• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Pengguna E-Banking Menurut Sistem Hukum Indonesia dalam Perspektif Keadilan Bermartabat: Putusan N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Pengguna E-Banking Menurut Sistem Hukum Indonesia dalam Perspektif Keadilan Bermartabat: Putusan N"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. KAJIAN PUSTAKA 1. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada manusia dalam masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun1.

Berdasarkan pernyataan di atas perlindungan hukum berarti perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum2.

Perlindungan hukum dijelaskan harafiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak dicederai oleh aparat

1

Mahesa Jati Kusuma, Op.Cit., hlm. 74. 2

(2)

penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu3.

Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum. Yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian4.

Perlindungan hukum preventif merupakan bentuk perlindungan hukum dimana rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Perlindungan Hukum Represif merupakan bentuk perlindungan hukum yang lebih ditujukan dalam bentuk penyelesaian sengketa5.

Secara umum perlindungan hukum diberikan kepada subjek hukum ketika subjek hukum yang bersangkutan bersinggungan dengan peristiwa hukum. Pada hakihatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir setiap hubungan hukum harus mendapatkan perlindungan hukum salah satunya adalah perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen6.

Hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Dari sekian banyak jenis perlindungan hukum, terdapat beberapa diantaranya yang cukup populer, seperti perlindungan hukum terhadap konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen ini telah diatur dalam Undang-Undang tentang

3 Ibid.,

4 Ibid., 5

(3)

Perlindungan Konsumen yang pengaturannya mencakup segala hal yang menjadi hak dan kewajiban antara produsen dan konsumen7.

Sesungguhnya peranan hukum dalam konteks ekonomi adalah menciptakan ekonomi dan pasar yang kompetitif. Terkait dalam hal ini bahwa tidak ada pelaku usaha atau produsen tunggal yang mampu mendominasi pasar selama konsumen memiliki hak untuk memilih produk mana yang menawarkan nilai yang terbaik, baik dalam harga maupun mutu8.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut9.

Cakupan perlindungan konsumen dapat dibedakan menjadi dua aspek yaitu: Perlindungan hukum terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan yang disepakati. Perlindungan hukum terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen10.

2. Perbankan dan Nasabah

Perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang begitu cepat menimbulkan tantangan yang tidak sedikit terhadap lembaga-lembaga keuangan. Demikian halnya terhadap lembaga perbankan. Peran strategis lembaga perbankan yang mengemban tugas utama sebagai wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana secara efektif dan efisien, memerlukan penyempurnaan yang terus menerus agar mampu memiliki

7

Wahyu Sasongko, Ketentuan-ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm. 95.

8

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada, Jakarta, 2013, hlm. 21. 9

Ibid., hlm. 22. 10

(4)

keunggulan komparatif. Lembaga perbankan mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang besar, selain memiliki fungsi tradisional, yaitu untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dalam arti sebagai perantara pihak yang berlebihan dana dan kekurangan dana, yakni fungsi financial intermediary, juga berfungsi sebagai sarana pembayaran. Seperti telah dikemukakan, perbankan indonesia mempunyai fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan (agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan guna mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak11.

Mengenai asas dan prinsip Perbankan bahwa perbankan indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian tercantum dalam pasal 2 UU No. 7 Tahun 1992. Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan prinsip mengenal nasabah (know how costumer principle). Prinsip perbankan ini ada yang dituangkan dalam UU Perbankan, ada pula yang tidak12.

Dasar hukum beroperasinya lembaga perbankan jika diurut berdasarkan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut: Undang-Undang Dasar 1945 (terutama pasal 33). UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, KUHPerdata, KUHDagang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan-Peraturan lain yang berhubungan dengan Perbankan.

Sejak Indonesia merdeka, telah disusun 3 undang-undang yang mengatur tentang Perbankan, yaitu UU No. 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok Perbankan, UU No. 7 tahun

11

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hlm. 77.

12

(5)

1992 tentang Perbankan, dan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan13.

Menurut Kamus Perbankan, nasabah adalah orang atau badan yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank. Pada tahun 1998 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diintroduksilah rumusan masalah nasabah dalam pasal 1 angka 16, yaitu pihak yang menggunakan jasa bank.

Nasabah penyimpan dana adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998)14.

Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).15 Adapun pihak-pihak yang termasuk sebagai nasabah adalah orang dan badan hukum. Nasabah bank terdiri dari orang yang telah dewasa dan orang yang belum dewasa. Nasabah orang dewasa hanya diperbolehkan untuk nasabah kredit dan atau nasabah giro. Sedangkan nasabah simpanan dan atau jasa-jasa bank lainnya dimungkinkan orang yang belum dewasa, misalnya nasabah tabungan dan atau nasabah lepas (working customer) untuk transfer dan sebagainya. Terhadap perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah yang belum dewasa tersebut telah disadari konsekuensi hukum yang diakibatkannya. Konsekuensi hukum tersebut adalah tidak dipenuhinya salah satu unsur sahnya perjanjian seperti yang termuat dalam pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang dapat mewakili anak yang belum dewasa itu, yaitu orang tua atau walinya melalui acara gugatan pembatalan.

13

Neni Sri Imaniyati, Op.Cit., hlm. 18. 14

Saladin Djaslim, Manajemen Pemasaran, Linda Karya, Bandung, 2002, hlm. 7. 15

(6)

Dengan kata lain, selama orang tua atau wali dari orang yang belum dewasa tersebut tidak melakukan gugatan, maka perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat terhadap para pihak. Nasabah kredit dan rekening giro biasanya diwajibkan bagi nasabah yang telah dewasa. Hal ini disebabkan karena resiko bank yang sangat besar jika dalam pemberian kredit dan atau pembukaan rekening giro diperbolehkan bagi nasabah yang belum dewasa.

Untuk nasabah berupa badan hukum, perlu diperhatikan aspek legalitas dari badan tersebut serta kewenangan bertindak dari pihak yang berhubungan dengan bank. Hal ini berkaitan dengan aspek hukum perseorangan. Berkaitan dengan kewenangan bertindak bagi nasabah yang bersangkutan, khususnya bagi badan hukum, termasuk apakah untuk perbuatan hukum tersebut perlu mendapat persetujuan dari komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) agar diperhatikan anggaran dasar dari badan yang bersangkutan. Subjek hukum yang berbentuk badan, tidak otomatis dapat berhubungan dengan bank. Untuk dapat berhubungan dengan bank, harus juga dilihat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana ketentuan intern.

Arti nasabah pada lembaga perbankan sangat penting. Nasabah itu ibarat nafas yang sangat berpengaruh terhadap kelanjutan suatu bank. Oleh karena itu bank harus dapat menarik nasabah sebanyak-banyaknya agar dana yang terkumpul dari nasabah tersebut dapat diputar oleh bank yang nantinya disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan bank. Menurut Djaslim Saladin dalam bukunya ˝Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran

Bank˝ yang dikutip dari ˝Kamus Perbankan˝ menyatakan bahwa ˝Nasabah adalah orang atau

badan yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank˝.

Komaruddin dalam ˝Kamus Perbankan˝ menyatakan bahwa ˝Nasabah adalah

seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening koran atau deposito atau

(7)

Dari pengertian di atas penulis memberikan kesimpulan bahwa “Nasabah adalah

seseorang ataupun badan usaha (korporasi) yang mempunyai rekening simpanan dan

pinjaman dan melakukan transaksi simpanan dan pinjaman tersebut pada sebuah bank“.

Sedangkan perbankan dalam hal ini dapat diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya.

Pengertian bank menurut UU No. 10 tahun 1998 bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Pengertian bank pada awal di kenalnya adalah meja tempat menukar uang. Lalu pengertian berkembang penyimpan uang dan seterusnya. Pengertian ini tidaklah salah, karena pengertian pada saat itu sesuai dengan kegiatan bank pada saat itu. Namun semakin modernnya perkembangnya dunia perbankan, maka pengertian bank pun berubah pula. Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya.

