• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1.Paradigma Kajian

Paradigma diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya (Vardiansyah, 2008: 27).

Menurut Denzin dan Guba (dalam Wibowo, 2013: 52) paradigma adalah basis kepercayaan atau metaphysics utama dari sistem berpikir: basis dari ontologi, epistemologi, dan metodologi. Paradigma dalam pandangan filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas, dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian paradigma membawa konsekuensi dan kebijakan terhadap pemilihan masalah.

Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, Andy dan Wardhany, 2009:107).

(2)

manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas (Ardianto dan Q-Aness, 2007: 153).

Paradigma konstruktivisme ialah paradigma yang menyatakan bahwa kebenaran suatu realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial, yang bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada di antara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto 2004:13).

Konstruktivisme muncul setelah para ilmuan menolak tiga prinsip dasar positivisme: (a) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas yang terstruktur, (b) hubungan subjek peneliti dengan objek penelitian harus terpisahkan secara tegas guna mengejar objektivitas, (c) hasil temuan harus merupakan generalisasi yang universal, berlaku kapan pun dan di mana pun (Vardiansyah, 2008: 59).

Menurut Von Glasersferld dan Kitchener tahun 1987 (dalam Ardianto dan Q-Anees, 2007: 155) secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

(3)

studi komunikasi, paradigma konstruktivisme ini sering disebut paradigma produksi dan pertukaran makna. Paradigma ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (Eriyanto, 2008: 37).

Dalam pandangan konstruksionis, tidak ada realitas dalam arti riil, sebelum peneliti mendekatinya. Sesungguhnya yang ada konstruksi atau suatu realitas. Realitas sosial bergantung pada bagaimana seseorang memahami dunia, dan bagaimana menafsirkannya. Penafsiran dan pemahaman itulah yang disebut realitas. Karena itu, peristiwa dan realitas yang sama bisa jadi menghasilkan konstruksi realitas yang berbeda dari orang yang berbeda (Eriyanto, 2008: 45).

2.2. Uraian Teoritis

2.2.1. Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai suatu yang dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain (Wibowo, 2013: 7).

Menurut Eco (1979), secara terminologis semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa, peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest (1996) mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.” (Sobur, 2004: 96).

(4)

mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. (Sobur, 2004: 15).

Preminger memberi batasan semiotika yang menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan tanda. Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai “kebohongan”. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan lewat kata-kata dan tanda-tanda lain digunakan dalam konteks sosial. hal itu berarti tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekedar merefleksikan realitas yang ada. (Zamroni, 2009: 92)

Pada dasarnya pusat perhatian pendekatan semiotik adalah pada tanda (sign). Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yakni; (Sobur, 2004: 94)

1. Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.

3. Kebudayaan di nmana kode dan lambang itu beroperasi

Charles Morris menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut Morris, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik (Wibowo, 2013: 5).

(5)

2. Semantik (semantics) merupakan cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya”. Designata adalah tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.

3. Pragmatik (pragmatics) merupaka suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khusunya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.

Kajian komunikasi saat ini telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan. Semiotika signifikasi adalah memberi tekanan pada teori tanda dan pemahamannya pada suatu konteks tertentu (Suprapto, 2009: 98).

Menurut Berger (dalam Sobur, 2004: 31), ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang menjadi rujukan para ahli Pertama adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan.

(6)

Gambar 2.1. Elemen-elemen makna dari Saussure

Sumber: Fiske, John. 2002. Introduction Communication Studies. London and New York:

Routledge, hlm. 44

Pendekatan kedua adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang filsuf bernama Charles Sanders Peirce (1839- 1914). Peirce menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda. (Sobur, 2004: 34).

Menurut Charles Sanders Peirce, tanda dibentuk dalam tiga sisi yaitu representament atau tanda itu sendiri, objek yang dirujuk oleh tanda dan akan

(7)

Sebuah tanda mengacu pada sesuatu (objeknya), untuk seseorang (interpretannya) dan dalam respek atau penghargaan (ground-nya). Relasi dari ketiga hal ini menentukan ketepatan proses semiosis. Dalam relasi triadik ini terdapat tiga konsep penting dalam pemikiran Peirce, yaitu ikon, indeks, dan simbol. (Kurniawan, 2001: 21).

Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif akibat dari suatu kebiasaan ketika kita meyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004: 35).

Ikon merupakan “tanda” juga karena tampak seerti apa yang ditandakan (signified). Jika dalam contoh di atas, “anjing” sebagai objek yang mewakili suatu realitas yang asli, maka salah satu ciri ikon adalah tidak ada hubungan “nyata” antara objek dan ikon, artinya tampilan ikon itu mirip dengan objek asli namun kita harus berpikir untuk melihat-lihatnya lagi. Dengan kata lain, tampilan ikon selalu semakin jauh dari kenyataan atau keaslian suatu objek. Ikon sebenarnya merupakan modis di mana penanda (signifier) dianggap “menyerupai” atau “meniru” apa yang ditandakan (signified) dilihat, dikenal, didengar, dirasakan, dikecap, atau diciumi (berbau mirip). (Liliweri, 2011: 349)

(8)

tidak mempunyai hubungan dengan apa yang ditandakan (signified). (Liliweri, 2011: 350)

Simbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukkan oleh simbol. Cincin merupakan simbol pernikahan, sepasang angsa melambangkan kesetiaan, seragam merupakan lambang korps, bendera sebagai simbol bangsa, dan jubah putih sebagai simbol kesucian. Jika tanda mempunyai satu arti (yang sama bagi semua orang), maka simbol mempunyai banyak arti (tergantung pada siapa yang menafsirkannya). Manusia berkomunikasi dengan bahasa, bahasa tergantung pada kata dan tata bahasa. Semua kata yang digunakan adalah simbol. Karena mempunyai banyak arti. Karena simbol selalu diwakili oleh kata-kata yang dapat saja memiliki pengertian yang berbeda-beda maka kata Verbender (1986), komunikasi verbal lisan maupun tertulis tergantung pada penguasaan kata dan tata bahasa. (Liliweri, 2011: 350)

Hubungan antara ikon, indeks, dan simbol tersebut memiliki sifat konvensional. Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran atau referensi) dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotic triangle berikut ini :

Gambar 2.2 : Semiotic Triangle Ogden and Richards

Sumber: Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm.

159

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi

acuan simbol

(9)

yang merupakan hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Referensi dengan demikian merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satu pengertian tertentu.

Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyataannya teks media memiliki ideologi atau kepentingan tertentu, memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teks media membawa kepentingan-kepentingan tertentu dan juga kesalahan-kesalahan tertentu yang lebih luas dan kompleks (Wibowo, 2013: 11).

Semiotika memecah-mecah kandungan dalam teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di mana dia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi. Ia mengulas cara-cara beragam unsur teks bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna (Stokes, 2007 : 77).

2.2.2. Semiologi Roland Barthes

Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes (1915-1980), ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks (Wibowo, 2013: 21). Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. (Sobur, 2004: 63).

(10)

kesamaan (equality), tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang meyatukan keduanya (Hawkes, 1977: 130 dalam Kurniawan, 2001 : 22)

Barthes mendefenisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya dengan content atau signified. Sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memilki makna yang berbeda ketimbang semula. Primary sign disebut sebagai denotatif sedangkan secondary sign adalah salah satu dari konotatif. Fiske menyebut model ini sebgai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap

pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dengan signified (konten) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal (Wibowo, 2013: 21).

Barthes menciptakan peta bagaimana tanda bekerja, berikut peta tanda Roland Barthes:

1. signifier (penanda)

2. signified (petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Gambar 2.3 : Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis

(11)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. (Sobur, 2004: 69).

Konotasi merupakan makna yang subjektif dan bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2013: 22).

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum denotasi dimengerti sebagai makna yang harafiah. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi lebih diasosiasikan degan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku di dalam suatu periode tertentu. (Sobur, 2004: 70).

(12)

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. (Sobur, 2004: 69)

Menurut Barthes, terdapat lima kode pokok yang beroperasi di dalam teks. Lima kode pokok tersebut, diantaranya: (Sobur, 2004: 65-66)

1. Kode hermeneutik atau kode teka- teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita akan mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. 3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas dan

bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses.

4. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

5. Kode gnomic atau kode kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan budaya apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya penulis bertumpu.

