BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Indeks Massa Tubuh
2.1.1. Definisi Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh (IMT) atau indeks Quetelet, ditemukan antara 1830 dan 1850 oleh seorang Belgia yang bernama Adolphe Quetelet ketika mengembangkan "ilmu fisika sosial" (Eknoyan, 2008). IMT merupakan pengukuran yang menunjukkan hubungan antara berat badan dan tinggi badan. IMT adalah indeks berat dibagi tinggi yang mudah dan sering digunakan untuk menentukan berat badan kurang, berat badan lebih, atau obesitas (WHO, 2014). IMT lebih berhubungan dengan lemak tubuh dibandingkan dengan indikator lainnya untuk tinggi badan dan berat badan. Oleh karena itu, IMT menjadi alternatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta merupakan metode skrining kategori berat badan dan tinggi badan yang mudah dilakukan.
Selain sebagai ukuran standar yang berhubungan dengan berat badan dan tinggi badan, IMT juga membantu dalam pengukuran resiko terjadinya kelainan kesehatan dalam populasi. Batas atas IMT normal merupakan indikasi peningkatan resiko untuk terjadinya gangguan. IMT telah digunakan oleh World Health Organization (WHO) sebagai standar untuk mencatat statistik obesitas sejak awal 1980-an. Di Amerika Serikat, IMT juga digunakan sebagai ukuran
underweight, untuk penderita yang mengalami gangguan makan, seperti
anoreksia nervosa dan bulimia nervosa (Garrow JS, 1985). 2.1.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh
kegemukan pada populasi yang berbeda dikarenakan perbedaan proporsi tubuh pada mereka (WHO, 2000).
Tabel 2.1. Klasifikasi internasional IMT untuk dewasa
(Sumber: WHO, 2014) Tabel 2.2. Klasifikasi IMT Asia menurut IOTF
Katagori IMT (kg/m2)
Berat badan kurang <18.5
Berat badan normal 18.5 – 22.9
Berisiko Untuk Obesitas 23.0 – 24.9
Obes I 25.0 – 29.9
Obes II ≥30.0
(Sumber: IOTF, International Obesity Taskforce)
pada pria. Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kg/m2 dan etnik Polinesia memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa China, Ethiopia, Indonesia dan Thailand adalah 1,9; 4,6; 3,2; dan 2,9 kg/m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal ini memperlihatkan adanya nilai cutoff IMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu (Soegondo, Sidartawan & Purnamasari, Dyah, 2006).
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah melakukan penelitian di setiap provinsi di Indonesia dengan menggolongkan indeks massa tubuh menjadi 4 kategori.
Tabel 2.3. Klasifikasi indeks massa tubuh di Indonesia
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Kategori kurus <18,5
Kategori normal ≥18,5 - <24,9 Kategori BB lebih ≥25,0 - <27,0
Obese ≥27
(Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007)
Indeks massa tubuh tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tapi hasil riset telah menunjukan bahwa IMT berkorelasi dengan pengukuran lemak tubuh secara langsung, seperti pengukuran dalam air dan Dual-energy X-Ray
Absorptiometry (DXA). IMT adalah metode yang mudah dan tidak mahal untuk
dilakukan dan memberikan indikator atas lemak tubuh, serta digunakan untuk screening berat badan yang dapat mengakibatkan problema kesehatan (Centers for
Disease Control and Prevention, 2011).
2.1.3. Pengukuran Indeks Massa Tubuh
badan, kemudian hasil pengukuran dimasukkan ke dalam formula (rumus). Formula yang universal digunakan adalah: (Garrow JS, 1985)
IMT = Berat Badan (kg) Tinggi Badan Kuadrat (m2)
Selain itu, penentuan IMT dapat juga dilakukan dengan menggunakan kurva IMT, yang menampilkan IMT sebagai fungsi berat badan (sumbu horizontal) dan tinggi badan (sumbu vertikal) dengan menggunakan garis kontur untuk nilai dari IMT yang berbeda atau warna yang berbeda untuk kategori IMT, berdasarkan grafik IMT CDC 2000 (Eknoyan, 2008).
IMT memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan pengukuran lainnya untuk menentukan adipositas. Pengukuran tinggi badan dan berat badan yang dinyatakan dalam IMT memberikan pengukuran yang reliabel dari kegemukan di populasi daripada pengukuran ketebalan lipatan kulit otot trisep. Reliabilitas pengukuran antara interobserver dan intraobserver sangat sulit ditegakkan, semakin rendah reliabilitas semakin tinggi lemak tubuh, dan tidak ada metode yang efisien untuk mengkaji reliabilitas dari berbagai survei. (Garrow JS, 1985 dan Eknoyan, 2008).
