itu juga karena selang peningkatan konsentrasi 2,4-d (0,5 ppm) yang terlalu kecil sehingga tidak memberikan respons peningkatan jumlah ES hasil proliferasi secara nyata.

Pengaruh konsentrasi 2,4-d pada

genotipe R-036 terhadap jumlah ES hasil proliferasi menunjukkan media dengan konsentrasi 2,5 ppm 2,4-d sudah menunjukkan proliferasi ES maksimal, sedangkan peningkatan konsentrasi 2,4-d menjadi 3 ppm nyata menurunkan jumlah ES hasil proliferasi. Diduga pada konsentrasi 2,4-d tinggi akan menghambat proliferasi ES. Berbeda dengan hasil induksi ES primer, pembentukan ES tahap proliferasi sudah tidak dipengaruhi mutu benih. Hal ini terbukti bahwa pada aplikasi 2,5 ppm 2,4-d diamati bahwa jumlah ES total sekunder yang dihasilkan dari var. Dewata tidak paling rendah dibandingkan galur R-036 dan R-040, seperti halnya jumlah ES total primer pada induksi kalus (bandingkan antara Tabel 3 dan Tabel 6).

Proliferasi kalus gandum yang dilakukan oleh Shah dkk., (2003) menunjukkan bahwa kalus akan menunjukkan pertumbuhan yang baik apabila pada media proliferasi gandum yang menggunakan media dasar MS dengan 2,4-d dengan konsentrasi rendah (2 ppm) ditambahkan 0,5 ppm BAP. Kalus yang terbentuk, selanjutnya akan berkembang menjadi kalus yang bernas, remah dan berwarna hijau muda. Oleh karena itu, penambahan zat pengatur tumbuh Kinetin, khususnya BAP, dalam penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah kalus embriogenik, yang diindikasikan oleh peningkatan skor kalus.

Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan 0,5 ppm BAP, baik pada konsentrasi 2,5 ppm maupun 3 ppm nyata menurunkan jumlah ES hasil proliferasi pada genotipe Dewata, R-036 dan R-040. Diduga pemberian BAP, yang dimaksudkan untuk memacu proses diferensiasi dan semakin banyak ES yang terbentuk, juga bersifat menghambat proliferasi ES karena penambahan BAP akan menurunkan rasio auksin/sitokinin yang menghambat proses pembelahan sel.

Berdasarkan hasil analisis statistik,

pengaruh genotipe pada berbagai komposisi

media yang dicoba menunjukkan bahwa pada media dengan konsentrasi 2,5 ppm dan 3 ppm 2,4-d diamati jumlah ES hasil proliferasi pada genotipe R-036 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe Dewata dan R-040 (Tabel 6). Diduga interaksi antara ZPT endogen dan aplikasi 2,4-d (eksogen) yang diberikan pada genotipe R-036 mampu memacu proliferasi ES lebih tinggi jika dibandingkan dengan genotipe Dewata dan R-040.

Aplikasi 2,4-d yang dikombinasikan

dengan BAP ternyata mampu mempengaruhi

respons genotipe, sehingga pada konsentrasi 2,5 ppm 2,4-d jumlah ES sekunder tertinggi diamati pada varietas Dewata dan pada konsentrasi 3 ppm 2,4-d jumlah ES sekunder var. Dewata sama dengan genotipe R-036 (Tabel 6). Fakta tersebut menunjukkan bahwa interaksi ZPT eksogen (2,4-d dan BAP) dengan ZPT endogen akan menentukan arah pertumbuhan kalus sehingga tiap-tiap genotipe akan memberi respons proliferasi yang berbeda. Genotipe R-036 dan R-040 sangat responsif terhadap penambahan BAP sehingga sangat menurunkan kemampuan proliferasinya. Pada perlakuan dengan penambahan BAP ke dalam medium proliferasi, peningkatan konsentrasi 2,4-d dari 2,5 ppm menjadi 3 ppm dapat mempengaruhi perimbangan auksin-sitokinin sehingga diamati ada kecenderungan peningkatan kemampuan proliferasi meskipun secara statiktik peningkatannya tidak nyata.

