MATEMATIS MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE TEAM GAMES TOURNAMENT (TGT)
DAN MODEL PEMBELAJARAN CERAMAH
(KONVENSIONAL) DITINJAU DARI KEAKTIFAN SISWA
KELAS VIII SMPN 4 MERANGIN TAHUN PELAJARAN
2015/2016
Dosen Pengampu : Hayatul Mughiroh, S.Pd.I M.Pd
Tri Ramadhani
NPM : 13020411056
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MATEMATIS MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE TEAM GAMES TOURNAMENT (TGT)
DAN MODEL PEMBELAJARAN CERAMAH
(KONVENSIONAL) DITINJAU DARI KEAKTIFAN SISWA
KELAS VIII SMPN 4 MERANGIN TAHUN PELAJARAN
2015/2016
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan UAS Mata Kuliah
Metode Penelitian Dalam Ilmu Pendidikan Matematika
Tri Ramadhani NPM : 13020411056
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
YAYASAN PENDIDIKAN MERANGIN TAHUN 2015/2016
dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal dengan baik.
Shalawat dan salam penulis sanjungkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa Risalah Islam sehingga dapat menjadi bekal hidup berupa ilmu pengetahuan kita baik di dunia maupun di akhirat.
Alhamdulillahirobbil’alamin akhirnya penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM GAMES TOURNAMENT (TGT) DAN MODEL PEMBELAJARAN CERAMAH (KONVENSIONAL) DITINJAU DARI KEAKTIFAN SISWA KELAS VIII SMPN 4 MERANGIN TAHUN PELAJARAN 2015/2016”.
Penyusunan proposal tidak terlepas dari dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya terutama kepada :
1. Ade Susanti, M.Pd selaku ketua program studi Pendidikan Matematika STKIP YPM BANGKO.
2. Hayatul Mughiroh, S.Pd.I M.Pd selaku dosen pembimbing akademik. 3. Hayatul Mughiroh, S.Pd.I M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah
metode penelitian.
4. Orang tuaku, saudara-saudaraku yang serta keluarga besarku yang telah yang telah memberi motivasi dalam menyelesaikan proposal ini.
Harapan dan do’a penulis semoga amal dan jasa dari semua pihak yang telah mereka berikan kepada penulis menjadi catatan amal kebaikan disisi Allah AWT. Penulis menyadari bahwa proposal ini belum mencapai makna kesempurnaan yang sebenarnya, akan tetapi penulis berharap proposal dapat memberikan
Bangko, Januari 2016
Penulis
DAFTAR ISI... iv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi Masalah... 5
C. Pembatasan Masalah... 5
D. Rumusan Masalah... 6
E. Tujuan Penelitian... 6
F. Manfaat Penelitian... 6
BAB II : KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori ... 9
B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 26
C. Kerangka Berfikir ... 27
D. Hipotesis ... 28
BAB III : METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian ... 30
B. Populasi dan Sampel ... 33
C. Teknik Pengumpulan Data ... 37
D. Instrumen Penelitian ... 39
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi kehidupan manusia.
Dalam rangka melaksanakan pendidikan tersebut bangsa Indonesia melakukan
usaha untuk mencapai tujuan nasional yang tercantum dalam alinea ke IV
Pembukaan UUD 1945.
Menurut Priyono (dalam Kunandar, 2007:1) kualitas pendidikan Indonesia
dianggap oleh banyak kalangan masih rendah karena yang dipelajari di lembaga
pendidikan sering kali hanya terpaku pada teori, sehingga siswa kurang inovatif
dan kreatif. Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan satuan
pendidikan dalam mengelola proses pembelajaran dengan cara menerapkan
strategi pembelajaran yang efektif, efisien dan menyenangkan guna mencapai
tujuan pembelajaran yang diinginkan.
Dalam dunia pendidikan, salah satu yang menunjang ketersediaan sumber
daya manusia yang berkualitas adalah Matematika. Mata pelajaran matematika
yang diberikan disekolah memberikan sumbangan penting bagi siswa dalam
pengembangan kemampuan yang sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
Kemampuan berpikir matematika khususnya berpikir matematika tingkat
tinggi sangat diperlukan siswa, terkait dengan kebutuhan siswa untuk
memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari
Pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai
oleh siswa. Bahkan tercermin dalam konsep kurikulum berbasis kompetensi.
Tuntutan akan kemampuan pemecahan masalah dipertegas secara eksplisit dalam
kurikulum tersebut yaitu, sebagai kompetensi dasar yang harus dikembangkan dan
diintegrasikan pada sejumlah materi yang sesuai.
Pentingnya kemampuan pemecahan masalah oleh siswa dalam matematika
ditegaskan juga oleh Branca (1980):
1. Kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum
pengajaran matematika.
2. Penyelesaian masalah yang meliputi metode, prosedur, dan strategi
merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika.
3. Penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar
matematika.
Pandangan bahwa kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan
umum pengajaran matematika, mengandung pengertian bahwa matematika dapat
membantu dalam memecahkan persoalan baik dalam pelajaran maupun dalam
kehidupan sehari-hari.oleh karenanya kemampuan pemecahan masalah ini
menjadi tujuan umum pembelajaran matematika.
Berdasarkan hasil observasi dengan salah seorang guru mata pelajaran
matematika kelas VIII di SMPN 4 Merangin, diperoleh beberapa permasalahan
terkait dengan pembelajaran matematika di kelas VIII, yaitu sebagai berikut:
Metode ajar yang digunakan oleh guru kurang menarik perhatian siswa dalam
demonstrasi dalam menyampaikan materi dari awal sampai akhir jam pelajaran
dan siswa jarang diarahkan untuk menemukan sendiri konsep dari materi yang
dipelajari sehingga menyebabkan sebagian siswa cepat merasa bosan dan tidak
fokus terhadap materi yang dijelaskan, sehingga menyebabkan kemampuan
menyelesaikan masalah matematis, daya serap, dan ketuntasan belajar siswa
menjadi rendah dan belum optimalnya hasil belajar siswakelas VIII SMPN 4
Merangin.
Strategi pembelajaran yang digunakan adalah strategi pembelajaran yang
melibatkan peran aktif peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Salah satu
pembelajaran yang melibatkan peran aktif peserta didik adalah pembelajaran
kooperatif. Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa peserta didik
akan lebih menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling
berdiskusi dengan temannya. Peserta didik secara rutin bekerja dalam kelompok
untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks.
Strategi belajar mengajar yang digunakan oleh guru sangat mempengaruhi
hasil dari tujuan yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilaksanakan.
Terdapat empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi
mengidentifikasi peserta didik, memilih pendekatan belajar mengajar, memilih
dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar, dan menetapkan
norma-norma dan batas minimal keberhasilan.
Strategi dalam belajar mengajar diartikan sebagai pola-pola umum
untuk mencapai tujuan yang digariskan. Strategi-strategi belajar mengacu pada
perilaku dan proses-proses berpikir yang digunakan oleh siswa dalam
mempengaruhi hal-hal yang dipelajari, termasuk proses memori dan metakognitif.
Strategi-strategi belajar adalah operator-operator kognitif meliputi proses-proses
yang secara langsung terlibat dalam menyelesaikan suatu tugas belajar.
