BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsumsi Energi Dan Protein
Makanan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan terutama untuk
pertumbuhan. Tanpa asupan makanan dan nutrisi yang cukup, suatu organisme
tidak bisa tumbuh dan berkembang secara normal.
Makronutrien atau yang disebut sebagai zat gizi makro yang terdiri dari
karbohidrat, protein dan lemak adalah jenis zat gizi yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan anak. Energi diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, utilisasi
bahan makanan, dan aktivitas. Kebutuhan energi disuplai terutama oleh
karbohidrat dan lemak. Walaupun protein dalam diet dapat memberikan energi
untuk keperluan tersebut, fungsi utamanya yaitu untuk menyediakan asam amino
bagi sintesa protein sel, dan hormon maupun enzim untuk mengatur metabolisme
(Pudjiadi, 2005).
Menurut Depkes RI (2002), kekurangan energi dan protein pada masa
anak-anak akan berdampak secara langsung terhadap gangguan pertumbuhan,
perkembangan dan produktifitas. Proses pertumbuhan yang terganggu tersebut
akibat dari penggunaan protein tubuh sebagai sumber energi bukan pada fungsi
sebagai sumber zat pembangun.
Menurut Sediaoetama (1996), konsumsi energi dan protein lebih banyak
ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan
mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam
dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur
kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi.
Tingkat kesehatan biasanya dipengaruhi oleh asupan makanan yang masuk
ke dalam tubuh seseorang. Jika asupan gizi yang masuk dalam komposisi yang
baik maka gizi seseorang juga akan baik. Namun jika yang terjadi adalah yang
sebaliknya maka tubuh akan kekurangan zat gizi atau biasa disebut malnutrisi.
Masalah tersebut disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbangan antara
energi dan protein yang masuk dalam tubuh (Notoatmodjo, 1996).
Kebutuhan nutrien tertinggi per kg berat badan dalam siklus daur
kehidupan adalah pada masa bayi dimana kecepatan tertinggi dalam pertumbuhan
dan metabolisme terjadi pada masa ini (Kusharisupeni, 2007). Seorang anak sehat
dan normal akan tumbuh sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Akan
tetapi asupan zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan akan
mempengaruhi pertumbuhan anak. Kekurangan asupan makanan akan
dimanifestasikan dalam bentuk pertumbuhan yang menyimpang dari standar
(Khomsan, 2004).
Asupan makanan terkait dengan ketersedian pangan namun tidak berarti
jika tersedia pangan kemudian akan secara pasti setiap orang akan tercukupi
konsumsi makanan yang dikonsumsinya. Apabila anak balita asupan makanannya
tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan menurun sehingga akan mengalami
kurang gizi dan mudah terserang penyakit infeksi, maka anak akan kehilangan
nafsu makan sehingga intake makanan menjadi kurang. Dua hal ini lah yang
asupan energi dan protein. Protein diperlukan oleh anak balita untuk pemeliharaan
jaringan, perubahan komposisi tubuh dan pertumbuhan jaringan baru
(Nur’aeni, 2008). Menurut Arisman (2004), jika asupan protein kurang pada balita
maka dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan jaringan dan organ, berat badan
dan tinggi badan, serta lingkar kepala. Anak yang tidak cukup menerima asupan
makan maka daya tahan tubuh (imunitas) melemah, sehingga hal ini dapat
menyebabkan terjadinya gizi kurang.
2.2 Penyediaan Pangan
Penyediaan pangan adalah pengadaan bahan makanan dari proses memilih
dan pengolahan makanan. Upaya mencapai status gizi masyarakat yang baik atau
optimal dimulai dengan penyediaan pangan yang cukup. Penyediaan pangan yang
cukup diperoleh melalui produksi pangan dalam negeri melalui upaya pertanian
dalam menghasilkan bahan makanan pokok, lauk pauk, sayur-mayur, dan
buah-buahan. Agar produksi pangan dapat dimanfaatkan setinggi-tingginya perlu
diberikan perlakuan pascapanen sebaik-baiknya (Almatsier, 2002).
