• Tidak ada hasil yang ditemukan

Policy Paper

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Policy Paper"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN

PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BAPPENAS

Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat

mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan

pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama

yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh

dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu

rata-rata global melebihi 2˚C, atau dengan kata lain menurunkan emisi

tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun

2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon

international yang solid – aksi kolektif untuk menghindari konlik

antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi

dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang

sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak

perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan

pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan

pembangunan yang berkelanjutan.

Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi

telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua,

emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi

geograisnya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian

yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim

kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan

keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko.

Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau

memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintiik yang tidak

terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan

pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan

secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa

maupun individu.

(4)

segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global

bumi. Kita telah meratiikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi

perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13

United

Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)

, yang telah melahirkan

Bali Action Plan

pada

tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah

dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat

penting. Namun sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan

strategis dan penetapan prioritas.

Untuk itu saya mengantarkan dokumen

Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap,

atau disebut ICCSR,

dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan

nasional.

Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,

yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah,

dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita

telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan

kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan

aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor.

Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan

kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah

iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(5)

SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Perubahan iklim merupakan proses yang terjadi secara dinamis dan

terus-menerus. Oleh sebab itu, strategi antisipasi dan penyiapan teknologi

adaptasi menjadi salah satu “target pembangunan pertanian” dalam

upaya pengembangan pertanian yang tahan

(resilience)

terhadap perubahan

iklim. Mengingat luasnya dampak dan aspek yang terkait, maka antisipasi,

adaptasi, dan mitigasi sektor pertanian dalam menyikapi perubahan

iklim harus disusun secara holistik dan terintegrasi dengan melibatkan

seluruh subsektor pertanian dalam “

Road map

Strategi Sektor Pertanian

Menghadapi Perubahan Iklim”.

Road map

ini disusun sebagai pedoman dalam mensinergikan program

dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim antar-subsektor.

Secara spesiik, penyusunan

road map

ini bertujuan untuk menyiapkan arah dan strategi kebijakan, program

dan rencana aksi, tahapan dan strategi pelaksanaan program dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi sektor

pertanian dalam menghadapi perubahan iklim, serta menetapkan sasaran dan waktu pencapaian

masing-masing program dan rencana aksi.

Road map

sektor pertanian ini harus dijadikan acuan kebijakan bagi setiap subsektor pertanian dalam

menyusun program perubahan iklim untuk periode 2010-2029.

Jakarta, Maret 2010

Menteri Pertanian

(6)

PENGANTAR DEPUTI MENTERI BIDANG SUMBER

DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAPPENAS

Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global,

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi

Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam

kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan

dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan

international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi

terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari

kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan

oleh sebagian pembangkit yang masih menggunakan bahan bakar tidak

terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari

intensitas energi kita yang tinggi.

Dengan lokasi geograisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia kita termasuk salah satu negara

yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran terhadap hal ini diperlukan

untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut,

banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan,

maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air, penurunan hasil

pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di daerah pesisir pantai.

Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentiikasi

upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen

Indonesia Climate Change

Sectoral Roadmap

, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem

perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional

dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim.

Indonesia Climate Change Sectoral

Roadmap

(ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan

(7)

PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN

DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Perubahan iklim yang dampaknya sudah sangat dirasakan di sektor

pertanian harus diatasi melalui perencanaan yang matang dilanjutkan

dengan program aksi melalui tindakan nyata oleh semua ihak.

Road Map

Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim ini merupakan

strategi antisipasi, mitigasi dan adaptasi setiap sub sektor dan bidang

masalah lingkup Sektor Pertanian untuk meminimalkan dampak

variabilitas dan perubahan iklim di sektor pertanian.

Road Map

ini disusun bersama oleh tim dari sub sektor dan bidang masalah

pertanian yang koordinasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian melalui Program Konsorsium Penelitian dan Pengembangan

Perubahan Iklim Sektor Pertanian (KP3I), dengan struktur yang sederhana

agar mudah dipahami oleh para pengambil kebijakan dan pelaksana.

Road Map

ini perlu juga dijabarkan

secara teknis, baik dalam upaya mitigai maupun adaptasi.

Penghargaan dan ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan

Lingkungan Hidup KemNeg PPN/BAPPENAS, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi SDA dan

Pengendalian Kerusakan Lingkungan, KemNeg LH, Sekjen Deptan, Dirjen dan Kepala Badan lingkup

Kementerian Pertanian, serta tim penyusun dan kontributor, baik dari Badan Litbang Pertanian maupun

Setjen Deptan, Ditjen Perkebunan, Tanaman Pangan, Hortikultura, PLA, Peternakan, P2HP, BKP,

Perguruan Tinggi. Khususnya juga kepada kepada Tim Second National Communication (SNC),

Deutsche

Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit

(GTZ), dan Tim Roadmap Bappenas serta semua pihak yang telah

berkontribusi dan berperan aktif dalam penyusunan Road Map ini.

Jakarta, Maret 2010

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

(8)

TIM PENYUSUN

Penanggungjawab : Dr. S. Gatot Irianto, DEA Ka. Badan Litbang Pertanian

Tim Teknis

1.

Prof. Dr.Irsal Las, Ka BB Litbang SDL Pertanian, (Ketua Tim).

2.

Dr. Astu Unadi, Ka Balitlimat (Wakil Ketua Tim)

3.

Dr. Eleonora Runtunuwu (Sekretaris Tim)

4.

Dr. Irawan

5.

Dr. Fahmuddin Agus

6.

Ir. Elza Surmaini, M.Si

7.

Ir. Erni Susanti, M.Sc

8.

Dr. Aris Pramudia

9.

Adang Hamdani. SP

10.

Ir. Sucianti, M.Si

11.

Dr. Istiqlal Amien

(9)

Kontributor

1.

Dr. Haryono, Sekretaris Badan Litbang Pertanian

2.

Dr. Sri Rochayati, M.Sc (Badan Litbang Pertanian)

3.

Dr. Ahmad Rachman (Badan Litbang Pertanian)

4.

Dr. Dedi Nursyamsi (Badan Litbang Pertanian)

5.

Dr. Ai Dariah (Badan Litbang Pertanian)

6.

Dr. M. Ardiansyah (IPB-CCROM)

7.

Ir. Achmad Fuadi, M.Si (Setjen/Biro Perencanaan)

8.

Ir. Yuliana E. Utami (Setjen/Biro Perencanaan)

9.

Dr. Herdrajat (Ditjen Perkebunan)

10.

Heru Tri Widarto, SSi, M.Si (Ditjen Perkebunan)

11.

Ir. Galih Surti, MM (Ditjen Perkebunan)

12.

Ir. Ati Wasiyati, MM (Ditjen Tanaman Pangan)

13.

Ir. Endang Titik Purwani, MM (Ditjen Tanaman Pangan)

14.

Ir. Prasetyo M, MM (Ditjen PLA)

15.

Ir. Diah Susilokarti, MP (Ditjen PLA)

16.

Ir. Sukirno, MM (Ditjen Hortikultura)

17.

Ir. Sulistyo Sadewo (Ditjen Hortikultura)

18.

Dr. Riwantoro (Ditjen Peternakan)

19.

Ir. Mursid, MS (Ditjen Peternakan)

20.

Ir.Bambang Sugiarto, M.Sc (Badan Ketahanan Pangan)

21.

Ir. Iwan F. Malonda, M.Kom (Badan Ketahanan Pangan)

22.

Ir. Jamil Musanif

(P2HP)

23.

Ir.Susanto, MM

(P2HP)

24.

