• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - ANALISIS KEKAMBUHAN PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE SELAMA SATU TAHUN DI RSUD BANYUMAS - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - ANALISIS KEKAMBUHAN PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE SELAMA SATU TAHUN DI RSUD BANYUMAS - repository perpustakaan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Cronic Hearth Failure

1. Definisi

Gagal jantung adalah termin umum yang dipakai untuk

menggambarkan keadaan secara patofisiologik dimana terjadi

gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh ketidakmampuan

ventrikel memompa darah sesuai dengan venous return sehingga tidak

bisa memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dari berbagai sistem

organ di dalam tubuh. Gagal jantung bisa diakibatkan oleh keadaan

overload volume yang abnormal, pressure overload, disfungsi

miokard, gangguan pengisian ventrikel atau meningkatnya kebutuhan

metabolik (Sudoyo et al, 2009).

Cronic hearth failure (CHF) menurut Scottish Intercollegiate

Guidelines Network adalah keadaan yang menggambarkan apa yang

terjadi ketika jantung tidak mampu memompakan darah keseluruh

tubuh seperti yang seharusnya. Orang dengan CHF dapat dijumpai

tanda dengan sesak nafas dan kelelahan (SIGN, 2007). Selanjutnya

Sudoyo et al (2010) menjelaskan bahwa gagal jantung kronik/Cronic

hearth failure (CHF) adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana

(2)

kebutuhan jaringan. Suatu definisi obyektif yang sederhana untuk

menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin

dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi

ventrikel. Untuk kepentingan praktis gagal jantung kongestif

didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek disertai keluhan

gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau

latihan, edema dan tanda obyektif adanya disfungsi jantung dalam

keadaan istirahat.

Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau

terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan. Congestiv Heart Failure

adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung

memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu

definisi obyektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal

jantung kongestif hamper tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat

nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel (Sudoyo et al, 2010).

2. Etiologi

Menurut Mariyono dan Santoso (2007) penyebab CHF

disebabkan oleh banyak hal. Di negara maju penyakit arteri koroner

dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, di negara berkembang

yang menjadi penyebab adalah penyakit jantung katup. Kemudian

menurut Scottish Intercollegiate Guidelines Network (2007) etiologi

CHF adalah penyakit yang menyebabkan kerusakan pada ventrikel

(3)

hipertensi, penyakit atau kerusakan katup jantung, cardiomyopaty,

congenital heart defects, endocarditis, dan myocarditis.

Dalam panduan American Heart Association (AHA) tahun

2002 faktor risiko penyakit jantung adalah usia, jenis kelamin, status

merokok, tekanan darah sistolik (kadang diastolik), kolesterol total,

HDL dan pada beberapa sistem penilaian terdapat DM. The National

Cholesterol Eucation Program (NCEP) mempertimbangkan bahwa

pasien DM dengan faktor risiko penyakit jantung lainnya seperti usia,

merokok, dislipidemia, tekanan darah tinggi mempunyai

kecenderungan yang jauh lebih tinggi untuk mengalami kejadian

vaskuler disbanding individu bukan DM dengan faktor risiko penyakit

jantung yang sama. Sedangkan The Framingham Heart Study

mengidentifikasi bahwa merokok, tekanan darah tinggi, dan kadar

kolesterol tinggi merupakan faktor risiko yang utama kejadian

penyakit jantung. (Rilantono, 2013). Selanjutnya penelitian

epidemologi klinik melaporkan mortality rate penyakit kardiovaskuler

20 kali lebih banyak pada pasien CKD yang dialysis dibandingkan

dengan populasi umum, karena faktor risiko terkait uremia (Sukandar,

2006).

Penelitian Dani et al (2007) bahwa pada kelompok wanita usia

>55 tahun menjadi faktor prediktor kejadian kardivaskuler. Ada

beberapa penyebab yang tidak diketahui. Sudoyo et al (2010)

(4)

jantung adalah penyakit jantung iskemik; sindrom koroner akut,

komplikasi mekanik dari infark akut, dan infark ventrikel kanan.

