• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Kajia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Kajia"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Kajian Historis Analitis Terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Kajian Diskusi Islamic Studies Forum (ISF) Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah

Ciputat, 23 September 2014

Sebagai upaya konstruktif dalam membangun progress positivisme hukum Islam di Indonesia, perlu untuk dikaji lebih mendalam terkait perkembangan pembaruan hukum Islam di Indonesia oleh peserta diskusi ISF. Makalah sederhana ini mencoba menjawab terhadap sebuah perjalanan historis Islam di Indonesia sampai dengan upaya legislasi hukum Islam kedalam hukum nasional. Hal ini dimungkinkan mengingat sumber-sumber hukum nasional meliput hukum Eropa, hukum adat, dan hukum Islam.

Islam; Sebuah Perjalanan Historis Indonesia

Ahmad Mansur Suryanegara dalam “Menemukan Sejarah Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia” menurut, terdapat 3 teori yaitu (1) Teori Gujarat (2) Teori Makkah dan (3) Teori Persia. Ketiga teori ini memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Berikut sekilas penjelasannya;

(1) Teori Gujarat

Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:

a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.

b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.

c. tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.

Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.

(2) Teori Makkah

(2)

bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:

a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.

b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.

c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.

Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.

(3) Teori Persia

Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:

a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.

b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.

c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda bunyi Harakat.

d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.

e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.

(3)

Pada masa awal mula Islam masuk ke Nusantara, yaitu pada abad I H. atau abad VII M1 (dilihat dari teori yang dipakai mayoritas ahli

sejarah) yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab, Islam menjadi hukum resmi negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia, seiring dengan berdirinya kesultanan-kesultanan/ kerajaan-kerajaan. Dan beberapa ahli mengatakan bahwa hukum Islam yang berkembang di Indonesia adalah becorak Syafi’iyah.

Pada pertengahan abad ke XIV M. muncul tokoh seperti sultan Malikul Zahir dari samudera pasai. Lalu pada abad ke XVII M. muncul Nuruddin ar-Raniri yang mengarang kitab Shirath al-Mustaqim2, Jawahir al-‘Ulum fi Kasf al-Ma’lum, Kaifiyat al-Shalat, dan Tanbih al-Awm fi Tahqiq al-Kalam fi an-Nawafil. Juga muncul pada abad ini Abd al-Rauf as-Sinkili, yang dianggap termasuk mujtahid Nusantara, dengan karyanya “Mir’at al-Thullab fi Tasyi al-Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab”.

Selanjutnya pada abad ke XVIII M. muncul syekh Arsyad Banjari yang menulis kitab “Sabil Muhtadin li Tafaqquh Fi Amr al-Din”. Kitab ini dijadikan pedoman untuk menyelesaikan sengketa di kesultanan banjar. Dan juga pada abad ini muncul Abd al-Malik bin Abdullah trengganu yang menulis kitab “Risalah an-Naql” dan “Kaifiyat an-Niyah”.

Memasuki abad XIX M. muncul Syaikh Nawawi al-Bantani dengan karyanya yang sangat terkenal “Uqud al-Lujain”. Disamping itu, ia banyak mensyarahi/mengomentari kitab-kitab fikih Syafi’iyah. Pada abad ini pula, muncul Abdul Hamid Hakim, seorang ulama minangkabau dengan karyanya “al-Mu’in al-Mubin, Mabadi’ Awwaliyah, as-Sulam, dan al-Bayan” 3

Dari gambaran singkat di atas, tampak bahwa hampir setiap masa, selalu saja di isi oleh ulama-ulama fikih yang bercorak Syafi’iyah. Bukti lain adalah banyaknya kitab-kitab fikih yang di kaji di pesantren dan rata-rata kitab tersebut bercorak Syafi’iyah, seperti “Muharrar, Minhaj al-Thalibin, Manhaj al-Thullab, Iqna’, Muhadzab, Fath al-Qarib”, dan lain sebagainya.

Menarik untuk dicermati, bahwa pada masa-masa menjelang abad XVII, XVIII, XIX M., hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna, mencakup masalah Mu’amalah, al-Ahwal al-Syakhsiyah (Perkawinan, Perceraian, dan Warisan), Peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Tidak

1 Karena pada tahun 650 M, yaitu pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan sudah ada orang Islam yang datang ke Sumatera (lihat; Sejarah Islam di Jawa karya Solihin Salam, h.7)

2 Menurut Wafi Muhaimin “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia; Sebuah Tinjauan” kitab ini merupakan buku Hukum Islam pertama yang disebarluaskan keseluruh nusantara

(4)

itu saja, hukum Islam juga menjadi system hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara.

