• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORDA - Jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FORDA - Jurnal"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

147

POTENSI TERUMBU KARANG

INDONE“IA TANTANGAN DAN UPAYA

KON“ERVA“INYA

(The Challengeand Conservation Efforts of Indonesian Coral Reefs)

Diah Irawati Dwi Arini

Balai Penelitian Kehutanan Manado

Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget Manado Telp: (0431) 3666683, email: irawati.diah@gmail.com

ABSTRACT

Indonesia is an archipelagic country where two-thirds of its territory is ocean. Coral reefs are one of the potential water resources are abundant in Indonesia, because the ecology of coral reefs can only grow in tropical regions. Indonesia is ranked top for the breadth and richness of coral reef species. More than 75,000 km2 or 14% of the total area of the world's coral reefs. Coral reefs serveas a place to live different kinds of marine life; its existence was very sensitive to changes. Damage to coral reefs will have an impact on marine life due to the inter dependence with one another. Damage to coral reefs detected in 93 countries from 109 countries that have a wealth of coral reefs, including in Indonesia. The damage mostly caused by human activities such as tourism activities that exceed the carrying capacity of the region, the use off is hpoison, pollution and sedimentation even harvesting of coral reefs on a large scale. Top reven the continuing damage done needed coral reef management activities. Management is essentially done in the form of controlling human action to utilize wisely coral reefs. The concepts of Marine Protected Areas (MPA) is an effort to protect coral reefs in the context of the structure, function and integrates ecosystems and maintain biodiversity at all tropic levels in the ecosystem.

Keywords : coral reef, ecosystem, biota, ocean, conservation

ABSTRAK

(2)

148

total terumbu karang dunia. Terumbu karang berfungsi sebagai tempat hidup berbagai jenis biota laut, keberadaannya pun sangat peka terhadap perubahan. Kerusakan pada terumbu karang akan menimbulkan dampak pada kehidupan bawah laut karena adanya saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Kerusakan terumbu karang terdeteksi di 93 negara dari 109 negera yang memiliki kekayaan terumbu karang termasuk di Indonesia. Kerusakan yang terjadi sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti kegiatan wisata yang melebihi daya dukung kawasan, adanya penggunaan racun ikan, polusi dan sedimentasi bahkan pemanenan terumbu karang secara besar-besaran. Untuk mencegah semakin berlanjutnya kerusakan yang terjadi, diperlukan sebuah kegiatan pengelolaan terumbu karang. Pengelolaan pada hakekatnya dilakukan dalam bentuk pengontrolan terhadap tindakan manusia untuk memanfaatkan terumbu karang secara bijaksana. Konsep Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan salah satu usaha untuk melindungi terumbu karang dalam konteks struktur, fungsi dan integritas ekosistem serta mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trofik dalam ekosistem.

Kata kunci : terumbu karang, ekosistem, biota, laut, konservasi

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga

wilayahnya adalah lautan. Selain diberikan gelar sebagai negara bahari,

posisinya yang strategis yaitu di wilayah tropis menjadikan Indonesia juga

dikenalsebagai negara yang kaya akan keragaman hayati. Hamparan laut

yang sangat luas merupakan potensi sekaligus tantangan bagi bangsa

Indonesia untuk dapat mengembangkan sumberdaya perairannya.

Terumbu karang merupakan salah satu sumberdaya perairan yang

sangat melimpah di Indonesia. Sebagai penghuni ekosistem laut, terumbu

karang indonesia menempati peringkat teratas dunia untuk luas dan

kekayaan jenisnya. Lebih dari 75.000 km2 atau sebesar 14% dari luas total

terumbu karang dunia (Dahuri, 2003). Terumbu karang merupakan

ekosistem yang sangat peka dan sensitif. Jangankan dirusak, hanya diambil

sebuah pun keutuhannya akan terganggu hal ini disebabkan oleh adanya

saling ketergantungan antara ribuan makhluk yang ada di dalam terumbu

(3)

149 berjuta-juta tahun hingga terbentuk secara utuh. Diperkirakan terumbu

karang di Indonesia terbentuk sejak 450 tahun silam.

Keragaman terumbu karang di Indonesia cukup tinggi, terdapat lebih

dari 480 jenis karang batu telah teridentifikasi dan 60% dari jenis karang

telah dideskripsikan itupun baru di bagian Timur Indonesia. Sebagai salah

satu ekosistem utama pesisir dan laut, terumbu karang memiliki nilai

ekologis dan ekonomis yang tinggi. Secara ekologis, terumbu karang

berperan dalam melindungi pantai dari hempasan ombak dan arus kuat,

terumbu karang juga berfungsi sebagai habitat, tempat mencari makanan,

tempat asuhan serta pemijahan bagi biota laut. Secara ekonomis, terumbu

karang memiliki fungsi sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota

laut, ikan hias, bahan baku farmasi serta pilihan daerah wisata yang

menarik. Hasil perhitungan valuasi ekonomi dari kegiatan perikanan,

perlindungan pantai serta pariwisata di Indonesia diperkirakan

menghasilkan nilai sekitar 1,6 miliyar dollar AS (Burke et al., 2002).

Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak

dangkal seperti paparan benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis.

Untuk mencapai pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukan

perairan yang jernih dengan suhu perairan yang hangat, gerakan

gelombang yang besar dan sirkulasi air yang lancar serta terhindar dari

proses sedimentasi. Ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan yang

baik dalam memperbaiki bagian yang rusak apabila karakteristik habitat

dari berbagai macam formasi terumbu karang dan faktor lingkungan yang

memengaruhinya terpelihara dengan baik. Seperti ekosistem lainnya,

terumbu karang tidak memerlukan campur tangan atau manipulasi

langsung manusia untuk kelangsungan hidupnya (Dahuri, 2003).

