BAB III
KETIDAKADILAN GENDER TERHADAP PEREMPUAN DALAM
KOMUNITAS ABOGE
A. Diskriminsi Perempuan Aboge
1. Pengertian Diskriminasi
Dalam pembangunan pemberdayaan perempuan yang terjadi
selama ini permasalahan mendasar yang masih dialami adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, di samping masih adanya berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Rendahnya kualitas hidup perempuan terjadi di berbagai aspek kehidupan, antara lain sosial budaya, lingkungan, pendidikan, maupun perekonomian, sehingga perempuan sangat rentan menjadi korban
kekerasan dan diskriminasi.
Mosse menyatakan bahwa kerja perempuan di seluruh dunia dinilai
rendah. Kerja rumah tangga perempuan tidak dimasukkan dalam formulir sensus, karena kerja perempuan tidak diperhitungkan. Kerja perempuan dilukiskan sebagai hal yang tidak tampak karena kerja itu
tidak terekam secara statistik.1
Jika mendengar istilah diskriminasi pasti yang terbayang di dalam
ingatan yaitu perlakuan yang tidak adil dan perlakuan yang berbeda oleh sekelompok masyarakat. Perbedaan perlakuan tersebut bisa
1
disebabkan warna kulit, golongan atau suku, dan bisa pula karena perbedaan jenis kelamin, ekonomi, agama, dan sebagainya.
Sebenarnya inti dari diskriminasi adalah perlakuan yang berbeda. Akibat pelekatan sifat-sifat gender tersebut, timbul masalah
ketidakadilan (diskriminasi) gender.
Menurut Theodorson & Theodorson, diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok berdasarkan
sesuatu. Biasanya bersifat kategorikal atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama atau keanggotaan kelas-kelas
sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dengan minoritas yang lemah, sehingga
dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokratis.2
Sedangkan diskriminasi menurut Sears dkk adalah perilaku
menerima atau menolak seseorang berdasarkan keanggotaan kelompok. Maksudnya dipengaruhi oleh keanggotaan kelompok ialah
kedudukan kelompok tersebut di dalam masyarakat.3
Diskriminasi seringkali diawali dengan prasangka. Dengan prasangka kita membuat pembedaan antara kita dengan orang lain.
Pembedaan ini terjadi karena kita adalah makhluk sosial yang secara alami ingin berkumpul dengan orang yang memiliki kemiripan dengan
kita. Prasangka seringkali didasari pada ketidakpahaman,
2
Fulthoni, Buku Saku Untuk Kebebasan Beragama Memahami Diskriminasi, (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center, 2009), hlm, 3.
3
ketidakpedulian pada kelompok “mereka” atau ketakutan atas
perbedaan. Seseorang/kelompok yang mendapatkan diskriminasi akan
mengalami pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau pemenuhan hak-hak dasarnya sebagai manusia.4
Diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat biasanya diskriminasi individu dan diskriminasi institusi. Diskriminasi individu adalah tindakan seorang pelaku yang berprasangka. Diskriminasi institusi
adalah diskriminasi yang tidak ada hubungannya dengan prasangka individu, melainkan dampak kebijaksanaan atau praktik berbagai
institusi dalam masyarakat.5
Perempuan seringkali menjadi korban dari diskriminasi tersebut.
ketidakadilan dan diskriminasi perempuan disebabkan oleh faktor budaya dan faktor hukum. Dalam masyarakat terdapat budaya yang cenderung male chauvinistic, dimana kaum laki-laki menganggap diri
dan dianggap sebagai makhluk kuat dan superior. Budaya tersebut diperkokoh dengan ideology misoginis (sikap benci terhadap
perempuan) dan ideology patriarki. dalam isi hukum, budaya hukum, serta proses dan pembuatan dan penegakan hukum Negara, seringkali diskriminatif terhadap perempuan, karena pembuat hukum tidak
respon terhadap kebutuhan masing-masing jenis kelamin dan tidak memenuhi spesifik kebutuhan perempuan.
