• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penampilan Reproduksi Domba Lokal dan Penampilan Produksi Anak yang Mendapat Ransum Flushing dengan Tingkat Energi Berbeda.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penampilan Reproduksi Domba Lokal dan Penampilan Produksi Anak yang Mendapat Ransum Flushing dengan Tingkat Energi Berbeda."

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Reproduction Performance of Local Sheep and Production Performance of Lambs Given Flushing Ration With Various Energy Content

Ismoyo, W., K. B. Satoto and K. G. Wiryawan

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan suatu usaha dibidang peternakan tidak terlepas dari pengaruh pakan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Pakan memiliki porsi yang besar pada suatu usaha peternakan yaitu 70% dari biaya total produksi dan sisanya dipengaruhi oleh genetik ternak serta manajemen perkandangan. Pakan ternak penting sekali guna memelihara tubuh, baik untuk kebutuhan pokok hidup, reproduksi dan produksi, terutama pada ternak bunting dan laktasi (Devendra dan McLeroy, 1982). Nutrisi yang rendah pada pakan akan menyebabkan efek yang merugikan, antara lain kemunduran pertumbuhan ternak.

Peningkatan populasi ternak merupakan salah satu tujuan pada usaha peternakan untuk dapat meningkatkan profitabilitas. Saat ini pemerintah sedang berusaha menjalankan programnya yaitu Swasembada Daging 2014. Segala upaya yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas dalam negeri serta mengurangi impor daging yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Populasi ternak yang tersedia saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging, baik yang disediakan dari ternak unggas, sapi, kerbau, domba maupun kambing. Pada sisi lain populasi penduduk dari tahun ke tahun kian meningkat, yang menyebabkan kebutuhan terhadap daging juga meningkat.

(3)

mempunyai persiapan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan zat makanan bagi anak dan induk.

Flushing merupakan suatu teknik pemberian pakan dengan kadar nutrisi yang tinggi selama 2-3 mingu sebelum dikawinkan pada domba betina (Pulina, 2004). Flushing pada domba akan mengoptimalkan pada saat ovulasi sehingga akan berdampak pada meningkatnya persentase jumlah anak lahir (Freer dan Dove, 2002). Pada peternakan rakyat yang rata-rata memelihara domba lokal, flushing belum diterapkan karena keterbatasan penelitian mengenai pengaruh flushing terhadap domba lokal. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh flushing dengan pakan kadar energi tinggi pada domba lokal.

Tujuan

(4)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Domba Lokal

Domba adalah ternak ruminansia yang memiliki perut majemuk dan secara fisiologis sangat berbeda dengan ternak ruminansia yang memiliki perut tunggal seperti unggas dan babi (Tomaszewska et al., 1993). Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim tropis, makanan yang kualitasnya rendah, penyakit dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara dengan biaya rendah serta dapat beranak sepanjang tahun (FAO, 2002). Sumantri et al. (2007) menyatakan bahwa domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi sosial, ekonomis, dan budaya serta merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor. Selain itu, domba juga termasuk ternak penghasil daging yang sangat potensial (Hudallah et al., 2007), mampu mengonversi bahan pakan berkualitas rendah menjadi produk bergizi tinggi, memiliki kemampuan reproduksi yang relatif tinggi, produk sampingan berupa kulit, bulu, tulang, kotoran ternak bisa digunakan sebagai bahan baku industri (Abidin dan Sodiq, 2002).

Menurut Subandriyo et al. (1981), domba ekor tipis mempunyai fertilitas yang tinggi. Tomaszewska (1993) menyatakan bahwa walaupun domba lokal hanya mendapatkan pakan untuk hidup pokok, namun dapat mempertahankan kebuntingannya. Lama kebuntingan pada domba-domba yang akan melahirkan anak tunggal lebih lama dari domba-domba yang akan melahirkan anak kembar. Jarak beranak domba tersebut berkisar antara 7,5-12,5 bulan. Rata-rata litter size adalah 1,97 dengan rata-rata jumlah anak yang disapih 1,32.

