• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Tindakan Medik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Tindakan Medik"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINDAKAN MEDIK YANG DIKATEGORIKAN SEBAGAI TINDAK PIDANA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Tindakan Medik

1. Ruang Lingkup Tindakan Medik

Tindakan medik adalah suatu tindakan seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para tenaga medis, karena tindakan itu ditujukan terutama bagi pasien yang mengalami gangguan kesehatan. Suatu tindakan medik adalah keputusan etik karena dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain, yang umumnya memerlukan pertolongan dan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan atas beberapa alternatif yang ada. Keputusan etik harus memenuhi tiga syarat, yaitu bahwa keputusan tersebut harus benar sesuai ketentuan yang berlaku, baik tujuan dan akibatnya, dan keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks serta situasi dan kondisi saat itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan65.

Tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik, seorang dokter harus66:

1. Mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi, pasien; 2. Mempertimbangkan etika, prinsip-prinsip moral, dan keputusan-keputusan khusus

pada kasus klinis yang dihadapi.

65

http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/09/pengertian-tindakan-medik.html, diakses tanggal 14 April 2015.

66

(2)

Suatu tindakan medik tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Mempunyai indikasi medik, untuk mencapai suatu tujuan yang konkrit, 2. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran, 3. Sudah mendapat persetujuan dari pasien.

Persetujuan tindakan medik (Informed Consent) dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu67:

1. Implied Consent, yaitu persetujuan yang dianggap telah diberikan

walaupun tanpa pernyataan resmi, yaitu pada keadaan biasa dan pada keadaan darurat atau emergency. Pada keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa pasien, tindakan menyelamatkan kehidupan (life living) tidak memerlukan persetujuan tindakan medik.

2. Expressed Consent, yaitu persetujuan tindakan medik yang diberikan

secara eksplisit baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written). Tindakan medik yang memerlukan persetujuan secara tertulis adalah68:

1. Tindakan-tindakan yang bersifat invasif dan operatif atau memerlukan pembiusan, baik untuk menegakkan diagnosis maupun tindakan yang bersifat terapetik.

2. Tindakan pengobatan khusus, misalnya terapi sitostatika atau radioterapi untuk kanker.

3. Tindakan khusus yang berkaitan dengan penelitian bidang kedokteran atau uji klinik (berkaitan dengan bioetika), tidak dibahas dalam kegiatan keterampilan medik ini.

Setiap tindakan medis harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara etik maupun secara hukum, Kode Etik Kedokteran Indonesia ( KODEKI ) memberikan pedoman

67

http://www.dentaluniverseindonesia.com/home/62-persetujuan-tindakan-medik.html, diakses pada tanggal 14 April 2015.

68

(3)

kepada dokter di dalam memutuskan untuk melakukan tindakan medisnya tidak boleh bertentangan dengan :

a. Kode Etik Kedokteran Indonesia ( KODEKI ) b. Asas-asas Etika kedokteran Indonesia yaitu69: 1. Tidak merugikan ( Non-Maleficence ) 2. Membawa kebaikan ( Benevicence ) 3. Menjaga kerahasiaan (Confidencsialitas ) 4. Otonomi pasien ( Informed Consent ) 5. Berkata benar ( Veracity )

6. Berlaku adil ( Justice ). 7. Menghormati ( privacy)

Agar seorang dokter tidak dipandang melakukan praktik yang buruk menurut Danny Wiradharma, maka setiap tindakan medis yang dilakukan harus memenuhi tiga syarat70:

1. Memiliki indikasi medis ke arah suatu tujuan perawatan yang kongkrit. 2. Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran 3. Telah mendapat persetujuan tindakan pasien .

Kesehatan merupakan kebutuhan hidup yang sangat penting dalam menunjang aktifitas manusia sehari-hari. Manusia melakukan berbagai upaya demi mewujudkan hidup yang sehat. Pasal 47 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara

69 Ngesti Lestari, ”Masalah Malpraktek Etik Dalam Praktek Dokter ”, Kumpulan Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar , Malang, 2001.

70

(4)

terpadu menyeluruh, dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kegiatan71.

Pelayanan kesehatan prefentif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan pasien dalam kondisi semula72.

Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk di dalamnya tindakan medik yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Pemeliharaan kesehatan individu adalah lebih kepada upaya pelayanan kesehatan individu yang dikenal dengan pelayanan kedokteran dan tenaga kesehatannya adalah dokter, perawat dan sebagainya73. Pelayanan kesehatan individu terdapat hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan (dokter) dan sarana kesehatan (rumah sakit). Hubungan yang timbul antara pasien, dokter dan rumah sakit diatur oleh kaidah-kaidah tentang kedokteran (bagian dari kesehatan) baik hukum maupun non hukum (antara lain: moral termasuk etika, kesopanan, kesusilaan dan ketertiban).

71

Nourma Yunita Padmasari, Perlindungan Hukum Pasien Dalam Perjanjian Terapeutik Pada RSIA Sakina Idaman, (Yogyakarta: Skripsi UII, 2011).

72

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 73

(5)

Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik, adalah meliputi hubungan medis, hubungan hukum, hubungan non hukum, hubungan ekonomi dan hubungan sosial. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan tindakan medik yang sebaik-baiknya bagi pasien. Hubungan dokter dan pasien adalah hubungan antara manusia dan manusia. Dalam hubungan ini mungkin timbul pertentangan antara dokter dan pasien, karena masing-masing mempunyai nilai yang berbeda-beda. Dalam hubungan dengan pemberian pelayanan kesehatan, unsur hubungan antara dokter dan pasien menjadi sangat penting.

Hubungan antara dokter dan pasien yang baik hanya dapat dicapai apabila masing-masing pihak benar-benar menyadari hak dan kewajibannya, serta memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hubungan dokter dan pasien yang sempurna akan terbentuk dengan kesadaran bahwa hak akan pelayanan kesehatan merupakan hasil kontrak antara kedokteran dan masyarakat serta antara dokter dan pasien74. Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan akan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.

Pasien dikategorikan sebagai konsumen akhir dalam jasa pelayanan kesehatan karena pasien tidak termasuk dalam bagian dari produksi. Sifat konsumeristik dari pelayanan kesehatan tampak dari terjadinya pergeseran paradigma pelayanan

74

(6)

kesehatan dari semula bersifat sosial berubah menjadi bersifat komersial, dimana pasien harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk upaya kesehatannya75.

Pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggungjawab seperti penelantaran. Pasien juga berhak atas keselamatan, keamanan, kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan yang diterima. Dengan hak tersebut maka konsumen akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam keselamatan dan kesehatan76. Hak pasien adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang diterima tidak semestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan intern rumah sakit dalam pelayanan atau kepada lembaga yang memberi perhatian kepada konsumen kesehatan.

Pola hubungan paternalistic antara dokter dan pasien identik dengan pola hubungan vertical dimana kedudukan atau posisi antara pemberi jasa pelayanan kesehatan dan penerima jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat77. Hubungan ini timbul karena pasien mencari pertolongan untuk penyembuhan penyakitnya, dalam hal ini dokter atau rumah sakit.

Pelayanan merupakan suatu aktivitas atau serangkaian alat yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba), yang terjadi akibat interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang

75

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), halaman 20.

76

http://www.freewebs.com/pencegahanperspektifpasien/implikasihukum.html, diakses pada tanggal 2 Maret 2015.

77

(7)

dimaksudkan untuk memecahkan persoalan konsumen78. Pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan penggunaan fasilitas pelayanan yang disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas kesehatan ataupun bentuk kegiatan lain dari pemanfaatan pelayanan tersebut yang didasarkan pada ketersediaan dan kesinambungan pelayanan, penerimaan masyarakat dan kewajaran, mudah dicapai masyarakat, terjangkau serta bermutu.

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Lavey dan Loomba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap perorangan kelompok atau masyarakat79.

Terdapat 2 kelompok pelayanan kesehatan yang perlu dibedakan, yaitu80: 1. Health Receivers, yaitu penerima pelayanan kesehatan. Yang termasuk

dalam kelompok ini adalah pasien, yaitu orang yang sakit, mereka yang ingin memelihara/ meningkatkan kesehatannya, misalnya ingin di vaksinisasi atau wanita hamil yang memeriksa kandungannya.

2. Health Providers, yaitu pemberi layanan kesehatan. Contohnya Medical

Providers yaitu dokter, bidan, perawat analisis, ahli gizi dan lain-lain. Pelayanan kesehatan masyarakat bertujuan untuk menigkatkan kesehatan dan mencegah penyakit dengan sasaran utamanya adalah masyarakat81.

78

Digilib.usu.ac.id/chapterII, diakses pada tanggal 10 Maret 2015. 79

Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter Dalam Transaksi Terapeutik, (Surabaya: Srikandi, 2005), halaman 100.

