16
BAB II
Tinjauan Pustaka dan Pembahasan
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1.
Pengertian Perlindungan Hukum
Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengkordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa
bertentangan satu sama lain. Berkaitan dengan itu hukum harus mampu
mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan
sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan
membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Memang dalam suatu
lalu lintas kepentingan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu hanya
dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain.
Menurut Satjipto Raharjo hukum melindungi kepentingan seseorang dengan
cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti
ditentukan keluasannya dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang
disebut sebagai hak hal ini di karenakan tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu
bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja yaitu yang di berikan
oleh hukum kepada seseorang. Oleh karena itu menurut hukum bukan hanya
kepentingan saya saja yang mempeoleh perlindungan, tetapi juga kehendak saya.
Berkaitan dengan itu, lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat bergantung
pada kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu tanpa adanya kepercayaan dari
17 dengan baik. Sehingga tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa
mejaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum
terhadap kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan. Dengan perkataan lain
dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurang percayaan
masyarakat terhadap dunia perbankan yang pada saat ini telah gencar melakukan
ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah maka perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat di perlukan.
Perlindungan hukum ini terjadi karena adanya suatu hubungan hukum antara
pihak bank dengan nasabahnya. Hubungan yang terjadi antara dua pihak ini didasarkan
oleh suatu perjanjian, untuk itu tentu adalah sesuatu yang wajar apabila kepentingan
dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum, sebagaimana
perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank.
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah ini Marulak Pardede
mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindugan
terhadap nasabah penyimpan dana. Dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu;
a. Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection)
Yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang
efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kerugian bank. Perlindungan ini
diperoleh dengan melalui;
1) Perturan perundang-undangan di bidang perbankan;
2) Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif yang di lakukan oleh Bank Indonesia;
3) Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya;
4) Memelihara tingkat kesehatan bank;
18 b. Perlindungan secara eksplisit (eksplicit deposit protection)
Yaitu perlindungan yang meliputi pembentukan suatu lembaga guna menjamin
simpanan masyarakat sehingga apabila bank mengalami kegagalan lembaga tersebut
yang akan mengganti dana masyarakat yang di simpan pada bank yang gagal tersebut.
Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan
masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No.26 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum.
Selain perlindungan hukum menurut Marulak Pardede di atas, perlindungan
hukum dapat di kategorikan menjadi dua bagian besar, antara lain;
1. Perlindungan tidak langsung
Berupa perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana
terhadap segala resiko kerugian yang timbul dari suatu kebijaksanaan atau timbul dari
kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan
pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan dengan melalui hal-hl yang di kemukakan berikut ini;
1) Prinsip kehati-hatian (prudential principle)
Menurut ketentuan Pasal 2 UU Perbankan di kemukakan, bahwa perbankan
Indonesia dalam melakukan usaha berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Dari ketentuan ini menunjukkan bahwa prinsip
kehati-hatian adalah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh
bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Prinsip kehati-hatian tersebut
mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan
usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan
19 dapat ditemukan Pasal lain dalam UU Perbankan yang mempertegas kembali mengenai
pentingnya prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, yakni
dalam Pasal 29 ayat (2);
“Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubung- an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apapun
juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan
kegiatan usahanya. Bank dalam menjalankan usahannya harus senantiasa berdasarkan
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat di pertanggung
jawabkan secara hukum.
2. Perlindungan langsung
Merupakan suatu perlindungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana
secara langsung, terhadap kemungkinan timbulnya resiko kerugian dari kegiatan usaha
yang dilakukan oleh bank. Perlindungan secara langsung ini, dapat ditemukan dalam
Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan yang selengkapnya menyatakan bahwa;
Pasal 29 ayat(4)
“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi Mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”1
Walaupun UU Perbankan sudah sangat jelas mengatur bahwa bank harus secara
transparan memberikan informasi kepada nasabah mengenai suatu produk yang
ditawarkan pihak bank, guna untuk meminimalkan tingkat kerugian yang diderita
nasabah dan juga pihak bank sudah melakukan apa yang diperintahkan UU
kepadannya. Tetapi tidak dapat di pungkiri resiko kerugian bagi nasabah penyimpan
1
20 tetaplah ada. Oleh karena itu dunia perbankan haruslah sedemikian rupa dapat
memelihara kepercayaan masyarakat, dengan cara menerapkan prinsip kehati-hatian
serta adanya itikad baik dan konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan usaha yang dilakukan.2
Sehubungan dengan pengertian perlindungan hukum yang dipaparkan di atas
penulis beranggapan bahwa perlindungan hukum adalah suatu upaya yang diberikan
oleh pemerintah yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang
ada dengan tujuan untuk melindungi setiap hak dan kepentingan seseorang, lembaga
atau suatu organisasi yang hak dan kepentingannya dirampas oleh orang, lembaga atau
organisasi tertentu lainnya. Selain itu juga perlindungan hukum dapat digunakan
sebagai langkah prefentif yang dapat mencegah seseorang, lembaga atau organisasi tertentu yang melanggar hak dan kepentingan seseorang, lembaga atau organisasi
lainnya, hal ini dikarenakan di dalam setiap peraturan perundang-undangan yang
berlaku terdapat sanksi yang diterapkan yang membuat para pelaku berfikir ulang untuk
melanggar hak dan kepentingan seseorang, lembaga atau organisasi lain.
2.1.2.
Pengertian Bank dan Nasabah
Pengertian Bank menurut Pasal 1 huruf 2 UU Perbankan
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”3
Kemudian pengertian bank tersebut juga dipertegas dengan adanya pendapat
para ahli yang mengemukakan;
1. G.M. Verryn Stuart yang tertuang dalam buku berjudul bank politik yang mengartikan bank bahwa suatu badan yang memiliki tujuan dalam memuaskan
2
Chatamarrasjid, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, h.121-133. 3
21 segala kebutuhan kredit atau to satisfy the needs of credit, baik itu dengan jalan menggunakan alat-alat pembayaran sendiri ataukah dengan menggunakan uang yang telah di dapatkan dari orang lain, maupun dengan cara mengedarkan alat-alat penukar tersebut dalam bentuk uang giral atau circulate new tool excange in the form of demand deposits;4
2. B.N. Ajuha menyatakan bahwa pengertian bank adalah suatu tempat untuk menyalurkan modal dari mereka yang tidak mampu menggunakan secara menguntungkan kepada mereka yang dapat membuatnya lebih produktif untuk keunntungan masyarkat.5
Dari pengertian bank menurut UU Perbankan dan dari pendapat para ahli di atas
penulis berpendapat bahwa bank adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah
maupun swasta yang di gunakan untuk menyimpan uang dari seseorang, lembaga lain
atau organisasi tertentu yang biasa disebut nasabah. Yang dalam hal ini nasabah
tersebut mempunyai uang berlebih yang disimpankan di bank yang bersangkutan,
kemudian bank menyalurkan kembali uang-uang tersebut kepada seseorang, lembaga
lain atau organisasi tertentu yang kekurangan dana, dengan ketentuan-ketentuan dan
syarat yang telah di tentukan oleh pihak bank.