Interaksi antara pengaruh genotipe dan komposisi ZPT yang diteliti, menunjukkan bahwa kombinasi genotipe dan komposisi media yang menghasilkan jumlah ES hasil proliferasi tertinggi adalah genotipe R-036 pada media 2,5 ppm 2,4-d. Jumlah ES hasil

(9)

proliferasi terendah diamati pada genotipe R-040 yang dikultur pada media 2,5 ppm dengan penambahan BAP. Hal ini menunjukkan bahwa untuk proliferasi tidak memerlukan penambahan auksin (dalam hal ini 2,4-d) dengan konsentrasi terlalu tinggi. Konsentrasi 2,4-d yang terlalu tinggi dapat bersifat racun, sedangkan penambahan BAP 0,5 ppm yang sebetulnya dimaksudkan untuk memacu kematangan ES justru menurunkan kemampuan proliferasi.

Pengaruh peningkatan konsentrasi 2,4-d

dari 2,5 ppm menjadi 3 ppm, pada genotipe Dewata dan R-040 terhadap skor ES hasil proliferasi menunjukkan tidak ada peningkatan skor secara nyata (Tabel 7). Meskipun jika dilihat pada pengamatan tahap perkembangan ES hasil proliferasi (Tabel 8) menunjukkan bahwa peningkatkan konsentrasi 2,4-d cenderung meningkatkan jumlah ES pada tahap heart-shape dan menurunkan jumlah ES pada tahap globular tetapi tidak meningkatkan

jumlah ES hasil proliferasi (Tabel 6), sehingga belum mampu meningkatkan skor ES. Pada genotipe R-036, peningkatan konsentrasi 2,5 ppm dan 3 ppm menunjukkan penurunan skor

ES hasil proliferasi secara nyata. Hal ini

disebabkan oleh penurunan jumlah ES sekunder (Tabel 6) dan penurunan jumlah ES tahap heart-shape dan torpedo (Tabel 8). Fakta ini menunjukkan bahwa pada genotipe R-036, peningkatan konsentrasi 2,4-d selain menurunkan pembelahan sel juga menghambat diferensiasi.

Hasil analisis statistik menunjukkan

bahwa penambahan BAP pada kedua konsentrasi 2,4-d yang diteliti tidak ditemukan adanya peningkatan skor ES hasil proliferasi dibandingkan dengan media tanpa BAP, baik pada genotipe Dewata, R-036 maupun R-040. Namun bila dilihat nilai nominal skor ES hasil proliferasi menurun pada media dengan penambahan BAP, hal ini menunjukkan bahwa penambahan BAP selain menurunkan kemampuan proliferasi (jumlah ES sekunder, lihat Tabel 6) juga cenderung menghambat diferensiasi. Pada Tabel 8 diamati bahwa jumlah ES globular semakin meningkat, heart-shape dan torpedo menurun.

Penambahan BAP pada media proliferasi dalam penelitian ini, semula diharapkan dapat

meningkatkan skor ES, yang dapat ditunjukkan dengan diferensiasi kalus, bahkan menurut

Salisbury dan Ross (1995) penambahan BAP

berperan dalam pembelahan sel dan

pembentukan organ. Oleh karena itu, diduga BAP bukan jenis sitokinin yang tepat untuk ketiga genotipe yang dicoba.

Pengaruh genotipe pada berbagai

komposisi ZPT terhadap skor ES hasil proliferasi menunjukkan bahwa pada media 2,5 ppm 2,4-d skor tertinggi diamati pada genotipe R-036, sedangkan kedua genotipe lain yaitu Dewata dan R-040 menunjukkan skor yang tidak berbeda nyata. Skor ES yang tinggi pada genotipe R-036 disebabkan jumlah ES yang tinggi (Tabel 6) dan pada Tabel 8 dapat dilihat genotipe R-036 menghasilkan jumlah ES pada tahap heart-shape lebih tinggi dibandingkan genotipe Dewata dan R-040.