80

(8)

Ruang lingkup dari pelayanan kesehatan masyarakat menyangkut kepentingan masyarakat banyak, maka peran pemerintah dalam pelayanan kesehatan masyarakat mempunyai bagian atau porsi yang besar. Namun karena keterbatasan sumber daya pemerintah, maka potensi masyarakat perlu digali dan diikutsertakan dalam upaya pelayanan kesehatan masyarakat tersebut.

Ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam pelayanan kesehatan masyarakat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, antara lain82: a. Penanggung jawab; pengawasan, standar pelayanan, dan sebagainya dalam pelayanan kesehatan masyarakat baik pemerintah (Puskesmas) maupun swasta (Balkesmas) berada di bawah koordinasi penanggung jawab seperti Departemen Kesehatan.

b. Standar pelayanan; pelayanan kesehatan masyarakat, baik pemerintah maupun swasta harus berdasarkan pada suatu standar tertentu. Di Indonesia standar ini telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan, dengan adanya “Buku Pedoman Puskesmas”.

c. Hubungan kerja; dalam hal ini harus ada pembagian kerja yang jelas antara bagian yang satu dengan yang lain. Artinya fasilitas kesehatan harus mempunyai struktur organisasi yang jelas yang menggambarkan hubungan kerja secara horizontal maupun vertikal.

d. Pengorganisasian potensi masyarakat; keikutsertaaan masyarakat atau pengorganisasian masyarakat ini penting, karena adanya keterbatasan sumber-sumber daya penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat.

2. Bentuk-Bentuk Tindakan Medik

Dokter berkewajiban memberikan tindakan medik yang sebaik-baiknya kepada pasien. Tindakan medik ini dapat berupa penegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai dengan

81

Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar), (Jakarta: PT.Asdi Mahasatya, 2003).

82

(9)

standar tindakan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya.

Bentuk pelayanan kesehatan/medis adalah sebagai berikut83: a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (Primer)

Pelayanan yang lebih mengutamakan pelayanan yang bersifat dasar dan dilakukan bersama masyarakat dan dimotori oleh:

1. Dokter umum (tenaga medis) 2. Perawat mantri (tenaga paramedis)

Pelayanan kesehatan primer (primary health care) atau pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling di depan, yang pertama kali diperlukan oleh masyarakat pada saat mereka mengalami gangguan kesehatan atau kecelakaan. Pelayanan ini ditujukan kepada masyarakat yang sebagian besar bermukim di pedesaan serta masyarakat yang berpenghasilan rendah diperkotaan. Pelayanan kesehatan ini sifatnya berobat jalan, diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan.

Contohnya: Puskesmas dan Klinik.

b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (Sekunder)

Pelayanan kesehatan ini lebih bersifat spesialis dan bahkan kadang kala pelayanan subspesialis, tetapi masih terbatas. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut (rujukan). Di Indonesia terdapat berbagai tingkat rumah sakit mulai dari rumah sakit kelas A sampai rumah sakit kelas D. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh:

1. Dokter spesialis

2. Dokter subspesialis terbatas.

Pelayanan kesehatan ini sifatnya pelayanan jalan atau pelayanan rawat (inpatient services), diperlukan untuk kelompok masyarakat yang memerlukan perawatan inap, yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer.

Contohnya: rumah sakit kelas C.

c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (Tersier)

Pelayanan kesehatan tersier merupakan pelayanan yang lebih mengutamakan pelayanan subspesialis serta subspesialis luas. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh:

1. Dokter subspesialis 2. Dokter subspesialis luas.

83

(10)

Pelayanan kesehatan ini sifatnya pelayanan jalan atau pelayanan rawat inap (rehabilitasi), diperlukan kelompok masyarakat atau pasien yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan sekunder.

Contohnya: rumah sakit kelas A.

Tindakan medik dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance

dan nonfeasance84. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum

atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medik tanpa indikasi yang memadai, pilihan tindakan medik tersebut sudah improper.

Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medik yang tepat tetapi dilaksanakan

dengan tidak tepat (improper performance), misalnya melakukan tindakan medik dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance berarti tidak melakukan tindakan medik yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk tersebut digolongkan dalam kelalaian yang sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian dalam bentuk khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian.

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari tindakan medik, sekaligus merupakan bentuk tindakan medik yang paling sering terjadi85. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi sama.