Nampaknya keragaman hayati karang, fungsi ekologis dan ekonomis

yang tinggi ini juga dibarengi oleh ancaman yang tinggi. Berbagai aktivitas

manusia seperti pengambilan karang secara ilegal, penggunaan bom,

penangkapan ikan, pembuangan jangkar, sedimentasi, serta isu dunia saat

ini yaitu perubahan iklim, semuanya ini dapat menurunkan kualitas dan

(4)

150

pengamatan terhadap 324 lokasi terumbu karang di Indonesia

menunjukkan sekitar 43% terumbu karang rusak atau bahkan dapat

dianggap berada diambang kepunahan, sedangkan yang masih sangat baik

hanya sekitar 6,48% Soekarno(1995) dalam Adriman (2012). Selanjutnya

Sjafrie (2011) melaporkan bahwa berdasarkan hasil penelitian Pusat

Penelitian Oseanografi LIPI, dari 985 stasiun yang tercatat sampai dengan

tahun 2008 menunjukkan hanya 5,48% terumbu karang di Indonesia dalam

keadaan sangat baik.

Di Kepulauan Seribu misalnya, hasil kajian dari Yayasan Terangi tahun

2013 menjelaskan bahwa kerusakan terumbu karang sudah mencapai tahap

yang mengkhawatirkan sebagai akibat pembuangan berton-ton limbah dan

sampah yang mengalir ke Teluk Jakarta (Kusuma, 2013). Di Pulau Bangka,

kerusakan terumbu karang yang cukup vital disebabkan oleh kapal isap

yang melakukan penambangan timah lepas pantai secara besar-besaran.

Kerusakan ini tidak hanya menyebabkan kerusakan terumbu karang tapi

juga padang lamun yang merupakan penyangga sektor perikanan dan

pariwisata bahari yang merupakan sektor harapan (Ambalika, 2010).

Data dan fakta di atas mengisyaratkan bahwa jika tidak diambil

langkah-langkah progresif, maka dipastikan laju degradasi terumbu karang

di negara kita akan semakin menghawatirkan. Artinya, harus ada upaya

nasional minimal untuk mengurangi laju kerusakannya. Jika tidak, degradasi

terumbu karang dikuatirkan akan semakin luas dan besar serta

konsekuensinya juga akan berdampak secara ekologis maupun ekonomis

bagi Indonesia sendiri tentunya.

Ekosistem perairan laut dan sumberdaya yang dikandungnya harus

dijaga untuk menjamin produktivitas sumber daya terutama perikanan yang

menjadi sektor unggulan bagi bangsa Indonesia. Terumbu karang

merupakan aset sekaligus benteng alami yang mampu melindungi pantai

dari gempuran ombak sekaligus sebagai sumber makanan dan obat-obatan.

Di Indonesia nilai ekonomis untuk terumbu karang sendiri mencapai 1,6

miliar US dollar per tahun, memang masih rendah jika dibandingkan dengan

nilai ekonomis terumbu karang dunia yang mencapai hampir 30 miliar US

(5)

151 material dan non material yang timbul akibat rusaknya terumbu karang

yang secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak bagi

kehidupan manusia.

Usaha konservasi yang dapat memberikan perlindungan, pengawetan

serta pemanfaatan sumberdaya alam yang ada secara lestari sangat

diperlukan dalam hal ini. Keterpaduan masyarakat dengan pihak-pihak

terkait harus dapat diciptakan agar usaha tersebut dapat tercapai.

Kepedulian masyarakat dunia terhadap terumbu karang telah ditunjukkan

dengan terselenggaranya CTI (Coral Triangle Initiative) Summit yaitu

pertemuan Internasional negara Filipina, Indonesia, Papua Nugini, Malaysia,

Timor Leste dan Kepulauan Solomon di Manado Sulawesi Utara pada tahun

2008. Pertemuan ini merupakan sebuah dedikasi upaya kemitraan antar

pemerintah dari negara-negara tersebut untuk mempromosikan laut yang

sehat serta membantu masyarakat dalam mengelola sumber daya laut

melalui penciptaan dan penguatan Kawasan Perlindungan Laut (Marine

Protected Area). Selain itu, kemitraan ini dibangun juga untuk

mempromosikan manajemen bentang laut pada skala besar, meningkatkan

perikanan, adaptasi terhadap perubahan iklim serta pemulihan spesies

terancam punah (Conservation International, 2008). Makalah ini

merupakan hasil ulasan dari berbagai sumber yang dirangkum dengan

tujuan untuk memberikan informasi tentang morfologi, habitat, manfaat

terumbu karang serta tantangan dan upaya konservasinya di Indonesia.

II. EKOSISTEM TERUMBU KARANG

A. Definisi Terumbu Karang

Terumbu karang tersusun dari dua kata yaitu terumbu dan karang, jika

berdiri sendiri akan memiliki makna yang jauh berbeda jika kedua kata

tersebut digabungkan. Sama halnya jika kedua kata tersebut digabungkan

menjadi karang terumbu akan memiliki makna yang berbeda dengan

terumbu karang. Istilah terumbu, karang, karang terumbu dan terumbu

(6)

152

Terumbu (Reef) : Merupakan endapan masif batu kapur (limestone)

terutama kalsium karbonat (CaCO3), yang

utamanya dihasilkan oleh hewan karang dan

biota-biota lain yang mensekresi kapur, seperti alga

berkapur dan moluska.