4
Ibid.
5
Fokus perbedaan hak perempuan dan laki-laki dikarenakan sex/biologis sebenarnya adalah karena system patriarki (sistem
kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan keluarga) yang telah direseptir dalam adat dan kebiasaan. Seorang feminis Stone
mengemukakan bahwa ketertindasan kaum perempuan karena adanya hubungan sosial dalam proses reproduksi bukan hubungan sosial dalam proses reproduksi, yang cenderung menjadikan hubungan
tersebut menjadi hubungan eksploitatif.
Diskriminasi dibagi menjadi diskriminasi langsung dan
diskriminasi tidak langsung. Diskriminasi langsung adalah tindakan membatasi suatu wilayah tertentu seperti pemukiman, jenis pekerjaan,
fasilitas umum dan semacamnya dan juga terjadi manakala pengambil keputusan diarahkan oleh prasangka-prasangka terhadap kelompok tertentu. Sedangkan diskriminasi tidak langsung dilaksanakan melalui
penciptaan kebijakan-kebijakan yang menghalangi ras/etnik tertentu untuk berhubungan secara bebas dengan kelompok ras/etnik lainnya,
yang mana aturan dan prosedur yang mereka jalani mengandung bias diskriminasi yang tidak tampak dan megakibatkan kerugian sistematis bagi komunitas atau kelompok masyarakat tertentu. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa diskriminasi individu merupakan diskriminasi langsung, sedangkan diskriminasi intuisi merupakan diskriminasi tidak
Diskriminasi telah menjadi sumber utama ketidakadilan. Dalam diskriminasi, kelompok-kelompok atau perorangan tertentu dapat
kehilangan hak-hak mereka. Diskriminasi dalam bentuk apapun tidak pernah hilang, namun dapat dihentikan di dalam lingkungan manusia
itu sendiri dengan menanamkan kesadaran bahwa diskriminasi dapat memberikan efek yang tidak baik.
2. Bentuk-Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Aboge
a) Marginalisasi
Menurut Mansur Faqih, proses marginalisasi sama saja
dengan proses pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang termarginalkan kepada dirinya.
Demikian juga yang dialami oleh perempuan saat proses marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan merupakan pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam ketidakadilan gender
ini. Sebagai contoh dalam pekerjaan, perempuan yang bekerja dianggap hanya untuk memberikan nafkah tambahan bagi
keluarga, maka perbedaan gaji pun diterapkan antara perempuan dan laki-laki.6
Marginalisasi secara umum dapat diartikan sebagai proses
penyingkian perempuan dalam pekerjaan. Sebagaimana ditulis oleh Khusnul Khotimah, yang mengutip dari Saptari menurut Alison
Scott yang merupakan seorang sosiologi Inggris melihat berbagai
6
bentuk marginalisasi dalam empat bentuk, yaitu: (1) Proses pengucilan, perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis
kerja tertentu, (2) Proses pergeseran perempuan ke pinggiran (margins) dari pasar tenaga kerja, berpa kecenderungan bekerja
pada jenis pekerjaan yang memiliki hidup yang tidak stabil, upahnya rendah, dan dinilai kurang terampil. (3) Proses feminitas atau segresi, pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu,
tau semata-mata dilakukan oleh perempuan saja atau laki-laki saja. (4) Proses ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang
merujuk di antaranya perbedaan upah.7
Marginalisasi nampaknya juga dialami oleh mayoritas
perempuan dalam komunitas Aboge. Dalam hal ini, meskipun perempuan dalam komunitas Aboge telah bekerja dari pagi hingga sore hari, tetapi dengan asumsi gender peran mereka hanya
dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Penghasilan yang mereka dapatkan tidak hanya dinikamti oleh dieinya sendiri, tetapi
untuk keperluan seluruh anggota keluarganya.
