KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA BERDASARKAN
TEORI JOHN DEWEY PADA MATERI TRIGONOMETRI
Vina Muthmainna Rianto, Edy Yusmin dan Asep Nursangaji Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan
Email: vina.jr.vm@gmail.com
Abstract
This research aims to describe students’ problem solving ability on trigonometry. The research method that used is descriptive with case study. The subject of this research are six students of grade XI MIPA 1 MAN 2 Pontianak that consist of two students in up-group who have high ability of problem solving, two students in mid-group who have medium ability of problem solving, and the last two students in bottom-group who have low ability of problem solving. The data collection instrument that used are written test in essay and unstructured interview guides. The result of analysis data about problem solving ability based on John Dewey’s Theory showed that the students in up-group have high problem solving ability, the students in mid-group have medium problem solving ability, and the students in bottom-grade have medium problem solving ability. Based on this research we can conclude that student’s problem solving ability based on John Dewey’s Theory belong to medium category.
Keyword: Problem Solving Ability, John Dewey’s Theory, Trigonometry
Tujuan pembelajaran matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang telah ditetapkan dalam Depdiknas tahun 2006 terdiri dari (1) memahami konsep matematika, (2) menggunakan penalaran pada pola dan
sifat, (3) memecahkan masalah, (4)
mengomunikasikan gagasan, dan (5) memiliki sikap dan menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa pemecahan masalah sebagai salah satu dari lima standar proses matematika sekolah. Oleh karenanya pemecahan masalah merupakan
salah satu tujuan utama pendidikan
matematika dan bagian penting dalam aktivitas matematika dan aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari. Standar proses
pembelajaran matematika tersebut juga sesuai dengan standar pembelajaran matematika
yang tertulis dalam buku NCTM (National
Council of Teachers of Mathematics) tahun 2000 yang terdiri dari kemampuan pemecahan
masalah (problem solving), kemampuan
penalaran dan bukti (reasoning), kemampuan
komunikasi (communication), kemampuan
koneksi (connection) dan kemampuan
representasi (representation).
Kemampuan pemecahan masalah sangat penting baik dalam proses pembelajaran,
maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Pemecahan masalah sebagai langkah awal siswa dalam mengembangkan ide-ide dalam
membangun pengetahuan baru dan
mengembangkan keterampilan-keterampilan matematika.. Seperti yang diungkap dalam NCTM (2000 : 52) bahwa semua siswa harus membangun pengetahuan matematika baru
melalui pemecahan masalah. Hal ini
dikarenakan dalam proses pemecahan
Berdasarkan pengamatan peneliti di bulan Februari 2016, pada saat mengajar di
kelas XII IPA dalam membahas soal Try-Out
terkait materi trigonometri yang berkaitan dengan persamaan trigonometri dan mencari himpunan penyelesaian dari persamaan trigonometri tersebut. Terlihat bahwa siswa mencoba mengerjakan dengan langkah-langkah penyelesaian yang pernah dipelajari. Terdapat siswa yang mengerjakan soal dengan
memperhatikan langkah-langkah
penyelesaian hingga didapat hasil akhir dan merepresentasikan jawaban ke permasalahan. Lalu terdapat siswa yang dapat menjelaskan langkah-langkah pemecahan masalah seperti yang pernah dijelaskan oleh guru yang
bersangkutan namun tidak dapat
menginterpretasikan jawaban permasalahan. Hal ini karena saat pembelajaran berlangsung, guru hanya menjelaskan langkah pengerjaan
untuk mendapatkan hasil dan tidak
menginterpretasikan jawaban permasalahan yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga beberapa siswa lebih cenderung mencari penyelesaian masalah dan berakhir pada hasil
akhirnya saja. Terdapat siswa yang
mengalami kesulitan. Setelah dilakukan wawancara tidak terstruktur kepada siswa
yang bersangkutan mengenai kesulitan
tersebut, hasilnya adalah kesulitan yang dirasakan siswa disebabkan oleh beberapa hal yaitu: (1) materi yang diujikan sudah terlewati sehingga siswa tidak banyak mengingat materi tersebut, (2) dari awal materi disajikan, siswa tidak banyak yang memahami materi sehingga berlanjut sampai siswa tersebut naik kelas. Dari penyebab diatas mengakibatkan siswa yang mengerjakan soal berupaya mengingat langkah-langkah untuk mencari jawaban yang dimaksud, sehingga dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa siswa menyadari hal tersebut merupakan masalah. Lalu terdapat siswa yang bersikap acuh saat melihat soal itu dan dimintai untuk mencari jawaban. Dalam hal ini, terdapat siswa yang belum memikirkan strategi yang akan
digunakan agar soal tersebut dapat
diselesaikan. Jika strategi saja belum terfikirkan, maka tahap-tahap pemecahan masalah berikutnya akan sulit dilakukan,
seperti menyusun hipotesis pengerjaan
(kegiatan yang dilakukan dalam mencari penyelesaian), menguji hipotesis yang dipilih dan memilih hipotesis yang terbaik.
