• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORI

Dalam dokumen Proposal Tugas Metode Penelitian docx (Halaman 14-35)

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori

1. Pembelajaran Matematika

a. Pengertian

Menurut Johnson dan Myklebust (Abdurrahman, 2003: 252) bahwa “matema-tika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan

sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir”. Lerner (Abdurrahman, 2003: 252) mengemukakan bahwa “matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat dan mengkomunikasi-kan ide mengenai elemen dan kuantitas”.

Selanjutnya Paling dalam Abdurrahman (2003: 252) mengemukakan bahwa: Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.

Berdasarkan berbagai pendapat para ahli di atas tentang hakikat matematika, maka dapat disimpulkan bahwa matematika adalah metode pemecahan masalah yang berkaitan dengan kuantitas dengan menggunakan seperangkat pengetahuan tentang bilangan, bentuk, dan ukuran serta kemampuan menggunakan hubungan-hubungan.

b. Tujuan Pembelajaran Matematika

Bidang studi matematika yang diajarkan pada satuan tingkat SD mencakup tiga cabang, yaitu: aritmetika, aljabar, dan geometri. Terdapat

banyak alasan tentang perlunya murid belajar matematika. Cornelius (Abdurrahman, 2003: 253) mengemu-kakan bahwa:

Lima alasan perlunya belajar matematika, yakni: 1) sarana berpikir yang jelas dan logis; 2) sarana memecahkan masalah dalam kehidu-pan sehari-hari; 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan genera-lisasi pengalaman; 4) sarana untuk mengembangkan kreativitas; dan 5) sarana meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.

Adapun Cockroft (Abdurrahman, 2003: 253) mengemukakan bahwa: Matematika perlu diajarkan kepada murid karena: 1) selalu digunakan dalam segala kehidupan 2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; 3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas; 4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; 5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan 6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.

Menurut Abdurrahman (2003: 253) bahwa “hendaknya kurikulum bidang studi matematika hendaknya mencakup tiga elemen yakni: (1) konsep; (2) keterampilan; dan (3) pemecahan masalah”.

Konsep menunjuk pada pemahaman dasar. Sebagai contoh anak mengenal konsep segitiga sebagai suatu bidang yang dikelilingi oleh tiga garis lurus. Pemahaman anak tentang konsep segitiga dapat dilihat pada saat anak mampu membedakan berbagai bentuk geometri lain dari segitiga. Adapun keterampilan menunjuk pada sesuatu yang dilakukan

oleh seseoran, sebagai contoh proses menggunakan operasi dasar dalam penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian adalah suatu jenis keterampilan matematika.

Sedangkan pemecahan masalah sudah merupakan aplikasi dari konsep dan keterampilan. Sebagai contoh, pada saat murid diminta untuk mengukur luas selembar papan, maka beberapa konsep yang terlibat adalah bujursangkar, garis sejajar, dan sisi; dan beberapa keterampilan yang terlibat adalah keterampilan mengukur, menjumlahkan, dan mengalikan.

Dalam dunia pendidikan matematika di Indonesia dikenal adanya matematika modern. Matematika modern diajarkan di SD sebagai pengganti berhitung. Matematika modern lebih menekankan pada pemahaman struktur dasar sistem bilangan daripada mempelajari keterampilan dan fakta-fakta hafalan. Pembelajaran matematika modern lebih menekankan pada mengapa dan bagaimana matematika melalui penemuan dan eksplorasi.

c. Tahapan Pembelajaran Matematika

Menurut J. Bruner dalam Muslich (2007: 222) bahwa belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya”. Pengetahuan perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu agar pengetahuan tersebut dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) manusia yang mempelajarinya. Menurut Muslich (2007: 222) bahwa “proses

internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh jika pengetahuan tersebut khususnya matematika dipelajari dalam tahap enaktif, ikonik, dan tahap simbolik”.

1) Tahap enaktif

Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan dipelajari secara aktif dengan menggunakan benda-benda konkret atau situasi nyata.

2) Tahap ikonik

Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan direpresetasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif.

