BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai negara hukum, menurut perspektif keadilan bermartabat, Indonesia
memberikan perlindungan terhadap hak-hak, adanya pemisahan kekuasaan, penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan (hukum) dan adanya peradilan
Tata Usaha Negara dan peradilan untuk meminta pertanggungjawaban penguasa dan
supremasi hukum. Indonesia sebagai negara hukum, sudah semestinya jika terdapat keadaan
setiap aspek kehidupan antara warga negara yang satu dan lainnya diatur oleh hukum. Karena
masalah hukum senantiasa akan dihadapi oleh manusia baik sebagai individu maupun sebagai
warga negara. Setiap manusia juga pasti mendambakan hidup yang damai, aman, sejahtera.
Demikian pula dengan manusia dalam perkembangan hukum dan modernisasi dalam segala
aspek kehidupan, menghadapi tindak kejahatan di tengah masyarakat juga semakin
meningkat, termasuk di Indonesia1, yang memandang peran teknologi dalam dunia perbankan sangatlah mutlak. Kemajuan suatu sistem perbankan tidak dapat dipisahkan dengan peranan
teknologi informasi2.
Perspektif keadilan bermartabat (Teori Keadilan Bermartabat) yang menghendaki
hukum hanya dapat ditemukan dalam jiwa bangsa (Volksgeist) mengarahkan Undang-undang
No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (UU Perbankan), mengartikan bank adalah "Badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan mengeluarkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak".
1
Mahesa Jati Kusuma, Hukum Perlindungan Nasabah Bank, Nusamedia, Bandung, 2012, hlm. 1.
2Ibid.,
Dari rumusan ketentuan hukum dalam pasal di atas dapat disimpulkan bahwa bank
merupakan suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan. Penyalurannya akan kembali pada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf
hidup masyarakat. Bank juga berfungsi sebagai intermediasi dana untuk menggerakkan dunia
bisnis. Selanjutnya bank bertugas sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran dan
permintaan kredit pada waktu yang ditentukan. Sebagai badan usaha, bank akan selalu
berusaha mendapatkan keuntungan dari usaha yang dijalankannya. Sebagai lembaga
keuangan bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan usahanya.
Demikianlah fungsi bank yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan.
Perbankan nasional di Indonesia dimiliki pemerintah maupun swasta, berlomba-lomba
menggunakan saluran informasi E-Banking dan/atau dokumen elektronik, untuk
meningkatkan pelayanan kepada nasabahnya, melalui sistem E-Banking3. Perbankan
Elekronik atau E-banking yang juga dikenal dengan istilah internet banking dapat
didefinisikan sebagai jasa dan produk bank secara langsung kepada nasabah melalui
elektronik. E-Banking meliputi sistem yang memungkinkan nasabah bank, baik individu
ataupun bisnis, untuk mengakses rekening, melakukan transaksi bisnis, atau mendapatkan
informasi produk dan jasa bank melalui jaringan pribadi atau publik, termasuk internet. Di
sisi lain, sistem informasi secara teknis dan fungsional, merupakan keterpaduan sistem antara
manusia yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya
manusia, dan substansi informasi yang dalam pemanfaatannya input, process, output,
storage, dan communications4.
Dalam perspektif keadilan bermartabat sebagaimana dikemukakan di atas, E-banking
sebagai salah satu layanan perbankan merupakan wujud perkembangan teknologi informasi.
Penyelenggaraan E-banking di Indonesia juga tunduk pada Undang Undang Perbankan.
3
Siswanto Sunarso, Hukum Informasi & Transaksi Elektronik, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 136.
4
Untuk perlindungan konsumen/nasabah mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dan pengaturan dalam Undang Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik yang sekarang telah diubah dan
disahkan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 25, tambahan lembaran
negara Republik Indonesia Nomor 5952). Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan
sebutan nasabah adalah seseorang ataupun badan usaha yang mempunyai rekening simpanan
dan pinjaman dan melakukan transaksi simpanan dan pinjaman tersebut pada sebuah bank5. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap nasabah
bank (subyek hukum) dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun
yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis6.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,
dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Hal ini
juga sejalan dengan pandangan dalam teori keadilan bermartabat yaitu bahwa hukum
memanusiakan manusia di dalam masyarakat. Pengaturan melalui UUPK, misalnya terkait
dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan. Banyak nasabah
bank yang merasakan manfaat menggunakan jasa E-banking, namun tidak menutup
kemungkinan terjadi banyak permasalahan dalam jasa E-banking. Sering terjadi banyak kasus
nasabah dirugikan dalam penggunaan E-banking seperti ancaman virus dan dibobol oleh
pihak yang tidak bertanggung jawab, gangguan dan hambatan dalam penggunaan E-Banking
sehingga nasabah sangat dirugikan dengan kasus tersebut.