Dari hasil pengamatan tersebut, siswa yang mencari penyelesaian masalah jika diberikan soal mengacu pada langkah pemecahan masalah menurut Polya yaitu
mengenali masalah, merencanakan
penyelesaian masalah, melaksanakan
penyelesaian masalah dan membuat
kesimpulan dari penyelesaian yang didapat. Pada langkah merencanakan penyelesaian, siswa cenderung menggunakan satu solusi untuk menyelesaikan masalah. Langkah-langkah pengerjaan siswa yang tertulis sama dengan pengerjaan-pengerjaan yang biasa dilakukan sehingga tidak ditemukan langkah pengerjaan atau solusi lain yang mengacu pada jawaban yang sama. Padahal dalam langkah merencanakan penyelesaian, siswa semestinya dapat menunjukkan solusi lain yang mungkin untuk menyelesaikan masalah. Jika pengerjaan siswa tersebut terus dilakukan maka akan berdampak pada kemampuan pemecahan masalah siswa yang kurang berkembang. Sehingga peneliti ingin melihat kemampuan pemecahan masalah berdasarkan teori John Dewey yang dalam merencanakan
penyelesaian, diharapkan siswa
mengembangkan solusi lain yang mungkin. Selain itu alasan peneliti ingin melihat kemampuan pemecahan masalah dari tahap-tahap menurut John Dewey adalah karena tidak banyak penelitian mengenai kemampuan pemecahan masalah menurut John Dewey.
Sehingga dari paparan tersebut yang
menjadikan peneliti ingin melihat kemampuan
pemecahan masalah dari tahap-tahap
penyelesaian masalah menurut John Dewey.
Dewey (dalam Jainuri, 2011)
memberikan lima langkah utama dalam
memecahkan masalah yaitu: (1)
Mengenali/menyajikan masalah: tidak
diperlukan strategi pemecahan masalah jika
bukan merupakan masalah; (2)
Mendefinisikan masalah: strategi pemecahan masalah menekankan pentingnya definisi
masalah guna menentukan banyaknya
Mengembangkan beberapa hipotesis: hipotesis adalah alternatif penyelesaian dari pemecahan masalah, (4) Menguji beberapa hipotesis: mengevaluasi kelemahan dan kelebihan hipotesis, (5) Memilih hipotesis yang terbaik. Langkah-langkah ini selaras dengan indikator pemecahan masalah menurut Sumarmo yaitu: (1) Mengidentifikasikan kecukupan data untuk pemecahan masalah; (2) Membuat model matematik dari suatu
situasi atau masalah sehari-hari dan
menyelesaikannya; (3) Memilih dan
menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika atau di luar matematika; (4) Menjelaskan atau menginterpretasi hasil sesuai permasalahan asal serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti
ingin melihat kemampuan pemecahan
masalah dengan menggunakan tahap-tahap dari John Dewey di kelas XI MAN 2 Pontianak pada materi Trigonometri.
METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan bentuk penelitian studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah 41 siswa dari kelas XI MIPA 1 MAN 2 Pontianak. Objek dalam penelitian ini adalah
kemampuan pemecahan masalah siswa
berdasarkan teori John Dewey pada materi trigonometri. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik pengukuran
berupa tes tertulis (tes kemampuan
pemecahan masalah) berbentuk essay
sebanyak 2 soal dan wawancara tidak terstruktur. Instrumen dalam penelitian ini berupa soal tes yang telah divalidasi oleh satu orang dosen Pendidikan Matematika FKIP Untan dan dua orang guru Matematika MAN 2 Pontianak dengan hasil validasi bahwa instrumen yang digunakan valid.
Adapun tes yang diberikan kepada siswa adalah 3 soal yang telah diuji cobakan kepada 39 siswa di kelas XI MIPA 2 MAN 2 Pontianak. Hasil uji coba soal digunakan untuk melihat validitas dari 3 soal yang sudah divalidasi oleh dosen Pendidikan Matematika FKIP Untan dan guru mata pelajaran
Matematika di MAN 2 Pontianak.
Berdasarkan hasil uji coba soal, validitas untuk 2 soal tergolong tinggi yaitu soal nomor 2 dengan nilai perhitungan validitas 0,889, dan soal nomor 3 dengan perhitungan validitas 0,927. Validitas soal nomor 1 tergolong rendah dengan perhitungan validitas 0,277. Dari perhitungan validitas butir soal, maka soal yang layak digunakan adalah soal nomor 2 dan nomor 3 dengan validitas tergolong tinggi.
Setelah melaksanakan uji coba soal, soal yang sudah valid diujikan kepada siswa kelas XI MIPA 1 MAN 2 Pontianak. Hasil tes dianalisis berdasarkan pedoman penskoran. Dalam pedoman penskoran, terdapat berbagai indikator yang dilihat dari jawaban siswa berdasarkan teori John Dewey. Selanjutnya data tersebut akan dikategorikan menjadi tinggi, sedang, atau rendah. Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu: 1) tahap persiapan 2) tahap pelaksanaan penelitian 3) tahap penyusunan laporan akhir (skripsi).
Tahap Persiapan
Langkah-langjah yang dilakukan pada tahap persiapan, antara lain: (1) Melakukan pengamatan selama proses belajar siswa MAN 2 Pontianak khususnya pada materi trigonometri. (2) Mewawancarai siswa terkait materi trigonometri dan mencari tahu penyebab siswa tidak mengerjakan soal trigonometri (3) Menyusun desain penelitian berdasarkan data yang diperoleh untuk persiapan penelitian (4) Seminar desain penelitian. (5) Merevisi desain penelitian berdasarkan hasil seminar desain. (6) Menyiapkan instrumen penelitian berupa soal tes kemampuan pemecahan masalah. (7) Melakukan validasi instrumen penelitian
berupa kisi-kisi soal tes kemampuan
pemecahan masalah siswa, kunci jawaban,
dan pedoman penskoran kemampuan
uji coba soal. (12) Melakukan revisi instrumen penelitian berdasarkan hasil ujicoba soal
Tahap pelaksanaan
Langkah-langkah yang dilakukan pada
tahap pelaksanaan antara lain: (1)
Memberikan tes kemampuan pemecahan masalah pada materi trigonometri kepada subjek penelitian yang berjumlah 2 soal. (2) Menganalisis hasil jawaban siswa. (3) Meminta data awal berupa nilai ulangan trigonometri kepada guru mata pelajaran
Matematika untuk melihat tingkat
kemampuan siswa. (4) Melakukan wawancara dengan beberapa siswa dari masing-masing tingkat kemampuan. (5) Melakukan analisis data berdasarkan hasil tes dan wawancara. (6) Mendeskripsikan hasil pengolahan data dan menyimpulkan sebagai jawaban dari masalah dalam penelitian ini.
Tahap Akhir
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap akhir antara lain: (1) Penarikan kesimpulan. (2) Menyusun laporan penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui bagaimana kemampuan
pemecahan masalah siswa berdasarkan teori John Dewey pada materi trigonometri. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, selanjutnya data tersebut dianalisis untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah siswa berdasarkan langkah-langkah menurut
John Dewey sebagai berikut: (1) Mengenali masalah. (2) Mendefinisikan masalah. (3)
Mengembangkan beberapa solusi yang
mungkin. (4) Menguji beberapa ide. (5) Mengambil hipotesis terbaik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan pemecahan masalah berdasarkan teori John Dewey pada siswa kelompok atas, kelompok menengah, dan kelompok bawah.
Penelitian ini dilaksanakan di kelas XI MIPA 1 MAN 2 Pontianak. Dalam penelitian ini, dipilih enam orang siswa yang terdiri dari dua siswa yang masuk dalam kelompok atas untuk kemampuan pemecahan masalah, dua siswa yang masuk dalam kelompok menengah untuk kemampuan pemecahan masalah, dan dua siswa yang masuk dalam kelompok
bawah untuk kemampuan pemecahan
masalah. Pertimbangan memilih siswa kelas XI MIPA 1 juga berdasarkan wawancara informal terhadap guru matematika MAN 2
Pontianak yang menerangkan bahwa
kemampuan siswa pada tiap kelas tersebar merata. Jadi, tidak dibentuk kelas yang lebih unggul maupun kelas yang lebih rendah.
Pada penelitian ini, kemampuan awal siswa untuk kelas XI MIPA 1 dilihat dari nilai ulangan trigonometri kelas X. Setelah diberikan tes pemecahan masalah, terdapat perbedaan antara hasil ulangan siswa dengan tes kemampuan pemecahan masalah. Berikut perbandingan hasil ulangan dengan hasil tes kemampuan pemecahan masalah.
Tabel 1
Perbandingan Hasil Ulangan Materi Trigonometri dengan Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Kelompok
Kategori Siswa Hasil Ulangan
Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Tinggi Sedang Rendah
Atas 12 6 6 0
Menengah 10 2 4 4
Berdasarkan tabel 1, terdapat perbedaan hasil ulangan masing-masing kelompok dengan hasil tes kemampuan pemecahan masalah. ada siswa yang sebelumnya di kelompok atas namun pada saat diberikan tes kemampuan pemecahan masalah, hasil tesnya masuk dalam kategori sedang atau rendah. Ada juga siswa yang sebelumnya berada di kelompok bawah namun pada saat diberikan tes kemampuan pemecahan masalah, hasil tesnya masuk dalam kategori tinggi atau sedang. Hal ini karena ulangan pada materi khususnya trigonometri, sudah berlangsung
lama sebelum tes kemampuan pemecahan masalah diberikan. Didukung oleh hasil wawancara beberapa siswa bahwa tidak begitu mengingat materi trigonometri yang pernah diberikan saat kelas X.
Setelah diberikan tes kemampuan
pemecahan masalah, dipilih enam orang siswa yaitu FNA dan W dari kelompok atas, MBY dan ES dari kelompok menengah, OS dan FFR dari kelompok bawah. Berikut deskripsi hasil tes kemampuan pemecahan masalah keenam subjek.
Tabel 2
Deskripsi Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Subjek
Langkah Pemecahan Masalah Menurut John Dewey
Kategori
(1) (2) (3) (4) (5)
No. Soal No. Soal No. Soal No. Soal No. Soal
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
FNA T T T T S S T T T T
Tinggi
W T T T T S S S T S T
MBY T T T S S S S S S S
Sedang
ES S S T T S S S S R S
OS T T T T S R S R S R
Sedang
FFR T T R T R S R S R S
Keterangan:
(1) = Mengenali masalah (2) = Mendefinisikan masalah
(3) = Mengembang solusi yang
mungkin
(4) = Menguji beberapa ide
(5) = Mengambil hipotesis
terbaik
Pada tabel 2, terdapat enam siswa yang dipilih sebagai subjek penelitian yang telah diwawancara mengenai hasil tes yang sudah dilalui. Pada subjek FNA dan subjek W yang masuk dalam kelompok atas, setelah diberikan tes kemampuan pemecahan masalah masuk dalam kategori tinggi. Hal ini terlihat dari pengerjaan kedua subjek, dan wawancara pada kedua subjek. Subjek MBY dan subjek ES yang masuk dalam kelompok menengah, setelah diberikan tes kemampuan pemecahan masalah, masuk dalam kategori sedang. Hal ini terlihat dari pengerjaan kedua subjek, dan wawancara pada kedua subjek. Sedangkan subjek OS dan subjek FFR yang masuk dalam
kelompok bawah, setelah diberikan tes kemampuan pemecahan masalah, masuk dalam kategori sedang. Hal ini karena soal yang diberikan dapat dijawab meskipun dari berbagai langkah yang ada, jawaban yang dimaksud tidak lengkap.