2.2.3. Televisi sebagai Representasi Budaya Massa

(13)

secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Gerbner. Gerbner mengemukakan bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan atau bulanan (Ardianto dan Erdiana, 2004: 3-4).

Komunikasi massa adalah proses komunikasi dengan massa yang dilakukan melalui media, yakni media massa seperti surat kabar, majalah, buku, radio dan televisi. Seluruh proses komunikasi media melibatkan di dalamnya pelbagai aspek perbedaan latar belakang budaya, mulai dari pengelola (organisasi media), saluran atau media massa, pesan-pesan, hingga kepada khalayak sasaran maupun dampak. (Liliweri, 2011: 218)

Komunikasi massa terjadi ketika sejumlah orang mengirimkan pesan kepada audiens yang besar yang bersifat anonymous dan heterogen melalui penggunaan media komunikasi khusus. Studi komunikasi massa mempelajari pemanfaatan media oleh audiens, dan menjelaskan efek media terhadap human interaction dalam konteks komunikasi, dan unit analisis komunikasi massa antara lain pesan, media, dan audiens. (Liliweri, 2011: 219)

(14)

itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim, dan heterogen (Nurudin, 2004: 10).

Pengertian massa dalam komunikasi massa tidak sekadar orang banyak di suatu lokasi yang sama. Menurut Berlo (1996), massa diartikan sebagai “semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran.” Massa mengandung pengertian yang banyak, tetapi mereka tidak harus berada di suatu lokasi tertentu yang sama. Mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama (Wiryanto, 2000: 3). Pesan-pesan dalam komunikasi massa bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, dan selintas. Meskipun khalayak ada kalanya menyampaikan pesan kepada lembaga (dalam bentuk saran-saran yang sering tertunda), proses komunikasi didominasi oleh lembaga, karena lembaga yang menentukan agendanya. (Mulyana, 2008: 84)

Seperti yang dikatakan oleh Severin dan Tankard, Jr., komunikasi massa itu adalah keterampilan, seni, dan ilmu, dikaitkan dengan pendapat Devito bahwa komunikasi massa itu ditujukan kepada massa dengan melalui media massa dibandingkan dengan jenis-jenis komunikasi lainnya, maka komunikasi massa mempuntai ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat-sifat komponennya. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: (Effendy, 2007: 21)

1. Komunikasi massa berlangsung satu arah. Ini berarti bahwa tidak terdapat arus balik dari komunikan kepada komunikator.

2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga. Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Oleh karena itu, komunikatornya melembaga atau dalam bahasa asing disebut institutionalized communicator atau organized communicator. 3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum. Pesan yang disebarkan melalui

media massa bersifat umum (public) karena ditunjukkan kepada umum dan mengenai kepentingan umum.

(15)

5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Komunikasi atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara terpencar-pencar, di mana manusia satu sama lainnya tidak saling mengenal dan tidak memiliki kontak pribadi.

McQuail (dalam Pawito, 2008: 17-18) menyatakan bahwa ada empat subbidang kajian komunikasi massa yang oleh McQuail disebut sebagai perspektif. Keempat bidang kajian ini terbangun dari persilangan antara sumbu media-masyarakat dengan sumbu kebudayaan-material yang kemudian meliputi:

a. Media-cultralist perspective, lebih menitikberatkan persoalan isi dan penerimaan isi (pesan-pesan media) oleh khalayak.

b. Media-materialist perspective, berkenaan dengan persoalan ekonomi politik media.

c. Social culturalist persepective, lebih menekankan pada pengaruh faktor-faktor sosial terhadap produksi dan penerimaan isi atau pesan-pesan media dalam kehidupan masyarakat.

d. Social-materialist perspective, yang lebih melihat media massa sebagai cerminan dari kondisi-kondisi ekonomi dan material masyarakat.

Komunikasi massa memiliki fungsi-fungsi penting terhadap masyarakat. Dominick (2001) membagi fungsi komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto dan Erdiana, 2004: 15):

1. Surveillance (pengawasan)

Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama, yaitu: a. Fungsi pengawasan peringatan yaitu jenis pengawasan yang dilakukan oleh

media massa untuk menginformasikan berbagai hal terutama tentang ancaman kepada khalayak.

b. Fungsi pengawasan instrumental yaitu penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.