Menurut Suryana (2003), apabila ditinjau dari ketersediaan komoditas
pangan per kapita per tahun secara mikro pada tingkat rumah tangga masih
terdapat masalah yang tidak seimbang dari sisi kecukupan dan komposisinya.
Ketersediaan bahan pangan sumber energi dan protein masih secara dominan
dipenuhi oleh pangan sumber karbohidrat, khususnya beras. Kelompok
padi-padian menyumbang protein sekitar 56-61%, kacang-kacangan sekitar 19% dari
total ketersediaan protein, ketersediaan protein dari pangan hewani masih relatif
Undang-undang No.7 Tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai
kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya bahan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau, mempunyai pengertian :
a. Pangan bukan berarti hanya beras atau komoditas tanaman pangan tapi
mencakup makanan yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan.
Dengan demikian, proses produksi pangan tidak hanya di hasilkan oleh
kegiatan subsektor pertanian, tapi juga peternakan, perikanan, dan industri
pengolahan pangan.
b. Penyediaan pangan yang cukup diartikan dalam jumlah yang sesuai dengan
kebutuhan setiap individu untuk memenuhi asupan zat gizi makro
(karbohidrat, protein, lemak) dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral) yang
bermanfaat bagi pertumbuhan, kesehatan, daya tahan jasmani dan rohani.
Dengan demikian ketahanan pangan tidak hanya berupa pemenuhan
konsumsi pangan saja tapi harus memperhatikan kualitas dan keseimbangan
konsumsi gizi.
Ketersediaan pangan di keluarga harus memenuhi jumlah yang cukup
untuk memenuhi seluruh anggota keluarga baik jumlah, mutu dan keamanannya.
Kemampuan suatu keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi seimbang
dipengaruhi oleh daya beli (kemiskinan), pengetahuan dan juga oleh kemampuan
wilayah dan rumah tangga memproduksi dan menyediakan pangan secara cukup,
aman, dan kontiniu. Keluarga yang mampu memenuhi hal ini disebut sebagai
dipengaruhi oleh ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana penyediaan
pangan mencakup kualitas dan kuantitas bahan pangan untuk memenuhi standart
kebutuhan energi bagi individu agar mampu menjalankan aktifitas sehari-hari
(Dinkes Prop Sumut, 2006).
Pengukuran ketahanan pangan di tingkat keluarga dapat ditentukan secara
kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif menurut Smith (2002) dalam Hamzah
(2015), dilakukan dengan menggunakan survei pengeluaran keluarga (household
expenditure survey) dan asupan pangan individu (individual food intake). Dalam
metode kuantitatif, terdapat empat variabel yang digunakan yaitu jumlah
konsumsi energi keluarga, tingkat kecukupan energi, diversifikasi pangan, dan
persentase pengeluaran pangan (Hamzah, 2015).
Penilaian kualitas pangan telah dikembangkan di Amerika Serikat dengan
menggunakan alat kuesioner. Menurut Bickel et al (2000) dalam Hamzah (2015),
penilaian ketahanan pangan keluarga secara kualitatif dapat dilakukan dengan
menanyakan kondisi kejadian perilaku dan reaksi subjektif, yaitu:
1. Kekhawatiran bahwa anggaran pangan rumah tangga atau ketersediaan
pangan kemungkinan tidak mencukupi
2. Persepsi bahwa konsumsi orang dewasa atau anak-anak dalam keluarga
tidak mencukupi dari segi kualitas
3. Kejadian mengurangi konsumsi dewasa dalam keluarga atau berbagai
4. Kejadian mengurangi makanan atau berbagai akibat yang muncul dari
pengurangan asupan makanan tersebut pada anak-anak dalam suatu
keluarga
Isi dari pertanyaan dalam kuesioner tersebut kemudian dikategorikan ke
dalam skala ketahanan pangan yang terdiri dari 4 kategori tingkat keparahan yang
sebagai berikut.