Dede Sulaeman, ST, MSi (P2HP)

(10)

DAFTAR ISI

SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/

KEPALA BAPPENAS

i

SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

iii

PENGANTAR DEPUTI MENTERI BIDANG SUMBER DAYA ALAM

DAN LINGKUNGAN HIDUP BAPPENAS

iv

PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

v

TIM PENYUSUN

vi

DAFTAR ISI

viii

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xii

1

PENDAHULUAN

1

1.1

Latar Belakang

2

1.2

Tujuan

3

1.3

Pendekatan

4

2

ARAH DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN

7

2.1

Visi Kementerian Pertanian

8

2.2

Misi Kementerian Pertanian

8

2.3

Tujuan Pembangunan Pertanian

9

(11)

3.1.1 Kerentanan sektor pertanian terhadap bahaya kekeringan

17

3.1.2 Kerentanan dan dampak sektor pertanian terhadap bahaya banjir

21

3.1.3 Dampak pergeseran pola curah hujan

23

3.2

Kerentanan Sektor Pertanian terhadap Peningkatan Suhu Udara

23

3.3

Dampak Kenaikan Muka Air Laut terhadap Sektor Pertanian

26

4

ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PEMBANGUNAN PERTANIAN

MENYIKAPI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

29

4.1

Strategi Umum

30

4.2

Antisipasi

30

4.3

Adaptasi Perubahan Iklim

31

4.4

Mitigasi Perubahan Iklim

32

4.5

Penelitian dan Pengembangan

33

4.6

Isu Lintas Sektoral

(Cross Cutting Issue)

34

5

ROAD MAP PROGRAM ANTISIPASI, ADAPTASI, DAN MITIGASI

PERUBAHAN IKLIM SEKTOR PERTANIAN

35

5.1

Penelitian dan Pengembangan

36

5.2

Antisipasi Perubahan Iklim

38

5.3

Advokasi dan Diseminasi

39

5.4

Adaptasi dan Mitigasi

39

5.5 Program Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK

40

6

PENUTUP

41

DAFTAR PUSTAKA

43

Lampiran 1. Program dan kegiatan penelitian dan pengembangan menghadapi perubahan iklim global 45

Periode RPJM 2010-2014

48

(12)

Lampiran 4. Program dan kegiatan adaptasi dan mitigasi sektor pertanian

menghadapi perubahan iklim global

51

Lampiran 5. Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim 2010-2020 Sektor Pertanian

77

Lampiran 6. Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim 2010-2020 Sektor Pertanian pada Lahan Gambut 78

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan (ha)

18

Tabel 3.2 Pengaruh kekeringan terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit (Ditjenbun, 2007) 20

Tabel 3.3 Luas lahan sawah rawan banjir/genangan di Jawa (ha)

21

Tabel 3.4 Proyeksi penurunan hasil panen pada tanaman jagung akibat peningkatan laju respirasi

tanaman yang disebabkan oleh kenaikan suhu pada tahun 2050 (Handoko

et al

, 2008) 24

Tabel 3.5

Dampak kenaikan muka air laut terhadap penurunan luas baku lahan sawah

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Tren perubahan curah hujan pada periode Des-Feb (atas) dan Jun-Agt (bawah)

di Indonesia

Gambar 3.2 Perubahan curah hujan di Tasikmalaya periode 1879-2006

Gambar 3.3 Sepuluh kejadian El-Nino terkuat dalam satu abad terakhir (Lebar garis

menunjukkan karakter kejadian, seperti durasi kejadian 6-18 bulan;

Gambar 3.4 Peningkatan frekuensi kejadian El-Nino dan La-Nina (Las

et al.

, 2008)

Gambar 3.5 Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan dan banjir di Indonesia

dalam periode 1991-2006 (Ditlin Tanaman Pangan, 2007).

Gambar 3.6 Rata-rata luas areal pertanaman padi yang mengalami kekeringan pada tahun El

Nino di setiap kabupaten dalam periode 1989-2006.

Gambar 3.7 Produksi padi dan pengaruh kekeringan dan penerapan teknologi, 1971-2004

(Las.,

et al

., 2008a).

Gambar 3.8 Peta penyebaran kerawanan banjir di Indonesia

Gambar 3.9 Rata-2 Wilayah pertanaman padi yang terkena dampak banjir pada tahun La

Nina per kabupaten (1989-2006).

Gambar 3.10

Perubahan suhu pada musim hujan (Januari) dan musim kemarau (Juli) di Jakarta,

1860-2000.

Gambar 3.11 Perkiraan perubahan produksi padi per kabupaten pada tahun 2025 dibanding

produksi saat ini akibat kenaikan suhu dan kosentrasi CO

2

untuk skenario

SRESB1 dan SRESA2 pada berbagai skenario perubahan luas lahan sawah dan

indeks penanaman padi.

15

16

17

17

19

19

20

22

22

24

(15)

PENDAHULUAN

(16)

1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi masyarakat dunia pada saat ini dan ke

depan. Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul dari berbagai studi mutakhir memperlihatkan faktor

antropogenik, terutama industrialisasi yang berkembang cepat selama 50 tahun terakhir, telah menyebabkan

pemanasan global secara signiikan. Seiring dengan pemanasan global, terjadi pula perubahan iklim

lainnya, seperti peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan kekeringan serta peningkatan periodisitas

El-Nino.

Industrialisasi mendorong peningkatan emisi dan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer,

yang terdiri atas karbondioksida (CO

2

), dinitro oksida (N

2

O), metana (CH

4

), sulfurheksalorida (SF

6

),

perlorokarbon (PFCs), dan hidroloro-karbon (HFCs). Tiga jenis GRK yang disebut terdahulu

berhubungan dengan perubahan penggunaan lahan pertanian (LULUCF,

Land Use Land Use Change and

Forestry

).

Walaupun berkontribusi relatif kecil (sekitar 7%) terhadap emisi GRK nasional, namun sektor pertanian,

terutama subsektor tanaman pangan, mengalami dampak (

victim

) perubahan iklim yang cukup besar.

Di sisi lain, sektor pertanian berperan penting dalam kehidupan dan perekonomian nasional, terutama

sebagai penghasil utama bahan pangan, bahan baku industri dan bioenergi. Sektor pertanian juga

mengasilkan jasa lingkungan dan berbagai fungsi lainnya seperti penyedia lapangan kerja bagi sekitar 40%

angkatan kerja Indonesia, penyumbang pertumbuhan ekonomi, menjaga ketahanan pangan, memberikan

kesegaran dan keindahan di pedesaan (

rural amenity

), dan menjaga tata air daerah aliran sungai (Yoshida,

2001; OECD, 2001; EOM dan KANG, 2001; Chen, 2001; Agus

et al.

, 2006). Multifungsi lahan sawah

di DAS Citarum, Jawa Barat, diperkirakan bernilai 51% dari nilai gabah yang dihasilkan di DAS tersebut

(Agus

et al

., 2003). Perubahan iklim dapat mempengaruhi sektor pertanian, baik sebagai penghasil barang

yang dapat dipasarkan maupun sebagai penghasil berbagai jasa. Oleh sebab itu, antisipasi dan adaptasi

sektor pertanian terhadap perubahan iklim harus menjadi program utama dalam menghadapi perubahan

iklim.

(17)

memiliki fungsi ekologis yang unggul, tertutama dalam menyerap karbon dioksida. Oleh sebab itu,

subsektor perkebunan berperan strategis dalam mitigasi perubahan iklim dan pada gilirannya berpotensi

dalam perdagangan karbon (

carbon trading

).

Di sisi lain, areal lahan perkebunan, khususnya kelapa sawit, dalam beberapa tahun terakhir meluas ke

lahan gambut. Pembukaan lahan gambut menjadi kontroversi dan polemik internasional karena berpotensi

meningkatkan emisi GRK. Subsektor peternakan juga menyumbang emisi GRK cukup signiikan terhadap

sektor pertanian.

Sektor pertanian juga dituntut untuk berperan dalam mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) sebagai

bahan baku energi (bioenergi) seperti biodiesel, bioetanol, dan biogas. Tanaman sumber utama biodiesel

adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, dan kemiri sunan, sedangkan sumber bioetanol adalah tanaman

penghasil pati (sagu, ubi-ubian), gula (tebu, nira), dan selulose (limbah kayu, bagas tebu). Bahan baku

utama biogas adalah kotoran ternak.

Oleh sebab itu, peningkatan produksi pertanian di masa yang akan datang bukan hanya ditujukan untuk

stabilitas ketahanan pangan, tetapi juga untuk mitigasi emisi GRK dan stabilitas ketahanan energi.