84

http://www.hukor.depkes.go.id/?art=20.html, diakses tanggal 15 April 2015. 85

(11)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelayanan Kesehatan dan Syarat

Pokok dalam Pelayanan Kesehatan

Faktor perilaku yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan adalah86:

a. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling)

berupa pengetahuan, presepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap obyek, dalam hal ini obyek kesehatan.

b. Orang penting sebagai referensi (Personal referensi)

seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh seseorang yang dianggap penting atau berpengarh besar terhadap dorongan penggunaan pelayanan kesehatan. c. Sumber-sumber daya (Resources)

mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Sumber-sumber daya juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Pengaruh tersebut dapat bersifat positif dan negatif.

d. Kebudayaan (Culture)

berupa norma-norma yang ada di masyarakat dalam kaitannya dengan konsep sehat sakit.

Pelayanan kesehatan harus memiliki berbagai persyaratan pokok, yaitu: persyaratan pokok yang memberi pengaruh kepada masyarakat dalam menentukan pilihannya terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan, yakni87:

a. Ketersediaan dan kesinambungan pelayanan

Pelayanan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang tersedia di masyarakat (acceptable) serta berkesinambungan (sustainable). Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat ditemukan serta keberadaannya dalam masyarakat adalah ada tiap saat dibutuhkan. b. Kewajaran dan penerimaan masyarakat

Pelayanan kesehatan baik adalah bersifat wajar (appropriate) dan dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat. Artinya pelayanan kesehatan tersebut dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi, tidak bertentangan dengan adat-istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu keadaan pelayanan kesehatan yang baik.

86

Digilib.usu.ac.id/chapterII, diakses pada tanggal 18 Maret 2015. 87

(12)

c. Mudah dicapai oleh masyarakat

Pengertian dicapai yang dimaksud disini terutama dari letak sudut lokasi mudah dijangkau oleh masyarakat, sehingga distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Jangkauan fasilitas pembantu untuk menentukan permintaan yang efektif.

d. Terjangkau

Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan yang terjangkau

(affordable) oleh masyarakat, dimana diupayakan biaya pelayanan tersebut

sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal hanya mungkin dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.

e. Mutu

Mutu (kualitas) yaitu menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan menunjukkan kesembuhan penyakit serta keamanan tindakan yang dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

4. Upaya-Upaya dalam Pengembangan Pelayanan Kesehatan

Upaya pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika profesi tenaga yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan88. Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju mundurnya rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada ditempat tersebut. Dari pihak rumah sakit diharapkan memahami konsumen secara keseluruhan agar dapat maju dan berkembang.

Orang yang sedang sakit (pasien) yang tidak dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya, tidak ada pilihan lain selain meminta pertolongan dari orang yang dapat menyembuhkan penyakitnya, yakni meminta pertolongan dari petugas

88

(13)

kesehatan yang datang menyembuhkan penyakitnya89. Tenaga kesehatan akan melakukan apa yang dikenal dengan upaya kesehatan dan objek dari upaya kesehatan adalah pemeliharaan kesehatan, baik pemeliharaan kesehatan masyarakat maupun pemeliharaan kesehatan individu. Di dalam kesehatan masyarakat terdapat pula antara lain kesehatan sekolah, kesehatan lingkungan dan pemberantasan penyakit menular90.

Pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan melalui perluasan jangkauan wilayah sesuai dengan tingkat kemajuan wilayah dalam hal transportasi, peningkatan rujukan, peningkatan mutu pelayanan dan keterampilan staf, peningkatan manajemen organisasi dan peningkatan peran serta masyarakat. Adapun upaya untuk pengembangan pelayanan kesehatan, antara lain:

a. meluaskan jangkauan pelayanan kesehatan dan penempatan tenaga medis sampai ke desa-desa.

b. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, baik dengan meningkatkan keterampilan dan motivasi kerja dengan cara mencukupi berbagai jenis kebutuhan peralatan dan obat-obatan.

c. Pengadaan peralatan dan obat-obatan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang didasarkan pada analisis epidemiologi penyakit yang berkembang di wilayah kerja.

89

Wila Chandrawila Supriadi, Loc.Cit. 90

(14)

d. Sistem rujukan di tingkat pelayanan kesehatan lebih diperkuat dengan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

e. Peran serta masyarakat dalam pengembangan pembangunan kesehatan agar masyarakat mampu mencapai mutu hidup yang sehat dan sejahtera.