Pembahasan
Pada langkah pemecahan masalah
menurut John Dewey, terdapat kesaman pada langkah pemecahan masalah menurut Polya. Adapun langkah pemecahan masalah menurut John Dewey sebagai berikut: (1) Mengenali masalah. (2) Mendefinisikan masalah. (3)
mungkin. (4) Menguji beberapa ide. (5) Mengambil hipotesis terbaik. Sedangkan pada langkah pemecahan masalah menurut Polya sebagai berikut: (1) Memahami masalah, (2) Menyusun rencana pemecahan masalah, (3) Melaksanakan rencana dan (4) Memeriksa kembali. Masing-masing dari setiap langkah memiliki kesamaan, hanya saja pada langkah
ketiga pada John Dewey yaitu
mengembangkan beberapa solusi yang
mungkin. Langkah ini yang berbeda dengan langkah pada Polya yaitu menyusun rencana. Pada langkah ketiga John Dewey, siswa diharapkan dapat mengembangkan beberapa solusi, sedangkan pada langkah Polya, siswa cukup memiliki rencana untuk menyelesaikan permasalahan. Hal ini yang mendasari perbedaan antara John Dewey dan Polya mengenai langkah pemecahan masalah. sehingga pada penelitian ini akan dilihat beberapa solusi yang mungkin saat siswa mengerjakan soal.
Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan dan teori yang terkait, dapat diketahui bahwa pada umumnya kemampuan pemecahan masalah siswa berdasarkan teori John Dewey masuk dalam kategori sedang. Hal ini karena pada dasarnya siswa memahami soal yang dimaksud beserta
rencana yang akan dilakukan untuk
menyelesaikannya. Namun masih banyak yang kurang teliti dan kurang lengkap dalam pengerjaan. Adapun beberapa siswa dalam
mengembangkan beberapa solusi yang
mungkin, siswa tidak sepenuhnya
melaksanakan langkah tersebut. Namun
berdasarkan wawancara kepada subjek
penelitian, siswa mengetahui ada solusi lain selain solusi yang dikerjakan dalam lembar jawaban, hanya saja siswa tidak menulisnya. Hal ini karena selain waktu, beberapa siswa tidak ingin mengerjakan solusi lain yang mengakibatkan adanya angka-angka yang rumit.
Siswa kelompok atas yang menjadi subjek penelitian yaitu subjek FNA dan subjek W. Pada jawaban tertulis dan wawancara, subjek FNA dan subjek W dapat menuliskan informasi yang diberikan berupa apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan pada soal
dengan lengkap, sehingga pada langkah mengenali masalah, subjek FNA dan subjek W masuk dalam kategori tinggi. Subjek FNA dan subjek W dapat membuat ilustrasi yang sesuai dengan maksud dari masing-masing soal, sehingga pada langkah mendefinisikan masalah, subjek FNA dan subjek W masuk dalam kategori tinggi. Pada jawaban tertulis, subjek FNA dan subjek W memiliki satu solusi yang mungkin dan solusi tersebut dapat membantunya dalam menyelesaikan masalah. Namun pada saat diwawancarai, subjek FNA dan subjek W mengetahui beberapa solusi yang mungkin untuk menyelesaikan soal dan solusi tersebut berbeda dengan jawaban tertulis subjek FNA dan subjek W, sehingga pada langkah mengembangkan solusi yang mungkin, subjek FNA dan subjek W masuk dalam kategori sedang. Subjek FNA dan subjek W dapat menjelaskan langkah pemecahan masalah dengan hasil yang benar, meskipun subjek W mendapatkan hasil yang kurang tepat, sehingga pada langkah menguji beberapa ide, subjek FNA masuk dalam kategori tinggi sedangkan subjek W masuk
dalam kategori sedang. Subjek FNA
memeriksa kembali langkah-langkah yang
ditampilkan secara menyeluruh dan
mengambil hipotesis bahwa solusi yang subjek FNA kemukakan dalam tes adalah solusi yang mudah sedangkan subjek W memeriksa kembali langkah-langkah yang ditampilkan secara menyeluruh namun belum mengarah ke jawaban yang tepat dan mengambil hipotesis bahwa solusi yang subjek W kemukakan dalam tes adalah solusi yang sulit, sehingga pada langkah mengambil hipotesis terbaik, subjek FNA masuk dalam kategori tinggi sedangkan subjek W masuk dalam kategori sedang.