Mengingat pentingnya variasi pembelajaran di kelas yang akan
berimplikasi dengan keaktifan belajar peserta didik, maka penulis tertarik untuk
meneliti lebih lanjut tentang salah satu model pembelajaran kooperatif yaitu
pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament). Model
pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan model pembelajaran kooperatif
yang mengandung unsur kerjasama antar peserta didik dalam kelompok, tanggung
jawab kelompok dalam pembelajaran individu dan penambahan skor dilakuakan
setelah kuis, dan antar kelompok dipertandingkan dalam permainan yang edukatif.
Jadi, setiap anggota harus memahami materi lebih dulu sebelum mengikuti kuis
dan game. Model pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan keaktifan
belajar peserta didik dalam mempelajari matematika sehingga peserta didik dapat
mengoptimalkan kemampuannya dalam pemecahan masalah secara
bersama-sama, menyerap informasi ilmiah dan dapat memotivasi peserta didik agar
berperan aktif dalam pembelajaran di kelas serta dapat meningkatkan hasil belajar
dan melatih kemampuan peserta didik dalam bekerjasama sekaligus menjelaskan
kepada teman sekelompok yang tidak paham. Dengan demikian peserta didik
tidak akan merasa bosan dan memperoleh manfaat yang maksimal dari segi
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengambil judul penelitian
“Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Teams Games Tournament) dan Model Pembelajaran Ceramah (Konvensional) Ditinjau Dari Keaktifan Siswa Kelas VIII SMPN 4 Merangin Tahun Ajaran 2015/2016”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasakan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Peserta didik kurang termotivasi dalam belajar.
2. Belum adanya reinforcement ( penguatan) dari garu untuk peserta didik.
3. Pesera didik mangalami kesulitan dalam memahami pelajaran matematika.
C. Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan yang dimiliki penelti, maka penelitian ini hanya
dibatasi dalam:
1. Peserta didik yang menjadi penelitian adalah peserta didik kelas VIII
SMPN 4 Merangin.
2. Tentang pembelajaran Matematika.
D. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa kelas
Kooperatif Tipe TGT (Teams Games Tournament) dan Model
Pembelajaran Ceramah (Konvensional) Ditinjau Dari Keaktifan Siswa?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendiskripsikan adakah Perbedaan Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Team Games Tournament (TGT) Dan Model Pembelajaran Ceramah
(Konvensional) Ditinjau Dari Keaktifan Siswa Kelas VIII SMPN 4
Merangin Tahun Pelajaran 2015/2016”.
F. Kegunaan penelitian
Ada beberapa kegunaan atau manfaat dalam penelitian ini di antaranya:
1. Kegunaan Teoritis
Sebagai landasan teoritis untuk mengembangkan pembelajaran
inovatif yang aktif, efektif dan menyenangkan sesuai dengan
paradigma konstruktivisme dan relevan dengan Kurikulum khususnya
dalam bidang studi matematika.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi peserta didik
o Dengan adanya turnamen dalam pembelajaran, maka peserta didik
akan lebih aktif dalam belajar.
o Membangun kerja sama antar peserta didik melalui model
pembelajaran kooperatif tipe TGT.
o Dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas VIII SMP 4
Merangin
o Memberikan variasi kepada guru dalam memilih model
pembelajaran kooperatif tipe TGT untuk peserta didik.
o Sebagai alternatif untuk meningkatkan keterampilan yang
bervariasi bagi guru sehingga dapat memperbaiki sistem
pembelajaran.
c. Bagi sekolah
o Sebagai bahan acuan penelitian.
o Sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya peningkatan hasil
belajar peserta didik.
o Memberikan masukan bagi sekolah untuk melakukan perbaikan
terhadap pembelajaran matematika pada khususnya dan mata
pelajaran lain pada umumnya.
4. Bagi peneliti
o Memberikan pengalaman mengajar secara langsung.
o Memberikan wawasan yang luas mengenai kondisi real dalam
proses pembelajaran, sehingga nantinya dapat menjadi tenaga
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
1. Pembelajaran Matematika
a. Pengertian
Menurut Johnson dan Myklebust (Abdurrahman, 2003: 252) bahwa
“matema-tika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk
sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir”. Lerner
(Abdurrahman, 2003: 252) mengemukakan bahwa “matematika di
samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang
memungkinkan manusia memikirkan, mencatat dan mengkomunikasi-kan
ide mengenai elemen dan kuantitas”.
Selanjutnya Paling dalam Abdurrahman (2003: 252) mengemukakan
bahwa: Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap
masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi,
menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan
pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah
memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan
menggunakan hubungan-hubungan.
Berdasarkan berbagai pendapat para ahli di atas tentang hakikat
matematika, maka dapat disimpulkan bahwa matematika adalah metode
pemecahan masalah yang berkaitan dengan kuantitas dengan
menggunakan seperangkat pengetahuan tentang bilangan, bentuk, dan
ukuran serta kemampuan menggunakan hubungan-hubungan.
b. Tujuan Pembelajaran Matematika
Bidang studi matematika yang diajarkan pada satuan tingkat SD
banyak alasan tentang perlunya murid belajar matematika. Cornelius
(Abdurrahman, 2003: 253) mengemu-kakan bahwa:
Lima alasan perlunya belajar matematika, yakni: 1) sarana berpikir
yang jelas dan logis; 2) sarana memecahkan masalah dalam kehidu-pan
sehari-hari; 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan genera-lisasi
pengalaman; 4) sarana untuk mengembangkan kreativitas; dan 5) sarana
meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.
Adapun Cockroft (Abdurrahman, 2003: 253) mengemukakan bahwa:
Matematika perlu diajarkan kepada murid karena: 1) selalu digunakan
dalam segala kehidupan 2) semua bidang studi memerlukan keterampilan
matematika yang sesuai; 3) merupakan sarana komunikasi yang kuat,
singkat dan jelas; 4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam
berbagai cara; 5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan
kesadaran keruangan; dan 6) memberikan kepuasan terhadap usaha
memecahkan masalah yang menantang.
Menurut Abdurrahman (2003: 253) bahwa “hendaknya kurikulum
bidang studi matematika hendaknya mencakup tiga elemen yakni: (1)
konsep; (2) keterampilan; dan (3) pemecahan masalah”.
Konsep menunjuk pada pemahaman dasar. Sebagai contoh anak
mengenal konsep segitiga sebagai suatu bidang yang dikelilingi oleh tiga
garis lurus. Pemahaman anak tentang konsep segitiga dapat dilihat pada
saat anak mampu membedakan berbagai bentuk geometri lain dari
oleh seseoran, sebagai contoh proses menggunakan operasi dasar dalam
penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian adalah suatu jenis
keterampilan matematika.
Sedangkan pemecahan masalah sudah merupakan aplikasi dari konsep
dan keterampilan. Sebagai contoh, pada saat murid diminta untuk
mengukur luas selembar papan, maka beberapa konsep yang terlibat
adalah bujursangkar, garis sejajar, dan sisi; dan beberapa keterampilan
yang terlibat adalah keterampilan mengukur, menjumlahkan, dan
mengalikan.
Dalam dunia pendidikan matematika di Indonesia dikenal adanya
matematika modern. Matematika modern diajarkan di SD sebagai
pengganti berhitung. Matematika modern lebih menekankan pada
pemahaman struktur dasar sistem bilangan daripada mempelajari
keterampilan dan fakta-fakta hafalan. Pembelajaran matematika modern
lebih menekankan pada mengapa dan bagaimana matematika melalui
penemuan dan eksplorasi.
c. Tahapan Pembelajaran Matematika
Menurut J. Bruner dalam Muslich (2007: 222) bahwa belajar
merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk
menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya”.