3. E-Banking

E-banking adalah salah satu sektor yang terpengaruh oleh perkembangan teknologi

informasi dan komunikasi ialah perbankan, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di sektor perbankan nasional relatif lebih maju dibandingkan sektor lainnya16.

Perbankan elektronik mencakup wilayah yang luas dari teknologi yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Beberapa diantaranya terkait dengan layanan perbankan di garis depan,

seperti ATM dan komputerisiasi “system” perbankan dan beberapa kelompok lainnya bersifat

16

(8)

“garis belakang” yaitu teknologi-teknologi yang digunakan oleh lembaga keuangan, penyedia

jasa transaksi (Merchant).

Adapun contoh layanan E-Banking yaitu: Anjungan Tunai Mandiri “Automated Teller Machine”. Sistem Aplikasi Perbankan “Banking Application System”. Perbankan daring

Internet Banking”. Sistem kliring Elektronik.

Fungsi penggunaannya mirip dengan mesin ATM dimana sarananya saja yang berbeda, seorang nasabah dapat melakukan aktifitas pengecekan saldo rekening, tranfser dana antar rekening atau antar bank, hingga pembayaran tagihan-tagihan rutin bulanan seperti: listrik, telepon, kartu kredit, dll.

Dengan memanfaatkan E-Banking banyak keuntungan yang akan diperoleh nasabah terutama apabila dilihat dari banyaknya waktu dan tenaga yang dapat dihemat karena E-Banking jelas bebas antrian dan dapat dilakukan dari mana saja sepanjang nasabah memiliki

sarana pendukung untuk melakukan layanan E-Banking tersebut.

Adapun hambatan E-Banking sebagai berikut: Transaksi E-Banking bukan hanya mempermudah tetapi dapat menimbulkan suatu resiko seperti strategi, operasional dan reputasi serta adanya berbagai ancaman terhadap aliran data realible dan ancaman kerusakan/kegagalan terhadap sistem E-Banking kemudian semakin kompleksnya teknologi yang menjadi dasar E-Banking. Kerugian/kehilangan yang diderita oleh bank/nasabah diakibatkan juga oleh petugas internal atau manajemen bank. E-Banking menjadi salah satu target dari para cybercrime yang memiliki kendala dalam hal pembuktian baik secara teknis maupun non-teknis. Karena itu Pemerintah bersama DPR pada tahun 2016 telah merevisi dan mensahkan UU No. 11 tahun 2008 menjadi UU No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik. Meskipun telah disahkan, para pelaku usaha “perbankan” dan

(9)

Manajemen resiko dalam penyelenggaraan kegiatan E-Banking peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan pengelolaan atau manajemen risiko penyelenggaraan kegiatan E-Banking ialah Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia NO. 6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada aktivitas pelayanan jasa Bank melalui E-Banking.

Pengendalian Pengamanan “Security Control” Bank harus melakukan langkah

-langkah yang memadai untuk menguji keaslian “otentikasi” identitas dan otorisasi terhadap

nasabah yang melakukan transaksi melalui E-Banking. Bank harus menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk menjamin bahwa transaksi tidak dapat diingkari oleh

nasabah “non repudiation” dan menetapkan tanggung jawab dalam transaksi E-Banking.

Bank harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem E-Banking, database dan aplikasi lainnya. Bank harus memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi dan hak

akses “privileges” yang tepat terhadap sistem E-Banking, database dan aplikasi lainnya. Bank

harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai untuk melindungi integritas data, catatan/arsip dan informasi pada transaksi E-Banking. Bank harus memastikan tersedianya

mekanisme penelusuran “audit trail” yang jelas untuk seluruh transaksi E-Banking. Bank

harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan informasi penting pada E-Banking. Langkah tersebut harus sesuai degan sensitivitas informasi yang dikeluarkan

dan/atau disimpan dalam database.

Manajemen Resiko Hukum dan Risiko Reputasi Bank harus memastikan bahwa website bank menyediakan informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh

(10)

kedudukan bank menyediakan produk dan jasa E-Banking. Bank harus memiliki prosedur perencanaan darurat dan berkesinambungan usaha yang efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan jasa E-Banking. Bank harus mengembangkan rencana penanganan yang memadai untuk mengelola, mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian

yang tidak diperkirakan “internal dan eksternal” yang dapat menghambat penyediaan sistem

dan jasa E-Banking. Dalam hal sistem penyelenggaraan E-Banking dilakukan oleh pihak

ketiga “outsourcing”, bank harus menetapkan dan menerapkan prosedur pengawasan dan due

dilligence yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengelola hubungan bank dengan pihak

ketiga tersebut.

4. Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum mempunyai pengertian yang penting untuk dikenali. Pertama, pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Kedua, sistem sebagian suatu rencana, metode, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu17.

Pemahaman umum mengenai sistem menurut Shrode dan Voich yang dikutip oleh Satjipto Raharjo mengatakan bahwa suatu sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada cirinya yang lain, yaitu bahwa bagian-bagian tersebut bekerja bersama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.

Sistem hukum yang tampaknya berdiri sendiri, sesungguhnya diikat oleh beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya, yang mengutarakan suatu tuntutan etis. Oleh Paul Scholten dikatakan, bahwa asas hukum positif tetapi sekaligus ia melampaui hukum positif dengan cara menunjuk kepada suatu penilaian etis. Bagaimana asas hukum bisa memberikan

17

(11)

penilaian etis terhadap hukum positif apabila ia tidak sekaligus berada di luar hukum tersebut. Keberadaan di luar hukum positif ini adalah untuk menunjukkan, betapa asas hukum itu mengandung nilai etis yang self evident bagi yang mempunyai hukum positif18.

Karena adanya ikatan oleh asas-asas hukum itu, maka hukum pun merupakan satu sistem. Peraturan-peraturan hukum yang berdiri sendiri itu lalu terikat dalam satu susunan kesatuan disebabkan karena mereka itu bersumber pada satu induk penilaian etis tertentu. Teori Stufenbau dari Hans Kelsen mengatakan, bahwa agar ilmu hukum itu benar-benar memenuhi syarat sebagai suatu ilmu, maka ia harus mempunyai objek yang bisa ditelaah secara empirik dan dengan menggunakan analisis yang logis dan rasional. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, maka tidak lain kecuali menjadikan hukum positif sebagai objek studi19.

Oleh karena Kelsen secara konsekuen menghendaki agar objek hukum itu bersifat empiris dan bisa dijelaskan secara logis, maka sumber tersebut diletakkannya di luar kajian hukum atau bersifat transeden terhadap hukum positif. Kajiannya bersifat metajuridis. Justru dengan adanya grundnorm inilah semua peraturan hukum itu merupakan satu susunan kesatuan dan dengan demikian pula ia merupakan satu sistem.

Beberapa alasan lain untuk mempertanggungjawabkan, bahwa hukum itu merupakan satu sistem adalah; suatu sistem hukum itu bisa disebut demikian karena ia bukan sekedar merupakan kumpulan peraturan-peraturan belaka. Kaitan yang mempersatukannya sehingga tercipta pola kesatuan yang demikian itu mengenai masalah keabsahannya. Peraturan-peraturan itu diterima sebagai sah apabila dikeluarkan dari sumber-sumber yang sama, seperti peraturan hukum, yurisprudensi, dan kebiasaan.

Hukum merupakan suatu sistem, artinya hukum itu merupakan suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian (sub sistem) dan antara bagian-bagian itu saling berhubungan dan tidak boleh bertentangan satu sama lainnya. Bagian atau sub sistem dari

18

(12)

hukum itu terdiri dari: Struktur Hukum, yang merupakan lembaga-lembaga hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, kepengacaraan, dan lain-lain. Substansi Hukum, yang merupakan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah. Budaya Hukum, yang merupakan gagasan, sikap, kepercayaan, pandangan-pandangan mengenai hukum, yang intinya bersumber pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.