Faktor valvular; stenosis valvular, regurgitasi valvular, endocarditis,

diseksi aorta. Faktor miopatia; post-partum kardiomiopatia,

miokarditis akut. Faktor hipertensi; hipertensi, aritmia akut. Faktor

gagal sirkulasi; septikemia, hygrotokoxicosis, anemia, pirai,

tamponade, emboli paru. Faktor dekompensasi pada gagal jantung

kronik; tidak patuh minum obat, volume overload, infeksi, terutama

pneumonia, cerebrovaskuler insult, operasi, disfungsi renal,

asma/PPOK, penyalahgunaan obat dan penyalahgunaan alkohol.

3. Manifestasi Klinis

Tanda yang paling awal pada CHF berupa meningkatknya

frekuensi jantung pada kondisi istirahat. Lebih spesifik berupa

penigkatan frekuensi nadi yang sangat ekstrim walau dengan aktifitas

yang minimal seperti merubah posisi tidur. Peningkatan

vaso-konstriksi ditunjukan dengan peningkatan tekanan darah secara

transien sedang veno-konstriksi terlihat melalui distensinya vena

jugularis. Dengan meningkatnya gagal jantung, cardiac output drop

dan vaso-konstriksi renal maupun kutan makin nyata. Depresi pada

renal terlihat sebagai oligouri atau abnormalitas tes fungsi ginjal dan

pada kutan terlihat sebagai menurunnya suhu kulit dan pucat.

Manifestasi peningkatan tonus simpatis menunjukan hasil akhir low

(5)

Menurut Irawan (2011), sesak nafas merupakan tanda utama

CHF, frekuensi pernafasan bisa mencapai 20 sampai 40 kali/menit.

Kerja otot pernafasan meningkat mengakibatkan tekanan negatif intra

pleural. Hal ini terlihat sebagai pernafasan cuping hidung, retraksi

fosa supra klavikulare dan ruang interkostal. Pada pemeriksaan

perkusi terdengar redup pada daerah dada dan pada auskultasi

terdengar whizing dan ronkhi basah. Suara jantung sukar terdengar

karena banyaknya suara tambahan yang mengganggu, biasanya

terdengar suara jantung ketiga. Kulit terasa dingin dan pucat

menunjukan adanya hipoksia, cardiac output yang turun dan

mekanisme compensatio simpato adrenergik. Tekanan darah dan

frekuensi jantung meningkat akibat rangsang simpatis. Saat terjadi

oedem paru, dengan menurunnya fungsi ventrikel kiri, tekanan darah

menurun dan bisa terjadi syok.

Beberapa studi menunjukkan bahwa gagal jantung

asymtomatik adalah lazim seperti jantung kegagalan dengan

manifestasi klinis. Gejala yang berhubungan dengan CHF adalah

sesak napas, yang pada tahap awal dikaitkan dengan tenaga. Dyspnea

terjadi saat istirahat. Kesulitan dalam pernapasan dikaitkan dengan

posisi telentang karena peningkatan vena kembali kejantung disebut

ortopnea. Pasien mungkin juga memiliki Dyspnea Nokturnal

Paroksismal (DNP), yang mengacu pada mendadak pengembangan

(6)

tidur. Semua gejala terkait dengan kongesti paru dengan akumulasi

cairan di ruang interstitial dan alveolar yang kadang-kadang mungkin

mengarah pada pengembangan edema paru akut. Gejala lain yang

umum pada pasien dengan CHF adalah edema perifer, kelelahan,

anoreksia, cepat kenyang, kebingungan, gangguan tidur, dan nokturia,

terjaga sepanjang malam untuk buang air kecil (Nasif & Alahmad,

2005).

4. Klasifikasi

Klasifikasi CHF menggunakan Kriteria Framingham menurut

Figueroa dan Peters (2006) yang dapat digunakan untuk menegakan

diagnosis CHF adalah kriteria mayor yang terdiri dari ; paroxismal

nocturnal dispneu, distensi vena leher, ronkhi paru, kardiomegali,

edema paru akut, galloop S3, peninggian tekanan vena jugularis,

refluks hepatojugular. Kriteria minor terdiri dari ; edema ekstremitas,

batuk malam hari, dispneu de effort, hepatomegali, efusi pleura,

takhicardia, penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal. Kriteria

mayor atau minor : penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari

setelah terapi. Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1

kriteria mayor dan 1 kriteria minor harus ada pada saat bersamaan.