Terkait dengan peranan strategis sektor pertanian bagi pembangunan nasional, kendala dan ancaman yang

dihadapi di masa depan, khususnya perubahan iklim, maka upaya antisipasi dan adaptasi menghadapi

perubahan iklim perlu dirumuskan dalam bentuk peta jalan

(road map)

.

1.2 Tujuan

Road map

Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim disusun sebagai pedoman dalam mensinergikan

program dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim antar-subsektor. Secara spesiik,

penyusunan

road map

ini bertujuan untuk:

a.

menyiapkan arah kebijakan dan strategi sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim;

b.

menyiapkan program dan rencana aksi sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim;

c.

menyiapkan tahapan dan strategi pelaksanaan program dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi sektor

pertanian dalam menghadapi perubahan iklim;

(18)

1.3 Pendekatan

Road map

Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim

disusun berdasarkan kajian dan analisis terhadap

berbagai dokumen dan data, serta hasil-hasil penelitian sebelumnya, diskusi dan konsultasi dengan berbagai

pihak terkait, maupun melalui seminar,

focus group discussion

(FGD) yang diwadahi oleh Konsorsium

Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim (KP3I) Sektor Pertanian dan Tim

Road map

Bappenas

serta Kelompok Kerja Komunikasi Nasional Kedua (SNC) Perubahan Iklim.

Beberapa dokumen yang menjadi sumber penyusunan

road map

antara lain adalah:

a) Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (dihasilkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup).

b) Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK).

c) Mainstreaming of Climate Change to Government Work Plan

.

d) Mainstreaming of Climate Change into

National Development Agenda

.

e) Technology Need Assessment for Adaptation and Mitigation to Climate Change in Agricultural Sector

.

f) Konsep dan Arahan Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014.

g) Program 100 Hari Depertemen Pertanian.

h) Road map

Pengembangan Kelapa Sawit, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian.

i) Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis (SEAMEO BIOTROP).

j)

Indonesian National Greenhouse Gas Inventory under the UNFCC: Enabling Acivities for the Preparation of

Indonesia’s Second National Commnication to the UNFCCC: GHG Inventory, GHG Emission Reduction,

Vulnerability and Adatation)

(KLH & UNDP).

k) Laporan kegiatan Tim KP3I (Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim Global

terhadap Sektor Pertanian), Badan Litbang Pertanian.

l) Laporan hasil penelitian Sumberdaya Lahan (Tanah, iklim, air) Badan Litbang Pertanian.

(19)

Mintzer, Mr. Heiner von Luepke, dan Prof. Dr. Handoko. Kemudian perumusan prioritas program dan

kegiatan pembangunan pertanian terkait dengan perubahan iklim dilakukan melalui konsinyasi antara Tim

KP3I dengan subsektor terkait di lingkup Kementerian Pertanian dan Biro Perencanaan Kementerian

Pertanian.

Road map

Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim disusun untuk periode (time frame) 20 tahun, yakni

(20)
(21)

ARAH DAN PROGRAM

PEMBANGUNAN

KEMENTERIAN

PERTANIAN

(22)

Salah satu masalah yang mendasar pada sektor pertanian adalah keterbatasan sumberdaya lahan, baik

dari aspek sosial-ekonomi maupun isik, yang ditandai oleh (a) terjadinya degradasi kualitas lahan

sehingga produktivitasnya menurun atau laju peningkatan produktivitas berkurang (

leveling off

), (b) tidak

terkendalinya konversi lahan pertanian produktif dan terbatasnya ketersediaan lahan potensial untuk

ekstensiikasi pertanian, dan (c) terjadinya fragmentasi penguasaan lahan.

Konversi lahan pertanian produktif di Indonesia merupakan salah satu ancaman serius bagi berkelanjutan

ketahanan pangan nasional. Dalam periode 1999-2003 konversi lahan sawah mencapai 424.000 ha (106.000

ha/tahun) (Sutomo, 2004). Selain itu, terdapat sekitar 9,55 juta KK yang memiliki lahan < 0,5 ha dan

angka tersebut cenderung meningkat akibat fragmentasi lahan serta makin tingginya insentif untuk usaha

pada sektor non-pertanian. Perubahan iklim dengan segala dampaknya akan semakin menekan sektor

pertanian dalam mencapai berbagai sasaran pembangunan pertanian, seperti peningkatan produksi dan

kesejahteraan petani.

Berdasarkan persoalan mendasar dan target yang ingin dicapai, arah dan program Kementerian Pertanian

ke depan ditujukan untuk mencapai visi, misi, dan tujuan pembangunan pertanian (Renstra Deptan

2010-2014).

2.1 Visi Kementerian Pertanian

Terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan

kemandirian pangan berkelanjutan, nilai tambah, ekspor, dan kesejahteraan petani.

2.2 Misi Kementerian Pertanian

1) Mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang eisien, berbasis iptek dan sumberdaya lokal, serta

berwawasan lingkungan melalui pendekatan sistem agribisnis.

2) Menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan peningkatan

produksi dan produktivitas untuk meningkatkan kemandirian pangan.

(23)

7) Mengembangkan industri hilir pertanian yang terintegrasi dengan sumberdaya lokal untuk memenuhi

permintaan pasar domestik, regional, dan internasional.

8) Mendorong terwujudnya sistem kemitraan usaha dan perdagangan komoditas pertanian yang sehat,

jujur, dan berkeadilan.

9) Menjadikan petani kreatif, inovatif, dan mandiri, serta mampu memanfaatkan iptek dan sumberdaya

lokal untuk menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing tinggi.

10) Meningkatkan kualitas kinerja dan pelayanan aparatur pemerintah di bidang pertanian yang amanah

dan profesional.

2.3 Tujuan Pembangunan Pertanian

Sebagai acuan untuk mencapai visi dan melaksanakan misi tersebut Kementerian Pertanian menetapkan

lima target sukses pembangunan pertanian yaitu: (1) peningkatan produksi dan swasembada berkelanjutan;

(2) ketahanan pangan dan gizi; (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor; (4) peningkatan

pendapatan petani; dan (5) adaptasi perubahan iklim dan kelestarian lingkungan.

2.4 Arah Kebijakan Kementerian Pertanian

Kementerian Pertanian telah merumuskan 15 butir arah kebijakan pembangunan pertanian untuk RPJM

2010-2014, dan beberapa di antaranya sangat terkait dengan isu perubahan iklim dan lingkungan, antara

lain:

1) Meningkatkan produksi bahan pangan utama dan komoditas unggulan berbasis sumberdaya lokal

dan mengupayakan diversiikasi konsumsi, pemerataan distribusi, dan aksesibilitas bahan pangan.

2) Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia pertanian (petani, peternak, dan aparatur), terutama

dalam menghadapi perubahan iklim dan cekaman lingkungan.

3) Mengembangkan dan merehabilitasi infrastruktur pertanian (pengairan, jalan usahatani, perluasan

areal, pengelolaan lahan termasuk padang penggembalaan, serta status dan kepemilikan lahan).

4) Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan dan air serta mengembangkan kegiatan pertanian

berwawasan lingkungan hidup.

5) Melakukan perlindungan terhadap kegiatan pertanian dan produksinya (subsidi, asuransi pertanian,

tarif, stabilisasi harga).

(24)

Padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi merupakan komoditas pangan utama bagi masyarakat Indonesia,

sehingga upaya pemenuhan dari produksi dalam negeri menjadi sangat krusial. Padi dan jagung saat ini

sudah dapat dipenuhi pengadaannya dari produksi dalam negeri dan perlu dipertahankan dan dimantapkan

lagi ke depan. Kedelai, gula, dan daging sapi ditargetkan untuk dapat berswasembada dalam lima tahun ke

depan. Dalam periode 2010-2014 terdapat 32 komoditas yang diunggulkan untuk dikembangkan.