Pengetahuan perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu agar pengetahuan
tersebut dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) manusia
internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh jika pengetahuan
tersebut khususnya matematika dipelajari dalam tahap enaktif, ikonik, dan
tahap simbolik”.
1) Tahap enaktif
Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan dipelajari secara aktif
dengan menggunakan benda-benda konkret atau situasi nyata.
2) Tahap ikonik
Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan direpresetasikan
(diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram yang
menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada
tahap enaktif.
3) Tahap simbolik
Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan direpresentaskan
dalam bentuk simbol abstrak, baik simbol verbal (misalkan huruf, kata
atau kalimat), lambang matematika, maupun lambang abstrak lainnya.
Suatu proses pembelajaran akan berlangsung secara optimal jika
pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap
belajar yang pertama dirasa cukup, murid beralih ke tahap yang belajar
ikonik. Selanjutnya kegiatan belajar tersebut dilanjutkan pada tahap ketiga,
yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus simbolik.
Dalam pembelajaran matematika salah satu upaya yang dilakukan oleh
guru adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
TGT (teams games tournaments) karena dengan menggunakan model
pembelajaran ini dapat memberikan murid kesempatan seluas-luasnya
untuk memecahkan masalah matematika dengan strateginya sendiri. Di
samping itu, model TGT menumbuhkan dinamikia kelompok belajar
secara kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok,
suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi
permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah,
lembut, dan santun serta bernuansa ‘belajar sambil bermain atau bermain
sambil belajar’.
2. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
a. Pengertian
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) berasal dari
kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan
saling membantu satu sama lainnya sebagai suatu kelompok atau tim.
Menurut Isjoni (2007: 15) bahwa: Cooperative learning adalah suatu
kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga
dapat merangsang murid lebih bergairah dalam belajar.
Sedangkan menurut Suradi (2002: 36) bahwa pembelajaran kooperatif
adalah: Suatu model pengajaran yang jangkauannya melampaui (tidak
hanya) membantu murid belajar keterampilan semata, namun juga melatih
murid dalam tujuan hubungan sosial, sehingga pembelajaran kooperatif
membuat murid akan lebih mudah menemukan dan memahami
konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan
konsep-konsep tersebut dengan temannya.
Lebih lanjut, Slavin (Suradi, 2002: 24) mengemukakan bahwa “dalam
pembelajaran kooperatif murid bekerja sama dalam kelompok kecil saling
membantu mempelajari suatu materi”. Pendapat serupa diungkapkan
Thomson (Muslich, 2007: 229) bahwa: Dalam pembelajaran kooperatif
murid belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
empat atau lima murid dengan kemampuan heterogen (kemampuan tinggi,
sedang, dan rendah), berbeda jenis kelamin, dan suku/ras, serta saling
membantu satu sama lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kelompok
kooperatif adalah kelompok belajar kecil dengan kemampuan akademik dan
latar belakang suku dan jenis kelamin yang bervariasi untuk saling membantu
sama lain.
Terdapat empat prinsip pembelajaran kooperatif menurut Sanjaya
(2006: 244) yaitu: “prinsip ketergantungan positif, tanggung jawab
perseorangan, interaksi tatap muka, partisipasi dan komunikasi”.
1) Prinsip ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian
tugas sangat tergantung pada usaha yang dilakukan setiap anggota
kelompok. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok
keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja
masing-masing anggota, dengan demikian semua anggota dalam kelompok
akan merasa saling ketergantungan.
2) Tanggung jawab perseorangan
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip pertama. Oleh
karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka
setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan
tugasnya.
3) Interaksi tatap muka
Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas
kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan
informasi dan saling membelajarkan.
Pembelajaran kooperatif melatih murid untuk dapat mampu
berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting
sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak.
c. Keuntungan pembelajaran kooperatif
Menurut Thomson (Muslich, 2007: 229) bahwa “Pembelajaran kooperatif
dapat membuat murid memverbalisasi gagasan-gagasan dan dapat mendorong
munculnya refleksi yang mengarah pada konsep-konsep secara aktif”. Selanjutnya
Slavin (Suradi, 2006: 6) mengemukakan keuntungan pem-belajaran kooperatif
antara lain:
1) Murid bekerjasama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi
norma-norma kelompok.
2) Murid aktif membantu dan mendorong semangat untuk sama-sama
berhasil.
3) Aktik berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan
keberhasilan kelompok.
4) Interaksi antar murid seiring dengan peningkatan kemampuan mereka
dalam berpendapat.
5) Interaksi antar murid juga membantu meningkatkan perkembangan
kognitif yang non-konservatif menjadi konservatif (teori Piaget).
Di samping itu, menurut Lundgren (Muslich, 2007: 230) bahwa “dalam
pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi murid
kooperatif”. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan
hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan
membagi tugas anggota kelompok selama kegiatan. Keterampilan kooperatif
tersebut antara lain: keterampilan awal, keterampilan tingkat menengah, dan
keterampilan tingkat mahir.
d. Pembelajaran kooperatif tipe TGT
Dalam perkembangannya, pembelajaran kooperatif terdiri atas beberapa
tipe, salah satu diantaranya adalah tipe TGT. Menurut Saco (2006), dalam
TGT murid memainkan permainan dengan anggota tim lain untuk
memperoleh skor tinggi bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat
disusun guru dalam bentuk quiz menggunakan kartu bernomor yang berkaitan
dengan materi pelajaran.
Permaianan dalam pembelajaran tipe TGT dapat berupa
pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap murid
anggota kelompok akan mengambil sebuah kartu yang telah diberi nomor dan
menjawab pertanyaan yang ada pada kartu tersebut sehingga memberikan
sumbangan bagi pengumpulan kelompoknya.
Turnamen harus memungkinkan semua murid dari semua tingkat
kemampuan (kepandaian) untuk menyumbangkan poin bagi kelompoknya.
Aturannya dapat berupa, soal yang sulit untuk anak pintar, dan soal yang lebih
mudah untuk anak yang kurang pintar. Hal ini dimaksudkan agar semua anak
soal nantinya apakah yang mudah atau sulit harus diketahui oleh seluruh
anggota kelompok.
e. Langkah-langkah pembelajaran TGT
Penerapan model TGT dapat dilakukan dengan cara mengelompokkan
murid secara heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bisa berbeda. Setelah
memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja
individual dan diskusi. Usahakan dinamika kelompok kohesif dan kompak
serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskusi nyaman dan
menyenangkan seperti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara
guru bersikap terbuka, ramah, lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah
selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehingga terjadi diskusi kelas
(Suherman, 2009).
Menurut Suherman (2009) bahwa jika waktunya memungkinkan TGT bisa
dilaksanakan dalam beberapa pertemuan dengan sintak sebagai berikut:
1) Buat kelompok murid secara heterogen 5 orang kemudian berikan
informasi mengenai pokok materi dan mekanisme kegiatan.
2) Siapkan meja turnamen secukupnya, misal 5 meja di mana tiap meja
ditempati 5 murid yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh murid
dengan level tertinggi dari tiap kelompok asal dan seterusnya sampai meja
ke V ditempati oleh murid yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap
murid yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesepakatan kelompok.
3) Selanjutnya adalah pelaksanaan turnamen, setiap murid mengambil
jangka waktu tertentu (misal 3 menit). Murid bisa mengerjakan lebih dari
satu soal dan hasilnya diperiksa dan dinilai, sehingga diperoleh skor
turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Murid
pada tiap meja turnamen sesuai dengan skor yang diperolehnya diberikan
gelar seperti: superior, very good, good, medium.