Klasifikasi CHF menurut Figueroa dan Peters (2006) yang

diambil dari New York Heart Association Classification of Congestive

(7)

Tabel 2.1. Klasifikasi CHF

Tanpa gejala dengan aktifitas sehari – hari Nyaman saat istirahat maupun aktifitas ringan Menunjukan gejala pada saat aktifitas tertentu Menunjukan gejala saat istirahat, duduk, atau tidur

5. Patofisiologi

Menurut Irawan (2011), menyampaikan bahwa fungsi dasar

jantung adalah memompa darah dari ventrikel dari sistem venous yang

bertekanan rendah ke sistem arterial yang bertekanan tinggi.

Kegagalan fungsi ini akibatkan kegagalan untuk mengosongkan depot

venous dan menurunnya aliran darah yang dipompakan jantung ke

sistem arteri. Hal ini mengakibatkan meningkatnya volume darah

venous di sistem sirkulasi sistemik maupun pulmonal dan turunnya

volume darah yang dipompakan ke arteri pulmonalis dan aorta.

Secara hemodinamik mengakibatkan meningkatnya tekanan akhir

diastolik dari ventrikel, meningkatnya tekanan venous baik sistemik

maupun pulmonal dan turunnya cardiac out-put.

Beberapa istilah yang perlu diketahui mengenai CHF menurut

Irawan (2011) adalah :

a. Gagal Miokard

Gagal miokard menggambarkan kegagalan otot jantung di

dalam membangun kontraktilitas yang adekuat. Kerusakan ini

disebabkan oleh iskemia, infark, miopathi maupun miokarditis.

Kelainan lain seperti keterbatasan pengisian maupun pengosongan

(8)

perikard efusi dapat juga akibatkan gagal miokard. Gagal miokard

dapat juga disebabkan oleh gangguan perfusi koroner akibat

sumbatan atau disebabkan oleh gangguan baik irama maupun

konduksi jantung. Gagal miokard yang berlanjut akibatkan gagal

sirkulasi.

b. Gagal Sirkulasi

Gagal sirkulasi menggambarkan ketidakmampuan sistem

kardiovaskuler untuk menjalankan fungsi utamanya sehubungan

dengan kebutuhan metabolik jaringan. Hal ini dapat disebabkan

oleh baik gagal miokard maupun disfungsi sirkulasi nonkardiak.

Gagal sirkulasi dapat terjadi baik akibat kenaikan maupun

penurunan volume darah intravaskuler ataupun berubahnya tonus

vaskuler.

Beberapa kondisi non kardiak yang mengakibatkan

meningkatnya volume darah adalah tranfusi darah yang berlebihan,

penumpukan cairan baik ekstra maupun intra vaskuler akibat

disfungsi ginjal maupun gastro intestinal, terapi steroid dan

meningkatnya venous return akibat fistula arteri venosa.

Kondisi yang mengakibatkan volume darah berkurang

seperti luka bakar, perdarahan akibat trauma ataupun operasi,

kondisi yang pengaruhi tonus vaskuler seperti infeksi, defisiensi

vitamin, dan anemia berat. Kondisi non kardiak ini tidak

(9)

ini tidak diatasi akibatkan kerusakan miokard permanen dan

akhirnya terjadi gagal jantung.

c. Gagal Jantung Simptomatis dan Asimptomatis

Istilah gagal jantung kronis merupakan istilah yang condong

terdapatnya keluhan atau tanda fisik sedangkan atas dasar

pemeriksaan ekhokargiografi terdapat sekitar 50% penderita

dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang asimptomatik.

Penyebab gagal jantung kronis dengan preserved ejection farction

berbeda dengan yang reduced cardiac function. Preserved ejection

gagal jantung kronis lebih berhubungan dengan riwayat hipertensi

daripada penyakit jantung koroner.

6. Tatalaksana

Penanganan muthahir CHF menurut Rilantono (2013)

tergantung berat ringannya penyakit dan penyebabnya. Semua

penderita CHF memerlukan obat penghambat ensim konversi

angiotensin (ACE-I) atau penghambat reseptor angiotensin (ARB)

bila tidak ada kontraindikasi sampai dosis optimal. Bila ada kontra

indikasi, misalnya kelaianan ginjal yang berat, maka dapat digunakan

kombinasi hydralazine dan isorbid dinnitrat. Semua penderita CHF

memerlukan obat penyekat beta (beta blocker/BB) mulai dosis kecil

bila tidak ada kontraindikasi. Bila tidak ada kontraindikasi, penderita

CHF berat dengan fraksi ejeksi <30 % atau atrial fibrilasi dapat

(10)

Usahakan penyebab CHF diperbaiki. Klinik CHF sangat

diperlukan untuk menangani pasien yang sulit dan sering rawat ulang.