1. Tahan Pangan/terjamin yaitu jika suatu keluarga tidak menunjukkan tidak
ada atau hanya sedikit bukti ketidaktahanan pangan
2. Tidak Tahan pangan tanpa kelaparan/ kelaparan ringan yaitu jika hanya
sedikit atau tidak ada pengurangan asupan makanan pada setiap anggota
keluarga
3. Tidak Tahan Pangan dengan Kelaparan Sedang yaitu jika asupan makanan
orang dewasa dalam keluarga dikurangi sehingga terjadi kelaparan yang
berulang
4. Tidak Tahan Pangan dengan Kelaparan Berat yaitu jika keluarga yang
memiliki anak melakukan pengurangan asupan makanan sehingga terjadi
kelaparan pada anak
2.3 Kebutuhan Zat Gizi Pada Balita
Peran gizi dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia telah
dibuktikan dari berbagai penelitian. Gangguan gizi pada awal kehidupan
memengaruhi kualitas kehidupan berikutnya. Gizi kurang pada balita tidak hanya
kecerdasan dan perkembangan dimasa mendatang. Kebutuhan energi protein
balita berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata perhari yang
dianjurkan oleh Permenkes RI No 75 Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut :
Tabel 2.1 Kebutuhan Konsumsi Energi Dan Protein Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Anjuran (AKG) Rata-Rata Per Hari No. Kelompok
Sumber: Angka Kecukupan Gizi, 2013
2.3.1 Energi
Energi dibutuhkan oleh tubuh yang berasal dari zat gizi yang merupakan
sumber utama yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Energi yang diperlukan tubuh
ini dinyatakan dalam satuan kalori. Setiap 1 (satu) gram karbohidrat menghasilkan
4 kalori, 1 (satu) gram lemak menghasilkan 9 kalori dan 1 (satu) gram protein
menghasilkan 4 kalori (Budiyanto, 2004).
Energi diartikan sebagai suatu kapasitas untuk melakukan suatu pekerjaan
Jumlah energi yang dibutuhkan seseorang tergantung pada usia, jenis kelamin,
berat badan dan bentuk tubuh. Energi dalam tubuh manusia timbul dikarenakan
adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak. Dengan demikian agar dapat
tercukupi kebutuhan energinya diperlukan intake zat-zat makanan yang cukup
pula ke dalam tubuhnya ( Muchlis, 2013).
Kebutuhan energi balita sehat dapat dihitung berdasarkan usia dan berat
kalori per kilogram berat badan, sedangkan pada anak prasekolah kebutuhan
energi dalam sehari 4-6 tahun adalah 1600 kalori per kilogram berat badan
(Permenkes, 2013). Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan makanan
sumber lemak, seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan dan biji-bijian.
Setelah itu bahan makanan sumber karbohidrat, seperti padi-padian, umbi-umbian
dan gula murni.
2.3.2 Protein
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar
tubuh sesudah air. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan
oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh
(Almatsier, 2010).
Protein juga merupakan sumber asam amino esensial yang diperlukan
sebagai zat pembangun, yaitu untuk pertumbuhan dan pembentukan protein dalam
serum, hemoglobin, enzim, hormon serta antibodi, mengganti sel-sel tubuh yang
rusak, memelihara keseimbangan asam basa cairan tubuh dan sumber energi
(Adriani dan Wirjatmadi, 2010).
Balita yang sedang dalam masa pertumbuhan secara fisiologis kebutuhan
protein relatif lebih besar dari pada orang dewasa. Menurut Permenkes (2013),
kebutuhan protein balita sehat (1-3 tahun) dalam sehari 26 gram per kilogram
berat badan sedangkan pada balita sehat pra sekolah (>3-4 tahun) dalam sehari 35
gram per kilogram berat badan.
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam
Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tempe dan tahu,
serta kacang-kacangan lain. Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati
yang mempunyai mutu atau nilai biologi tertinggi.