Flushing

(5)

2011). Bearden et al. (2004) melaporkan, pada babi yang mendapatkan pakan dengan peningkatan kandungan energi delapan sampai 12 hari sebelum dikawinkan dapat meningkatkan rata-rata ovulasi berkisar 14,2-18,6. Pengaruh flushing diketahui dapat meningkatkan insulin dan insulin-like growth factor didalam ovari. Hasil tersebut dari meningkatnya respon ovari terhadap FSH dan LH serta menurunnya atresi folikel. Menurut Tillman et al. (1989), penggunaan energi tinggi akan merangsang estrus dan memiliki efek positif pada tingkat konsepsi. Schoenian (2010) menyatakan bahwa flushing dapat dilanjutkan hingga akhir musim kawin. Pengaruhnya terhadap meningkatnya daya tahan embrio selama awal kebuntingan. Pada domba merino terjadi peningkatan rata-rata ovulasi sebesar 20-30% dengan pemberian pakan sebesar 750 g/ekor/hari selama 6 hari yang mengandung protein tinggi (Oldham dan Lindsay, 1984). Penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan pakan sebesar 750 g/ekor/hari selama 9 hari dapat meningkatkan rata-rata ovulasi (Teleni et al., 1984).

Bahan Pakan Jagung

(6)

seperti K, Na, P, Ca, dan Fe. Faktor genetik sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dan sifat fungsional. Jagung dalam bentuk bijian utuh mengandung protein kasar 3,7%, lemak kasar 1%, serat kasar 86,7%, abu 0,8%, pati 71,3%, dan 0,34% dalam bentuk bahan kering (Suarni dan Widowati, 2011). Bobot lahir domba persilangan Finn dengan Awassi lebih tinggi dihasilkan oleh domba yang diberi jagung utuh dibandingkan jagung yang telah digiling. Namun, domba yang mendapat jagung giling menghasilkan litter size lebih tinggi dibandingkan jagung utuh (Landau et al., 2011).

Onggok

Onggok sebagai hasil sampingan pembuatan tepung tapioka selain harganya murah, tersedia cukup, mudah didapat, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Hasil pengolahan ubi kayu dapat menghasilkan 20-30% tepung tapioka (Prabawati dan Suismono, 2005), kemudian dari pengolahan tepung tapioka akan menghasilkan 11,4% onggok (Hidayat, 2011). Menurut Rasyid et al. (1996), onggok merupakan bahan sumber energi yang mempunyai kadar protein kasar rendah, tetapi kaya akan karbohidrat yang mudah dicerna (BETN) bagi ternak serta penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum. Onggok mengandung 1,6% protein kasar, 0,4% lemak kasar, 10,4% serat kasar, 0,8% kalsium, 0,6% fosfor, dan 2670 kkal/kg ME (Gunawan et al., 1995). Ali (2006) melaporkan bahwa semakin tinggi penggunaan onggok maka konsumsi dan kecernaan bahan kering akan semakin rendah. Supriyati (2011) menyatakan bahwa pada onggok yang terfermentasi dapat meningkatkan produksi susu dan kualitas susu. Namun, adanya asam sianida (HCN) pada onggok dapat menyebabkan rendahnya terjadinya kebuntingan, menurunkan bobot fetus, bobot lahir yang dihasilkan rendah, kematian anak yang tinggi, dan rusaknya fungsi tiroid (FSANZ, 2004).

Bungkil Kelapa

(7)

digunakan untuk ternak, namun bungkil kelapa memiliki kecernaan yang rendah. Bungkil kelapa mengandung 21,7% protein kasar, 17,1% lemak kasar, 16,2% serat kasar, 0,1% kalsium, 0,62% fosfor, 1667 kkal/kg ME, dan daya cerna bahan kering sebesar 60% (Balitnak, 2011). Aregheore (2005) menyatakan bahwa peningkatan pemberian bungkil kelapa dapat menurunkan konsumsi bahan kering, namun dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan memberikan konversi pakan yang rendah. Theodore (2010) melaporkan bahwa pemberian bungkil kelapa menghasilkan jumlah anak sekelahiran lebih baik dibandingkan pemberian bungkil inti sawit.