3) Tahap simbolik

Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan direpresentaskan dalam bentuk simbol abstrak, baik simbol verbal (misalkan huruf, kata atau kalimat), lambang matematika, maupun lambang abstrak lainnya.

Suatu proses pembelajaran akan berlangsung secara optimal jika pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama dirasa cukup, murid beralih ke tahap yang belajar yang kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representatif

ikonik. Selanjutnya kegiatan belajar tersebut dilanjutkan pada tahap ketiga, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus simbolik.

Dalam pembelajaran matematika salah satu upaya yang dilakukan oleh guru adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (teams games tournaments) karena dengan menggunakan model pembelajaran ini dapat memberikan murid kesempatan seluas-luasnya untuk memecahkan masalah matematika dengan strateginya sendiri. Di samping itu, model TGT menumbuhkan dinamikia kelompok belajar secara kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut, dan santun serta bernuansa ‘belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar’.

2. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

a. Pengertian

Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai suatu kelompok atau tim. Menurut Isjoni (2007: 15) bahwa: Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam

kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang murid lebih bergairah dalam belajar.

Sedangkan menurut Suradi (2002: 36) bahwa pembelajaran kooperatif adalah: Suatu model pengajaran yang jangkauannya melampaui (tidak hanya) membantu murid belajar keterampilan semata, namun juga melatih murid dalam tujuan hubungan sosial, sehingga pembelajaran kooperatif membuat murid akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan konsep-konsep tersebut dengan temannya.

Lebih lanjut, Slavin (Suradi, 2002: 24) mengemukakan bahwa “dalam pembelajaran kooperatif murid bekerja sama dalam kelompok kecil saling membantu mempelajari suatu materi”. Pendapat serupa diungkapkan Thomson (Muslich, 2007: 229) bahwa: Dalam pembelajaran kooperatif murid belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima murid dengan kemampuan heterogen (kemampuan tinggi, sedang, dan rendah), berbeda jenis kelamin, dan suku/ras, serta saling membantu satu sama lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kelompok kooperatif adalah kelompok belajar kecil dengan kemampuan akademik dan latar belakang suku dan jenis kelamin yang bervariasi untuk saling membantu sama lain.

Terdapat empat prinsip pembelajaran kooperatif menurut Sanjaya (2006: 244) yaitu: “prinsip ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, interaksi tatap muka, partisipasi dan komunikasi”.

1) Prinsip ketergantungan positif

Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung pada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompok. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota, dengan demikian semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.

2) Tanggung jawab perseorangan

Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya.

3) Interaksi tatap muka

Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan.

Pembelajaran kooperatif melatih murid untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak.

c. Keuntungan pembelajaran kooperatif

Menurut Thomson (Muslich, 2007: 229) bahwa “Pembelajaran kooperatif dapat membuat murid memverbalisasi gagasan-gagasan dan dapat mendorong munculnya refleksi yang mengarah pada konsep-konsep secara aktif”. Selanjutnya Slavin (Suradi, 2006: 6) mengemukakan keuntungan pem-belajaran kooperatif antara lain:

1) Murid bekerjasama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.

2) Murid aktif membantu dan mendorong semangat untuk sama-sama berhasil.

3) Aktik berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.

4) Interaksi antar murid seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat.

5) Interaksi antar murid juga membantu meningkatkan perkembangan kognitif yang non-konservatif menjadi konservatif (teori Piaget).

Di samping itu, menurut Lundgren (Muslich, 2007: 230) bahwa “dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi murid juga harus mempelajari keterampilan khusus yang disebut keterampilan

kooperatif”. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membagi tugas anggota kelompok selama kegiatan. Keterampilan kooperatif tersebut antara lain: keterampilan awal, keterampilan tingkat menengah, dan keterampilan tingkat mahir.

d. Pembelajaran kooperatif tipe TGT

Dalam perkembangannya, pembelajaran kooperatif terdiri atas beberapa tipe, salah satu diantaranya adalah tipe TGT. Menurut Saco (2006), dalam TGT murid memainkan permainan dengan anggota tim lain untuk memperoleh skor tinggi bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat disusun guru dalam bentuk quiz menggunakan kartu bernomor yang berkaitan dengan materi pelajaran.