4) Bumping, pada turnamen kedua (turnamen ketiga dan seterusnya)
dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan
sebutan gelar tadi, murid superior dalam kelompok meja turnamen yang
sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh murid
dengan gelar yang sama.
5) Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor
individual, berikan penghargaan terhadap kelompok dan individual.
3. Aktivitas Belajar
a. Pengertian
Belajar merupakan proses untuk mengubah tingkat laku sehingga
mutlak memerlukan aktivitas. Tidak ada belajar dan hasil belajar tanpa ada
aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau asas yang
sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar. Hal tersebut sejalan
dengan yang dikemukakan Djamarah, (1994: 45) bahwa “guru yang baik
akan mampu menciptakan atau mengkreasikan lingkungan belajar siswa
agar kegiatan belajar menjadi aktif”.
Menurut Al Barry (1994: 15) bahwa aktivitas adalah “kegiatan atau
“keaktifan dalam belajar menunjuk pada keaktifan mental meskipun untuk
mencapai maksud ini dalam banyak hal dipersyaratkan keterlibatan
langsung dalam berbagai keaktifan fisik”. Sementara itu, menurut
Sardiman (2006: 100) “bahwa yang dimaksud aktivitas belajar adalah
aktivitas yang bersifat fisik atau mental”.
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan para ahli di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas adalah kegiatan baik yang
bersifat fisik maupun mental.
Adapun belajar merupakan istilah yang sudah lazim di tengah
masyarakat dan begitu banyak ahli atau pakar pendidikan telah
memberikan batasan dan definisi tentang belajar. Menurut Sardiman
(2006: 20) bahwa “dalam pengertian luas, belajar dapat diartikan sebagai
kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi yang seutuhnya”.
Kemudian lebih lanjut Sardiman (2006: 20) menyatakan bahwa “dalam
arti sempit, belajar dapat diartikan sebagai usaha penguasaan materi ilmu
pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya
kepribadian seutuhnya”. Sementara itu menurut Sukardi (1983: 15) bahwa
“belajar ialah suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman
kecuali perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh proses menjadi
matangnya seseorang atau perubahan instinktif atau yang bersifat
temporer”.
Selanjutnya Skinner dalam Abdullah (1989: 70) mengemukakan
Adapun menurut Abdurrahman (1993: 97) bahwa “Belajar adalah upaya
manusia memobilisasikan semua sumber daya yang dimilikinya untuk
memberikan jawaban yang tepat terhadap problema yang dihadapinya”.
Lebih lanjut definisi belajar dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2001: 14) sebagai “Usaha memperoleh kepandaian atau ilmu;
berlatih; berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh
pengalaman-pengalaman”.
Berdasarkan beberapa pengertian belajar yang telah diuraikan di atas,
dapat disimpulkan bahwa belajar adalah usaha yang dilakukan individu
untuk memperoleh suatu perubahan pada aspek pengetahuan, keterampilan
dan perilaku melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya.
Oleh karena itu, dengan mengintegrasikan definisi aktivitas dan belajar
di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar adalah kegiatan
fisik maupun mental yang dilakukan setiap individu dalam usaha
memperoleh pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui interaksi
edukatif dengan lingkungannya.
b. Prinsip-prinsip pengembangan aktivitas belajar
Prinsip-prinsip pengembangan aktivitas dalam belajar dapat dilihat
dari sudut pandang perkembangan konsep jiwa menurut ilmu jiwa. Dengan
melihatunsur kejiwaan subjek belajar dapatlah diketahui bagaimana
dilihat dari sudut pandang ilmu jiwa, maka sudah barang tentu yang
menjadi fokus perhatian adalah komponen manusiawi yang melakukan
aktivitas dalam belajar-mengajar, yakni siswa dan guru.
Menurut Sardiman (2006: 99) bahwa “aliran ilmu jiwa yang tergolong
modern akan menerjemahkan jiwa manusia sebagai sesuatu yang dinamis,
memiliki potensi dan energi sendiri”. Oleh karena itu, secara alami anak
didik dapat menjadi aktif, karena adanya motivasi dan didorong oleh
bermacam-macam kebutuhan. Anak didik dipandang sebagai organisme
yang mempunyai potensi untuk berkembang, sehingga tugas pendidik
adalah membimbing dan menyediakan kondisi agar anak didik dapat
mengembangkan bakat dan potensinya. Dalam hal ini, anak didiklah yang
beraktivitas, berbuat dan harus aktif sendiri.
Guru bertugas menyediakan bahan pelajaran, tetapi yang mengolah
dan mencerna adalah para siswa sesuai dengan bakat, kemampuan dan
latar belakang masing-masing. Belajar adalah berbuat dan sekaligus
merupakan proses yang membuat anak didik harus aktif. Guru hanya
memberikan acuan atau alat, sementara yang harus mendominasi aktivitas
atau kegiatan adalah murid. Hal ini sesuai dengan hakikat anak didik
sebagai manusia yang penuh dengan potensi yang bisa berkembang secara
optimal apabila kondisi mendukungnya. Sehingga yang penting bagi guru
adalah menyediakan kondisi yang kondusif tersebut.
Aktivitas yang dimaksudkan dalam proses belajar adalah aktivitas fisik
berkait dan berkelindang. Sehubungan dengan hal tersebut, Piaget dalam
Sardiman (2006) menerangkan bahwa seseorang anak itu berpikir
sepanjang ia berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berpikir. Oleh
karena itu, agar anak berpikir sendiri maka harus diberi kesempatan untuk
berbuat sendiri.
Agar siswa berperan sebagai pelaku dalam kegiatan belajar, maka guru
hendaknya merencanakan pengajaran yang membuat siswa banyak
melakukan aktivitas belajar. Menurut Ibrahim dan Syaodih (2003: 27)
bahwa “aktivitas atau tugas-tugas yang dikerjakan siswa hendaknya
menarik minat siswa, dibutuhkan dalam perkembangannya, serta
bermanfaat bagi masa depannya”. Jika cara mengajar guru enak dalam
pandangan siswa maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima
pelajaran yang diberikan sehingga diharapkan akan terjadi perubahan pada
tingkah laku siswa. Hal tersebut semakna dengan yang dikemukakan
Abdurrahman (1993: 109) bahwa “untuk mengaktifkan siswa belajar,
maka hendaknya pelajaran dikemas dalam suasana menantang,
merangsang dan menggugah daya cipta siswa untuk menemukan dan
mengesankan”.
Lebih lanjut menurut Abdurrahman (1993: 109-110) “terdapat
beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam mengembangkan aktivitas
belajar yaitu prinsip motivasi dan prinsip belajar sambil bermain”.
Pada prinsipnya aktivitas belajar matematika adalah keterlibatan
intektual emosional siswa dalam kegiatan belajar matematika, yang
meliputi asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pencapaian pengetahuan,
perbuatan serta pengalaman langsung dalam pembentukan keterampilan
dan penghayatan atau internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap.
Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar, dengan demikian di
sekolah merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Banyak jenis
aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa di sekolah. Aktivitas siswa tidak
cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim terdapat di
sekolah-sekolah tradisional. Aktivitas belajar siswa yang dimaksudkan
dalam pembelajaran matematika adalah aktivitas fisik maupun aktivitas
mental. Menurut Sardiman (2006: 101) banyak aktivitas yang dapat
dilakukan oleh siswa di sekolah, antara lain dapat digolongkan sebagai
berikut:
1) Visual activities (aktivitas visual), yang termasuk di dalamnya
membaca, menulis, memperhatikan gambar demonstrasi, atau percobaan.