2.2. Prostat
2.2.1. Anatomi Prostat
Prostat adalah organ genital yang hanya di temukan pada pria dan merupakan penghasil cairan semen. Dalam Smith’s General Urology 17th ed.
fascia Denonvilliers. Prostat juga berhubungan dengan duktus ejakulatorius pada posteriornya untuk pengosongan cairan ejakulat melalui verumontanum.
Sumber: K. OH, William (2000)
Gambar 2.1. Rongga panggul pria
Sumber: Smith’s General Urology 17th ed. (2008) Gambar 2.2. Organ prostat
Sumber: Smith’s General Urology 17th ed. (2008)
Gambar 2.3. Zona pada prostat menurut McNeal
2.2.2. Sekresi Prostat
Sebagai kelenjar, prostat mengahasilkan beberapa produk protein yang biasa dijumpai pada cairan ejakulat. Seperti yang terlampir dalam Campbell-Walsh
Urology 10th ed. (2012), beberapa protein ejakulat tersebut adalah:
Tabel 2.4. Protein sekresi mayor kelenjar aksesoris genitalia pria
(Sumber: Campbell-Walsh Urology 10th ed., 2012) 2.3. Prostate Specific Antigen (PSA)
2.3.1. Definisi Prostate Specific Antigen (PSA)
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, BPH, keganasan prostat, dan bertambahnya usia. Pada pasien BPH pemeriksaan kadar serum PSA penting untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009). Pada pasien kanker prostat pemeriksaan kadar serum PSA menjadi parameter berkelanjutan, semakin tinggi kadarnya maka semakin tinggi kecurigaan kanker prostat (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2011).
Pemeriksaan PSA serum sangat diindikasikan pada pasien dengan gejala LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms). LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) dan iritasi (storage symptoms), yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitent), dan merasa tidak puas setelah miksi, yang kemudian menjadi retensi urine.
2.3.2. Jenis dan Nilai Kadar Serum PSA
Prostate Specific Antigen (PSA) merupakan suatu glycoprotein yang
dihasilkan oleh sel epitel pada asinus dan duktus dari kelenjar prostat. PSA disekreasi kedalam cairan seminal oleh sel epitel luminal dari duktus prostat, asinus, dan kelenjar dari periuretral. Normalnya kadar serum PSA sangat rendah karena terkonsenttrasi pada prostat. Namun, kerusakan pada arsitektur jaringan prostat normal seperti pada prostatic disease, inflamasi atau trauma akan menyebabkan banyaknya jumlah PSA yang masuk ke dalam sirkulasi. Sehingga, peningkatan level PSA serum dijadikan sebagai marker penting pada beberapa
prostate disease, antara lain BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Montironi R. et
al., 2000).
yang lebih spesifik yang terdapat pada serum yang dapat meningkatkan kemampuan dari PSA untuk membedakan antara pasien dengan kanker prostat dan yang jinak (Stenman U.H. et al., 1991 dalam Durmaz, 2014). Penemuan keberadaan PSA di serum dalam beberapa bentuk molekular menambah manfaat klinik pada pemeriksaan PSA. Bentuk yang besar termasuk di dalamnya nonkomplek atau free PSA dan PSA komplek dengan serine protease inhibitor α1-antichymotrypsin (ACT) dan α2-macroglobulin (Christensson A. et al., 1993
dalam Arneth, 2009).
Tabel 2.5. Molecular Forms of Prostate-Specific Antigen
(Sumber: Lilja H. et al., 1991)
Peningkatan kadar PSA bisa terjadi pada keadaan BPH, infeksi saluran kemih dan kanker prostat sehingga dilakukan penyempurnaan dalam interpretasi nilai PSA yaitu PSA velocity atau perubahan laju nilai PSA, densitas PSA dan nilai rata – rata PSA, yang nilainya bergantung kepada umur penderita.