2. Interpretation (Penafsiran)

Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. 3. Linkage (Pertalian)

(16)

4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai)

Media massa yang mewakili gambaran masyarakat dengan model peran yang diamati dan harapan untuk menirunya. Dalam hal ini, media massa memberikan nilai-nilai kepada masyarakat dan nilai-nilai ini yang suatu saat bisa diadopsi oleh masyarakat.

5. Entertainment (Hiburan)

Hampir semua media massa menjalankan fungsi hiburan. Walaupun ada beberapa media yang tidak memberikan fungsi tersebut tetapi memberikan fungsi informasi kepada masyarakat seperti majalah Tempo, Gatra dan lainnya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak.

Industri media massa memiliki kemampuan dalam menyediakan informasi dan hiburan. Akan tetapi, media massa juga dapat mempengaruhi institusi politik, sosial, dan budaya. Media massa secara aktif memengaruhi masyarakat serta mencerminkannya. Media massa sudah begitu memenuhi kebutuhan kita sehari-hari sehingga kita sering tidak sadar lagi dengan kehadirannya, apalagi dengan pengaruhnya. Media massa sering kali menganggap masyarakat sebagai komoditas semata. Akan tetapi, media massa menolong dalam mendefenisikan diri kita; membentuk realitas kita. (Baran, 2012: 5)

Budaya adalah suatu tingkah laku yang dipelajari oleh anggota suatu kelompok sosial. Penciptaan dan pemeliharaan budaya terjadi melalui komunikasi, termasuk komunikasi massa, yaitu ketika professional media memproduksi isi pesan yang kita lihat, baca, dengarkan, atau tonton, makna yang sedang dibagikan dan budaya sedang dikonstruksi dan dipelihara. (Baran, 2012: 11)

(17)

Media tidak hanya menentukan standar daya tarik seseorang, namun media juga mengingatkan kita bahwa kita tidak harus merasa sedih jika kita tidak sesuai dengan suatu standar tertentu. Acara televisi seperti Nip/Tuck dan Dr.90210 menyampaikan kepada kita bahwa kecantikan bukanlah sesuatu yang kita butuhkan dalam hidup, tetapi komoditas yang dapat dibeli. Pesan dan jutaan pesan lainnya sampai kepada kita terutama lewat media, dan walaupun bukan berarti orang-orang yang memproduksi media ini mementingkan diri sendiri dan jahat, tidak dapat dipungkiri motivasi mereka adalah uang. Kontribusi mereka terhadap cara berpikir, berperasaan, dan bertindak dalam budaya sudah pasti buka pertimbangan utama mereka ketika mempersiapkan komunikasi ini. Budaya tidak hanya membatasi. Representasi media akan kecantikan wanita sering menemui perdebatan dan ketidaksepakatan yang merujuk pada fakta bahwa budaya juga dapat membebaskan. Hal ini dapat terjadi karena nilai budaya juga dapat dipertentangkan. (Baran, 2012: 14)

(18)

Tabel 2.1: Tabel Proses Representasi Fiske

LEVEL PERTAMA REALITAS

(Dalam bahas tulis seperti dokumen, wawancara, transkrip, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerak-gerik, ucapan, ekspresi, suara)

LEVEL KEDUA REPRESENTASI

(Elemen-elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti kamera, tata cahaya, editing, musik dan sebagainya.)

Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya.

LEVEL KETIGA IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi, seperti individualism, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme dan sebagainya.

Sumber: Fiske, John. 1987. Television Culture. London and New York: Routledge, hlm 5.

