• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Efektifitas Terapi Applied Behavior Analysis Teknik Extinction Dengan Dan Tanpa Media Video Modelling Untuk Mengurangi Restricted Behavior Pada Anak Autism Spectrum Disorder

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Efektifitas Terapi Applied Behavior Analysis Teknik Extinction Dengan Dan Tanpa Media Video Modelling Untuk Mengurangi Restricted Behavior Pada Anak Autism Spectrum Disorder"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Autism Spectrum Disorder (ASD)

II.A.1. Pengertian Autism Spectrum Disorder (ASD)

Istilah Autis berasal dari bahasa Greek yaitu: autos yang berarti “self”

atau diri sendiri. Istilah ini pertama sekali diperkenalkan oleh sorang psikiater

yang bernama Eugen Bleuler. Bleuler menggunakan istilah autis untuk

menunjukkan anak yang menampilkan perilaku menarik diri yang sangat ekstrem

dari lingkungan sosialnya dan dipandang sebagai pasien dengan gangguan yang

parah (Kerig & Wenar, 1998).

Keenan Mickey, dkk (2000) mengatakan bahwa Autism Spectrum

Disorder (ASD) merupakan sebuah gangguan perkembangan pervasif. Secara

umum, anak yang terdiagnosa ASD memperlihatkan beberapa gangguan dan

defisit dalam perilaku sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan dan defisit

perilaku yang dimiliki berbeda dari satu anak ke anak yang lain dan biasanya hal

ini terlihat pada sosial interaksi, bahasa, sosial komunikasi, bermain simbolis dan

imaginasi, dan pola perilaku repetitif dan stereotype.

Brereton (2002) mengatakan gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD)

merupakan suatu kondisi abnormalitas nyata, yaitu gangguan perkembangan pada

interaksi sosial dan komunikasi serta terbatasnya aktifitas dan minat. Manifestasi

dari gangguan ini sangat tergantung pada tingkat perkembangan dan usia individu.

Gangguan ASD terkadang disebut sebagai: infantile autism, autis masa

(2)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Autism Spectrum

Disorder (ASD) adalah: sebuah gangguan perkembangan pervasif dimana anak

menampilkan perilaku menarik diri yang sangat ekstrim dari lingkungan sosialnya

dan memperlihatkan gangguan dalam hal interaksi sosial, bahasa, sosial

komunikasi, bermain simbolis dan adanya pola perilaku repetitif dan stereotype.

II.A.2. Karakteristik Diagnostik ASD

Menurut The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, fifth

edition (APA, 2013) karakteristik anak yang mengalami ASD adalah:

A. Defisit yang menetap dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial

di beberapa konteks, yang terlihat saat ini atau terlihat dari riwayat:

1. Defisit dalam interaksi sosial emosional, memulai interaksi,

contoh: pendekatan sosial yang aneh (abnormal) dan tidak

mampu untuk memulai dan mengakhiri percakapan,

berkurangnya minat untuk berbagi kesenangan, emosi, atau

tidak mampu untuk memulai dan mengakhiri interaksi sosial.

2. Defisit dalam komunikasi nonverbal yang digunakan untuk

interaksi sosial, memulai interaksi nonverbal, misalnya:

komunikasi verbal dan nonverbal yang tidak terintegrasi,

adanya keanehan dalam kontak mata dan bahasa tubuh, atau

sulit dalam memahami dan menggunakan bahasa tubuh, tidak

mampu menunjukkan ekspresi wajah dan komunikasi

(3)

3. Defisit dalam membangun, mempertahankan dan memahami

relasi, tidak mampu memulai hubungan, contoh: sulit

menyesuaikan perilaku sesuai dengan berbagai konteks sosial,

sulit berbagi dalam bermain imajinatif, tidak adanya minat

untuk bermain dalam kelompok.

B. Pola perilaku yang terbatas dan repetitif, minat dan aktifitas yang

terbatas, yang termanifestasi sedikitnya dua dari perilaku berikut:

1. Adanya gerakan stereotipe dan repetitif, menggunakan objek

atau bahasa (contoh: gerakan stereotipe sederhana,

membariskan mainan atau membalik objek, ekolalia, frase

idiosyncratic).

2. Perhatian yang berlebihan pada kesamaan, rutinitas yang kaku

atau pola perilaku verbal dan non verbal yang diritualkan

(contoh: stres yang berlebihan pada perubahan kecil, merasa

kesulitan pada situasi transisi, pola berpikir yang kaku, ucapan

ritual, harus pada rute yang sama dan makanan yang sama

setiap hari).

3. Sangat terbatas (highly restricted) dan terpaku yang tidak biasa

(abnormal), fokus dan frekuensiyang berlebihan (contoh:

ketertarikan yang kuat atau senang pada objek yang tidak biasa

dan minat yang terbatas).

4. Hyper atau hypoaktif pada input sensori atau keterarikan yang

(4)

perduli terhadap rasa nyeri/temperatur, respon negatif pada

suara atau tekstur tertentu, mencium bau berlebihan atau

menyentuh benda-benda, daya tarik visual terhadap cahaya

atau gerakan).

C. Simptom sudah muncul pada masa awal periode perkembangan

(walau tidak semua terpenuhi atau mungkin dapat ditutupi dengan

strategi belajar dikemudian hari).

D. Symptom disebabkan oleh gangguan klinis yang signifikan dalam

kehidupan sosial, pekerjaan atau fungsi penting area hidup yang

lainnya.

E. Gangguan ini tidak disebaban oleh gangguan kecerdasan

(intellectual developmental disorder), atau global developmental

delay, intelectual disability dan autism spectrum disorder

frequently co-occure, untuk membuat diagnosa autis, intellectual

disabilty dan social communication maka harus diperhatikan level

perkembangan secara umum.

II.A.3. Tingkat Keparahan ASD

Berdasarkan The Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder V

edition (APA, 2013) tingkat keparahan ASD dibagi atas 3 kelompok,

(5)

Tabel 2.1. Tingkat Keparahan Pada ASD

Tingkat Keparahan pada Autism Spectrum Disorder

(6)

Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ASD

adalah salah satu defisit perkembangan yang memiliki ciri: terhambatnya

komunikasi dan bahasa, memperlihatkan perilaku berulang dan minat yang

terbatas (restricted behavior), dengan tingkat keparahan dari level 1 hingga level

3.