Sedangkan pengertian nasabah di atur dalam Pasal 1 angka 16 dan dipertegas
dengan adanya pembagian nasabah kedalam dua jenis golongan yang diatur dalam
Pasal 1 angka 17 dan Pasal 1 angka 18 UU Perbankan yang menyatakan bahwa;
Pasal 1 angka 16
“Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”
Pasal 1 angka 17
“Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya
…”
Pasal 1 angka 18
“Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit
…”6
dari penjelasan mengenai pengertian nasabah yang dikutip dari UU Perbankan
di atas, penulis berpendapat bahwa nasabah adalah seseorang, lembaga lain atau
4
http://majalaremaja.blogspot.co.id/2012/06/pengertian-bank-menurut-prof-gm-verryn.html di ambil tanggal 26 Agustus 2016.
5
http://www.gurupendidikan.com/pengertian-bank-menurut-para-ahli-2/ di ambil tanggal 26 Agustus 2016.
6
22 organisasi tertentu yang menyimpan dananya di bank dengan tujuan untuk memperoleh
rasa aman terhadap uang yang dipercayakan di bank yang bersangkutan.
2.1.3.
Hubungan Hukum Nasabah dengan Bank
Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai hubungan hukum dan kedudukan
nasabah beserta hak, kewajiban, dan tanggung jawab hukum dari bank kepada
nasabahnya.7
1. Hubungan Bank dengan Nasabah
Dari segi kacamata hukum, hubungan antara nasabah dan bank terdiri dari 2 (dua)
bentuk, yaitu hubungan kontraktual dan hubungan nonkontraktual.
a. Hubungan Kontraktual
Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dan nasabah adalah
hubungan kontaktual. Hal ini berlaku hampir semua nasabah baik nasabah debitur,
nasabah deposan, ataupun nasabah nondebitur-nondeposan. Terhadap nasabah debitur, hubungan kontraktual tersebut berdasarkan suatu kontrak yang dibuat antara bank
sebagai kreditur (pemberi dana) dan pihak debitur (peminjam dana). Hukum kontrak
yang menjadi dasar terhadap hubungan bank dan nasabah debitur bersumber dari
ketentuan-ketentuan KUH Perdata tentang kontrak (buku ketiga). Sebab menurut Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang di buat secara
sah berkekuatan sama dengan UU bagi kedua belah pihak.
Terdapat 3 (tiga) tingkatan dari pemberlakukan hubungan kontraktual pada
hubungan antar nasabah penyimpan dana dan pihak bank, yang sebagai berikut
1) Sebagai hubungan debitur (bank) dan kreditur (nasabah);
2) Sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar hubungan debitur-kreditur;
3) Sebagai hubungan implied contract, yaitu hubungan kontrak yang tersirat. 1. Hubungan Nonkontraktual
7
23 Ada 6 (enam) jenis hubungan hukum antara bank dan nasabah selain dari
hubungan kontraktual, antara lain;
a. Hubungan Fidusia (fiduciary Relation);
b. Hubungan Konfidensial;
c. Hubungan Bailor-Bailee;
d. Hubungan Principal-Agent;
e. Hubungan Mortgagor-Mortgagee dan; f. Hubungan Trustee-Beneficiary.
Akan tetapi, berhubung hukum di Indonesia tidak dengan tegas mengakui
hubungan-hubungan tersebut, maka hubungan-hubungan tersebut baru dapat
dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak yang telah disepakati pihak
bank dan nasabah. Atau setidak-tidaknya ada kebiasaan dalam praktek perbankan untuk
mengakui eksistensi dari hubungan-hubungan tersebut. Misalnya dalam hubungan dengan lembaga perbankan “trust” merupakan factor utama yang harus dijaga oleh
pihak bank. Sehingga dalam hal pihak bank dan nasabah ingin membuat suatu kontrak
maka, kontrak tersebut harus dibuat dan ditaati bagi pihak-pihak yang terlibat
didalamnya, karena kontrak tersebut bersifat sama seperti UU bagi kedua belah pihak.
Hal yang sama berlaku pula bagi nasabah dan bank dalam hal perubahan policy. Bank wajib memberitahu nasabah mengenai perubahan policy secara signifikan di karenakan dapat mempengaruhi account pihak nasabah. Walaupun hal tersebut tidak ditentukan dalam kontrak, tetapi ada semacam fiduciary relation yang menyebabkan pihak bank mempunyai fiduciary obligation untuk melakukan disclosure mengenai hal tersebut kepada nasabahnya. Begitu pula misalnya dalam hal bank memberikan jasa
pengiriman uang untuk kepentingan nasabahnya, maka dalam hal ini bank
menempatkan posisinya sebagai pelaksana amanat dari nasabahnya. Atau dalam hal
24 tersebut tidak pernah diperjanjikan sama sekali, juga mengidentifikasi bahwa hubungan antara nasabah dan bank tidak sekedar hubungan kontraktual semata. Dalam hal ini ada
semacam amanah yang diemban pihak bank untuk kepentingan nasabannya. 8
2.1.4.
Pengertian
Elektronik Banking
Seperti telah disebutkan bahwa sejak manusia mulai mengenal uang. Maka
sudah terbentuk beberapa cara pengirimanan uang. Mulai dari cara yang sederhana,
yakni dengan membawa sendiri atau menyuruh orang lain membawa uang, sampai
dengan sistem yang canggih-canggih seperti saat ini. Salah satu bukti dari
perkembangan teknologi khususnya dalam dunia perbankan adalah dengan adanya
suatu inovasi baru dari pihak bank berupa electronic banking. Electronic banking
merupakan dana dimana 1 (satu) atau lebih bagian dalam transfer dana yang dahulu
digunakan dengan memakai warkat (secara fisik) kemudian diganti dengan memanfaatkan kecanggihan tegnologi. Bagian-bagian dalam transfer dana yang dulu
memakai paper based, tetapi kemudia diganti dengan menggunakan sistem electronic, diantaranya adalah dengan pengirimanan pesan electronic diantara bank pengirim dengan bank penerima. Misalnya, model lama tersebut diganti dengan intruksi
pembayaran via teleks, SWIFT (the society for worldwide interbank financial telecommunications) atau hubungan computer to computer.
Karenya banyaknya produk yang dikeluarkan electronic banking maka penulis membatasi hanya jaringan internet dan pemanfaatan perangkat yang digunakan nasabah
dalam hal ini adalah computer atau bahkan hanphone milik nasabah yang dapat digunakan untuk mengakses segala informasi yang berkaitan dengan bank serta
8
25 perangkat dan jaringan internet tersebut dapat digunakan untuk melakukan transaksi
antara nasabah dengan bank atau nasabah dengan pihak ketiga dan bank.