Konstruksi batu kapur biogenis yang menjadi

struktur dasar suatu ekosistem pesisir. Dalam

dunia navigasi laut, terumbu adalah punggungan

laut yang terbentuk oleh batu karang atau pasir di

dekat permukaan air.

Karang (Coral) : Disebut juga karang batu (stony coral), yaitu hewan

dari Ordo Scleractinia, yang mampu mensekresi

CaCO3. Hewan karang tunggal umumnya disebut

polip.

Karang Terumbu : Pembangun utama struktur terumbu, biasanya

disebut juga sebagai karang hermatipik (hermatypic

coral). Berbeda dengan batu karang (rock), yang

merupakan benda mati.

Terumbu Karang : Ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun

terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCO3)

khususnya jenis - jenis karang batu dan alga

berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup

di dasar lainnya seperti jenis-jenis moluska,

krustasea, ekhinodermata, polikhaeta, porifera,

dan tunikata serta biota-biota lain yang hidup

bebas di perairan sekitarnya, termasuk jenis-jenis

(7)

153 Gambar (Figure) 1. Ekosistem terumbu karang (The Coral reefs ecosystem)

B. Distribusi Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang dunia diperkirakan meliputi luas 600.000

km2, dengan batas sebaran di sekitar perairan dangkal laut tropis, antara 30

°LU dan 30 °LS (Dahuri, 2003). Terumbu karang dapat ditemukan di 109

negara di seluruh dunia, namun diduga sebagian besar dari ekosistem ini

telah mengalami kerusakan atau dirusak oleh kegiatan manusia setidaknya

(8)

154

terumbu dunia ditemukan di Samudera Hindia dan Laut Merah, 25% berada

di Samudera Pasifik dan sisanya 15% terdapat di Karibia. Gambar 2

memperlihatkan peta lokasi sebaran ekosistem terumbu karang di seluruh

dunia.

Gambar (Figure) 2. Distribusi terumbu karang (The Coral Reefs Distribution)

Terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat

penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu

karang di perairan tropis dan secara melintang terbentang dari wilayah

selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan

sirkulasi permukaan (surface circulation). Penyebaran terumbu karang

secara membujur sangat dipengaruhi oleh konektivitas antar daratan yang

menjadi stepping stones melintasi samudera. Kombinasi antara faktor

lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah

stepping stones yang terdapat di wilayah Indo-Pasifik diperkirakan menjadi

faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang dan

tingginya keanekaragaman hayati biota terumbu karang di wilayah

(9)

155

Keterangan Gambar : 1. Skeleton

2. Septa 3. Mouth 4. Tentacle 5. Coral cup

6. Bagian yang berwarna merah disebut endodermis

sekitar Pulau Sulawesi, Laut Flores dan Banda. Sebaran karang di pantai

timur Sumatera, sepanjang Pantai Utara Jawa, Kalimantan Barat dan

Kalimantan Selatan yang dibatasi oleh tingginya sedimentasi. Tumbuh dan

berkembang baik di wilayah Sulawesi khususnya Sulawesi Utara oleh karena

adanya arus lintas Indonesia yang mengalir sepanjang tahun dari Laut

Pasifik dan Laut Hindia (Suharsono, 1996 dalam Adriman, 2012).

C. Biologi dan Ekologi Terumbu Karang

Hewan karang adalah pembentuk utama ekosistem terumbu karang.

Hewan karang berukuran sangat kecil disebut sebagai polip. Dalam jumlah

ribuan polip membentuk koloni yang dikenal sebagai karang (karang batu

atau karang lunak) atau koral. Sekelompok hewan dari ordo Scleractinia

yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu. Di Indonesia,

semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan oleh ko al sehi gga ko al e upaka i si yu ekosiste te u u ka a g (Guilcher, 1988 dalam Darmadi, 2010).

Gambar (Figure) 3. Polip dari Lophelia pertusa (Polyp of Lophelia pertusa)

(Hovland, 2008)

Menurut Nybakken (1992) dalam Adriman (2012) terumbu karang

(10)

156

pesat pada kedalaman antara 2-15 meter dan cahaya menjadi faktor utama

yang memengaruhi distribusi vertikalnya. Karang pembentuk terumbu ini

hanya dapat tumbuh baik pada daerah-daerah tertentu seperti pada

pulau-pulau yang sedikit mengalami sedimentasi atau di sebelah timur dari benua

yang umumnya tidak terpengaruh oleh arus dingin.

Hardianto et al. (1998) dalam Adriman (2012) menjelaskan keberadaan

terumbu karang ditandai oleh menonjolnya jenis biota yang hidup di

dalamnya, diperkirakan sekitar 0,2% dari luas samudera atau 70,8%

permukaan bumi. Sebagian besar terumbu karang tumbuh di perairan

tropis yang jernih dan agak dangkal yaitu kedalaman kurang dari 40 meter

pada rentang isothermal 20 oC dengan ketersediaan nutrisi rendah.

Gambar (Figure) 4. Keindahan terumbu karang Taman Laut Bunaken Sulawesi Utara (The figure of Coral Reefs from Bunaken National Park)

Menurut Supriharyono (2007), adanya simbiosis antara koloni karang

dan zooxanthellae atau sel alga renik yang terdapat pada jaringan terluar

dari karang menyebabkan ekosistem terumbu karang mempunyai

produktivitas primer yang tinggi. Purnomo et al. (2010) mengatakan bahwa

zooxanthellae termasuk salah satu biota dinoflagellata fototrofik.