Dari deskripsi jawaban untuk kelompok
atas, kemampuan pemecahan masalah
kelompok atas masuk dalam kategori tinggi. Hal ini karena beberapa langkah pemecahan menurut John Dewey berhasil dilaksanakan. Hanya langkah ketiga yaitu mengembangkan beberapa solusi yang mungkin, langkah tersebut belum dimaksimalkan.
subjek ES. Pada jawaban tertulis subjek MBY dapat menuliskan informasi yang diberikan berupa apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan pada soal dengan lengkap sedangkan subjek ES kurang mengenali masalah yang terbukti dari kurang lengkapnya dalam menuliskan informasi yang diberikan berupa apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan pada soal, sehingga subjek MBY masuk dalam kategori tinggi sedangkan subjek W masuk dalam kategori sedang. Subjek MBY dan subjek ES dapat membuat ilustrasi yang sesuai dengan maksud dari masing-masing soal, sehingga pada langkah mendefinisikan masalah, subjek MBY dan subjek ES masuk dalam kategori tinggi. Pada jawaban tertulis, subjek MBY dan subjek ES memiliki satu solusi yang mungkin meskipun tidak terselesaikan, sehingga pada langkah mengembangkan solusi yang mungkin subjek MBY dan subjek ES masuk dalam kategori sedang. Dari 2 soal yang diberikan, Subjek MBY dan subjek ES hanya dapat menjelaskan langkah pemecahan masalah sebanyak 1 soal sehingga pada langkah menguji beberapa ide, subjek MBY dan subjek ES masuk dalam kategori sedang. Subjek MBY memeriksa kembali langkah-langkah yang ditampilkan pada kedua soal, sedangkan subjek ES hanya memeriksa kembali langkah-langkah yang ditampilkan pada nomor 2 serta mengambil hipotesis bahwa solusi yang mereka kerjakan adalah solusi yang sulit, sehingga pada langkah mengambil hipotesis terbaik, subjek MBY dan subjek ES masuk dalam kategori sedang.
Dari deskripsi jawaban untuk kelompok bawah, kemampuan pemecahan masalah kelompok bawah masuk dalam kategori sedang. Hal ini karena beberapa langkah pemecahan menurut John Dewey masuk dalam kategori sedang. Langkah ketiga yaitu
mengembangkan beberapa solusi yang
mungkin juga tak luput dari kurang telitinya
siswa, dan langkah tersebut belum
dimaksimalkan.
