BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metode Analytical Hierarchy Process
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki, menurut Saaty (2008), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana, level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.
AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut:
1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam.
2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan. 3. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan
keputusan.
Layaknya sebuah metode analisis, AHP juga memiliki kelebihan dan kelemahan dalam sistem analisisnya. Kelebihan-kelebihan analisis ini adalah:
a. Kesatuan (Unity)
21
b. Kompleksitas (Complexity)
AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian secara deduktif.
c. Saling ketergantungan (Inter Dependence)
AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas dan tidak memerlukan hubungan linier.
d. Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring)
AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level.
e. Pengukuran (Measurement)
AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan prioritas.
f. Konsistensi (Consistency)
AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas.
g. Sintesis (Synthesis)
AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa diinginkannya masing-masing alternatif.
h. Trade Off
AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada sistem sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan. i. Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus)
AHP tidak mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi menggabungkan hasil penilaian yang berbeda.
j. Pengulangan Proses (Process Repetition)
AHP mampu membuat orang menyaring definisi dari suatu permasalahan dan mengembangkan penilaian serta pengertian melalui proses pengulangan.
22
a. Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru.
b. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk. c. Tidak seimbang dalam skala penilaian perbandingan berpasangan. Skala
AHP yang berbentuk bilangan tegas (crisp) dianggap kurang mampu menangani ketidakpastian (Anshori, 2012)
2.1.1 Prinsip Dasar Pada AHP
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan metode AHP, yaitu:
1. Dekomposisi (Decomposition)
Setelah mendefinisikan permasalahan atau persoalan, maka perlu dilakukan dekomposisi, yaitu: memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Dilakukan hingga tidak memungkinkan pemecahan lebih lanjut. Oleh karena itu, proses analisis ini dinamakan hierarki (hierarchy).
Dalam penyusunan hirarki pada AHP tingkat teratas disebut dengan tujuan atau fokus. Sementara itu, tingkat dibawahnya adalah kriteria. Apabila masih dapat dipecahkan kembali maka tingkatan berikutnya disebut dengan sub kriteria dan seterusnya sampai pada tingkat terakhir adalah alternatif-alternatif yang akan dievaluasi atau dipilih. Contoh hirarki pada AHP menurut dapat dilihat pada gambar 2.1.
Tujuan
C1 C2 C3
3
… Cn
Tujuan
Gambar 2.1 Hirarki Analitic Hierarcy Process Sumber : Saaty, 2008
2. Penilaian Komparasi (Comparative Judgement).
Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang relative dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan (Pairwise Comparasion)
3. Penentuan Prioritas (Synthesis of Priority).
Dari setiap matriks pairwise comparison akan didapatkan prioritas lokal. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk menentukan prioritas global harus dilakukan sintesis di antara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hierarki.
2.1.2 Penentuan Prioritas
Setiap elemen yang terdapat dalam hirarki harus diketahui bobot relatifnya satu sama lain. tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kepentingan dalam permasalahan terhadap kriteria dan struktur hirarki atau permasalahan secara keseluruhan.
Adapun langkah yang dapat dilakukan dalam menentukan kriteria adalah sebagai berikut:
1. Prioritas dari kriteria primer dengan melihat pada dampak lainnya dari seluruh tujuan yang disebut dengan fokus hirarkis;
2. Menetapkan pertanyaan untuk perbandingan pada setiap matriks. Konsentrasi pada orientasi pada setiap pertanyaan;
4. Memasukkan perbandingan dua hal dan menetapkan antar hubungan satu sama lain;
5. Menghitung prioritas dengan menambahkan unsur-unsur pada setiap kolom dan membagi pada setiap entry dari total kolom. Rata-rata setiap jumlah baris menghasilkan matriks dan memliki vektor prioritas.
Nilai yang di berikan untuk seluruh perbandingan diperoleh dari skala perbandingan dari 1-9 yang telah ditetapkan oleh Saaty, seperti pada tabel 2.1
Tabel 2.1: Skala penilaian perbandingan berpasangan (Saaty, 2008).