Permaianan dalam pembelajaran tipe TGT dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap murid anggota kelompok akan mengambil sebuah kartu yang telah diberi nomor dan menjawab pertanyaan yang ada pada kartu tersebut sehingga memberikan sumbangan bagi pengumpulan kelompoknya.

Turnamen harus memungkinkan semua murid dari semua tingkat kemampuan (kepandaian) untuk menyumbangkan poin bagi kelompoknya. Aturannya dapat berupa, soal yang sulit untuk anak pintar, dan soal yang lebih mudah untuk anak yang kurang pintar. Hal ini dimaksudkan agar semua anak mempunyai kemungkinan memberi skor pada kelompoknya. Namun semua

soal nantinya apakah yang mudah atau sulit harus diketahui oleh seluruh anggota kelompok.

e. Langkah-langkah pembelajaran TGT

Penerapan model TGT dapat dilakukan dengan cara mengelompokkan murid secara heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bisa berbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamika kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehingga terjadi diskusi kelas (Suherman, 2009).

Menurut Suherman (2009) bahwa jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan dengan sintak sebagai berikut:

1) Buat kelompok murid secara heterogen 5 orang kemudian berikan informasi mengenai pokok materi dan mekanisme kegiatan.

2) Siapkan meja turnamen secukupnya, misal 5 meja di mana tiap meja ditempati 5 murid yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh murid dengan level tertinggi dari tiap kelompok asal dan seterusnya sampai meja ke V ditempati oleh murid yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap murid yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesepakatan kelompok. 3) Selanjutnya adalah pelaksanaan turnamen, setiap murid mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk

jangka waktu tertentu (misal 3 menit). Murid bisa mengerjakan lebih dari satu soal dan hasilnya diperiksa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Murid pada tiap meja turnamen sesuai dengan skor yang diperolehnya diberikan gelar seperti: superior, very good, good, medium.

4) Bumping, pada turnamen kedua (turnamen ketiga dan seterusnya) dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, murid superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh murid dengan gelar yang sama.

5) Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan terhadap kelompok dan individual.

3. Aktivitas Belajar

a. Pengertian

Belajar merupakan proses untuk mengubah tingkat laku sehingga mutlak memerlukan aktivitas. Tidak ada belajar dan hasil belajar tanpa ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Djamarah, (1994: 45) bahwa “guru yang baik akan mampu menciptakan atau mengkreasikan lingkungan belajar siswa agar kegiatan belajar menjadi aktif”.

Menurut Al Barry (1994: 15) bahwa aktivitas adalah “kegiatan atau keaktifan”, sedangkan Usman (2005: 23) memberikan batasan bahwa

“keaktifan dalam belajar menunjuk pada keaktifan mental meskipun untuk mencapai maksud ini dalam banyak hal dipersyaratkan keterlibatan langsung dalam berbagai keaktifan fisik”. Sementara itu, menurut Sardiman (2006: 100) “bahwa yang dimaksud aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik atau mental”.

Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas adalah kegiatan baik yang bersifat fisik maupun mental.

Adapun belajar merupakan istilah yang sudah lazim di tengah masyarakat dan begitu banyak ahli atau pakar pendidikan telah memberikan batasan dan definisi tentang belajar. Menurut Sardiman (2006: 20) bahwa “dalam pengertian luas, belajar dapat diartikan sebagai kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi yang seutuhnya”. Kemudian lebih lanjut Sardiman (2006: 20) menyatakan bahwa “dalam arti sempit, belajar dapat diartikan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya”. Sementara itu menurut Sukardi (1983: 15) bahwa “belajar ialah suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman kecuali perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh proses menjadi matangnya seseorang atau perubahan instinktif atau yang bersifat temporer”.

Selanjutnya Skinner dalam Abdullah (1989: 70) mengemukakan bahwa “Belajar adalah proses adaptasi tingkah laku secara progresif”.