II.A.4. Restricted Behavior Pada Anak ASD

Restricted behavior merupakan perilaku terbatas yang dilakukan terus

menerus atau ketertarikan pada satu atau beberapa hal (Haugaard, 2008).

Sedangkan menurut The Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Retardation, fifth edition pada anak dengan gangguan Autism Spectrum Disorder

(ASD) terlihat adanya pola restricted dan repetitive pada perilaku, minat dan

aktifitas. Pola perilaku restricted dan rutinitas yang melekat manifestasinya

terlihat dari perilaku yang tidak suka pada perubahan (misalnya: anak akan stress

pada perubahan kecil), kaku terhadap aturan dan pola yang sudah ada. (APA,

2013).

II.A.5. Ciri-ciri Restricted Behavior

Menurut Wenar & Kerig (2007) ciri restricted behavior pada anak

Autistic Spectrum Disorder (ASD) adalah mereka lebih suka melakukan satu

aktivitas untuk waktu yang lama, terkadang aktifitas tersebut dapat menjadi ritual

yang kompleks misalnya: aktifitas anak ASD yang berusia 5 tahun, ia

(7)

mobil mainannya, lalu memutar roda mobil sambil membuat suara-suara, pergi ke

arah jendela, kemudian melihat kearah luar sambil menepuk-nepuk jari, kemudian

kembali ke mobil mainan, dan kembali mengulang pola yang tadi secara terus

menerus. Restricted behavior pada anak ASD bukan hanya pada pola perilaku

yang kaku, akan tetapi anak juga akan panik apabila terjadi perubahan kecil pada

lingkungan sekitarnya seperti: ketika makanan yang disediakan berbeda dari yang

biasanya atau ketika kursi yang ada dalam ruangan dipindahkan ke sudut yang

lain.

II.A.6. Penyebab ASD

Teori diawal mengatakan penyebab anak mengalami ASD adalah

gangguan yang bersifat psikogenik yaitu faktor-faktor psikologis yang

bertanggung jawab atas terjadinya gangguan ini (dalam Davison, 2006).

Perspektif ini kemudian digantikan oleh bukti-bukti penelitian terbaru yang

mengatakan bahwa banyak faktor lain yang menjadi penyebab anak mengalami

gangguan ASD diantaranya adalah:

1. Faktor Genetik

Menurut McBride, dkk (dalam Davison, 2006) bahwa studi

genetik mengenai ASD sulit dilakukan karena gangguan ini sangat

jarang terjadi. Metode keluarga memunculkan masalah tersendiri

karena penderita ASD hampir tidak pernah menikah. Meskipun

demikian, bukti-bukti yang muncul sangat menunjukkan adanya basis

(8)

saudara-saudara kandung dari orang-orang yang mengalami gangguan tersebut

sekitar 75 kali lebih besar dibanding jika kasus indeks tidak mengalami

gangguan ASD.

Penelitian faktor genetik pada anak ASD masih terus dilakukan

hingga saat ini. Sampai saat ini ditemukan kurang lebih 20 gen yang

berkaitan dengan ASD namun gejala ASD baru bisa muncul jika

terjadi kombinasi dari banyak gen. Bisa saja ASD tidak muncul

meskipun anak tersebut membawa gen ASD. Diperlukan faktor

pemicu yang lain sebagai pencetus gejala ASD (Budhiman dkk, 2002).

2. Faktor Neurologis (Gangguan Pada Susunan Saraf Pusat)

Berbagai studi EEG terhadap anak ASD mengindikasikan

bahwa banyak diantaranya yang memiliki pola gelombang otak

abnormal. Berbagai tipe uji neurologis lainnya juga mengungkap

adanya tanda-tanda disfungsi otak pada anak-anak ASD (Davison,

2006). Eric Courchesne melakukan pemeriksaan lewat metode MRI

dan menemukan pengecilan otak kecil (cerebellum) pada banyak

penyandang ASD, terutama pada lobus VI-VII. Lobus VI dan VII dari

cerebellum banyak berisi sel-sel Purkinje yang memproduksi

neurotransmiter serotonin dan pada anak penderita ASD ditemukan

bahwa sel Purkinje sangat kurang. Dampaknya menyebabkan produksi

serotonin berkurang sehingga penyaluran rangsang atau informasi

antar sel otak menjadi kacau. Margareth Bauman menemukan adanya

(9)

menyebabkan emosi pada anak autis sering terganggu (dalam

Budhiman dkk, 2002).

3. Gangguan Pencernaan

Parker Beck seorang anak penyandang ASD di Amerika pada

tahun 1997 atas permintaan ibunya dilakukan endoskopi

(peneropongan atau pemeriksaan dengan peralatan yang langsung

dimasukkan ke dalam ususnya), hasilnya diketahui fungsi

pencernaannya buruk. Kemudian ibunya meminta agar diberi suntikan

sekretin (hormon perangsang pankreas sehingga lancar memproduksi

enzim peptidase) dan hasilnya ternyata gejala autismenya berkurang,

bahkan dikatakan menghilang. Setelah ibu Parker menyebarluaskan

informasi ini, banyak orang tua yang memiliki anak ASD memberikan

hormon sekretin kepada anaknya, walau tidak semua kondisi anak

ASD membaik setelah diberi sekretin, namun setidaknya penemuan ini

menjadi sumbangan penting bagi penanganan ASD. Ternyata ada

hubungan antara gangguan pencernaan dengan gejala autisme. Kasus

Parker Beck ini menjadi pemicu penelitian-penelitian yang mengarah

pada gangguan metabolisme pencernaan (dalam Budhiman, 2002).

4. Peradangan Pada Dinding Usus

Fenomena Parker Beck ini mendorong beberapa ibu di Inggris

untuk mendatangi seorang ahli pencernaan (gastro-enterologi) yaitu:

dokter Andrew Wakefield dan memintanya untuk melakukan

(10)

usus, ia menduga bahwa peradangan tersebut disebabkan oleh virus

yang didapat dari vaksinasi MMR. Setelah itu ia melakukan penelitian

yang mengikutsertakan 160 anak yang mengalami ASD dan Wakefield

menemukan adanya RNA (virus campak). RNA virus campak yang

ditemukan ini ternyata sama dengan virus campak yang disuntikkan

melalui vaksinasi MMR. Hal ini kemudian menarik minat beberapa

ahli dan melakukan penelitian yang sama dan mendapatkan hasil yang

tidak berbeda (Budhiman, 2002).