Padi-padian dan hasilnya relatif rendah dalam protein, tetapi karena
dimakan dalam jumlah banyak, memberi sumbangan besar terhadapa konsumsi
protein sehari. Bahan makanan hewani kaya dalam protein bermutu tinggi,bahan
makanan nabati yang kaya dalam protein adalah kacang-kacangan. Sayur dan
buah-buahan rendah dalam protein, gula,sirup, lemak, dan minyak murni tidak
mengandung protein.
2.3.3 Lemak
Lemak merupakan simpanan energi bagi manusia dan hewan. Tumbuhan
juga menyimpan lemak dalam biji, buah, maupun lembaga yang dipergunakan
oleh manusia sebagai sumber lemak dalam hidangan makanan. (Yuniastuti, 2008).
Seperti halnya karbohidrat dan protein, lemak merupakan sumber energi
bagi tubuh. Besar energi yang dihasilkan per gram lemak adalah lebih besar dari
energi yang dihasilkan oleh 1 gram karbohidrat atau 1 gram protein. 1 gram lemak
menghasilkan 9 kalori (Budianto, 2009).
Lemak dan minyak merupkan zat makanan yang penting untuk menjaga
kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak dan minyak juga merupakan sumber
energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein.
Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan
kandungan yang berbeda-beda. Tetapi lemak dan minyak sering kali ditambahkan
bahan pangan, minyak dan lemak berfungsi sebagai media penghantar panas,
seperti minyak goreng, shortening (mentega putih), lemak (gajih), mentega, dan
margarin. Lemak yang ditambahkan ke dalam bahan pangan atau dijadikan bahan
pangan membutuhkan persyaratan dan sifat-sifat tertentu. Berbagai bahan pangan
seperti daging, ikan, telur, susu, apokat, kacang tanah, dan beberapa jenis sayuran
mengandung lemak atau minyak yang biasanya termakan bersama bahan tersebut.
Tabel 2.2 Tingkat Kecukupan Lemak Untuk Balita
Umur Gram Sumber : Angka Kecukupan Gizi, 2013
2.3.4 Mineral dan vitamin
Pada dasarnya dalam ilmu gizi, nutrisi atau yang lebih dikenal dengan zat
gizi dibagi menjadi 2 macam, yaitu makronutrisi dan mikronutrisi. Makronutrisi
terdiri dari protein, lemak, karbohidrat dan beberapa mineral yang dibutuhkan
tubuh dalam jumlah yang besar. Sedangkan mikronutrisi (mikronutrient) adalah
nutrisi yang diperlukan tubuh dalam jumlah sangat sedikit (dalam ukuran
miligram sampai mikrogram), seperti vitamin dan mineral (Sandjaja, 2009).
Menurut Almatsier (2001), vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang
dibutuhkan tubuh dalam jumlah sangat kecil. Vitamin dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu vitamin yang larut dalam air (vitamin B dan C) dan vitamin yang tidak larut
dalam air (vitamin A, D, E dan K). Satuan untuk vitamin yang larut dalam lemak
yang larut dalam air maka berbagai vitamin dapat diukur dengan satuan milligram
atau mikrogram.
Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting
dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun
fungsi tubuh secara keseluruhan, berperan dalam berbagai tahap metabolisme,
terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim (Almatsier, 2001).
Tabel 2.3 Angka Kecukupan Vitamin Dan Mineral Untuk Balita
Umur kalsium Sumber : Angka Kecukupan Gizi 2013
2.4 Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi dan penyerapan serta
penggunaan zat gizi. Status gizi seseorang dikatakan baik, bila terdapat
keseimbangan fisik dan mental, sedangkan keadaan kurang gizi merupakan akibat
dari sangat kurangnya masukan energi dan protein dalam jangka waktu yang lama
secara relativ dibandingkan metabolismenya ( Suhardjo, 2003).
Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat
gizi di dalam tubuh. Status gizi optimal dapat terjadi bila tubuh memperoleh
cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara
2.5 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi adalah upaya menginterpretasikan semua informasi
yang diperoleh melalui penilaian antropometri, konsumsi makanan, biokimia, dan
klinik yang berguna untuk menetapkan status kesehatan perorangan atau
kelompok orang yang dipengaruhi oleh konsumsi dan utilisasi zat-zat gizi
(Almatsier,2011).
Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan penilaian
secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dengan metode
antropometri sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dengan metode
survei konsumsi makanan (Supariasa,2001).
2.5.1 Penilaian Secara Langsung dengan Metode Antropometri
Metode antropometri secara umum adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dari sudut pandang gizi bahwa antropometri gizi adalah berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan, atas dan tebal lemak dibawah kulit.
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai
ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi (Supariasa,2001).
2.5.2 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indeks Antropometri 1. Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah parameter yag sangat labil. Massa tubuh sangat sensitif
terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya terserang penyakit
dikonsumsi. Berdasarkan karaketristik berat badan ini, maka indeks berat badan
menurut umur digunakan sebagai salah satu cara penggukuran status gizi.
Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status)
(Supariasa dkk, 2001).
Kelebihan indeks BB/U
1. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat
2. Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis
3. Berat badan dapat berfluktuatif
4. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan
5. Dapat mendeteksi kegemukan (over weight)
Kelemahan indeks BB/U
Indeks BB/U juga mempunyai beberapa kekurangan, antara lain:
1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema
maupun asites
2. Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit di
taksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik.
3. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia lima
tahun.
4. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau
gerakan anak pada saat penimbangan
5. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya
2. Indikator Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang
relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut diatas, maka indeks ini
menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa dkk, 2001)
Keuntungan Indeks TB/U
Keuntungan dari indeks TB/U antara lain:
1. Baik untuk menilai status gizi masa lampau
2. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.
Kelemahan Indeks TB/U
Adapun kelemahan indeks TB/U adalah:
1. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun
2. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga
diperlukan dua orang untuk melakukannya
3. Ketepatan umur sulit didapat
3. Indikator Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Indeks berat badan menurut tinggi badan merupakan indeks yang
independen terhadap umur. Dalam keadaan normal perkembangan berat badan
akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu
Keuntungan indeks BB/TB
Adapun keuntungan indeks ini adalah:
1. Tidak memerlukan data umur
2. Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, dan kurus)
Kelemahan indeks BB/TB
Kelemahan indeks ini adalah:
1. Tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut pendek, cukup
tinggi badan, atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya, karena faktor
umur tidak dipertimbangkan
2. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran
panjang/tinggi badan pada kelompok balita
3. Membutuhkan dua macam alat ukur
4. Pengukuran relatif lebih lama
5. Membutuhkan dua orang untuk melakukannya
6. Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran, terutama bila
dilakukan oleh kelompok non-profesional.
2.6 Pengukuran Konsumsi Makanan 2.6.1 Metode Food Record
Prinsip dari metode food record ini digunakan untuk mencatat jumlah yang
dikonsumsi. Pada metode ini responden diminta mencatat semua yang ia makan
dan minum setiap kali sebelum makan dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau
menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode tertentu (2-4 hari
Kelebihan Metode Food Record
1. Metode ini relatif murah dan cepat
2. Dapat menjangkau sampel dalam jumlah besar.
3. Dapat diketahui konsumsi zat gizi sehari
4. Hasilnya relatif lebih akurat
Kekurangan Metode Food Record
1. Metode ini terlalu membebani responden, sehingga sering menyebabkan
responden merubah kebiasaan makanannya.
2. Tidak cocok untuk responden yang buta huruf
3. Sangat tergantung pada kejujuran dan kemampuan responden dalam mencatat
dan memperkirakan jumlah konsumsi.