Garam

(8)

Premix

Premiks (bahasa latin: premix), dikenal dalam dunia peternakan sebagai bahan tambahan yang dicampurkan dalam pakan untuk meningkatkan jumlah nutrisi yang ada di dalam pakan. Asam amino, vitamin dan mineral adalah beberapa nutrisi yang sering terkandung di dalam premix. Manfaat premix dapat mengoptimalkan produktivitas, menjadikan daya tahan tubuh lebih baik, menekan stres, dan meningkatkan pertambahan berat badan. Beberapa contoh nutrisi yang terkandung di dalam premiks ialah vitamin A, C dan E yang digunakan untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Terdapat vitamin B kompleks untuk meningkatkan metabolisme tubuh (Medion, 2010).

CPO

(9)

CaCO3

CaCO3 merupakan substrat anorganik yang sering digunakan aplikasi polimer antara lain sering digunakan dalam pembuatan plastik, industri pembuatan kertas, isolasi kabel, pipa fleksibel dan lainnya, selain itu CaCO3 terdapat dalam jumlah yang besar dialam dan mudah untuk mengolahnya. CaCO3 juga terdapat dalam berbagai jenis dimana jenisnya tergantung kepada bahan asal atau dasarnya, adapun jenis CaCO3 antara lain adalah jenis K yang berasal dari batu kapur dengan kemurnian 96%, jenis C berasal dari kalsit dengan kemurnian mencapai 98%, dan jenis CC yang berasal dari hasil pengendapan dengan tingkat kemurnian 98% (Rismana, 2003). CaCO3 merupakan sumber kalsium yang baik, karena dapat mencegah kehilangan kalsium. Namun, penambahan CaCO3 dapat menghambat penyerapan fosfat di usus halus karena terjadi pembentukan fosfor yang tidak larut (Mortensen dan Charles, 1996).

Dicalcium Phosphate

Dicalcium Phosphate (DCP) dapat digunakan sebagai sumber fosfor untuk pakan ternak. Fosfor berperan dalam mengatur tekanan osmotik dan semua reaksi metabolis tubuh (Casacuberta et al., 2007). Semakin tinggi pengunaan DCP dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan. Selain itu, penambahan DCP dapat meningkatkan ketersediaan fosfor yang berfungsi untuk pertumbuhan dan pembentukan tulang (El-Sherbiny et al., 2010)

Urea

(10)

Molases

Molases dapat dipergunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan penggunaan molases untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48%-60% sebagai gula), kadar mineral cukup dan rasanya disukai ternak. Molases juga mengandung vitamin B komplex dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti Kobalt, Boron, Yodium, Tembaga, Magnesium dan Seng sedangkan kelemahannya ialah kadar kalium yang tinggi dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi terlalu banyak (Rangkuti et al., 1985).

Litter Size

Litter size atau jumlah anak sekelahiran adalah hasil dari tingkat ovulasi pada saat siklus saat mana terjadi pembuahan, dikurangi kehilangan sel telur, janin dan anak dalam kandungan. Kondisi tubuh dan kualitas pakan yang baik dapat meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan melalui peningkatan ovulasi. Kondisi tubuh dan bobot badan yang tinggi pada saat perkawinan, berakibat ovulasi yang lebih banyak dibandingkan bobot badan yang lebih ringan. Hal tersebut diistilahkan dengan pengaruh statis. Selain itu, kualitas pakan sebelum kawin dapat meningkatkan ovulasi atau dapat disebut pengaruh dinamis (Tomaszewska et al., 1993). Dimsoski et al. (1999) dan Inounu et al. (1993) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah anak sekelahiran adalah genotipe, manajemen dan interaksi antara manajemen dengan paritas induk, bangsa induk serta pertambahan bobot badan induk. Adawiyah (1993) melaporkan bahwa bertambahnya umur induk akan meningkatkan jumlah anak sekelahiran. Inounu (1996) melaporkan bahwa jumlah anak sekelahiran domba ekor tipis jawa yaitu sebesar 1,77 ekor/induk. Sementara itu, Jarmuji (2008) melaporkan bahwa jumlah anak sekelahiran pada domba Jonggol sebesar 1,27 ekor/induk.