Adapun menurut Abdurrahman (1993: 97) bahwa “Belajar adalah upaya manusia memobilisasikan semua sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap problema yang dihadapinya”. Lebih lanjut definisi belajar dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 14) sebagai “Usaha memperoleh kepandaian atau ilmu; berlatih; berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman-pengalaman”.

Berdasarkan beberapa pengertian belajar yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan pada aspek pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya.

Oleh karena itu, dengan mengintegrasikan definisi aktivitas dan belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar adalah kegiatan fisik maupun mental yang dilakukan setiap individu dalam usaha memperoleh pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui interaksi edukatif dengan lingkungannya.

b. Prinsip-prinsip pengembangan aktivitas belajar

Prinsip-prinsip pengembangan aktivitas dalam belajar dapat dilihat dari sudut pandang perkembangan konsep jiwa menurut ilmu jiwa. Dengan melihatunsur kejiwaan subjek belajar dapatlah diketahui bagaimana prinsip aktivitas yang terjadi dalam kegiatan belajar tersebut. Oleh karena

dilihat dari sudut pandang ilmu jiwa, maka sudah barang tentu yang menjadi fokus perhatian adalah komponen manusiawi yang melakukan aktivitas dalam belajar-mengajar, yakni siswa dan guru.

Menurut Sardiman (2006: 99) bahwa “aliran ilmu jiwa yang tergolong modern akan menerjemahkan jiwa manusia sebagai sesuatu yang dinamis, memiliki potensi dan energi sendiri”. Oleh karena itu, secara alami anak didik dapat menjadi aktif, karena adanya motivasi dan didorong oleh bermacam-macam kebutuhan. Anak didik dipandang sebagai organisme yang mempunyai potensi untuk berkembang, sehingga tugas pendidik adalah membimbing dan menyediakan kondisi agar anak didik dapat mengembangkan bakat dan potensinya. Dalam hal ini, anak didiklah yang beraktivitas, berbuat dan harus aktif sendiri.

Guru bertugas menyediakan bahan pelajaran, tetapi yang mengolah dan mencerna adalah para siswa sesuai dengan bakat, kemampuan dan latar belakang masing-masing. Belajar adalah berbuat dan sekaligus merupakan proses yang membuat anak didik harus aktif. Guru hanya memberikan acuan atau alat, sementara yang harus mendominasi aktivitas atau kegiatan adalah murid. Hal ini sesuai dengan hakikat anak didik sebagai manusia yang penuh dengan potensi yang bisa berkembang secara optimal apabila kondisi mendukungnya. Sehingga yang penting bagi guru adalah menyediakan kondisi yang kondusif tersebut.

Aktivitas yang dimaksudkan dalam proses belajar adalah aktivitas fisik dan mental. Dalam kegiatan belajar kedua aktivitas tersebut harus selalu

berkait dan berkelindang. Sehubungan dengan hal tersebut, Piaget dalam Sardiman (2006) menerangkan bahwa seseorang anak itu berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berpikir. Oleh karena itu, agar anak berpikir sendiri maka harus diberi kesempatan untuk berbuat sendiri.

Agar siswa berperan sebagai pelaku dalam kegiatan belajar, maka guru hendaknya merencanakan pengajaran yang membuat siswa banyak melakukan aktivitas belajar. Menurut Ibrahim dan Syaodih (2003: 27) bahwa “aktivitas atau tugas-tugas yang dikerjakan siswa hendaknya menarik minat siswa, dibutuhkan dalam perkembangannya, serta bermanfaat bagi masa depannya”. Jika cara mengajar guru enak dalam pandangan siswa maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan sehingga diharapkan akan terjadi perubahan pada tingkah laku siswa. Hal tersebut semakna dengan yang dikemukakan Abdurrahman (1993: 109) bahwa “untuk mengaktifkan siswa belajar, maka hendaknya pelajaran dikemas dalam suasana menantang, merangsang dan menggugah daya cipta siswa untuk menemukan dan mengesankan”.

Lebih lanjut menurut Abdurrahman (1993: 109-110) “terdapat beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam mengembangkan aktivitas belajar yaitu prinsip motivasi dan prinsip belajar sambil bermain”.