B. Peraturan-Peraturan tentang Tindakan Medik

Peraturan-peraturan hukum di bidang tindakan medik meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang-Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, pidana dan pemidanaan. KUHP sebagai induk aturan umum memasukkan rumusan asas legalitas di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam

perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

(15)

Pasal 346:

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 347:

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun

Pasal 348:

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349:

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 359:

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360:

1. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

(16)

Pasal 386:

1. Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahuinya bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2. Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu jika nilainya atau faedahnya menjadi kurang karena sudah dicampur dengan sesuatu bahan lain.

Berdasarkan ketentuan KUHP bahwa tindakan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana apabila tindakan tersebut berkaitan dengan kelalaian yaitu dilakukan dengan sengaja atau kelalaian, maka setiap tindakan tindakan medik yang diatur dalam pasal- pasal KUHP ini yang berkaitan dengan sengaja atau kelalaian dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.

2. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Ruang lingkup hukum pidana mencakup ketentuan yaitu rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, pidana dan pemidanaan. Dalam Ketentuan Pidana diatur dalam Bab X Pasal 75 sampai dengan Pasal 80 undang-undang ini pemidanaan yang dikenakan adalah pidana penjara, pidana kurungan dan denda, sedangkan pertangungjawaban pidananya adalah kesengajaan.

Pasal 75:

1. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(17)

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

3. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 76:

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 77:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 78:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 79:

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :

a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);

b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau

(18)

Pasal 80:

1. Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

Berdasarkan ketentuan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terdapat dua kategori tindakan yang dapat disebut sebagai tindak pidana yaitu perbuatan yang berkaitan dengan persyaratan pelaksanaan praktik kedokteran yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi dan perbuatan yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik kedokteran yang dilakukan selain dokter atau dokter gigi.

3. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana, pertangungjawaban pidana, pidana dan pemidanaan. Ketentuan Pidana dalam undang-undang ini diatur dalam Bab XX Pasal 190 sampai dengan Pasal 201 yang pemidanaannya dikenakan adalah pidana penjara, denda dan pidana tambahan, sedangkan pertanggungjawaban pidananya adalah kesengajaan.

Pasal 190:

1. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(19)

lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 191:

Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 192:

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 193:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Pasal 194:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 195:

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 196:

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(20)

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 198:

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 200:

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

Pasal 201:

1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.

2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan kesalahan berupa perbuatan dengan kesengajaan atau kelalaian, atas izin praktik dan izin produksi peralatan kesehatan.

4. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

(21)

undang-undang ini diatur dalam Bab XIII Pasal 62 sampai dengan Pasal 63 yang pemidanaannya dikenakan adalah pidana penjara, denda dan pidana tambahan, sedangkan pertangungjawaban pidananya adalah kesengajaan.

Pasal 62:

Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah).

Pasal 63:

1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.

2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.

Berdasarkan ketentuan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit bahwa perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah terhadap hal izin penyelenggaraan rumah sakit.

C. Tindakan Medik Dikategorikan sebagai Tindak Pidana

(22)

kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan medis91. Sedangkan pasien merupakan orang sakit yang awam akan penyakit yang dideritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati dan disembuhkan oleh dokter92. Dokter dan tenaga medis lainnya berkewajiban memberikan tindakan medik yang sebaik-baiknya bagi pasien.

1. Tindak Pidana

Istilah untuk menyatakan suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan pidana yaitu tindak pidana, delik (delict) atau strafbaarfeit. Dari keempat istilah tersebut, istilah “tindak pidana” merupakan istilah yang banyak digunakan dalam

perundang-undangan di Indonesia.

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana93. Dalam tindak pidana terdapat unsur perbuatan seseorang karena pada dasarnya yang dpat melakukan tindak pidana adalah orang (natuurlijke person). Selain subjek hukum sebagai unsur tindak pidana masih terdapat satu unsur lagi yaitu perbuatan. Perbuatan yang dapat dikenal hukuman pidana tentu saja perbuatan yang melawan hukum yaitu perbuatan yang memenuhi rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Perbuatan tersebut dapat berupa berbuat atau tidak berbuat. Sifat perbuatan itu selain melawan hukum

91

Soerjono Soekanto, Aspek Hukum dan Etika Kedokteran, (jakarta: Grafiti Pers, 1983). 92

Soerjono Soekanto, Segi-Segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, (Bandung: Cv.Mandar Maju, 1990). 93

(23)

juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan dalam masyarakat yang dianggap baik dan adil.