Konsumsi

(11)

faktor makanan, faktor hewan, dan faktor lingkungan. Faktor makanan antara lain bentuk, bau, rasa, tekstur dan komposisi nutrien. Faktor hewan antara lain bobot badan, palatabilitas, status fisiologis dan kapasitas rumen serta faktor lingkungan antara lain suhu dan kelembaban udara (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1989), konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak, zat makanan yang dikandungnya akan digunakan ternak untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan keperluan produksi.

Nurachma (1991) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering ransum induk pada saat bunting (6 minggu menjelang kelahiran) yang diberikan rumput secara ad libitum dan konsentrat sebanyak 150, 300, 450 gram/ekor/hari secara berturut-turut 952, 1053, dan 1170 gram/ekor/hari. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrat maka konsumsi bahan kering ransum akan semakin tinggi. Sitepu (2011) dalam penelitiannya melaporkan, pemberian rumput dan konsentrat secara terpisah dengan rasio 40 : 60 menghasilkan konsumsi bahan kering rumput berkisar 207,57-216,81 gram/ekor/hari dan konsumsi bahan kering konsentrat berkisar 311,36-325,21 gram/ekor/hari.

Kebutuhan Zat Makanan Domba Reproduksi

Fungsi reproduksi pada ternak tergantung oleh beberapa perkembangan fisiologi alat-alat tubuh umumnya yang nyata dan saling terkait satu sama lain terutama alat-alat reproduksi. Makanan berperan penting dalam perkembangan umum dari tubuh dan reproduksi. Pengaruh makanan terhadap reproduksi ternak diatur melalui sistem endokrin. Kekurangan energi atau zat makanan dapat menyebabkan pengurangan hasil hormon tertentu. Hal ini dapat diperbaiki dengan penambahan hormon atau perbaikan makanan. Kekurangan ataupun kelebihan dalam pemberian makanan kepada ternak berdampak kurang baik. Pada ternak betina yang kegemukan, sel telur sering mengalami infiltrasi jaringan lemak sehingga dapat mencegah pertumbuhan dan pelepasan telur (Tillman et al., 1989).

(12)

waktu). Peningkatan konsumsi energi dan protein berperan dalam peningkatan konsentrasi insulin dan insulin growth factor (IGF) dalam darah yang berpengaruh terhadap folikel yang hubungannya dengan FSH dan LH (Pulina, 2004).

Fase Bunting

Pada dasarnya ternak membutuhkan zat makanan atau energi untuk hidup pokok dan untuk energi cadangan yang akan disimpan dalam jaringan baru dan energi untuk proses-proses metabolisme. Jaringan yang dimaksud yaitu janin, membran janin, pembesaran uterus, dan perkembangan glandula mammaria (Tillman et al., 1989). Secara langsung, nutrisi menyediakan glukosa, asam amino, vitamin, dan elemen kimia essensial. Secara tidak langsung, nutrisi dapat memodifikasi fungsi hormonal, dimana dapat meningkatkan kematangan sel telur, ovulasi, perkembangan embrio, pertumbuhan fetus, dan daya tahan anak yang lahir (Freer dan Dove, 2002).

(13)

induknya. Tillman et al. (1989) mengatakan bahwa energi yang ditimbun pada jaringan selama sepertiga masa kebuntingan terakhir naik 15% dari kebutuhan untuk hidup pokok, sehingga sebelum masa tersebut standar makanan hanya untuk kebutuhan hidup pokok hewan dewasa. Ensminger (1980) menyatakan, kebutuhan energi (TDN) untuk domba bunting lebih kurang sebesar 66%.

Fase Laktasi

Laktasi adalah produksi susu oleh mammary glands, dimana dengan maksud untuk memberi makan kepada anak yang baru lahir (Bearden et al., 2004). Pada fase ini kebutuhan gizi dari siklus reproduksi mencapai tahap tertinggi. Produksi susu yang dihasilkan selama laktasi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti konsumsi pakan, bobot hidup, komposisi tubuh, potensi genetik, dan kondisi iklim. Selain itu, nutrisi selama kebuntingan memiliki hubungan yang erat terhadap produksi susu (Tomaszewska et al., 1993).

