• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yaitu UUD 1945 pada Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yaitu UUD 1945 pada Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum, hal ini dapat dilihat dari dasar negara Indonesia yaitu UUD 1945 pada Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Indonesia merupakan negara hukum”. Indonesia sebagai negara hukum memiliki arti bahwa negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas kedaulatan hukum (supremasi hukum). Sehingga dalam segi kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum.

Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem eropa kontinental, dimana pada prinsipnya, bahwa hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang yang

tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.1 Sistem hukum eropa

kontinental, hukum digolongkan menjadi dua bagian utama yaitu hukum

publik dan hukum privat.2 Hukum publik dalam hal ini mengatur hubungan

antara negara (Penyelenggara Negara) dengan masyarakat, sementara hukum privat mengatur hubungan antara individu dengan individu. Namun dalam hal ini, penulis akan fokus terhadap hukum privat khususnya salah satu contoh bagian dari hukum privat yaitu hukum perdata.

1 J.B. Daliyo, 2001, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Prehalindo, Jakarta, hlm. 36 2

(2)

Hukum perdata menurut sistematikanya dibagi menjadi IV (empat) buku salah satunya adalah membahas mengenai hukum perikatan dalam buku

III.2 Hukum perikatan pada umumnya sering disamakan atau diartikan sama

dengan hukum perjanjian, tetapi hal tersebut sangatlah berbeda. Perikatan di dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya akan disebut KUHPerdata terdapat berbagai macam istilah yaitu ““Verbintenis” dan “Overeenkomst”, namun dalam hal ini salah satu sarjana hukum yang bernama R. Setiawan lebih memilih istilah “Verbintenis” sebagai istilah perikatan, sebab dalam bahasa Belanda sendiri “Verbintenis” berasal dari kata

kerja “Verbinden” yang artinya mengikat.3 Hukum perikatan menurut

ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, dilahirkan baik karena perjanjian maupun

karena undang-undang4, sehingga berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik

suatu makna sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian sebagaimana yang terdapat dalam Buku Ketiga KUHPerdata “Tentang Perikatan-Perikatan

yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian”.5

Perjanjian menurut KUHPerdata dalam Pasal 1313 memberikan definisi sebagai berikut yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Berdasarkan

2 Abdulkadir Muhamad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 16-17.

3

R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hlm. 1

4 Riduan Syahrani, 2010, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Alumni, Bandung, hlm. 201

5 Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

(3)

definisi perjanjian tersebut kemudian KUHPerdata menguraikan lebih terperinci lagi mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

1. Sepakat karena yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Mengenai suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal;

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai

perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.6

Terhadap tidak dipenuhinya syarat subjektif, maka perjanjian tersebut medapat konsekuensi batal demi hukum yang artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan dimana tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu

perikatan hukum adalah gagal.7 Jika syarat subyektif tidak terpenuhi, maka

perjanjian bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan (dapat dibatalkan) yang artinya pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak

6 Subekti, 2004, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hlm. 17. 7

(4)

bebas.8 Namun dalam hal ini, Penulis akan lebih fokus untuk meneliti syarat subyektif suatu perjanjian atau membahas mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian.

Syarat subyektif sebagaimana yang telah diuraikan pada paragraf sebelumnya akan erat kaitannya dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimana kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan tersebut serta apa yang dikehendaki oleh pihak yang

satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain9 sehingga orang yang melakukan

perjanjian hukum haruslah cakap menurut hukum. Berdasarkan asasnya, setiap orang atau subyek hukum mempunyai kecakapan hukum (rechtsbevogdheid) untuk melakukan perbuatan hukum seperti membuat perjanjian, menikah dan lain sebagainya sepanjang tidak dianggap cakap

hukum oleh Undang-undang.10 Berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata

mengkategorikan sebaliknya yaitu orang-orang yang dianggap tidak cakap hukum untuk membuat suatu perjanjian:

1. Orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. (kini sudah tidak relevan dan telah dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Kontitusi).

8 Ibid.

9 Ibid. Hlm. 17 10

(5)

Tidak cakap hukum menurut Pasal 1330 KUHPerdata kini hanya terdapat 2 (dua) kategori yaitu orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuhan. Penulis dalam hal ini akan fokus membahas mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

Pasal 1330 ke-2 KUHPerdata, mengacu kepada perihal orang-orang yang kurang sehat pikirannya, bagi orang-orang tersebut maka tunduk padanya suatu pembatasan dalam hal kesanggupan melakukan suatu

perbuatan hukum yaitu orang yang “ondercuratele”11 atau dengan kata lain

diadakan di bawah suatu pengawasan tertentu.