Bobot Pasangan Artinya
1 1 Sama pentingnya
3 Sedikit lebih penting
5 Lebih penting
7 Jauh lebih penting
9 Mutlak lebih penting
2,4,6,8
Nilai antara angka ganjil di atas
2.1.3 Matriks Keputusan
Peranan matriks dalam menentukan prioritas sangat tinggi, dimana elemen-elemen yang ada pada matriks di dapat dengan menetapkan prioritas elemen dengan membuat perbandingan berpasangan, dengan skala banding yang telah ditetapkan oleh Saaty seperti pada tabel 2.1.
juga menilai pebedaannya. Telebih lagi membandingkan dua hal yang homogen dengan perbandingan yang sama, akan terasa lebih muda. Misalnya membandingkan rasa asam nenas dengan buah-buahan yang lainnya. Untuk itu pada saat pembobotan AHP menggunakan pairwise comparison yang membandingkan secara berpasangan suatu hal yang bersifat homogen sehingga hal yang dibandingkan akan lebih mudah dan objektif.
Hasil dari penghitungan ini adalah suatu vektor yang menunjukkkan tingkat kepentingan
antara hal yang satu dengan lainnya, sehingga akan tercipta prioritas solusi yang sesuai
dengan penilayan. Perbandingan ini dilakukan dengan matriks. Misalkan untuk menentukan kemungkinan orang memilih minumnan di Amerika Serikat matriks perbandingan keputusan (pairwise comparison) dapat dilihat seperti pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Matriks perbandingan berpasangan (Saaty, 2008)
Kopi Anggur The Bir Soda Susu Air
Kopi 1 9 5 3 1 1 ½
Anggur 1/9 1 1/3 1/9 1/9 1/9 1/9
The 1/5 2 1 1/3 ¼ 1/3 1/9
Bir ½ 9 3 1 ½ 1 1/3
Soda 1 9 4 2 1 2 ½
Susu 1 9 3 1 ½ 1 1/3
Air 2 9 9 3 2 3 1
2.1.4 Konsistensi Logis
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut (Kordi, 1998):
1. Hubungan kardinal : aij . ajk = aik
2. Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak
a. Dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila apel lebih enak dua kali dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pir maka apel lebih enak empat kali dari pir.
b. Dengan melihat preferensi transitif, misalnya apel lebih enak dari mangga dan mangga lebih enak dari pir maka apel lebih enak dari pir.
Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang.
Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian. b. Menjumlahkan hasil perkalian per baris.
c. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan.
d. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks.
e. Indeks Konsistensi (CI) = (λmaks-n) / (n-1)
f. Rasio Konsistensi (CR) = CI/ RI, di mana RI adalah indeks random konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan.
Daftar Indeks Random Konsistensi (IR) dengan ordo n x n menurut Saaty dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Indeks Random (Saaty, 2008)
n IR N IR N IR
1 0 6 1,24 11 1,51
2 0 7 1,32 12 1,48
3 0,58 8 1,41 13 1,56
4 0,90 9 1,45 14 1,57
2.2 Fuzzy Logic
Logika fuzzy adalah peningkatan dari logika Boolean yang berhadapan dengan konsep kebenaran sebagian. Di mana logika klasik menyatakan bahwa segala hal dapat diekspresikan dalam istilah binary (0 atau 1, hitam atau putih, ya atau tidak), logika
fuzzy menggantikan kebenaran Boolean dengan tingkat kebenaran.
Logika fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1, tingkat keabuan dan juga hitam dan putih, dan dalam bentuk linguistik, konsep tidak pasti seperti
“sedikit”, “lumayan”, dan “sangat”. Dia berhubungan dengan set fuzzy dan teori kemungkinan.
Logika fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Lotfi Zadeh seorang kebangsaan Iran yang menjadi guru besar di University of California at Berkeley pada tahun 1965 dalam papernya yang monumental. Dalam paper tersebut dipaparkan ide dasar fuzzy set yang meliputi inclusion, union, intersection, complement, relation dan
convexity. Pelopor aplikasi fuzzy set dalam bidang kontrol, yang merupakan aplikasi pertama dan utama dari fuzzy set adalah Prof. Ebrahim Mamdani dan kawan-kawan dari Queen Mary College London. Penerapan kontrol fuzzy secara nyata di industri banyak dipelopori para ahli dari Jepang, misalnya Prof. Sugeno dari Tokyo Institute of Technology, Prof.Yamakawa dari Kyusu Institute of Technology , Togay dan Watanabe dari Bell Telephone Labs.