Pada perkembangan selanjutnya, semenjak belanda menjajah Indonesia, hukum Islam sedikit demi sedikit menjadi tenggelam, sehingga yang tersisa hanyalah hukum ibadah dan sebagian hukum keluarga dengan pengadilan agama sebagai pelaksananya. Pada waktu itu, perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak belanda melalui VOC (Vereenigde Oost Inlandse Compagnie atau Pemerintahan Pedagang Hindia Belanda)4 yang memberikan ruang agak luas bagi

perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upanya intervensi belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat.5

Ada dua teori yang dijadikan pijakan pada masa penjajahan belanda. Pertama, “Receptio in Complexu”, yaitu setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Kedua, “Receptie” yaitu hukum Islam tidak otomatis berlalu bagi orang Islam. Ia belaku apabila sudah diterima dan telah menjadi hukum adat. Kemudian setelah Indonesia merdeka, muncul teori “Receptie Exit” yang menghasilkan piagam Jakarta ( sayangnya, ada tujuh kata yang dihilangkan dalam piagam Jakarta yang membuat golongan umat Islam merasa kecewa “Dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya”), lalu muncul teori “Receptio A Contrario” yang merupakan kebalikan dari teori receptie. Dan yang terakhir adalah teori “Eksistensi” yaitu adanya integrasi antara hukum Islam dengan hukum nasional.6

Kompilasi Hukum Islam (KHI); Positivisasi Hukum Islam Lahirnya naskah Kompilasi Hukum Islam (KHI) (proses

penyusunan KHI diketuai oleh Bustanul Arifin dimulai sejak tahun 1985 dan diberlakukan sebagai pedoman Peradilan Agama mulai tahun 1991) dapat di pandang sebagai bagian dari fenomena perbaharuan hukum Islam di Indonesia. Dikatakan demikian, antara lain, karena diantara muatannya terdapat materi-materi hukum yang masih asing, setidaknya dalam konteks pemikiran hukum yang umum dianut orang Indonesia, seperti ahli waris pengganti, wasiat wajibah untuk orang tua atau anak angkat (hal ini keluar dari wilayah syafi’iyah, yaitu mengikuti pendapat zhahiri), larangan kawin beda agama, kawin hamil dan

sebagainya. Bahkan seperti UU no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama dan PP no. 28 tahun 1977 tentang wakaf tanah milik, dapat

4 Pada mulanya pemerintah VOC mencoba menerapkan hukum Belanda untuk masyarakat pribumi, namun tidak berjalan efektif (lihat; Muhammad Iqbal, “Hukum Islam Indonesia Modern” (Gaya Media Pratama, 2009), hal. 40

5 Mujiatun Ridawati, “Hukum Islam di Indonesia: Pelembagaan, Pembaharuan, dan Prospek Transformasinya”, dalam makalah

(5)

pula dipandang sebagai bagian dari kontribusi untuk pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

M Yahya Harahap dalam “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam; Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam menambahkan bahwa keberhasilan umat Islam Indonesia merumuskan materi hukum Islam secara tertulis dalam KHI, merupakan wujud konkrit dalam rangka pemberlakuan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, yang sudah lama di cita-citakan. Dengan demikian maka sebenarnya “tema utama penyusunan KHI adalah ‘Mempositifkan’ hukum Islam Indonesia.

i. Kapitaselekta Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum Islam di Indonesia yang merujuk pada kitab-kitab fiqih (1) Al Bajuri,(2) Fathul Muin dengan Syarahnya, (3) Syarqowi alat Tahrir, (4) Qulyubi/Muhallil, (5) Fathul Wahhub dengan Syarahnya, (6) Tuhfah, (7) Targhibul Musytaq, (8) Qawaninusy Syar’Iyah lisayyid Utsman bin Yahya, (9) Qawaninusy Syar’iyah lisayyid Shodaqoh Dkhlan, (10) Syamsuri lil Faraidl, (11) Bughyatul Mustarsydin, (12) Al Fiqh ‘ala Muadzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.

Dari daftar Kitab-kitab ini, kita sudah dapat melihat pola pemiiran Hukum yang mempengaruhi penegakan Hukum Islam di Indonesia. Umumnya Kitab-kitab itu adalah kitab kuno dalam madzhab Syafi’I, kecuali No. 12 temasuk bersifat komperatif atau Perbandingan Madzhab.