Ketiga sub sistem tersebut di atas tidak dapat dipisah-pisahkan dan tidak boleh bertentangan satu sama lainnya. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang saling berkait dan menopang sehingga pada akhirnya mengarah kepada tujuan (hukum) yaitu kedamaian.

Bila ketiga komponen hukum tersebut bersinergi secara positif, maka akan mewujudkan tatanan sistem hukum yang ideal seperti yang diinginkan. Dalam hal ini, hukum tersebut efektif mewujudkan tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum). Sebaliknya, bila ketiga komponen hukum bersinergi negatif maka akan melahirkan tatanan sistem hukum yang semrawut dan tidak efektif mewujudkan tujuan hukum.

Salah satu hal yang spesifik dari hukum Indonesia sehingga membedakannya dengan hukum lain adalah tekad untuk tidak melanjutkan hak warisan pemerintah kolonial yang pernah menjajahnya. Tekad ini direalisasikan dengan melakukan perubahan fundamental

pada hukum “warisan” kolonial. Perubahan yang sudah dilakukan meliputi: Melakukan

unifikasi terhadap KUHPidana. Menghapus sistem pembagian golongan. Memberlakukan satu sistem peradilam umum di seluruh Indonesia. Unsur-unsur dalam Sistem Hukum Indonesia.

(13)

bermasyarakat. Peraturan yang ditetapkan oleh badan-badan resmi negara. Peraturan yang bersifat memaksa. Peraturan yang memiliki sanksi yang tegas

Unsur-unsur hukum meliputi. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Peraturan tersebut dibuat oleh badan yang berwenang. Peraturan itu secara umum bersifat memaksa. Sanksi dapat dikenakan bila melanggarnya sesuai dengan ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku

Maksud dari uraian unsur-unsur hukum di atas adalah bahwa hukum itu berisikan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, hukum itu diadakan oleh badan yang berwenang yakni badan legislatif dengan persetujuan badan eksekutif begitu pula sebaliknya, secara umum hukum itu bersifat memaksa yakni hukum itu tegas bila dilanggar dapat dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5. Teori Keadilan Bermartabat

Pengertian atau definisi dari konsep sistem yang dianut dalam teori keadilan bermartabat adalah, suatu perangkat prinsip atau perangkat asas dan perangkat kaidah hukum positif yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan teramat penting dari suatu hukum positif yang keseluruhannya telah dirancang menurut pola tertentu, saking berkaitan erat antara satu bagian dengan bagian yang lain dan saling bahu-membahu antara satu unsur dengan unsur yang lainnya dalam suatu kesatuan tujuan20.

Dalam batasan tentang sistem menurut teori keadilan bermartabat, diperoleh lagi makna bahwa sistem itu tidak ada dengan sendirinya. Sehingga hasil rancang bangun teori keadilan bermartabat menjadi suatu sistem kaidah dan asas-asas hukum yang utuh dan sistemik sebagai hukum dan sistem hukum berdasarkan pancasila21.

6. Pengaturan

20

Teguh Prasetyo, Sistem Hukum Pancasila, Nusamedia, Bandung, 2016, hlm. 29.

(14)

Peraturan perundang-undangan yang melindungi nasabah bank pengguna E-Banking dari Ancaman Cybercrime. Dikarenakan perkembangan pelayanan jasa-jasa perbankan yang dilakukan melalui internet semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan teknologi informasi yang semakin cepat. Masalah keamanan tidak hanya untuk kepentingan nasabah tetapi juga untuk kepentingan bank penyelenggara E-banking itu sendiri maupun industri perbankan secara keseluruhan. Namun demikian, masalah keamanan bertransaksi serta perlindungan nasabah menjadi perhatian tersendiri untuk pengembangan internet banking ke depan, terutama karena tidak adanya kepastian hukum bagi nasabah dimana belum terdapat suatu bentuk pengaturan atas kegiatan internet di Indonesia22.

Di dalam peraturan hukum Indonesia, belum ada pengaturan perundang-undangan khusus mengatur tentang internet banking di Indonesia, kita dapat menemukan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan nasabah E-Banking dengan cara menafsirkan peraturan-peraturan tersebut ke dalam pemahaman tentang E-Banking atau mengaitkan peraturan satu dengan peraturan lainnya. Berikut ini penjelasan mengenai peraturan – peraturan yang terkait dengan pelindungan nasabah pengguna E-banking.

5.1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan

Pada pengujung tahun 1998 telah diundangkan undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 mengubah beberapa pasal dari Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan: “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”.

22

(15)

Salah satu pelaksanaan kegiatan perbankan dalam memberikan pelayanan kepada nasabah dengan cara konvensional ataupun melalui media alternatif lainnya seperti E-Banking. E-Banking merupakan suatu bentuk pemanfaatan media internet oleh bank untuk

mempromosikan dan sekaligus melakukan transaksi secara online, baik dari produk yang sifatnya konvensional maupun yang baru23. Khusus berkenaan dengan konsep E-banking, terdapat hal serius yang harus dicermati yaitu mengenai privacy atau keamanan data nasabah. Hal ini dikarenakan karakteristik layanan E-banking yang rawan akan aspek perlindungan data pribadi nasabahnya.

Ketentuan yang dapat dipergunakan untuk menetapkan dan memberikan perlindungan hukum atas data pribadi nasabah dalam penyelenggaraan layanan E-banking dapat dicermati pada Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 yang menyatakan bahwa untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbul resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan oleh bank. Hal tersebut diatur mengingat bank dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan.

Selanjutnya, ketentuan lain dalam Undang-undang Perbankan adalah ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan (2), Bank diwajibkan untuk merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42 Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A.

Prinsip kerahasian bank pada ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan secara optimal terhadap perlindungan hukum atas data pribadi nasabah dalam penyelenggara layanan E-banking. Hal ini dikarenakan perlindungan hukum atas data pribadi nasabah yang ada pada

ketentuan tersebut terbatas hanya pada data yang disimpan dan dikumpul oleh bank, padahal data nasabah di dalam penyelenggara layanan E-banking tidak hanya data yang disimpan dan

23

(16)

dikumpulkan tetapi termasuk data yang ditransfer oleh pihak nasabah dari tempat komputer dimana nasabah melakukan transaksi.

6.2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Diperlukan seperangkat aturan hukum untuk melindungi konsumen. Aturan tersebut berupa Pembentukan Undangundang Perlindungan Konsumen mempunyai maksud untuk memberikan perlindungan kepada konsumen menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Perlindungan Konsumen mempunyai pengertian berupa segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang dilakukan untuk melindungi konsumen sekaligus dapat meletakan konsumen dalam kedudukan yang seimbang dengan pelaku usaha. Konsumen dalam Pasal 1 Ayat (2) UUPK disini yang dimaksudkan adalah

“Pengguna Akhir (end user)” dari suatu produk yaitu setiap orang pemakaian barang dan/atau

jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan24.

Hak-hak konsumen untuk memperoleh keamanan, kenyamanan, dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, serta hak untuk memperoleh ganti rugi. Dalam Pasal 4 huruf a25, Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tentang hak konsumen atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Menjadi tanggung jawab pihak bank sebagai penyedia jasa, bahkan bank akan memberikan yang terbaik dalam pelayanannya kepada nasabah dan konsumen pengguna berhak mendapatkan fasilitas terbaik terutama dalam hal ini, berkaitan dengan keamanan nasabah sendiri.

24

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Pelindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 27. 25

(17)

Bank sebagai pelaku usaha berusaha mematuhinya dengan menerapkan sistem keamanan berlapis seperti yang telah dikemukan diatas, namun pengamanan yang ada sepertinya masih kurang, hingga menyebabkan terjadinya kerugian yang diderita oleh nasabah. Undang-undang telah berusaha sebaik mungkin mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang melindungi kepentingan konsumen, namun faktor lain penyebab tidak dapat terwujudnya aturan di atas. Pasal ini merupakan bentuk perlindungan preventif, untuk mencegah terjadinya kerugian bagi konsumen. Diharapakan dengan mengetahui hak-haknya konsumen tidak mudah tertipu dan mengalami kerugian terus-menerus.