Kriteria seseorang yang berada di bawah suatu pengawasan tertentu terdapat dalam Pasal 433 KUHPerdata menyebutkan sebagai berikut:

“setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.”

Pasal 434 KUHPerdata menyebutkan setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal

11 Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, CV. Bandar Maju, Bandung, hlm. 14.

(6)

pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.

Mengenai tidak cakap hukum yang terdapat dalam sistem hukum Indonesia, ternyata diatur juga di dalam hukum yang terdapat di beberapa negara, seperti di negara Amerika Serikat dan di Inggris. Hukum Amerika sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 12 Restatement (second) American telah menentukan orang-orang yang tidak mempunyai kapasitas hukum yaitu: orang yang di bawah perwalian, seorang bayi, orang yang sakit mental atau cacat, dan mabuk. Sedangkan Hukum Inggris menurut Mindy Chen-Wishart menggolongkan tiga kategori orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum terutama untuk membuat kontrak diantaranya: infancy, mental incapacity dan those so affected by drink or drugs as not to know what they are doing. Dari keseluruhan asas hukum yang berada di negara Indonesia, Amerika dan Inggris memiliki salah satu kesamaan mengenai orang yang tidak cakap hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum yaitu seseorang yang lemah akal pikirannya atau sakit mental atau mental incapacity. Oleh karena itu, akal pikiran seseorang sangat menjadi satu pertimbangan yang penting untuk menentukan seseorang dapat dinyatakan sah melakukan suatu perjanjian atau tidak.

Berdasarkan uraian di atas, pembatalan suatu perjanjian berkaitan tidak terpenuhinya syarat subjektif perjanjian yaitu tidak cakap sebagaimana

(7)

dalam Pasal 1330 KUHPerdata maka akan terbagi menjadi 2 (dua) kriteria yaitu subjek hukum tersebut belum dewasa dan subjek hukum tersebut sedang ditaruh di bawah pengampuan. Berbeda dengan yang terjadi di dalam studi kasus Putusan No. 153./Pdt.G/PN.JKT-BRT Jo Putusan No. 3124 K/PDT. 2013 Jo. Putusan No. 53/Pdt.G/PN.JKT.SEL. Pada kasus tersebut, seseorang dinyatakan tidak cakap diluar syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata yaitu orang tersebut belum dewasa dan orang tersebut sedang ditaruh di bawah pengampuan. Adapun kronologis kasus tersebut secara singkat adalah sebagai berikut:

“Salah seorang ahli waris dari sebuah keluarga mengajukan pembatalan terhadap suatu akta jual beli sebidang tanah di daerah Jakarta yang dilakukan almarhum ayahnya ketika masih hidup. Alasan pembatalan akta jual beli tersebut dilatarbelakangi adanya kejanggalan atas proses jual beli tersebut, sebab menurut bukti-bukti yang ada, semasa hidup, ayah dari penggugat tersebut sejak tahun 1995 sampai meninggal dunia memiliki riwayat gangguan kesehatan seperti stroke, diabetes, dan hipertensi yang secara langsung mempengaruhi kemampuan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum (rechstbekwaamheids). Adapun beberapa keterangan Dokter yang secara medis mendukung bahwa Alm. Ayah dari penggugat tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum antara lain:

1. Surat Keterangan Medis tanggal 16 Juni 2006 yang ditandatangani oleh dr.George Dewanto Sp.S (Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Pluit), menyatakan bahwa Alm. Ayah dari tergugat mengalami/menderita Stroke, diabetes dan hipertensi. Sebagai akibat penyakit-penyakit yang diderita oleh Alm. Ayah dari tergugat tersebut maka daya cognitive serta fungsi motorik Alm. Ayah dari tergugat berkurang atau tidak normal;

2. Surat Pengantar untuk dirawat yang dibuat oleh Dr. Melani Yustina, Spesialis Saraf Dokter pada Rumah Sakit telah merekomendasikan Alm. Tan Malaka untuk dirawat (tanggal datang 27 September 2007);

(8)

3. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Kesehatan tanggal 1 April 2008 yang ditandatangani oleh dr. Armahida Kusriana, Dokter pada Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya pada intinya menyatakan bahwa kondisi kesadaran dari Alm. Ayah dari penggugat : Pikun, dan dari hasil pemeriksaan fisik laboratorium serta pemeriksaaan kesehatan medis terhadap Alm. Ayah dari penggugat tidak layak dilakukan pemeriksaan sebagai saksi;

4. Surat Pengantar untuk bagian keperawatan Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk yang dibuat oleh dr.Sudarto Apit, Sp.PD tertanggal 22 Juni 2009, Alm. Ayah dari penggugat pernah direkomendasikan untuk dirawat d Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk;