Aktivitas pembangunan pertanian tidak hanya terbatas pada upaya pemanfaatan dan pengefektifan

kapasitas produksi yang ada, tetapi juga diupayakan melalui penambahan kapasitas produksi. Oleh

karena itu, pengembangan dan rehabilitasi infrastruktur pertanian menjadi sangat fundamental, terutama

pengairan, jalan usahatani, dan areal pertanian. Untuk itu akan dilakukan pembuatan dan rehabilitasi

saluran irigasi tersier dan saluran irigasi di areal persawahan, penyediaan pompa air dalam, sumur resapan

dan embung, fasilitasi irigasi tetes, dan lainnya, sehingga terjadi penambahan lahan berpengairan.

Lahan dan air merupakan faktor produksi pertanian yang mutlak dibutuhkan. Pemanfaatan lahan

pertanian yang ada saat ini masih sangat memungkinkan untuk dioptimalkan, baik melalui pemanfaatan

lahan tidur dan rehabilitasi lahan kritis maupun peningkatan indeks pertanaman (IP) pada lahan yang

sudah diusahakan.

Pemanfaatan air juga masih sangat dimungkinkan untuk dieisienkan. Fenomena yang sering terjadi adalah

lahan pertanian kekurangan air pada musim kemarau dan kebanjiran pada musim hujan. Oleh karena

itu, pengembangan bangunan konservasi air melalui upaya penyimpanan dan pendistribusian air menjadi

salah satu arah kebijakan pertanian lima tahun ke depan.

Kemajuan pertanian tidak terlepas dari kemajuan teknologi yang dinamis sesuai dengan dinamika

lingkungan dan kebutuhan pasar. Karena itu, penelitian pertanian tetap menjadi bagian dari arah kebijakan

pembangunan pertanian ke depan yang tidak hanya ditekankan pada upaya menghasilkan teknologi baru,

tetapi juga mendiseminasikan teknologi tersebut agar betul-betul sampai dan dapat diimplementasikan

petani.

(25)

2.5 Strategi Fundamental dan Akselerasi

Untuk melaksanakan 10 program prioritas pertanian diperlukan strategi fundamental melalui tujuh gema,

yaitu:

1) Revitalisasi Lahan

2) Revitalisasi Perbenihan dan Perbibitan

3) Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana

4) Revitalisasi Sumberdaya Manusia

5) Revitalisasi Pembiayaan Petani

6) Revitalisasi Kelembagaan Petani

7) Revitalisasi Teknologi dan Industri Hilir

Selain strategi fundamental diperlukan pula upaya untuk mempercepat pembangunan pertanian dengan

strategi akselerasi, yaitu:

1) Mendorong peningkatan produksi dan produktivitas berbasis komoditas lokal dengan mengantisipasi

perubahan iklim dan penerapan praktek pertanian yang berwawasan lingkungan hidup.

2) Mendorong pengembangan industri pengolahan pertanian di pedesaan secara eisien guna

meningkatkan nilai tambah dan daya saing di pasar dalam negeri dan internasional.

3) Mengembangkan kawasan komoditas unggulan pertanian berdasarkan database, masterplan/

roadmap

.

4) Menumbuhkan usaha ekonomi produktif di pedesaan yang berbasis pertanian dan sumberdaya

lokal.

5) Meningkatkan dan menjaga mutu dan keamanan pangan pada semua tahapan produksi, mulai dari

hulu sampai hilir.

6) Meningkatkan diversiikasi pangan berbasis sumberdaya lokal, dan mengupayakan kelancaran

distribusi serta stabilitas harga.

7) Meningkatkan kegiatan penelitian, khususnya dalam upaya perakitan varietas dan bibit unggul,

pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, peningkatan nilai tambah dan daya saing.

8) Mempercepat diseminasi hasil penelitian dengan mengoptimalkan kelembagaan pengkajian, diklat,

penyuluhan, tenaga teknis pertanian lapangan dan kelembagaan petani dan peternak.

(26)

pengganggu tanaman (OPT) dan hewan serta kesehatan manusia dan lingkungan hidup yang

diakibatkan oleh lalu lintas komoditas pertanian, baik antar- pulau maupun antar-negara

10) Meningkatkan citra pertanian melalui upaya promosi dan penghargaan kepada pelaku usaha yang

sukses di bidang pertanian, serta koordinasi dengan pihak perguruan tinggi untuk memperkaya

kurikulum dengan memasukkan unsur agribisnis/entrepreneurship dalam mata kuliah atau dalam

praktek lapang.

2.6 Program Kementerian Pertanian

Sesuai dengan kebijakan Reformasi Perencanaan dan Penganggaran, program Kementerian Pertanian

disesuaikan dengan tugas dan fungsi yang ada di masing-masing unit Eselon I yang dijabarkan ke dalam

10 program prrioritas pada Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014, yakni:

1) Audit lahan dan sertiikasi.

2) Pencetakan 100 ribu ha lahan baru per tahun.

3) Perbenihan (300 ribu ton padi dan 80 ribu ton jagung).

4) Perbibitan (200 ribu ekor sapi per tahun).

5) Infrastruktur (jaringan irigasi tingkat usahatani dan jaringan irigasi desa).

6) Sarana (pupuk anorganik dan pengembangan pupuk organik).

7) Pengembangan sumberdaya manusia (sekolah lapang pertanian, 60 ribu penyuluh, pelatihan dan

pemagangan).

8) Pembiayaan petani (PUAP, sarjana membangun desa, lembaga distribusi pangan masyarakat ,

LM3).

9) Pengembangan kelembagaan petani (pemberdayaan Gapoktan, lembaga keuangan mikro).

(27)

KERENTANAN DAN

DAMPAK PERUBAHAN

IKLIM TERHADAP

SEKTOR PERTANIAN

(28)

Kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim dapat dideinisikan sebagai tingkat kekurangberdayaan

suatu sistem usaha tani dalam mempertahankan dan menyelamatkan tingkat produktivitasnya secara

optimal dalam menghadapi cekaman perubahan iklim. Pada dasarnya kerentanan bersifat dinamis sejalan

dengan kehandalan teknologi, kondisi sosial-ekonomi, sumberdaya alam dan lingkungan. Kerentanan

dipengaruhi oleh tingkat keterpaparan (

exposure

) terhadap bahaya dan kapasitas adaptif serta dinamika

iklim itu sendiri. Dampak adalah tingkat kondisi kerugian, baik secara isik, produk, maupun secara sosial

dan ekonomi yang disebabkan oleh cekaman perubahan iklim.

Pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor

utama, yaitu bioisik, genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya

merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cakeman, teutama cekaman (kelebihan dan

kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan

sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las.,

et al

,

2008b). Tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global, yang berdampak terhadap sektor

pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), (2) peningkatan

suhu udara, dan (3) peningkatan muka laut.

3.1 Perubahan Pola Curah Hujan dan Iklim Ekstrem

Perubahan pola hujan sudah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir,

seperti awal musim hujan yang mundur pada beberapa lokasi, dan maju di lokasi lain (Ibrahim, 2004).

Penelitian Aldrian dan Djamil (2006) menunjukkan jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim cenderung

meningkat dalam 50 tahun terakhir, terutama di kawasan pantai.

Naylor (2007) memprediksi arah perubahan pola hujan tipe di wilayah Bagian Barat Indonesia dan Selatan

Khatulistiwa. Di Bagian Utara Sumatea dan Kalimantan, intensitas curah hujan cenderung lebih tinggi

dengan periode yang lebih pendek, sedangkan di Wilayah Selatan Jawa dan Bali akan menurun tetapi

dengan periode yang lebih panjang. Secara nasional, Boer

et al.

(2009) mengungkapkan tren perubahan

(29)

Gambar 3.1. Tren perubahan curah hujan pada periode Des-Feb

(atas) dan Jun-Agt (bawah) di Indonesia

(30)

Gambar 3.2. Perubahan curah hujan di Tasikmalaya periode 1879-2006

Keragaman iklim antar-musim dan tahunan yang disebabkan oleh fenomena ENSO dan Osilasi Antlantik

atau Osilasi Pasiik akhir-akhir ini semakin meningkat dan menguat. Menurut Timmerman

et al

. (1999)

dari Max Planck Institute dan Hansen

et al

(2006), pemanasan global cenderung meningkatkan frekuensi

El-Nino (Gambar 3.3) dan menguatkan fenomena La-Nina (Gambar 3.4). Peningkatan siklus ENSO (

El

Nino Southern Oscillation

) dari 3-7 tahun sekali menjadi semakin 2-5 tahun sekali (Ratag, 2001).