Pasal 4 huruf d26, berisi tentang “hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan”. Aturan ini memberikan kesempatan kepada konsumen untuk dapat menyampaikan kekurangan-kekurangan dari pelayanan jasa E-banking yang diberikan oleh bank. Sebagai timbal baliknya pihak bank berkewajiban mendengarkan pendapat dan keluhan dari pihak konsumennya. Meskipun disemua bank mayoritas sudah melakukannya melalui layanan customer service (CS), tetapi seharusnya bank dapat lebih serius lagi menanggapi keluhan penggunaan layanan apalagi jika sampai ada yang dirugikan, dengan cara meningkatkan sistem keamanan bank tersebut dan terus memperbaharui Risk Technology yang dipunyai.

Pasal 7 huruf f27, berisi tentang kewajiban pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Sebenarnya dalam undang-undang perlindungan konsumen ini sudah cukup baik, apalagi dengan pengulangan isi pasal yang hampir sama sampai dua kali.

Sedangkan menurut Pasal 4 huruf h pada undang-undang yang sama, dapat menuntut ganti rugi jika tidak sesuai dengan perjanjian yang tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya.

26

Ibid., 27Ibid

(18)

Dalam Pasal 26 dalam UUPK Berbicara mengenai, pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. Seperti iklan yang disebutkan dalam setiap promosi bank penyedia layanan E-banking, bahwa kelebihan penggunaan jasa ini salah satunya, yaitu keamanan. Meski pada kenyataannya keamanan yang diberikan bank masih dapat dibobol dengan berbagai cara. Ini menunjukan kewajiban keamanan yang diberikan oleh bank masih belum terpenuhi dengan baik. Ternyata, pasal dalam undang-undang tersebut menunjukkan belum ada kepastian hukum, karena tidak adanya pelaksanaan hukum atau aturan lain yang mampu menindak tegas bahkan memberikan sanksi atas pelanggaran dan/atau belum terpenuhinya aturan hukum.

6.3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Salah satu bentuk implementasi dari yuridiksi untuk menetapkan hukum (yuridiction to enforce) terhadap tindak pidana siber berdasarkan hukum pidana Indonesia adalah salah

satu pembentukan Undang-undang ITE. Undang-undang ITE merupakan Undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur berbagai aktivitas manusia dibidang teknologi informasi dan komunikasi termasuk beberapa tindak pidana yang dikategorikan tindak pidana cybercrime. Namun demikian berdasarkan luas lingkup dan kategorisasi tindak pidana

cybercrime, disamping undang-undang ITE peraturan perundang-undangan lainnya juga

secara eksplisit atau implisit mengatur tindak pidana cybercrime. Kriminalisasi tindak pidana cybercrime dalam peraturan perundang undangan Indonesia tersebut memiliki implikasi

terhadap upaya pemberantas tindak pidana cybercrime di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya28.

28

(19)

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang disahkan pada tanggal 21 April 2008 dinilai telah cukup mampu mengatur permasalahan-permasalahan hukum dari sistem E-banking sebagai salah satu layanan perbankan yang merupakan wujud perkembangan teknologi informasi.

Kendala seperti aspek teknologi dan aspek hukum bukan lagi menjadi faktor penghambat perkembangan E-banking di Indonesia, meskipun dalam pasal-pasal Undang-undang ITE tidak ada pasal-pasal yang spesifik mengatur mengenai E-Banking itu sendiri, akan tetapi terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai transaksi dengan media Internet.

6.4 Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Dalam hal perlindungan hukum atas data pribadi nasabah terdapat pada ketentuan Pasal 22 Undang-undang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, dan tidak sah, atau memanipulasi: Akses ke jaringan telekomunikasi, dan/atau Akses ke jasa telekomunikasi, dan/atau Akses ke jaringan telekomunikasi khusus”.

Ketentuan ini apabila dianalogikan pada masalah perlindungan data pribadi nasabah dalam penyelenggaraan layanan E-banking terasa ada perbedaan dari objek data atau informasi yang dilindungi dimana ketentuan ini lebih menitikberatkan pada data yang ada dalam jaringan dan data yang sedang ditransfer29.

Ketentuan pidana terhadap para pihak yang melakukan pelanggaran atas ketentuan Pasal 22 Undang-undang Telekomunikasi tersebut terdapat dalam Pasal 50 menyatakan

bahwa: “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22,

dipidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak enam ratus juta

rupiah).”

29

(20)

Beberapa ketentuan perundang-undangan diatas dapat diberlakukan pada berbagai macam kasus mengenai data pribadi nasabah dan hak nasabah apabila mengalami kerugian dalam layanan E-Banking namun hal tersebut tergantung kepada jenis kasusnya.

Ketentuan perundang-undangan perbankan tidak dapat diberlakukan pada kasus (Typosquatting) yang merugikan nasabah, karena dalam hal ini keterangan atau data nasabah yang bocor tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait dalam lembaga perbankan tersebut.

Data nasabah yang sampai kepada pihak lain tersebut disebabkan kekurang hati-hatian nasabah yang dimanfaatkan si pelaku tindak kejahatan dengan membuat situs plesetan yang hampir sama.

6.5 Mekanisme perlindungan dan Tanggungjawab yang diberikan oleh pihak bank terhadap nasabah yang mengalami masalah dalam penggunaan E-Banking

Perkembangan teknologi informasi kian pesat, terjadi disegala bidang, termasuk di bidang perbankan. Kegiatan perbankan dapat dilakukan melalui media elektronik, seperti melalui internet. Maka munculah istilah E-Banking yang saluran jaringannya digunakan untuk memberikan layanan perbankan seperti membuka rekening, transfer dan pembayaran online. Dalam menjalankan kegiatan E-Banking wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas layanannya secara efektif30.

Perlindungan yang diberikan oleh bank sangat penting untuk menimbulkan kepercayaan dan kenyaman nasabah. Karena resiko yang ditimbulkan dalam layanan ini sangat tinggi, ada kemungkinan nasabah menderita kerugian karena disadap oleh

hacker/cracker yang mampu menembus firewall.31 Dengan mengacu pada penerapan

perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, di antaranya32, Teori Utilitas: Teori ini Menitik-beratkan pada kemanfaatan bagi jumlah

(21)

yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi juga bagi sistem penegakkan hukum pidana secara keseluruhan. Teori Tanggung Jawab: Pada hakekatnya, subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan, kecuali ada alasan yang membebaskannya. Teori Ganti Kerugian: Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya.

B. Temuan dan Analisis

1. Tinjauan terhadap putusan No.150/Pdt.G/2012/PN.Jkt Sel dalam Sistem Hukum Indonesia

Pihak dalam putusan Mahkamah Agung No.150/Pdt.G/2012/PN.Jkt Sel adalah H. Helme Sholeh, bertempat tinggal di Perum TAS Blok D-5/37, Rt. 008/Rw. 08, Desa Kedungbendo, Kec. Tanggulangin, Kab. Sidoarjo, Jawa Timur (dahulu beralamat di Sampurna 21 Rt. 08/Rw. 10 Pabean Cantian Krembangan Utara, Surabaya, Jawa Timur), yang dalam hal ini diwakili dan memilih domisili di Kantor Kuasanya M. Ainuljakin, S.H. dan Sri Redjeki Slamet, S.H., M.H., Advokat dari Law Firm M. Ainuljakin & Partners, beralamat di Jl. Otista II No. 67 C, Jakarta Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Januari 2013, sebagai penggugat.

Merupakan pihak pula, yaitu tergugat adalah PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk, berkedudukan di Jl. Gatot Subroto Kav 36-38, Jakarta Selatan.

(22)

Juanda. Sebagai nasabah dari tergugat, penggugat memiliki dua buah rekening Tabungan Bisnis Mandiri, yaitu masing-masing meliputi

a) Rek No. 141-00-1074177-5 atas Helme Sholeh. b) Rek No. 141-00-0994978-5 atas Helme Sholeh.