Menurut Roeslan Saleh perbuatan pidana adalah perbuatan yang anti sosial94. Perbuatan seseorang dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah tercantum dalam undang-undang. Dengan kata lain mengetahui sifat perbuatan tersebut dilarang atau tidak, harus dilihat dari rumusan undang-undang.

Asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan dikenal dengan asas legalitas. Dua fungsi asas legalitas yaitu fungsi instrument yang berarti tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut dan fungsi melindungi yang berarti tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang95.

Moeljatno mengatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dalam pidatonya Moeljatno mengatakan bahwa tindak pidana atau perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan itu96. Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan:

94

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana), (Jakarta:Aksara Baru, 1985), halaman 13.

95 Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang

Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma dalam Ilmu Hukum Pidana), (Semarang:Universitas Diponegoro, 2004), halaman 22.

96

(24)

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu,

c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

Unsur-unsur dari tindak pidana adalah:

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan)

b. Diancam dengan pidana c. Melawan hukum

d. Dilakukan dengan kesalahan

e. oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana, yakni97:

a. unsur obyektif; perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, dan mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti

dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.

b. unsur subyektif; orang yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.

97

(25)

Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Jenis-jenis dari tindak pidana, yaitu98: a. Kejahatan dan pelanggaran

Perbedaan kedua jenis delik ini bersifat kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif ada dua jenis delik yaitu rechtdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan dan

wetsdelicten ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak

pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Secara kuantitatif perbedaannya dilihat dari segi kriminologi ialah pelanggaran itu lebih ringa dari pada kejahatan.

b. Delik formil dan delik materiil

Delik formil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang, delik tersebut telah diselesaikan dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan rumusan delik. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang dikehendaki (dilarang), delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan.

c. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa

Delik commisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. Delik ommisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/ yang diharuskan. Delik commisionis per ommisionen commissa adalah delik yang berupa pelanggaran larangan akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat.

d. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)

Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan dan delik culpa adalah delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur.

e. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)

Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali dan delik berangkai adalah delik yang baru merupakan delik apabila dilakukan beberapa kali perbuatan.

98

(26)

f. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)

Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus.

g. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten) Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena. Delik laporan adalah delik yang penuntutannya dapat dilakukan tanpa ada pengaduan dari pihak yang terkena, cukup dengan adanya laporan yaitu pemberitahuan tentang adanya suatu tindak pidana kepada polisi.

h. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatan/peringananya (eenvoudige dan gequalificeerde/geprevisilierde delicten)

i. Delik ekonomi dan bukan delik ekonomi

2. Tindakan Medik Dikategorikan sebagai Tindak Pidana

Tindak pidana dalam tindakan medik dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu99:

a. Minimnya pelayanan tenaga medis menyebabkan peluang terjadinya kesalahan tindakan medis (malpraktik) saat memberikan tindakan kepada pasien, seperti kesalahan pemberian obat, kesalahan prosedur/tindakan semestinya harus dilakukan;

b. Kesalahan diagnosis dapat berakibat fatal bagi pasien, seperti terjadinya kelumpuhan, kerusakan organ dalam dan bahkan dapat mengakibatkan kematian pasien;

c. Dokter yang kurang dalam kemampuan. Tidak sedikit dari mereka mempunyai gelar dokter tetapi kurang menguasai Ilmu Kedokteran, sedangkan menjadi seorang dokter harus mempunyai kecerdasan yang benar agar menjadi dokter sesungguhnya dan segala tindakan medisnya bisa dipertanggungjawabkan.

d. Faktor ketidaksengajaan, terjadi karena kelalaian dari para tenaga medis atau ketidaktelitian petugas medis saat menangani pasien.

Tindak pidana dalam tindakan medik atau dapat dikatakan malpraktik merupakan kesalahan pengambilan tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis profesional maupun tenaga medis amatir baik secara disengaja atau tidak disengaja

99

(27)

atau dokter (tenaga medis) tersebut melakukan praktik yang buruk100. Terdapat empat hal penting yang berkaitan dengan kejadian malpraktik tersebut, yakni:

a. Adanya kegagalan tenaga medis untuk melakukan tata laksana sesuai standar terhadap pasien. Standar yang dimaksud mengacu pada standar prosedur operasional yang ditetapkan;

b. Kurangnya keterampilan para tenaga medis101; c. Adanya faktor pengabaian;

d. Adanya cidera yang merupakan akibat salah satu dari ketiga faktor tersebut. Tidak semua kegagalan medis adalah akibat kelalaian atau kesalahan medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada pasien tidak termasuk dalam pengertian kelalaian atau kesalahan medis. Kegagalan medis dapat disebabkan oleh empat hal, yaitu:

a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis;

b. Hasil dari suatu resiko yang tak dapat dihindari, yaitu resiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable), atau resiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat/tidak mungkin dihindari karena tindakan yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Resiko tersebut harus terlebih dahulu diinformasikan terlebih dahulu;

100

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta:Egc, 1999). 101

(28)

c. Hasil dari suatu kelalaian medis; d. Hasil dari suatu kesengajaan.