Mengacu kepada dalil yang diuraikan oleh Penggugat, Majelis hakim memutuskan bahwa pihak penjual dalam hal ini adalah Alm. Ayah dari Penggugat dinyatakan telah tidak cakap hukum serta membatalkan perjanjian jual beli kepada pihak kedua dikarenakan berdasarkan bukti-bukti yang ada, sejak tahun 1995 sampai meninggal dunia penjual memiliki riwayat gangguan kesehatan seperti stroke, diabetes, dan hipertensi yang secara langsung mempengaruhi kemampuan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum (rechstbekwaamheids) diluar syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata yaitu orang tersebut belum dewasa dan orang tersebut sedang ditaruh di bawah pengampuan dan pertimbangan hakim tersebut dikuatkan dengan adanya Putusan No. 3124 K/PDT. 2013 Jo. Putusan No. 53/Pdt.G/PN.JKT.SEL. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, perlu kiranya dilakukan penelitian terhadap permasalahan yang ada melalui tulisan hukum yang berjudul “Kriteria Seseorang Tidak Cakap Dan Implikasi Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual Beli. (Studi Kasus

(9)

Putusan No. 153./Pdt.G/PN.JKT-BRT Jo Putusan No. 3124 K/PDT. 2013 Jo. Putusan No. 53/Pdt.G/PN.JKT.SEL).”

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana implikasi suatu subjek hukum yang tidak cakap dalam

pembatalan perjanjian jual beli (studi kasus Putusan No.

153./Pdt.G/PN.JKT-BRT Jo Putusan No. 3124 K/PDT. 2013 Jo. Putusan No. 53/Pdt.G/PN.JKT.SEL)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian penulisan tesis ini dibagi dalam dua tinjauan yaitu secara obyektif dan subyektif, adapun tujuan obyektif penelitian adalah sebegai berikut:

1. Untuk mengetahui kriteria kecakapan seseorang serta implikasi suatu subjek yang tidak cakap dalam pembatalan perjanjian jual beli dan penerapannya.

Tujuan subyektif penelitian yaitu sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar master hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian

(10)

1. Manfaat teoritis yaitu memberikan suatu gambaran jelas dalam khasanah ilmu hukum pada umumnya, dan terutama dalam hukum perjanjian khususnya mengenai pengaturan pembatalan perjanjian jual beli akibat tidak terpenuhinya syarat subjektif yaitu tidak cakapan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata diatur secara limitatif yaitu dibagi menjadi dua kriteria yaitu seseorang yang belum dewasa dan tidak sedang ditaruh di bawah pengampuan.

2. Manfaat praktis bagi penegak hukum, praktisi hukum yaitu memberikan suatu gambaran jelas agar aturan mengenai pembatalan suatu perjanjian akibat tidak terpenuhinya ketidacakapan seseorang sebagaimana di atur dalam Pasal 1330 KUHPerdata diterapkan sebagaimana mestinya, sementara bagi pembuat undang-undang, tulisan ini dapat dijadikan suatu masukan untuk merevisi Pasal 1330 KUHPerdata terkait penerapan pembatalan suatu perjanjian akibat tidak terpenuhinya ketidacakapan seseorang yang terjadi berbeda di dalam praktek.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta, dan penelusuran melalui internet, penulis tidak menemukan tulisan yang berjudul : “Kriteria Seseorang Tidak Cakap Dan Implikasi Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual Beli. (Studi Kasus Putusan No. 153./Pdt.G/PN.JKT-BRT Jo Putusan No. 3124 K/PDT. 2013 Jo. Putusan No. 53/Pdt.G/PN.JKT.SEL).”

(11)

Penelitian yang pernah ada membahas mengenai pembatalan akta jual-beli, diantaranya adalah:

a Komang Prayoga Kusuma Diharta, 2011, Kajian pembatalan Akta Jual Beli Tanah Yang Disertai Akta Pengakuan Hutang Dengan Jaminan Tanah Obyek perjanjian (studi Kasus Perkara Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 309/pdt.g/2006/pn.dps), Tesis, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universita Gadjah Mada, Yogyakarta. Tulisan tersebut pada intinya membahas mengenai pembatalan jual beli tanah yang disertai akta pengakuan hutang dengan jaminan tanah yang diperjualbelikan berdasarkan hukum tanah nasional adalah tidak tepat, sebab hal tersebut merupakan dua perbuatan hukum yang berbeda, dimana terhadap pembeli yang tidak dapat melunasi sisa pembayaran harga tanah (wanprestasi) terhadap akta pengakuan hutang sehingga jaminan dalam akta pengakuan hutang tersebutlah yang harusnya dieksekusi.

