• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Aceh (Studi Di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Aceh (Studi Di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beranekaragamnya suku bangsa yang ada di Indonesia melahirkan banyaknya

hukum atau kebiasaan adat pada masing-masing daerah, yang ditiap-tiap daerah

memiliki aturan atau norma-norma yang harus dijalankan oleh setiap masyarakatnya.

Soepomo menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis didalam

peraturan-peraturan legislatif meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak

ditetapkan oleh yang berwajib, namun ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan

atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan

hukum.1Hukum adat memiliki beberapa sifat yang diantaranya adalah bersifat tidak tertulis, dan bersifat dinamis, hal ini menyebabkan terhadap hukum adat senantiasa

dapat berkembang dan menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan yang

terjadi didalam masyarakat. Sehingga yang dimaksud dengan hukum adat adalah

suatu sistem yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan

masyarakat yang bersifat memaksa.

Van Vollenhoven dalam bukunya membagi-bagi seluruh daerah Indonesia

menjadi 19 lingkungan hukum, adapun lingkungannya sebagai berikut:

1. Aceh

2. Tanah Gayo-Alas dan Batak beserta Nias 3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai

(2)

4. Sumatera Selatan

5. Daerah Melayu (Sumatera Timur, Jambi, Riau) 6. Bangka dan Belitung

16. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat) 17. Jawa-Tengah dan Timur (beserta Madura)

18. Daerah-Daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta) 19. Jawa-Barat2

Dengan dibaginya lingkungan hukum tersebut maka dapat dikatakan bahwa

adanya perbedaan-perbedaan yang terdapat dari masing-masing daerah yang akan

menyebabkan terjadinya perbedaan pula terhadap peraturan-peraturan hukum adat

yang berlaku dan berkembang di masing-masing daerah tersebut.

Adat dan kebiasaan merupakan salah satu dari sumber hukum. Dengan

diterimanya dan dipakainya istilah hukum adat yang kemudian menjadi salah satu

cabang ilmu hukum. Tujuan dari mempelajari hukum adat untuk memelihara dan

mengembangkan hukum adat sebagai ilmu dan nilai-nilai yang merupakan bagian

dari budaya bangsa Indonesia serta berfungsi dalam mempertimbangkan dan

menerapkan hukum yang sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat, khususnya

dalam kasus-kasus yang berkenaan dengan adat. Setiap masyarakat hukum adat di

Indonesia mempunyai bentuk sistem kekerabatan dan sistem kewarisannya

masing-masing. Hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan

yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Sistem kekerabatan ini terutama

2

(3)

berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta warisan yang

diwariskan, baik yang materil maupun immateril.3

Pluralitas masyarakat dengan adat, budaya dan tradisinya sendiri-sendiri

menumbuhkan praktek-praktek hukum adat yang berbeda-beda. Salah satunya hukum

waris adat, juga dalam bidang-bidang hukum adat tertentu lainnya yang bergantung

pada corak kekerabatan dari masing-masing masyarakat. Secara umum, istilah

kekerabatan menggambarkan adanya hubungan darah antara seseorang dengan orang

lain. Dalam masyarakat seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua orang

tuanya, sehingga setiap anak mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat

ditelusuri, baik melalui bapak maupun ibunya. Kerabat yang ditelusuri melalui bapak

biasanya disebut patrilineal, kerabat yang melalui ibu biasanya dinamakan matrilineal

dan kerabat yang ditelusuri dari kedua belah pihak (ibu dan bapak) disebut

parental/bilateral.

Hak waris (hak untuk mendapatkan bagian dari harta warisan) ditetapkan atau

diturunkan hanya kepada mereka yang termasuk golongan kekerabatannya.

Sementara mereka yang berada diluar garis kekerabatan, misalnya status perempuan

pada masyarakat patrilineal atau status laki-laki pada masyarakat matrilineal, tidak

terlalu diperhitungkan pada pembagian waris.4 Di Indonesia, hukum waris yang berlaku dan dapat diterima oleh masyarakat ada 4 (empat) macam, yakni hukum

waris berdasarkan Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat,

dan Hukum Waris menurut Yurisprudensi.

3 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 259-260.

(4)

Perkembangan sosial budaya yang bergerak cepat sekarang ini menimbulkan

banyak dampak terhadap kehidupan masyarakat. Perkembangan itu dapat berupa

kemajuan pendidikan, perkembangan teknologi, dan hubungan masyarakat yang

terbuka dan sangat cepat antar provinsi dan antar suku bangsa, yang dapat

dimungkinkan dengan hubungan perkawinan antar suku atau antar daerah, dan hal ini

lah sebagian kecil yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial masyarakat.

Kelompok Etnis Minangkabau, secara historis dan geografis, dianggap

sebagai komunitas yang menyerupai budaya pesisir. Padahal, masyarakat

Minangkabau pada dasarnya termasuk kedalam komunitas kelompok pedalaman,

karena menempati daerah seputar pegunungan Bukit Barisan (pedalaman Sumatera).