Tidak hanya pemiskinan dalam hal ekonomi, perempuan dalam komunitas Aboge juga mengalami pemiskinan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang bersifat informal yaitu pengetahuan tentang adat
dan tradisi yang selama ini dilakukan. Dari beberapa informan
7
perempuan yang diwawancarai mengakui bahwa mereka tidak mamahami arti dan makna dari setiap ritual yang dilakukan.
Mereka melakukan hal tersebut atas dasar kebiasaan dan menjalankan warisan dari para leluhurnya. Dengan demikian,
sebenarnya hal tersebut telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
b) Subordinat perempuan dalam sosial dan budaya
Pandangan gender ternyata tidak saja berakibat terjadinya marginalisasi, akan tetapi juga mengakibatkan terjadinya
subordinasi terhadap perempuan. Akar dari subordinasi atas perempuan adalah budaya patriarchal. Budaya patriarchal adalah
budaya yang menomor satukan laki, atau berpusat pada laki-laki dan mengesampingkan perempuan. Laki-laki-laki dipandang sebagai makhluk yang primer dan perempuan sebagai yang
sekunder. Di dalam budaya patriarchal cara memandang realitas adalah dari sudut pandang laki-laki dalam memandang keberadaan
perempuan. Singkatnya, masyarakat yang berhaluan patriarchal melihat perempuan sebagai makhluk yang inferior, di mana semua penilaian tersebut berkaitan dengan tubuhnya.
Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irrasional dalam berpikir, maka perempuan ditempatkan
pemimpin. Umumnya partisipasi perempuan yang ikut terlibat dalam setiap pengambilan keputusan atau penentu kebijakan bila
dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh faktor tradisi adat istiadat dan pemaknaan nilai-nilai budaya dari
masyarakat yang lebih mengarah pada patriarki. Hal ini mencgacu pada pernyataan pak Mulyono yang mengatakan:
Hal yang sama juga dikatakan oleh Pak Slamet:
biasanya orang yang memiliki kepentingan mendatangi langsung para sesepuh untuk melakukan musyawarah. Pertemuan ini biasanya dihadari oleh orang-orang tertentu yang bersangkutan, tapi kebanyakn dari kalangan laki-laki.9 Pembagian kerja yang dikotomis, yaitu menempatkan
perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik sehingga laki-laki memiliki akses kearah ekonomi, sosial, politik
dan informasi yang lebih besar dibandingkan perempuan. Hubungan asimetris ini dapat memantul ke segala arah aspek kehidupan perempuan yang dapat menyebabkan perempuan
tersubordinat sekaligus terlemahkan.10
8
Wawancara dengan pak Mulyono, pada tanggal 13 April 2017, pukul 10.00.
9
Wawancara dengan pak Slamet, pada tanggal 3 Maret 2017, pukul 17.00.
10
Padahal perempuan seharusnya ikut terlibat secara aktif untuk mengakui eksistensi mereka dan adanya kesetaraan gender
untuk menghentikan marginalisasi lebih jauh yang dapat menyebabkan keterbatasan perempuan dalam pengetahuan dan
mengambil setiap keputusan. Pada akhirnya, keadilan gender perlu ditampilkan dan peru dipahami sebagai perangkat yang kuat bagi seluruh komunitas.
Istilah pengambilan keputusan cenderung dikaitkan dengan aktivitas politik yang pengertian politiknya dibatasi pada politik
formal dalam pengertian tradisional, baik ditingkat local, regional, maupun nasional. Pembahasan mengenai keterlibatan perempuan
dalam pengambilak keputusan di berbagai tingkatan tersebut tentu saja merupakan hal yang penting untuk diperjuangkan. Akan tetapi diperlukan sebuah prakondisi yang bisa memberikan
jaminan agar perjuangan tersebut tidak hanya merupakan sebuah formalitas atau symbol belaka. Prakondisi tersebut berupa
keterampilan dan keterlatihan perempuan untuk a) memahami dan mengidentifikasi persoalan-persoalan yang bertalian dengan kepentingannya, dan b) terlibat dalam menentukan
langkah-langkah strategis untuk memperjuangkan kepentingan tersebut.11 Ketika perempuan dikuatkan, seluruh komunitas akan
mendapatkan manfaat tersendiri, karena perempuan akan mampu
11
membagikan kebijakan dan wawasan mereka dalam setiap pengambilan keputusan. Memperjuangkan keadilan gender berarti
mendukung semua anggota masyarakat tanpa melihat apakah mereka laki-laki ataupun perempuan untuk mengembangkan
potensi secara penuh menurut kemampuan dan bakatnya masing-masing.