(19)

diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. (Wibowo, 2013: 149)

Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu akan mengalami proses seleksi. Tanda yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologis yang akan digunakan, sementara tanda-tanda lain diabaikan. Realitas dalam representasi media tersebut harus memasukkan atau mengeluarkan komponennya, dan juga melakukan pembatasan pada isu-isu tertentu sehingga mendapatkan realitas yang banyak. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada representasi realitas, terutama di media yang benar atau nyata sepenuhnya. (Wibowo, 2013: 149)

Televisi sebagai budaya adalah bagian penting dari dinamika sosial dimana struktur sosial mempertahankan dirinya dalam proses produksi dan reproduksi makna, kepopuleran, sebagai bagian dari struktur sosial. (Fiske, 2001: 1) Budaya televisi merupakan fenomena yang ada baik di layar ataupun saat off- screen, suka atau tidak suka, meskipun sebagian besar pemirsa, memahami bahwa "realitas" hidup di layar berbeda dari realitas kehidupan off-screen. (Fisherkeller 2002: 3)

Kebiasaan sehari-hari, ritual, dan kegiatan seperti makan malam keluarga, drama sekolah, menonton televisi, dan berkirim pesan email berperan dalam mengatur dan membentuk budaya masyarakat. Tetapi orang-orang tidak mempelajari semua budaya yang disajikan kepada mereka, dan individu yang berbeda tidak belajar dari budaya dengan cara yang sama. Belajar dalam budaya TV tidak berbeda. Individu dalam situasi yang berbeda memiliki akses ke berbagai jenis televisi, dan mereka membuat keputusan yang berbeda tentang apa yang harus melihat. Mereka juga berbeda dalam bagaimana mereka membuat berpartisipasi dalam ritual melihat dan bagaimana mereka menafsirkan pengalaman menonton mereka. (Fisherkeller, 2002: 13)

(20)

media yang dapat mendominasi komunikasi massa, karena sifatnya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Televisi mempunyai kelebihan dari media massa lainnya yaitu bersifat audio visual (didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan dan langsung dapat menyajikan peristiwa yang sedang terjadi ke setiap rumah para pemirsa di manapun mereka berada (Ardianto dan Erdiana, 2004: 40).

Menurut Skormis (Kuswandi, 1996:8) dalam bukunya “Television and Society: An Incuest and Agenda” dibandingkan dengan media lainnya (radio, surat kabar, majalah,

buku, dan sebagainya). Televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar yang bisa bersifat informatif, hiburan, dan pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Informasi yang disampaikan oleh televisi, akan mudah dimengerti karena jelas terdengar secara audio dan terlihat secara visual.

Televisi merupakan hasil produk teknologi tinggi (hi-tech) yang menyampaikan isi pesan dalam bentuk audio visual gerak. Isi pesan audiovisual gerak memiliki kekuatan sangat tinggi dalam mempengaruhi mental, pola pikir, dan tindak individu. Jumlah individu ini menjadi relatif besar bisa isi audio visual gerak ini disajikan melalui televisi. Saat ini, berkat dukungan teknologi satelit komunikasi dan serat optik, siaran televisi dibawa oleh gelombang elektromagnetik, tidak mungkin lagi dihambat ruang dan waktu. Bahkan khalayak sasarannya tidak lagi bersifat lokal, nasional, dan regional, tetapi sudah bersifat internasional atau global (Baksin, 2006: 16).

(21)

2.2.3.2.Reality Show

Program reality show adalah sebuah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain umumnya khalayak biasa. (Totona, 2010: 3). Menurut Widyaningrum dan Christiatuti (dalam Musthofa, 2012: 5) Reality show adalah suatu acara yang menampilkan realties kehidupan seseorang yang bukan selebriti (orang awam), lalu disiarkan melalui jaringan TV, sehingga bisa dilihat masyarakat. Reality show tak sekedar mengekspose kehidupan orang, tetapi juga ajang kompetisi, bahkan menjahili orang.

Program reality show memang muncul di awal-awal tahun 2000 dan reality show masih banyak diproduksi dan ditayangkan di televisi termasuk dalam dunia pertelevisian Indonesia. Namun ketika ditanya darimana reality show ini berasal, pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Asal-usul fakta-fakta televisi populer merupakan hal yang rumit. Sebagai jenis program peranakan, reality show merupakan program yang sulit dikategorisasikan. Ada tiga dasar utama

kaitannya dengan fakta-fakta televisi populer atau program-program televisi yang berdasarkan fakta yaitu tabloid journalism, documentary television, dan popular entertainment (Hill, 2008: 15).

(22)

Program acara reality show di Indonesia mencoba menyajikan suatu situasi seperti konflik, persaingan, atau hubungan berdasarkan realitas yang sebenarnya. Dengan kata lain, program ini mencoba menyajikan suatu keadaan yang nyata (riil) dengan cara sealamiah mungkin tanpa rekayasa. Terdapat beberapa bentuk reality show, yaitu: (Morissan, 2008: 217- 218).