(11)

157 laut. Hubungan antara zooxanthellae dengan karang bersifat mutualistik

yang dicirikan dengan adanya ciri transfer nutritif dan fisiologis. Dengan

karakter ini, maka hampir tidak ditemukan karang dapat hidup tanpa

zooxanthellae.

Menurut Nybakken (1992) dalam Adriman (2012) faktor-faktor

lingkungan yang membatasi pertumbuhan serta kelangsungan hidup

terumbu karang adalah sebagai berikut:

1. Suhu. Suhu optimum untuk pertumbuhan terumbu karang di perairan

adalah berkisar antara 23-30o C dengan suhu minimum 18 oC. Namun

hewan ini masih bisa hidup sampai suhu 15 oC, tetapu akan terjadi

penurunan pertumbuhan, reproduksi, metabolisme serta produktivitas

kalsium karbonat. Hubbard (1990) dalam Arifin (2008) menjelaskan

bahwa sensitivitas terumbu karang terhadap suhu dibuktikan dengan

dampak yang ditimbulkan oleh perubahan suhu akibat pemanasan

global yang melanda perairan Indonesia pada tahun 1998 dimana terjadi

pemutihan karang yang diikuti kematian masal mencapai 90 hingga 95%

karena adanya kenaikan suhu sebesar 2-3 oC di atas suhu normal.

2. Tingkat Pencahayaan. Intensitas cahaya matahari sangat memengaruhi kelangsungan hidup karang. Dalam proses kehidupannya, hewan ini

bersimbiosis dengan mikro alga (zooxanthellae) yang dalam hidupnya

mutlak memerlukan cahaya matahari sebagai energi utama untuk

pembentukan zat hijau daun (Chlorophyl). Faktor kedalaman dan

intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi kehidupan binatang

karang, sehingga pada daerah yang keruh serta daerah dalam tidak

ditemukan terumbu karang. Kedalaman air untuk terumbu karang tidak

lebih dari 50 meter. Menurut Kanwisher dan Wainwright (1997)

dalamArifin (2008) titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya

adalah pada intensitas cahaya antara 200 – 700 fluks. Intensitas cahaya

secara umum di permukaan laut adalah 2500 – 5000 fluks. Mengingat

kebutuhan tersebut maka binatang karang umumnya tersebar di daerah

tropis. Pertumbuhan karang juga dipengaruhi faktor kedalaman.

(12)

158

lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup

pada perairan yang cukup dalam.

3. Salinitas. Hewan karang peka terhadap perubahan salinitas (kadar garam), sehingga pada perairan yang tidak banyak mengalami

perubahan salinitas atau relatif stabil saja karang bisa hidup normal.

Salinitas optimal untuk kehidupan terumbu karang antara 32 – 35 o/ oo, sehingga jarang ditemukan pada daerah muara sungai besar, bercurah

hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam tinggi (hipersalin).

4. Kejernihan air. Kejernihan air ini sangat erat kaitannya dengan intensitas cahaya matahari, agar cahaya dapat mencapai dasar perairan, syarat

kejernihan air diperlukan. Bila terdapat benda-benda yang larut atau

melayang di laut akan mengganggu masuknya cahaya matahari. Pasir

dan lumpur bisa menutupi polip dan akhirnya mematikan hewan karang

ini.

5. Pergerakan Air. Ombak dan arus turut berperan dalam pertumbuhan karang. Ombak dan arus membawa oksigen dan bahan makanan; oleh

karena karang batu yang hidup menetap di dasar dan tidak berpindah

tempat maka karang batu ini hanya dapat mengandalkan bahan

makanan yang dibawa oleh arus. Di samping itu arus atau ombak dapat

membersihkan polip dari kotoran-kotoran yang menempel atau masuk

kedalamnya. Kedalaman 3 – 10 meter merupakan lingkungan yang

menguntungkan bagi hewan karang untuk hidup.

6. Sedimentasi.Sedimentasi merupakan masalah yang umum terjadi di wilayah tropis, pengembangan di daerah pantai serta aktivitas-aktivitas

lainnya seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak,

pembukaan hutan, aktivitas pertanian dapat membebaskan sedimen ke

perairan pantai atau ke terumbu karang melalui runoff. Disamping

sedimen yang disebabkan oleh aktivitas di atas, ada pula sedimen yang

dikenal dengan carbonate sediment yaitu sedimen yang berasal dari

erosi karang-karang, baik secara fisik maupun biologis (bioerosion).

Bioerosi biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut seperti bulu babi,

(13)

159 D. Tipe Terumbu Karang

1. Berdasarkan Jenisnya

Berdasarkan jenisnya, terumbu karang dibedakan menjadi dua macam

yaitu Terumbu karang keras (seperti brain coral dan elkhorn coral) dan

Terumbu karang lunak (seperti sea fingers dan sea whips)(Hovland, 2008).

Terumbu karang keras merupakan karang batu kapur yang keras yang

membentuk terumbu karang. Karang batu ini menjadi pembentuk utama

ekosistem terumbu karang. Walaupun terlihat sangat kuat dan kokoh,

karang sebenarnya sangat rapuh, mudah hancur dan sangat rentan

terhadap perubahan lingkungan. Terumbu karang lunak tidak membentuk

karang.