Klinik CHF dilengkapi dengan perawat CHF yang akan datang

kerumah pasien untuk memantau kepatuhan mium obat, dan

menaikkan dosis diuretika saat eksaserbasi gagal jantung. Penanganan

CHF memerlukan pendekatan kerjasama tim dari berbagai sub

spesialis bidang kardiovaskuler (heart failure cardiologist, pacemaker

specialist, interventionist, heart failure nurse, heart failure

physiotherapist, nutritionist, psychiatrist, dan lain-lain), bila tidak

maka penderita CHF akan berulang kali dirawat dengan biaya besar

dan menimbulkan kecacatan bahkan kematian (Rilantono, 2013).

B.Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 139 mmHg dan/atau

tekanan darah diastolik > 89 mmHg, berdasarkan rerata dua atau tiga kali

pengukuran yang cermat sewaktu duduk dalam satu atau dua kali

kunsengan. (Rilantono, 2013). Hipertensi bisa menyebabkan kerusakan

organ tubuh sasaran (target organ damage) yaitu jantung (hipertrofi

ventrikel kiri), ginjal (nefropati), syaraf otak (encefalopati), mata

(retinopati atau perdarahan), dan bahkan disfungsi ereksi. Kerusakan

pada jantung bisa menyebabkan disfungsi baik diastolik maupun sistolik,

dan berakhir pada gagal jantung kongestif (CHF). Hipertensi juga

merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner, dan terhadap otak

(11)

Hasil penelitian Hendrawan, Setijowati, dan Kurniasari (2004)

tentang hubungan hipertensi dengan gagal jantung didapatkan hasil

hipertensi berpengaruh terhadap timbulnya penyakit gagal jantung (rasio

prevalensi 1,5 dan p=0,019) dan semakin tinggi stage hipertensi maka

semakin berpeluang terjadinya penyakit gagal jantung. Selanjutnya hasil

penelitian Wati dan Hasan (2011) menyebutkan bahwa 133 dari 200

sampel (66,5%) pasien gagal jantung kongestif memiliki riwayat

hipertensi. Kemudian dalam penelitian yang dilakukan oleh Majid (2010)

didapatkan hasil bahwa hipertensi berhubungan dengan frekuensi rawat

inap dimana OR=18,81 artinya responden yang memiliki riwayat

hipertensi berpeluang 18,81 kali lebih besar menjalani rawat inap dengan

frekuensi tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat

hipertensi.

C.Diabetes Mellitus

Sesuai dengan Konsensus PERKENI 2011 dalam Rilantoro,

(2013) untuk menegakkan diagnosis DM dapat menggunakan kriteria

sebagai berikut :

1. Ditemukan gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma sewaktu

> 200 mg/dL.

2. Ditemukan gejala klasik DM dan kadar glukkosa plasma puasa

≥ 126 mg/dL.

3. Kadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

(12)

Pasien dengan diabetes mellitus lebih mungkin untuk terjadi CHF

dibandingkan pasien tanpa diabetes mellitus (tingkat kejadian 30,9 vs

12,4 kasus per 1.000 orang - tahun, tingkat rasio 2,5 , 95 % CI 2,3-2,7).

Perbedaan tingkat kejadian CHF antara orang-orang dengan dan tanpa

diabetes mellitus jauh lebih besar pada usia yang lebih muda. Selain usia

dan penyakit jantung iskemik, kontrol glikemik yang buruk (rasio hazard

1,32 per titik persentase HbA1c) dan lebih besar Body Mass Index (BMI)

(1,12 per 2,5 unit BMI) adalah prediktor penting dari terjadinya CHF.

(Nichols, Gullion, Koro, Ephross, dan Brown, 2004). Selanjutnya

Penelitian Dani, Rubiono, Soesanto dan Kasim (2007) bahwa faktor

prediktor kejadian kardivaskuler adanya Diabetes Mellitus dengan HR

2,229 (95% CI: 1,099-4,783 p=0,027).