Posisi bank juga dipermasalahkan perannya sebagai bank dari nasabah tersebut, serta
pertanggungjawabannya kepada nasabah yang menderita kerugian dalam penggunaan
E-banking serta bentuk perlindungan yang akan diberikan kepada nasabah sesuai dengan
5
Mahesa Jati Kusuma, Op.Cit., hlm. 108.
6Ibid., hlm.
undang-undang yang berlaku di Indonesia. Saat ini banyak nasabah yang masih bertanya
tentang perlindungan hukum dalam kasus E-banking. Untuk mengatasi kasus permasalahan
E-banking sendiri aparat penegak hukum diharapkan sudah memahami pengaturan
permasalahan E-banking, sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam perspektif teori
keadilan bermartabat akan membantu dalam memberikan perlindungan hukum kepada
nasabah.
Kondisi konsumen perbankan di Indonesia tampak masih sangat lemah dibanding
posisi produsen. Perlu ada pemberdayaan konsumen agar posisinya tidak selalu pada pihak
yang dirugikan. Pemberdayaan konsumen dapat dilakukan melalui hukum yang memberikan
perlindungan konsumen. Hukum melindungi konsumen pada tiga tahap transaksi konsumen,
yaitu prapembelian, saat pembelian, purnapembelian7. Perlindungan demikian dirasakan penting mengingat semakin meningkatnya tindak kejahatan cybercrime di bidang perbankan,
terutama kasus-kasus pembobolan terhadap sistem keamanan dan pembobolan rekening
(hacking) atau sistem elektronik nasabah dalam sistem perbankan nasional dengan
menggunakan sarana, prasarana, dan identitas orang lain guna memalsukan kartu kredit
dalam kejahatan yang disebut carding. Sehingga dalam penegakan hukum, korporasi
khusunya lembaga perbankan tidak hanya menjadi korban pembobolan rekening nasabah
tetapi juga masih bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh nasabah8.
Menurut UUPK, penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dibantu oleh peran
pemerintah dalam melindungi konsumen. Hal ini diatur dalam Pasal 29 ayat 1 UUPK. Dalam
penjelasan umum peraturan pemerintah Nomor 68 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen diartikan sebagai upaya
untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha. Dalam perlindungan
konsumen atau nasabah bank telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
7
Ahmad Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 41.
8
7/7/PBI/2005 tanggal 20 januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Aturan ini
dirasakan tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasaan tersebut dapat diakibatkan
oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi oleh bank, baik seluruhnya maupun sebagian9. Pilihan untuk berperkara di pengadilan atau di luar pengadilan adalah pilihan sukarela
para pihak untuk memperoleh perlindungan hukum. Akan tetapi pada Pasal 45 ayat (1) dan
pasal 46 (2) UUPK terkesan hanya membolehkan gugatan konsumen diajukan ke lingkungan
peradilan umum10. Dalam hal perkara yang terjadi antara pihak nasabah atau konsumen
dengan badan usaha dapat ditempuh melalui gugatan, apabila perdamaian tidak dapat
disepakati kedua belah pihak yang bersengketa. Sedangkan perkara pidana, menempuh
mekanisme sesuai KUHAP pasal 98-101 UU No 8 tahun 1981 tentang Penggabungan Perkara
Gugatan Ganti Kerugian dengan lembaran negara Republik Indonesia tahun 1981 nomor 76
dan tambahan lembaran negara Republik Indonesia nomor 3258.
Selain itu menurut keadilan bermartabat dalam proses penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagaimana dimaksdukan dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen secara limitative dibagi menjadi tiga. Dengan cara mediasi, konsiliasi dan
arbitrase, sedangkan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa konsumen di luar
pengadilan hanyalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)11. Menurut menteri
perindustrian dan perdagangan dengan surat keputusan nomor: 350/MPP/Kep/12/2001
tanggal 10 desember 2001, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah sengketa
antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan atau yang menderita kerugian akibat barang atau memanfaatkan jasa12.
Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis mengangkat putusan Mahkamah
Agung No.150/Pdt.G/2012/PN.Jkt Sel sebagai satuan amatan dalam penelitian hukum ini.
9
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 253.
10
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 172.
11
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm. 238.
12
Dalam putusan tersebut gugatan terjadi antara pihak nasabah terhadap pihak bank (Mandiri).