1. Hidden Camera atau kamera tersembunyi. Ini adalah program yang paling realistis yang menunjukkan situasi yang dihadapai seseorang secara apa adanya. Kamera ditempatkan secara tersembunyi yang mengamati gerak-gerik atau tingkah laku subjek yang berada di tengah situasi yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

2. Competition show. Program ini melibatkan beberapa orang yang saling bersaing dalam kompetisi yang berlangsung selama beberapa hari atau minggu untuk memmenangkan perlombaan, permainan (game), atau pertanyaan. Setiap peserta akan tersingkir satu per satu melalui pemungutan suara (voting), baik peserta sendiri ataupun audien. Pemenangnya adalah peserta yang paling akhir bertahan.

3. Relationship show. Seseorang kontestan harus memilih satu orang dari sejumlah orang yang berminat untuk menjadi pasangannya. Para peminat harus bersaing untuk merebut perhatian kontestan agar tidak tersingkir dari permainan. Pada setiap episode ada satu peminat yang harus disingkirkan. 4. Fly on the wall. Program yang memperlihatkan kehidupan sehari-hari dari

seseorang mulai dari kegitan pribadi hingga aktivitas profesionalnya. Dalam hal ini kamera membuntuti ke mana saja orang yang bersangkutan pergi. 5. Mistik. Program yang terkait dengan hal-hal supranatural menyajikan

tayangan yang terkait dengan dunia gaib, paranormal, klenik, praktik spiritual magis, mistik, kontak dengan roh, dan lain-lain. Program mistik merupakan program yang paling diragukan realitasnya.

2.2.4. Representasi

(23)

macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak (Eriyanto, 2001: 113).

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual), dan masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagi suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana seseorang atau kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam peberitaan (Wibowo, 2013: 148).

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru. Menurut Nuraini Julianti (dalam Wibowo, 2013: 150), representasi berubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negosiasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan yang statis tapi merupakan proses dimanis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan pengguna tanda yaitu manusia yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu bentuk usaha konstruksi. Pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia. Julianti (dalam Wibowo, 2013: 150) juga mengatakan bahwa melalui proses penandaan, praktik yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu

(24)

didefenisikan, maka selalu terjadi proses pemilihan dan mengakibatkan penghilangan atas bagian tertentu dari realitas Proses pemilihan fakta ini hendaknya tidak dipahami semata-mata sebagai bagian dari teknis jurnalistik, tetapi juga praktik representasi. Yakni bagaimna dan dengan cara apa strategi tertentu media secara tidak langsung telah mendefenisikan realitas (Eriyanto, 2001: 116).

Kedua, mengenai proses penulisan fakta. Proses ini berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menyusun realitas untuk dipahami khalayak. Pilihan kata-kata tertent yang dipakai tidak sekadar teknik jurnalistik, tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana bahasa dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Kenneth Burke menyatakan bahwa kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu tetapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu (Eriyanto, 2001: 119). 2.2.5. Representasi dan Teknik Pengambilan Gambar di Televisi

Tayangan yang disajikan pada televisi berupa gambar yang bergerak yang menuturkan cerita. Penonton memperhatikan terutama sekali apa yang sedang terjadi sekarang dan di kemudian. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui dan memahami teknik-teknik pengambilan gambar sebagai sarana untuk menuturkan cerita. (Purba, 2003: 1)

(25)

2.2.5.2.Ukuran Pengambilan Gambar

Objek gambar di televisi hampir semuanya manusia. Oleh karena itu, standarisasi ukuran gambar juga didasarkan pada ukuran manusia. Gambar-gambar atau shot-shot dideskripsikan dalam bahasa kamera dalam hubungannya dengan panjang tubuh manusia yang diperlihatkan. (Purba, 2013: 17).