D.Cronic Kidney Desease

Cronic kidney desease adalah kerusakan ginjal atau penurunan

faal ginjal lebih atau sama dengan tiga bulan sebelum diagnosis

ditegakkan. (National Kidney Foundation-Disease Outcome Quality

Initiative [NKF-DOQI, 2002] dalam Sukandar, 2006). Sedangkan

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) memberikan definisi

bahwa CKD adalah setiap kerusakan ginjal (kidney damage) atau

penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG/GFR/Glomerulus Filtration

Rate) < 60 ml/mnt/1,73 m2 untuk jangka waktu ≥ 3 bulan. Kerusakan

ginjal adalah setiap kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal,

(13)

Penelitian oleh Badheka et al (2012) menyimpulkan bahwa

penyakit ginjal merupakan penyebab kematian (n= 116, rasio hazard :

1,748 ; interval kepercayaan 95% : 1,01-3,01 , p = 0,04). Selanjutnya

Smith et al (2013) menyebutkan CKD adalah umum dan merupakan

predictor independen penting terjadinya kematian dan rawat inap pada

orang dewasa dengan Heart Failure (HF) seluruh spektrum fungsi

sistolik ventrikel kiri.

E. Survival Analysis

Menurut Sastroasmoro (2011) survival analisis adalah teknik

analisis untuk data follow up yang memperhitungkan waktu terjadinya

efek (time dependent effect) dengan periode waktu pengamatan terhadap

tiap subyek yang tidak seragam. Analisis survival disebut juga analisis

tabel kehidupan (life table analysis). Metode analisis survival yang sering

digunakan adalah metode aktuarial (Cutler-Ederer) dan metode product

limit (Kaplan-Meier).

1. Metode Aktuarial/Life Table

Sastroasmoro (2011) menyampaikan bahwa metode ini

dikenal dengan nama metode Cutler-Ederer. Pada metode ini

ditentukan interval waktu yang dikehendaki. Pemilihan interval

dilakukan dengan memperhitungkan karakteristik penyakit atau efek

yang dipelajari (dapat dalam hari, minggu, bulan, tahun).

Selanjutnya Sastroasmoro (2011) menjelaskan bahwa teknik

(14)

a. Saat awal pengamatan harus jelas.

Tergantung dari jenis penyakit, awal pengamatan dapat

mulai timbulnya keluhan, saat diagnosis, atau mulainya terapi.

Keluhan

pada banyak penyakit dapat samar-samar, maka waktu yang

sering diambil sebagai saat awal pengamatan adalah saat

diagnosis ditegakan. Untuk pasien keganasan dianggap

memadai, namun untuk beberapa kelainaan yang diagnosisnya

mungkin baru dapat ditegakan berbulan-bulan atau

bertahun-tahun setelah awal penyakit, metode ini tidak sahih.

b. Efek yang diteliti harus jelas.

Efek yang diteliti harus berskala dikotom, hanya

mempunyai dua nilai, misal normal-abnormal atau

meninggal-hidup. Selain itu efek juga harus bersifat multipel, artinya setiap

subyek hanya mengalami efek satu kali. Bila efek yang diteliti

adalah kematian, maka hal ini tidak menjadi masalah. Namun

bila efek yang diteliti bukan kematian, melainkan kambuh atau

remisi, maka harus ada cara untuk memastikan subyek kambuh

atau remisi. Apabila kriteria sembuh atau remisi tidak jelas,

maka dapat dipastikan bahwa data yang terkumpul tidak sahih.

Bila efek dapat terjadi berulang kali, efek pertamalah yang

(15)

c. Kejadian withdrawal atau loss to follow-up harus independen

terhadap efek.

Bila pasien tidak datang karena merasa sudah sembuh,

atau karena merasa tidak tertolong lagi, maka hal ini dapat

mempengaruhi kesahihan hasil penelitian.

d. Risiko untuk terjadinya efek tidak tergantung pada tahun

kalender.

Pada penelitian kesintasan yang berlangsung lama,

sepanjang periode penelitian tersebut tidak boleh terjadi

perubahan tata laksana yang signifikan yang bdapat mengubah

prognosis. Bila ini terjadi maka pasien yang durekrut pada awal

penelitian tidak memperoleh perlakuan yang sama dengan

pasien yang direkrut pada akhir penelitian, sehingga kurva

kesintasan menjadi tidak valid.

e. Risiko untuk terjadinya efek pada interval waktu dipilih

dianggap sama.