Kedua rekening tersebut telah dibuatkan dalam satu kartu ATM ”Prioritas/Priority

dengan nomor kartu: 4617 0081 0065 2452 tanpa nama (karena kartu ATM tersebut adalah kartu instant). Kedua rekening milik penggugat tersebut merupakan rekening yang menampung setoran keberangkatan Haji dan Umroh yang dikelola oleh penggugat.

Pada hari Jum’at, tanggal 11 Maret 2011 jam 9.30, kartu ATM ”Prioritas/Priority

penggugat nomor 4617 0081 0065 2452 yang merupakan kartu ATM untuk kedua rekening tertelan di mesin ATM Bank Mandiri di SPBU Raden Inten, penggugat bermaksud mengambil uang di mesin ATM Bank Mandiri (milik tergugat) yang terletak di SPBU Raden Inten, Jakarta Timur, pada saat penggugat memasukkan kartu ATM Mandiri

”Prioritas/Priority” di mesin ATM Mandiri, saat itu penggugat sama sekali belum sempat

memasukan nomor PIN.

(23)

Saat penggugat datang kembali ke ATM SPBU Raden Inten, kedua teknisi tersebut telah membuka/membongkar mesin ATM dan mengambil kurang lebih lima kartu ATM dari dalam mesin ATM tersebut. Salah seorang teknisi (yang ternyata bernama Yanuar)

menanyakan kepada penggugat, “apa kartu ATM milik penggugat?” Atas pertanyaan

tersebut, penggugat mengatakan bahwa kartunya adalah kartu ”Prioritas/Priority” tanpa

nama, lalu kemudian teknisi menyerahkan sebuah kartu ATM Nomor 4097-6621-7804-9105 kepada penggugat. Penggugat tidak mengecek lagi apakah kartu yang diberikan padanya adalah kartu miliknya atau bukan karena mesin sedang diperbaiki.

Penggugat tidak melakukan pemblokiran rekening, karena penggugat merasa telah aman disebabkan kartu ATM telah ada dan dikembalikan kepada penggugat. Kemudian

penggugat ketahui ternyata kartu ATM bukan merupakan kartu ATM ”Prioritas/Priority

milik penggugat. Hal ini penggugat ketahui setelah keesokan harinya penggugat gagal/tidak dapat menggunakan kartu ATM yang diberikan oleh teknisi. Karena ternyata kartu ATM Bank Mandiri yang diserahkan oleh teknisi ternyata bukan merupakan kartu ATM

”Prioritas/Priority” kepunyaan penggugat, maka sejak tanggal 11 Maret penggugat tidak lagi

memegang kartu ATM ”Prioritas/Priority”, karena ternyata kartu ATM Bank Mandiri yang

ada pada penggugat (yang diberikan oleh teknisi) bukan kepunyaan penggugat. Karena penggugat mengalami kegagalan/tidak dapat menggunakan kartu ATM yang diserahkan oleh teknisi, maka sekembalinya penggugat ke Surabaya, pada tanggal 14 Maret 2011 penggugat melakukan pengecekan atas kedua rekening milik penggugat dengan cara meminta rekening koran (mencetak/print out rekening koran).

(24)

telah terjadi sejumlah transaksi pendebetan rekening milik penggugat, yaitu Rek No. 141-00-1074177-5 dan Rek No. 141-00-0994978-5 atas nama Helme Sholeh, dengan nomor kartu

ATM ”Prioritas/Priority” Nomor 4617 0081 0065 2452. Akibat pembobolan tersebut, dana

milik penggugat yang hilang/dibobol dari kedua rekening penggugat berdasarkan data sementara dari rekening koran adalah keseluruhannya berjumlah lima ratus delatan puluh lima juta rupiah, dengan perincian sebagai berikut:

a) Rek No. 141-00-1074177-5 sebesar lima ratus sepuluh juta rupiah. b) Rek No. 141-00-0994978-5 sebesar tujuh puluh lima juta rupiah.

Pembobolan rekening tersebut terjadi dalam periode tanggal 12 Maret 2011 sampai dengan tanggal 14 Maret 2011 yang dilakukan dengan cara mentransfer dana dari rekening penggugat ke rekening lain dan dengan cara tarik tunai yang kesemuanya dilakukan oleh pelaku melalui mesin ATM. Padahal sejak kartu ATM ”Prioritas/Priority” milik penggugat tertelan di mesin ATM Bank Mandiri yang terletak di SPBU Raden Inten (tanggal 11 Maret

2011), penggugat tidak lagi memegang/menguasai ATM “Prioritas/Priority”. Ini artinya

transaksi tersebut kesemuanya bukan dilakukan oleh penggugat.

Setelah dilakukan verifikasi oleh tergugat, diperoleh data dan fakta bahwa ternyata jumlah dana/uang milik penggugat yang telah dibobol/hilang dari kedua rekening penggugat bukannya berjumlah lima ratus delapan puluh lima juta rupiah sebagaimana perhitungan sementara yang tertera dari rekening koran, namun ternyata keseluruhannya adalah berjumlah enam ratus delapan juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah yang transaksinya menurut pengakuan tergugat dilakukan melalui mesin ATM. Berdasarkan Pasal 174 HIR, Pengakuan merupakan bukti terkuat dan sempurna yang tidak dapat ditarik lagi kebenarannya.

(25)

”Prioritas/Priority” milik penggugat yang tertelan di mesin ATM SPBU Raden Inten.

Penggugat telah membuat pengaduan dengan harapan dapat memperoleh kembali dana penggugat yang hilang, yaitu pengaduan kepada Bank Mandiri.

Pada tanggal 14 Maret 2011, penggugat mengajukan pengaduan kepada customer service Bank Mandiri unit kerja KK Sby Bandara Juanda untuk pembobolan rekening nomor

141-00-1074177-5 sebagaimana tanda Terima Pengaduan No. Reg. C-110314-14102-0000249 tanggal 14 Maret 2011 jam 16.30. Pada tanggal 15 Maret 2011, penggugat mengajukan pengaduan melalui surat Kuasa Hukum penggugat kepada Bank Madiri Customer Care & Service Group Kantor Pusat melalui Surat tertulis tertanggal 15 Maret

2011. Pada tanggal 12 April 2011, penggugat telah mengajukan banding kepada tergugat (Bank Mandiri Kantor Pusat) sebagaimana Tanda Teraima Pengaduan No. Reg C-110412-99104-0010181 tanggal 12 April 2011 jam 16.55 WIB yang diterima oleh Officer Customer

Care Group – CHM unit kerja Mobile Banking. Kepada Menteri Keuangan sebagai institusi

yang mempunyai kewenanganan di bidang keuangan dan selaku pemegang saham/ RUPS Bank Mandiri (Persero), Tbk (tergugat), penggugat telah mengirim pengaduan sebagaimana surat kuasa hukum penggugat tertanggal 25 April 2011 No. 15/MA&P/IV/011 tanggal 25 April 2011. Kepada Bank Indonesia sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan pengawasan Perbankan, penggugat telah mengirim pengaduan sebagaimana surat kuasa hukum penggugat tertanggal 25 April 2011 No. 15/MA&P/IV/011 tanggal 25 April 2011 dan Laporan kepada Kepolisian Polda Metro Jaya sebagaimana Tanda Bukti lapor No.: LP/1320/IV/2011/PMJ/Dit.Reskrim SUS tanggal 13 April 2011 dengan laporan dugaan tindak pidana pencurian (money laundering) Perbankan sebagaimana ketentuan Pasal 362 KUHP, Pasal 4,5, dan 6 UU No. 8 Tahun 2009 dan Pasal 49 UU No. 10 Tahun 1998.