Ukuran pengambilan gambar selalu dikaitkan dengan ukuran tubuh manusia, namun penerapan ukuran ini juga berlaku pada benda lain dengan menyesuaikan ukurannya. Berikut sembilan shot sizes (ukuran gambar) tersebut: (Fachruddin, 2012: 148-151)

1. Ekstreme Long Shot (ELS) dalam representasi. Pengambilan gambar yang menunjukkan background sangat dominan dan objek sangat kecil. Menyajikan bidang pandangan yang sangat luas, jauh, panjang, dan berdimensi lebar. Ukuran gambar ini memberikan orientasi kepada penonton situasi secara keseluruhan.

2. Very Long Shot (VLS) dalam representasi. Pengambilan gambar dengan background mendominasi objek agak kecil. Tujuannya untuk memberikan penekanan pada suasana atau latar belakang tetapi objek tetap dapat dikenali. 3. Long Shot (LS) dalam representasi. Keseluruhan gambaran dari pokok materi

dilihat dari kepala sampai kaki atau gambar manusia seutuhnya. LS bertujuan untuk memberikan informasi secara lengkap mengenai suasana dari adegan. LS dikenal sebagai landscape format yang mengantarkan mata penonton kepada keluasan suasana dan objek.

4. Medium Long Shot (MLS) dalam representasi. Memotong pokok materi dari lutut sampai puncak kepala pokok materi. Setelah gambar LS ditarik garis imajiner lalu di-zoom in sehingga lebih padat, maka masuk ke medium long shot. Angle MLS sering dipakai untuk memperkaya keindahan gambar.

5. Medium Shot (MS) dalam representasi. Pengambilan gambar batas kepala hingga pinggang/perut bagian bawah. Tujuannya untuk membentuk keseimbangan antara dominasi objek dengan background. Ukuran MS, biasa digunakan sebagai komposisi gambar terbaik untuk wawancara. Pemirsa dapat melihat dengan jelas ekspresi dan emosi dari wawancara yang sedang berlangsung.

6. Medium Close Up (MCU) dalam representasi. Memperlihatkan subjek mulai dari ujung kepala hingga dada atas. MS memperdalam gambar dengan menunjukkan profil dari objek yang direkam. Kesan yang ditimbulkan adalah subjek yang terfokus, sedangkan background tidak terfokus, sehingga akan menonjolkan subjek.

(26)

seseorang. Terhadap benda lain pun demikian, karena mampu mengeksplorasi daya tarik yang tersembunyi.

8. Big Close Up (BCU) dalam representasi. Pengambilan gambar dari batas kepala hingga dagu. BCU menunjukkan detail ekspresi wajah aktor dengan menekankan mata dan mencakup sisa wajah sebanyak yang diperluykan atau dalam adegan proses produksi menekankan pada detail proses pembuatan secara dekat.

9. Ekstreme Close Up (ECU) dalam representasi. Pengambilan suatu gambar yang mencakup salah satu bagian tubuh. Paling sering digunakan untuk memperhebat emosi dari suatu pertunjukan musik atau situasi yang dramatis. Fungsinya adalah mengetahui detail suatu objek, dimana objek mengisi seluruh layar dan detailnya sangat jelas.

2.2.5.3.Camera Angle

Camera angle yaitu penempatan atau posisi kamera terhadap suatu sudut tertentu.

Sebuat cerita terbentuk dari sekian banyak shot. Tiap shot membutuhkan penempatan kamera yang paling baik bagi pandangan mata penonton. Artinya pemilihan angle sangat berpengaruh terhadap yang diinginkan penonton. Angle yang tidak tepat akan membingungkan penonton mengikuti jalan cerita yang dibuat. (Purba, 2013: 25)

Meletakkan lensa kamera pada sudut pandang pengambilan gambar yang tepat dan mempunyai motivasi tertentu untuk membentuk kedalaman gambar/dimensi dan menentukan titik pandang penonton dalam menyaksikan suatu adegan dan membangun kesan psikologi gambar, seperti: (Fachruddin, 2012: 151-152)

1. High angle (HA) dalam representasi. Pengambilan gambar dengan meletakkan tinggi kamera di atas objek/garis mata orang. Kesan psikologis yang ingin disampaikan objek tampak seperti tertekan.

2. Eye level (normal) dalam representasi. Tinggi kamera sejajar dengan garis mata objek yang dituju. Kesan psikologis yang disajikan adalah kewajaran, kesetaraan atau sederajat.