Dari keempat faktor tersebut yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana tindakan medik adalah kegagalan medis akibat kelalaian (culpa) dan pelaksanaan tindakan medis tanpa persetujuan. Kegagalan medis yang merupakan suatu perjalanan alami penyakit dan resiko yang tidak dapat diketahui sebelumnya

(unforeseeable) atau diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat dihindari bukanlah suatu tindak pidana tindakan medik, sedangkan kegagalan medis yang disebabkan oleh kesengajaan merupakan suatu professional misconduct dan tindak pidana tindakan medik.

Kesalahan dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu102:

a. Malfeasance, yakni melakukan tindakan yang melanggar hukum atau

tidak tepat/layak, misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai.

b. Misfeasance, yakni melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat, misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.

c. Nonfeasance, yakni tidak melakukan tindakan medis yang merupakan

kewajiban baginya.

Kelalaian atau culpa dapat juga dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu103:

a. Culpa lata: sangat tidak berhati-hati, kesalahan serius, sembrono (gross fault or

neglect);

b. Culpa levis: kesalahan biasa (ordinary fault or neglect); c. Culpa levissima: kesalahan ringan (slight fault or neglect).

102

Masruchin Rubai, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, (Malang: IKIP,1997). 103

(29)

Pada culpa lata tidak berlaku lagi hukum perdata, melainkan pidana. Pada

culpa levis dan culpa levissima yang tidak dapat dikenakan hukum pidana maka ditampung dalam hukum perdata. Penyebab lain kegagalan medis, yaitu kesengajaan, masuk dalam kategori professional misconduct. Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administrasi serta hukum pidana dan perdata seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal, euthanasia, keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar kompetensinya, dan lain-lain104.

Untuk menentukan kelalaian medis, Sofyan Dahlan mengemukakan dengan cara membuktikan unsur 4D-nya, yaitu:

a. Duty yaitu adanya kewajiban yang timbul dari hubungan terapetis;

b. Dereliction of duty yaitu tidak melaksanakan kewajiban yang seharusnya

dilaksanakan;

c. Damage yaitu timbulnya kerugiaan atau kecideraan;

d. Direct causatin yaitu adanya hubungan langsung antara kecideraan atau kerugian

itu dengan kegagalan melaksanakan kewajiban105

104

Hermien Koeswadji Hadijati, Hukum Kedokteran, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998). 105

(30)

Malpraktik medis merupakan pelaksanaan atau tindakan yang salah106. Veronika mengemukakan malpraktik suatu kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter (tenaga medis)107. Kejadian tuntutan malpraktik dipengaruhi berbagai pasien, baik tenaga medis maupun pasien harus mengetahui mengenai malpraktik atau tindak pidana tindakan medik untuk bersama-sama menghindari terjadi tindak pidana tersebut. Kesadaran pasien akan menimbulkan efek baik yaitu pengawasan tenaga medis. Dalam kepustakaan, menyebutkan bahwa untuk menentukan adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus dipenuhi empat unsur, yaitu: a. Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan itu bersifat melawan hukum b. Mampu bertanggungjawab

c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja karena kealpaan d. Tidak adanya alasan pemaaf.

Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang dokter adalah kelalaian akibat. Oleh karena itu yang dipidana adalah penyebab dari timbulnya akibat, misalnya tindakan dokter yang mengakibatkan cacat atau matinya seseorang. Untuk menentukan apakah seorang dokter telah melakukan peristiwa pidana sebagai akibat, harus terlebih dahulu dicari keadaan-keadaan yang merupakan sebab terjadinya peristiwa pidana itu. Disamping itu harus dilihat apakah perawatan yang diberikan kepada pasien merupakan suatu kesengajaan untuk tidak memberikan

106

Ngesti Lestari, Masalah Malpratek Etik Dalam Praktek Dokter, Kumpulan Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr.Saiful Anwar, Malang, 2001.