Salah satu ciri masyarakat pedalaman adalah kecenderungan menjadikan pertanian

sebagai sumber penghidupan mereka. Tetapi, ciri tersebut tidak sepenuhnya melekat

pada komunitas Minangkabau. Dalam perspektif perdagangan, komunitas

Minangkabau telah berperan penting dalam perdagangan merica (lada) dan emas

yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat pesisir.5

Seiring dengan berkembangnya zaman, menyebabkan terjadinya angka

perpindahan penduduk yang semakin besar, sehingga dengan mudahnya seseorang

atau sekelompok orang dapat berpindah dari suatu daerah ke daerah lainnya. Namun

meski perpindahan penduduk itu dapat terjadi dengan mudah, tidak demikian dengan

hukum adat atau kebiasaan yang berlaku dapat ikut berubah juga, sehingga seseorang

5Amir Sjarifoedin Tj. A,Minangkabau : Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku

(5)

atau sekelompok orang yang berpindah ke daerah baru, harus menyesuaikan diri

dengan adat kebiasaan yang berlaku didaerah baru yang mereka tempati. Dengan kata

lain faktor lingkungan tempat tinggal juga turut mempengaruhi keadaan hukum

masyarakat terhadap hukum adatnya, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat

Minangkabau yang berpindah dan kemudian menetap di Kecamatan Tapaktuan, Aceh

Selatan.

Reformasi budaya dan Agama di Minangkabau terjadi sejak kembalinya

Syekh Burhanuddin Ulakan dari Aceh pada abad ke-17. Ia menyebarkan dan

mengembangkan serta menyiarkan ajaran Islam melalui sistem pendidikan surau

secara damai di Minangkabau. Ia juga berusaha memurnikan ajaran Islam dari

pengaruh kepercayaan Animistik dan budaya Hindu-Budha, serta menghapus

kebiasaan-kebiasaan anak nagari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.6

Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa yang terdapat di

Sumatera Barat yang dalam konsep Van Vollenhoven termasuk kedalam 19

lingkungan hukum adat, merupakan masyarakat adat yang sangat kuat dalam hal

penerapan hukum adatnya, hal ini salah satunya dapat dilihat pada sistem

kewarisannya, walaupun masyarakat Minangkabau hampir keseluruhan beragama

Islam, namun dalam hal pembagian warisan Pusako Tingginya tetap mengunakan

hukum adat sebagai aturannya, kewarisan Hukum Islam hanya dipergunakan terhadap

harta pusako randahnya saja. Pada dasarnya, selagi masyarakat Minangkabau taat

memeluk agama Islam dan beriman serta bertaqwa kepada Allah SWT, maka

nilai-6

(6)

nilai yang terkandung di dalam ketentuan Adat nan sabana Adat dan Adat nan

Diadatkan akan lestari sepanjang masa. Dan sebagai konsekuensinya, seorang

Minangkabau, harus mematuhi ketentuan-ketentuan agamanya yang dipakaikan

dalam adat tersebut. Demikian juga struktur masyarakat Minangkabau yang disusun

menurut garis keturunan ibu dimana pewarisan sako dan pusako yang telah

dimantapkan oleh nenek moyang masyarakat Minangkabau Datuk Ketumanggungan

dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, akan tetap menurut garis ibu.7

Sistem kekeluargaan yang dikenal pada masyarakat Minangkabau adalah

sistem matrilineal, yang memiliki ciri adanya keterikatan orang Minangkabau pada

ibunya, dan rumah serta pusaka keturunan ibunya. Kaum perempuan di Minangkabau

memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan bundo kanduang, yang

juga menjadi peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan

keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum laki-laki.8

Perkawinan dalam masyarakat matrilineal tidaklah menciptakan keluarga inti

(nuclear family) yang baru, sebab suami atau istri masing-masingnya tetap menjadi

anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Sebab itu pengertian tentang

keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit tersendiri

tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau oleh karena dia selalu ternaung oleh

sistem garis keturunan ibu yang lebih kuat. Sebagai akibatnya, anak-anak dihitung

sebagai anggota garis keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada

7

Ibid, Hal. 102. 8

(7)

sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu. Sistem perkawinan

matrilineal di Minangkabau menganut sistem eksogami, yakni mencari jodoh ke luar

lingkungan kerabat matrilineal. Sistem ini tidak mengenal pembayaran “jujur” atau

“kawin jujur” seperti di Tapanuli. Pada saat perkawinan, suami dijemput oleh

keluarga perempuan dengan upacara adat untuk kemudian dibawa ke rumah istri

dengan nama “Alek malapeh marapulai” (adat melepas mempelai). Sistem ini

menjadikan perkawinan sebagai urusan komunal. Mulai dari pencarian pasangan,

membuat persetujuan, pertunangan, upacara perkawinan, bahkan sampai

akibat-akibat perkawinan. Sesuai dengan kebersamaan sebagai ciri khas adat dalam

masyarakat komunal, maka rumah tangga menjadi urusan bersama pula. Karena

sistem ini terkait dengan hartapusako tinggi, maka kedua belah pihak tidak melebur

dalam kerabat pasangannya, tetapi tetap menjadi kerabat kaumnya. Keadaan inilah

yang menjadikan perkawinan eksogami menjadi rapuh. Istri pantang mengeluh

kepada suami, sehingga suami tidak mempunyai beban berat dalam rumah tangganya.