2) Oral activities (aktivitas lisan), seperti menyatakan,
merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat,
mengadakan wawancara, diskusi, atau interupsi.
3) Listening activities (aktivitas mendengarkan), seperti
mendengarkan uraian, percakapan, atau diskusi.
4) Writing activities (aktivitas menulis), seperti menulis cerita,
5) Drawing activities (aktivitas menggambar), seperti menggambar,
membuat grafik atau peta, dan diagram.
6) Motor activities (aktivitas bergerak), seperti melakukan
percobaan, membuat konstruksi, mereparasi model, atau bermain.
7) Mental activities (aktivitas mental), seperti menanggapi,
mengingat, memecahkan soal, menganalisis, atau mengambil keputusan.
8) Emotional activities (aktivitas emosional), seperti menaruh
minat, rasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, atau gugup.
Jadi dengan klasifikasi aktivitas sebagaimana diuraikan di atas,
menunjukkan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi.
Kalau berbagai macam kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah,
maka sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar
menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal dan bahkan akan
memperlancar peranannya sebagai pusat transfer ilmu pengetahuan
teknologi dan transformasi kebudayaan dan nilai-nilai hidup. Kondisi
tersebut sebaliknya merupakan tantangan yang menuntut jawaban dari
para guru.
B. Penelitian yang Relevan
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis ada beberapa
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wenny Widaningsih dari
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Pendidikan Indonesia dengan judul “Penggunaan Model Pembelajaran
Teams Games Tournament Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Dalam Mata Pelajaran Teknologi Informasi Dan Komunikasi Studi Kasus
Di Smun 18 Bandung”, menunjukkan model pembelajaran tipe TGT dapat
meningkatkan hasil belajar peserta didik.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Riyani Triastuti alumni fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang
tahun 2009 dengan judul “Keefektitivan Pembelajaran Matematika dengan
Pemberian Reward Melalui Strategi Berwawasan Snowball Throwing
Berbantuan Alat Peraga terhadap Pemahaman Konsep pada Sub Materi
Pokok Volum Limas Segi Empat pada Peserta Didik Kelas VIII SMP
Negeri 6 Temanggung Tahun Pelajaran 2008/2009”. Juga menunjukkan
peningkatan hasil belajar peserta didik.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Lia Aristiyani fakultas tarbiyah institut
agama islam negeri walisongo semarang 2011 dengan judul “pengaruh
pemberian reward dan punishment terhadap hasil belajar peserta didik
kelas viii semester 2 pada materi pokok panjang garis singgung
persekutuan luar lingkaran mts. hasan kafrawi mayong jepara tahun
pelajaran 2010/2011” juga menunjukkan bahwa pembelajaran
C. Kerangka Berpikir
Dalam proses belajar mengajar khususnya bidang studi matematika, sangat
memungkinkan ada materi tertentu yang harus disampaikan dengan menggunakan
model pembelajaran kelompok, individual dan klasikal. Salah satu model
pembela-jaran yang dapat mengintegrasikan pembelajaran kelompok, individual,
dan klasikas sekaligus adalah model pembelajara kooperatif tipe TGT (teams
games tournaments).
Kelompok belajar kooperatif adalah kelompok belajar yang terdiri dari
murid dengan kemampuan akademik yang bervariasi untuk saling membantu
sama lain. Pembelajaran matematika akan lebih baik jika dilaksanakan dengan
model pembela-jaran kooperatif, karena di samping keuntungan akademik yang
dapat diperoleh murid berupa kemampuan memahami konsep, keterampilan dan
pemecahan masalah matematika juga dapat mendorong munculnya refleksi yang
mengarah pada konsep-konsep yang aktif, juga murid mendapat pembelajaran
yang bersifat sosial.
Oleh karena itu, penggunaan model pembelajaran TGT dapat membantu
guru dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa. Pembelajaran tipe TGT
merupakan model pembelajaran yang memadukan prinsip ketergantungan positif,
tanggung jawab perseorangan, interaksi tatap muka dan komunikasi.
Pembelajaran kooperatif tipe TGT mengharuskan murid memainkan permainan
dalam bentuk turnamen, setiap murid mengambil kartu soal yang telah disediakan
Berdasarkan ciri dan prinsip pembelajaran efektif maka tipe TGT dapat
mewujudkan perihal pembelajaran tersebut, karena memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi murid untuk memecahkan masalah belajar dengan strategi dan
kemampuan masing-masing dan kelompok-nya.
D. Hipotesis Penelitian
Menurut Sigiyono (2008:64) “Hipotesis merupakan jaawaban
sementara terhadap rumusan masalah penelitian”. Sedangkan menurut Nazir
(2003:151) “Hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara
sebagai suatu kebenaran sebagaiman adanya, pada saat penomena dikenal dan
merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi.
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut :
Ho : Tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah
siswa kelas VIII SMPN 4 Merangin yang diajarkan dengan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Teams Games
Tournament) dan Model Pembelajaran Ceramah
(Konvensional) Ditinjau Dari Keaktifan Siswa SMPN 4
Merangin Tahun Ajaran 2015/2016.
Ha : Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa
kelas VIII SMPN 4 Merangin yang diajarkan dengan Model
Tournament) dan Model Pembelajaran Ceramah
(Konvensional) Ditinjau Dari Keaktifan Siswa SMPN 4
Merangin Tahun Ajaran 2015/2016.
Hipotesis statistik :
Ho : μ 1 = μ 2
Ha : μ 1 ≠ µ2
Keterangan :
μ 1 = Rata-rata hasil belajar siswa pada kelas eksperimen.
μ 2 = Rata-rata hasil belajar siswa pada kelas kontrol.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Data penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data
angka-angka, maka jenis penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif eksperimen. Jika dilihat dari tujuan penelitian yaitu untuk
mendeskripsikan pengaruh pemberian reward dalam bentuk ungkapan
dan hadiah terhadap hasil belajar matematika, maka sifat penelitian ini
untuk mengetahui korelasi kedua variabel tentang pengaruh pemberian
reward dalam bentuk ungkapan dan hadiah terhadap hasil belajar
matematika.
Proses pelaksanaan eksperimen akan dilakukan oleh peneliti
sendiri yang bertindak sebagai guru pengajar dengan melakukan
kegiatan pembelajaran dengan berusaha mencari korelasi kedua
variabel eksperimen. “penelitian eksperimen adalah satu-satunya
metode penelitian yang benar-benar dapat menguji hipotesis hubungan
sebab-akibat”Darmadi(2011;175)
2. Dasain penelitian
Tabel 1. Desain Penelitian
Perlakuan Hasil
Kelas Eksperimen Pemberian Reward µ1
Kelas Kontrol Konvensional µ1
Keterangan
µ1 = Rata-rata Hasil Belajar menggunakan model TGT
µ2 = Rata-rata Hasil Belajar konvensional
Sebelum melakukan penelitian ada langkah-langkah yang perlu
diketahui peneliti yaitu:
a. Melihat keadaan siswa, dalam artian kemampuan siswa dalam
pembelajaran matematika, guna melihat apakah siswa yang akan
dijadikan sampel homogen mempunyai varians yang homogen.