c) Stereotip terhadap perempuan
Dalam sebuah masyarakat selalu terdapat indikasi adanya pelabelan sifat (stereotyping) yang diletakan kepada laki-laki dan
perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun budaya, yang turut mempengaruhi pembentukan representasi terhadap
perempuan dan laki-laki.12 Melalui stereotip masyarakat mendistribusikan tugas laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Stereotip mulai dari yang terkecil yaitu keluarga, nilai
dalam ajaran agama, dan pada masa kini stereotip terus terpelihara dan meluaskan pengaruhnya melalui media dan propaganda.13
Stereotype berarti pemberian citra/label kepada seseorang atau kelompok yang di dasarkan pada anggapan yang salah. Stereotip ini memproyeksikan pola piker masyarakat pada diri
perempuan. Citra yang diberikan pada perempuan Aboge ialah sebagai sosok yang sabar dan telaten. Hal ini memposisikan
12
Ery Iswari, Perempuan Makassar: Relasi Gender Dalam Folklor, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm, 21.
13
perempuan dalam setiap tradisi atau uapacara keagamaan yang selalu menempatkan perempuan pada urusan domestik seperti
memasak, membuat dan menyiapkan sesaji. Anggapan lain, yaitu menganggap bahwa perempuan merupakan seseorang yang lemah
lembut dan kurang bersikap tegas. Tentunya, stereotip tersebut bertentangan dengan konsep kepemimpinan (spiritualitas Aboge) yang identik dengan sifat jujur, tegas, kuat dan pemberani.
Pada posisi yang berbeda, hierarki gender menempatkan laki-laki sebagai sosok yang perkasa, selalu menang, tidak pernah
menangis, dan bertanggungjawab penuh secara publik, bukan secara domestik. Hal inilah yang membuat orang-orang di luar
hierarki (perempuan) menjadi kesulitan untuk diterima dalam nilai-nilai tersebut. Stereotip yang melekat pada perempuan Aboge kemudian menimbulkan persoalan baru yang terjadi di masyarakat.
Misalnya, perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilai-nilai yang melekat pada masyarakat membatasi kesempatan
perempuan dalam pengambilan keputusan hukum adat Aboge. Selain itu, tokoh spiritualis perempuan Aboge yang pernah ada sebelumnya (mbah Jaenah & mbah Kasiroh) juga mendapat
stereotip/citra yang negatif. Kemampuan dan kelebihan spiritualitas yang mereka miliki kerap dianggap tabu, karena dianggap hasil
saat ini. Stereotip inilah yang melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
d) Beban Ganda Perempuan
Perempuan bekerja merupakan hal yang sudah biasa di era
sekarang ini. Alasan mereka sangat beragam, antara lain: kondisi ekonomi, tuntutan jaman dan eksistensi diri sebagai manusia yang memiliki kemampuan yang sama dengan laik-laki. Namun, kultur
yang masih belum berpihak mengakibatkan perempuan bekerja mengalami beban ganda, yaitu berperan di wialayah publik
sekaligus domestik.14
Dalam perspektif feminis, perempuan yang bekerja di luar
ranah domestik mengalami ketidakadilan gender dalam bentuk beban ganda yang rata-rata korbannya adalah perempuan. Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah
satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran
yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkuranya beban mereka di wilayah domestik.15
Mayoritas perempuan Aboge bekerja sebagai petani ataupun menjadi seorang pedagang. Alasan ekonomi menjadi
faktor utama yang membuat perempuan harus bekerja, baik itu
14
Nurul Hidayati, Beban Ganda Perempuan Bekerja (Antara Domestik dan Publik), (Muwazah, Volume 7, No. 2, 2015), hlm, 108.