Pengiriman uang via elektronik (seperti lewat komputer bahkan mungkin lewat
internet) atau lewat telphon akan tidak mempunyai bukti tertulis sama sekali. Hal itu
tentu akan rentan terhadap timbulnya kerawanan-kerawanan dan timbul disputes
dikemudian hari di samping dapat terjadi pula penipuan atau pemalsuan. Karena itu
banyak bank yang menggunakan teknik ini akan menggunakan sistem konfirmasi
tertulis yang dilakukan segera setelah transfer melalui media electronic. Di samping itu
tersedia pula berbagai model pengamanan yang lain seperti pemberian contoh tanda
tangan , penentuan seperti apa yang disebut istilah test key dan lain-lain. 9
Ada beberapa ciri dari transfer elektronik yang membedakannya dengan sistem
konvensional yang memakai warkat (paper based), ciri-ciri dari transfer elektronik tersebut adalah sebagai berikut;
1. Pemakaian sistem elektronik yang canggih
Salah satu ciri dari transfer elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik
yang canggih dalam proses transfer tersebut yang telah memenuhi unsur-unsur yang
ditetapkan bank dan dilengkapi dengan aturan main dan alat pengaman yang jelas.
Berbagai tahap transfer yang dahulu digunakan dengan warkat dan di kirim dengan
surat sekarang ini diganti dengan sistem elektronik.
2. Batch Transmisson
Transmisi ramai-ramai (batch transmission) merupakan ciri lain dari transfer elektronik ini. Dengan berbagai pertimbangan, seperti kepraktisan dan penghematan biaya maka transmisi ramai-ramai digunakan, yakni berbagai transfer yang di
9
26 akumulasi menjadi 1 (satu) dan dilakukan sekali transfer untuk keseluruhan transfer
tersebut.
3. Transfer yang lebih mengaktifkan nasabah
Sistem konvensional yang hampir seluruh proses dan administrasi pengiriman uang dilakukan oleh pegawai bank kini di ganti dengan sistem dimana pihak nasabah
pengirim uang lebih berperan dan mengambil beberapa porsi dari kegiatan yang
sebelumnya dilakukan oleh pegawai bank tersebut. Bahkan, transfer uang tersebut
dapat dilakukan hanya oleh nasabah pengirim uang dengan memasukkan data kedalam
sistem perbankan dan diproses langsung oleh sistem komputer perbankan tanpa campur
tangan pihak pegawai bank yang bersangkutan. Beberapa perangkat yang digunakan
dalam sistem transaksi yang mengaktifkan nasabah adalah sebagai berikut;
a. Cash dispenser;
b. Point-of sale terminal; c. Mesin ATM;
d. On-line computer terminal;
e. Home banking terminal;
f. Nomor PIN;
g. Karu plastic dengan stripe magnit;
h. Kartu microcircuit;
i. Dan lain-lain.10
Dari pengertian mengenai electronic banking di atas penulis berpendapat bahwa
elektronik banking adalah suatu inovasi baru yang ditawarkan oleh pihak bank kepada nasabahnya. Layanan ini dapat memudahan nasabah dalam melakukan berbagai hal
yang dahulunya hanya dapat di lakukan di kantor cabang sekarang dapat di lakukan
dengan mudah hanya dengan computer dan mengunakan jaringan internet.
10
27
2.1.5.
Tujuan
Elektronin Banking
Institusi perbankan dalam penerapan electronic banking harus memberikan jasa pelayanan yang lebih sesuai dengan kehendak nasabah dan lebih menjamin
keamanannya sehingga terciptalah kenyamanan dan kepuasan dari para nasabah
penggunaan electronic banking. Dalam hal penggunaan electronic banking. Media internet memerankan peran yang penting guna kelancaran suatu transfer melalui media electronic. Electronic banking sendiri tidak hanya memudahkan nasabah dalam melalukan berbagai hal melalui media electronic, tetapi juga bagi pihak bank
penggunaan electronic banking ini dapat meringankan tugas pegawai bank. Berikut tujuan electronic banking bagi pihak bank maupun nasabah;
a. Bagi Bank
Adapun tujuan electronic banking bagi pihak bank yaitu:
1. Menjelaskan produk dan jasa seperti, pemberian pinjaman dan kartu kredit;
2. Menyediakan informasi mengenai suku bunga dan kurs mata uang asing yang terbaru;
3. Memberikan daftar lokasi kantor bank tersebut dan lokasi ATM; 4. Memberikan gambaran mengenai bank;
5. Memberikan pelayanan kepada nasabah untuk memeriksa neraca tabungan dan memindahkan dana antar tabungan;
6. Menyediakan sambungan menuju situs lain di internet yang masih berhubungan dengan electronic banking.11
Sedangkan manfaat electronic banking bagi pihak bank antara lain:
1. Electronic banking memberikan solusi penghematan biaya operasional (cost effective) dalam penggunaannya di bandingkan dengan saluran lainnya; 12
2. Bank dapat berhubungan langsung dengan nasabah melalui internet sehingga menghemat kertas dan biaya telepon.;13
3. Bank tidak perlu menyiapkan tempat atau ruang dan staf operasional yang banyak.;
11
Mary J.Cronin, Banking and Finance on The Internet, (Canada: John Wiley & Sons, 1998), h. 75.
12
Ahmad Sanusi, Prospek Internet Banking di Era Millenium III, Majalah Bank dan Manajemen, Edisi Maret-April, Jakarta, 2000, h. 67.
13
28 4. Electronic banking sebagai lahan baru untuk menciptakan sumber pendapatan
spesifik (revenue generation) yang tidak dapat di peroleh melalui saluran distribusi lain;
5. Dengan electronic banking, bank dapat melebarkan jangkauan (global reach)
sehingga nasabah dapat menghubungi bank dari manapun di seluruh dunia dengan waktu yang tidak terbatas (unlimited time);
6. Dapat menarik nasabah baru dan membentuk nasabah potensial menjadi nasabah yang fanatik akan electronic banking serta menciptakan image sebagai global banking;
7. Cepat mengetahui kebutuhan maupun keluhan nasabah sehingga bank dapat lebih cepat memperbaiki produk maupun layanannya untuk di sesuaikan dengan kebutuhan nasabah.14
b. Bagi Nasabah
Adapun tujuan electronic banking bagi pihak nasabah yaitu:
1. Mempermudah nasabah dalam bertransaksi perbankan tanpa harus datang ke kantor cabang;
2. Mempercepat kegiatan transaksi perbankan;
3. Menghemat biaya seperti menghemat ongkos jalan ke kantor cabang.15
Manfaat electronic banking bagi pihak nasabah adalah:
1. Nasabah dapat menjaga hubungan dan melakukan transaksi langsung dengan beberapa bank dan perusahaan pelayanan finansial hanya dengan menggunakan jaringan yang sama;
2. Nasabah dan bank menjadi lebih mandiri dan tidak lagi bergantung pada satu
distributor saja;
3. Nasabah dapat berhubungan dengan semua institusi finansial mereka tanpa harus memiliki perangkat lunak, penyedia jaringan penghubung yang berbeda;
4. Pengurangan biaya transaksi, karena bank berusaha untuk menyediakan harga yang lebih rendah untuk dapat bersaing dengan bank lain.16
2.1.6.