Kepemilikan harta oleh perempuan menjadikan ia berkedudukan sama seperti

suaminya.9

Hukum waris Minangkabau merupakan bagian hukum adat yang banyak seluk

beluknya. Pada satu pihak ini merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib

susunan menurut hukum ibu, akan tetapi pada pihak lain, lebih-lebih pada waktu

akhir-akhir ini ia mempunyai sangkut paut pula bahkan bertendensi dipengaruhi

(8)

hukum waris menurut syarak.10Adat diperkokoh oleh syarak, syarak diperkokoh oleh Kitabullah, begitulah pepatah yang menjadi acuan bagi masyarakat Minangkabau.

Antara adat dan syarak di Minangkabau keduanya saling memperkuat satu sama

lainnya, sehingga semua dapat berjalan bersamaan tanpa adanya kesenjangan. Dalam

hal tertentu, ada yang menggunakan adat dan ada yang menggunakan syarak saja,

syarak diterima sebagai bagian hukum adat sepanjang menyangkut dengan pahala dan

dosa, sah dan batal serta halal dan haram. Selebihnya masyarakat Minangkabau

menggunakan hukum adat mereka, seperti halnya pada pembagian warisan. Adat

basandi syarak, syarak basandi kitabullah menjadi kerangka pandangan hidup orang

Minangkabau yang memberi makna hubungan manusia, Allah Maha Pencipta dan

alam semesta, yang betujuan untuk memperjelas kembali jati diri etnis Minangkabau

sebagai sumber harapan dan kekuatan yang menggerakkan ruang lingkup kehidupan

dan tolak ukur untuk melihat dunia Minangkabau dari ranah kehidupan berbangsa dan

bernegara, dan dalam pergaulan dunia.11

Harta warisan pada Masyarakat Minangkabau dapat dibedakan atas apa yang

disebut dengan Sako dan Pusako. Sako dalam pengertian Adat Minangkabau adalah

segala kekayaan tanpa wujud (kekayaan immaterial), yang dapat berupa gelar dan

10Chairul anwar,Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, Hal .88.

11Buya Masoed Abidin, Penjelasan Filosofi, Penjabaran Dan Implementas Adat Basandi

Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, diakses pada tanggal 18-September-2015,

(9)

jabatan adat yang dipegang oleh saudara laki-laki tertua dari garis keturunan ibu.12 Sedangkan Pusako adalah warisan dalam bentuk kekayaan materi, yang terdiri dari

harta Pusako Tinggi, dan harta Pencaharian (Pusako Randah). Harta Pusako Tinggi

adalah harta warisan yang diwariskan secara turun menurun dari satu generasi ke

generasi berikutnya yang telah melawati beberapa generasi.13 Harta warisan yang diberikan dapat berupa harta yang berwujud benda tetap dan benda tidak berwujud,

yang mana benda-benda tersebut umumnya terletak di kampung asal. Harta

Pencaharian (Pusako Randah) adalah harta warisan yang baru diturunkan dari satu

generasi saja, yang berasal dari hasil pencaharian kakek bersama nenek atau ayah

bersama ibu.14Harta Pusaka Rendah ini dapat dibagi kepada anak laki-laki dan anak perempuan sesuai dengan hukumFara’idh.

Perkembangan hukum waris adat Minangkabau ditandai dengan hasil Rapat

Adat yang berlangsung di Bukit Tinggi pada tanggal 02-04 Mei 1952 dan di kuatkan

dengan Seminar Hukum Adat Minangkabau pada tanggal 21-25 Juli 1968, yang

menetapkan bahwa harta orang Minangkabau itu terbagi atas dua bahagian, yaitu :

Harta Pusaka(Pusako Tinggi), dan Harta Pencaharian (Pusako Randah).15

Menurut Hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai denganfara’idh yang

sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di

12Amir MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2003, Hal. 91.

13Mochtar Naim (ed), Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Adat, Center for Minangkabau Studies press, Padang, 1968, Hal. 85

14Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut : Perundangan, Hukum Adat,

(10)

Minangkabau sesuai dengan ketentuan adatnya, seluruh harta pusako tinggi

diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu, hal ini

menimbulkan kontroversi dari sebagian ulama. Ulama Minangkabau yang paling

keras menentang pengaturan hartapusako tinggi yang tidak mengikuti hukum waris

Islam adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari,

dan Agus Salim. Ahmad Khatib Al-Minangkabawi imam dan khatib Masjidil Haram

Mekkah, menyatakan bahwa harta pusako tinggi termasuk harta syubhat, sehingga

haram untuk dimanfaatkan. (Hamka, Agustus 1985).16 Namun berbeda dengan pendapat Syeikh Abdul Karim yang mengambil jalan tengah dengan memfatwakan

bahwa harta pusako tinggi termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh

pihak keluarga, namun tidak boleh diperjualbelikan.17

Bagi masyarakat Minangkabau yang sudah tinggal menetap pada suatu daerah

lain diluar daerah Minang (perantauan), seperti di Kecamatan Tapaktuan, dapat

menyebabkan terjadinya perbedaan terhadap pelaksanaan hukum adatnya, khususnya

dalam hal kewarisan yang digunakan, dimana dulunya memakai sistem kewarisan

HartaPusako tinggi, dan Harta Pencaharian(Pusako Randah).

Pada umumnya, para perantau Minang ini mampu menyesuaikan diri dengan

adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya. Hampir tidak pernah terjadi konflik

dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin sekali hal ini

berpedoman kepada pepatah bijak Minangkabau: ”Dimano bumi dipijak, disitu langik

16

Ibid, Hal. 206 17

(11)

dijunjung” yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus

kehilangan kultur budaya sendiri.18

Pada awal merantaunya masyarakat Minangkabau ke Kecamatan Tapaktuan,

tidak sedikit dari mereka yang masih menggunakan hukum adat Minangkabau dalam

penyelesaian masalah-masalah yang terjadi, khususnya dalam hal pewarisan. Meski

pembagian harta pusako tinggi ditujukan pada harta yang terletak di daerah asal

(Minangkabau), masyarakat Minangkabau masih terus membagi harta pusako tinggi

tersebut, dengan mensiasati cara pengelolaannya, yaitu dengan cara tinggal sementara

selama 3 (tiga) bulan di Minangkabau dan kembali lagi ke Tapaktuan untuk 6 (enam)

bulan berikutnya, seperti itu seterusnya.19 Hal ini tidak dibenarkan, kecuali jika ada ”dunsanak” kemenakan yang kehidupannya agak susah di perantauan boleh kembali

kekampung untuk mengurus harta itu.20 Sehingga dapat dilihat bahwa masyarakat Minang perantauan dapat membagi harta pusako tinggi, namun harus kembali ke

Minangkabau (Menetap).

Kecamatan Tapaktuan memiliki 2 (dua) suku asli, yaitu suku Aceh dan suku

Aneuk Jamee. Suku Aneuk Jamee di Aceh adalah masyarakat keturunan

Minangkabau, yang nenek moyang mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak

berabad-abad yang lalu.21 Yang mana didalam kehidupan sehari-hari mereka masih menggunakan Bahasa Minangkabau dengan dialek Aceh.

18Ibid,Hal. 654

19Wawancara dengan Bapak Atiak, orang yang dituakan oleh masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal 28- Agustus-2015 di Tapaktuan

(12)

Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 2010

Kecamatan Tapaktuan memiliki jumlah penduduk lebih kurang 22.463 jiwa, yang

dulunya dihuni oleh hampir sebagian besar masyarakat yang berasal dari suku Aneuk

Jamee dan juga dihuni oleh masyarakat yang berasal dari suku Aceh, namun

dikarenakan adanya kematian dan pencampuran perkawinan dari kedua suku tersebut

(suku Aneuk Jamee dan suku Aceh), maka sekarang jumlah populasi masyarakat

yang berasal dari suku Aneuk Jamee asli hanya sebanyak 30% dari keseluruhan

jumlah populasi yang ada di Kecamatan Tapaktuan.22

Daerah Aceh merupakan daerah yang sangat kental dengan nilai

keIslamannya, dikarenakan hampir seluruh penduduk Aceh beragama Islam, sehingga

segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari selalu berpegangan

kepada Hukum Islam. Hukum adat Aceh pertama kali dikemukan oleh Snouck

Hurgrounje seorang ahli sastra timur dari Belanda (1894) yang pernah belajar agama

Islam di Arab. Sebelum istilah hukum adat berkembang, dulu dikenal istilah adat

Recht. Snouck Hurgrounje dalam bukunyaDe Atjehers(Aceh) pada tahun 1893-1894

menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalahDe Atjehersatau

hukum adat Aceh. Rakyat Aceh memutuskan suatu perkara adat berdasarkan jumhur

Ulama yang memiliki peranan penting di Aceh.23 Termasuk dalam hal pembagian warisan, baik waris secara adat maupun waris secara hukum Islamnya. Hukum waris

22Wawancara dengan Bapak Muslidin, Staf kantor Badan Pusat Statistik Aceh Selatan, di Tapaktuan, tanggal 22-Agustus-2015 di Tapaktuan

(13)

adat di Aceh selalu seiring dan sejalan dengan Hukum Islam yang mana memiliki

peran penting didalam masyarakat.

Hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang

berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang

setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum waris Islam disebut juga

dengan hukumfara’idh, yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan, Sumbernya

ialah Al-Qur’an dan Hadist.24 Proses peralihan harta dari orang telah meninggal kepada yang masih hidup dalam hukum kawarisan Islam mengenai 3 tiga unsur yaitu,

pewaris, harta warisan dan ahli waris.

“Hukum waris Islam adalah salah satu hukum yang paling sempurna

petunjuknya dari nash, dan ilmu hukum ini adalah ilmu yang paling cepat hilang

dimuka bumi menurut Hadist Rasulullah”.25

Secara teoritis, masyarakat Indonesia sekalipun ia beragama Islam, umumnya

dalam melaksanakan hukum waris masih banyak dipengaruhi oleh Hukum Adat

masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari berbagai teori bagaimana berlakunya hukum

waris Islam dan hukum waris Adat yaitu dengan teori Reception In Complexu(bagi

orang Islam berlaku Hukum Islam termasuk didalamnya hukum waris) dari L. W. C.

Van Den Berg, kemudian dibantah oleh Snouck Hogronje dengan teori Receptie

menyebutkan bahwa Hukum Islam tidak secara otomatis berlaku bagi orang yang

beragama Islam, Hukum Islam berlaku apabila sudah diterima oleh hukum adat.

24Muhammad Daud Ali,Hukum Islam dan Peradilan Islam, Raja Grafindo Utama, Jakarta, 2002, Hal. 20.

(14)

Kemudian muncul lagi bantahan terhadap teori tersebut, yaitu teori Receptie Exit

yang diperkenalkan oleh Hazairin, yang menyebutkan bahwa semua peraturan

perundang-undangan yang berlaku pada zaman Hinda-Belanda yang berdasarkan

teorireceptie bertentangan dengan jiwa UUD 1945, dengan demikian teori Receptie

itu harus exit atau keluar dari tata hukum Indonesia merdeka. Setelah itu terhadap

teori tersebut dikembangkan lagi oleh Sayuti Thalib, yaitu teoriReceptio a Contrario,

yang menyebutkan hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan Hukum

Islam. Sebagai kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Receptio a Contrario

muncullah teori Eksistensi dari Ichtijanto S.A yang menerangkan adanya Hukum

Islam dan hukum Nasional Indonesia.26

Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal dan

mayoritas beragama Islam dalam pembagian warisannya juga dipengaruhi oleh sistem

pewarisan Islam, namun tidak keseluruhan sistem kewarisannya mengikuti sistem

pewarisan secara Islam, melainkan hanya pada pewarisan harta Pusako Randah

sajanya. Sedangkan terhadap harta Pusako Tinggi, masyarakat Minangkabau lebih

mengedepankan hukum adat. Hal ini dapat dilihat dalam pembagian warisan secara

hartaPusako Tinggipada masyarakat Minangkabau, yang mendapatkan bagian besar

atau pewarisnya adalah anak perempuan.

Berbeda dengan di Aceh yang menganut sistem kekerabatan parental/bilateral

dan sangat didasarkan pada Hukum Islam, karena hampir keseluruhan dari

(15)

masyarakat yang tinggal di Aceh menganut agama Islam, dimana dalam Hukum

Islam yang mendapat bagian warisan adalah anak laki-laki dan anak perempuan,

namun besar bagian yang ditentukan adalah lebih besar bagian laki laki, yaitu

laki-laki mendapat dua bagian lebih besar dari pada anak perempuan. Besarnya bagian

warisan yang diterima oleh laki-laki dalam Hukum Islam sejalan dengan hukum adat

pada masyarakat Aceh, khususnya di Kecamatan Tapaktuan.

Dari uraian diatas dapat terlihat adanya perbedaan sistem kekerabatan yang

dianut oleh masing-masing daerah, yang mana hal ini akan berpengaruh terhadap

kehidupan masyarakat apabila mereka berada disuatu daerah yang sama. Dengan

adanya perbedaan sistem kekerabatan diantara kedua masyarakat adat tersebut maka

akan menimbulkan perbedaan dalam penerapan hukum adat yang digunakan,

khususnya dalam hal hukum kewarisannya. Maka untuk mendapatkan gambaran yang

jelas mengenai pembagian waris adat ini akan diteliti lebih lanjut dan kemudian

dituangkan dalam sebuah tesis yang berjudul : “Perkembangan Hukum Waris Adat

Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di

Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau di

(16)

2. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan pada masyarakat

Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan?

3. Bagaimanakah Hambatan yang terjadi dalam Pelaksanaan Hukum Waris Adat

Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan hukum waris Adat Minangkabau di

Kecamatan Tapaktuan.

2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan pada

masyarakat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan.

3. Untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum waris

Adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut :

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menyumbang pemikiran di

bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya dalam

disiplin ilmu hukum waris adat terutama berkaitan dengan bidang warisan.

Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai

masukan untuk para praktisi hukum, notaris, masyarakat umum, akademisi tentang

(17)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara,

khususnya di Program Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya tentang “Perkembangan Hukum

Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau

Di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan”. Namun, penulis menemukan ada beberapa

tesis karya mahasiswa, yang menyangkut masalah warisan pada masyarakat Minang,

namun permasalahan dan bidang kajiannya sangat jauh berbeda, yaitu :

1. Tesis atas nama Desriati, NIM : 027011010, dengan judul penyelesaian sengketa

harta Pusako tinggi di Minangkabau.

Dengan rumusan masalah :

a. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya sengketa harta Pusako tinggi

di Kota Padang.

b. Bagaimana cara yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa harta Pusako

tinggi di Kota Padang

c. Bagaimana keberhasilan Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Kota Padang dalam

menyelesaikan sengketa harta Pusako tinggi.

d. Bagaimana upaya pemerintah Kota Padang untuk memaksimalkan fungsi

KAN dalam menyelesaikan sengketa.

2. Tesis atas nama Kikky Febriasi, NIM : 127011123, dengan judul Perkembangan

Syarat Menggadai Tanah Harta Pusako tinggi dalam Masyarakat Adat

(18)

Dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana pelaksanaan gadai tanah harta Pusako tinggi di Kabupaten Agam

Nagari Kamang Mudiak?

b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan dilakukannya gadai atas tanah harta

Pusako tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?

c. Bagaimana dampak dari adanya perkembangan syarat adat menggadai tanah

harta Pusako tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?

3. Tesis atas nama Cahaya Masita Nasution, NIM :047011007, dengan judul

Pelaksanaan Pembagian Warisan pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi

Kasus di Kabupaten Agam).

Dengan rumusan masalah:

a. Bagaimanakah Penerapan Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam pada

Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam?

b. Bagaimanakah Peranan Mamak Kepala Waris dalam pembagian harta warisan

pada masyarakat adat Minangkabau di Kabupaten Agam?

c. Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa harta warisan yang terjadi pada

masyarakat Minangkabau di Kabupaten Agam?

4. Tesis atas nama Yunasril, NIM : 017011067, dengan judul Sengketa Warisan dan

Upaya Penyelesaiannya Pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi Kasus di

Kabupaten Solok)

Dengan rumusan masalah:

(19)

b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya sengketa waris dalam

masyarakat adat di Kabupaten Solok?

c. Kaidah hukum apa yang di pakai untuk penyelesaian sengketa warisan pada

masyarakat adat di Kabupaten Solok?

Dari penelusuran kepustakaan tersebut diatas, ternyata bahwa kelompok

bahasan dari permasalahan yang diajukan, lain dari penelitian tesis yang pernah

dilakukan, sehingga dengan demikian, maka penelitian ini adalah asli, serta dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau

proses tertentu terjadi, suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta–

fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.27 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta

menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk

memberikan gambaran yang sistematis mengenai masalah yang diteliti. Teori

diartikan sebagai suatu sistem yang beriskan proporsi–proporsi yang telah di uji

kebenarannya, berpedoman kepada teori maka akan dapat menjelaskan aneka macam

gejala sosial yang dihadapi, walau hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan

terhadap masalah yang dihadapi, suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan

(20)

pada efektifitas penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman

tertentu.28

Sebagai tolak ukur menganalisis permasalahan yang akan diteliti karena suatu

teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal

sebagai berikut :

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan

fakta yang hendak diteliti atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan konsep-konsep

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang meyangkut objek yang telah diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan prediksi fakta mendatang, oleh karena telah

diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor

tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk–petunjuk terhadap kekurangan pada pengetahuan

penelitian.29

Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir butir,

pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan

pegangan teoritis, yang mungkin disetujuinya.30

Sehubungan dengan pembahasan diatas, maka penelitian ini perlu mempunyai

landasan fikir, yaitu berupa teori-teori hukum yang akan digunakan adalah sebagai

28Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1991, Hal.6

(21)

berikut : Teori ‘Urf (Adat yang sesuai dengan ajaran Islam) dan Teori Perubahan

Hukum.

a. TeoriUrf’(Adat yang sesuai dengan ajaran Islam)

Secara terminologi, kata urf’ ini didefinisikan dengan kebiasaan mayoritas

ummat dalam penilaian satu perkataan atau perbuatan.Urf’ ini merupakan salah satu

dalil dalam menetapkan hukum syarak.31 Adat kebiasaan seperti juga halnya dengan aspek-aspek kemasyarakatan lainnya, adalah berbeda-beda sesuai keadaan tempat dan

waktu. Pada setiap waktu, ia mengambil watak dan sifat yang khusus yang berbeda

dari pada adat kebiasaan lainya.32

Dengan kata lain, ada dua macam adat kebiasaan, pertama yang bersifat

umum, yaitu kebiasaan yang dianut oleh seluruh rakyat dari suatu bangsa mengenai

perbuatan-perbuatan yang termasuk mu’amalah. Kedua yang bersifat khusus, yaitu

yang dianut oleh sebagian daerah saja dari suatu negara. Akan tetapi keduanya ini

tetap dianggap sebagai ketentuan hukum yang mengikat.33

Adat kebiasaan pada permulaan perkembangan umat manusia menjadi asas

bagi semua aspek-aspek kemasyarakatan, maka dengan sendirinya merupakan asas

pula dalam masalah-masalah agama, akhlak, dan mu’amalat. Barulah kemudian

peranannya secara berangsur-angsur menjadi berkurang, yaitu setelah lahirnya

pengadilan-pengadilan dan lembaga-lembaga kenegaraan dan adanya penyusunan

31Zamakhsyari,Teori- teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2013, Hal. 117

32Sayuthi Thalib,Receptio A Contrario, Bina Aksara, Jakarta, Hal. 119

(22)

hukum perundang-undangan. Sehingga pada saat sekarang ini lingkup pengaruh adat

semakin kecil lagi.34

Menurut Imam Al-Qarafi, Ahli Fikih Mazhab Maliki, seorang mujtahid dalam

menetapkan suatu hukum harus terlebih dalulu meneliti kebiasaan yang berlaku

dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan

atau menghilangkan kemaslahatan masyarakat tersebut.35

Salah satu bukti sahih intergrasi Hukum Islam dengan hukum adat yang

terbentuk di dunia Islam adalah ungkapan yang menjadi dasar filsafat adat

masyarakat Minangkabau, sebagai hasil dari pertauatan adat dan agama Islam. “Adat

Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Adat berarti kebiasaan atau tradisi

masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun. Kata adat disini

lazim dipakai tanpa membedakan mana yang mempunyai sanksi, seperti hukum adat,

dan mana yang tidak memliki sanksi, seperti disebut adat saja. Basandi artinya

“bersendikan atau menjadi dasar dari sesuatu itu menjadi kokoh”. Syarak berarti

Agama Islam. Kitabullah berarti “Al-Qur’an dan sekaligus Sunnah Rasulullah S.A.W

sebagai penjelasan dari Al-Qur’an. Dengan demikian Adat Basandi Syarak, Syarak

Basandi Kitabullah,berarti adat Minangkabau bersendikan syari’at Islam dan syari’at

Islam bersendikan Kitabullah.36

34M. Idris Ramulyo,Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama Dan Hukum

(23)

b. Teori Perubahan Hukum

Syariat adalah hukum yang berasal dari Tuhan, baik mengenai sumbernya

maupun dasar-dasarnya. Karena memahami Syariat adalah Fikih. Syariat tidak akan

berubah, sedangkan Fikih terus berubah dengan perubahan keadaan tempat, waktu

dan kepentingan. Hukum yang berkaitan dengan kemasyarakatan berlangsung dengan

tiada hentinya sesuai dengan kemaslahatan manusia kerena perubahan gejala-gejala

kemasyarakatan. Dan oleh karena kemaslahatan manusia itu menjadi dasar setiap

macam hukum, maka sudah menjadi kelaziman yang masuk akal apabila terjadi

perubahan hukum disebabkan karena berubahnya zaman dan keadaan serta pengaruh

dari gejala-gejala kemasyarakatan itu.

Kaidah ini menetapkan, bahwa yang dimaksud dengan kemaslahatan yang

terkandung didalamnya, ialah kemaslahatan menurut pandangan Syariat dan Fikih

Islam. Dan oleh karena apa yang disebut kemaslahatan itu menjadi alasan dan asas

hukum, maka seharusnya pengertian ini diikuti dengan kaidah lain, yaitu bahwa jika

alasan itu sudah tiada lagi ataupun sudah berubah, maka hukum yang berdasarkan

atas alasan dan asas tersebut harus ditinggalkan ataupun harus dirubah.37 Hukum bergantung kepada kemaslahatan, dimana ada kemaslahatan disitu ada hukum, yang

mana kemaslahatan umum lebih diutamakan dari pada kemaslahatan pribadi atau

kelompok.38

37Ibid, Hal. 161

(24)

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah pemahaman yang terbangun dalam akal dan pikiran peneliti

untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep di

artikan sebagai suatu kata yang menyatukan abstrak yang digeneralisasikan dari hal–

hal yang khusus yang disebut definisi operasional. Oleh karena itu untuk menjawab

permasalahan haruslah didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional

diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.

Konsep merupakan alat yang digunakan oleh hukum disamping yang lainnya, seperti

asas dan standar. Oleh sebab itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan

salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum.39

Agar tidak terjadi kesalahfahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan

dalam tesis ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai,

yaitu sebagai berikut:

a. Hukum waris adat adalah waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur

proses meneruskan serta mengoperkan barang harta benda dan

barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterele goerderen) dari suatu

angkatan manusia (generalite) kepada turunannya.40

b. Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf

(a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi

39Sumardi Surya Brata, Metodelogi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Hal. 4

(25)

ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan baru dapat

berlaku jika pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga

beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat Islam

merupakan Ibadah.

c. Pembagian Warisan adalah saat dilakukannya pembagian harta warisan

peninggalan pewaris yang dilakukan oleh ahli waris.

d. Masyarakat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan adalah orang atau

sekelompok orang yang telah merantau dari Minangkabau dan tinggal

menetap di Tapaktuan lebih dari 20 tahun lamanya.41

e. Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang

diciptakan oleh leluhurnya yaitu, Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuak

Katumanggung. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia

dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada

ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan alam

lingkungannya.42

f. Adat Aceh adalah budaya yang dijalani oleh masyarakat yang adat istiadatnya

sangat berkaitan dengan Islam. Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat Aceh tidak bertentangan dengan ajaran Islam.43

41

Wawancara dengan Bapak Atiak, orang yang dituakan oleh masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal 28- Agustus-2015, di Tapaktuan

42Idrus Hamkimy DT. Rajo Penghulu,Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, Hal. 13

43

(26)

g. Tapaktuan adalah sebuah Kecamatan yang berada di bagian pantai Selatan

Provinsi Aceh yang merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Selatan. Tapaktuan

atau yang juga sering disebut Kota Naga merupakan kota yang dihuni oleh 2

(dua) suku, yaitu Suku Aceh dan Suku Aneuk Jamee.

G. Metode Penelitian

Penelitian hukum atau suatu kegiatan ilmiah didasarkan pada metode,

sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

segala hukum dengan jalan menganalisanya.44 Metodelogi yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis, berdasarkan suatu sistem dan

konsisten berarti tidak bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.45 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian

hukum Empiris, yaitu suatu penelitian hukum yang mempergunakan data primer yaitu

data yang didapat langsung melalui penelitian lapangan dengan melihat sesuatu

berdasarkan kenyataan hukum didalam masyarakat, melihat aspek-aspek hukum

dalam interaksi sosial didalam masyarakat yang berfungsi sebagai sumber utama

untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan

penelitian atau penulisan hukum.46 Penelitian empiris atau sosiologis yang dibutuhkan untuk mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika

44Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Persada, Jakarta, 2001, Hal. 42

45Roni Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1988, Hal. 105

(27)

sistem norma tersebut bekerja didalam masyarakat.47Yang berupa penerapan kaedah-kaedah Hukum Islam yang terkait terhadap perilaku masyarakat dalam melakukan

pembagian warisan pada masyarakat Minangkabau di Aceh.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini meliputi :

a. Data Primer, data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui

wawancara, observasi (baik partisipasi maupun non partisipasi),

laporan-laporan yang kemudian diolah dimasukkan dalam kategori data sekunder.

Adapun yang akan diwawancarai adalah sebagai berikut :

1. Responden

Yang menjadi sumber dalam penelitian ini adalah masyarakat adat

Minangkabau yang tinggal dan telah menetap di Kecamatan Tapaktuan.

Adapun penarikan sampel dilakukan dengan menentukan jumlah sampel

penelitian sebanyak 30 (tiga puluh) keluarga masyarakat adat

Minangkabau yang telah melakukan pembagian warisan di Kecamatan

Tapaktuan, dengan menggunakan metode Purposive Sampling atau

ditentukan sendiri oleh peneliti dari keseluruhan populasi masyarakat adat

Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan yang diperkirakan dapat

mewakili.

(28)

2. Informan

Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari

nara sumber yaitu orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan

objek penelitian yang terdiri dari :

1. Ketua Ikatan Masyarakat Minangkabau Indonesia (IKAMI)

2. Keuchik Kelurahan Pasar, Tapaktuan

3. Imuem Mesjid Tuo, Kelurahan Padang, Tapaktuan

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,

buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian dalam bentuk laporan,

skripsi, tesis, disertasi, dan Peraturan Perundang-Undangan. Data sekunder

tersebut dapat dibagi menjadi:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer ialah salah satu sumber hukum yang penting bagi

sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan

hukum primer meliputi bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat bagi landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian.

Bahan hukum yang difokuskan oleh peneliti adalah peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum keluarga, hukum waris adat dan

hukum waris Islam.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan

(29)

penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum,

jurnal-jurnal, serta bahan dokumen hukum lain yang terkait.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan

petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus hukum, ensiklopedi, kamus bahasa, artikel, sumber data

elektronik dari internet dan lain-lain yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka

penulis menggunakan 2 (dua) metode, yakni :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu pengumpulan data sekunder dalam penelitian tesis ini berupa

hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum,

jurnal-jurnal, dan dokumen yang berkaitan dengan objek yang diteliti yang

berkaitan dengan bidang keperdataan khususnya hukum keluarga, hukum

waris adat dan hukum waris Islam.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu pengumpulan data primer yang di peroleh langsung dari informan

dan responden dengan cara menggunakan kuisioner terbuka. Dan untuk

melengkapi data-data yang butuh juga dilakukan wawancara. Daftar kuisioner

(30)

telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang diperlukan dalam

penelitian ini.

4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan. Dengan

pertimbangan bahwa 30% jumlah populasi masyarakat di Kecamatan Tapaktuan

adalah masyarakat Minangkabau asli yang telah menetap di Kecamatan Tapaktuan.48

5. Analisis Data

Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam

rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang di teliti.49 Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan

satuan urutan dasar.50 Dalam penelitian ini analisis data di lakukan pedekatan kulitatif. Pendekatan kualitatif adalah merupakan prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang

dan perilaku yang di amati.51

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer

yang diperoleh dari penelitian lapangan dalam bentuk wawancara kemudian

dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis. Data yang

terkumpul dipilah-pilah dan diolah, serta disusun secara berurutan dan sistematis

48Wawancara dengan Bapak Muslidin, Staf kantor Badan Pusat Statistik Aceh Selatan, tanggal 22-Agustus-2015 di Tapaktuan

49Heru Irianto dan Burhan Bungin, Pokok-pokok Penting Tentang Wawancara dalam

Metodologi Penelitian Kualitatif,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hal. 143.

(31)

untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis

sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang

terdapat dalam perkembangan hukum waris masyarakat Minangkabau yang berada di

Tapaktuan. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh dari penelitian di SMA Laboratorium Percontohan UPI yaitu (1) pelaksanaaan peningkatan perilaku disiplin belajar siswa dalam pembelajaran PKn

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai bahasa Madura lisan dan tulis, reseptif Menilai penggunaan bahasa Madura pada Tingkat keilmuan yang mendukung mata

perkuliahan Kendali Terprogram ini mahasiswa diharapkan mampu memahami, merencana, dan mengaplikasikan dasar-dasar pengendalian secara terprogram. Dengan demikian

Pegawai Pada Hotel Alamanda Klaten Dengan Menggunakan Metode Weighted Product (WP)”, Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer Amikom

hanya dalam rapat desa pendamping desa selalu berperan untuk menghadiri rapat.

Untuk menguji hipotesis yang diaju- kan dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data kuantitatif dengan menguna- kan metode analisis regresi berganda tiga prediktor

Adapun kegiatan yang dilakukan oleh UNIFEM diantaranya adalah; meningkatkan perlindungan perempuan dan anak- anak pada wilayah yang terkena dampak paling parah

Pada email gigi terdapat akumulasi ikatan kimia antara tanin dengan protein sehingga mengakibatkan ketika dilakukan pengukuran kekerasan email gigi, akumulasi tersebut