(26)

elektronik melalui mesin ATM dengan menggunakan ATM ”Prioritas/Priority” milik

penggugat terjadi secara “wajar/sukses dan sah tanpa penolakan”, seolah-olah transaksi

pembobolan tersebut menurut tergugat adalah benar. Dengan transaksi yang wajar/sukses dan sah, menurut tergugat berarti transaksi dilakukan dengan menggunakan PIN yang benar, yaitu

PIN ATM ”Prioritas/Priority” milik penggugat yang tertelan di mesin ATM. Sehingga

terhadap kehilangan uang tersebut bukan merupakan tanggung jawab tergugat. PIN merupakan identificaton number yang hanya diketahui oleh nasabah dan digunakan oleh nasabah untuk melakukan transaksi dan juga diketahui oleh otoritas bank, oleh karenanya dalil tergugat merupakan suatu penyimpangan fakta hukum, karena bagaimana mungkin transaksi-transaksi pembobolan dana tersebut dilakukan dengan PIN yang benar milik penggugat (dalam hal ini seolah-olah tergugat mendalilkan bahwa penggugat lah yang melakukan transaksi tersebut) sementara fakta bahwa pada saat itu kartu ATM penggugat tertelan di dalam mesin ATM Bank Mandiri di lokasi SPBU Raden Inten, penggugat sama sekali belum memasukan nomor PIN dan selama ini penggugat tidak pernah memberikan nomor PIN ATM-nya kepada siapapun.

Fakta tersebut membuktikan system operasional dan manajemen ATM tergugat telah

tidak berfungsi dengan baik yang menyebabkan kartu ATM ”Prioritas/Priority” dan PIN

penggugat dapat digunakan oleh pihak yang tidak berhak dan patut diduga transaksi tersebut dilakukan oleh pihak bank atau oknum bank yang mengetahui sistem operasional elektronik ATM. Semua transaksi pembobolan terhadap rekening penggugat sebagaimana bukti print out transaksi (rekening koran) dan data verfikasi tergugat, ternyata telah dilakukan melalui/

menggunakan mesin ATM, maka dalam hal ini transaksi pembobolan dana tersebut dilakukan melalui system electronic, yaitu electronic banking atau E-Banking.

(27)

dikatakan, Layanan Perbankan Melalui Media Elektronik atau selanjutnya disebut E-Banking adalah layanan yang memungkinkan nasabah Bank untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui media elektronik antara lain ATM, phone banking, electronic fund transfer, internet banking, mobile phone. Kegiatan electronic

banking yang dilakukan perbankan dengan menggunakan ATM (Automated Teller Machine) atau disebut juga Anjungan Tunai Mandiri adalah merupakan sebuah alat elektronik yang mengijinkan nasabah Bank untuk mengambil uang dan mengecek rekening tabungan mereka tanpa perlu dilayani oleh seorang Teller.

Karena ATM sebagai produk elektronik bank yang berupa mesin ATM yang memiliki berbagai kegunaan dalam transaksi keuangan, yang menurut ketentuan Undang-Undang Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, Bab 1 pasal 1, dalam ketentuan umum Perbankan adalah

“Anjungan tunai mandiri (ATM) adalah kegiatan kas yang dilakukan secara elektronis untuk

memudahkan nasabah antara lain dalam menarik atau menyetor secara tunai atau melakukan pembayaran melalui pemindah bukuan dan memperoleh informasi mengenai saldo, mutasi

rekening nasabah”.

Kegiatan elektronik banking (E-Banking) dengan menggunakan sarana ATM tersebut harus diselenggarakan oleh bank dengan memperhatikan ketentuan maupun prinsip-prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko terkait penyelenggaraan E-Banking khususnya risiko reputasi dan risiko hukum sebagaimana ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/15/PBI/2007 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum dan ketentuan UU Informasi Transaksi Elektronik, UU No. 11 Tahun 2008, dimana bank harus menyediakan sistem elektronik secara andal dan dapat berfungsi dengan baik dan aman.

Fakta bahwa pada saat kartu ATM ”Prioritas/Priority” milik penggugat tertelan di

(28)

maka seharusnya keamanan dari PIN penggugat masih terlindungi dan tidak mungkin dapat dipakai oleh orang lain dan traksaksi atas rekening penggugat seharusnya tidak mungkin

dapat terjadi. Oleh karena tertelannya kartu ATM ”Prioritas/Priority” milik penggugat terjadi

sebelum dilakukan transaksi apapun termasuk belum dimasukkan nomor PIN oleh penggugat, maka patut diduga bahwa mesin ATM tersebut mengalami kerusakan yang mengakibatkan tertelannya kartu ATM milik penggugat.

Adanya kerusakan pada mesin ATM terungkap dan di akui oleh tergugat dalam rapat tanggal 26 Mei 2011 di Kantor Pusat tergugat di Jakarta, dimana diperoleh pengakuan dari teknisi TAG, yaitu Yanuar dan A. Junaedy, bahwa pada card reader mesin ATM terdapat pentol korek warna merah dan mesin dalam keadaan out of service. Akibat ada benda asing berupa pentol korek tersebut pada card reader telah menyebabkan kartu ATM penggugat tertelan sebelum dilakukan transaksi apapun.

Berdasarkan fakta hukum tersebut terbukti adanya pengakuan tergugat bahwa mesin ATM tergugat yang terletak di SPBU Raden Inten tidak terpelihara dengan baik dan mengalami kerusakan sehingga mengakibatkan kerugian bagi penggugat sebagai pengguna jasa transaksi elektronik (Vide Pasal 174 HIR, Pengakuan merupakan bukti terkuat dan sempurna yang tidak mungkin dapat ditarik lagi kebenarannya).

(29)

Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. bank sebagai penyelenggara sistem elektronik seharusnya menyediakan sistem elektronik yang andal dan aman sebagaimana ketentuan UU Informasi Transaksi Elektronik, UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan, setiap penyelenggara sistem elektronik diwajibkan untuk menyediakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya.

Menurut UU Informasi Transaksi Elektronik, UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 16 ayat (2) dan (3) ditentukan, bahwa sepanjang tidak ditentukan lain oleh UU tersendiri, setiap penyelenggara sistem elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut, yaitu:

1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan perundang-undangan.

2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan system elektronik tersebut.

3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan system elektronik.

4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau symbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik

5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

(30)

11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan menggunakan Kartu, yang yang mengharuskan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK wajib:

a) Menggunakan sistem yang aman dan andal.

b) Memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi APMK.

c) Memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating procedure) penyelenggaraan kegiatan APMK.

d) Menjaga keamanan dan kerahasiaan data.

Transaksi yang dilakukan dalam pembobolan rekening penggugat, sesuai dengan pengakuan tergugat dari hasil verifikasi tergugat sendiri adalah dilakukan dengan menggunakan transaksi melalui mesin ATM yang terjadi dalam periode tanggal 12 Maret 2011 s/d 14 Maret 2011.

Menurut Pasal 22 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, menentukan, Bahwa penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet wajib pula menerapkan persyaratan yang paling kurang meliputi, penetapan batas maksimum nilai transaksi, penetapan batas maksimum penarikan uang tunai, penentuan batas limit transaksi tersebut dimaksudkan sebagaimana penerapan manajemen risiko sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009.

(31)

Berdasarkan ketentuan tersebut, transaksi yang dapat dilakukan untuk kartu ATM

”Prioritas/Priority” sehari adalah tarik tunai maksimal sepuluh juta rupiah, sedangkan

transaksi transfer antar rekening maksimal lima puluh juta rupiah.

Karena ATM milik Penggugat yang tertelan di mesin ATM SPBU Raden Inten adalah kartu ATM priority, sesuai ketentuan dan kesepakatan yang telah disetujui antara Bank Mandiri dengan setiap nasabah Tabungan Mandiri hanya ada dua transaksi yang dapat dilakukan dengan ATM, yaitu tarikan tunai maksimum satu hari sebesar sepuluh juta dan transfer antar rekening maksimum lima puluh juta rupiah.