Sistem Keamanan
Electronik Banking
14
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-internet-banking-tujuan-dan.html di ambil tanggal 26 Agustus 2016
15
http://www.kompas.com di ambil tanggal 26 Agustus 2016
29 Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam penggunaan electronic banking adalah sistem keamanan dalam transaksi perbankan dengan menggunakan internet. Hingga saat ini masalah yang paling sering muncul adalah adanya pencurian
PIN nasabah. PIN curian ini kemudian di manfaatkan oleh orang yang sesungguhnya
tidak berhak untuk mencari keuntungannya sendiri. Sehingga sudah menjadi tanggung
jawab pihak bank untuk meyakinkan bahwa transaksi perbankan berjalan aman. Salah
satu usaha yang di lakukan oleh pihak bank adalah dengan menyediakan perangkat
keamanan untuk mencegah para hacker mengganggu transaksi mereka.17
Terdapat dua jenis sistem keamanan yang di pakai dalam electronic banking
antara lain:
1. Sistem Cryptography
Sistem ini menggunakan angka-angka yang dikenal dengan kunci (key). Sistem ini disebut juga dengan sistem sandi. Ada dua tipe cryptography yaitu simetris dan
asimetris. Pada sistem simetris ini menggunakan kode kunci yang sama bagi penerima dan pengirin pesan. Kelemahan dari cryptography simetris adalah kunci ini harus di kirim kepada pihak penerima dan hal ini memungkinkan seseorang untuk mengganggu ditengah jalan. Sistem cryptography asimetris juga mempunyai kelemahan yaitu jumlah kecepatan pengiriman data menjadi berkurang karena adanya tambahan kode. Sistem ini biasanya di gunakan untuk mengenali nasabah dan melindungi informasi finansial nasabah.18
2. Sistem Firewall
Firewall merupakan sistem yang digunakan untuk mencegah pihak-pihak yang tidak di izinkan untuk memasuki daerah yang dilindungi dalam unit pusat kerja perusahaan. Firewall berusaha untuk mencegah pihak-pihak yang mencoba masuk tanpa izin dengan cara melipat gandakan dan mempersulit hambatan-hambatan yang ada. Namun yang perlu di ingatkan adalah bahwa sistem firewall ini tidak dapat mencegah masuknya virus atau gangguan yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri.19
1.1.7
Pengaturan
Electronic Banking
Dalam UU Perbankan tidak terdapat suatu ketentuan khusus yang mengatur
mengenai electronic banking tetapi dalam hal ini pengaturan mengenai electronic
17
http://www.ebizzasia.com/, Di ambil tanggal 5 September 2011.
18
Gary Lewis dan Kenneth Thygerson, The Financial Institution Internet Source Book, Mc.Graw-Hill, New York, 1997, h. 100-101.
30
banking dapat dilihat bahwa secara tidak langsung ada suatu kepercayaan yang diberikan nasabah kepada pihak bank sehingga nasabah merasa aman dalam
menggunakan produk yang ditawarkan oleh pihak bank tersebut, dasar dari hubungan
kepercayaan ini termuat dalam Pasal 29 ayat (4). Kemudian pihak bank dalam menjaga
kepercayaan yang telah diberikan nasabah kepadanya pihak bank mengemban tanggung
jawab untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam segala hal yang dilakukannya
seperti yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2).
Selain itu pengaturan mengenai electronic banking ini dapat ditemukan dalam peraturan-peraturan lainnya. Yang antara lain UU ITE, UU Perlindungan Konsumen
dan PBI No 9/15/PBI/2007. Dalam UU ITE Pasal yang mengatur mengenai electronic banking terdapat dalam Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 sampai pasal 22. Dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa pelaku usaha yang
menawarkan produk mengenai sistem electronic harus memberikan keterangan yang
lengkap serta dalam menyelenggarakan transaksi electronic dapat disertifikasi oleh
lembaga sertifikasi keandalan. Dalam Pasal 15 juga di jelaskan bahwa setiap
penyelenggara sistem electronic harus secara andal dan aman serta bertanggungjawab
terhadap beroperasinya sistem electronic tersebut. Pengaturan mengenai electronic banking ini secara utuh diatur dalam Bab V tentang transaksi electronic yang terdapat dalam Pasal 17-22 UU ITE dalam pasal tersebut mengatur mengenai seluruh transaksi
electronic baik dalam lingkup regional maupun internasional.
Selanjutnya pengaturan mengenai electronic banking ini terdapat dalam UU Perlindungan konsumen tetapi sebenarnya dalam UU ini juga tidak dijelaskan secara
jelas mengenai electronic banking, maka dalam hal ini electronic banking dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dikatakan sebagai suatu jasa yang diberikan bank
31 berupa electronic banking ini dapat dilihat dalam Pasal 3 huruf f yang menyatakan perlindungan konsumen bertujuan meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen. Dalam hal memberikan suatu pelayanan yang
baik bagi nasabahnya terutama pada jasa yang di sediakan, pelaku usaha memiliki
kewajiban seperti yang tertera dalam Pasal 7 huruf d dan huruf g yang menyatakan
bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban untuk menjamin mutu barang dan atau jasa
yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu yang berlaku
pelaku usaha juga wajib memberikan ganti rugi atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan jasa yang diperdagangkan.
Pengaturan selanjutnya dalam UU Perlindungan Konsumen ini terdapat dalam
Pasal 10 huruf c dan huruf e yang menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu
barang dan/atau jasa dan dalam hal menawarkan barang atau jasa tersebut pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk memberitahu kepada konsumen yaitu nasabah mengenai
bahaya penggunaan barang dan jasa yang diedarkan. Dalam hal terdapat suatu kerugian
yang dialami oleh nasabah akibat produk electronic banking yang ditawarkan oleh
pihak makan maka sesuai dengan Pasal 26 maka pelaku usaha wajib memenuhi
jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. Dalam UU
Perlindungan Konsumen ini lebih menekankan pada sisi tanggung jawab serta hak dan
kewajiban konsumen dan pelaku usaha dalam menjalanka usahanya. Sehingga dengan
hadirnya UU ini diharapkan mampu untuk menangani segala permasalahan yang timbul
32 Pengaturan mengenai electronic banking ini juga terdapat dalam PBI No.9/15/PBI/2007 Pasal 22 menyatakan bahwa
(1) Bank yang menyelenggarakan kegiatan electronic banking wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. ketentuan Bank Indonesia yang berlaku meliputi ketentuan yang mengatur mengenai produk, seperti ketentuan tentang penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan lainnya seperti ketentuan tentang penerapan prinsip mengenal nasabah
(know your customer) dan ketentuan tentang penerapan manajemen risiko serta ketentuan-ketentuan lain yang mengatur prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha bank.