Pada prinsipnya aktivitas belajar matematika adalah keterlibatan intektual emosional siswa dalam kegiatan belajar matematika, yang meliputi asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pencapaian pengetahuan, perbuatan serta pengalaman langsung dalam pembentukan keterampilan dan penghayatan atau internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap.

Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar, dengan demikian di sekolah merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa di sekolah. Aktivitas siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim terdapat di sekolah-sekolah tradisional. Aktivitas belajar siswa yang dimaksudkan dalam pembelajaran matematika adalah aktivitas fisik maupun aktivitas mental. Menurut Sardiman (2006: 101) banyak aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa di sekolah, antara lain dapat digolongkan sebagai berikut:

1) Visual activities (aktivitas visual), yang termasuk di dalamnya membaca, menulis, memperhatikan gambar demonstrasi, atau percobaan.

2) Oral activities (aktivitas lisan), seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, atau interupsi.

3) Listening activities (aktivitas mendengarkan), seperti mendengarkan uraian, percakapan, atau diskusi.

4) Writing activities (aktivitas menulis), seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket atau menyalin.

5) Drawing activities (aktivitas menggambar), seperti menggambar, membuat grafik atau peta, dan diagram.

6) Motor activities (aktivitas bergerak), seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, mereparasi model, atau bermain.

7) Mental activities (aktivitas mental), seperti menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, atau mengambil keputusan.

8) Emotional activities (aktivitas emosional), seperti menaruh minat, rasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, atau gugup.

Jadi dengan klasifikasi aktivitas sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi. Kalau berbagai macam kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah, maka sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal dan bahkan akan memperlancar peranannya sebagai pusat transfer ilmu pengetahuan teknologi dan transformasi kebudayaan dan nilai-nilai hidup. Kondisi tersebut sebaliknya merupakan tantangan yang menuntut jawaban dari para guru.

B. Penelitian yang Relevan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis ada beberapa penelitian yang relevan sebagai berikut :

1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wenny Widaningsih dari Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia dengan judul “Penggunaan Model Pembelajaran Teams Games Tournament Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran Teknologi Informasi Dan Komunikasi Studi Kasus Di Smun 18 Bandung”, menunjukkan model pembelajaran tipe TGT dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Riyani Triastuti alumni fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang tahun 2009 dengan judul “Keefektitivan Pembelajaran Matematika dengan Pemberian Reward Melalui Strategi Berwawasan Snowball Throwing Berbantuan Alat Peraga terhadap Pemahaman Konsep pada Sub Materi Pokok Volum Limas Segi Empat pada Peserta Didik Kelas VIII SMP Negeri 6 Temanggung Tahun Pelajaran 2008/2009”. Juga menunjukkan peningkatan hasil belajar peserta didik.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Lia Aristiyani fakultas tarbiyah institut

agama islam negeri walisongo semarang 2011 dengan judul “pengaruh pemberian reward dan punishment terhadap hasil belajar peserta didik kelas viii semester 2 pada materi pokok panjang garis singgung persekutuan luar lingkaran mts. hasan kafrawi mayong jepara tahun pelajaran 2010/2011” juga menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan metode pemberian reward lebih baik dari pada ceramah.

C. Kerangka Berpikir

Dalam proses belajar mengajar khususnya bidang studi matematika, sangat memungkinkan ada materi tertentu yang harus disampaikan dengan menggunakan model pembelajaran kelompok, individual dan klasikal. Salah satu model pembela-jaran yang dapat mengintegrasikan pembelajaran kelompok, individual, dan klasikas sekaligus adalah model pembelajara kooperatif tipe TGT (teams games tournaments).

Kelompok belajar kooperatif adalah kelompok belajar yang terdiri dari murid dengan kemampuan akademik yang bervariasi untuk saling membantu sama lain. Pembelajaran matematika akan lebih baik jika dilaksanakan dengan model pembela-jaran kooperatif, karena di samping keuntungan akademik yang

Dalam dokumen Proposal Tugas Metode Penelitian docx (Halaman 14-35)

Dokumen terkait