Bila dipilih interval pengamatan tiap tahun, maka peluang

untuk mengalami efek pada awal maupun akhir tahun harus

sama.

f. Pasien yang tersensor (tidak diketahui nasibnya) dianggap

mengalami setengah efek.

Bila selama interval terdapat 2 pasien tersensor, dianggap

(16)

2. Metode Kaplan-Meier

Metode Kaplan-Meier merupakan metode analisis kesintasan

yang sering digunakan. Metode ini sering disebut product limit

method. Berbeda dengan metode aktuarial, pada metode

Kaplan-Meier tidak dibuat interval tertentu dan efek atau outcome

diperhitungkan tepat pada saat ia terjadi. Lama pengamatan

masing-masing subyek disusun dari yang terpendek sampai yang terpanjang

dengan catatan subyek yang tersensor diikutsertakan. Metode

Kaplan-Meier disusun berdasarkan pada dua konsep sederhana yaitu

pasien yang tersensor dihitung sebagai at risk hanya sampai ia

tersensor dan peluang untuk hidup 2 bulan sama dengan peluang

hidup pada bulan II dan seterusnya.

Dengan adanya perbedaan asumsi tersebut maka menurut

Sastroasmoro (2011) analisa pada metode Kaplan-Meier berbeda

dengan perhitungan metode Cutler-Ederer. Perhitungan kesintasan

subyek yang diamati dengan cara Kaplan-Meier dilakukan sebagai

berikut :

Tabel. 2.2. Analisa Kaplan-Meier

(17)

a. Kolom (1) t = masa pengamatan tiap subyek dari insepsi ke

efek, termasuk subyek yang tersensor. Disusun dari yang

terpendek.

b. Kolom (2) rt = jumlah subyek dengan risiko pada saat t, yaitu

jumlah subyek yang masih hidup sesaat sebelum t.

c. Kolom (3) dt = jumlah kematian pada saat t.

d. Kolom (4) qt = dt/rt = death rate pada saat t, yaitu jummlah

kematian pada saat t dibandingkan dengan jumlah subyek at

risk pada saat t.

e. Kolom (5) pt = kesintasan (survival rate, event-free rate).

f. Kolom (6) St = kesintasan kumulatif, yakni perkalian

kesintasan sampai akhir interval.

Selanjutnya Sastroasmoro (2011) menyampaikan perbedaan antara

metode Cutler-Ederer dengan Kaplan-Meier adalah pada metode

Cutler-Ederer dibuat interval arbitrer, yaitu dengan menganggap peluang

terjadinya efek selama masa interval tersebut dianggap konstan. Interval

disesuaikan dengan karakteristik penyakit, mungkin dalam hitungan hari,

minggu, bulan, atau tahun. Keadaan tersebut dianggap sebanding dengan

pengukuran dengan skala kategorikal. Pada metode Kaplan-Meier tidak

dibuat interval, dan terjadinya efek dicatat pada saat efek tersebut terjadi

(biasanya dala tanggal). Keadaan ini dianggap sebanding dengan

(18)

Perbedaan selanjutnya menurut Sastroasmoro (2011) adalah

metode Cutler-Ederer menyertakan subyek tersensor dalam kalkulasi

kesintasan, dengan memberikan nilai ½ efek. Pada metode

Kaplan-Meier, data pengamatan antara 2 efek yang berurutan diabaikan, dengan

kata lain subyek tersensor hanya bertindak sebagai at risk sampai saat ia

tersensor, namun subyek itu sendiri diabaikan dalam kalkulasi

kesintasan. Metode Kaplan-Meier dapat digunakan pada data dengan

jumlah subyek yang sedikit, oleh karena efek tidak dikelompokan dalam

interval, malainkan diperhitungkan sesuai dengan saat terjadinya efek

pada tiap subyek.