Tabel 2.6. Rata-rata nilai normal kadar PSA menurut umur Umur (tahun) Rata – Rata Nilai Normal PSA (ng/mL)
40 – 49 0.0 – 2.5 50 – 59 0.0 – 3.5 60 – 69 0.0 – 4.5 70 – 79 0.0 – 6.5
Sumber : Dawson C. dan Whitfield H., 1996 dalam Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009
Pemeriksaan PSA di Negara Barat mempunyai hasil yang sangat sensitif namun tidak spesifik, yakni rata-rata mencapai tingkat sensitivitas lebih dari 90% dan spesifisitas kurang dari 25%, untuk kadar nilai ambang PSA 4 ng/ml (Brewer MK, 1999). Dan pada peningkatan nilai ambang PSA 10 ng/ml terjadi penurunan sensitivitas menjadi lebih dari 75% sementara pada spesifisitas meningkat hampir dua kali lipat menjadi 48% (Joseph E.,1991). Sedangkan di Indonesia sendiri, penelitian mengenai nilai spesifisitas dan sensitivitas tentang pemeriksaan PSA baru dilakukan di RS Kariadi Semarang dengan hasil nilai spesifisitas meningkat pada nilai ambang batas PSA 10 ng/ml dan nilai PSA >10 ng/ml menjadi nilai rekomendasi untuk dilakukan biopsi prostat sebelum diagnosis pasti kanker prostat ditegakkan (Erlangga N., 2007)
2.3.3. Hal-hal yang Mempengaruhi Kadar Serum PSA
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kadar serum PSA, antara lain: a. Usia
kontrol metabolisme oleh tubuh dengan semakin bertambahnya usia (Joseph E, 1991). Sehingga pemeriksaan PSA pada pasien yang sama jika dilakukan secara rutin dan berkala, menunjukkan penurunan sensitivitas dan spesifisitas PSA terhadap kanker prostat.
b. Statin
Statin (HMG-CoA reductase inhibitors) merupakan preparat yang digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol. Hasil penelitian M. H. Hager et
al. (2006) menunjukkan bahwa pertumbuhan prostat dan kanker prostat
dipengaruhi oleh metabolisme kolesterol yang abnormal, dimana makin tinggi kolesterol maka pertumbuhan prostat semakin meningkat. Selanjutnya, L Zhuang et al. (2005) dan K. Pelton (2012) mendapati bahwa penurunan bioavaibilitas kolesterol menginduksi apoptosis sel prostat. (Sang Hun Lee et
al., 2013)
c. Insulin
Pada penelitian yang dilakukan oleh Heiko Muller et al. (2009) mengenai “Hubungan Diabetes dan IMT terhadap PSA,” didapatkan hasil bahwa pasien diabetes yang menggunakan pengobatan insulin cenderung memiliki kadar serum PSA yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien diabetes tanpa pengobatan. Dimana pasien diabetes tanpa pengobatan ini memiliki kadar serum PSA yang relatif sama dengan pasien tanpa diabetes. Hal ini mugkin dipengaruhi oleh insulin, bahkan pada penggunaan secara oral juga menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan.
d. 5-α-reductase inhibitors dan antiandrogen
5-α-reductase inhibitors dapat menyebabkan sitoreduksi jaringan prostat
e. Trauma dan penyakit pada prostat dan saluran kemih
Akut retensi urine, akut atau kronik prostatitis, kateterisasi kurang dari 5 hari, dan operasi yang berhubungan dengan BPH kurang dari 3 bulan merupakan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan trauma pada prostat, sehingga terjadi peningkatan kadar serum PSA.
2.4. Hubungan IMT dengan Kadar Serum PSA
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada pria biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa obesitas menjadi faktor resiko terjadinya pembesaran prostat baik jinak maupun ganas.
Berdasarkan penelitian Peter Ka-Fung Chiu et al. (2011) dalam Asian
Pacific Journal of Cancer Prevention vol. 12 melaporkan bahwa terjadi
penurunan kadar serum PSA pada pasien seiring dengan peningkatan IMT (terutama obesitas) sehingga dibutuhkan cutoff yang berbeda antara pasien yang obesitas dengan IMT normal. Banez et al. (2007) dalam The Journal of the
American Medical Association vol. 298 melaporkan bahwa kadar serum PSA
menurun secara signifikan dengan peningkatan IMT karena dilusi dari jumlah PSA yang tetap dalam volume plasma pada pasien dengan IMT yang lebih tinggi.
Namun, belum ada penelitian yang secara pasti mengenai penyebab terjadinya penurunan nilai kadar serum PSA pada penderita dengan IMT diatas normal. Ohwaki et al. (2010) dan Grubb et al. (2009) dalam Peter Kang-Fu Chiu
et al. (2011) mengemukakan bahwa hubungan terbalik IMT dengan PSA dapat