(2) Bank harus memberikan edukasi kepada nasabah mengenai produk electronic banking dan pengamanannya secara berkesinambungan. edukasi yang diberikan oleh bank kepada nasabah dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan pemahaman nasabah atas karakteristik produk electronic banking, baik dari aspek manfaat, risiko, pengamanan dan kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak lain yang mengakibatkan kerugian nasabah.
Dalam Pasal 23
(1) Setiap rencana penerbitan produk electronic banking baru harus dimuat dalam rencana bisnis bank.
(2) Setiap rencana penerbitan produk electronic banking yang bersifat transaksional wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan sebelum produk tersebut diterbitkan
(3) Pelaporan rencana produk electronic banking sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi produk electronic banking sepanjang terdapat ketentuan Bank Indonesia yang secara khusus mengatur persyaratan persetujuan produk tersebut. (4) Laporan rencana penerbitan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Bukti-bukti kesiapan untuk menyelenggarakan electronic banking yang paling kurang memuat:
1) Struktur organisasi yang mendukung termasuk pengawasan dari pihak manajemen; 2) Kebijakan, sistem, prosedur dan kewenangan dalam penerbitan produk electronic
banking;
3) Kesiapan infrastruktur teknologi informasi untuk mendukung produk electronic banking;
4) Hasil analisis dan identifikasi risiko terhadap risiko yang melekat pada produk
electronic banking;
5) Kesiapan penerapan manajemen risiko khususnya pengendalian pengamanan
(security control) untuk memastikan terpenuhinya prinsip kerahasiaan
(confidentiality), integritas (integrity), keaslian (authentication), non repudiation
dan ketersediaan (availability);
6) Hasil analisis aspek hukum; 7) Uraian sistem informasi akuntansi;
8) Program perlindungan dan edukasi nasabah.
b. Hasil analisis bisnis mengenai proyeksi produk baru 1 (satu) tahun kedepan.
33 produk serta kepatuhan terhadap ketentuan dan atau praktek-praktek yang berlaku dalam dunia internasional.
(6) Dalam hal teknologi informasi yang digunakan dalam menyelenggarakan kegiatan
electronic banking dilakukan oleh pihak penyedia jasa maka berlaku pula ketentuan sebagaimana diatur dalam bagian penyelenggaraan teknologi informasi oleh pihak penyedia jasa teknologi informasi.
(7) Realisasi rencana penerbitan produk electronic banking wajib dilaporkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak rencana dilaksanakan dengan menggunakan format laporan perubahan mendasar teknologi
Informasi.
1.2.
Pembahasan
1.2.1.
Perlindungan Hukum bagi Nasabah Pengguna
Electronic
Banking
Seperti yang telah di paparkan sebelumnya mengenai konsep perlindungan
hukum pada sub bab ini penulis akan menjelaskan secara lebih terperinci mengenai
perlindungan hukum yang didapat oleh nasabah jika nasabah mengalami suatu kerugian
akibat suatu transaksi electronic. tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya suatu
kerugian yang di almai oleh nasabah akibat menggunakan suatu produk dari bank
berupa fasilitas electronic banking memyebabkan hubungan antara bank dengan nasabah menjadi rusak. salah satu hubungan yang menonjol dari nasabah dan bank
adalah hubungan berdasarkan kepercayaan. Nasabah menyimpan uangnya di bank
dengan harapan akan memperoleh rasa aman atas uang yang di simpannya tersebut.
Tetapi berbeda halnya apabila nasabah mengalami suatu kerugian akibat penggunaan
produk electronic banking maka, kepercayaan nasabah kepada pihak bank akan berkurang atau bahkan nasabah sudah tidak percaya lagi dan hal tersebut juga dapat
berimbas pada batalnya suatu perjanjian atau kontak baik tertullis maupun lisan antara
nasabah dengan pihak bank yang menungkinkan nasabah tidak akan menggunakan jasa
dari bank yang bersangkutan. Hal ini yang kemuadian menjadi catatan bagi pemerintah
34 meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap bank. Karena banyaknya peraturan
perundang-undangan yang dapat digunakan nasabah pengguna electronic banking
untuk memperoleh perlindungan hukum maka, penulis akan menjelaskan satu persatu
konsep perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan yang ada.
Penulis mengutip pendapat dari Sudikno Mertokusumo yang mengatakan
bahwa hukum merupakan sistem yang berarti hukum itu merupakan tatanan yaitu suatu
kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berkaitan erat satu sama lain atau dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang memiliki interaksi satu sama lain dan
berkerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan
terhadap komplek unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan
pengertian hukum20
Bertolak dari pendapat sudikno mertokusumo tersebut, penulis akan
memaparkan perlindungan hukum yang di dapatkan oleh nasabah pengguna electronic banking yaitu berupa self regulation dan government regulation. Self regulation adalah kebijakan yang dibuat oleh pihak bank untuk melindungi nasabah berupa pembuatan
sistem electronic banking yang berstandar Internasional, pengamanan yang baik dari pihak bank itu sendiri dan perjanjian yang dibuat antara pihak bank dan nasabah
terhadap segala resiko yang terjadi dalam pemanfaatan produk electronic banking. Sedangkan yang dimaksud government regulation adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berbentuk perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi nasabah
pengguna layanan electronic banking yang terdiri dari UU Perbankan, UU BI, SEBI, PBI, UU OJK dan POJK, UU ITE, UU Perlindungan Konsumen, KUHP, KUH Perdata.
Guna menemukan hukum apa yang paling ideal untuk melindungi nasabah pengguna
20
35
electronic banking dari kemungkinan timbulnya suatu kerugian. Government regulation
tersebut terdiri dari;
1.
UU Perbankan
Dalam UU Perbankan Ketentuan yang dapat digunakan untuk menetapkan dan
memberikan perlindungan hukum atas data pribadi nasabah dalam penyelenggaraan
layanan electronic banking dapat dicermati dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan yang menyatakan;
“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang di lakukan melalui bank.”21
Aturan tersebut dapat digunakan oleh bank sebagai langkah prefentif dalam meminimalkan terjadinya suatu kerugian yang dialami oleh nasabah pengguna
electronic banking akibat ketidak tahuan nasabah dalam menggunakan produk
electronic banking yang disediakan oleh pihak bank. Maka dari itu bank harus secara aktif memberikan informasi-informasi sehubungan dengan risiko kerugian atas
pemanfaatan layanan electronic banking. Tetapi jika pihak bank lupa atau bahkan lalai dalam memberikan informasi atas produk electronic banking yang digunakan oleh nasabah maka pihak banklah yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami
nasabah.
Selanjutnya, ketentuan lain dalam UU Perbankan yang mengatur mengenai
perlindungan hukum bagi nasabah pengguna electronic banking ini adalah ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan (2) yang menyatakan;
Pasal 40 ayat (1)
“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal
44, dan Pasal 44A.”
21
36 Pasal 40 ayat (2)
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi Pihak Terafiliasi.”