Kemudian Sastroasmoro (2011) menjelaskan bahwa terdapat

kemungkinan bias pada analisis kesintasan seperti pada semua uji

komperatif, termasuk faktor perancu (confounding factor). Teknik untuk

menyingkirkan berbagai faktor perancu perlu diperhatikan, yaitu dalam

desain, termasuk inklusi pasien dengan diagnosis yang akurat, atau dalam

analisis. Definisi operasional yang jelas, serta pengukuran yang sahih dan

andal merupakan hal-hal yang mutlak harus dipenuhi dalam studi analisis

kesintasan. Analisis multivariat yang kompleks mungkin perlu dilakukan

untuk mengontrol variabel perancu yang tidak dapat disingkirkan dalam

(19)

Beberapa kelebihan analisis kesintasan menurut Sastroasmoro

(2011) adalah:

a. Dengan analisis kesintasan dapat dihitung kesintasan data follow-up,

meskipun hanya ada satu subyek penelitian yang telah memenuhi

lama follow-up maksimal.

b. Dapat dihitung interval kepercayaan yang dapat memberikan

gambaran kesalahan data pada sampel.

c. Meski teknik analisis kesintasan dipergunakan untuk menghitung

masa harapan hidup, namun seperti diuraikan dapat pula dipakai untuk

membuat tabel untuk kejadian klinis lain, seperti kejadian relaps,

rekurens, remisi, komplikasi, dan lain sebagainya. Terjadinya efek

pada uji klinis, disamping dapat dianalisis dengan uji hipotesis juga

dapat dianalisis dengan analisis kesintasan bila faktor saat terjadiya

efek ingin diperhitungkan.

3. Regresi Cox (Cox Proportional Hazard)

Selanjutnya Yasril dan Kasjono (2009) menyampaikan bahwa jika

ingin ada variable kovariat yang ingin dikontrol atau bila

menggunakan beberapa variable explanatory dalam menjelaskan

hubungan survival time maka kita menggunakan regresi cox. Regresi

cox dapat digunakan untuk yang membuat model menggambarkan

hubungan antara survival time sebagai dependen variable dengan

(20)

menggunakan hazard function sebagai dasar untuk memperkirakan

Relative Risk untuk gagal.

Fungsi hazard h (t) adalah sebuah rate yang merupakan

estimasi potensi untuk mati pada 1 unit waktu pada saat tertentu,

dengan catatan bahwa kasus tersebut masih hidup ketika menginjak

interval waktu tersebut. Karena fungsi hazard bukan suatu

probability (0-1), maka ia dapat mempunyai nilai 0 hingga ∞.

Tujuan penggunaan regresi cox adalah untuk : mengestimasi hazard

ratio, menguji hipotesa dan melihat confident interval dari hazard

ratio.

Hazard ratio (HR) adalah rasio dua hazard pada x=1 dan x=0

merupakan exp (b), Artinya ingin diketahui berapa besarnya rasio

untuk hazard failure pada x terpapar dibanding tak terpapar.

Interpretasi HR ~ seperti RR atau OR

Model Regresi Cox

h(t,x) = ho(t).e

-(b1x1+b2x2+…..bixi)

Dimana :

X = kovariat

b = koefisienregresi

ho(t) = baseline hazard function ketika x=0

Cox Proporsional hazard model sangat popular digunakan karena :

• Dapat mengestimasi hazard ratio tanpa perlu diketahui ho (t) atau

(21)

• Dapat mengestimasi ho (t), h (t,x) dan fungsi survivor meskipun

ho (t) tidak spesifik

Cox modelrobust sehingga hasil dari cox model hamper sama

dengan hasil model parametrik

Formula model cox menyatakan bahwa hazard pada waktu

t adalah merupakan hasil dari dua kuantitas. Pada bagian pertama

disebut dengan baseline hazard function sedangkan pada kuantitas

kedua disebut dengan eksponensial yang dinyatakan dengan e hingga

jumlah linier dari bixi dimana jumlah tersebut adalah menerangkan

variabel x. Hal penting pada formula tersebut adalah perhatian

terhadap asumsi proportional hazard, yaitu baseline hazard adalah

fungsi dari t dimana ekspresi eksponensial meliputi X tetapi tidak

melibatkan t, X disini disebut dengan time independen X (X tidak

tergantung waktu), bila hal ini terjadi maka X disebut time dependen

variables, model ini disebut dengan extended cox model.

Asumsi pada model Cox Proporstional Hazard adalah

hazard ratio yang membandingkan dua kategori dari prediktor

adalah konstan pada setiap waktu atau tidak tergantung waktu.