Pengaruh genotipe pada berbagai komposisi ZPT terhadap skor ES hasil proliferasi menunjukkan pada media dengan konsentrasi 3 ppm 2,4-d pada semua genotipe tidak ada perbedaan skor secara nyata. Jika dibandingkan dengan jumlah ES hasil proliferasi, didapati ada kecenderungan berbeda pada genotipe R-036, pada proliferasi ES, genotipe R-036 nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe Dewata dan R-040 sedangkan pada pengamatan skor ES hasil proliferasi, tidak diamati adanya perbedaan skor. Hal ini didukung pengamatan tahap perkembanagn ES (lihat Tabel 8) pada konsentrasi 3 ppm 2,4-d, jumlah ES pada tahap heart-shape dari genotipe R-036 lebih rendah dibandingkan genotipe Dewata dan R-040. Diduga pada genotipe R-036, penggunaan media dengan konsentrasi 2,4-d 3 ppm menghasilkan interaksi ZPT eksogen dan endogen yang lebih memacu pembelahan sel tetapi menghambat diferensiasi dibandingkan dengan genotipe Dewata dan R-040.

Pada komposisi ZPT 2,4-d 2,5 mg/L dengan penambahan BAP diamati adanya kecenderungan yang berbeda antara skor ES (Tabel 7) dengan jumlah ES hasil proliferasi (Tabel 6), jumlah ES hasil proliferasi dari genotipe Dewata nyata lebih tinggi dibandingkan kedua genotipe lain, sedangkan pada pengamatan skor ketiga genotipe tidak berbeda nyata. Diduga komposisi 2,4-d 2,5

(10)

ppm dengan penambahan BAP pada genotipe Dewata menghambat proses diferensiasi yang ditunjukkan dengan tahap perkembangan ES genotipe Dewata lebih banyak di tahap globular dibandingkan dengan tahap heart-hape, sehingga menyebabkan skor ketiga genotipe tidak berbeda nyata.

Pengaruh genotipe pada komposisi ZPT 2,4-d 3 ppm dengan penambahan BAP terhadap skor ES hasil proliferasi menunjukkan tidak ada perbedaan skor secara nyata. Diamati juga adanya kecenderungan yang berbeda dengan jumlah ES hasil proliferasi, jumlah ES hasil proliferasi genotipe Dewata dan R-036 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe R-040, sedangkan pada skor tidak menunjukkan perbedaan secara nyata. Bila dilihat berdasarkan nilai skor tiap-tiap genotipe, pada genotipe R-040 menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan genotipe Dewata dan R-040. Tidak ada perbedaan skor secara nyata diduga karena variabilitas pengamatan skor ES hasil proliferasi tinggi, sehingga menurunkan kepekaan dalam menentukan nyata tidaknya nilai skor.

Penambahan BAP pada kedua konsentrasi 2,4-d yang dicoba menunjukkan tidak ada peningkatan skor ES hasil proliferasi pada ketiga genotipe yang dicoba. Hal ini

menunjukkan bahwa hasil penelitian tidak sesuai dengan yang diharapkan (hipotesis) yaitu penambahan BAP dapat meningkatkan skor. Penelitian yang dilakukan Rashid dkk., (2002) untuk mengetahui pengaruh media, ZPT dan genotipe dalam proliferasi kalus gandum, juga menunjukkan hal yang sama. Pada ketiga genotipe yang dicoba yaitu Triticum aestivum L. kultivar Chakwal 86, Rawal 87 penggunaan 3 konsentrasi BAP (0,1; 0,5 dan 1 ppm), terbukti tidak berperan dalam proliferasi kalus. Selain itu, kemungkinan penggunaan Sitokinin dalam bentuk lain lebih efektif memacu proliferasi ES gandum. Berdasarkan penelitian Rashid dkk., (2009) kombinasi hormon terbaik untuk induksi kalus gandum Pakistan ketiga genotipe yaitu Inqilab-91, Chakwal-97 dan Manthar adalah pada media dengan Kinetin dan 6-γ-γ-dimethylallylaminopurine (2iP).