Ketentuan dalam Pasal tersebut merupakan suatu langkat represif yang dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada nasabah
pengguna electronic banking karena Pasal tersebut dapat digunakan sebagai acuan bagi para penegak hukum dalam rangka melakukan penyidikan untuk menemukan bukti
terjadinya suatu kejahatan atau pelangaran dalam transaksi melalui electronic banking. Selain itu ketentuan yang terdapat dalam Pasal 40 di atas mewajibkan bank menjaga
seluruh rahasia nasabahnya yang dalam kaitannya dengan transaksi electronic adalah
PIN, login ID dan password nasabah yang dimiliki oleh pihak bank.
Dalam UU Perbankan terdapat beberapa Pasal yang digolongkan sebagai tindak
pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggran. Dengan digolongkan sebagai tindakan
kejahatan, diharapkan akan lebih terbentuk suatu keketatan dalam UU Perbankan yang
selanjutnya dapat meminimalkan terjadinya suatu kejahatan dalam dunia perbakan.
Mengenai tindak pidana kejahatan dibidang electronic banking, hal ini termuat dalam Pasal 49 ayat (2) butir b menyatakan bahwa;
“tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang- undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang- kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Pasal ini dapat digunakan nasabah untuk menuntut pihak bank jika pihak bank
37 peraturan perundang-undangan lainnya yang menyebabkan kerugian bagi nasabah. Hal
tersebut dapat di kategorikan sebagai tindak pidana kejahatan. 22
Sehingga dapat dikatakana bahwa dalam UU Perbankan sudah terdapat suatu
bentuk perlindungan hukum bagi nasabah pengguna electronic banking baik secara
preventive maupun refresif yang bertujuan untuk melindungi setiap hak dan kepentingan nasabah yang merasa dirugikan karena suatu produk yang di tawarkan oleh
pihak bank.
1.
Bank Indonesia (BI)
Selain UU Perbankan yang dapat digunakan untuk memberi perlindungan pada
nasabah pengguna electronic banking, ketentuan lain yang berhubungan dengan perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh bank dalam lingkup hukum perbankan
adalah ketentuan-ketentuan yang di keluarkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan. Ketentuan dalam Bank Indonesia tersebut antara lain;
1) Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang penerapan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer Principles) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan Surat Edaran Bank Indonesia 6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 tentang penilaian dan pengenaan sanksi atas penerapan prinsip mengenal nasabah dan kewajiban lain terkait dengan UU tentang tindak pidana pencucian uang. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang di terapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan serta dalam menerapkan prinsip mengenal nasabah, bank wajib menetapkan kebijakan penerimaan nasabah, menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah, menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah serta menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen resiko yang berkaitan dengan penerapan prinsip mengenal nasabah.
2) Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada aktivitas pelayanan jasa bank melalui internet pokok-pokok pengaturannya antara lain;
a. Bank yang menyelenggarakan kegiatan electronic banking wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas electronic banking secara efektif;
b. Penerapan manajemen risiko tersebut wajib dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan pedoman tertulis dengan mengacu pada pedoman penerapan
22
38 manajemen risiko pada aktivitas pelayanan jasa bank melalui internet (electronic banking), yang di tetapkan dalam lampiran Surat Edaran Bank Indonesia;
c. Pokok-pokok penerapan manajemen risiko bagi bank yang menyelenggarakan kegiatan electronic banking adalah:
a) Adanya pengawasan aktif komisaris dan direksi bank, yang meliputi:
 Komisaris dan direksi harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap risiko yang terkait dengan aktivitas electronic banking, termasuk penetapan akuntabilitas, kebijakan dan proses pengendalian untuk mengelola risiko tersebut;
 Direksi harus menyetujui dan melakukan kaji ulang terhadap aspek utama dari prosedur pengendalian pengamanan bank.
b) Pengendalian pengamanan (security control)
 Bank harus melakukan langkah-langkah yang memadai untuk menguji keaslian (otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang melakukan transaksi melalui electronic banking;
 Bank harus menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk menjamin bahwa transaksi tidak dapat di ingkari oleh nasabah (non repudiation) dan menetapkan tanggung jawab dalam transaksi electronc banking;
 Bank harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem electronic banking, database dan aplikasi lainnya;
 Bank harus memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi dan hak akses
(privileges) yang tepat terhadap sistem electronic banking, database dan aplikasi lainnya;
 Bank harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai untuk melindungi
integritas data, catatan atau arsip dan informasi pada transaksi electronic banking;
 Bank harus memastikan tersedianya mekanisme penelusuran (audit trail) yang jelas untuk seluruh transaksi electronic banking;
 Bank harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan informasi penting pada electronic banking. Langkah tersebut harus sesuai dengan sensitivitas informasi yang di keluarkan dan/atau di simpan dalam
database.23
3) Manajemen Resiko Hukum dan Risiko Reputasi
a. Bank harus memastikan bahwa website bank menyediakan informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan transaksi melalui
electronic banking;
b. Bank harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa ketentuan kerahasiaan nasabah di terapkan sesuai dengan yang berlaku di negara tempat kedudukan bank menyediakan produk dan jasa electronic banking;
c. Bank harus memiliki prosedur perencanaan darurat dan berkesinambungan usaha yang efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan jasa electronic banking;
d. Bank harus mengembangkan rencana penanganan yang memadai untuk mengelola, mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak di perkirakan (internal dan eksternal) yang dapat menghambat penyediaan sistem dan jasa electronic banking;
23
39 4) Dalam PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Bank Indonesia mewajibkan seluruh bank untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang terkait dengan adanya potensi kerugian finansial pada sisi nasabah. Dalam PBI ini diatur mengenai tata cara penerimaan, penanganan. dan juga pemantauan penyelesaian pengaduan. Selain itu, bank di wajibkan pula untuk memberikan laporan triwulanan kepada Bank Indonesia mengenai pelaksanaan penyelesaian pengaduan nasabah tersebut. Pada prinsipnya, PBI di atas mengatur bahwa bank tidak di perkenankan menolak setiap pengaduan yang di ajukan secara lisan maupun tertulis. Untuk pengaduan lisan, bank wajib menyelesaikannya dalam waktu 2 hari kerja sedangkan untuk pengaduan tertulis wajib diselesaikan dalam waktu 20 hari kerja dan dapat diperpanjang hingga 20 hari kerja berikutnya apabila terdapat kondisi-kondisi tertentu. Untuk memastikan bahwa bank telah melaksanakan ketentuan penyelesaian pengaduan nasabah, maka setiap triwulan bank diwajibkan menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai kasus-kasus pengaduan yang sedang dan telah diselesaikan oleh bank. Laporan ini nantinya akan di susun sedemikian rupa sehingga akan mudah di ketahui produk apa yang paling bermasalah dan jenis permasalahan yang paling sering di kemukakan nasabah. Melalui laporan ini pula Bank Indonesia akan dapat memantau permasalahan yang kemungkinan dapat berkembang menjadi permasalahan yang bersifat sistemik sehingga dapat segera dilakukan langkah-langkah preventif untuk mencegah ekskalasi permasalahan yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan. 24 5) PBI No. 8/5/PDI/2006 tentang Mediasi Perbankan di nyatakan bahwa
penyelenggaraan mediasi perbankan oleh Bank Indonesia pada intinya mencakup bahwa nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi kepada Bank Indonesia. Proses mediasi yang di lakukan Bank Indonesia hanya sengketa dengan nilai klaim maksimum sebesar Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah). Proses mediasi dapat dilaksanakan apabila kasus yang diajukan memenuhi persyaratan. Pelaksanaan proses mediasi sejak ditanda tanganinya perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan akta kesepakatan di laksanakan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dan dapat di perpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan bank. Akta Kesepakatan dapat memuat kesepakatan menyeluruh, kesepakatan sebagian atau tidak tercapainya kesepakatan atas kasus yang di sengketakan.25
6) Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif baik untuk bank secara individual maupun untuk Bank secara konsolidasi dengan perusahaan anak, yang paling kurang mencakup 4 (empat) pilar yaitu: 26
a. Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; b. Kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit;
c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan
24
Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
25
Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PDI/2006 tentang Mediasi Perbankan
26
40 d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh27
7) Peraturan Bank Indonesia No.9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum dalam Pasal 3 dijelaskan mengenai ruang lingkup manajemen resiko teknologi informasi yang menyatakan bahwa penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi oleh bank wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha bank. kompleksitas usaha meliputi antara lain keragaman dalam jenis transaksi/produk/jasa dan jaringan kantor serta teknologi pendukung yang digunakan. Penerapan manajemen resiko dalam penggunaan teknologi informasi yang mencakup mengenai wewenang dan tanggung jawab bagi direksi dinyatakan dalam pasal 4 yang mengatakan bahwa.