15
bekerja atas kesadaran dan kemauan individu ataupun atas dasar keterpaksaan demi pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Meskipun
mereka bekerja dari pagi hingga sore hari, tetapi tidak membuat beban mereka diwilayah domestik menjadi berkurang. Perempuan
masih harus menanggung beban sebagai ibu rumah tangga yang bertugas untuk memasak, mencuci, menyiapkan segala kebutuhan keluarga, dan memperhatikan anak-anaknya. Karena ketika
laki-laki memasuki ranah domestik, hal tersebut masih saja dianggap tabu oleh kalangan masyarakat.
Selain itu, istilah Aboge yang menyamakan ibu dengan bumi Pertiwi sejalan dengan teori ekofeminisme, bahwa perempuan
dan alam dianggap memiliki keterkaitan logis yang sangat dekat. Sifat tradisional perempuan sebagai manusia yang melahirkan dan memelihara anaknya dipandang memiliki kesamaan dengan sifat
tradisional alam. Kedekatan perempuan dan alam menjadikan perempuan lebih mengenal alam sehingga perempuan lebih arif dan
bijaksana dalam memperlakukan alam daripada laki-laki.
Ekofeminisme juga berusaha untuk menunjukkan hubungan antara semua bentuk system opresi manusia dan opresi manusia
terhadap alam. Secara cultural perempuan selalu dihubungkan dengan alam, menurut para ekofeminis ada hubungan konseptual,
opresif telah merusak perempuan dan alam. Perempuan telah mengalami naturalisasi dan alam telah mengalami feminisasi. Hal
ini terlihat secara jelas dalam symbol dan bahasa yang digunakan patriarki seperti tanah dikuasai, hutan diperkosa, perempuan
digambarkan sebagai binatang dan yang lainnya.16
Dalam masyarakat patriarkal, laki-laki diberikan kekuasaan lebih atas alam dan juga atas perempuan, sehingga apa yang
dilakukan laki-laki pada alam juga mungkin terjadi pada perempuan. Rosemary Radford Ruether mengatakan bahwa
perempuan harus melihat bahwa tidak akan ada pembebasan bagi perempuan dan tidak aka nada solusi atas permasalahan ekologis
jika logika dominasi tetap menjadi model fundamental dalam kehidupan manusia. Gerakan pembebasan perempuan harus bersatu dengan gerakan pembelaan ekologi untuk mendapatkan gambaran
mengenai peraturan ulang radikal atas hubungan sosial ekonomi dasar dan nilai-nilai yang mendasari masyarakat modern dewasa
ini17
Meskipun perempuan menyandang status peran ganda, jelas akan menimbulkan dampak negatif sekaligus dampak positif dalam
kehidupan perempuan itu sendiri. Salah satu dampak negatif yang mungkin dialami oleh perempuan yang berperan ganda adalah
16
Rosmarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensip kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, Cet Ke-5 2010), hlm, 366.
17
tuntutan adanya waktu dan tenaga ekstra untuk bekerja sekaligus mengurus pekerjaan rumah tangga, adanya persaingan antara
suami-istri dalam mendapatkan penghasilan, atau perhatian mereka kepada anak-anaknya sebagai ibu menjadi berkurang. Selain itu,
meskipun perempuan memiliki sumbangan yang cukup bsear dalam perekonomian keluarga, mereka dianggap hanya sekedar membantu atau sebagai penghasilan tambahan saja bagi keluarga.