5. Keracunan Logam Berat

Pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada rambut

dan darah ternyata banyak ditemukan logam berat beracun pada anak

ASD. Pada tahun 2000 Sallie Bernard, seorang ibu dari anak-anak

ASD meneliti soal merkuri. Ia meneliti vaksin-vaksin yang memakai

thimerosal sebagai bahan pengawet dan menemukan bahwa gejala

yang diperlihatkan anak ASD nyaris sama dengan gejala keracunan

merkuri. Hal ini kemudian diperkuat dengan membaiknya gejala-gejala

ASD setelah dilakukan kelasi, dimana merkuri dikeluarkan dari tubuh

dan otak anak (Budhiman dkk, 2002).

6. Masalah Pada Masa Kehamilan dan Proses Melahirkan

Autisme berhubungan dengan masalah-masalah yang terjadi

pada masa 8 minggu pertama kehamilan. Ibu yang mengkonsumsi

alkohol, terkena virus rubella, menderita infeksi kronis atau

(11)

anak menderita ASD. Proses melahirkan yang sulit sehingga

menyebabkan bayi kekurangan oksigen juga diduga berperan penting.

Bayi yang lahir prematur atau mempunyai berat badan di bawah

normal lebih besar kemungkinannya untuk mengalami gangguan pada

otak bila dibandingkan dengan bayi normal (Ginanjar, 2008).

II.B. TerapiApplied Behavioral Analysis (ABA) II.B.1. Sejarah Terapi ABA

Lovaas memulai eksperimen dengan cara mengaplikasikan teori B.F.

Skinner yaitu “Operant Conditioning” pada tahun 1970-an. Di dalam teori ini

Skinner secara ilmiah mendemonstrasikan bahwa consequences (konsekuensi atau

akibat) memiliki pengaruh yang kuat dan dapat diperkirakan (predictable)

terhadap perilaku. Sebuah konsekuensi yang memperkuat perilaku disebut dengan

reinforcer (penguat atau imbalan). Pada operant conditioning, jika perilaku diikuti

oleh reinforcer maka akan terjadi probabilitas (peningkatan kemungkinan) bahwa

perilaku yang sama akan terulang lagi pada keadaan yang sama. Jika perilaku

tidak diikuti oleh reinforcer maka perilaku akan menurun atau tidak terjadi lagi.

Lovaas melakukan eksperimen kepada sejumlah anak ASD dan hasil

eksperimen tersebut kemudian dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul

Behavioral Treatment and Normal Educational and Intellectual Functioning in

Young Autistic Children pada tahun 1987. Model terapi ini kemudian dikenal

dengan Applied Behavior Analysis (ABA). Model terapi ini menggunakan metode

(12)

berumur dibawah 4 tahun. Dari penelitiannya Lovaas mendapatkan suatu

konsensus bahwa variabel yang merupakan hal penting dalam menunjang

optimalisasi pelaksanaan terapi ialah: intervensi dilakukan sedini mungin

(semakin muda usia anak maka akan semakin baik), keterlibatan orang tua, fokus

masyarakat dan frekuensitatalaksana.

Terapi ABA memiliki beberapa teknik dan untuk mengurangi perilaku

bermasalah pada anak ASD digunakan teknik extinction. Prinsip dari extinction

adalah apabila anak ASD memunculkan perilaku tertentu dan konsekuensi dari

perilaku tersebut mendapat reinforcement positif, maka anak akan cenderung

mempertahankan perilaku tersebut. Demikian sebaliknya apabila konsekuensi

perilaku mendapat reinforcement negatif, maka anak cenderung tidak akan

mengulang perilaku tersebut. Akan tetapi pemberian penguat (reinforcement)

harus di kontrol dari awal sampai akhir pelaksanaan intervensi. (Keenan Mickey

dkk, 2000).

II.B.2. Extinction

Menurut Ivaan Lovass (dalam Keenan Mickey dkk, 2000) extinction

bertujuan untuk mengurangi perilaku bermasalah pada anak ASD . Prinsip dari

Extinction adalah apabila anak ASD memunculkan perilaku tertentu dan

konsekuensi dari perilaku tersebut menguntungkan maka anak akan cenderung

mempertahankan perilaku tersebut, demikian pula sebaliknya apabila konsekuensi

dari perilaku itu dihilangkan maka anak tidak akan memunculkan lagi perilaku

(13)

dan perjanjian tertentu misalnya: akan mendapat hadiah (positive reinforcement)

tertentu apabila berhenti menjerit. Selain itu, kita juga harus menentukan objek

pengganti atau perilaku pengganti (alternative behavior). Pada saat pelaksanaan

program kemungkinan akan terjadi extinction burst yaitu perilaku anak menjadi

bertambah parah dari sebelumnya, sehingga dibutuhkan konsistensi untuk tetap

melanjutkan program yang telah dibuat.

Dalam kehidupan kita betapa sering kita dipengaruhi oleh extinction.

Individu biasanya akan melakukan apa yang muncul secara alami dalam kegiatan

sehari-hari mereka. Mungkin diperlukan beberapa pengulangan dari perilaku dan

pemberian penguat (reinforcement) akan dikurangi apabila penurunan perilaku

sudah benar-benar jelas terlihat dalam frekuensi. Namun demikian, efek dari

perilaku akan masih tetap ada. Namun hal yang perlu diingat bahwa, extinction

hanyalah salah satu dari beberapa kemungkinan penyebab berkurangnya perilaku

yang tidak diharapkan. Perilaku juga dapat berkurang karena beberapa hal

diantaranya adalah: forgetting. Dalam forgetting, perilaku berkurang sebagai suatu

fungsi waktu setelah kejadian terakhir dari perilaku. Extinction berbeda dengan

semua itu, pada extinction perilaku berkurang disebabkan oleh pemberian

reinforcement (dalam Keenan Mickey dkk, 2000).

II.B.3. Alternative Behavior (Perilaku Pengganti).