Kebutuhan domba bunting atau yang sedang laktasi membutuhkan nutrisi yang lebih banyak bila dibandingkan dengan kebutuhan induk domba yang tidak bunting atau tidak laktasi (Robinson, 1986). Kebutuhan energi induk domba, baik yang bunting maupun yang sedang laktasi sangat tinggi, maka jumlah energi yang dikonsumsi harus ditingkatkan yakni sebanyak 1,5 sampai 2 kali dari kebutuhan hidup pokok (NRC, 1985). Tillman et al. (1989) mengatakan bahwa kebutuhan zat makanan domba yang sedang laktasi dipengaruhi oleh komposisi air susu. Air susu domba mengandung energi lebih besar dibandingkan ternak lain seperti sapi dan kambing. Menurut Anggorodi (1979) domba yang bunting maupun laktasi dapat diberikan ransum yang mengandung TDN 75%. Poli (1998) dalam penelitiannya melaporkan bahwa kebutuhan TDN dan protein domba lokal saat laktasi pertama sebesar 44%-61% TDN dan 8%-15% protein dengan bobot badan berkisar 27,5-30 kg dan produksi susu hingga 600 gram.

Pertambahan Bobot Badan

(14)

setiap hari, minggu atau bulan (Tillmann et al., 1989). Judge et al. (1989) menyatakan bahwa ternak dari satu bangsa tertentu cenderung tumbuh dan berkembang dalam suatu sifat yang khas.

Pada domba bunting, pertambahan bobot badan induk dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan fetus. Meningkatnya umur kebuntingan akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan fetus, namun laju peningkatannya menurun seiring umur kebuntingan (Sugana, 1988). Sudjatmogo (1998) melaporkan bahwa domba bunting yang diberi pakan dengan TDN 75% dan PK 15% menghasilkan pertambahan bobot badan lebih tinggi 13,56% dibandingkan yang diberi pakan TDN 65% dan PK 12%.

Pada masa laktasi, terutama pada masa awal laktasi akan terjadi penurunan bobot badan. Penurunan bobot badan terjadi saat bulan pertama laktasi, kemudian akan meningkat kembali setelah satu bulan laktasi (Freer dan Dove, 2002). Hal tersebut disebabkan pada awal laktasi aliran metabolit dari darah terjadi dengan cepat untuk produksi susu, sementara konsumsi induk tidak dapat memenuhi kebutuhan zat makanan induk sehingga penggunaan cadangan lemak tubuh akan dilakukan (Forbes, 2007). Induk domba yang mendapatkan pakan dengan TDN 65 dan 75%, puncak laktasi terjadi pada hari ke-35 laktasi (Frimawaty, 1998). Mathius (1996) melaporkan bahwa pada saat laktasi terjadi penurunan bobot badan induk domba yaitu sebesar 10-36 g/ekor/hari.

Efisiensi Pakan

(15)

Bobot Lahir

Bobot lahir merupakan salah satu komponen dari penampilan reproduksi ternak. Tingkatan nutrisi selama bunting cukup berpengaruh terhadap bobot lahir (Tomaszewska et al., 1993). Anak domba jantan selalu lebih berat saat lahir dibandingkan dengan domba betina, dan bobot lahir tersebut akan berkorelasi positif dengan bobot sapih dan pertambahan bobot badan (Ramsey et al., 1994). Anak domba yang lahir tunggal selalu lebih berat dibandingkan dengan yang lahir kembar, keadaan ini dapat diduga bahwa pada masa pertumbuhan prenatal atau pertumbuhan fetus selama kandungan, dalam memperoleh makanan fetus tunggal tidak mengalami persaingan seperti yang terjadi pada anak kembar. Di lain pihak, kelahiran tunggal lebih berat daripada kelahiran kembar hanya pada anak domba jantan, tetapi pada anak domba betina tidak berbeda. Disimpulkan bahwa jumlah anak sekelahiran dan jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot lahir, pertambahan bobot badan prasapih, dan bobot sapih anak domba ekor gemuk (Suryadi, 2008). Selain itu, bobot lahir ditentukan juga oleh bobot badan induk waktu melahirkan (Pitono dan Romjati, 1992). Nurachma (1991) melaporkan bahwa rataan bobot lahir anak domba pada induk yang diberi pakan PK 15%, TDN 65,8% dan PK 17%, TDN 77% masing-masing sebesar 2,22 kg dan 2,35 kg.