Hal ini karena beberapa kebutuhan dan tugas utama dalam mencari nafkah adalah berada di tangan laki-laki sebagai seorang ayah dan
suami.
Di sisi lain, perempuan bekerja juga memiliki keuntungan
terutama dalam segi keuangan. Perempuan mampu meningkatkan perekonomian keluarga dan memiliki kemandirian dalam mendapatkan penghasilan. Kemandirian ekonomi ini membuat
perempuan memiliki suara yang positif di dalam keluarga maupun masyarakat. Contohnya antara lain dalam pengaturan keuangan
keluarga untuk gizi makanan, biaya kesehatan, pendidikan anak dan lain-lain. Perempuan memiliki sumber penghasilan di tangannya, cenderung membelanjakan penghasilannya untuk
kesejahtraan dan peningkatan kualitas hidup anak-anaknya sebagai penerus generasi muda. Semua fungsi tersebut merupakan
rumah tangga meskipun laki-laki sebagai suami ikut andil di dalamnya.
e) Kekerasan gender
Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik
maupun integrasi mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya muncul dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan yang terjadi terhadap satu jenis
kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Adapun yang tergolong pada kekerasan gender diantaranya adalah tindakan
pemukulan dan serangan fisik, pemerkosaan terhadap perempuan, kekerasan dalam bentuk fornografi, dan kekerasan yang paling
umum dilakukan di tengah masyarakat yakni bentuk pelecehan seksual.18
B. Hegemoni dan Kuasa Simbolik
Sebagaimana telah dijelaskan Antonio Gramsci dalam catatan-catatan penjaranya, bahwa terdapat pertautan erat antara relasi kuasa dan
kekerasan dalam kehidupan manusia. Bagi Gramsci kekuasaan telah dilanggengkan melalui strategi hegemoni, yaitu suatu peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan. Relasi
kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara, karena kekerasan yang dilakukan tertutupi oleh kekuasaan. Hegemoni memberi jalan kekuasaan
18
dan kekerasan bekerja bebas tanpa kritik atau perlawanan (resistensi) terhadap kekuasaan itu sendiri.
Hegemoni telah menjadi konsep penting bagi keragaman intelektual pemikiran sosial modern dan merupakan gagasan paling serius
dalam Marxisme. Hegemoni berkaitan dengan ideologi yang memiliki cakupan melebihi semua bidang sosial, budaya, dan ekonomi dalam suatu masyarakat. Hegemoni adalah konsep yang digunakan untuk menjelaskan
wawasan dunia yang bertujuan membakukan serta membenarkan dominasi kelas ekonomi tertentu terhadap kelas yang lain. 19
Dalam masyarakat komunitas Aboge, perempuan tidak menyadari bahwa sesuatu yang terjadi kepadanya merupakan kekerasan simbolis
karena selama ini diterima sebagai sesuatu yang sah. Kondisi seperti ini Bordieu menyebutnya dengan istilah habitus. Haryatmoko menjelaskan pemikiran bourdieu bahwa dominasi laki-laki sebenarnya merupakan
kekerasan yang disebut kekerasan simbolik atau kekerasan yang tak kasat mata, kekerasan ini oleh korbannya (perempuan) bahkan tidak dilihat atau
dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar.20
Tidak jauh dari Gramsci, bagi Bourdieu setiap system symbol
memiliki kekuatan untuk memberikan pemaknaan bagi realitas sosial. Bourdieu memandang kekuasaan dalam konteks teori masyarakat, dimana
19
Kompasiana, Panji-Panji Hegemoni dan Kontruksi Sosial, diakses dari,
http://www.kompasiana.com/dreussand/panji-panji-hegemoni-dan-konstruksi-simbolik-kuasa.