Alternative behavior merupakan objek pengganti atau perilaku pengganti

yang diberikan pada anak sebagai pengganti perilaku yang tidak diharapkan yang

(14)

pengganti, diantaranya gerakan menggenggam tangan. Dalam yoga, banyak

gerakan yang dapat dilakukan yang bertujuan untuk menenangkan diantaranya

adalah dengan menggenggam tangan. Yoga secara harafiah berarti “bersatu atau

bergabung” yang berarti terjadinya penggabungan atau menyatukan pikiran dan

tubuh ke dalam satu kesatuan yang saling melekat dan seimbang. Yoga berasal

dari bahasa Sansekerta kuno yang memiliki dua arti yang berbeda yaitu: arti

umum dan arti teknis. Dalam arti umum, kata yoga berasal dari kata Yujiryoge

yang berarti bergabung, bersatu, atau persatuan dari dua benda atau lebih.

Sedangkan arti teknis, kata yoga diperoleh dari kata Yuj yang berarti suatu

keadaan stabil, diam dan damai (Worby, 2007). Dalam yoga, gerakan dengan

mengutamakan kekuatan tangan dan jari disebut Mudra. Tangan dan jari diyakini

mampu memproduksi suatu jenis energi atau gelombang elektromagnetis dan

setiap jari memiliki gelombang elektromagnetis yang berbeda. Dengan menekan

sisi-sisi jari akan dapat mempengaruhi emosi dan organ tubuh yang berkaitan

(Ramaiyah, 2009).

Yoga merupakan suatu teknik yang dapat dilakukan untuk membawa

perubahan sehingga dapat menenangkan pikiran, dan membuat pikiran menjadi

lebih terpusat. Bersamaan dengan pikiran yang bisa menjadi tenang, tubuh akan

terbuka untuk melepaskan ketegangan dan emosi yang telah tertahan untuk waktu

yang lama. Beberapa manfaat dari yoga: sebagai pembaruan energi, perbaikan

sirkulasi darah, menghilangkan penyakit kronis dan mengurangi stress, membantu

menjadikan tubuh dan pikiran menjadi rileks, peningkatan kepadatan tulang,

(15)

Dalam brain gym, gerakan menggenggam tangan sebagai salah satu gerakan

sederhana yang dapat meningkatkan keseimbangan dan kontrol emosi sehingga

gerakan ini dapat memberikan efek menenangkan sehingga dapat menurunkan

tingkat kecemasan (Ayinosa, 2009).

II.B.4. Tahapan Pelaksanaan Terapi ABA

Dalam pelaksanaan terapi ABA, menurut Ivaan Lovass ada beberapa

tahapan yang harus dilakukan (dalam Kenan Mickey dkk, 2000) yaitu:

1. Defining behavior

Tahap awal yang harus dilakukan sebelum intervensi ialah:

mendefinisikan perilaku yang hendak diintervensi atau mengidentifikasi

target perilaku. Hal ini sangat penting karena bertujuan untuk menentukan

target perilaku dengan tepat.

2. Measuring behavior

Setelah menentukan perilaku apa yang hendak diintervensi maka

tahap selanjutnya adalah mengukur perilaku tersebut. Beberapa hal yang

perlu diperhatikan ialah: frekuensi, durasi dan frekuensiperilaku yang

ditampilkan oleh anak ASD. Selain itu perlu juga diperhatikan berapa kali

perilaku tersebut muncul dalam sehari, kapan saja perilaku tersebut muncul

dan apa penyebabnya.

3. Keeping data

Mencari dan mengumpulkan data sebelum pelaksanaan intervensi

(16)

data dalam behavior analysis disebut juga dengan: data-based

decision-making. Data dapat diperoleh dari orang tua, saudara sekandung, kakak

asuh, dari terapis dan dari pengamatan langsung terhadap perilaku anak.

Seluruh data yang dikumpulkan merupakan segala sesuatu yang terkait

dengan perilaku yang hendak diintervensi. Misalnya: apa penyebab anak

menunjukkan perilaku tersebut, kapan dan dimana saja anak

memperlihatkan perilaku tersebut, berapa lama anak memperlihatkan

perilaku tersebut, bagaimana respon / reaksi orang tua dan orang-orang

sekitar saat perilaku anak muncul.

4. Learning ABCs

Setelah mengumpulkan data-data maka tahap selanjutnya adalah

menentukan stimulus-respon dan konsekuensi atau biasa disebut dengan

ABC yang merupakan singkatan dari: Antecedent, Behavior, dan

Consequences. ABC dalam behavior analysis disebut sebagai “ three-term

congtingency” dimana ada pola sederhana: jika A terjadi maka akan terjadi

B, kemudian akan diikuti oleh C. Contoh: seorang anak ASD yang selalu

menepuk-nepuk tangan, perilaku ini hanya muncul saat anak tidak memiliki

aktifitas atau saat anak mengalami cemas. Saat anak menunjukkan perilaku

ini maka orang-orang disekitar anak (orang tua dan terapis) akan melarang

anak, akan tetapi apabila dilarang maka anak akan marah, berteriak dan

tantrum. Dalam kasus ini, kondisi anak saat tidak memiliki aktifitas dan

cemas merupakan antecedent (A), kemudian diikuti perilaku

(17)

tua / terapis melarang anak sehingga anak berteriak dan tantrum. Ketika

ingin mengurangi perilaku menepuk-nepuk tangan kepada anak maka pada

saat anak menepuk tangan maka instruksi yang kita berikan “tidak”.