2. Berdasarkan Bentuknya

Berdasarkan bentuknya terumbu karang dibedakan menjadi empat

yaitu sebagai berikut (Hovland, 2008).

a. Terumbu karang tepi (fringing reefs)

Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas

pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai

kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju

laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk

melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan

karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam,

pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal. Contoh: Bunaken

(Sulawesi), Pulau Panaitan (Banten), Nusa Dua (Bali).

(14)

160

b. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)

Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau,

sekitar 0,52 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan

berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air)

atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya

karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan

membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Contoh: Batuan

Tengah (Bintan, Kepulauan Riau), Spermonde (Sulawesi Selatan), Kepulauan

Banggai (Sulawesi Tengah).

Gambar (Figure) 6. Terumbu karang penghalang (Barrier reefs)

c. Terumbu karang cincin (atolls)

Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari

pulau-pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan

dengan daratan.

(15)

161 d. Terumbu karang datar/Gosong terumbu (patch reefs)

Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau

datar (flat island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke

permukaan dan, dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan

pulau datar. Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau

vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Contoh: Kepulauan Seribu (DKI

Jakarta), Kepulauan Ujung Batu.

Gambar (Figure) 8. Terumbu karang datar (Patch Reefs)

E. Zonasi Terumbu Karang

Zonasi terumbu karang dibedakan berdasarkan paparan angin menjadi

dua yaitu Winward reef (terumbu karang yang menghadap angin) dan

Leeward reef (terumbu yang membelakangi angin). Windward merupakan

sisi yang menghadap arah datangnya angin. Zona ini diawali oleh reef slope

atau lereng terumbu yang menghadap ke arah laut lepas. Di reef slope,

kehidupan karang melimpah pada kedalaman sekitar 50 meter dan

umumnya didominasi oleh karang lunak. Namun, pada kedalaman sekitar

15 meter sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki

kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan

subur. Mengarah ke dataran pulau atau gosong terumbu (patch reef), di

bagian atas reef front terdapat penutupan alga koralin yang cukup luas di

(16)

162

Daerah ini disebut sebagai pematang alga atau alga ridge. Akhirnya zona

windward diakhiri oleh rataan terumbu (reef flat) yang sangat dangkal.

Leeward merupakan sisi yang membelakangi arah datangnya angin. Zona

ini umumnya memiliki hamparan terumbu karang yang lebih sempit

daripada windward reef dan memiliki bentangan goba (lagoon) yang cukup

lebar. Kedalaman goba biasanya kurang dari 50 meter, namun kondisinya

kurang ideal untuk pertumbuhan karang karena kombinasi faktor

gelombang dan sirkulasi air yang lemah serta sedimentasi yang lebih besar

(Anonim, 2007). Zonasi terumbu karang diilustrasikan dalam Gambar 9.

Gambar (Figure) 9. Zonasi terumbu karang (The Coral Reefs Zonation)

III.FUNGSI DAN MANFAAT TERUMBU KARANG

Sebagai suatu ekosistem yang sangat produktif, terumbu karang

memiliki keragaman hayati yang cukup tinggi sehingga menampakkan

panorama dasar laut yang sangat indah. Ekosistem ini membentuk jaringan

mata rantai yang menumbuhkan siklus fauna, siklus flora, siklus air dan

berbagai siklus lainnya. Salim (1992) dalam Adriman (2012) menyatakan

bahwa ekosistem terumbu karang setidaknya memiliki lima fungsi penting

yaitu :

1. Fungsi keterkaitan

(17)

163 3. Fungsi keserasian antar komponen satu dengan yang lain

4. Fungsi efisien

5. Fungsi keberlanjutan

Sedangkan Nybakken(1992) danDahuri (1996) dalam Adriman (2012);

menyebutkan bahwa ekosistem terumbu karang memiliki peran sebagai:

1. Tempat tumbuhnya biota lain, karena fungsinya sebagai tempat

memijah, mencari makan, daerah asuhan berbagai biota laut.

2. Sumber plasma nutfah

3. Mencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir

4. Melindungi pantai dari hempasan ombak dan keganasan badai

disamping melindungi bangunan fisik. Pelindung usaha perikanan

dan pelabuhan-pelauhan kecil dari badai dan hempasan air laut.

5. Bahan baku untuk berbagai macam kegiatan seperti karang batu

dan pasir sebagai bahan bangunan, karang hitam sebagai bahan

perhiasaan, dan berbagai macam kerang atau moluska yang

digunakan untuk hiasan rumah.

6. Dinegara-negara berkembang, terumbu karang secara tidak

langsung merupakan penghasil protein bagi panduduk.

7. Sebagai obyek wisata

Hasil temuan terdahulu diketahui bahwa pada ekosistem terumbu

karang yang sehat menghasilkan 35 ton ikan/km2/tahun, sedangkan dalam

ekosistem terumbu karang rusak menghasilkan kurang dari lima ton ikan

(Allister, 1989 dalam Arifin, 2008). Dalam kondisi fisik yang baik, terumbu

karang dapat berfungsi secara optimal sebagai sumber penghidupan

masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Berdasarkan fungsinya yaitu fungsi

ekologis dan ekonomi maka manfaat dari terumbu karang dapat dibedakan

menjadi nilai ekonomi dan nilai ekologi.

A.Nilai Ekonomi Terumbu Karang

Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem pesisir mempunyai nilai

guna yang sangat penting, baik ditinjau dari aspek ekologi maupun

(18)

164

10-15% dari total produksi. Hasil penelitian Husni (2001) tentang nilai

ekonomi terumbu karang untuk perikanan di kawasan Gili Indah Kabupaten

Lombok Barat – NTB adalah sekitar 611,34 kg/ha/tahun dengan nilai Rp.