Apabila proliferasi kalus gandum yang diinkubasi pada kondisi 12 jam terang/12 jam gelap diperpanjang hingga 2 bulan, pada beberapa ES diamati mulai muncul bintik hijau, seperti dapat dilihat pada Gambar 3. Diduga, kalus yang berbintik hijau merupakan kalus embriogenik yang potensial tumbuh menjadi planlet.

Tabel 4. Skor ES primer untuk varietas Dewata, galur R036 dan R040 pada berbagai konsentrasi 2,4-d.

Genotipe Konsentrasi 2,4-d 2 mg/L 2,5 mg/L 3 mg/L 3,5 mg/L Dewata 1,089 ab A 0,914 a A 1,095 ab A 0,917 a A R-036 1,393 b B 1,297 b B 1,269 b B 1,334 b B R-040 1,050 ab A 1,423 c C 1,154 ab A 1,289 b AB Keterangan: Huruf besar di bawah bilangan ke arah vertikal, berguna untuk membedakan adanya pengaruh

genotipe, sedangkan huruf kecil di sisi bilangan ke arah horizontal, berguna untuk membedakan pengaruh konsentrasi 2,4-d.

Tabel 5. Jumlah ES primer pada tahap perkembangan globular, heart-shape dan torpedo yang terbentuk dari genotipe Dewata, R-036 dan R-040 pada berbagai konsentrasi 2,4-d.

Konsentrasi 2,4-d Genotipe 2 ppm 2,5 ppm 3 ppm 3,5 ppm G HS T G HS T G HS T G HS T Dewata 2,00 0,60 0,00 1,14 0,89 0,03 2,06 0,75 0,05 1,03 1,08 0,03 R-036 1,60 2,54 0,18 1,37 2,25 0,20 1,57 2,25 0,09 1,42 2,41 0,17 R-040 0,80 2,06 0,12 1,92 2,07 0,29 1,27 2,04 0,14 2,35 1,53 0,12

(11)

Tabel 6. Jumlah ES total sekunder hasil proliferasi dari genotipe Dewata, R-036 dan R-040 pada berbagai konsentrasi 2,4-d. Genotipe Komposisi ZPT 2,5 ppm 2,4-d 3 ppm 2,4-d 2,5 ppm 2,4-d + 0,5 ppm BAP 3 ppm 2,4-d + 0,5 ppm BAP Dewata 6,58 c C 7,00 c C 5,11 b B 4,71 b B R-036 10,18 e E 8,53 d D 4,08 ab A 5,45 b B R-040 6,62 c C 7,21 c C 3,38 a A 4,08 ab A

Keterangan : Huruf besar di bawah bilangan ke arah vertikal, berguna untuk membedakan pengaruh genotipe, sedangkan huruf kecil di sisi bilangan ke arah horizontal, berguna untuk membedakan pengaruh komposisi ZPT.

Tabel 7. Skor kalus sekunder untuk varietas Dewata, galur R036 dan R040 pada berbagai komposisi ZPT.

Genotipe Komposisi ZPT 2,5 ppm 2,4-d 3,0 ppm 2,4-d 2,5 ppm 2,4-d + 0,5 ppm BAP 3,0 ppm 2,4-d + 0,5 ppm BAP Dewata 2,010 a A 2,023 a A 1,547 a A 1,680 a A R-036 2,823 b B 2,017 a A 1,400 a A 1,637 a A R-040 1,940 a A 1,933 a A 1,017 a A 1,267 a A

Keterangan: Huruf besar di bawah bilangan ke arah vertikal, berguna untuk membedakan adanya pengaruh genotipe, sedangkan huruf kecil di sisi bilangan ke arah horizontal, berguna untuk membedakan adanya pengaruh komposisi ZPT.