Mengenai isi dari kompilasi hukum Islam terdapat tiga Bab pembahasan (1) Bab Pernikahan (2) Bab Waris dan (3) Bab Wakaf yang secara keseluruhan terakumulasi dalam 229 pasal. Secara terperinci Bab Pernikahan dapat di kemukakan secara singkat sebagai berikut:

(a) Ketentuan Umum Pasal 1 (b)Dasar-dasar Perkawinan Pasal 2-10 (c) Peminangan Pasal 11-13 (d) Rukun dan Syarat perkawinan Pasal 14-29 (e) Mahar Pasal 30-38 (f) Larangan Kawin Pasal 39-44 (g) Perjanjian Perkawinan Pasal 45- 52 (h) Kawin Hamil Pasal 53-54 (i) Beristri lebih dari satu orang Pasal 55-59 (j) Pencegahan Perkawinan Pasal 60-69 (k) Batalnya Perkawinan Pasal 70-76 (l) Hak dan kewajiban suami dan istri Pasal 77-84 (m) Harta Kekayaan dalam perkawinan Pasal 85-97 (n) Pemeliharaan Anak Pasal 98-106 (o) Perwalian Pasal 107-112 (p) Putusnya Perkawinan Pasal 113-148 (q) Akibat Putusnya Perkawinan Pasal 149-169 (r) Rujuk Pasal 163-169l

ii. KHI; Dalam Bingkai Historis

Abdul Manan dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia menjelaskan bahwa secara yuridis formal keberadaan

(6)

berbicara Hukum Islam di Indonesia, tidak bisa terlepas dari eksistensi negara Indonesia itu sendiri.

Keinginan para pemimpin Islam untuk dapat kembali

menjalankan hukum Islam bagi umat Islam – setelah dikebiri melalui teori Receptie – telah dimulai sejak perumusan dasar negara pada saat BPUPKI bersidang. Disahkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang kemudian disepakati direvisi menjadi rumusan final pada Sila Pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 29 Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu membicarakan Hukum Islam di Indonesia, tidak bisa tidak, terkait dengan sejarah Peradilan Agama di Indonesia. Lembaga inilah yang secara formal merupakan wujud wadah penyelesaian atau pelaksanaan hukum Islam, sebagai

kelanjutan pengadilan serambi atau pengadilan masjid di masa-masa kesultanan dahulu. Karena hukum materiil yang menjadi kompetensi absolutnya adalah hukum Islam.

Setelah perumusan UUD 1945, langkah yang ditempuh pemerintah adalah menyerahkan pembinaan peradilan agama dari Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946. pada tahun 1948 dikeluarkanlah UU No 19 Tahun 1948 yang memasukkan Peradilan Agama ke Peradilan Umum. Karena muatan undang-undang ini tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, undang-undang ini tidak pernah dinyatakan berlaku.

Mulai tahun 1958 dibentuklah di berbagai tempat Pengadilan Agama di Pengadilan Tinggi Agama. Kemudian pada tahun 1970

dikeluarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Yang pada intinya Peradilan Agama merupakan bagian integral dari kekuasaan kehakiman yang mandiri, tanpa ada intervensi pihak manapun.

Sebagai realisasi dari ketentuan di atas, pada tahun 1974

dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini merupakan kodifikasi dan unifikasi Hukum Perkawinan di Indonesia, berlaku bagi semua warga negara. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang ini mengandung keragaman hukum, jelas ia merupakan tonggak awal bahwa hukum Islam secara yuridis telah memiliki landasan yang kokoh.

Namun demikian, ada tuntutan merealisasikan perundang-undangan yang dapat mewadahi kemajemukan masyarakat dan sekaligus menampung kesadaran hukum masyarakat, mutlak perlu segera diwujudkan. Sebelum kelahiran UU Perkawinan, pemerintah sebenarnya telah mencoba menindaklanjuti pesan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Usaha ini kemudian membutuhkan waktu yang cukup lama, 17 tahun, akhirnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama dapat diajukan ke DPR untuk memperoleh persetujuan. Dengan

(7)

Upaya mewujudkan UU Peradilan Agama ini tentulah bukan saja dimaksudkan semata-mata untuk memenuhi ketentuan UU No. 14 Tahun 1970. Hal ini diharapkan akan mampu mengemban tugasnya dengan penuh kewibawaan dan bersama badan-badan peradilan lainnya merupakan wahana para pencari keadilan di Indonesia.

Kehadiran UU Peradilan Agama tersebut, patut disyukuri, paling tidak dengan adanya undang-undang ini Peradilan Agama telah sejajar dengan peradilan yang lain, tidak ada lagi pengawasan atau campur tangan dari peradilan lain. Keputusan hukum yang dikeluarkan tidak lagi membutuhkan pengukuhan dari peradilan umum.