a. Menetapkan rencana strategis teknologi informasi dan kebijakan bank terkait penggunaan teknologi informasi dan memastikan bahwa :
1. Teknologi informasi yang digunakan bank dapat mendukung perkembangan usaha, pencapaian tujuan bisnis bank dan kelangsungan pelayanan kepada nasabah;
2. Terdapat upaya peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi upaya peningkatan kompetensi sumber daya manusia dilakukan antara lain melalui penyelenggaraan pendidikan atau pelatihan.
3. Penerapan proses manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi dilaksanakan secara memadai dan efektif;
4. Tersedianya kebijakan dan prosedur teknologi informasi yang memadai dan dikomunikasikan serta diterapkan secara efektif baik
Pada satuan kerja penyelenggara maupun pengguna teknologi informasi; 5. Terdapat sistem pengukuran kinerja proses penyelenggaraan Teknologi
Informasi yang paling kurang dapat:
 Mendukung proses pemantauan terhadap implementasi strategi;  Mendukung penyelesaian proyek;
 Mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia dan investasi pada infrastruktur;
 Meningkatkan kinerja proses penyelenggaraan teknologi informasi dan kualitas layanan penyampaian hasil proses kepada pengguna.
Sedangkan proses manajemen resiko terkait teknologi informasi terdapat dalam
Pasal 10 yang menyatakan
(1) Bank wajib melakukan proses manajemen risiko yang mencakup identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian atas risiko terkait penggunaan teknologi informasi.
(2) Proses manajemen risiko dilakukan terhadap aspek-aspek terkait
Teknologi informasi yang paling kurang mencakup pengembangan dan pengadaan teknologi informasi, operasional teknologi informasi, jaringan komunkasi, pengamanan informasi, business continuity plan, end user
27
41
computing, electronic banking, dan penggunaan pihak penyedia jasa teknologi informasi.
(3) Dalam hal bank menggunakan jasa pihak lain untuk menyelenggarakan teknologi informasi, bank wajib memastikan bahwa pihak penyedia jasa teknologi informasi menerapkan juga manajemen risiko yang paling kurang sesuai dengan ketentuan ini.
Dan dipertegas dengan Pasal 12
(1) Bank wajib mengidentifikasi dan memantau serta mengendalikan risiko yang terdapat pada aktivitas operasional teknologi informasi, pada jaringan komunikasi serta pada end user computing untuk memastikan efektifitas, efisiensi dan keamanan aktivitas tersebut antara lain dengan aktivitas operasional teknologi informasi mencakup aktivitas pada pusat data (data center), disaster recovery center maupun pada pengguna teknologi informasi. a. Menerapkan pengendalian fisik dan lingkungan terhadap fasilitas pusat data
(data center) dan disaster recovery center;
b. Menerapkan pengendalian hak akses secara memadai sesuai kewenangan yang ditetapkan;
c. Menerapkan pengendalian pada saat input, proses, dan output dari informasi; d. Memperhatikan risiko yang mungkin timbul dari ketergantungan bank
terhadap penggunaan jaringan komunikasi;
e. Memastikan aspek desain dan pengoperasian dalam implementasi jaringan komunikasi sesuai dengan kebutuhan;
f. Melakukan pemantauan kegiatan operasional teknologi informasi Termasuk adanya audit trail;
g. Melakukan pemantauan penggunaan aplikasi yang dikembangkan atau diadakan oleh satuan kerja di luar satuan kerja teknologi informasi.
(4) Bagi bank yang memiliki unit usaha yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, wajib memiliki sistem yang dapat menghasilkan laporan yang terpisah bagi kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah. Yang dimaksud memiliki sistem yang dapat menghasilkan laporan yang terpisah adalah yang dapat mengidentifikasikan input dan proses serta output
dari transaksi berdasarkan prinsip syariah.28
8) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/164/KEP/DIR dan Surat Edaran Nomor 27/9/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tentang tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi oleh Bank yang memuat bahwa;
1. Bank wajib menyampaikan laporan rencana perubahan sistem teknologi informasi (tsi) yang menyangkut perubahan konfigurasi dan prosedur pengoperasian komputer yang terkait dengan rencana penyelenggaraan internet banking selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kalender sebelum pelaksanaan.
2. Bagi bank yang dikecualikan untuk menyampaikan laporan dalam hal penyelenggaraan aktivitas baru electronic banking tersebut telah efektif dilaksanakan oleh bank sebelum bank menyelesaikan action plan kewajiban untuk menyampaikan laporan realisasi rencana perubahan TSI yang
28
42 menyangkut electronic banking selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender setelah rencana dimaksud dilaksanakan29
Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh BI di atas adalah suatu bentuk
perlindungan huku yang di berikan BI guna melindungi setiap nasabah pengguna
electronic banking yang mengalami kerugian, karena ketentuan di atas juga mengatur mengenai ketentuan pengaduan nasabah atas kegiatan suatu bank yang dirasa
merugikan nasabah.
3.