Masalah di awal adalah anak pasti tidak akan mengikuti instruksi, sehingga

langkah berikutnya adalah memberikan aktifitas pengganti sebagai

pengganti perilaku anak menepuk tangan yaitu dengan menggenggam

jariatau disebut dengan behavior. Jika anak memberikan respon seperti yang

kita harapkan maka kita akan memberikan pujian atau reinforcement

sebagai konsekuensi anak telah menggenggam jari (consequences). Hal ini

digambarkan dengan:

Antecedent Behavior Consequences

pada saat tidak ada menggenggam jari hadiah /pujian

aktifitas atau kondisi cemas

5. Selecting and finding reinforcers

Hal yang harus diperhatikan pada saat pelaksanaan intervensi

adalah pemilihan penguat (reinforcement) yang tepat bagi anak. Reinforcer

dibagi menjadi dua yaitu: positive reinforcement (penguat positif) dan

negative reinforcement (penguat negatif). Positive reinforcement dibagi

menjadi 5 yaitu: consumable reinforcer (seperti: makanan, minuman),

activity reinforcer (seperti: aktifitas belanja, hobi, olahraga), manipulative

reinforcer (seperti: bersepeda), possesional reinforcer (gelas kesayangan,

baju kesukaan), social reinforcer (pujian, pelukan, senyuman). Pada saat

(18)

yang disukai dan yang tidak disukai oleh anak, sehingga yang kita lakukan

pada tahap ini ialah memilih penguat yang tepat bagi anak. Sebaiknya

reinforcement yang diberikan merupakan sesuatu yang menarik perhatian

anak dan merupakan benda yang konkrit seperti: tos atau menggelitik anak.

Hal yang harus diperhatikan bahwa setiap anak berbeda dalam merespon

penguat sehingga kita harus memilih penguat yang paling efektif.

6. Planning intervention

Setelah mendapatkan semua data yang dibutuhkan maka tahap

selanjutnya adalah merencanakan intervensi. Dalam tahap perencanaan ini

yang dilakukan ialah: menentukan siapa yang akan melaksanakan

intervensi, berapa lama (berapa hari, bulan atau tahun) intervensi akan

dilakukan, lama durasi pelaksanaan intervensi,kapan dan dimana

intervensi akan dilakukan, peralatan apa saja yang diperlukan pada saat

pelaksanaan intervensi.

7. Starting work

Tahap terakhir adalah mulai melakukan semua tahap yang sudah

direncanakan sebelumnya.

II.B.4. Lama Waktu Pelaksanaan Terapi ABA

Menurut Handoyo (2003) anak ASD yang mendapatkan terapi ABA

selama 40 jam dalam seminggu (dilakukan 8 jam perhari selama 5 hari dalam 1

minggu) maka dalam kurun waktu 2 sampai 2,5 tahun anak sudah mampu untuk

(19)

2,5 tahun tersebut, setiap hari anak diberikan berbagai materi mulai dari tingkat

dasar yaitu melatih kemampuan kontak mata dan kepatuhan pada anak, sampai

pada materi untuk melatih kesiapan anak untuk masuk sekolah. Masih menurut

Handoyo, keberhasilan ABA tidak terlepas dari peran aktif keluarga sehingga

penanganan yang diberikan pada anak tidak hanya dilakukan di tempat terapi saja

tetapi sebaiknya jjuga dilakukan di rumah (bersama ibu, ayah atau pengasuh).

Apabila hal ini dilakukan, maka setelah 6 bulan anak akan mengalami kemajuan.

Beberapa penelitian yang menggunakan metode ABA memiliki batasan

waktu yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Sambandam,

Rangaswami dan Thamizharasan (2014) untuk memperbaiki perkembangan secara

umum, bahasa dan perilaku adaptif pada anak ASD dilakukan 5 kali dalam

seminggu (hari Senin sampai dengan hari Jumat), 4 jam setiap hari selama 1

tahun. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Cardon & Wilcox (2011) pada 6

orang anak ASD untuk membandingkan perilaku meniru timbal balik (reciprocal

imitation) dengan video modelling, penelitian ini dilakukan 3 kali dalam

seminggu, dengan durasi 30 menit sehari, dan dilakukan selama 24 minggu.

Sedangkan di Indonesia sendiri, penelitian yang dilakukan oleh Rapmauli dan

Matulessy (2015) untuk melihat pengaruh terapi bermain flash card dengan

menggunakan terapi ABA untuk meningkatkan interaksi sosial pada anak ASD

dilakukan selama 4 dalam 5 kali dalam 1 m inggu dan dilaksanaka selama 2

minggu. Dalam penelitian ini, Rapmauli dan Matulessy hendak mengukur

(20)

menirukan (imitasi) gambar, kemampuan komunikasi (kemampuan bahasa

reseptif), dan kemampuan bekerjasama.

Dari beberapa penelitian diatas terlihat bahwa, setiap peneliti memiliki

waktu yang berbeda-beda dalam melaksanakan penelitian dengan menggunakan

metode ABA pada anak ASD. Secara keseluruhan dari hasil penelitian diatas

membuktikan bahwa terapi ABA efektif diberikan pada anak ASD, walaupun

diberikan dengan jumlah jam dan lama waktu yang berbeda-beda.

II.D. Video Modelling

II.D.1. Pengertian Video Modelling

Video Modelling menurut Charlop & Freeman (2000) adalah intervensi

yang melibatkan siswa untuk melihat rekaman video, terlibat dalam target

perilaku dan kemudian meniru perilaku tersebut. Model yang terlibat bisa teman

kelompok dari anak, saudara / sibling, orang dewasa lain atau anak itu sendiri.

Robert Hart (2010) yang melakukan penelitian dengan menggunakan

video modelling yang bertujuan untuk mengurangi perilaku restricted, perilaku

adaptive dan komunikasi pada 5 orang anak ASD dan diperankan oleh partisipan

dengan durasi 3 menit. Video diberikan 2 sampai 3 kali dalam satu minggu dan

dilakukan selama 6 minggu. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa pemberian

video modelling pada anak ASD efektif untuk mengurangi perilaku restricted

menjadi perilaku yang lebih positif. Menurut Petter Dowrick (dalam Robert Hart,

(21)

sehingga anak ASD hanya melihat perilaku positif atau perilaku yang hendak

dibentuk saja.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh

penelitian Delano F Monica (2007) dengan menggunakan media video modelling

untuk menangani perilaku restricted, kemampuan sosial dan keberfungsian pada

anak ASD. Dari penelitian ini, Monica memperoleh hasil: dari 55 subjek yang ikut

dalam penelitian maka 50 orang anak autis menunjukkan perubahan perilaku yang

lebih baik dan dapat memenuhi beberapa target perilaku yang diharapkan. Dari

penelitian ini juga terlihat bahwa lebih efektif menggunakan subjek sebagai model

dibandingkan dengan menggunakan orang dewasa atau teman sebaya. Menurut

Michelle Tilander (2008) beberapa anak ASD memiliki memori visual yang lebih

baik (visual learner). Hal ini diperkuat oleh Dettmer, dkk (dalam Nirahma &

Yuniar, 2012) yang menyatakan bahwa anak ASD lebih mudah untuk

memperoleh informasi secara visual dua atau tiga dimensi dari pada stimulus

auditori. Menurut Wolfinger (dalam Suyanto, 2005) hal ini dikarenakan dalam

perkembangan kognitif, anak ASD berada dalam fase pra operasional sehingga

anak memiliki cara berpikir konkret yang berpijak pada pengalaman akan

benda-benda konkret, bukan berdasarkan pengetahuan atau konsep-konsep abstrak.