Kejadian iklim ekstrim antara lain menyebabkan: (a) kegagalan panen dan tanaman, penurunan IP yang

berujung pada penurunan produktivitas dan produksi; (b) kerusakan sumberdaya lahan pertanian; (c)

peningkatan frekuensi, luas, dan bobot/intensitas kekeringan; (d) peningkatan kelembaban; dan (e)

peningkatan intensitas gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Las,

et al.

, 2008).

C

1879 1890 1901 1912 1923 1934 1945 1956 1967 1978 1989 2000

Tahun

1879 1890 1901 1912 1923 1934 1945 1956 1967 1978 1989 2000

(31)

Gambar 3.3. Sepuluh kejadian El-Nino terkuat dalam satu abad terakhir (Lebar garis menunjukkan

karakter kejadian, seperti durasi kejadian 6-18 bulan;

Sumber:http://www.ncdc.noaa.gov/oa/climate/research/1998/enso/ 10elnino.html).

Gambar 3.4. Peningkatan frekuensi kejadian El-Nino dan La-Nina (Las

et al.

, 2008)

3.1.1 Kerentanan sektor pertanian terhadap bahaya kekeringan

Tingkat kerentanan lahan pertanian terhadap kekeringan cukup bervariasi antar-wilayah dan hal ini

menunjukkan bahwa lahan sawah di beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa rentan terhadap bahaya

kekeringan (Tabel 3.1). Dari 5,14 juta ha lahan sawah yang dievaluasi, 74 ribu ha di antaranya sangat

1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000

La Nina

Normal

El Nino

Pola El Nino, Normal, dan La Nina, 1900-2003

(32)

Tabel 3.1. Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan (ha).

Wilayah/ provinsi

Sangat rentan

Rentan

Luas baku Sawah

Jawa Barat

-

30.863

971.474

Banten

-

26.588

192.904

Jawa Tengah

2.322

142.575

1.053.882

DI Yogyakarta

-

3.652

69.063

Jawa Timur

1.580

70.802

1.313.726

Bali

-

14.758

85.525

Nusa Tenggara

38.546

105.687

214.576

Lampung

29.378

168.887

278.135

Sumatera Selatan

-

184.993

439.668

Sumatera Utara

2.055

342.159

524.649

Jumlah

73.881

1.090.964

5.143.602

Dalam periode 1991-2006, luas tanaman padi yang dilanda kekeringan berkisar antara 28.580-867.930 ha

per tahun dan puso 4.614-192.331 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman, 2007). Kekeringan yang lebih

luas terjadi pada tahun-tahun El Nino (Gambar 3.5).

Tim SNC (2009) mengidentiikasi luas rata-rata wilayah pertanaman padi yang mengalami kekeringan

pada tahun El Nino periode 1989-2006 pada masing-masing kabupaten. Wilayah yang terkena kekeringan

lebih besar dari 2.000 ha per kabupaten antara lain di Pantai Utara Jawa Barat, terutama Kabupaten

Indramayu, sebagian Pantai Utara Nanggroe Aceh Darusalam, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi

Barat, Kalimantan Selatan, dan Lombok (Gambar 3.6).

(33)

Gambar 3.5. Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan dan banjir di Indonesia dalam

periode 1991-2006 (Ditlin Tanaman Pangan, 2007).

Gambar 3.6. Rata-rata luas areal pertanaman padi yang mengalami kekeringan pada tahun El Nino di

setiap kabupaten dalam periode 1989-2006.

0 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000

L

u

a

s

K

e

r

u

s

a

k

a

n

(

H

a

)

Banjir T 37,977 59,323 83,002 127,666 218,137 107,385 58,197 143,344 190,466 243,594 193,414 219,580 263,181 303,153 295,497 329,826 Banjir P 5,707 9,595 27,348 32,881 46,462 38,167 13,953 33,152 42,275 58,816 32,765 63,459 68,638 76,627 80,384 138,227 Kekeringan T 867,930 42,382 66,987 654,807 28,580 59,560 517,614 180,701 104,539 91,105 151,390 348,512 568,619 163,923 283,660 338,261 Kekeringan P 192,331 7,262 20,411 205,305 4,614 12,482 87,099 32,557 12,631 5,116 12,434 41,690 117,006 26,384 44,829 73,045 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

(34)

Gambar 3.7. Produksi padi dan pengaruh kekeringan dan

penerapan teknologi, 1971-2004 (Las,

et al

., 2008a).

Tabel 3. 2. Pengaruh kekeringan terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit (Ditjenbun, 2007).

Stadiun

Kekeringan

Nilai deisit air

(mm/thn)

Gejala

Pengurangan

produksi TBS

Pertama

200-300

3-4 pelepah daun muda

mengumpulkan dan umumnya tidak

membuka

1-8 pelepah daun tua patah

21-32%

Kedua

300-400

4-5 pelepah daun muda dan

umumnya tidak membuka

5-12 pelepah daun tua patah

33-43%

Ketiga

400-500

4-5 pelepah daun muda mengumpul

dan umumnya tidak membuka

44-53%

Inovasi Teknologi Masa Depan

PTT, Pertanian Presisi

VU-Hibrida, VU-Tipe Baru, VUB, VUHTB,

VUB/VUTB Gogo & Rawa

0 IP Padi 300 SUTPA, SUP, PHT IR64, Memberamo, Cibodas, Ciherang

Kelembagaan & Sarana Produksi PMI-PAT, dll (Proksi-mantap), P3T.

Kekeringan

Ledakan wereng coklat, Kekeringan

Cekaman Iklim & OPT

Inovasi Teknologi Masa Depan

PTT, Pertanian Presisi

VU-Hibrida, VU-Tipe Baru, VUB, VUHTB,

VUB/VUTB Gogo & Rawa

0 IP Padi 300 SUTPA, SUP, PHT IR64, Memberamo, Cibodas, Ciherang

Kelembagaan & Sarana Produksi PMI-PAT, dll (Proksi-mantap), P3T.

Kekeringan

Ledakan wereng coklat, Kekeringan

Kekeringan Biotipe Sumut

Kekeringan

Ledakan wereng coklat, Kekeringan

(35)

Dampak kekeringan juga mempengaruhi produktivitas dan kualitas tanaman perkebunan seperti kelapa

sawit, karet, kakao, tebu, kopi, dan tebu. Dampak kekeringan pada kelapa sawit sangat nyata menurunkan

produksi tandan sawit. Apabila kelapa sawit mengalami deisit air 200-300 mm/tahun maka produksi

tandan buah segar (TBS) menurun sebesar 21-32% dan penurunan produksi TBS mencapai 60% jika

deisit air terus berlanjut sampai lebih besar dari 500 mm/tahun (Tabel 3.2). Kekeringan juga dapat

memicu kebakaran lahan, baik langsung maupun tidak langsung, yang berdampak terhadap penurunan

hasil.

3.1.2 Kerentanan dan dampak sektor pertanian terhadap bahaya banjir

Salah satu dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah ancaman banjir yang semakin sering

pada lahan sawah, yang menyebabkan berkurangnya luas areal panen dan produksi padi. Luas sawah di

Jawa yang rentan terhadap banjir/ genangan disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Luas lahan sawah rawan banjir/genangan di Jawa (ha)

Propinsi

Sangat rawan

Rawan

Kurang rawan

Tidak rawan

Jumlah

Jawa Barat

27.654

205.304

324.734

409.984

967.676

Banten

7.509

53.472

89.291

42.259

192.531

Jawa Tengah

49.569

503.803

188.688

303.346

1.045.406

D.I.Yogyakarta

-

15.301

34.459

13.622

63.382

Jawa Timur

105.544

306.337

533.447

359.630

1.304.958

Total

162.622

1.084.217

1.170.619

1.128.841

3.573.953

Persen

4,5

30,3

32,7

32,5

100,0

Secara nasional tingkat kerawanan banjir per kabupaten di seluruh Indonesia disajikan dalam Gambar

3.8. Luas sawah rawan banjir/genangan di Jawa mencapai 1.084.217 ha dan yang sangat rawan 162.622

ha, sedangkan di Sumatera 267.178 ha, 124.465 ha di antaranya terdapat di Sumatera Selatan dan 50.606

ha di Jambi.