2.7 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi
Begitu banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita
diantaranya yaitu :
a. Konsumsi Gizi
Makanan memang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, dimana
kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa, karena makanan bagi anak
dibutuhkan juga untuk pertumbuhan, dimana dipengaruhi oleh ketahanan
makanan (food security) keluarga mencakup pada ketersediaan makanan dan
pembagian yang adil makanan dalam keluarga, dimana kepentingan budaya
bertabrakan dengan kepentingan biologis anggota-anggota keluarga. Aspek
mencakup pembebasan makanan dari berbagai “racun” fisika, kimia dan biologis,
yang kian mengancam kesehatan manusia.
b. Ketersediaan pangan
Asupan zat gizi (energi dan protein) dipengaruhi oleh ketersediaan pangan
ditingkat keluarga dan jika tidak cukup dapat dipastikan konsumsi setiap anggota
keluarga tidak terpenuhi (Depkes RI, 2002). Kemampuan keluarga untuk membeli
bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga,
harga bahan makanan itu sendiri serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan
pekarangan. Oleh karena itu, setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi
kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup baik
maupun mutu gizinya.
c. Pola Asuh Keluarga
Pola asuh keluarga adalah pola pendidikan yang diberikan oleh orang tua
terhadap anak-anaknya. Pola asuh terhadap anak berpengaruh terhadap timbulnya
masalah gizi. Perhatian yang cukup dan pola asuh yang tepat akan memberi
pengaruh yang besar dalam memperbaiki status gizi . Anak yang mendapat
perhatian lebih, baik secara fisik maupun emosional misalnya selalu mendapat
senyuman, mendapat respon ketika berceloteh, mendapat ASI dan makanan yang
seimbang maka keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman
d. Kesehatan Lingkungan
Masalah gizi timbul tidak hanya kerena dipengaruhi oleh
ketidakseimbangan asupan makanan, tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit
infeksi. Masalah kesehatan lingkungan merupakan determinan penting dalam
bidang kesehatan. Kesehatan lingkungan yang baik seperti penyediaan air bersih
dan perilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi resiko kejadian penyakit
infeksi. Sebaliknya lingkungan yang buruk seperti air minum tidak bersih, tidak
ada saluran penampungan air limbah, tidak menggunakan kloset yang baik dapat
menyebabkan penyebaran penyakit.infeksi dapat menyebabkan kurangnya nafsu
makan menjadi rendah dan akhirnya menyebabkan kurang gizi.
e. Pelayanan Kesehatan Dasar
Pemantauan pertumbuhan yang diikuti dengan tindak lanjut berupa
konseling, terutama oleh petugas kesehatan berpengaruh pada pertumbuhan anak.
Pemanfanan fasilitas kesehatan seperti penimbangan balita, pemberian suplemen
kapsul vitamin A, penanganan diare dengan oralit serta imunisasi.
f. Budaya Keluarga
Budaya berperan dalam status gizi masyarakat karena ada beberapa
kepercayaan seperti tabu mengkonsumsi makanan tertentu oleh kelompok umur
tertentu yang sebenarnya makanan tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh
kelompok umur tertentu. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu
kebiasaan makan masyarakat yang kadang-kadang bertentangan dengan
prinsip-prinsip ilmu gizi. Misalnya, seperti budaya yang memprioritaskan anggota
umumnya kepala keluarga. Apabila keadaan tersebut berlangsung lama dapat
berakibat timbulnya masalah gizi kurang terutama pada golongan rawan gizi
seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita.
g. Sosial Ekonomi
Banyaknya anak balita yang kurang gizi dan gizi buruk disejumlah
wilayah ditanah air disebabkan ketidaktahuan orang tua akan pentingnya gizi
seimbang bagi anak balita yang pada umumnya disebabkan pendidikan orang tua
yang rendah serta faktor kemiskinan. Kurangnya asupan gizi biasa disebabkan
oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak
memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan dengan alasan social ekonomi yaitu
kemiskinan. Disamping itu pula, berbagai faktor sosial ekonomi ikut
mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor sosial ekonomi tersebut yaitu
pendidikan, pekerjaan, teknologi, budaya, dan pendapatan keluarga. Faktor- faktor
tersebut diatas akan berinteraksi satu dengan yang lainnya sehingga dapat
mempengaruhi masukan zat gizi dan infeksi pada anak. Pada akhirnya
ketersediaan zat gizi pada tingkat seluler rendah yang mengakibatkan
pertumbuhan terganggu (Supariasa,2001).