Konsep-konsep dalam logika fuzzy adalah (Kumusamdewi 2006): 1. Fungsi keanggotaan
2. Operasi dasar dalam himpunan fuzzy
3. Variabel Linguistik 4. Aturan If-then fuzzy
9. Himpunan fuzzy
10. Semesta pembicaraan 11. Domain fuzzy set
2.2.1 Operasi Dasar dalam Himpunan Fuzzy
Terdapat 3 (tiga) operasi dasar dalam himpunan fuzzy, yaitu complement, irisan
(intersection) dan gabungan (Union) (Wang,1997). Fungsi keanggotaan himpunan
fuzzy baru yang dihsilkan dari operasi-operasi tersebut diberikan dalam tabel 2.4.
Tabel 2.4: Tabel operasi dasar dalam himpunan fuzzy (Wang, 1997)
Operasi Fungsi keanggotaan
Complement
µ
Ā(x) = 1-µ
A(x)Intersection
µ
(A(x) = min [µ
A(x), µ
B(x)]
Union
µ
(A(x) = max [µ
A(x), µ
B(x)]
Di mana A dan B adalah himpunan Fuzzy,
2.2.2 Himpunan Klasik
Pada himpunan tegas (crisp), nilai keanggotaan suatu item x dalam suatu himpunan A, yang sering ditulis dengan , memiliki 2 kemungkinan, yaitu:
1. Satu (1), yang berarti bahwa suatu item menjadi anggota dalam suatu himpunan A, atau
2. Nol (0), yang berarti bahwa suatu item tidak menjadi anggota dalam suatu himpunan A
Contoh :
Misalkan variabel umur dibagi menjadi 3 kategori (Kusumadewi, 2006) yaitu:
Nilai keanggotaan secara grafis, himpunan MUDA, PAROBAYA, dan TUA dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Himpunan Muda, Parobaya, Tua dalam himpunan klasik Sumber : Kusumadewi, 2006
Fungsi keanggotaan adalah kurva yang mendefinisikan bagaimana masing-masing titik dalam ruang iput dipetakan ke dalam nilai keanggotaan (derajat keanggotaan)
Dimana
µA( ) adalah fungsi keanggotaan himpunan fuzzy A. Fungsi keanggotaan
memetakan setiap pada suatu nilai antara [0,1] yang disebut derajat keanggotaan (membership grade atau membership value).
Menurut Kusumadewi (2006) kisaran nilai fungsi keanggotaan yang paling umum digunakan adalah interval [0,1]. Dalam kasus ini, masing-masing fungsi keanggotaan memetakan elemen-elemen dari himpunan semesta X yang diberikan, yang selalu merupakan suatu himpunan crisp, ke dalam bilangan nyata dalam interval [0,1].
Untuk membangun derajat keanggotaan dalam himpunan fuzzy dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini:
1. Fuzzifikasi
Berfungsi untuk mengubah masukan yang bersifat crisp (bukan fuzzy) ke dalam himpunan fuzzy dengan menggunakan aturan fuzzifikasi.
2. Defuzzifikasi
Berfungsi untuk mentransformasikan bilangan-bilangan fuzzy (fuzzy set) yang bersifat fuzzy menjadi bentuk sebenarnya yang bersifat crisp dengan menggunakan aturan defuzifikasi
Pendekatan triangular fuzzy number dalam metode AHP adalah pendekatan yang digunakan untu meminimalisasi ketidakpastian dalam skala AHP yang berbentuk bilangan crisp (Anshori, 2012). Cara pendekatan yang dilakukan adalah dengan melakukan fuzzifikasi pada skala AHP sehingga diperoleh skala baru yang disebut dengan skala fuzzy AHP.
2.2.4 Variabel linguistic
dengan sebuah fungsi keanggotaan. Sebagai contoh predikat akademik dapat dinyatakan sebagai variabel linguistik yang memiliki nilai-nilai lingusitik,
seperti sangat kurang, Kurang, cukup, Baik, Amat baik, dengan fungsi keanggotaan untuk semua variabel diantara 10 dan 100 dapat digambarkan seperti gambar 2.3.
Gambar 2.3 Fungsi keanggotaan untuk kelompok kekayaan Sumber: Wang, 1997
Defenisi formal dari sebuah variable linguistik diberikan sebagai berikut (Wang, 1997): Sebuah variabel linguistik ditentukan oleh (X, T, U, M), di mana:
a. X adalah nama dari variabel linguistik,
b. T adalah himpunan nilai-nilai linguistik yang dapat diambil oleh X,
c. U adalah domain fisik aktual di mana variabel linguistik X mengambil nilai-nilai kwantitatifnya (crisp),
d. M adalah suatu aturan semantic yang menghubungkan masing-masing nilai linguistic dalam T dengan suatu himpunan Fuzzy dalam U.