Meskipun dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Peradilan Agama yang mana kompetensi absolut peradilan ini telah disebut dalam Pasal 49, namun masih sangat global. Untuk itu perlu adanya kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, agar amanat yang dibebankan pasal 49 tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, demi terwujudnya keadilan, ketertiban sekaligus kesadaran hukum masyarakat. RUU Peradilan Agama telah disiapkan sejak tahun 1970, berbarengan dengan itu disiapkan pula penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Secara resmi proses awal rencana ini adalah Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri

Agama Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25/1985 tanggal 21 Maret 1985.

Ada dua pertimbangan mengapa proyek ini dilaksanakan, yaitu, Pertama, bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan

Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dua, guna mencapai maksud tersebut demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas dan tertib administrasi dalam proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari para Pejabat MA dan Depag RI.

Adapun tujuan perumusan KHI di Indonesia adalah untuk

menyiapkan pedoman yang seragam (unikatif) bagi Hukum Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.

(8)

bahwa KHI adalah rumusan tertulis hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia.

Kehadiran KHI cenderung menjadi alternatif terhadap konstatasi di atas yang berpengaruh kuat pada seleksi pengambilan sumber normatifnya. Lima sumber utama yang dipilih untuk penyusunan KHI yakni : (a) hukum produk legislatif nasional yang telah tertuang dalam perundang-undangan dan peraturan lainnya yang relevan, seperti UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, dsb., (b) produk yudisial

pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, terutama sepanjang yang mengenai masalah waris dengan dukungan pengalaman tafsir hukum, mengantisipasi tuntutan di tengah hubungan konflik hukum Islam dengan hukum adat, (c) produk eksplanasi fungsionalisasi ajaran Islam melalui kajian hukum yang dilakukan IAIN dengan pokok

bahasan sesuai dengan distribusinya, (d) rekaman pendapat para ahli hukum Indonesia di beberapa daerah wilayah Indonesia, (e) hasil studi perbandingan di Maroko, Turki, dan Mesir, dan (f) pendapat serta

pandangan yang hidup pada saat Musyawarah Alim Ulama ins yang diadakan pada tanggal 2-6 Februari 1989 di Jakarta dengan peserta dari seluruh Indonesia.

Lahirnya rumusan hukum seperti yang terlihat di dalam KHI harus dipandang sebagai sebuah wajah kulminasi organisme hukum Islam di bidangnya. Diharapkan nantinya KHI mampu memback up fenomena masyarakat yang terkait dengan masalah hukum, disamping itu KHI mampu memberikan jaminan keadilan, ketertiban sekaligus kesadaran hukum bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang memeluk agama.

iii. KHI; Upaya Rekonstruksi KHI

Walaupun KHI telah diberlakukan dan telah dijadikan pedoman oleh para hakim dilungkungan peradilan agama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, hal ini tidak berarti bahwa KHI merupakan hasil final yang tidak

membutuhkan penyempurnaan. Sebagaimana watak fiqh yang

mungkin selalu mengalami perubahan karena berbagai pertimbangan kebutuhan (baik waktu atau tempat), maka KHI pun yang salah satu sumber pembentukannya mengacu kepada fiqh, dimungkinkan adanya berbagai perubahan, baik isi maupun produk hukum yang

memayunginya.

(9)

Ada banyak masalah yang termuat dalam Counter Legal Draft (CLD-KHI) sehingga draft ini banyak menuai protes. Di bawah ini penulis akan menguraikan beberapa masalah yang terdapat dalam draft ini. Adapun tujuh butir masalah CLD-KHI adalah;

i. Mengadaptasikan syariat Islam dengan kehidupan demokrasi (Bab I/I).

ii. Melalui dekonstruksi ajaran Islam (I/II).

iii. KHI Indonesia yang pluralis dan demokratis (Bab II/I)

iv. KHI dalam kerangka Hukum Nasional dan hukum Internasional (Bab II/II)

v. Mengacu kepada prinsip dasar ajaran Islam yaitu pluralism (ta’addudiyah Bab II/V).

vi. Problem metodologis (usul fiqh) membongkar kerangka bangunan (dekonstruksi) paradigma ushul fiqh lama dan menciptakan ushul fiqh alternatif.

vii. Merekonstruksikan hukum Islam (fiqh) dewasa ini tidak cukup sekedar melakukan tafsir ulang, akan tetapi harus melalui proses dekonstruksi (pembongkaran), (akhir Bab II).[12]

viii. Adapun pendekatan yang digunakan sebagai pisau analisis adalah pendekatan Gender, pluralisme, HAM, dan demokrasi.