h. Tingkat Pengetahuan
Permasalahan kurang gizi tidak hanya menggambarkan masalah kesehatan
saja, tetapi lebih jauh mencerminkan kesejahteraan rakyat termasuk pengetahuan
masyarakat. Tingkat pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi seseorang
i. Pendidikan
Pendidikan yang dimiliki orang tua merupakan salah satu faktor yang
penting dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik,
maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara
pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya,
pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih, 2012)
j. Jumlah Saudara
Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial ekonominya
cukup, akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang
diterima anak, terlebih jika jarak anak yang telalu dekat. Pada keluarga yang
keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang banyak akan
mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga
kebutuhan primer seperti makanan, sandang dan perumahan pun tidak terpenuhi
(Soetjiningsih, 2012).
k. Pekerjaan
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang
anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang
primer maupun yang sekunder.
l. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi dan keadaan gizi anak merupakan 2 hal yang saling
mempengaruhi. Dengan infeksi, nafsu makan anak mulai menurun dan
dalam tubuh anak. Dampak infeksi yang lain adalah muntah dan mengakibatkan
kehilangan zat gizi. Infeksi yang menyebabkan diare pada anak mengakibatkan
cairan dan zat gizi di dalam tubuh berkurang. Kadang–kadang orang tua juga
melakukan pembatasan makan akibat infeksi yang diderita dan menyebabkan
asupan zat gizi sangat kurang sekali bahkan bila berlanjut lama mengakibatkan
2.8 Kerangka Teori
Penganggur,inflasi, kurang pangan dan kemiskinan
Akar Masalah
Sumber : Soetjiningsih,2012
Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian
Gizi Kurang
Krisis (bencana alam, kekeringan, perang,
kekacauan sosial, krisis ekonomi dan politik Kurang pendidikan, pengetahuan dan keterampilan Tidak cukup
Gambar 1 menjelaskan bahwa kurang gizi disebabkan karena faktor langsung
yaitu karena makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi yang mungkin diderita
anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga
karena penyakit. Penyebab tidak langsung kurang gizi adalah tidak cukupnya
persediaan pangan, pola asuh anak tidak memadai, sanitasi dan air bersih atau
pelayanan kesehatan dasar tidak memadai. Hal ini disebabkan karena kurang
pendidikan, pola asuh anak anak tidak memadai dan keterampilan. Pokok masalah
yang terjadi pada masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita, keluarga
dan pemanfaatan SDM dan pokok masalah nasional adalah krisis ekonomi, politik
dan sosial yang mengakibatkan pengangguran, inflasi, kurang pangan, dan
kemiskinan.
2.9 Kerangka Konsep
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
Gambar 2. Kerangka Konsep Ketersediaan Pangan
Keluarga
Asupan Makanan (Energi Dan Protein)
Status Gizi
Balita Kecukupan energi dan
protein
Dari gambar 2 diatas bahwa ketersedian pangan dan asupan energi protein dapat
mempengaruhi status gizi balita dimana balita yang kurang mendapatkan asupan
energi dan protein mempunyai peluang mengalami status gizi yang tidak normal
dibandingkan dengan balita yang cukup mendapatkan asupan protein sebab
kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pada asupan dan transportasi
zat-zat gizi. Bila ini terjadi secara terus-menerus akan menimbulkan gejala yaitu
pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun dan rentan terhadap
penyakit, daya kreatifitas dan daya kerja menurun, serta mental melemah dan
lain-lain. Kurangnya asupan energi dan protein di sebabkan kurang tercukupinya