Menurut Merril Anna (2014) penelitian dengan menggunakan video

modelling pada anak ASD memiliki beberapa kelebihan diantaranya:

membutuhkan biaya dan waktu yang sedikit, selain itu melalui intervensi ini anak

ASD dapat melihat secara langsung sehingga ia dapat menyaksikan sendiri

(22)

II.D.2. Proses Video Modelling Pada Anak ASD

Menurut Wilson (2012), ada 5 tahapan dalam proses pelaksanaan Video

Modelling yang telah disesuaikan bagi anak ASD, yaitu:

Tahap 1: Preparation

Tahap persiapan terdiri dari serangkaian langkah yang bertujuan

untuk menentukan strategi intervensi video model yang tepat untuk anak,

diantaranya ialah: menentukan target perilaku yang akan di buat dalam

video model, menentukan model, tempat merekam dan menentukan scrip

model.

Pada tahap persiapan awal peneliti harus menentukan target

perilaku yang akan direkam dalam video. Target perilaku harus sesuatu

yang memang bisa ditiru dan mudah untuk diamati. Setelah menentukan

target perilaku, maka hal selanjutnya yang dilakukan adalah menentukan

model yang akan digunakan untuk direkam dalam video. Model yang akan

digunakan ada 2 yaitu: subjek atau orang lain (saudara sekandung, teman,

guru atau orang tua. Setelah menentukan model yang akan digunakan

maka selanjutnya adalah menentukan script. Dalam proses ini, kita harus

bisa menentukan bagaimana hasil akhir dari video yang akan direkam.

Disini juga akan ditentukan berapa lama video yang akan dilihat oleh

anak. Menurut Shukla, Mehta, dkk (dalam Wilson, 2012) untuk proses

belajar yang optimal maka lamanya video model adalah 3 – 5 menit.

Selain itu juga harus ditentukan bagaimana interaksi yang akan terjadi

(23)

Tahap 2: Recording of the Video Model

Setelah menentukan isi dan setting dari video model, maka tahap

selanjutnya adalah merekam hal yang sebenarnya. Tahap ini diperlukan

pengambilan keputusan mengenai peralatan apa yang akan digunakan

untuk merekam dan memutar video, serta dilakukan evaluasi kualitas hasil

video model.

Saat ini, video recorder merupakan alat yang sangat mudah

ditemui, mudah untuk didapatkan dan harganya juga terjangkau sehingga

saat ini sudah banyak oleh para guru, terapis dan beberapa sekolah

lainnya. Fasilitas video saat ini sangat mudah digunakan, menggunakan

fasilitas software sehingga mudah untuk diupload, dibagi (sharing) dan

dilakukan proses pengeditan. Hasil video model yang telah direkam

nantinya akan diperlihatkan pada anak. Kelebihan dari video model ini

adalah anak dapat melihat hasil rekaman dari video model ini dimana saja

dan fasilitas yang digunakan untuk melihat hasil rekaman juga sangat

banyak misalnya: melalui laptop, tablet, televisi, komputer, dan lain-lain.

Tahap 3: Implementation of the Video Modelling Intervention

Setelah merekam video model, dan melakukan evaluasi terhadap

kualitas, maka tahap selanjutnya siap untuk melaksanakan intervensi video

modelling. Tahap 3 melibatkan pengambilan keputusan seputar rincian

pelaksanaan video model, termasuk menentukan setting, lamanya

pelaksanaan, dan waktu menonton video serta orang (atau orang-orang)

(24)

Pada tahap 3, setelah video model selesai direkam maka video

model akan diberikan pada anak untuk dilihat. Akan tetapi sebelum anak

melihat hasil dari video tersebut maka harus ditentukan dimana anak akan

menonton video tersebut. Idealnya anak menonton video tersebut

diberikan di dalam ruangan dan menggunakan headphone yang bertujuan

untuk mengurangi gangguan dari suara-suara sekitar. Setelah itu,

menentukan berapa lama pelaksanaan pemberian video. Lamanya

pemberian video model tergantung dari karakteristik anak dan kemampuan

yang dimiliki oleh anak. Akan tetapi semakin sering anak melihat perilaku

yang ada didalam video maka akan semakin besar kemungkinan bagi anak

untuk meniru perilaku yang ada di dalam video tersebut. Setelah itu, lalu

menentukan siapa yang akan melaksanakan rencana intervensi. Pada anak

ASD, kemampuan untuk duduk tenang dan kemampuan untuk melihat

video masih kurang begitu baik maka pelaksana pada terapi ini sebaiknya

adalah orang dewasa yang telah mengenal subjek, mengerti bagaimana

cara memberikan instruksi dan memberikan prompt pada anak, seperti:

guru, asistent guru atau terapis.

Tahap 4: Monitoring of student’s response to the video modelling

intervention

Selama dan setelah pelaksanaan video model, terapis akan tetap

memantau setiap kemajuan pada anak dalam merespon terapi. Tahap 4

(25)

meningkatkan dan mengevaluasi secara umum dan menjaga keterampilan

baru yang telah diperoleh anak.