Beberapa Contoh dalam CLD-KHI yang Kontroversi

i. Perkawinan bukan ibadah dalam arti kewajiban, tetapi hubungan social kemanusiaan biasa. Perkawinan akan bernilai ibadah, jika diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah

ii. Wali nikah hanya diperlukan bagi perempuan yang menikah di bawah usia 21 tahun.

iii. Perempuan boleh menjadi saksi dalam perkawinan.

iv. Pencatatan perkawinan menjadi salah satu rukun perkawinan. v. Batas usia perkawinan adalah 18 tahun dengan tidak

membedakan antara calon isteri dan calon suami.

vi. Mahar wajib diberikan oleh calon suami atau calon isteri dan jumlahnya disesuaikan dengan adat setempat.

vii.Kawin beda agama dibolehkan selama dalam batas untuk mencapai tujuan perkawinan.

viii. Poligami haram li ghairihi (haram karena ekses yang

ditimbulkannya), yakni sangat merugikan perempuan dan anak. ix. Isteri mempunyai hak untuk menceraikan dan merujuk suaminya

(setara dengan hak suami).

x. Iddah dikenakan bagi suami dan isteri. xi. Ihdad dikenakan bagi suami dan isteri

xii.Pencarian nafkah menjadi kewajiban bersama antara suami dan isteri. Namun, harus di ingat bahwa tugas reproduksi isteri di pandang lebih bernilai dari pada tugas pencarian nafkah.

xiii. Nusyuz dapat dituduhkan kepada suami dan isteri.

(10)

xv.Kedudukan hukum anak di luar perkawinan, jika diketahui ayah biologisnya, maka anak tetap memiliki hak waris dengan ayah biologisnya

Konklusi: Sebuah Upaya penerapan Hukum Islam yang Syamil Kesadaran umat Islam akhir-akhir ini semakin membawa angin segar termasuk dari para pemimpin bangsa ini, baik aparatur

pemerintah maupun para ulamanya. Rancangan Undang-undang (RUU) yang sedang dalam proses penggodokan tampaknya di kawal ketat oleh para ulama, khususnya oleh MUI. Dan dilihat dari upaya-upaya itu, penulis optimis, walaupun pelan tapi pasti, penerapan hukum Islam di Indonesia bagi pemeluknya semakin mendapatkan ruang.

Adapun contoh-contoh hukum Islam yang sudah di undang-undangkan seperti: UU Pengelolaan Zakat (no. 38 tahun 1999). UU Penyelenggaraan Haji (no. 17 tahun 1999). UU Pornografi (no. 44 tahun 2004). UU Perbankan Syariah. UU Wakaf. Dan UU Sistem Pendidikan Nasional. Sedangkan yang masih dalam proses penggodokan adalah sebagai berikut: RUU Jaminan Produk Halal. RUU Hukum Materiil dalam Lingkungan Peradilan Agama bidang Perkawinan. RUU Tentang

Mahkamah Agung. RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah. RUU KUHP. RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (kontroversi) dan RUU Kerukunan Umat Beragama.

Terlepas dari pro-kontra dalam upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia, kita seyogyanya mendukung usaha unifikasi yang

dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten di dalam merumuskan hukum Islam, bahkan penulis berharap, kita kelak menjadi bagian yang ikut andil dalam merumuskannya. Semoga kita bisa melanjutkan

usaha-usaha pendahulu kita sehingga ajaran Islam bisa diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan. Wallahu A’lam Bisshawab

Referensi

Dokumen terkait

Majelis Pengawas Daerah (MPD) mempunyai kewenangan khusus yang tidak dipunyai oleh MPW dan MPP, yaitu sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 66 UUJN, bahwa MPD berwenang

Pada table dibawah dapat dijelaskan jumlah penduduk wilayah perkotaan dan perdesaan saat ini dan proyeksi 5 tahun mendatang perkecamatan, dimana jumlah penduduk

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang aplikasi pemesanan tiket online kapal laut berbasis android dengan menggunakan metodologi DAD ( Disciplined Agile

Dari keterangan di atas secara nyata telah membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya kekuasaan eksekutif dan legislatif, yakni pengangkatan panitia seleksi oleh

[r]

Hasil indek seritrosit sebanyak 1 orang (4%) berjenis kelamin laki-laki mengalami anemia mikrositikhipokrom yang bias disebabkan oleh defisiensi besi, dan 1 orang

Hasil penelitian analisis pengaruh social media marketing terhadap keputusan pembelian diperoleh hasil t hitung -0,751 < t tabel 1,983 dan sig 0,455 > 0,05