b. Setelah mengetahui sampel yang homogen, maka peneliti baru
akan melakukan penelitian agar penelitian nantinya mendapat
kesimpulan yang benar dan sesuai dengan keadaan lapangan.
c. Menentukan kelas yang menjadi eksperimen dan kelas kontrol
sebagai perbandingan dari perlakuan pada kelas eksperimen.
d. Melakukan kegiatan pembelajaran dengan memberikan perlakuan
yang telah ditentukan, yaitu melakukan pembelajaran dengan
menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap
siswa dikelas eksperimen dan melakukan pembelajaran dengan
menggunakan metode konvensional terhadap siswa di kelas
kontrol.
e. Mengevaluasi pembelajaran dengan memberikan tes kepada siswa
pada kelas kontrol yang berupa tes uraian. Peneliti memberikan tes
uraian setelah melalui uji tes untuk menentukan kevaliditasan data
yang baik.
f. Setelah itu membandingkan hasil tes siswa antara kelas eksperimen
dan kelas kontrol.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau
yang bersangkutan yang memerlukannya. Dalam penelitian ini
sebagai data primer berupa nilai tes setelah dilakukan proses
pembelajaran siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Merangin. b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari
sumber-sumber yang telah ada Hasan (2010:19). Data sekunder dalam
penelitian ini adalah tentang data jumlah siswa yang menjadi
populasi penelitian dan nilai ujian semester ganjil yang diperoleh
dari guru dan tata usaha SMP Negeri 4 Merangin.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Pada suatu penelitian perlu ditetapkan sejumlah populasi
sebagai objek penelitian yang akan menjadi sumber data. Menurut
Riduwan (2012:54) “Populasi merupakan objek atau subjek yang
berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu
berkaitan dengan maslah penelitian”. Sedangkan menurut Sugiyono
(2012:61) “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek/subjek yang menpunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh penliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya”.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa populasi
penelitian. Dimana populasi yang akan diambil oleh penulis dalam
penelitian adalah siswa kelas VIII Sekolah Menegah Pertama Negeri
(SMP N ) 4 Merangin Tahun Ajaran 2015/2016 yang berjumlah 131
orang dengan perincian sebagai berikut :
Tabel 2. Siswa Kelas VIII SMP Negeri 4 Merangin
Tahun Pelajaran 2015/2016
No Kelas Jumlah
1 Kelas VIII A 33
2 Kelas VIII B 31
3 Kelas VIII C 34
4 Kelas VIII D 33
Jumlah 131
Sumber : Tata Usaha SMP Negeri 4 Merangin. 2. Sampel
Riduwan (2010:56) mengemukakan sampel adalah bagian dari
populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan
diteliti. Sedangkan menurtut Sugiyono (2012:62) mengutarakan
“Sampel adalah bagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh
populasi”.
Dari beberapa pendapat diatas, karena metode penelitiannya
adalah metode eksperimen maka akan ditentukan satu kelas
eksperimen dan satu kontrol yang akan menjadi sampel penelitian.
Pengambilan sampel dikondisikan dengan pertimbangan bahwa
peserta didik mendapatkan materi berdasarkan kurikulum yang sama,
peserta didik yang menjadi objek penelitian duduk pada kelas yang
sama, dan dalam pembagian kelas tidak ada kelas unggulan.
Sampel tersebut diambil pada kelas yang sudah homogen.
ujian semester ganjil dengan demikian, penulis mempertimbangkan
serta menerapkan langkah-langkah dalam menentukan sampel sebagai
berikut :
a. Menetukan populasi, yaitu jumlah siswa secara keseluruhan di
kelas VIII SMP 4 Merangin yang berjumlah 131 Orang, kemudian
menghitung nilai rata-rata kelas berdasarkan hasil ujian semester
ganjil tahun ajaran 2015/2016.
b. Sebelum menentukan kelas sampel, dilakukan uji normalitas dan
uji homogenitas. Melakukan uji normalitas bertujuan untuk melihat
apakah populasi berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas
menggunakan uji Chi Kuadrad (X2) Sugiyono (2012:79).
c. Langkah selanjutnya melakukan uji homogenitas data hasil ujian
semester ganjil tahun ajaran 2015/2016 dengan menggunakan
rumus Bartlet.
d. Setelah diperoleh data homogenitas, maka langkah selanjutnya
menggunakan aturan kombinasi untuk menentukan kemungkinan
pasangan yang akan dijadikan sampel dengan kemungkinan
sebagai berikut :
e. Dari pasangan yang mungkin, maka akan ditentukan sampel
dengan cara undian atau kertas peluang. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel probability
sampling jenis simple random sampling adalah teknik sederhana
dimana pengambilan sampel dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu (Sugiyono,
f. Maka didapat 6 kombinasi yaitu :
No. Pasangan
1. VIII A = VIII B
2. VIII A = VIII C
3. VIII A = VIII D
4. VIII B = VIII C
5. VIII B = VIII D
6. VIII C = VIII D
Maka dilakukan pengundian terpilih satu pasang kombinasi
yaitu kelas VIII Adan kelas VIII C. Sehingga dalam penelitian ini
yang menjadi sampel adalah sisiwa kelas VIII A yang berjumlah 33
siswa dan kelas VIII C yang berjumlah 34 siswa. Kemudian peneliti
menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol secara acak.
Sehingga didapat kelas VIII A sebagai kelas kontrol merupakan kelas
yang akan mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan
metode pembelajaran konvensional, dan kelas VIII C sebagai kelas
eksperimen merupakan kelas yang akan mengikuti proses
pembelajaran dengan menggunakan metode pemberian reward
dalam bentuk ungkapan dan hadiah.
Di tambah satu kelas lagi sebagai kelas uji coba instrumen.
Karna untuk uji instrumen tidak boleh memakai kelas sampel, harus
C. Teknik Pengumpulan Data
“ Teknik pengumpulan data yang diperlukan disini adalah teknik
pengumpulan data yang mana yang paling tepat, sehingga benar-benar didapat
data yang valid dan reliable” Riduwan (2012:11).
Menurut Sudijono (2012:66) tes adalah “alat atau prosedur yang
dipergunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian”.
Sedangkan Arikunto (2010:53) “Tes adalah alat atau prosedur yang
digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan
cara dan aturan yang sudah ditentukan”.
Adapun jenis tes yang digunakan adalah subyektif berbentuk essay
(uraian) dan digunakan untuk menilai hasil belajar. Menurut Arikunto
(1997:163) tes bentuk essay adalah “sejenis tes kemampuan belajar yang
memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata”.
Dalam penelitian ini ada beberapa cara teknik pengumpulan data yaitu:
1. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan cara pengumpulan data
dengan mencatat bahan dokumentasi yang sudah ada dan
dokumentasi berarti cara mengumpulkan data dengan mencatat
data yang sudah ada. Metode dokumentasi dalam penelitian ini
digunakan untuk memperoleh data mengenai nama-nama dan nilai
awal peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol. Data yang
dijadikan sebagai data awal adalah hasil belajar matematika
semester ganjil. Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan
normalitas, homogenitas, dan kesamaan rata-rata antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. 2. Metode Observasi
Metode ini digunakan untuk mengamati proses
pembelajaran dengan menggunakan metode TGT di kelas
eksperimen. Pengambilan data diperoleh melalui lembar observasi. 3. Metode Tes
Tes adalah seperangkat rangsangan yang diberikan kepada
seseorang dengan maksud untuk mendapat jawaban yang dapat
dijadikan dasar penetapan skor. Tes yang diberikan pada peserta
didik dalam penelitian ini berbentuk uraian sehingga dapat
diketahui sejauh mana tingkat pemahaman peserta didik terhadap
materi matematika. Melalui tes ini akan tampak seberapa jauh
pemahaman peserta didik terhadap materi matematika. Tes ini
diberikan pada akhir pembelajaran. Hasil tes inilah yang kemudian
akan digunakan sebagai acuan untuk menarik kesimpulan pada
akhir penelitian. Apakah pembelajaran yang menggunakan metode
pemberian reward dalam bentuk ungkapan dan hadiah
tersebut diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tes
tersebut akan diujicobakan pada kelas uji coba untuk mengetahui
validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda soal.