48.731.275/ha/tahun, sedangkan nilai ekonomi pariwisata bahari sekitar

Rp. 69.117.180,36. Selanjutnya Wawo (2000) melaporkan bahwa nilai

ekonomi total terumbu karang di Pulau Nusa Laut Maluku adalah Rp.

4.265.174/ha/tahun. Selanjutnya Dahuri (1999) dalam Adriman (2012)

melaporkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang di Kawasan Barelang dan

Bintan mencapai Rp. 1.614.637.864,-/ha/tahun.

Fringing reef juga merupakan pelindung pantai yang sangat penting

dari terpaan gelombang, sehingga stabilitas pantai bisa tetap terjaga. Hiew

dan Lim (1998) dalam Kusumastanto (2000), menyatakan bahwa nilai

manfaat terumbu karang per hektar per tahun sebagai pencegah erosi

pantai adalah sebesar US$ 34.871,75 atau dengan asumsi US$ 1 setara

dengan Rp. 9.500,- maka nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai

pencegah erosi adalah sebesar Rp. 331.281.625/ha/tahun. Di samping itu

nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai bagian dari suksesi alam dalam

menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya sebagai sumber plasma

nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan ekosistem pesisir yang

sangat penting dari berbagai aspek (Garces, 1992 dalam Adriman, 2012).

Sementara itu, Ruitenbeek (2001) dalam Partini (2009), menyatakan bahwa

nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai penyedia biodiversity

adalah sebesar US$ 15/ha/tahun atau sekitar Rp. 142.500,-.

B. Nilai Ekologi Terumbu Karang

Terumbu karang juga berperan dalam proses transpor nutrien baik

organik maupun anorganik diantara ekosistem mangrove dan padang

lamun. Menurut Baker dan Kaeoniam (1986) dalam Arifin (2008) fungsi fisik

terumbu karang antara lain adalah sebagai filter air untuk menjaga kualitas

air di kawasan pantai. Selain itu juga sebagai peredam gelombang,

pelindung alamiah terhadap daratan yang berhadapan dengannya,

(19)

165 berhadapan. Sedangkan dari sisi pemanfaatan terumbu karang, dapat

dibedakan ke dalam dua bagian berikut.

1. Pemanfaatan Ekstraktif

Pemanfaatan ekstraktif meliputi kegunaan konsumtif seperti

penangkapan biota laut yang dijadikan konsumsi pangan maupun kegunaan

ornamental, seperti penangkapan ikan hias, kerang dan sebagainya.

2. Pemanfaatan Non Ekstraktif

Pemanfaatan non ekstraktif meliputi pendayagunaan ekosistem

terumbu karang untuk tujuan pariwisata, penelitian, pendidikan, dan

sebagainya. Menurut Parwinia (2007) nilai ekonomi pemanfaatan

ekstraktif dan non ekstraktif pada terumbu karang di Selat Lembeh Provinsi

Sulawesi Utara dengan indikator total revenue dari perikanan berkisar

antara Rp. 27 juta per vessel per tahun sampai Rp. 238 juta per vessel per

tahun. Nilai ekonomi non ekstraktif merupakan nilai wisata dan ekosistem,

meliputi kegiatan diving, transportasi taxi air. Kegiatan diving memberikan

manfaat ekonomi tertinggi sekitar Rp. 300 juta per tahun, taxi air Rp. 90

juta per tahun dan nilai ekonomi dari sewa kapal sebesar Rp. 25 juta per

tahun.

IV. TANTANGAN DAN UPAYA KONSERVASI A. Tantangan

Ekosistem terumbu karang saat ini telah mendapat tekanan seiring

dengan meningkatnya kepadatan populasi manusia terutama di kawasan

pesisir. Burke et al. (2002) melaporkan bahwa penyebab kerusakan

ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara termasuk di Indonesia antara

lain adalah sebagai berikut.

1. Pembangunan di wilayah pesisir yang menyebabkan sedimentasi dan

pencemaran laut, seperti pengerukan, reklamasi, penambangan

pasir, pembuangan limbah padat dan cair;

2. Pencemaran laut akibat aktivitas di laut, seperti pencemaran dari

pelabuhan, tumpahan minyak, pembuangan sampah dari atas kapal,

(20)

166

3. Sedimentasi dan pencemaran dari daratan, seperti penebangan

hutan, perubahan tataguna lahan dan praktek pertanian yang tidak

konservatif;

4. Penangkapan ikan secara berlebihan;

5. Penangkapan ikan dengan cara merusak, seperti penangkapan ikan

dengan menggunakan bom, racun dan alat tangkap lainnya; dan

6. Pemutihan karang akibat perubahan iklim global.

Selanjutnya Supriharyono (2007) mengatakan bahwa kesehatan

terumbu karang sangat ditentukan oleh baik buruknya aktivitas di daratan.

Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik di daerah

pantai akan dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan ekosistem

terumbu karang. Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove,

penebangan hutan, intensifikasi pertanian, pengelolaan daerah aliran

sungai (DAS) yang kurang baik pada umumnya akan meningkatkan

kekeruhan dan sedimentasi di daerah terumbu karang. Kekeruhan dapat

menurunkan penetrasi cahaya matahari, sehingga menurunkan efisiensi

fotosintesis alga, zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengan karang,

sedangkan sedimentasi dapat langsung mengganggu kehidupan karang

bahkan dapat menyebabkan kematian karang. Intensifikasi pertanian

umumnya dapat meningkatkan run off pupuk dan pestisida ke perairan

terumbu karang, walaupun kemungkinan dampak bahan-bahan kimia

tersebut terhadap terumbu karang belum banyak diketahui. Disamping itu,

ekosistem terumbu karang juga menerima dampak dari aktivitas daratan,

yaitu berupa limbah penduduk dan limbah industri.