Bobot Sapih

Bobot sapih ialah bobot badan anak sampai umur penyapihan. Bobot sapi merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan air susu dan kemampuan anak untuk mendapatkan air susu dan tumbuh (Hardjosubroto, 1994). Subandriyo (1996) menyatakan bahwa bobot anak saat di sapih dipengaruhi oleh tipe kelahirannya. Hal ini disebabkan terbatasnya produksi susu induk sehingga apabila induk mempunyai anak kembar maka jumlah susu yang terbatas tersebut harus di bagi-bagi. Domba induk yang diberi pakan dengan PK 17% dan TDN 77% menghasilkan rataan bobot sapih sebesar 9,01 kg. Pada pakan PK 15% dan TDN 65,8% menghasilkan rataan bobot sapih sebesar 7,7 kg (Nurachma, 1991).

Mortalitas

(16)

domba dalam waktu 24 jam setelah kelahiran pada temperature yang normal. Selanjutnya dikemukakan bahwa makanan, umur induk dan faktor keturunan pada hakekatnya dapat mempengaruhi mortalitas perinatal. Hinch et al. (1983) menyatakan bahwa mortalitas perinatal berhubungan dengan bobot lahir dan jumlah anak sekelahiran. Rendahnya bobot lahir akibat dari jumlah anak sekelahiran yang tinggi, secara langsung berpengaruh terhadap rendahnya kemampuan hidup anak. Pemberian pakan yang baik pada akhir kebuntingan meningkatkan kemampuan mencapai maksimum 94% atau mortalitas 6% pada kelahiran kembar tiga.

Kematian dapat terjadi pada fase embrio maupun fetus. Dixon et al. (2007) melaporkan bahwa kematian pada fase embrio dan fetus sebesar 19,9%. Pada hari ke-25 masa kelahiran, kematian embrio dan fetus dapat mencapai 21,2%, lebih lengkapnya potensi kematian embrio 3,7% pada hari ke 25-45, kematian fetus 4,3% pada hari ke 45-65, 3,3% pada hari ke 65-85 dan 11,5% pada hari ke 85 sampai beranak. Induk domba yang diberi pakan PK 15%, TDN 65,8% dan PK 17%, TDN 77% memiliki mortalitas anak sebesar 11,22% dan 12.5% (Nurachma, 1991).

Prediksi Produksi Susu

(17)

Income Over Feed Cost

(18)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Mulai dari bulan Februari sampai dengan Oktober yang meliputi masa perlakuan flushing, kebuntingan, hingga sapih (dua bulan).

Materi Ternak Percobaan

Ternak yang digunakan adalah domba lokal yang terdiri atas 12 ekor domba dara berumur lebih kurang 1 tahun dengan bobot badan rata-rata 19,87 ± 0,20 kg. Domba tersebut berasal dari Unit Pendidikan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J), Fakultas Peternakan IPB yang berada didaerah Jonggol, Jawa Barat. Ternak domba yang digunakan tercantum pada Gambar 1.

Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

Kandang dan Peralatan

(19)

Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain ember pakan dan ember air minum yang terbuat dari bahan plastik, termohigrometer digital untuk mengukur suhu dan kelembaban, timbangan gantung kapasitas 50 kg untuk menimbang bobot badan domba, timbangan duduk dengan kapasitas 2 kg untuk menimbang hijauan, timbangan digital untuk menimbang pakan konsentrat dan sisa pakan, serta alat USG untuk mendeteksi kebuntingan.