Berdasarkan laporan Ditlin Tanaman Pangan (2007), luas wilayah yang terkena dampak banjir selama 16

tahun (1991-2006) di Indonesia berluktuasi dengan rata-rata luas kerusakan lahan 37.977-32.826 ha, dan

yang mengalami puso 5.707-138.227 ha (Gambar 3.5). Wilayah pertanaman padi yang terkena dampak

banjir pada tahun La Nina di setiap kabupaten dalam periode 1989-2006 ditunjukkan pada Gambar 3.9

(SNC, 2009).

Catatan:

Sangat rawan

= frekuensi banjir 4-5x/5 th; dan luas tanaman padi puso >30%

Rawan

= frekuensi banjir 3x/5 th; dan luas tanaman padi puso 20-29%.

(36)

Gambar 3.8. Peta penyebaran kerawanan banjir di Indonesia

Peningkatan intensitas banjir secara tidak langsung akan mempengaruhi produksi karena meningkatnya

serangan hama penyakit (OPT). Menurut Wiyono (2009), peningkatan frekuensi kejadian banjir dapat

menimbulkan masalah berupa serangan hama keong emas pada tanaman padi. Di samping itu juga ada

indikasi bahwa sawah yang terkena banjir pada musim sebelumnya berpeluang lebih besar mengalami

ledakan hama wereng coklat. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan pada tahun 2007 melaporkan

bahwa serangan wereng coklat meningkat drastis pada tahun kejadian La-Nina 1998.

(37)

3.1.3 Dampak pergeseran pola curah hujan

Salah satu dampak perubahan iklim adalah mundurnya awal musim hujan dan makin panjangnya periode

musim kemarau. Pergeseran pola hujan sangat mempengaruhi sumberdaya dan infrastruktur pertanian,

bergesernya waktu taman, musim dan pola tanam, serta degradasi lahan.

Adanya kecenderungan pemendekan musim hujan dan peningkatan curah hujan di bagian selatan (Jawa

dan Bali) mengakibatkan perubahan awal dan durasi musim hujan. Kondisi tersebut menyulitkan upaya

peningkatan indeks penanaman (IP) jika tidak diikuti oleh pengembangan varietas berumur genjah,

rehabilitasi, dan pengembangan jaringan irigasi. Mundurnya awal musim hujan selama 30 hari dapat

menurunkan produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah sebanyak 6,5% dan di Bali sebanyak 11% dari

kondisi normal.

Sebaliknya, di bagian utara (Sumatera dan Kalimantan) terjadi kecenderunan perpanjangan musim hujan

dengan intensitas yang lebih rendah sehingga mengakibatkan pemanjangan musim tanam dan peningkatan

IP. Namun produktivitas lahan di Sumatera dan Kalimantan tidak sebaik di Jawa.

Perubahan pola curah hujan juga menyebabkan penurunan ketersediaan air pada waduk, terutama di

Jawa. Sebagai contoh, selama 10 tahun rata-rata volume aliran air dari DAS Citarum yang masuk ke waduk

menurun dari 5,7 milyar m

3

per tahun menjadi 4,9 milyard m

3

per tahun (PJT II, 2009). Kondisi tersebut

berimplikasi terhadap turunnya kemampuan waduk Jatiluhur mengairi sawah di Pantura Jawa. Kondisi

yang sama ditemui pada waduk lain di Jawa, seperti Gajahmugkur dan Kedung Ombo.

3.2

Kerentanan Sektor Pertanian terhadap Peningkatan Suhu Udara

Peningkatan suhu udara global selama 100 tahun terakhir rata-rata 0.57

0

C (Runtunuwu dan Kondoh,

2008). Boer (2007) menggambarkan perubahan suhu udara di Jakarta dalam periode 1880-2000 (Gambar

3.10). Rata-rata peningkatan suhu selama 100 tahun terakhir adalah 1,4°C pada bulan Juli dan 1,04°C pada

bulan Januari.

(38)

Gambar 3.10. Perubahan suhu pada musim hujan (Januari)

dan musim kemarau (Juli) di Jakarta, 1860-2000.

Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat dan wilayah lainnya, terutama di dataran rendah, akan mengalami

penurunan produksi pangan strategis secara signiikan. Tanpa intervensi berupa upaya adaptasi, penurunan

produksi jagung mencapai 10,5-19,9% hingga tahun 2050 akibat kenaikan suhu udara (Tabel 3.4).

Tabel 3.4. Proyeksi penurunan hasil panen pada tanaman jagung akibat peningkatan laju respirasi

tanaman yang disebabkan oleh kenaikan suhu pada tahun 2050 (Handoko

et al

, 2008)

Provinsi

Hasil Panen 2006

Kenaikan suhu

menjelang 2050

Penurunan hasil

panen 2050

ton/ha

(

o

C)

ton/ha

(%)

Bali

Jawa Timur

Jawa Tengah

Yogyakarta

2,8

3,7

3,7

3,2

0,0

0,0

3,2

2,9

0,0

0,0

-0,7

-0,6

0,0

0,0

-19,9

-18,2

y = 0.1039x + 58.901 y = 0.1424x - 9.9843

245

250

255

260

265

270

275

280

1860

1880

1900

1920

1940

1960

1980

2000

Juli: 1,4

o

C / 100 thn

(39)

Penelitian terbaru KP3I (Boer, 2008) menunjukkan bahwa peningkatan suhu akibat naiknya konsentrasi

CO

2

akan menurunkan hasil tanaman. Apabila laju konversi lahan sawah 0,77% per tahun dan tidak ada

peningkatan indeks penanaman, maka produksi padi di tingkat kabupaten pada tahun 2025 akan mengalami

penurunan sebesar 42.500-162.500 ton. Namun, jika dilakukan peningkatan indeks pertanaman maka

dampak negatif kenaikan suhu pada tahun 2025 tidak lagi signiikan, terutama di kabupaten-kabupaten

di Jawa Tengah. Upaya peningkatan indeks pertanaman akan efektif di sebagian kabupaten di Jawa Barat

dan Jawa Timur (Gambar 3.11).

Suhu udara maksimum dan minimum di Indonesia, berdasarkan data dari Provinsi Sumatera Utara, Jawa

Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan dalam periode 1971-2002 (Handoko

et al.

, 2008) menunjukan

tren kenaikan suhu udara maksimum dan minimum di hampir seluruh wilayah.

Penurunan hasil pertanian dapat mencapai lebih dari 20% apabila suhu naik melebihi 4

o

C (Tschirley,

2007). Dengan menggunakan model simulasi tanaman, John Sheehy (IRRI, 2007) menyatakan kenaikan

hasil akibat kenaikan konsentrasi CO

2

75 ppm adalah 0,5 ton/ha dan penurunan hasil akibat kenaikan

suhu 1°C adalah 0,6 ton/ha. Menurut Peng

et al.

(2004), setiap kenaikan suhu minimum sebesar 1°C akan

menurunkan hasil tanaman padi sebesar 10%.

Gambar 3.11. Perkiraan perubahan produksi padi per kabupaten pada tahun 2025 dibanding

produksi saat ini akibat kenaikan suhu dan kosentrasi CO

2

untuk skenario SRESB1 dan SRESA2 pada

(40)

3.3

Dampak Kenaikan Muka Air Laut terhadap Sektor Pertanian

Dampak kenaikan muka air laut juga nyata terjadi di Indonesia (Meiviana

et al.