Tabel 8. Jumlah ES sekunder hasil proliferasi pada tahap perkembangan globular, heart-shape dan torpedo yang terbentuk dari genotipe Dewata, R-036 dan R-040 pada berbagai konsentrasi 2,4-d.

Komposisi ZPT

Genotipe 2,5 ppm 2,4-d 3,0 ppm 2,4-d 2,5 ppm 2,4-d + 0,5 ppm BAP 3,0 ppm 2,4-d + 0,5 ppm BAP

G HS T G HS T G HS T G HS T

Dewata 2,79 3,38 0,28 1,48 5,08 0,17 3,49 1,34 0,02 2,51 2,20 0,00

R-036 2,54 7,21 0,49 2,18 4,27 0,38 2,29 1,42 0,05 2,79 2,16 0,06

R-040 1,80 4,06 0,33 0,99 5,22 0,22 2,17 0,47 0,00 1,47 1,77 0,05

Keterangan: G: globular; HS: heart-shape; T: torpedo.

Gambar 3. Embrio somatik sekunder hasil proliferasi kalus (a). Sebagian ES

sekunder diamati ada yang berbintik hijau (b)

(a) (b

(12)

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian induksi embriogenesis somatik dari eksplan benih tiga genotipe gandum tropis ini, dapat disimpulkan bahwa jumlah ES dan skor ES primer relatif tertinggi dari varietas Dewata pada 3 ppm 2,4-d, galur R-040 pada 2,5 ppm 2,4-2,4-d, dan galur

R-036 pada 2 ppm 2,4-d. Eksplan gandum galur R-036 menghasilkan jumlah ES dan skor ES primer relatif tertinggi dibandingkan

dengan genotipe lain. Mutu benih yang

digunakan memengaruhi respons eksplan dalam menghasilkan jumlah ES dan skor ES primer dan kurang mempengaruhi jumlah ES dan skor ES sekunder. Pada tahap proliferasi, jumlah ES sekunder relatif tertinggi, dari galur R-036 pada 2,5 ppm 2,4-d, sedangkan varietas Dewata dan R-040 pada 2,5 ppm dan 3,0 ppm 2,4-d. Aplikasi 2,4-d yang dikombinasikan dengan BAP dapat menurunkan jumlah ES, tetapi hanya cenderung menurunkan skor ES sekunder pada ketiga genotipe. Pada skor ES hasil proliferasi tidak diamati adanya pengaruh komposisi ZPT yang diteliti (2,4-d dan BAP) pada varietas Dewata dan galur R-040, sedangkan pada galur R-036 skor ES sekunder maksimum pada 2,5 ppm 2,4-d.

Daftar Pustaka

Ariani, M. 2010. Trend Konsumsi Pangan Produk Gandum di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/ wr255036.pdf. 27/10/2010.

Bi, R.M., Kou, M., Chen, L.G., Mao, S.R. dan Wang, H.G. 2007. Plant regeneration through callus initiation from mature embryo of Triticum. Plant Breeding, 126 (1): 9–12.

Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.

Endang, G.L., Mariska, I., Roostika, I. dan Kosmiatin, M. 2006. Induksi Mutasi dan Seleksi In Vitro Menggunakan Asam Fusarat untuk Ketahanan Penyakit Layu pada Pisang Ambon Hijau. Berita Biologi, 8 (1): 27–35.

Eva. 2012. Ratna Sari Loppies: Terigu Kini Makanan

Pokok Setelah Beras.

http://www.politikindonesia.com. 11/5/2012. Mahalakshmi, A., Khurana, J.P. dan Khurana, P. 2003.