D. Instrument Penelitian.
Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran, maka harus
ada alat ukur yang baik. “Alat ukur dalam penelitian biasanya dinamakan
instrumen. Jadi instrumen adalah alat bantu yang dapat diwujudkan dalam
benda, contohnya angket, daftar cocok, skala, pedoman wawancara, panduan
pengamatan, tes dan sebagainya. (Riduwan, 2006:70).
Instrumen pada penelitian ini adalah berupa tes tertulis dengan soal
pilihan subyektif berbentuk essay (uraian) dan digunakan untuk menilai hasil
belajar yang berjumlah 10 soal. Menurut Arikunto (1997:163) tes bentuk essay
adalah “sejenis tes kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat
pembahasan atau uraian kata-kata”.
Menurut Arikunto (2010:57) sebuah tes dikatakan baik sebagai alat
pengukur harus memiliki persyaratan tes, yaitu memiliki :
a. Validitas
Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur apa
yang hendak diukur.
b. Reliabilitas
Sebuah tes dapat dipercaya atau reliable jika memberikan hasil
yang tetap apabila diteskan berkali-kali.
Sebuah tes dikatakan objektivitas apabila dalam melaksanakan tes
itu tidak ada faktor objektif yang mempengaruhinya.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka penulis menerapkan
langkah-langkah yang sistematis dalam menyusun tes dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menyusun Tes
Tes yang diberikan adalah tes soal uraian. Dalam penyusunan tes
tersebut peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menentukan tujuan mengadakan tes yaitu mendapatkan hasil
belajar siswa.
b. Membuat batasan terhadap bahan-bahan yang akan diuji. c. Membuat kisi-kisi tes.
d. Menyusun butir-butir soal menjadi bentuk tes akhir yang akan
diujikan. e. Validitas tes.
2. Uji Coba Tes
Agar soal yang disusun itu memiliki kriteria sebagai soal yang
baik, maka soal-soal tersebut perlu diuji cobakan terlebih dahulu
kepada kelas lain. Tidak boleh di uji coba kepada kelas sampel,
kemudian dianalisis untuk mendapatkan mana soal yang memenuhi
kriteria dan mana yang tidak.
3. Analisis Item
Setelah melakukan uji coba tes, maka kegiatan dilanjutkan
beberapa hal yang perlu diselidiki dalam melakukan analisis item soal
yaitu:
a. Uji Validitas
Menurut Arikunto (2006:168) menjelskan bahwa “validitas
adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan
atau kesahihan sesuatu instrumen”. Suatu tes dikatakan valid
apabila dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur.
Untuk menentukan valid atau tidaknya soal maka digunakan rumus
Pearson Product Moment Arikunto (2010:213), yaitu:
r
xy=
X Y
∑
¿¿ ¿
∑
¿.¿XY−¿
N .
∑
¿¿
keterangan
rxy = Koefisien korelasi variabel x dengan variabel y.
XY = Jumlah hasil perkalian antara variabel x dengan variabel
y.
X = Jumlah nilai setiap item.
Y = Jumlah nilai konstan.
Tabel 3.4
Kriteria Penafsiran Indeks Korelasi (r)
No Indeks Korelasi (r) Kriteria Pengujian
1 0,80 – 1,00 Sangat tinggi
2 0,60 – 0,79 Tinggi
3 0,40 – 0,59 Cukup
4 0,20 – 0,39 Rendah
5 0,00 – 0,19 Sangat rendah
Arikunto (1997:71)
b. Daya Pembeda
Indek pembeda soal adalah kemampuan butir soal untuk
dapat membedakan siswa yang pandai dan siswa yang tidak
pandai. Menurut Arikunto (1997:215), “daya pembeda adalah
kemampuan sesuatu soal untuk membedakan antara siswa yang
pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh
(berkemampuan rendah)”. Daya beda soal subyektif ditentukan
dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Arikunto
(1997:218) yaitu:
D=BA
JA
−BB
JB
=PA−PB
Keterangan:
J = Jumlah peserta tes.
JA = Banyaknya peserta kelompok atas.
JB = Banyaknya peserta kelompok bawah.
menjawab soal itu dengan benar.
BB = Banyaknya peserta kelompok bawah yang
menjawab soal itu dengan benar
PA=BA
JA
= Proporsi peserta kelompok atas yang
menjawab benar (ingat, P sebagai indeks
kesukaran).
PB=BB
JB
= Proporsi peserta kelompok bawah yang
menjawab benar
Tabel 3.5
Klasifikasi Indeks Daya Beda Soal
N
o
Indeks Daya
Pembeda
Klasifikasi
1 0,00 – 0,20 Jelek (poor)
2 0,21 – 0,40 Cukup (satisfactory)
3 0,41 – 0,70 Baik (good)
4 0,71 – 1,00 Baik sekali (excellent)
Arikunto (1997:223)
c. Indeks Kesukaran (Taraf Kesukaran)
Agar tes dapat digunakan, setiap soal harus diselidiki
tingkat kesukarannya yaitu apakah soal tersebut mudah, sedang
atau sukar. Untuk menghitung indeks kesukaran soal dari suatu tes
bentuk subyektif digunakan rumus Arikunto (1997:212) yaitu:
P =
JSBKeterangan:
B = Banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan
benar.
JS = Jumlah seluruh siswa peserta tes.
Tabel 3.6
Klasifikasi Tingkat Kesukaran Soal
N o
Indeks Kesukaran Kriteria
1 0,00 – 0,30 Sukar
2 0,31 – 0,70 Sedang
3 0,71 – 1,00 Mudah
Arikunto (1997:212)
d. Reliabilitas
Menurut Arikunto (2010:221) bahwa “reliabel artinya
dapat dipercaya, jadi dapat diandalkan”. Reliabilitas menunjuk
pada satu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat
dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena
perangkat tes bentuk essay digunakan rumus Alpha yang
dikemukakan oleh Riduwan (2010:115)
r11=
(
k
k−1
)
(
1− Σ σb2σt
2
)
Dengan :
σ2=
Σ X2−(Σ X)
2
N N
Keterangan:
r11 = Koefisien reliabelitas internal seluruh item.
K = Banyaknya butir soal.
Σ σb
2 = Jumlah varians tiap-tiap butir.
σt
2 = Varians total.
X
Ʃ 2 = Jumlah skor item
X
Ʃ = Jumlah skor item
N = Banyakny responden
Keputusan perbandingan r11 dengan r tabel :
Jika r11 > r tabel maka instrumen tersebut reliable.
Jika r11 < r tabel maka instrumen tersebut tidak reliable.