Otoritas Jasa Keuangan
Selain perlindundan hukum dari UU Perbankan dan ketentuan-ketentuan dalam
BI, perlindungan hukum yang diberikan dunia perbankan kepada nasabah juga dapat
dilihat dengan berdirinya OJK dan peraturan-peraturan yang di kelurkannya. Dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang selanjutnya di sebut UU OJK. Terdapat
Pasal yang dapat dijadikan acuan bagi nasabah dan OJK untuk perlindungan hukum
bagi nasabah pengguna electrtonic banking yang terdapat dalam Pasal 28 dan Pasal 29. Pasal 28 menyatakan bahwa
Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, ojk berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, yang meliputi:
a. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
b. Meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
c. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Aturan yang di keluarkan OJK ini mewajibkan pihak bank untuk memberikan
informasi yang benar dan jelas mengenai suatu produk yang ditawarkan oleh pihak
bank yang dalam hal ini electronic banking guna untuk meminimalkan tingkat kerugian yang dapat dialami oleh nasabah akibat penggunaan produk electronic banking. Selain itu juga dalam aturan tersebut menjelaskan mengenai kewenangan OJK untuk
29
43 mengentikan atau memberikan sanksi dikarenakan suatu kegiatan atau suatu jasa yang
ditawarkan pihak bank tersebut mempunyai potensi menyebabkan suatu kerugian bagi
nasabahnya.
Sedangkan Pasal 29 menyatakn bahwa;
OJK melakukan pelayanan pengaduan Konsumen yang meliputi:
1) Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku dilembaga jasa keuangan;
2) Membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku dilembaga jasa keuangan; dan
3) Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.30
Berkaitan dengan Pasal 29 di atas OJK menerbitkan beberapa aturan terkaitan
dengan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan mediasi
perbankan yang telah di alihkan ke OJK. Yang antara lain
a. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan (“POJK No.1/2013”);
b. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa (“POJK No. 1/2014”); dan
c. Surat Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan (“SE OJK No. 2/2014”)
Untuk selanjutnya semua peraturan di atas disebut Peraturan OJK. Walaupun
demikian, Peraturan OJK tidak mencabut keberlakuan Peraturan BI selama
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan BI tidak bertentangan dengan Peraturan OJK. Tahapan
penyelesaian pengaduan konsumen pada bank dan tahapan penyelesaian sengketa
melalui OJK adalah sebagai berikut;
a. Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Bank
POJK No.1/2013 mewajibkan setiap bank untuk memiliki unit yang dibentuk secara khusus disetiap kantor bank untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh konsumen tanpa dipungut bayaran. Pengaduan harus didasari atas
30
44 adanya kerugiana atau potensi kerugian finansial pada konsumen karena kesalahan atau kelalaian bank.
Ganti rugi diberikan untuk kerugian yang bersifat material, dengan ketentuan konsumen telah memenuhi kewajibannya dan terdapat ketidak sesuaian antara produk dan/atau layanan bank yang diterima dengan yang di perjanjikan, pengaduan diajukan paling lama 30 hari sejak diketahuinya produk dan/atau layanan yang tidak sesuai dengan perjanjian dan kerugian berdampak langsung pada konsumen. Ganti rugi yang ditetapkan oleh OJK maksimum sebesar nilai kerugian Konsumen.31
b. Penyelesaian Sengketa Melalui OJK
Jika pengaduan Konsumen tidak dapat diselesaikan oleh bank, maka konsumen dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan. Berdasarkan POJK No. 1/2014 lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan dibentuk oleh bank-bank yang dikoordinasi oleh asosiasi perbankan, yang berwenang untuk memeriksa sengketa dan menyelesaikannya melalui mediasi, ajudikasi atau arbitrase.32
c. Yurisdiksi Penyelesaian Sengketa Melalui OJK
Berdasarkan SEBI No. 8/2006 jo. POJK No.1/2013 sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya melalui OJK adalah sengketa keperdataan dengan nilai sengketa yang diajukan maksimum sebesar Rp. 500.000.000. Jumlah maksimum nilai sengketa sebagaimana dimaksud sebelumnya dapat berupa nilai kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada konsumen, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan konsumen dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan konsumen untuk mendapatkan penyelesaian permasalahan terkait.
Kerugian immateriil, antara lain karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan nilai sengketa. Selain itu, sengketa yang diajukan untuk penyelesaian melalui OJK juga harus tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan atau lembaga mediasi, sehingga dapat difasilitasi oleh OJK dan di ajukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan disampaikan oleh bank kepada konsumen. 33
b. Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen menurut Surat
Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 adalah sebagai berikut.
1. PUJK wajib melayani dan menyelesaikan adanya pengaduan konsumen sebelum pengaduan tersebut disampaikan kepada pihak lain.
2. PUJK wajib segera menindak lanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan.
3. Dalam hal terdapat kondisi tertentu, PUJK dapat memperpanjang jangka waktu sampai dengan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja berikutnya.
31
Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan 32
45 4. Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pengaduan wajib diberitahukan secara tertulis kepada Konsumen yang mengajukan pengaduan sebelum jangka waktu berakhir.
5. PUJK harus mempunyai prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan yang sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. penerapan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, efisiensi, dan efektifitas;
b. pelaksanaan penerimaan pengaduan konsumen melalui berbagai cara antara lain tatap muka, email dan surat namun tidak termasuk pengaduan yang dilakukan melalui pemberitaan di media massa;
c. Tatacara komunikasi kepada konsumen paling kurang mencakup :
 Prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan dalam format yang mudah dimengerti dan mudah diakses oleh konsumen; dan
 Penawaran penyelesaian jika dari hasil analisa dan evaluasi yang dilakukan oleh PUJK terjadinya pengaduan disebabkan kesalahan dari PUJK.
d. merahasiakan informasi mengenai Konsumen yang melakukan pengaduan kepada pihak manapun, kecuali:
 kepada OJK;
 dalam rangka penyelesaian pengaduan;
 diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan; dan/atau  atas persetujuan konsumen34
4. UU Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen atau yang di singkat UU Perlindungan Konsmen diatur mengenai kewajiban
pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan. Hal ini merupan suatu self regulation dari pihak bank untuk meminimalkan terjadinya kerugian yang akan dialami oleh nasabah dikemudian hari
karena kurangnya informasi yang diberikan pihak bank pada nasabah.
Dalam Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen diatur mengenai tanggung jawab
pelaku usaha yang menyatakan bahwa;
34
46 Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.35
Dalam Pasal ini tanngung jawab pelaku usaha berupa seluruh kerugian yang
dialami oleh konsumen tetapi hal ini tidak berlaku apabila kerugian yang di derita oleh
nasabah tersebut dikarenakan kesalahan atau kelalaian nasabah itu sendiri. Dari
ketentuan di atas maka di buatlah suatu aturan yang dirasa dapat di jadikan patokan
guna menyelesaikan permasalah pengenai tanggung jawab akibat kerugian yang di
timbulkan karena adanya transaksi di bank. Aturan tersebut adalah mengenai klasula
baku yang terdapat dalam Pasal 18, yang menyatakan bahwa;
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang di tujukan untuk di perdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
35