b Miryani, 2010, Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli Atas Dasar Surat Perjanjian Hutang Di Pengadilan Negeri Sleman, Tesis, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universita Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tulisan tersebut pada intinya membahas mengenai pertimbangan majelis hakim terhadap Perkara Perdata No.118 / Pdt.G / 2007 / PN.SLMN yang menolak gugatan pemohon dengan pertimbangan pembuatan akta jual beli

(12)

sebagai pelaksanaan perjanjian hutang merupakan akta yang proforma sehingga akta tersebut tidak sah dan batal demi hukum, oleh karena akta jual beli sebagai dasar peralihan hak tidak sah dan batal demi hukum, maka secara otomatis sertifikat lumpuh dan tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian dikembalikan dalam keadan semula.

c Hery Luthfi, 2008, Potensi Dan Implikasi Permasalahan Hukum Terhadap pembatalan perjanjian Jual Beli Piutang Antara Badan Penyehatan Perbankan Nasional Dengan PT. Vista Bella Pratama Dalam Kasus Jual Beli Piutang Atas Nama PT. Timor Putera Nasional, Tesis, Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Universita Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tulisan tersebut pada intinya menyatakan secara hukum perdata, pemerintah melalui Kejaksaan Agung memiliki kewenangan dan celah hukum/ konstruksi hukum yang cukup kuat untuk melakukan pembatalan perjanjian jual beli piutang dimaksud dengan didukung oleh fakta-fakta hukum tentang tidak terpenuhinya ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, namun mengingat akibat/ implikasi pembatalan tersebut terkait dengan adanya pihak ketiga sebagai pemilik piutang terakhir dan tindakan-tindakan hukum yang telah dilakukan sehubungan dengan penyelesaian hutang-piutang tersebut kepada PT. Timor Putera Nasional, kiranya Kejaksaan Agung perlu lebih cermat dalam menentukan dasardasar gugatan, pemilihan para pihak yang akan

(13)

digugat, serta mempertimbangkan isu mengenai keengganan masuknya investor asing mengingat tidak adanya kepastian dan penegakkan hukum yang baik di Indonesia.

Mengacu kepada ketiga uraian penelitian di atas, maka dapat dilihat bahwa tidak pernah ditemukan judul penelitian yang sama, namun ditemukan kesamaan terhadap tema penelitian penulis di atas yaitu sama-sama menganalisis mengenai pembatalan akta/perjanjian jual beli. Perbedaan yang mendasar dari penelitian penulis dibandingkan dengan ketiga uraian penelitian di atas yaitu fokus dari penelitian penulis adalah penerapan Pasal 1330 KUHPerdata mengenai kriteria tidak cakap dalam pembatalan perjanjian jual beli akibat tidak terpenuhinya syarat subjektif sedangkan ketiga penelitian di atas membahas mengenai pembatalan suatu perjanjian/ akta jual beli karena tidak terpenuhinya syarat objektif diantaranya hal-hal tertentu dan kausa tidak halal.

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga merupakan tempat dimana seseorang mulai membentuk dan menemukan karakter dirinya. Dalam sebuah keluarga, seorang anak memerlukan peranan orang tua dalam

Pada sambutannya ia berharap bahwa dengan terbitnya tafsir al-Huda ini akan berguna bagi masyarakat dalam membina kehidupan beragama dan bermasyarakat serta dapat mendorong

Gambar 3 : Satuan batuan di sekitar daerah penelitian Di dalam wilayah daerah penelitian, menurut Peta Geologi Lembar Longiram yang dibuat oleh Suwarna dan Apandi

1) Pemimpin Belajar, artinya merencanakan, melaksanakan dan mengontrol kegiatan peserta didik belajar. Pola kepemimpinan kelas yang demokratis merupakan ciri utama dalam

al-r±wi al-a‘l± untuk menentukan riwayat yang paling akurat yang bisa disandarkan kepada Nabi saw. Adapun metode pelaksanaannya terdiri dari langkah-langkah berikut:

hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di malaysia oleh Syahril, dkk (2008) pada 51 wanita melayu dan 28 wanita India di Malaysia, , serupa juga dengan hasil

Segi produk dapat dilihat dari kandungan gizi yang dimiliki susu sapi tersebut, kualitas gizi yang baik, memiliki varians rasa yang banyak, pengemasan yang menarik

Publikasi KECAMATAN RUMBAI PESISIR DALAM ANGKA 2016 ini merupakan usaha kami sebagai Koordinator Statistik Kecamatan Rumbai Pesisir dalam upaya melengkapi