Dalam transaksi ATM (E-Banking) yang dilakukan, pihak nasabah telah dirugikan karena
kehilangan sebagian uang di ATM dalam transaksi tersebut. Penulis mengangkat putusan
Mahkamah Agung No.150/Pdt.G/2012/PN.Jkt Sel menjadi satuan amatan penelitian ini
mengingat menurut perspektif keadilan bermartabat, dalam setiap putusan pengadilan sebagai
suatu manifestasi paling konkret dari jiwa bangsa (Volksgeist) telah terdeskripsikan
(tergambarkan dengan jelas) bagaimana hukum memberi perlindungan terhadap nasabah
pengguna E-Banking di Indonesia.
Sebagai pihak penggugat putusan Mahkamah Agung No. 150/Pdt.G/2012/PN.Jkt Sel,
H. Helme Sholeh, bertempat tinggal di Perum Tas Blok D-5/37, Rt.008/Rw.08, Desa
Kedungbendo, Kec. Tanggulangin, Kab. Sidoarjo, Jawa Timur (dahulu beralamat di
Sampurna 21 Rt. 08/Rw.10 Pabean Cantian Krembangan Utara, Surabaya, Jawa Timur).
Penggugat adalah nasabah penyimpan dari tergugat, yaitu Bank Mandiri KCP
Surabaya Juanda. Sebagai nasabah dari tergugat, penggugat memiliki dua buah rekening
Tabungan Bisnis Mandiri, yaitu masing-masing meliputi Rek No. 141-00-1074177-5 atas
nama Helme Sholeh, Rek No. 141-00-0994978-5 atas nama yang sama.
Terhadap kedua rekening tersebut telah dibuatkan satu kartu ATM ”Prioritas/Priority”
dengan nomor kartu; 4617 0081 0065 2452 tanpa nama (karena kartu ATM tersebut adalah
kartu instant). Kedua rekening milik penggugat tersebut merupakan rekening yang
menampung setoran keberangkatan Haji dan Umroh yang dikelola oleh penggugat.
Pada tanggal 11 Maret 2011, penggugat bermaksud mengambil uang di mesin ATM
Bank Mandiri (milik tergugat) yang terletak di SPBU Raden Inten, Jakarta Timur. Saat
penggugat memasukkan Kartu ATM Mandiri ”Prioritas/Priority” di Mesin ATM Mandiri,
Kartu ATM milik penggugat tertelan sebelum memasukan nomor pin. Setelah itu penggugat
penggugat pergi, penggugat meminta rekan penggugat bernama Bunyamin menjaga ATM
tersebut. Sekitar 10 menit penggugat pergi, rekan penggugat menelepon penggugat dan
memberitahu di ATM telah datang teknisi ATM bernama Yanuar dan A. Junaedy dari PT.
Tunas Artha Gardatama (TAG) yang merupakan perusahaan outsourcing tergugat.
Setelah penggugat kembali ke ATM dia bertemu dengan kedua teknisi tersebut.
Setelah mesin dibongkar oleh teknisi kartu ATM dikembalikan kepada penggugat. Penggugat
tidak memblokir atau mengecek kartu ATM nya karena telah dikembalikan. Keesokan
harinya penggugat tidak dapat menggunakan kartu ATM yang diberikan oleh teknisi.
Penggugat baru mengetahui kartu ATM tersebut bukan miliknya. Setelah penggugat meminta
rekening Koran (printout) penggugat menyadari bahwa rekening nya telah dibobol dan
sejumlah dana atau uang milik penggugat telah hilang.
Berdasarkan Pasal 174 HIR pengakuan merupakan bukti terkuat dan sempurna yang
tidak dapat ditarik lagi kebenarannya. Laporan kerugian yang dialami oleh penggugat sebesar
lima ratus delapan puluh lima juta rupiah. Sedangkan saat dilakukan verifikasi oleh pihak
tergugat kerugian yang dialami oleh penggugat sebesar enam ratus delapan juta Sembilan
ratus lima puluh ribu rupiah. Dalam penyelesaian penggugat telah mengirim pengaduan
kepada pihak tergugat dan tidak mendapat respon dari pihak tergugat. Penggugat melakukan
pengaduan atas sikap tergugat kepada Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Kepolisian dalam
hal ini Polda Metro Jaya.
Fakta dalam kasus tersebut adalah sebagai berikut: adanya kerusakan pada mesin
ATM karena terdapat pentol korek berwarna merah. Pentol korek berwarna merah tersebut
pada card reader telah membuat kartu ATM tertelan sebelum ada transaksi apapun.