Berdasarkan data verifikasi dari tergugat dan berdasarkan data rekening koran atas kedua rekening milik penggugat, diketahui bahwa dalam periode tiga hari (dari tanggal 12 Maret 2011 s/d 14 Maret 2011) terjadi transaksi melalui ATM yang jumlahnya mencapai enam ratus delapan juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah, dengan perincian:

a. Tanggal 12 Maret 2011, terjadi 15 kali transaksi transfer dengan nilai transaksi keseluruhannya berjumlah dua ratus enam puluh juta rupiah. Dan 7 kali transaksi tarik tunai dengan nilai transaksi keseluruhnnya berjumlah sembilan juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah.

b. Tanggal 13 Maret 2011, terjadi 13 kali transaksi transfer dengan nilai transaksi keseluruhannya berjumlah dua ratus sepuluh juta rupiah. Dan 9 kali transaksi tarik tunai dengan nilai transaksi keseluruhnnya berjumlah sepuluh juta rupiah.

c. Tanggal 14 Maret 2011, terjadi 10 kali transaksi transfer dengan nilai transaksi keseluruhannya berjumlah seratus sembilan juta rupiah. Dan 8 kali transaksi tarik tunai dengan nilai transaksi keseluruhnnya berjumlah sepuluh juta rupiah.

Sehingga keseluruhannya berjumlah enam ratus delapan juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah. Dengan transaksi yang demikian berarti transaksi melalui mesin ATM

(32)

batas limit perhari transaksi yang dapat dilakukan sesuai kesepakatan dan ketentuan antara bank dan nasabah dan sesuai ketentuan tergugat sendiri.

Berdasarkan fakta tersebut, seharusnya bank sebagai pemegang otority dengan sistem elektroniknya, secara otomatis menolak transaksi yang terjadi yang melebihi batas limit yang telah ditentukan. Tidak dilakukannya hal ini membuktikan tergugat telah melanggar Peraturan Bank Indonesia No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yaitu tidak melakukan manajemen risiko dengan benar.

Dengan berhasilnya penarikan tunai maupun transfer dari rekening penggugat ke rekening lain melalui mesin ATM yang melebihi limit transaksi dengan didasarkan pada digunakannya PIN dengan benar, membuktikan bahwa hanya orang atau oknum yang memahami sistem elektronik banking (E-Banking) yang memegang otoritas bank, yang dapat melakukan transaksi tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat otoritas rahasia PIN hanya diketahui oleh pihak bank. Kondisi ini menunjukkan indikasi lemahnya pengawasan internal bank yang pastinya merugikan nasabah sebagi pihak yang lebih lemah dan hal ini membuktikan tergugat telah pula tidak menerapkan manajemen risiko dengan benar, dimana penerapan manejemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi bertujuan memitigasi risiko yang berhubungan dengan penyelenggaraan teknologi informasi.

(33)

terhadap keamanan sistem dan prosedur, pemanfaatan teknologi serta sumber daya manusia dalam memberikan pelayanan kepada nasabah.

Karena pembobolan rekening penggugat terjadi pada transaksi melalui mesin ATM, maka bank tergugat sebagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan elektronik, yaitu sebagai pihak yang melakukan layanan ATM dan terhadap ATM tersebut telah terjadi pembobolan rekening nasabah, maka bank dalam hal ini telah tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan kecermatan dalam melaksanakan fungsi intermediary.

Bank tergugat dalam hal ini adalah sebagai penyelenggara sistem elektronik karena menyelenggarakan sistem transaksi dalam layanan perbankan melalui ATM sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka (6) UU Informasi Transaksi Elektronik, UU No. 11 tahun 2008, yang menyebutkan, bahwa penyelenggaraan sistem elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat.

Dalam implementasinya, pihak/suatu bank yang menyelenggarakan layanan ATM harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan kecermatan, dimana sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Informasi Transaksi Elektronik, UU No. 11 tahun 2008 menentukan, bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Dengan telah terjadinya pembobolan rekening oleh karenanya tergugat harus bertanggung jawab terhadap sistem elektronik yang diselenggarakannya sebagaimana ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU Informasi Transaksi Elektronik, UU No. 11 tahun 2008 yang menyatakan, bahwa penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektroniknya.

(34)

nasabah menggunakan sistem yang diterapkan oleh bank dan itu ternyata tidak aman. Konsumen adalah seseorang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu konsumen adalah end user atau pengguna akhir tanpa mengharuskan konsumen bertindak sebagai pembeli barang atau jasa tersebut. Nasabah bank adalah konsumen jasa perbankan, artinya nasabah bank adalah pihak yang menggunakan produk-produk pelayanan jasa perbankan. Dalam kedudukan tersebut Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa “Perlindungan

konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan

konsumen, serta kepastian hukum”.

Dengan terjadinya pembobolan terhadap rekening penggugat, berarti penggugat sebagai nasabah yang melakukan hubungan hukum dengan tergugat selaku pelaku usaha dengan berdasarkan prinsip kepercayaan, telah tidak memperoleh keamanan, keselamatan dan perlindungan atas dana yang disimpan pada tergugat sesuai fungsi tergugat sebagai lembaga intermediary.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bank sebagai pihak yang memiliki otoritas penuh dalam transaksi perbankan, bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaiannya dalam melaksanakan prinsip perbankan. Oleh karenanya nasabah penggugat berhak mendapatkan ganti rugi atas dana miliknya yang hilang, yang kenyataanya selama ini telah ditolak dan diabaikan oleh tergugat. Sesuai Prinsip pertanggung jawaban, maka perbuatan tergugat yang telah tidak/lalai menerapkan prinsip perbankan dalam penyeleggaraan E-Banking dalam transaksi elektronik ATM, telah melanggar UU Perbankan, peraturan Bank

(35)

penggugat. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat tersebut memenuhi empat unsur pokok untuk dapat dimintai pertanggungjawaban hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata, yaitu adanya perbuatan, unsur kesalahan, kerugian yang diderita, dan hubungan kausalita antara kesalahan dan kerugian.

Akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat, penggugat telah mengalami kerugian baik materiil maupun immaterial yang sampai gugatan ini didaftarkan, yang dapat dirinci sebagai berikut:

Kerugian materiil yang terdiri dari:

a. Hilangnya uang penggugat yang terdapat dalam rekening Bank Mandiri milik penggugat, masing-masing Rek. No. 141-00-1074177-5 dan Rek No. 141-00-0994978-5 atas Helme Sholeh (penggugat) sebesar Rp. 608.950.000,00.

b. Bunga bank yang seharusnya diterima penggugat apabila uang tersebut tetap ada dalam rekening penggugat sebesar 1.6% perbulan (sesuai dengan suku bunga tabungan Bank Mandiri untuk simpanan diatas seratus juta rupiah), sejak tanggal 12 Maret 2011 sampai saat gugatan ini didaftar atau sebesar 1.6% X 12 bulan X Rp. 608.950.000,00=Rp.116.918.400,00 Keseluruhan kerugian materiil tersebut berjumlah tujuh ratus dua puluh lima juta delapan ratus enam puluh delapan ribu empat ratus rupiah.

Jumlah tersebut masih harus ditambah bunga sebesar 1.6% perbulan terhitung sejak gugatan didaftarkan sampai dibayar lunas secara seketika dan sekaligus.

Kerugian immaterial

(36)

harta kekayaannya, maka adalah tepat agar dapat diletakan sita jaminan (conservatoir Beslag) atas harta kekayaan tergugat.

Gugatan ini didasarkan atas fakta-fakta yang benar dengan didasarkan pada bukti-bukti yang otentik, maka sesuai ketentuan Pasal 180 ayat (i) dan (191) Rbg adalah tepat apabila putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun diajukan bantahan, perlawanan, banding, kasasi maupun peninjuan kembali (iut voerbaar bij vooraad). Bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan, pihak para penggugat hadir kuasa M.Ainuliakin, SH dan Sri Redjeki Slamet SH.MH, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 6 Januari 2012 sedangkan pihak tergugat hadir Kuasanya Kodrat Suprihatin S.H dan Clarita Adriana D. S.H dari Team Leader pada Departemen Litigasi I-Group Legal PT. Bank Mandiri Persero Tbk kantor Pusat berdasarkan Surat Kuasa Khusus No.72/SK.CHC.LGL/2012 tanggal 23 Mei 2012.