E. Teknik Analisis Data
Pengujian pesyaratan analisis data dilakukan apabila peneliti
menggunakan analisis parametrik. Menurut Riduwan (2010:19)
“persyaratan analisis untuk penelitian komparatif (perbedaan)
menggunakan uji homogenitas, hubungan (korelasi) menggunakan uji
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah data berasal
dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas
menggunakan rumus chi kuadrat ( X2 ) yang dikemukakan oleh
Riduwan (2012:121) yaitu :
X2
=
fo−fe¿2 ¿ ¿ ¿
∑
i=i k
¿
Keterangan :
χ2 = Harga chi kuadrat
fo = Frekuensi observasi
fe = Frekuensi harapan
Adapun langkah-langkah yang harus digunakan dalam Uji
Normalitas data adalah sebagai berikut:
1) Mencari skor terbesar dan terkecil
2) Mencari nilai rentangan ( R )
3) Mencari banyaknya kelas (BK)
4) Mencari nilai panjang kelas (i)
5) Membuat tabulasi dengan table penolong
6) Mencari Rata-rata (Mean)
7) Mencari simpangan baku (standard deviasi)
a) Menentukan batas kelas
b) Mencari nilai Z-score untuk batas kelas interval
dengan rumus
Z = Batas Kelas− ´x s
c) Mencari luas 0 - Z dari table kurveNormal dari 0 – Z
dengan menggunakan angka-angka untuk batas kelas
d) Mencari luas tiap kelas interval dengan cara
mengurangkan angka-angka 0 – Z yaitu angka baris
pertama dikurangi baris kedua, angka baris kedua
dikurangi baris ketiga dan begitu seterusnya, kecuali
untuk angka yang berbeda pada baris paling tengah
ditambahkan dengan angka pada baris berikutnya.
e) Mencari frekuensi yang diharapkan (fe) dengan cara
mengalikan luas tiap interval
9) Mencari Chi-kuadrat hitung ( X2 hitung)
X2
=
fo−fe¿2 ¿ ¿ ¿
∑
i=i k
¿
10) Membandingkan X2 hitung dengan X2 tabel
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk memperoleh asumsi bahwa
yang selanjutnya untuk menentukan statistik t yang akan digunakan
dalam pengujian hipotesis. Uji homogenitas dilakukan dengan
menyelidiki apakah kedua sampel mempunyai varians yang sama
atau tidak.
Hipotesis yang digunakan dalam uji homogenitas adalah
sebagai berikut.
Ho =
σ1
2 =σ
22Ha =
σ
12 ≠σ
221. Untuk menguji kesamaan dua varians digunakan rumus sebagai
berikut.
Fhitung =
varian terbesar varians terkecil
2. Membandingkan Fhitung dengan Ftabel dengan rumus:
dk pembilang = n-1 (untuk varians terbesar)
dk penyebut = n-1 (untuk varians terkecil)
3. Taraf signifikansi ( ∝¿ = 0.05 atau 5%
4. Kriteria pengujian yaitu :
Jika Fhitung ¿ Ftabel berarti data kelas sampel variansnya
homogen.
jika Fhitung ¿ Ftabel berarti data kelas sampel variansnya tidak
homogen.
Uji kesamaan rata-rata pada tahap awal digunakan untuk
menguji apakah ada kesamaan rata-rata antara kelas eksperimen
dan kelas kontrol. Langkah-langkah uji kesamaan dua rata-rata
adalah sebagai berikut.
1). Menentukan rumusan hipotesisnya yaitu:
Ho =
µ
1= µ
2 (tidak ada perbedaan rata-rata awal keduakelas sampel)
Ha =
µ
1≠ µ
2 (ada perbedan rata-rata awal kedua kelassampel)
2). Menentukan statistik yang digunakan yaitu uji t satu
pihak kanan.
3). Menentukan taraf signifikan yaitu α = 5%.
4). Kriteria pengujiannya adalah merima Ho apabila –ttabel <
thitung < ttabel di mana ttabel daftar distribusi student dengan
peluang (1- 1
2 σ
)
dk = n1 + n2 - 2. 5). Menentukan statistik hitung.6). Menarik kesimpulan jika –ttabel < thitung < ttabel maka kedua
kelas mempunyai rata-rata kelas yang sama.
Hipotesis penelitian adalah hipotesis yang dirumuskan untuk
menjawab permasalahan dengan menggunakan teori-teori yang ada
hubungannya (relevan) dengan masalah penelitian dan belum
berdasarkan fakta serta dukungan data yang nyata di lapangan.
Adapun Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ho : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pemberian
reward dalam bentuk ungkapan dan hadiah terhadap hasil
belajar matematika siswa kelas VIII SMP 43 Merangin Tahun
Pelajaran 2015/2016.
Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan antara pemberian reward
dalam bentuk ungkapan dan hadiah terhadap hasil belajar
matematika siswa kelas VIII SMP 43 Merangin Tahun
Pelajaran 2015/2016.
Uji hipotesis ini bertujuan untuk membuktikan apakah
hipotesis yang ditetapkan memang benar apa tidak. Jenis pengujian
hipotesis yang digunakan adalah uji satu pihak dengan rumusan
hipotesis statistiknya uji satu pihak (pihak kanan) sebagai berikut :
H0 : μ1 = μ2
Ha : μ1>μ2
Dengan :
μ1
=
Merupakan rata-rata kemampuan komunikasi
matematissiswa kelas eksperimen
= siswa kelas kontrol
Berdasarkan hipotesis penelitian yang dikemukakan, untuk
menguji hipotesis jika persyaratan analisis terpenuhi maka
menggunakan statistik parametrik, dan apabila uji persyaratan analisis
tidak terpenuhi maka menggunakan statistik non parametrik, maka :
Bila n1 ≠ n2 dan varian homogen dengan dk = n1 + n2 - 2 maka
rumus yang digunakan adalah :
Keterangan:
X
1= Nilai rata-rata kelas eksperimenX
2= Nilai rata-rata kelas controlS1
2= Standar deviasi kelas eksperimen
S2
2= Standar deviasi kelas control
n1= Jumlah siswa kelas eksperimen
n2= Jumlah siswa kelas control
t= X1−X2
√
(
(
n1−1)
S12+(
n2−1)
S22n1+n2−2
)
.(
1n1+
1
n2
)
sugiyono, (2012:107).
Bila n1 ≠ n2 dan varian tidak homogen maka rumus yang
digunakan adalah :
t= X1−X2
√
S12 n1+S22 n2
Sugiyono
(2012:197)
Harga t sebagai pengganti t-tabel dihitung dari selisih
dibagi dua, dan kemudian ditambahkan dengan harga t yang
terkecil.
Jika data tidak terdistribusi normal dan kedua kelompok
tidak mempunyai varians yang homogen, maka dilakukan
uji Mann-Whitney atau uji-U. Terdapat dua rumus yang
digunakan untuk pengujian, yaitu:
Keterangan
n1 = Jumlah sampel 1
n2 = Jumlah sampel 2
U1 = Jumlah peringkat 1
U2 = Jumlah peringkat 2
R1 = Jumlah rangking pada sampel n1
R2 = Jumlah rangking pada sampel n2
Untuk n1 ; n2 > 30, maka pengujiannya dilanjutkan
menggunakan nilai Z (nilai uji statistiknya), yaitu :
Nilai standar dihitung dengan
Z =
U−σE(U)U
E(U)=n1n2
2
σU=
√
n1n2(n1+n2+1)
12
Hasan (2010:312)
U1=n1n2+n1(n1+1)
2 −R1
Susetyo (2010:236)
U2=n1n2+n2(n2+1)
Kriteria pengambilan keputisan adalah
H0 diterima apabila
−
Z
<