Pengakuan tergugat bahwa ATM yang berada di SPBU Raden Inten tidak dipelihara dengan
Akan tetapi pihak tergugat memberikan jawaban atas gugatan kepadanya, berupa
penolakan dalil-dalil dalam gugatan penggugat kecuali yang diakui secara tegas oleh
tergugat. Penggugat melakukan Eksepsi yaitu Gugatan Penggugat Kabur (obscur libel),
Eksepsi Gugatan Penggugat Prematur, Eksepsi Gugatan Penggugat kurang pihak.
Hakim menolak semua gugatan penggugat. Menurut hakim hal-hal yang tercantum
dalam Eksepsi sepanjang berkaitan dengan Pokok Perkara mohon dianggap kembali
tercantum dalam putusan tersebut.
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, tergugat menolak posita gugatan penggugat
karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, penuh kejanggalan dan tidak masuk logika
umum maupun logika hukum. Tergugat menolak posita gugatan karena penggugat tidak
dapat menyalahkan tergugat atas kehilangan sejumlah dana pada rekening penggugat.
Tergugat menolak gugatan penggugat juga didasarkan atas alasan-alasan tersebut. Tergugat
menolak gugatan penggugat yang menyatakan tergugat telah melanggar ketentuan yang ada
di dalam PBI No.9/18/PBI/2007, Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta
Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, dengan alasan
sebagai berikut. Tergugat menyatakan bahwa dia telah melaksanakan kewajiban yang
diamanahkan oleh UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan baik.
Gugatan Konpensi dan gugatan Rekonpensi dinyatakan tidak dapat diterima. Maka
penggugat Konpensi/tergugat Rekonpensi dihukum untuk membayar biaya perkara yang
ditetapkan dalam amar putusan, dengan mengingat, Stb 1941 No. 44 tentang HIR dan
Peraturan Perundang-undangan lain yang bersangkutan. Hakim menghukum penggugat
Konpensi/tergugat Rekonpensi untuk membayar biaya perkara sebesar enam ratus enam belas
ribu rupiah.
Dalam putusan tersebut pihak yang dirugikan dalam penggunaan E-Banking ditolak
penyelesaian atas permasalahannya dikarenakan awam mengenai hukum seperti kasus di atas.
Hal ini dapat dipandang sebagai suatu persoalan perlindungan hukum yang perlu
digambarkan sebagai suatu karya ilmiah, dengan rumusan masalah sebagaimana
dikemukakan di bawah ini.
B. Rumusan Masalah
Dalam latar belakang permasalahan di atas penulis menemukan masalah hukum dan
merumuskan permasalahan tersebut sebagai berikut:
Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Nasabah pengguna E-Banking menurut Perspektif
Keadilan Bermartabat?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui Perlindungan Hukum terhadap Nasabah pengguna E-Banking
menurut Perspektif Keadilan Bermartabat.
D. Manfaat Penelitian
Di dalam pengertian suatu penelitian mengandung dua manfaat, yaitu manfaat teoritis
dan juga manfaat praktis.
1. Manfaat teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pemikiran dalam bidang hukum
atau solusi untuk dunia perbankan guna meningkatkan fasilitas di bidang E-banking.
b. Penelitian ini bertitik tolak dengan meragukan suatu teori tertentu atau yang disebut
dengan penelitian verifikatif. Adanya keraguan terhadap teori itu muncul apabila yang
terlibat tidak dapat lagi menjelaskan kejadian-kejadian aktual yang tengah dihadapi.
Dilakukannya pengujian atas teori tersebut dapat melalui penelitian secara empiris serta
2. Manfaat praktis
Di lain sisi, penelitian juga berguna untuk memecahkan permasalahan praktis. Semua
lembaga yang bisa dijumpai dalam masyarakat, seperti lembaga pemerintahan ataupun
lembaga swasta, sadar akan manfaat tersebut dengan menempatkan suatu penelitian dan juga
pengembangan sebagai bagian dari integral organisasi.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum. Bahan
Hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif)13. Dalam
penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari, Undang-undang No. 10 tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU
Perbankan), Undang-undang No. 9 tahun 1992 jo Undang-undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Surat Keputusan nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal: 10 desember 2001, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 januari 2005 tentang penyelesaian pengaduan
Nasabah, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elekronik,
putusan Mahkamah Agung No.150/Pdt.G/2012/PN.Jkt Sel.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer. Penelitian hukum sekunder meneliti pula bahan-bahan berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. Bahan penelitian hukum yang digunakan buku-buku yang terkait dengan
materi/bahasan yang penulis gunakan14.
13
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm.47.
14