20
Lihat Lina Melianawati Rahayu, dkk, Gender, Kekuasaan, dan Resistensi pada Masyarakat
ia melihat kekuasaan sebagai budaya dan simbolis dibuat, dan terus menerus kembali dilegitimasi melalui interaksi agen dan struktur. Cara
utama ini terjadi adalah melalui apa yang disebutnya habitus atau norma disosialisasikan atau kecenderungan bahwa perilaku panduan dan berfikir.
Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan,
yang kemudian membimbing mereka. Sedangkan menurut Ayub Sektiyanto, bahwa Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi
tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang diterjemahkan menjadi kemampuan yang terlihat alamiah.21
Budaya patriarki dan kedudukan perempuan merupakan salah satu contoh dari Habitus yang dikemukakan oleh Bourdieu. Posisi subordinat perempuan Aboge dalam masyarakat ini terbentuk secara alami dan
terinternalisasi dalam waktu yang lama. Sehinggan sudah menjadi asumsi umum bahwa perempuan berada dibawah laki-laki. Seaktif apapun
peranan perempuan di ranah publik seperti sosial, ekonomi, dan politik, ketika perempuan kembali ke rumahnya, tetap kedudukan mereka menjadi istri dan ibu rumah tangga, dan laki-laki yang menjadi pemimpin keluarga.
Ini menjadi kebiasaan dalam kultur masyarakat Indonesia, dimana tabu bagi perempuan untuk melakukan tugas laki-laki, termasuk terjun menjadi
seorang pemimpin.
21
Yoghi Kurniawan Prathama, Review: Pemikiran Pierre Bourdieu (Analisis Konsepsi dan
Implikasi), dalam
Dari pemikiran Bourdieu dan Gramsci ini dapat ditarik pemahaman bahwa diperlukan tidak saja kesadaran maupun pemikiran kritis, tetapi
upaya counter diskursus terhadap bekerjanya system operasi kuasa dominan tersebut. counter diskursus ini merupakan aktifitas konkret yang
menekankan tidak saja berupa refleksi kritis dalam melihat aspek kuasa dominan, tetapi sebuah tindakan yang komunikatif anti distorsi berupa tawaran-tawaran operasional yang mencerdaskan sekaligus membebaskan.
Adanya ruang publik yang diposisikan menjadi arena perbincangan rasional dapat mendorong munculnya motivasi untuk melakukan
penelaahan terhadap berbagai proses sosial yang telah termanipulasikan untuk mewujudkan perubahan.
C. Strategi Perempuan Dalam Mempertahankan Eksistensinya
Secara etimologi, eksistensialisme berasal dari kata ekistensi. Eksistensi itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence, dan
bahasa Latin existere yang berarti muncul, timbul, ada, dan memilih keberadaan aktual. Dari kata ex berarti keluar dan sistere yang berarti
muncul atau timbul. Beberapa pengertian secara terminology: (1) apa yang ada (2) apa yang memiliki aktualitas (3) segala sesuatu (apa saja) yang di dalam menekankan bahwa sesuatu itu ada. Sedangkan eksistensialisme
sendiri adalah gerakan filsafat yang menentang esensialisme, yang pusat perhatiannya adalah situasi manusia.22
22
Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya, maka manusia tidak dapat dilepaskan dari dirinya. Manusia harus menemukan diri dalam
situasi dan berhadapan dengan berbagai kemungkinan yang dia punyai. Bagi Jasper dan Hiedegger, situasi itu menentukan pilihan dan kemudian
manusia itu membuat pilihan dari berbagai kemungkinan tersebut.23
Sedangkan pengertian eksistensi menurut Nadia J. Indriani, eksistensi bisa dikenal juga dengan satu kata yaitu keberadaan.
Keberadaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh atas ada atau tidak adanya kita sebagai manusia.
Perempuan dalam komunitas Aboge memang mengalami beberapa bentuk ketidakadilan gender seperti diskriminasi serta adanya hegemoni
dan kuasa simbolik. Meskipun demikian, perempuan tidak sepenuhnya kehilangan peran dan eksistensinya dalam menjaga adat istiadat dan ikut berpartisipasi di setiap kegiatan yang dilakukan komunitas tersebut.