2004). Dalam periode

1925-1989, muka air laut naik 4,38 mm/tahun di Jakarta, 9,27 mm/tahun di Semarang, dan 5,47 mm/tahun di

Surabaya. Dampak naiknya muka air laut terhadap sektor pertanian terutama terkait dengan penciutan lahan

pertanian di pesisir pantai Jawa, Bali, Sumut, Lampung, NTB, dan Kalimantan (Gambar 3.12), kerusakan

infrastruktur pertanian, dan peningkatan salinitas tanah dan air sehingga merusak tanaman (Las, 2007).

Gambar 3.12. Penyebaran lahan sawah di Indonesia yang berpeluang

terkena dampak kenaikan tinggi muka air laut

Potensi kehilangan luas lahan sawah akibat kenaikan tinggi muka air laut berkisar antara 113.000-146.000

ha, lahan kering areal tanaman pangan 16.600-32.000 ha, dan lahan kering areal perkebunan 7.000-9.000

ha. Menjelang tahun 2050, tanpa upaya adaptasi perubahan iklim secara nasional diperkirakan produksi

tanaman pangan strategis akan menurun 20,3-27,1% untuk padi, 13,6% untuk jagung, 12,4% untuk

kedelai, dan 7,6% untuk tebu dibandingkan dengan kondisi tahun 2006. Potensi penurunan produksi

padi tersebut terkait dengan berkurangnya lahan sawah di Jawa seluas 113.003-146.473 ha, di Sumatera

(41)

Gambar 3.13. Dampak kenaikan SLR terhadap lahan sawah di Jawa.

Hasil analisis untuk lima wilayah pembangunan menunjukkan hingga tahun 2050 luas baku lahan sawah

akan menyusut akibat tergenang atau tenggelam oleh kenaikan muka air laut, yakni di Jawa dan Bali

182.556 ha, Sulawesi 78.701 ha, Kalimantan 25.372 ha, Sumatera 3.170 ha, dan Nusatenggara, khususnya

Lombok 2.123 ha (Tabel 3.5).

Tingkat kerugian akibat kenaikan muka air laut terhadap penyusutan lahan sawah dalam bentuk produksi

padi pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai 4,3 juta ton GKG atau 2,7 juta ton beras. Potensi

dampak tersebut didasarkan pada tingkat produktivitas dan indeks pertanaman pada saat itu sudah

meningkat dibandingkan dengan kondisi saat ini. Misalnya, rata-rata produktivitas padi sawah di Jawa dan

Bali saat itu 7 t/ha dengan IP 240%, sedangkan di luar Jawa dan Bali 5-6 t/ha dengan IP 150-200%.

Tabel 3.5. Dampak kenaikan muka air laut terhadap penurunan luas baku

lahan sawah dan produksi padi/beras hingga tahun 2050.

Wilayah

Luas baku

sawah (ha)

Penurunan luas

lahan sawah (ha)

Kerugian setara GKG

(juta ton)

Kerugian setara

beras ( juta ton)

(42)
(43)

ARAH DAN KEBIJAKAN

UMUM PEMBANGUNAN

PERTANIAN

MENYIKAPI DAMPAK

PERUBAHAN IKLIM

(44)

Menyikapi perubahan iklim, kebijakan pembangunan pertanian secara umum adalah meminimalisasi

dampak negatif dari fenomena alam tersebut agar sasaran pembangunan pertanian tetap dapat dicapai.

Kebijakan juga diarahkan untuk meningkatkan peran sektor pertanian, terutama subsektor perkebunan

dan subsektor pertanian di lahan gambut, dalam menurunkan emisi GRK. Secara rinci kebijakan yang

akan ditempuh adalah: (1) meningkatkan pemahaman petani dan pihak terkait dalam mengantisipasi

perubahan iklim; (2) meningkatkan kemampuan sektor pertanian untuk beradaptasi dengan perubahan

iklim, termasuk didalamnya membangun sistem asuransi perubahan iklim; (3) merakit dan menerapkan

teknologi tepat guna dalam memitigasi emisi GRK, dan (4) meningkatkan kinerja penelitian dan

pengembangan di bidang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

4.1

Strategi Umum

Penanggulangan dampak perubahan iklim pada sektor pertanian terutama difokuskan pada:

(a)

Program aksi adaptasi pada sub-sektor tanaman pangan dalam upaya melestarikan dan memantapkan

ketahanan pangan nasional,

(b)

Program aksi mitigasi pada sub-sektor perkebunan melalui pengembangan teknologi ramah

lingkungan dan penurunan emisi GRK

(c)

Sub-sektor lain melakukan adaptasi dan mitigasi dengan terlebih dahulu memprioritaskan pencapaian

sasaran pembangunan

4.2

Antisipasi

Antisipasi perubahan iklim, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan (

capacity building

)

pemerintah dan masyarakat dalam hal ini adalah:

Aspek klimatologis, seperti peningkatan kemampuan prediksi pola hujan, musim, dan pengembangan

kalender tanam.

(45)

4.3

Adaptasi Perubahan Iklim

Dari berbagai komoditas pertanian, tanaman pangan paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Oleh karena itu, upaya adaptasi perubahan iklim untuk tanaman pangan mendapat prioritas utama di

samping komoditas lainnya.

1. Tanaman pangan dan hortikultura

Perbaikan manajemen pengelolaan air, termasuk sistem dan jaringan irigasi

Pengembangan teknologi panen air (embung, dam parit) dan eisiensi penggunaan air

seperti irigasi tetes dan mulsa.

Pengembangan jenis dan varietas tanaman yang toleran terhadap stres lingkungan

seperti kenaikan suhu udara, kekeringan, genangan (banjir), dan salinitas.

Pengembangan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk meningkatkan daya

adaptasi tanaman.

Pengembangan sistem perlindungan usahatani dari kegagalan akibat perubahan iklim

atau

crop weather insurance

.

2. Tanaman perkebunan

Pengembangan komoditas yang mampu bertahan dalam cekaman kekeringan dan

kelebihan air.

Penerapan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk meningkatkan daya adaptasi

tanaman.

Pengembangan teknologi hemat air.

Penerapan teknologi pengelolaan air, terutama pada lahan yang rentan terhadap

kekeringan.

3. Pengelolaan peternakan

Pengembangan ternak yang adaptif terhadap lingkungan yang lebih ekstrim (kekeringan,

suhu tinggi, genangan).

Pengembangan teknologi silase untuk mengatasi kelangkaan pangan musiman.

Pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak (

crop livestock system

, CLS) untuk

(46)

4.4

Mitigasi Perubahan Iklim

Sub sektor perkebunan dan sistem pertanian di lahan gambut dapat memberikan kontribusi cukup besar

dalam mitigasi perubahan iklim. Dengan demikian, usaha mitigasi perubahan iklim pada sektor pertanian

difokuskan pada sub sektor perkebunan dan pertanian di lahan gambut.

1. Arah dan Strategi Ekstensiikasi Pertanian

:

Kontribusi sektor pertanian untuk memenuhi target penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 26% atau

41% hingga tahun 2020, antara lain melalui : (a) penurunan luas lahan terbakar (terutama pembukaan

lahan dan pengelolaan gambut), (b) menetapkan strategi perluasan areal perkebunan hanya pada lahan

terlantar atau padang alang-alang, dan (c) pengelolaan lahan gambut berkelanjutan

Di lain pihak, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan, perluasan areal pertanian baru

(ekstensifkasi) tidak dapat dihindarkan. Untuk menghindari deforestrasi dan mengurangi degradasi lahan,

maka strategi dan kebijakan pembukaan lahan baru akan diarahkan sebagai berikut:

pemanfaatan lahan tidur atau terlantar/ terdegradasi, berupa padang alang-alang atau kawasan hutan

yang telah dilepas tetapi belum dimanfaatkan,

pemanfaatan sebagian kawasan hutan (produksi dan konversi) yang terlantar/terdegradasi melalui

kebijakan nasional dengan proses pelepasan yang sesuai dengan undang-undang.

pemanfaatan lahan gambut sesuai dengan PERMENTAN No.14/2009 dan/atau PP (dalam

pembahasan), khususnya lahan-lahan gambut yang sudah dibuka/terlantar dan/atau terlanjur

memperoleh IUP (izin usaha perkebunan)/HGU.

2. Pengelolaan perkebunan

Pengembangan tanaman perkebunan, terutama kelapa sawit dan karet, pada lahan semak belukar

dan alang-alang.

(47)

3. Pertanian di lahan gambut

Penerapan Permentan No. 14/2009 tentang pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut untuk

perkebunan kelapa sawit.

Pengembangan dan penerapan teknologi tanpa bakar (PLTB), dalam usaha pertanian di lahan

gambut.

Pemilihan jenis tanaman yang tidak memerlukan sistem drainase yang dalam.

Pengembangan teknologi ameliorasi untuk mengurangi emisi CO

2

dari lahan gambut.

Pengurangan emisi GRK lahan gambut dapat ditempuh melalui skenario:

(a)

Skenario 1: Pemberlakuan Permentan No.14/2009 secara utuh/efektif dapat menurunkan

emisi CO

2

sekitar 7-10% dari tingkat emisi BAU,

(b)

Skenario 2: Skenario 1, diikuti PLTB serta perbaikan pengelolaan air diperkirakan dapat

mengurangi emisi menjadi sekitar 19-25%.

(c)

Skenario 3: Skenario 2, diikuti dengan penambahan amelioran, dapat mengurangi emisi

25-31%.

4.5

Penelitian dan Pengembangan

Peningkatan kinerja penelitian dan pengembangan pertanian terutama dititikberatkan pada:

Analisis komprehensif tentang kerentanan dan dampak perubahan iklim terhadap sektor

pertanian.

Pengembangan jaringan informasi dan sistem komunikasi dan advokasi iklim, modul, peta dan

panduan/

tools

(kalender tanam, penanggulangan banjir, kekeringan dan lain-lain)

Penelitian dan pengembangan varietas tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim yang lebih

ekstrim (kekeringan, kenaikan suhu udara, salinitas, banjir/genangan).

Penelitian dan pengembangan teknologi mitigasi/ penurunan emisi gas rumah kaca dan adaptasi

dalam pengelolaan lahan/tanah, pupuk, air, tanaman, dan ternak

(48)

Identiikasi dan pemetaan lahan gambut potensial dan beresiko kecil, serta pengembangan teknologi

adaptif/ ramah lingkungan dan konservasi lahan gambut.

Penelitian dan pengembangan kelembagaan untuk menunjang kemampuan beradaptasi terhadap

perubahan iklim dan memitigasi emisi GRK.

Analisis kebijakan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

4.6

Isu Lintas Sektoral (Cross Cutting Issue)

1. Penanganan sistem jaringan sumberdaya iklim

Di Kementerian Pertanian terdapat beberapa institusi yang menangani stasiun iklim, antara lain Ditjen

Tanaman Pangan (Direktorat Perlindungan Tanaman), Ditjen Perkebunan, dan Badan Litbang Pertanian.

Sementara Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) melakukan penyebarluasan informasi iklim agar

dapat diakses oleh petugas lapang dan petani.

2. Pengelolaan sumberdaya air

Dewasa ini pemanfaatan dan ketersediaan air untuk usaha pertanian semakin kompetitif karena

kebutuhan air di sektor lain juga meningkat. Di lahan pertanian juga perlu kerja sama lintas subsektor

untuk eisiensi penggunaan air terintegrasi, misalnya penggunaan lahan perkebunan yang diintegrasikan

dengan peternakan dan tanaman semusim. Integrasi tanaman dan ternak juga terkait langsung dengan

upaya pengembangan konservasi tanah dan air.

3. Ketersediaan dan pengelolaan sumberdaya lahan

(49)

ROAD MAP PROGRAM

ANTISIPASI, ADAPTASI,

DAN MITIGASI

PERUBAHAN IKLIM

SEKTOR PERTANIAN

(50)

Road map

2010-2014 disusun berdasarkan analisis dan kajian secara komprehensif terhadap dinamika

dan skenario perubahan iklim, kerentanan, dan dampaknya terhadap sektor pertanian.

Road map

dipilah

berdasarkan tahapan dan waktu pelaksanaan kegiatan, mulai dari penelitian dan pengembangan, antisipasi,

advokasi/diseminasi, hingga adaptasi dan mitigasi sejak 2008 hingga 2014 (Gambar 14).

Rencana Pembangunan Jangka Pendek-Menengah (RPJM 2010-2014) dan Rencana Pembangunan Jangka

Panjang (RPJP 2010-2034) dituangkan dalam matriks pada Lampiran 1-4. Program dan kegiatan tersebut

dikelompokkan ke dalam empat bagian utama: (1) penelitian dan pengembangan, (2) antisipasi perubahan

iklim, (3) advokasi kebijakan dan diseminasi teknologi, (4) adaptasi dan mitigasi.

5.1

Penelitian dan Pengembangan

Program dan kegiatan penelitian dan pengembangan diarahkan untuk antisipasi, adaptasi, dan mitigasi

perubahan iklim (Lampiran 1). Penelitian antisipasi perubahan iklim diarahkan pada perbaikan dan

updating

kalender tanam, perbaikan sistem peringatan dini, dan evaluasi potensi lahan terlantar untuk

pengembangan perkebunan.

(51)

Gambar 3.14. Road map sektor pertanian menghadapi perubahan iklim 2010-2014

Penelitian adaptasi perubahan iklim sektor pertanian difokuskan pada tanaman pangan dan hortikultura

untuk RPJM 2010-2014 dan tiga periode RPJM berikutnya. Ruang lingkup penelitian adaptasi mencakup

pengembangan varietas tanaman yang adaptif, teknik pengelolaan tanah dan air, dan teknik budidaya

tanaman. Penelitian mitigasi perubahan iklim difokuskan pada subsektor perkebunan dan pertanian di

lahan gambut. Ruang lingkup penelitian mitigasi mencakup pengendalian kebakaran lahan, penyediaan

insentif (

payment for environmental service

) bagi masyarakat lokal yang menerapkan teknik pembukaan lahan

Gambar

Gambar 3.1. Tren perubahan curah hujan pada periode Des-Feb
Gambar 3.2. Perubahan curah hujan di Tasikmalaya periode 1879-2006
Gambar 3.3. Sepuluh kejadian El-Nino terkuat dalam satu abad terakhir (Lebar garis menunjukkan karakter kejadian, seperti durasi kejadian 6-18 bulan;
Tabel 3.1. Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan (ha).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Abstraksi : Persyaratan mutu mencakup kadar bagian yang hilang pada pemanasan 950 derajat Abstraksi : Persyaratan mutu mencakup kadar bagian yang hilang pada pemanasan 950

Sedimen bedload terdiri dari fraksi butir yang dapat bergerak menyusun struktur lapisan dasar dan fraksi butir yang dengan ukuran butir yang relatif lebih besar dengan kondisi

Walaupun sebaran terumbu karang dan hutan bakau tidak merata tetapi yang terdapat di Teluk Wondama termasuk masih baik, dengan tingkat pelumpuran di bagian Utara lebih

We need a person who can write articles in Hindi and Sanskrit in software like Adobe Indesign (Font chanakya) or Microsoft Office (Font Kruti Dev 020, Chanakya).. We need a

Pihak lain yang sependapat juga mendukung dengan mengatakan bahwa Adopsi IFRS dapat memperkuat integrasi dan daya saing pasar modalnya terutama bagi negara

Hasil pengamatan preparat histopatologi pankreas dari hewan coba tikus yang diberi ekstrak Curcuma longa L menunjukkan adanya pulau Langerhans yang lebih baik daripada

Berdasarkan hasil yang diperoleh, edible film dari pektin kulit pisang kepok memiliki nilai kuat tarik dan elongasi masih dibawah kriteria karakter mekanik

Dengan demikian dapat disimpulkan pola peresepan obat anak usia 2–5 tahun di Kota Bandung pada tahun 2012 adalah jumlah item obat rata-rata yang diresepkan masih tinggi