Untuk memenuhi amanat pasal 130 HIR dan PERMA No. 1 Tahun 2008 pengadilan telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara melalui proses mediasi dengan menunjuk mediator atas kesepakatan kedua belah pihak yang berperkara yaitu Sdri. HJ. Siti Suryati S.H. M.H, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, akan tetapi ternyata sesuai laporan mediator tanggal 7 Juni 2012 usaha mediasi tersebut gagal, sehingga perkara ini dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan oleh penggugat yang isinya tetap di pertahankan olehnya.

Atas gugatan penggugat tersebut tergugat mengajukan jawaban tertanggal 21 Juni 2012 dalam konpensi. Dalam eksepsi bahwa tergugat menolak dalil-dalil dalam gugatan penggugat kecuali yang diakui secara tegas oleh tergugat. Eksepsi gugatan penggugat kabur (obscur libel).

(37)

sepengetahuan penggugat. Atas kejadian ini, penggugat mendalilkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak/lalai menerapkan prinsip perbankan dalam penyelenggaraan e-banking dalam transaksi elektronik, Undang-undang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia, undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Dalil penggugat tersebut adalah dalil yang sangat sumir dan kabur karena dalam setiap transaksi yang menggunakan ATM selalu menggunakan dua kombinasi alat/sarana yaitu Kartu ATM dan PIN yang keduanya ada dalam pengusaan nasabah/Penggugat. Bahkan untuk PIN ATM, tergugat memberi akses kepada setiap nasabah termasuk penggugat untuk membuat PIN sendiri sehingga hanya nasabah/penggugat yang tahu kombinasi angka PIN-nya. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga kerahasiaan data nasabah/penggugat dari pihak manapun bahkan dari tergugat/bank sendiri termasuk petugas petugasnya.

Dengan demikian apabila kartu ATM dan PIN penggugat telah digunakan oleh pihak lain untuk menarik atau memindahkan dana dari rekening penggugat, maka kejadian tersebut sama sekali bukan merupakan kesalahan atau menjadi tanggung jawab tergugat, sedemikian sehingga dalil penggugat yang menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum adalah dalil yang tidak jelas dan tidak berdasar hukum. Terlebih lagi penggugat tidak menjelaskan secara jelas dan spesifik perbuatan tergugat mana yang didalilkan telah melanggar secara masing-masing maupun keseluruhan terhadap prinsip perbankan dalam penyelenggaraan E-Banking/transaksi elektronik, Undang-undang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang Perlindungan Konsumen sehingga dikatagorikan oleh penggugat sebagai perbuatan melawan hukum.

(38)

Untuk permasalahan transaksi melalui ATM yang disanggah oleh penggugat, penggugat telah membuat laporan kepada pihak berwajib dalam hal ini yakni Polda Metro Jaya sebagaimana Tanda Bukti Lapor dari Polda Metro Jaya No. : LP/1320/IV/2011/PMJ/Dit.Reskrim SUS tanggal 13 April 2011.

Dengan adanya pelaporan kepada Polda Metro Jaya tersebut maka pengajuan gugatan ini menjadi prematur karena demi hukum dengan mengacu pada ketentuan pasal 138 ayat (8) HIR dan untuk kepastian serta penegakan hukum maka pemeriksaan gugatan ini oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus ditangguhkan terlebih dahulu sampai pelaporan pidana atas dasar dugaan penggugat tentang adanya tindak pidana dalam transaksi yang menggunakan kartu ATM dan PIN miliknya diputus oleh pengadilan pidana dan berkekuatan hukum tetap, sedemikian sehingga jelas pihak terpidanalah yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang didalilkan dialami oleh penggugat.

Dalam posita gugatan butir 2, penggugat mendalilkan bahwa beberapa saat setelah

kartu ATM milik penggugat “tertelan” mesin ATM, ada teknisi dari PT Tunas Artha

Gardatama (yang merupakan perusahaan outsourching yang bekerja untuk tergugat – selanjutnya disebut “PT TAG”) telah membantu mengambil kartu-kartu ATM yang tertelan

dan “menyerahkannya” kepada penggugat. Akan tetapi kartu yang diperoleh penggugat dari

tekhnisi PT TAG ternyata bukan kartu ATM penggugat.

Untuk membuat terang permasalahan yang sebenarnya, maka demi memperoleh kebenaran akan tuduhan penggugat seharusnyalah PT TAG tersebut ditarik sebagai pihak sehingga mejelis hakim yang memeriksa gugatan ini akan mendapat informasi yang utuh terutama terhadap benar/ tidaknya kartu ATM penggugat telah tertelan pada mesin ATM tergugat dan mengenai rangkaian kejadian selanjutnya.

(39)

Mahkamah Agung RI No. 1566 K/Sip/1983, tertanggal 13 September 1984 gugatan yang demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Sedangkan dalam pokok perkara di atas hal-hal yang tercantum dalam eksepsi sepanjang berkaitan dengan pokok perkara dianggap telah terncantum disini. Tergugat terlebih dahulu menyampaikan fakta-fakta hukum sebagai berikut:

Penggugat adalah nasabah pada tergugat yang memiliki dua nomor rekening jenis Tabungan Bisnis Mandiri yaitu No.141-00-0994978-5 dan No.141-00-10741775.

Saat penggugat mengajukan permohonan pembukaan rekening Tabungan Mandiri kepada tergugat melalui Kantor Cabang Surabaya Juanda, penggugat telah mengisi aplikasi pembukaan rekening produk dana perorangan, menandatangani formulir ketentuan dan syarat khusus rekening tabungan, mengisi kartu contoh/ Specimen tanda tangan, serta menandatangani formulir syarat umum pembukaan rekening.

Dengan menandatangani formulir ketentuan dan syarat khusus rekening tabungan dan syarat umum pembukaan rekening yang berlaku sebagai perjanjian antara penggugat dengan tergugat, maka penggugat secara sah demi hukum dan undang-undang telah sepakat dan menyetujui untuk mematuhi segala ketentuan dan syarat-syarat menjadi nasabah tabungan tergugat, termasuk terhadap ketentuan yang antara lain menyatakan bahwa nasabah wajib merahasiakan Personal Identification Number (PIN) dan kartu ATM Mandiri serta bertanggung jawab penuh atas penggunaannya karenanya tergugat selaku pelaku usaha dengan cara apapun tidak bertanggung jawab atas penyalahgunaan PIN dan kartu ATM tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini perbankan sudah mengandalkan terknologi informasi dalam kegiatannya yaitu berupa e-banking. E-banking merupakan layanan bagi nasabah bank untuk melakukan

Bahwa, disamping melakukan pengawaan terhadap bank, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada nasabah bank dari tindakan

Upaya awal yang harus dilakukan oleh pihak nasabah terhadap pihak bank yaitu dapat mengajukan sebuah pengaduan yang sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor

peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Central di Indonesia mengenai perlindungan nasabah penyimpan dana dan Pemerintah juga sudah mempunyai

Penelitian ini mengambil permasalahan mengenai bagaimana upaya penyelesaian dan tanggung jawab, serta perlindungan hukum yang diberikan oleh bank kepada nasabah

Melalui E- Banking, nasabah bank pada umumnya dapat mengakses produk dan jasa perbankan dengan menggunakan berbagai peralatan elektronik (intelligent electronic

Perjanjian pembukaan rekening tabungan dibuat secara sepihak oleh bank yang dicetak dalam bentuk baku berupa formulir, sehingga nasabah hanya menyetujui atau tidak

Nasabah bank rentan terhadap perlakuan hukum yang pasif, maka terdapat rumusan perlindungan konsumen dalam Pasal 1 angka (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan