• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan dan Intervensi Masyarakat doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan dan Intervensi Masyarakat doc"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN DAN INTERVENSI SOSIAL

Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia), Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Di dalam UU Nomor 2 tahun 1989 secara jelas disebutkan Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu "Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantab dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Intervensi Sosial

(2)

Intervensi sosial dapat diartikan sebagai cara atau strategi memberikan bantuan kepada masyarakat (individu, kelompok, komunitas). Intervensi sosial merupakan metode yang digunakan dalam praktek di lapangan pada bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Intervensi sosial adalah upaya perubahan terencana terhadap individu, kelompok, maupun komunitas. Dikatakan 'perubahan terencana' agar upaya bantuan yang diberikan dapat dievaluasi dan diukur keberhasilannya. Intervensi sosial dapat pula diartikan sebagai suatu upaya untuk memperbaiki keberfungsian sosial dari kelompok sasaran perubahan, dalam hal ini, individu, keluarga, dan kelompok. Keberfungsian sosial menunjuk pada kondisi di mana seseorang dapat berperan sebagaimana seharusnya sesuai dengan harapan lingkungan dan peran yang dimilikinya (http://id.wikipedia.org/wiki/Intervensi_sosial).

Salah satu pengertian dari intervensi sosial adalah suatu upaya untuk meningkatkan, mempertahankan serta mengaktualisasikan kemampuan berfungsi sosial sistem manusia (individu, kelompok, dan masyarakat).

Dalam kehidupan manusia, pada suatu ketika seseorang pernah mengalami sebuah gangguan keberfungsion sosial karena:

 Ia mengalami gangguan kesehatan, kedukaan yang berat, penderitaan lain sebagai akibat bencana alam, dan sebagainya.

 Ada kebutuhannya yang tidak dapat dipenuhi, misalnya tidak memperoleh kasih sayang yang memadai dari orang tuanya, tidak dapat memperoleh makanan yang cukup bergizi karena kemiskinan orangtuanya, tidak memperoleh pekerjaan karena mengalami kelumpuhan akibat dari polio, dan sebagainya.

 Banyak frustrasi dan kekecewaan yang dialami dalam kehidupannya yang tidak pernah diatasi, dan tidak memperoleh cukup pengalaman untuk mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri terhadap berbagai situasi lingkungannya.

Seseorang, atau keluarga, atau kelompok atau masyarakat yang mengalami gangguan keberfungsian sosial tersebut perlu dibantu dengan melakukan intervensi, yaitu yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan pada mereka yang mengalami gangguan tersebut, atau juga pada situasi yang menimbulkan gangguan. Intervensi semacam ini bertujuan:

 Memulihkan keberfungsian sosial klien, atau mereka yang dibantu;  Mengatasi dan mencegah timbulnya masalah;

(3)

Intervensi dapat dikategorikan menurut pendekatan mikro (pelayanan atau bantuan langsung berdasarkan penanganan kasus demi kasus); mezzo (pelayanan atau bantuan bagi keluarga dan kelompok kecil) dan makro (mengupayakan perbaikan dan perubahan tata kehidupan masyarakat). Penerapan pendekatan yang beragam tersebut bergantung pada sasaran intervensi yang dituju.

Menurut Pincus dan Minahan (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Intervensi_sosial), intervensi sosial meliputi tahapan sebagai berikut :

1. Penggalian Masalah, merupakan tahap di mana pekerja sosial mendalami situasi dan masalah klien atau sasaran perubahan. Tujuan dari tahap penggalian masalah adalah membantu pekerja sosial dalam memahami, mengidentifikasi, dan menganalisis faktor-faktor relevan terkait situasi dan masalah yang bersangkutan. Berdasarkan hasil penggalian masalah tersebut, pekerja sosial dapat memutuskan masalah apa yang akan ia selesaikan, tujuan dari upaya perubahan, dan cara mencapai tujuan. Penggalian masalah terdiri dari beberapa konten, di antaranya :

- Identifikasi dan penentuan masalah

- Analisis dinamika situasi sosial

- Menentukan tujuan dan target

- Menentukan tugas dan strategi

- Stabilisasi upaya perubahan

2. Pengumpulan Data, merupakan tahap di mana pekerja sosial mengumpulkan informasi yang dibutuhkan terkait masalah yang akan diselesaikan. Dalam melakukan pengumpulan data, terdapat tiga cara yang dapat digunakan, yaitu: pertanyaan, observasi, dan penggunaan data tertulis.