Ransum

Ransum yang diberikan sebesar 3% bobot badan dengan rasio hijauan:konsentrat 40:60 untuk P1 dan P2 serta 30:70 untuk P3 dengan harapan ransum mengandung TDN 65, 70, dan 75% serta iso protein yaitu 14%. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan konsentrat terdiri dari jagung, onggok, bungkil kelapa, CaCO3, DCP, garam, premix, urea, molases, dan CPO. Hijauan yang digunakan adalah rumput lapang yang diperoleh dari areal sekitar tempat penelitian. Komposisi bahan pakan yang digunakan secara lengkap tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Penelitian

(20)

Kandungan zat makanan ransum yang digunakan pada penelitian ini tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian (% BK)

Zat makanan Rumput Konsentrat

Keterangan: Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, dan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB (2011). *) NRC (1985). TDN= Total Digestible Nutrients.

Metode Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Tiga perlakuannya yaitu P1 = TDN 65% + PK 14%, P2 = TDN 70% + PK 14%, dan P3 = TDN 75% + 14%. Perlakuan ini diberikan secara acak. Empat ulangannya yaitu jumlah domba yang digunakan dalam masing-masing perlakuan. Model matematik (Steel dan Torrie, 1993) dari rancangan adalah sebagai berikut :

(21)

Prosedur Pemeliharaan

Pemeliharaan domba dilakukan selama 9 bulan dalam kandang individu. Sebelum digunakan dalam penelitian, domba ditimbang bobot badannya terlebih dahulu. Penimbangan domba dilakukan setiap satu bulan sekali untuk mengetahui perubahan bobot badan. Ransum diberikan pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan siang hari pukul 14.00 WIB dengan urutan rumput diberikan terlebih dahulu kemudian konsentrat. Ransum yang diberikan 3% dari bobot badan dan air minum diberikan secara ad libitum. Sisa ransum dihitung tiap hari dari ransum yang tersisa dalam tempat pakan dan yang tercecer di kandang.

Perlakuan

Perlakuan flushing dengan tingkat energi yang berbeda dilakukan dua minggu sebelum dikawinkan. Berdasarkan rekomendasi Robinson et al. (1999), rata-rata ovulasi meningkat apabila lamanya periode flushing sepuluh sampai empat belas hari sebelum dikawinkan. Kemudian dilanjutkan sebulan setelah kebuntingan dan sepertiga akhir kebuntingan. Perlakuan pakan yang diberikan memiliki kandungan TDN dan protein yang berbeda. Perlakuan yang diberikan sebagai berikut:

P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%

Pengawinan Domba

(22)

menggunakan alat USG (Ultra Sonografi) melalui transrektal yang dilakukan kurang lebih satu bulan setelah domba dikawinkan (Bearden et al., 2004).

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)

Konsumsi ransum dihitung dari selisih pemberian dikurangi sisa, sedangkan konsumsi ransum per ekor per hari selama penelitian diperoleh dari konsumsi total selama penelitian dibagi lama penelitian.

Konsumsi ransum (g) = pemberian (g) - sisa (g)

Konsumsi selama pemeliharaan (g/ekor) Konsumsi ransum (g/ekor/hari) =

Lama penelitian

2. Pertambahan Bobot Badan

Pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) dilakukan dengan penimbangan ternak setiap satu bulan. Penimbangan menggunakan timbangan gantung dengan kapasitas 50kg. Pertambahan bobot badan (gram/ekor/hari) diperoleh dari pertambahan bobot badan dibagi dengan lamanya pemeliharaan.

(23)

5. Jumlah Anak Sekelahiran

Jumlah anak sekelahiran dapat dihitung dari banyaknya anak yang lahir dibagi dengan banyaknya induk yang beranak dalam satu kali kelahiran.

Jumlah anak lahir Jumlah Anak Sekelahiran =

Jumlah induk beranak

6. Mortalitas

Perhitungan mortalitas dapat dilakukan dari banyaknya anak yang mati per keseluruhan anak domba yang hidup hingga sapih.