Siswa kelompok bawah yang menjadi subjek penelitian yaitu subjek OS dan subjek FFR. Pada jawaban tertulis subjek OS dan subjek FFR dapat menuliskan informasi yang
diberikan berupa apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan pada soal namun tidak lengkap, sehingga subjek OS dan subjek FFR masuk dalam kategori sedang. Subjek OS dapat membuat ilustrasi yang sesuai dengan maksud dari masing-masing soal sedangkan subjek FFR dapat membuat ilustrasi yang sesuai dengan maksud dari soal nomor 2,
sehingga pada langkah mendefinisikan
masalah, subjek OS masuk dalam kategori tinggi sedangkan subjek FFR masuk dalam kategori sedang. Pada jawaban tertulis, subjek OS memiliki satu solusi yang mungkin pada kedua soal sedangkan subjek FFR memiliki satu solusi yang mungkin pada soal nomor 2, sehingga pada langkah mengembangkan solusi yang mungkin subjek OS dan subjek FFR masuk dalam kategori sedang. Dari 2 soal
yang diberikan, Subjek OS hanya
melaksanakan rencana pemecahan masalah pada nomor 1 dan tidak terselesaikan sedangkan subjek FFR hanya melaksanakan rencana pemecahan masalah pada nomor 2
namun terselesaikan meskipun tidak
mengarah ke jawaban yang benar, sehingga pada langkah menguji beberapa ide, subjek OS dan subjek FFR masuk dalam kategori sedang. Subjek OS dan subjek FFR kurang
memeriksa kembali langkah-langkah
pemecahan masalah. Namun dalam
mengambil hipotesis, subjek OS memilih solusi yang sulit dikerjakan, sedangkan subjek FFR memilih solusi yang mudah untuk dikerjakan, sehingga pada langkah mengambil hipotesis terbaik, subjek OS dan subjek FFR masuk dalam kategori sedang.
Dari deskripsi jawaban untuk kelompok bawah, kemampuan pemecahan masalah kelompok bawah masuk dalam kategori sedang. Hal ini karena beberapa langkah pemecahan menurut John Dewey masuk dalam kategori sedang. Hanya beberapa langkah penyelesaian yang masuk dalam kategori rendah.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan analisis data dan
berdasarkan teori John Dewey pada materi trigonometri secara umum masuk dalam kategori sedang. Hal ini terlihat dari hasil tes
kemampuan pemecahan masalah siswa
terutama pada langkah pemecahan masalah yaitu mengembangkan beberapa solusi yang mungkin serta menguji beberapa ide.
Adapun untuk kemampuan pemecahan masalah siswa berdasarkan teori John Dewey pada kelompok atas masuk dalam kategori tinggi. Pada kelompok menengah masuk dalam kategori sedang. Sedangkan pada kelompok bawah masuk dalam kategori
sedang. Hal ini berdasarkan jawaban tertulis
dan hasil wawancara. Langkah pemecahan masalah menurut John Dewey yang kurang maksimal dari setiap kelompok yaitu pada langkah mengembangkan beberapa solusi yang mungkin, dan menguji ide.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan
kesimpulan, disarankan kepada peneliti lain, dalam mengelompokkan tingkat kemampuan siswa yang diambil tidak hanya dari satu materi sehingga pengelompokan kemampuan pemecahan masalah tingkat tinggi, sedang, dan rendah cukup akurat. Proses wawancara juga sangat penting mengingat instrumen penelitian diantaranya adalah wawancara yang menggali lebih dalam kemampuan siswa, dilakukan dalam keadaan yang efektif dan dilakukan di hari yang sama.
Saran untuk guru yaitu bagi siswa yang memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan kategori tinggi, sebaiknya siswa-siswa tersebut direkomendasikan untuk mengikuti kelas pengayaan agar kemampuan pemecahan masalah semakin meningkat dan dapat termotivasi untuk mengikuti kompetisi seperti lomba matematika dan lain-lain. Sedangkan untuk siswa yang kurang dalam kemampuan pemecahan masalahnya, guru diharapkan dapat membuat pembelajaran lebih efektif
seperti memberikan masalah-masalah
matematika dan beberapa kemungkinan penyelesaian agar siswa termotivasi untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalahnya.
DAFTAR RUJUKAN
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: Menteri Pendidikan Nasional
NCTM. 2000. Principles and Standards for
School Mathematics. USA: The
National Council of Teacher
Mathematics inc
Jainuri. 2011. Kemampuan Pemecahan
Masalah. (Online) .
(https://www.academia.edu, diakses
tanggal 12 Januari 2016).
Sumarmo, Utari. 2006. Keterampilan
Membaca Matematika Pada Siswa Sekolah Menengah. (Online).
(http://www.academia.edu/4609768/Su marmo_Pembelajaran_Keterampilan_ Membaca_Matematika_pada_Siswa_S ekolah_Menengah, diakses Januari 2017).
Sumarmo, Utari. 2012. Bahan Belajar