Dari contoh gambar 2. 1 dapat diperoleh: a. X adalah predikat akademik
b. T ={sangat kurang, kurang, cukup, baik, amat baik}, c. U=[0,100]
µ(x)
1.0
0.0
Sangat Kurang Cukup Baik Amat Baik Kurang
d. M menghubungkan „sangat kurang‟, „kurang‟, „cukup‟, „baik‟, „amat baik‟, dengan fungsi keanggotan seperti yang tertera pada gambar 2.2.
2.2.5 Fuzzifikasi.
Dalam fuzzifikasi, variabel input (crisp) dari sistem fuzzy ditransfer ke dalam himpunan fuzzy untuk dapat digunakan dalam perhitungan nilai kebenaran dari premis pada setiap aturan dalam basis pengetahuan. Dengan demikian tahap ini mengambil nilai-nilai crisp dan menentukan derajat dimana nilai-nilai tersebut menjadi anggota dari setiap himpunan fuzzy yang sesuai. Setelah fungsi keanggotaan dari nilai-nilai crisp ditentukan, selanjutnya nilai kebenaran dari premis dihitung. Premis dari aturan dapat terdiri dari lebih dari satu proposisi yang dihubungkan dengan operasi seperti konjungsi (AND) dan disjungsi (OR). Untuk menghitung nilai kebenaran premis, operator fuzzy digunakan untuk memperoleh satu bilangan yang merepresentasikan hasil dari premis. Jika sebuah premis dari suatu aturan memiliki derajat kebenaran tidak 0 (nol) maka aturan dikatakan terpicu (fired).
2.2.6 Defuzzifikasi
Input dari proses defuzzifikasi adalah himpunan fuzzy (yang dihasikan dari proses komposis) dan output adalah sebuah nilai (crisp). Untuk aturan if-then fuzzy dalam persamaan (1), defuzzifier didefenisikan sebagai suatu pemetaan dari himpunan fuzzy Bk dalam (yang merupakan output dari inferensi fuzzy) ke titik crisp y* (Wang, 1997).
Terdapat 3 (tiga) teknik yang paling umum digunakan yaitu center of gravity (centriod) defuzzifier, center average defuzzifier, dan maximum defuzzifier. Dalam
average defuzzifier menggunakan nilai pusat (center) dan tingginya (height) dari himpunan fuzzy dalam menentukan nilai crisp hasil.
2.3 Teori Fuzzy AHP
Fuzzy AHP merupakan suatu metode yang dikembangkan dan digunakan untuk mengatasi keterbatasan yang ada pada metode Analytic Hierarchy Process (AHP) yaitu ketidakmampuan dalam mempertimbangkan ketidakpastian yang muncul akibat subjektivitas manusia. Banyak penelitian-penelitian yang telah mengembangkan metode AHP dengan melakukan pendekatan fuzzy. Didalam penelitian ini dilakukan pendekatan Triangular Fuzzy Number.
2.3.1 Triangular Fuzzy Number
Bilangan Triangular Fuzzy atau sering disebut dengan Triangular Fuzzy Number
(TFN) merupakan teori himpunan fuzzy membantu dalam pengukuran yang berhubungan dengan penilaian subjektif manusia memakai bahasa atau linguistik. Inti dari fuzzy AHP terletak pada perbandingan berpasangan yang digambarkan dengan skala rasio yang berhubungan dengan skala fuzzy. Bilangan triangular
fuzzy disimbolkan ̃. Pada metode fuzzy AHP penilaian diubah menjadi bilangan triangular fuzzy number dalam bentuk (l, m, dan u).
Ada beberapa aturan operasi aritmatika triangular fuzzy number yang umum digunakan. Contoh dimisalkan terdapat 2 TFN yaitu ( dan
( (Dwianto, 2010)
= (
= (
= (
= (
( )
Pada model AHP orisinil, pairwise comparison menggunakan skala 1-9. Dengan mentransformasikan triangular Fuzzy Number terhadap skala AHP maka skala yang digunakan adalah seperti pada tabel 2.5.
Tabel 2.5 Fuzifikasi perbandingan kepentingan antara kriteria (Dwianto 2010)
Gambar 2.5 Representasi himpunan fuzzy dalam fuzzy AHP dengan kurva segitiga
2.3.2 Menghitung Nilai Fuzzy Synthetic Extent
Tujuan mendapatkan nilai fuzzy synthetic extent adalah menilai tujuan matriks perbandingan dengan menilai bobot setiap kriteria terhadap tujuan utama dari hirarki. Analisa fuzzy synthetic extent metode chang (1999) dengan menentukan nilai sintesis
fuzzy sehingga mendapatkan vektor bobot setiap elemen hirarki.