Sedimentasi yang terjadi di ekosistem terumbu karang akan

memberikan pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk

tumbuh dan berkembang. Menurut Tomascik (1991) dalam Partini (2009),

beberapa kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi

adalah semakin tingginya pemanfaatan hutan dan lahan pertanian, kegiatan

pengerukan, pertambangan dan pembangunan konstruksi. Pengaruh

sedimentasi yang terjadi pada terumbu karang telah disimpulkan oleh

(21)

167 1. Menyebabkan kematian karang apabila menutupi atau meliputi

seluruh permukaan karang dengan sedimen ;

2. Mengurangi pertumbuhan karang secara langsung;

3. Menghambat planula karang untuk melekatkan diri dan

berkembang di substrat;

4. Meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen

Dari sekian banyak komponen limbah antara lain surfaktan, logam

berat, bahan organik beracun dan bahan kimia, unsur hara nitrogen dan

fosfor merupakan faktor yang paling menentukan kerusakan terumbu

karang (Tomascik, 1991 dalam Partini, 2009). Peningkatan konsentrasi

unsur hara akan memacu produktivitas fitoplankton dan alga bentik. Hal ini

diindikasikan dengan peningkatan klorofil a dan kekeruhan, pada akhirnya

memacu populasi hewan filter dan detritus feeder. Pengaruh peningkatan

populasi fitoplankton dan kekeruhan, kompetisi alga bentik serta toksisitas

fosfat secara bersamaan dapat menurunkan jumlah karang.

Wilayah pesisir yang mempunyai pantai pasir putih dan ekosistem

terumbu karang merupakan salah satu obyek wisata bahari yang sangat

menarik. Selama dua dekade perkembangan pariwisata di wilayah

Asia-Pasifik, khususnya perkembangan pariwisata pesisir dan wisata bahari

menunjukkan pertumbuhan yang cukup hebat. Hal ini mengakibatkan pula

semakin banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pariwisata ini.

Peningkatan fasilitas dan aksesibilitas di sekitar kawasan pariwisata ikut

pula mempercepat pertumbuhan industri pariwisata di wilayah pesisir.

Perkembangan sektor pariwisata juga mendorong kerusakan terumbu

karang. Misalnya kerusakan terumbu karang di Malaysia terutama di Pulau

Paya, Pulau Lembu, Pulau Songsong dan Pulau Telor telah mengalami rusak

berat karena seringnya perahu-perahu wisata menancapkan jangkarnya.

Selanjutnya Salm dan Clark (1989) dalam Lubis (2009) merinci lebih lanjut

dampak aktivitas pariwisata komersil terhadap terumbu karang sebagai

berikut :

1. Pembangunan fasilitas wisata, dampaknya dapat merubah aliran air

(22)

168

terumbu karang, dapat menimbulkan kekeruhan sehingga

mengurangi fotosintesis, dapat menjadi sumber pencemaran tetap.

2. Kerusakan oleh jangkar, dampaknya memecah dan merusak karang.

3. Kerusakan oleh penyelam, sering kali aktivitas penyelaman (diving)

secara tidak sengaja dapat menimbulkan kerusakan pada karang

dan biota lainnya.

4. Kerusakan oleh perahu kecil, seringkali dasar perahu dan kapal

pesiar dapat menabrak terumbu dan menimbulkan kerusakan fisik

pada daerah yang dangkal, terutama pada saat surut.

5. Berjalan pada terumbu, seringkali para wisatawan berjalan-jalan

pada terumbu karang saat air surut, dan cara ini sangat potensial

menimbulkan kerusakan fisik karang karena terinjak.

Gambar (Figure) 10. Kerusakan terumbu karang (Coral reefs damaged by human activities)

Dalam terlihat bahwa ancaman terhadap kerusakan terumbu karang di

wilayah perairan Indonesia adalah penggunaan racun ikan dan penggunaan

(23)

169 Gambar (Figure) 11. Distribusi ancaman kerusakan terumbu karang dunia

(Distribution of the world's coral reefs threats)

B. Upaya Konservasi

Untuk mencegah semakin rusaknya terumbu karang, maka diperlukan

pengelolaan terumbu karang. Pengelolaan pada hakekatnya merupakan

suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan terumbu

karang dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kelestarian

lingkungan. Salah satunya adalah dengan konsep penetapan Kawasan

Konservasi Laut (KKL). Agardy (1997); Barr et al. (1997) dalam Arifin (2008)

menjelaskan KKL memiliki peran utama sebagai berikut.

1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas

ekosistem. Kawasan konservasi dapat berkontribusi untuk

mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trofik

dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan dan

(24)

170

2. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi

daerah pemijahan, pembesaran, tempat mencari makanan,

meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

3. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat

menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang

bernilai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat

khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan

dermaga perahu/kapal, tempat membuang jangkar dan jalur pelayaran)

akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah

rekreasi dan pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir.

4. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem.

Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian

masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil,

menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu utuk observasi dan

monitoring jangka panjang dan berperan penting bagi pendidikan

masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak

aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut.

5. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan

konservasi dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan

basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa

lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Ditambahkan oleh

Westmacott et al. (2000), bahwa kawasan konservasi laut memegang

peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang

dengan cara :

a. Melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak yang dapat

menjadi sumber larva dan sebagai alat untuk membantu

pemulihan.

b. Melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok

sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumpuhan

kembali.

c. Memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang

kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung

(25)

171 V. PENUTUP

1. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kekayaan hayati yang sangat

tinggi. Beragam jenis terumbu karang tersebar di pulau-pulau di

Indonesia dengan berbagai manfaat dan nilai ekonomi maupun ekologi.

2. Laju kerusakan terumbu karang di Indonesia saat ini semakin

mengkhawatirkan. Aktivitas manusia seperti penggunaan racun ikan dan

dinamit menjadi permasalahan utama penyebab rusaknya terumbu

karang.

3. Penetapan Kawasan Konservasi Laut (KKL) diharapkan menjadi salah

satu upaya yang cukup efektif dalam menjaga dan melindungi

kelestarian terumbu karang di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Adriman. 2012. Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelajutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ambalika, I. 2010. Kerusakan ekosistem terumbu karang Di Pulau Bangka akibat penambangan timah lepas pantai (kapal isap). http://www.ubb.ac.id (diakses tanggal 27 April 2013).

Anonim, 2007. Ekosistem terumbu karang. www.ipb.ac.id (diakses tanggal 28 April 2013).

Anonim, 2011. Pengaruh pencemaran lingkungan terhadap terumbu karang. http://dinatropika.wordpress.com/2011/01/17/pengaruh-pencemaran-lingkungan-terhadap-terumbu-karang/#more-384 (diakses tanggal 26 April 2013).

Arifin, T. 2008. Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang Di Selat Lembeh Kota Bitung. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Burke L, Selig, E, Spalding M. 2002. Reef at Risk in Southest Asia. World Resources Institute (WRI), Washongton, DC.

Conservation Indonesia. 2008. Inisiatif segitiga terumbu karang. http://www.conservation.org/global/indonesia/aktivitas_lapangan/bentang _laut/cti/pages/inisiatif_segitiga_terumbu_karang.aspx (diakses tanggal 26 April 2013).

(26)

172

Darmadi, 2010. Ekosistem terumbu karang di Indonesia. http://dhamadharma.wordpress.com/2010/05/04/ekosistem-terumbu-karang-di-indonesia/ (diakses tanggal 26 April 2013).

Fabricius KE. 2005. Effects of terrestrial runoff on the ecology of coarl and coarl Reefs: Review and Synthesis. Marine Pollution Bulletin 50: 125-146.

Ho la d, M. . Deep Wate Co al Reefs U i ue Biodi e sity Hot-“pots .

Springer. Jerman.

Husni S. 2001. Kajian Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus di Kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kusuma, E.F. 2013. Kondisi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu memprihatinkan. http://www.detik.com (diakses tanggal 27 April 2013).

Kusumastanto T. 2000. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah pada Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor.

Lubis, M.R.K. 2009. Analisis Pengelolaan Terumbu Karang Untuk Pengembangan Ekowisata Bahari Di Pulau Poncan Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Partini. 2009. Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang Di Pantai Timur Kabupaten Bintan. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Parwinia. 2007. Pemodelan Ko-Eksistensi Pariwisata dan Perikanan: Analisis Konvergensi-Divergensi (KODI) di Selat Lembeh Sulawesi Utara. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Purnomo PW, Soedharma D, Zamani NP, Sanusi HS. 2010. Model Kehidupan Zooxanthelae dan Penumbuhan Massalnya pada Media Binaan. Jurnal Saintek Perikanan6: 46-54.

Sjafrie NDM. 2011. Pemantauan Perikanan Berbasis Masyarakat Wilayah Indonesia Bagian Barat Tahun 2010. CRITC- COREMAP II-LIPI. Jakarta.

Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan.

Wawo M. 2000. Penilaian Ekonomi Terumbu Karang: Studi Kasus di Desa Ameth Pulau Nusa laut Propinsi Maluku. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(27)

Gambar

Gambar (Figure) 1. Ekosistem terumbu karang (The Coral reefs ecosystem)
Gambar (Figure) 2. Distribusi terumbu karang (The Coral Reefs Distribution)
Gambar (Figure) 3. Polip dari Lophelia pertusa (Polyp of Lophelia pertusa)
Gambar (Figure) 5. Terumbu karang tepi (Fringing reefs)
+5

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Metode BATIK (baca, tulis dan karya) dapat meningkatkan minat siswa dan mahasiswa untuk belajar bahasa Indonesia, dengan menggunakan dan mengenalkan budaya masayarakat

Kondisi optimum untuk sintesis wax ester dari asam lemak stearat yaitu selama 2 jam, pada suhu 40 °C, dengan jumlah enzim lipase 0,15 gram, pada perbandingan asam stearat :

Data primer yaitu data yang dikumpulkan secara langsung selama penelitian meliputi konstruksi jaring (Lampiran 1), jenis spesies ikan hasil tangkapan utama dan

Selanjutnya, data tentang hasil belajar fisika dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan statistic inferensial karena dalam penelitian ini untuk mengetahui untuk

• Bahwa berdasarkan pada keseluruhan pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Tergugat dalam menerbitkan obyektum litis secara

Pelajaran kali ini akan membahas pembentukan muatan negatif pada mineral liat, penyebaran kation-kation di sekitar muatan negatif permukaan liat, dan reaksi pertukaran

Untuk ditaatinya ketentuan yang mengatur program jaminan sosial dalam penyelenggaraan jaminan sosial oleh Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan setiap orang,

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b