Apabila asumsi tidak terpenuhi maka model yang digunakan

disarankan regresi cox dengan time dependent covariat atau

extended cox model. Secara umum ada 3 pendekatan untuk mengkaji

(22)

a. Pendekatan gambar, caranya dengan membuat plot Log Minus

Log (LML) dari fungsi ketahanan hidup. Pada plot ini untuk

setiap strata harus parallel/sejajar. Cara ini hanya dapat

digunakan untuk variabel kategorik. Untuk variabel kontinyu

harus diubah menjadi kategorik (2 atau 3 kelompok)

b. Menggunakan variable time dependent dalam extended cox

model, caranya adalah membuat interaksi antar variabel bebas

dengan waktu ketahanan hidup kemudian lihat nilai

signifikannya.

c. Menggunakan goodness of fit test. Untuk menguji dengan cara ini

menggunakan program komputer khusus.

Ketiga cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, untuk

itu sebaiknya peneliti menggunakan minimal 2 cara untuk menguji

(23)

F. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian

CRONIC HEART FAILURE

Rawat/Kambuh

Rilantono (2013). Penyakit Kardiovaskuler (PKV). BadanPenerbit FKUI. Jakarta.

Sukandar (2006). Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis tahun 2006. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fak. Kedokteran UNPAD/RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. Bandung

Etiologi

- Penyakit arteri koronaria

- Hipertensi

- Penyakit jantung katup

Kegagalan fungsi : kegagalan untuk mengosongkan depot venous dan menurunnya aliran darah yang dipompakan jantung ke sistem arteri arteri.

Meningkatnya volume darah venous di sistem sirkulasi sistemik maupun pulmonal dan turunnya volume darah yang dipompakan ke arteri pulmonalis dan aorta.

Meningkatnya tekanan akhir diastolik dari ventrikel, meningkatnya tekanan venous baik sistemik maupun pulmonal dan turunnya cardiac out-put

- Meningkatnya frekuensi nadi

- Sesak nafas

- Abnormalitas tes fungsi ginjal

- Pada kutan terlihat sebagai menurunnya suhu kulit dan pucat.

- Edema perifer, kelelahan, anoreksia, cepat kenyang, kebingungan, gangguan tidur, dan nokturia

Faktor Risiko : -Usia

(24)

G.Kerangka Konsep

Dari tinjauan pustaka dan kerangka teori yang telah diuraikan

makadapat dibuat kerangka konsep penelitian meliputi : Kesintasan

kekambuhan pasien CHF dipengaruhi oleh Umur, Jenis Kelamin,

Hipertensi, DM dan CKD. Dari variabel tersebut maka dapat dibuat

kerangka konsep sebagai berikut :

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

H.Hipotesis

Ada pengaruh umur, jenis kelamin, hipertensi, DM dan CKD

terhadap kekambuhan pasien CHF di RSUD Banyumas tahun 2012.

Faktor risiko :

- Usia

- Jenis Kelamin - Tekanan Darah Tinggi

- DM

- CKD

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi CHF
tabel kehidupan (life table analysis). Metode analisis survival yang sering
Tabel. 2.2. Analisa Kaplan-Meier
Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

ˆ Ruang sampel (S) adalah himpunan semua outcome yang mungkin dari sebuah eksperimen.. Contoh : Ruang sampel dari eksperimen melempar koin dua kali, S = {HH, HT, T T, T H} dimana

Sesuai dengan PP Nomor 32 Tahun 2013 penjelasan pasal 77 J ayat (1) ditegaskan bahwa Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk Peserta Didik menjadi

Pengaduan terhadap Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi sebagai Teradu yang dianggap melanggar Kode Etik harus disampaikan secara tertulis disertai dengan

Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi terhadap risiko dengan perilaku aman terkait kebijakan K3 pekerja bagian produksi di PT

Hasil penelitian menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari bimbingan karier melalui pelatihan perencanaan studi lanjut dengan efikasi diri dalam pengambilan

Dapatan kajian menunjukkan tahap kesediaan pelatih ILP dengan teori dan kemahiran sebelum menjalani latihan sambil kerja (OJT) selama 6 bulan di sesebuah organisasi

IBNU MAS’UD: Analisis Implementasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Berdasarkan KTSP di SMAN 1 Luragung Kabupaten Kuningan Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tiada hentinya mencurahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga dengan segala