Dari komposisi jumlah antara laki-laki dan perempuan, ditambah fungsi dan perannya yang dilakukan keduanya. Kaum perempuan
cenderung memiliki peran yang cukup dominan dalam hal urusan domestik. Sedangkan beberapa kaum laki-laki tertentu memiliki peran yang sangat menentukan. Laki-laki dalam komunitas Aboge meskipun
memiliki fungsi dan peran yang dominan dalam ritual inti, tetapi tetap tidak bisa memainkan peran dan fungsi yang dimiliki perempuan seperti
memasak, dan menyiapkan sesaji untuk keperluan adat lainnya.
23
Demikian pula sebaliknya, perempuan dalam komunitas adat Aboge tidak berhak memegang peran yang dimiliki oleh laki-laki dalam
ritual seperti tradisi Suran atau tradisis Slametan lainnya, karena yang memimpin jalan tradisi tersebut biasanaya dipimpin oleh ketua adat yang
mayoritas dari kalangan kaum laki-laki. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan komunitas Aboge dalam ritual adat apapun sama-sama memiliki fungsi dan peran yang sangat penting. Meskipun perempuan
tidak memiliki pengetahuan mengenai system adat sehingga tidak bisa memiliki kedudukan tinggi seperti ketua adat, tetapi mereka memiliki
tanggung jawab untuk tetap terlibat dalam setiap ritual yang dilakukan. Bagi masyarakat komunitas Aboge, pembedaan tugas dan perannya dalam
kehidupan sosial maupun ritual tersebut meski nampak berbeda antara laki-laki dan perempuan, bukan berarti bahwa salah satunya dianggap mendominasi secara mutlak dalam sendi kehidupan masyarakat.
Melalui keyakinan dan pembagian perannya tersebut, tampak bagaimana performativitas perempuan didefinisikan dan diperlukan oleh
masyarakat adat. Dalam analisis Butler, pendifinisian tersebut menjadi rujukan bagi kaum perempuan untuk terus menerus berbuat dan melakukan hal yang dianggap sesuai dengan ketentuan adat dalam
memposisikan perempuan.24
Tidak hanya dalam urusan ritual adat, perempuan juga merasa
mempunyai tanggung jawab dalam urusan perekonomian keluarga dengan
24
ikut bekerja. Dalam kehidupan sosial, bisa dikatakan bahwa perempuan mempunyai tugas yang lebih apabila dibandingkan dengan laki-laki.
Perempuan sejak pagi-pagi sekali mulai memasak, menyiapkan makanan, mencuci, sampai mengantar anak kesekolah, hingga melakukan pekerjaan
yang biasa dilakukan oleh laki-laki seperti pergi ke sawah untuk bekerja sebagai petani. Mayoritas perempuan Aboge tidak menganggap bahwa bekerja sebagai petani merupakan diskriminasi dengan bentuk beban
ganda. Bahkan bagi sebagian perempuan bahwa bekerja di sawah sudah menjadi kebiasaan untuk mengisi waktu luang. Selain itu, dengan bekerja
mereka bisa membantu perekonomian keluarga dan tidak terus menerus meminta kepada laki-laki atau suami yang menjadi kepala keluarga. Bagi
mereka, hal tersebut bisa menambah keharmonisan keluarga karena saling mengerti satu sama lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa strategi atau upaya
yang dilakukan oleh perempuan komunitas Aboge untuk mempertahankan eksistensinya adalah dengan 2 upaya. (1) dengan sosialisasi informal, yaitu
dengan mengarahkan dan memberikan informasi secara langsung kepada warga khususnya perempuan agar selalu ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan dan tidak lupa melaksanakan tradisi sesuai dengan apa yang
seharusnya dilakukan. (2) Perempuan banyak yang bekerja sebagai petani, karena dengan mereka ikut bekerja tidak saja hanya memperbaiki