3. Melakukan Kontak Awal

4. Negosiasi Kontrak, merupakan tahap di mana pekerja sosial menyempurnakan tujuan melalui kontrak pelibatan klien atau sasaran perubahan dalam upaya perubahan.

(4)

6. Menjaga dan Mengkoordinasikan Sistem Aksi, merupakan tahap di mana pekerja sosial melibatkan pihak-pihak yang berpengaruh terhadap tercapainya tujuan perubahan.

7. Memberikan Pengaruh

8. Terminasi, tahap akhir antara pekerja sosial dan klien

Pendidikan dan Intervensi Sosial

Pendidikan merupakan sebuah intervensi sosial demi tujuan tertentu yang ingin diraih. Setiap keputusan intervensif dalam bidang pendidikan mesti memperhatikan dan mempertimbangkan dampak-dampak atas intervensi tersebut dalam konteks yang lebih luas. Membuat suatu program bagi intervensi pendidikan, namun tidak mau mempertimbangkan dampak-dampaknya merupakan perilaku atau keputusan yang tidak bertanggung jawab dan tidak bijaksana.

Sistem evaluasi bagi peserta didik di satuan pendidikan dasar dan menengah berubah-ubah dari satu waktu ke waktu berikutnya. Dari tahun 1956 sampai dengan 1971, yang digunakan adalah sistem ujian negara. Fungsi ujian ini antara lain memilih dan memilah diantara peserta didik di satu pihak berhasil menyaring peserta didik untuk dapat mengikuti jenjang pendidikan selanjutnya, tetapi di lain pihak mengabaikan mayoritas peserta didik yang secara akademik kurang berpotensi. Praktik semacam ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip pendidikan demokrasi dan memperkuat pendidikan yang elitis dan aristokratik. Sejak tahun 1971, diperkenalkan model lain yang dikenal sebagai ujian sekolah. Selanjutnya dilaksanakan Kurikulum 1975.

Mengubah ujian negara menjadi ujian sekolah dimaksudkan untuk memungkinkan guru membantu setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya. Namun karena praktik pendidikan di kelas tidak berubah, eksesnya adalah sekolah pada umumnya cenderung meluluskan semua peserta didik, sehingga fungsi lembaga pendidikan, baik sebagai pengembang potensi peserta didik maupun sebagai pengarah perkembangan kemampuan peserta didik, tidak dapat dijalankan. Peserta didik menjadi terbiasa dengan “semua bisa diatur” dan “tidak ada aturan yang secara konsisten dipegang sebagai the rule of game.”

(5)

Model pelaksanaan ujian sekolah itu akan diteruskan dengan program Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP). Proyek ini pada 1981 telah dinilai lewat proses evaluasi yang komprehensif dan disimpulkan sebagai efisien, efektif, dan relevan. Sistem PSPP menganut model belajar tuntas, belajar mandiri, yang dilengkapi dengan “self learning material” berbentuk modul. Penilaian dilakukan secara terus menerus, komprehensif, dan maju berkelanjutan (continous progress). Tetapi karena dinilai terlalu mahal, pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan IV Noegroho Notosusanto, penyebaran (diseminasi) sistem kurikulum PSPP ini dihentikan. Kemudian lahirlah Kurikulum 1984. Dengan kurikulum ini, model evaluasi peserta didik diubah menjadi sistem ujian dengan istilah Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas).

Berbeda dengan ujian negara yang menentukan kelulusan seseorang guna melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, nilai Ebtanas yang diselenggarakan secara nasional digabungkan dengan nilai dari sekolah untuk memperoleh tanda tamat belajar. Karena itu, setiap lulusan memiliki 2 surat keterangan, yaitu Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dan Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang menggambarkan hasil ujian. Namun, akhirnya Ebtanas hanya dijadikan informasi tentang itngkat penguasaan pelajaran para peserta didik. Sayangnya, informasi yang berharga ini kurang digunakan untuk melakukan diagnosis untuk terus menerus menyempurnaka program pembelajaran di sekolah-sekolah. Pada era Kabinet Pembangunan V (1988-1993), satu undang-undang yang sangat penting, yaitu UU No. 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan telah berhasil disahkan.