Jika C = { } merupakan sekumpulan kriteria sebanyak n, dan
merupakan sekumpulan alternatif sebanyak m, maka untuk fuzzy
M. MCi1, MCi2 , …, MCim adalah nilai extent pada i-kriteria dan m-alternatif keputusan
dimana i=1,2,…,m dan untuk semua MCij (j=1,2…,m) merupakan bilangan triangular
fuzzy.
2.4 Penelitian Terkait
Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu membaca sumber-sumber terkait yang membahas ataupun yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Hal ini penulis lakukan sebagai bahan referensi yang bisa digunakan untuk melakukan penelitian ini.
Memurut Lia Rochmasari, Suprapedi, Hendro Subagyo (2010) “pada evaluasi yang lebih kompleks sangat dimungkinkan akan timbul beberapa permasalahan berkaitan dengan penggunaan AHP secara konvensional dalam melakukan proses pemilihan alternatif. Dimana AHP memiliki keterbatasan dalam melakukan evaluasi, dimana jika kriteria semakin banyak maka semakin sulit mengambil keputusan dalam melakukan evaluasi perbandingan pasangan antar kriteria tersebut. Oleh karena itu perlu di buat pengelompokan kriteria untuk membatasi kriteria yang banyak, sehingga
memudahkan membandingkan kriteria pasangan.”
Menurut Zainal Arifin (2010) “Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) banyak diterapkan pada kasus-kasus tertentu yang membutuhkan penunjang keputusan serta pengambilan keputusan, sehingga metode ini menjadi relevan untuk penelitian yang lain yang berhubungan dengan sistem penunjang keputusan
sesuai dengan kebutuhan.”
Supriyono, Wisnu Arya Wardhana, dan Sudaryo (2007), dalam jurnalnya menulis “telah dapat dibangun suatu sistem pengambilan keputusan dengan menggunakan metode AHP untuk menentukan urutan prioritas calon pejabat struktural pada suatu Sekolah Tinggi. Simulasi ini juga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan suatu persoalan yang lain”.
Menurut Apriansyah Putra dan Dinna Yunika Hardiyanti (2011), mengatakan
“Dibangunnya sistem pendukung keputusan utuk membantu menentukan
penerima beasiswa dengan menggunakan logika fuzzy FMADM dengan menggunakan metode Simple Additive Weighting Method (SAW) yang dapat mempercepat proses menentukan penerima beasiswa dengan perhitungan yang
akurat dalam memberikan rekomendasi penerima beasiswa.”
Berdasarkan jurnal Fredy Purnomo, Billy Sarikho, Agus Sutanto, dan Yossy dituliskan “Tingkat validitas dan reliabilitas aplikasi dengan metode constrained
fuzzy AHP masih perlu dikaji lebih lanjut karena bobot kecerdasan setiap peminatan dinilai belum merepresentasikan keseluruhan tingkat kebutuhan
kecerdasan pada peminatan.”
Menurut Jani Rahardjo, dan I Nyoman Sutapa “Untuk mengembangkan fuzzy
AHP dan perbandingan dengan AHP Konvensional perlu kajian khusus tentang fuzzy
AHP dengan mencoba pada beberapa kasus dimanadalam kasus tersebut terdapat
banyak sekali nilai subyektivitasnya.”
Heri Sulistiyo menulis dalam penelitianya sistem pendukung keputusan dengan menggunakan metode Fuzzy Multiple Attribute Decision Making (FMADM) dengan metode Simple Additive Weighting (SAW) untuk menentukan
penerima beasiswa di SMA Negeri 6 Pandeglang menyimpulakan “1. pengelolaan
bilangan fuzzy dibuat jadi lebih dinamis. 2. Kriteria beasiswa dibuat jadi lebih dinamis. 3. Data yang dimasukan ke dalam program diharapkan menggunakan data
yang benar.”
Dalam tulisannya Redy Erdiyanto menyarankan “pembacaan matrik masih tergolong statis, parameter kriteria dan alternative sudah ditentukan sebelumnya. Untuk ke depannya diharapkan bisa lebih dinamis lagi, jadi aplikasi AHP tetap dapat berjalan ketika parameter kriteria dan alternatif berubah.”