3. Low angle (LA) dalam representasi. Pengambilan gambar dengan meletakkan tinggi kamera di bawah objek atau di bawah garis mata orang. Adapun kesan psikologis yang ingin disajikan adalah objek yang berwibawa.

(27)

2.2.6. Kemiskinan

Menurut Brendley kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat oleh Salim yang mengatakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memperoleh kebutuhan hidup yang pokok (Setiadi dan Kolip, 2011: 794-795)

Kemiskinan, pertama-tama dapat diartikan sebagai kondisi yang diderita manusia karena kekurangan atau tidak memiliki yang layak dalam meningkatkan taraf hidupnya, kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kedua, kemiskinan didefenisikan dari segi kurang atau tidak memiliki asset, seperti tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan lain-lain. Ketiga,

kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kekurangan atau ketiadaan nonmateri yang meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang layak. (Rohidi, 2000: 25). Kemiskinan dapat dipahami dalam berbagai cara, di antaranya: (Setiadi dan Kolip, 2011: 792) 1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan

sehari-hari, sandang, perumahan dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. 2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan, ketergantungan, dan

ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. hal ini termasuk pendidikan dan informasi. keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi dalam bidang ekonomi.

3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Friedmann merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976. Kebutuhan dasar menurut konferensi ini dirumuskan sebagai berikut: (Setiadi dan Kolip, 2011: 794)

(28)

2. Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan).

3. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka.

4. Terpenuhinya tingkat absolute kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak dasar manusia.

5. Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi kebutuhan dasar.

Terdapat dua pernyataan mengenai sumber masalah kemiskinan, dan untuk menjawab siapa dan apa penyebab kemiskinan. Yang pertama menyatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi yang disebabkan karena beberapa kekurangan dan kecacatan individual baik dalam bentuk kelemahan biologis, psikologis, maupun kultural yang menghalangi seseorang memperoleh kemajuan dalam kehidupannya. Menurut pendekatan pertama ini, kemiskinan merupakan akibat dari sifat malas, kelemahan fisik, kurangnya keterampilan dan rendahnya kemampuan untuk menanggapi persoalan di sekitarnya. Pernyataan kedua lebih melihat masyarakat termasuk sistem dan strukturnya sebagai penyebab masalah kemiskinan. Contohnya antara lain adalah kondisi sosial yang menghadirkan berbagai ketimpangan antara desa dan kota, atau antarlapisan masyarakat. (Soetomo, 2008: 319-320).

Menurut Baswir dan Sumodiningrat, secara sosioekonomis terdapat dua bentuk kemiskinan, yaitu: (Setiadi dan Kolip, 2011: 795-797)

1. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan dimana orang-orang miskin memiliki tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, kalori, GNP per kapita, dan pengeluaran konsumsi.

Kemiskinan absolut diukur dari satu set standar yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat/ negara. Bank dunia mendefenisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan di bawah USD $1/ hari dan kemiskinan menengah untuk pendapatan di bawah USD $2/ hari.

(29)

kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan), yaitu:

a. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat ini menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya yang menandai baik sumber daya alam, manusia, maupun pembangunan. Menurut Baswir (dalam Setiadi dan Kolip, 2011: 796), kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, seperti karena cacat, sakit, usia lanjut, atau karena bencana alam. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumber daya alamnya atau daerah yang terisolasi.

b. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan mengubah tingkat kehidupannya. Akibatnya, tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (dalam Setiadi dan Kolip, 2011: 797) bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin dan boros.

Gambar

Gambar 2.1. Elemen-elemen makna dari Saussure
Gambar 2.2 : Semiotic Triangle Ogden and Richards
Gambar 2.3 : Peta Tanda Roland Barthes
Tabel 2.1: Tabel Proses Representasi Fiske

Referensi

Dokumen terkait

Orang pinggiran di trans 7 menayangkan wanita dan anak-anak karena wanita adalah sebuah objek yang sangat kuat untuk berperan penting dalam sebuah keluarga, maka dari

Bapak Nasrullah S.Sos, M.Si selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk dan motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini..

“Efendi (1993:34) mengatakan bahwa televisi merupakan salah satu media komunikasi audio visual yang tidak pernah terlepas dari kebutuhan manusia”. Pada masa