107

(31)

pelayanan yang baik, padahal ia sadar sepenuhnya bahwa pasien tersebut sangat membutuhkannya108.

Tindakan medik yang terjadi antara dokter dan pasien dapat dikategorikan tindak pidana jika perbuatan/tindakan medik tersebut memenuhi unsur tindak pidana menurut hukum pidana tertulis. Beberapa tindakan dokter yang dikategorikan sebagai tindak pidana menurut hukum positif di Indonesia, diantaranya perbuatan menipu pasien, melanggar kesusilaan, sengaja membiarkan pasien tidak tertolong, membocorkan rahasia kedokteran, lalai sehingga menyebabkan luka atau mati, memberi atau menjual obat palsu, melakukan praktik tanpa adanya izin praktik. Tindak pidana tindakan medik dibedakan tiga golongan, yaitu109:

1. Karena kesengajaan (intentional), misalnya aborsi tanpa indikasi medik, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat, memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.

2. Karena kecerobohan (recklessness), misalnya tindakan yang tidak lege artis (tidak sesuai dengan indikasi medik dan tidak memenuhi standar pelayanan medik), tindakan tanpa informed consent.

3. Karena kealpaan (negligence), misalnya meninggalkan kasa/gunting di dalam perut pasien yang dioperasi, alpa/kurang hati-hati sehingga pasien cacat/meninggal.

Perlu dibedakan antara tindakan malpraktik dan kealpaan (negligence), kealpaan termasuk malpraktik tetapi di dalam malpraktik tidak selalu harus terdapat unsur kealpaan. Malpraktik kecuali mencakup kealpaan, juga mencakup tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan melanggar undang-undang.

108

Leden Marpaung, Asas-Teori- Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), halaman 22. 109

(32)

Suatu perbuatan dapat dikategorikan criminal malparactice (tindakan medik) apabila memenuhi rumusan delik pidana. Pertama , perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela. Kedua, dilakukan dengan sikap batin yang salah

(means rea) yaitu berupa kesengajaan , kecerobohan atau kealpaan.

Contoh dari criminal malparactice (tindakan medik) yang sifatnya kesengajaan adalah:

a. Melakukan aborsi tanpa indikasi medik b. Membocorkan rahasia kedokteran

c. Tidak melakukan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan meskipun tahu tidak ada dokter lain yang akan menolongnya.

d. Menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar e. Membuat visum et repertum yang tidak benar.

f. Memberikan keterangan yang tidak benar disidang pengadilan dalam kapasitasnya sebagai ahli

Contoh dari crimanal malpractice yang bersifat kecerobohan : a. Melakukan tindakan medik yang tidak lege artis

b. Melakukan tindakan medik tanpa informed consent

Contoh dari criminal malpractice yang bersifat kealpaan :

a. Kurang hati-hati sehingga meninggalkan gunting dalam perut pasien b. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka-luka.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kepadatan total dan karakteristik bakteri pelarut fosfat yang di isolasi dari rizosfer tanaman pisang nipah (Musa paradisiaca

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui apa akibat hukum jika penaganan delik aduan dengan aduan yang tidak sah, metode yang digunakan adalah metode penelitan

Pelaksanaan Tindakan, Data yang diperoleh pada siklus III ini adalah tingkat aktivitas belajar siswa dan aktivitas guru dalam pembelajaran, sekaligus untuk

Hasil uji hipotesis atau uji t pada penelitian ini menunjukkan bahwa leverage berpengaruh terhadap risk management disclosure pada perusahaan sektor industri barang

Bila dikaitkan dengan struktur geologi regional Cekungan Sumatra Tengah, struktur pada lapangan telitian terbentuk pada fasa tektonik F3, yaitu terjadi gaya

Memakai peralatan perlindungan yang sesuai (termasuk peralatan pelindung diri yang disebut di bawah Seksyen 8 lembar data keselamatan) untuk mencegah pencemaran kulit, mata dan

Dengan merujuk pada kurikulum dan KKNI Deskriptor program Administrasi/ Manajemen Pendidikan (S1) mengenai sejauh mana kompetensi tersebut dapat dipenuhi serta

5.5 Hubungan Karakteristik, Pola Aktivitas Fisik, dan Pola Makan Dengan Status Gizi Pelajar SMA Putri Kelas 1 Di Denpasar Utara ... 79