Dengan berlakunya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Menteri Pendidikan Nasional Kabinet Gotong Royong Malik Fadjar meniadakan Ebtanas. Hal ini mengikuti ketentuan Pasal 61 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi, “Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.” Kemudian, Pasal 58 ayat (1) yang berbunyi,”Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.”

(6)

hanya meliputi 3 matapelajaran pokok, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, dan ketiganya menentukan kelulusan peserta didik.

Penilaian hasil pendidikan dalam lingkup nasional melalui UN dalam batas-batas tertentu masih bisa dipakai sejauh diterapkan dalam kerangka evaluasi dan perbaikan secara struktural, bukan dalam kerangka evaluasi kinerja individu. Sebagai evaluasi struktural, lewat UN dapat dipetakan kelemahan umum lembaga-lembaga pendidikan tertentu sehingga langkah kuratif dapat dilakukan untuk memperbaikinya. Sementara, kinerja individu hanya bisa dinilai oleh para pendidik yang menerimanya dari hari ke hari dalam proses belajar mengajar di sekolah.

Banyaknya kritik yang muncul sehubungan pelaksanaan UN tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan begitu saja ujian ini. Sebab, sebagai sebuah proses penilaian, UN dapat memberikan pemetaan kualitas pendidikan antardaerah yang satu dengan yang lain sehingga hasil nyata ujian ini pemerintah dapat responsif menambal kekurangan pendidikan melalui program-program penganyaan pendidikan yang dibuat.

Dari serangkaian perubahan yang telah terjadi seperti perubahan undang-undang, perubahan kurikulum, dan perubahan sistem ujian akhir, tampaknya belum ada yang bermakna bagi dapat berperannya sekolah sebagai tempat pembudayaan. Walaupun patut diakui bahwa berbagai upaya pembaruan yang terjadi dari 1969-1981 diarahkan kepada terwujudnya sekolah sebagai pusat pembudayaan, karena pertimbangan kecilnya dana yang tersedia, maka upaya tersebut berhenti dan menjadi catatan sejarah. Setelah reformasi, pelaksanaan ujian selalu memperoleh perhatian, kritik, dan wacana dari yang bersifat analisis akademik hingga tuntutan keras: menghapus UN. Perubahan zaman, semakin meleknya tingkat informasi masyarakat, maka masa ujian kemudian menjadi masa “genting” baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Kita berharap, jangan sampai sistem ujian apapun merugikan peserta didik dan yang terutama menghilangkan fungsi sekolah sebagai pusat pembudayaan.

Bahan Bacaan

http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan

http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_Pendidikan

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan Kreativitas melalui Pendekatan Tematik dalam Pembelajaran Seni Grafis Cetak Tinggi Bahan Alam di SD Sistem pendidikan Sekolah Dasar, sebagaimana diungkapkan

Pada sistem yang ditawarkan ini peneliti mengajukan sistem yang ditawarkan untuk BAZNAS Musi Rawas dimana sistem yang dtawarkan ini adalah humas desa mengajukan

Kurangnya penyampaian informasi dalam lingkup sekolah merupakan permasalahan yang ada di SMA Virgo Fidelis Bawen. Penyampaian informasi dari sekolah kepada murid,

Pengaturan departemen-departemen dalam sebuah pabrik dimana fasilitas- fasilitas produksi akan diletakkan dalam masing-masing departemen sesuai dengan pengelompokannya

Pindahkan membran dengan pinset ke plastik tebal yang bersih kemudian tambahkan 4 mL antibodi primer tepat di bagian atas membran yang diduga terdapat protein

Agenda Clustering Requirement untuk clustering Tipe data dalam cluster analysis Interval-scale variable Binary variable Nominal variable Ordinal variable Ratio-scaled

Hasil penelitian faktor usia, pendidikan, pendapatan, paritas dan pengetahuan yang menjadi variabel bebas menjadi daya dukung mempengaruhi partisipasi suami dalam

Analisis sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan arah aksial batang berpengaruh tidak nyata terhadap nilai keteguhan tekan sejajar serat (TSS) kayu pinus.. Hal ini