Rapid Induction of Somatic Embryogenesis by 2,4-d in Leaf Base Cultures of Wheat (Triticum aestivum L.). Plant Biotechnology, 20 (4): 267–273.

Malik, S.I., Rashid, H., Yasmin, T. dan Minhas, N.M. 2004. Plant Regeneration by Somatic Embryogenesis from Callus of Mature Seed Explants of Bread Wheat (Triticum aestivum L.). Pakistan Journal Botany, 36 (3): 629– 634.

Noor, S., Ali, G., Rashid, U., Arshad, M., Ali, S. dan Zafar, Y. 2009. Optimization of Callus Induction and Regeneration System for Pakistani Wheat Cultivars Kohsar and Khyber-87. African Journal of Biotechnology, 8 (20): 5565–5569.

Rashid, H., Ghani, R.A., Chaudhry, Z., Naqvi, S.M.S. dan Quraishi, A. 2002. Effect of Media, Growth Regulators and Genotypes on Callus Induction and Regeneration in Wheat (Triticum aestivum). Asian Network for Scientific Information. Biotechnology, 1 (1): 49–54. Rashid, U., Ali, S., Ali, G.M., Ayub, N. dan Masood,

M.S. 2009. Establishment of an efficient callus induction and plant regeneration system in Pakistani wheat (Triticum aestivum) cultivars.Electronic Journal of Biotechnology, 12 (3): 1–12.

Salisbury, F.B. dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan (terjemahan). Jilid 3. Penerbit ITB, Bandung. Shah, M.I., Jabeen, M. dan Ilahi, I. 2003. In vitro callus

induction, its proliferation and regeneration in seed explants of wheat (Triticum aestivum), var. LU-26S. Pakistan Journal Botany, 35 (2): 209–217.

Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal dalam Pemuliaan Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian, 22 (2): 70–78. Suhendra. 2009. RI Masih Sulit Miliki Gandum Lokal.

http://www.finance.detik.com. 26/10/2010. Yasmin, R., Javed, F. dan Arfan, M. 2001. Somatic

Embryogenesis in Calus Culture of Wheat (Triticum aestivum L.). International Journal of Agriculture & Biology, 3 (2): 163–166. Yasmin, R., Javed, F. dan Arfan, M. 2001. Somatic

Embryogenesis in Calus Culture of Wheat (Triticum aestivum L.). International Journal of Agriculture & Biology, 3 (2): 163–166.

Gambar

Gambar 1. Skoring embrio somatic (ES) primer dan sekunder gandum (skor 0 sampai  skor 5)
Tabel  1.  Perkembangan  eksplan  benih  pada  tahap  induksi  kalus  pada  media  yang  mengandung  2,4-d  dengan  konsentrasi 2,5 ppm dan 3,5 ppm

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh SDM yang ada di Bappeda kabupaten Batang tergolong dalam kategori baik. Pengkajian pada

Pengorganisasian dilakukan dengan penempatan posisi petugas pengecekan lahan kritis di kawasan hutan rakyat kurang sesuai dengan tugasnya karna sebagian

Sehubungan dengan Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) untuk gelombang ke-3 tahun 2015 di LPTK IAIN Syekh Nurjati Cirebon, bersama ini kami

Penerapan algoritma winnowing digunakan pada sistem rekomendasi penentuan dosen pembimbing untuk memberikan perhitungan kesamaan antara topik penelitian mahasiswa

Produk merupakan suatu barang atau komoditas yang menjadi objek bisnis perusahaan. Produk disini mengarah pada banyaknya jenis produk atau varian produk yang

Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah

Berdasarkan hasil penelitian “Efektvitas Ekstrak Daun Pepaya dan Biji Mahoni Sebagai Insektsida Alami dalam Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura) pada

Uji Serempak Fengujian pengaruh faktor - faktor fundamental terhadap perubahan harga saham secara serempak dilakukan berdasarkan hipotesis sebagai berikut : Persediaan, piutang