Tahap 5: Planning of next steps

Setelah melakukan evaluasi efek dari terapi video modelling pada

anak tertentu, maka terapis selanjutnya membuat keputusan tentang

langkah-langkah berikutnya dari terapi. Contoh keputusan yang dibuat

adalah apakah anak memberikan respon yang baik atau tidak terhadap

terapi video model yang diberikan. Apabila pemberian video model efektif

pada anak, maka hal selanjutnya yang dilakukan adalah memperluas target

keterampilan pada anak dengan merekam video model yang baru dengan

kharakteristik yang sama. Akan tetapi apabila video model tidak efektif

maka dapat melakukan pilihan modifikasi atau melakukan pilihan

(26)

II.E. Applied Behavior Analysis (ABA) dengan Teknik Extinction melalui Video Modelling Dalam Mengurangi Restricted Behavior Anak Autism Spectrum Disorder (ASD)

Pola perilaku, minat dan aktifitas yang terbatas pada objek tertentu dengan

frekuensiyang berlebihan, ketertarikan dan kelekatan kuat dengan berbagai benda

atau aktifitas merupakan salah satu kharakterstik perilaku yang dimiliki oleh anak

Autism Spectrum Disorder (ASD). Dalam DSM V perilaku ini disebut dengan

restricted behavior (APA, 2013). Hal ini mempengaruhi keberfungsian anak

sehari-hari sehingga mengakibatkan anak menjadi kehilangan setiap peluang

sosial yang potensial bagi tumbuh kembangnya.

Salah satu metoda psikoterapi yang digunakan untuk anak ASD adalah

dengan terapi ABA (Applied Behavior Analysis). Menurut Maryana (2012) terapi

ABA sangat baik untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapakan dan

meningkatkan kepatuhan. Konsep utama dalam terapi ini adalah timbulnya suatu

perilaku selalu didahului oleh suatu sebab atau antecedent, kemudian perilaku

tersebut akan memberikan suatu akibat (consequences). Pada anak ASD, setiap

perilaku didahului oleh suatu penyebab sehingga apabila penyebabnya dapat

ditemukan dan dicegah maka anak ASD tidak lagi memiliki dorongan untuk

menampilkan perilakunya. Perilaku yang memberikan akibat yang menyenangkan

maka perilaku akan cenderung untuk diulang, demikian pula sebaliknya apabila

perilaku memberikan akibat (consequences) yang tidak menyenangkan maka

perilaku tersebut akan dihentikan. Hal lain yang perlu diperhatikan pada terapi

(27)

dan tidak berbelit-belit (instruksi harus langsung pada hal yang dituju) (Handoyo,

2008). Selain pemberian instruksi, hal lain yang juga penting ialah frekuensiterapi

ABA. Lamanya waktu dari pemberian terapi ABA berbeda-beda. Penelitian yang

dilakukan oleh beberapa penelitian yang menggunakan metode ABA memiliki

batasan waktu yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Cardon &

Wilcox (2011) pada 6 orang anak ASD untuk membandingkan perilaku meniru

timbal balik (reciprocal imitation) dengan video modelling, penelitian ini

dilakukan 3 kali dalam seminggu, dengan durasi 30 menit sehari, dan dilakukan

selama 24 minggu. Sedangkan di Indonesia sendiri, penelitian yang dilakukan

oleh Rapmauli dan Matulessy (2015) untuk melihat pengaruh terapi bermain flash

card dengan menggunakan terapi ABA untuk meningkatkan interaksi sosial pada

anak ASD dilakukan selama 4 kali dalam 1 minggu dan dilaksanakan selama 2

minggu.

Extinction merupakan salah satu teknik pada terapi ABA, teknik ini dapat

digunakan untuk mengurangi perilaku restricted pada anak ASD. Extinction

hanyalah salah satu dari beberapa kemungkinan penyebab berkurangnya perilaku

yang tidak diharapkan. Perilaku juga dapat berkurang karena beberapa hal

diantaranya adalah: forgetting. Dalam forgetting, perilaku berkurang sebagai suatu

fungsi waktu setelah kejadian terakhir dari perilaku. Extinction berbeda dengan

semua itu, pada extinction perilaku berkurang disebabkan oleh pemberian

reinforcement (dalam Keenan Mickey dkk, 2000). Dengan extinction kita harus

menunggu sampai si anak benar-benar telah mampu menyesuaikan diri terhadap

(28)

dan kontak mata harus sudah terbentuk karena hal ini merupakan kunci utama

sehingga pada saat pelaksanaan anak mampu untuk menuruti perintah yang

disampaikan. Menurut Wilson (2012) ada 7 tahapan yang harus dilakukan yaitu:

1). defining behavior, 2). measuring behavior, 3) keeping data, 4) learning ABCs,

5) selecting and finding reinforces, 6). Planning intervention, 7). Starting work.

Pada tahap 7 pelaksanaan terapi sudah mulai bisa untuk dilakukan, akan tetapi

sebelum pelaksanaan terapi anak ASD tetap harus mendapat pemberitahuan

tentang aturan dan perjanjian tertentu, misalnya: seorang anak ASD yang

memiliki perilaku yang selalu mengambil brosur di swalayan atau supermarket,

apabila anak tidak mendapatkan brosur maka anak akan tantrum. Pada saat

pelaksanaan intervensi maka kita harus memberitahukan kepada anak bahwa ia

tidak akan mendapat brosur dan sebagai gantinya anak harus mengambil

keranjang belanjaan, apabila anak mengambil keranjang belanjaan maka anak

akan mendapatkan hadiah yang disukainya misalnya: pujian atau pelukan. Dalam

extinction, perubahan yang kita dapatkan dari anak terjadi secara perlahan-lahan

sehingga perubahan yang kita lihat tidak terjadi secara total dan langsung. Oleh

karena itu kita harus mampu menentukan di awal target perilaku apa yang kita

inginkan. Misalnya: pada kasus Eoin, anak ASD yang terobsesi untuk melihat

kereta api sehingga setiap hari ia akan mengatakan “Lihat kereta api” dengan

tujuan agar orang tuanya mengantarkan Eoin ke Stasiun kereta api (DART =

Dublin Area Rapid Transport). Setiap pagi selesai sarapan pagi, siang hari selesai

makan siang dan sore hari, perilaku itu selalu berulang-ulang dilakukan oleh Eoin.

(29)

api pada saat pagi hari dan sore hari saja. Dalam hal ini, program awal dilakukan

dengan tujuan untuk mengurangi frekuensiperilaku melihat kereta api.

Selain menggunakan terapi ABA, beberapa ahli menggunakan Video

Modelling. Teknik ini melibatkan demonstrasi perilaku yang diinginkan melalui

video. Intervensi oleh model melalui representasi video (video modelling) akan

melibatkan anak ASD untuk menonton demonstrasi yang ditayangkan dalam

video kemudian anak diharapkan akan meniru perilaku model yang dilihatnya.

Pemberian video dalam menangani anak ASD dengan alasan bahwa beberapa

anak autis memiliki memori visual yang lebih baik (visual learner), dimana anak

lebih mudah untuk memperoleh informasi secara visual dua atau tiga dimensi dari

pada stimulus pendengaran (Michelle Tilander, 2008). Hal ini dikarenakan dalam

perkembangan kognitif anak ASD berada dalam fase pra oprasional sehingga anak

memiliki cara berpikir konkret yang berpijak pada pengalaman akan benda-benda

konkret, bukan berdasarkan pengetahuan atau konsep-konsep abstrak (Wolfinger

dalam Suyanto, 2005).Menurut Wilson (2012) ada 5 tahapan dalam proses

pelaksanaan video modelling yaitu: 1). Preparation, 2). Recording of the video

model, 3). Implementation of the video modelling intervention, 4). Monitoring of

student response to the video modelling intervention, 5). Planning of next steps.

Kelima proses tahapan yang disusun oleh Wilson ini telah disesuaikan dengan

kebutuhan bagi anak ASD. Dalam pemilihan model dalam pembuatan video

modelling bagi anak, model yang paling efektif adalah orang yang mereka anggap

kompeten dan memiliki kemiripan dengan diri mereka seperti: karakteristik fisik,

(30)

model yang digunakan dalam video bisa teman sebaya, orang dewasa, kelompok,

saudara kandung, atau diri sendiri. Akan tetapi, pemilihan subjek langsung

sebagai model akan lebih efektif karena saat seseorang melihat dirinya berhasil

melakukan sesuatu maka hal tersebut merupakan informasi yang paling tepat

tentang bagaimana cara terbaik dalam melakukan sesuatu secara tepat dan

berhasil. Semakin sering anak menonton video yang berisi perilaku yang ingin

dirubah, maka kemungkinan anak akan menirukan perilaku yang ada di dalam

video akan semakin besar.

Berdasarkan kajian teoritis diatas, maka dalam penelitian ini materi ABA

dengan teknik extinction akan diberikan melalui media visual yaitu video

modelling. Menurut Maryana (2012) metode ABA memiliki 3 kelebihan yaitu

terstruktur, terarah dan terukur. Terstruktur maksudnya bahwa metode ini

menggunakan teknik yang jelas, sedangkan terarah maksudnya bahwa metode ini

memiliki kurikulum yang jelas untuk membantu mengarahkan jalannya terapi dan

terakhir sebagai metode yang terukur maksudnya bahwa metode ini dapat diukur

tingkat keberhasilannya. Program yang telah disusun secaa terstruktur dan terarah

melalui 7 tahapan ABA maka selanjutnya program yang telah disusun ini akan

dilanjutkan ke 5 tahapan video modelling. Hal ini dilakukan agar perilaku yang

hendak dirubah pada anak tidak diberikan secara langsung akan tetapi akan

diberikan melalui video modelling. Pemberian materi ABA melalui media video

karena pemberian intervensi video modelling pada anak ASD memiliki beberapa

(31)

perilaku seperti apa yang seharusnya dilakukan. Selain itu intervensi ini juga

(32)

KERANGKA TEORI

ASD

Level 1 Level 2 Level 3

Restricted Behavior

ABA (Extinction) ABA(Extinction)+VM

Tahap Pelaksanaan: (anak akan tantrum apabila tidak diberikan. C (consequences) agar anak tidak tantrum maka orang tua memberikan apa yg diminta anak.

ABCs diatas dirubah dengan mencari perilaku pengganti (mencari benda pengganti) yg lebih adaptif.

3. Selecting & finding reinforces: menemukan makanan yg disukai anak atau penguat lainnya. 4. Planning intervention. (merencanakan intervensi diantaranya: menentukan siapa yang akan melaksanakan, berapa lama diberikan, dimana dilakukan. masuk dalam tahap proses Video Modelling.

5 Tahapan VM:

a. Preparation (menentukan dimana perilaku akan direkam, siapa yg akan menjadi model dlm video)

b. Recording of the video model (mulai merekam perilaku anak, setelah itu dilakukan pengeditan sehingga nantinya video yg diperlihatkan pada anak hanya perilaku yg ingin dibentuk saja)

c. Implementation of the video modeling intervention (pd tahap ini video diperlihatkan pd anak, akan tetapi sebelum video diperlihatkan pada anak maka harus ditentukan dimana video akan diberikan, berapa lama video diperlihatkan dan siapa yg akan melaksanakan pemberian video kepada anak)

d. Monitoring of student response to the video modelling intervention (mengumpulkan data dan melihat kemajuan anak)

Perilaku menepuk-nepuk tangan

Gambar

Tabel 2.1. Tingkat Keparahan Pada ASD

Referensi

Dokumen terkait

boleh menggunakan aair panas. Selain itu menganjurkan ibu untuk mengganti pembalut minimal 2 x sehari atau jika terasa penuh. Menganjurkan ibu untuk ambulasi dini yaitu

Kebanyakan kata cantuman yang terhasil daripada proses ini mempunyai unsur akhir kata pertama yang sama dengan unsur awal kata kedua, manakala unsur yang terlibat mungkin dua

[r]

Data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pola APBD antara propinsi “kaya” (kapasitas fiskal tinggi) dengan propinsi “miskin” (kapasitas fiskal rendah). Sebagian

1.2.4 Apakah curcuminoid 100 mg perhari lebih baik dari curcuminoid 50 mg perhari dalam mencegah kerusakan fibroblas koklea yang diberi pajanan bising frekuensi 1-10 kHz

Konstruktivistik merupakan salah satu pendekatan dalam belajar yang menekankan bahwa proses belajar terbaik seorang individu terjadi ketika individu secara

Akan tetapi, apabila kajian ini melakukan pembacaan dan penilaian awal terhadap kebanyakan penulisan dan pemikiran sarjana lain tentang isu krisis alam

Hasil pengujian kekuatan sobek dari lima perlakuan berbeda pada kulit samak menggunakan bahan penyamak mimosa yang tersaji pada Tabel 3.. Analisa sidik ragam