Jumlah anak mati setelah lahir hingga sapih

Mortalitas = x 100% Jumlah anak hidup setelah lahir hingga sapih

7. Bobot Lahir

Bobot lahir didapatkan dari penimbangan anak yang baru dilahirkan. Bobot lahir anak total

Bobot lahir rata-rata (kg/ekor) = Jumlah anak yang lahir

8. Bobot Sapih

Bobot sapih didapatkan dari penimbangan anak saat lepas sapih. Bobot sapih anak total

Bobot sapih rata-rata (kg/ekor) = Jumlah anak yang disapih

9. Produksi Susu

Produksi susu didapatkan dari pertambahan bobot badan selama sapih. Dove (1988) menyatakan bahwa sebanyak 6 kg susu untuk menghasilkan 1 kg

pertambahan bobot badan anak domba.

(24)

10. Income Over Feed Cost (IOFC)

Income Over Feed Cost adalah pendapatan yang didapat setelah dikurangi biaya pakan.

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Pedaging dan Kerja (kandang B), Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor adalah tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian. Kandang B terdiri dari empat bangunan, satu bangunan sebagai kantor atau untuk berbagai kegiatan yang menunjang selama penelitian dan tiga bangunan lainnya merupakan kandang domba. Penelitian ini menggunakan salah satu kandang yang didalamnya terdapat 30 kandang individu dengan masing-masing kandang individu berukuran 125x55x110 cm. Alas kandang terdiri dari kayu papan yang diatur sejajar dengan jarak antar papan kurang lebih 2cm agar kotoran dapat jatuh kebawah kandang. Setiap kandang individu dilengkapi bak pakan dan ember tempat air minum.

Suhu dan kelembaban kandang rata-rata 24,84±0,97 ºC dan 94,00±3,16%. Walaupun cukup panas, tetapi kandang memiliki sirkulasi udara yang cukup baik karena adanya atap monitor dan keempat dinding yang setengah bagian terbuka. Selama penelitian, semua domba yang digunakan mengalami pertumbuhan dengan baik. Pada saat laktasi terdapat salah satu domba yang sakit, namun kondisinya dapat membaik kembali.

Konsumsi Bahan Kering Ransum

Rataan konsumsi bahan kering konsentrat, rumput, dan ransum serta konsumsi bahan kering persen bobot badan selama penelitian secara lengkap tercantum pada Tabel 3.

(26)

Tabel 3. Konsumsi Bahan Kering Ransum Domba Induk

Rumput (g/e/h)1) 192,68±7,99A 185,06±2,27B 149,42±13,00C 175,72±23,09

Konsentrat (g/e/h)2) 377,58±34,23b 364,54±3,50b 442,88±51,60a 395,00±41,98

Ransum (g/e/h) 570,25±38,72 549,61±3,98 592,31±60,83 570,72±17,4

(%BB) 2,36 2,25 2,29 2,30

Rasio

Rumput:Konsentrat 34:66 34:66 25:75 31:69

Laktasi

Rumput (g/e/h)1) 238,54±4,48a 221,29±13,19b 173,54±7,39c 211,12±33,67

Konsentrat (g/e/h)2) 489,76±8,78b 466,13±33,58b 602,73±59,44a 519,54±73,00

Ransum (g/e/h) 728,30±13,26 687,41±46,21 776,27±55,46 730,66±36,3

(%BB) 2,67 2,76 2,78 2,74

Rasio

Rumput:Konsentrat 33:67 32:68 22:78 29:71 Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum

TDN 75%, PK 14%. 1) Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01). 2) Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Konsumsi bahan kering rumput menurun seiring dengan meningkatnya kandungan energi ransum. Sebaliknya, konsumsi bahan kering konsentrat meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan energi ransum. Hal tersebut disebabkan konsentrat diberikan terlebih dahulu dibandingkan rumput, sehingga domba mengonsumsi konsentrat untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, domba lebih menyukai konsentrat dibandingkan rumput. Hal tersebut terlihat pada rasio rumput:konsentrat yang dikonsumsi yaitu rata-rata sebesar 31 : 69 pada saat bunting dan 29 : 71 pada saat laktasi. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa ternak lebih memilih pakan yang memiliki kualitas baik.

(27)

(1999) dalam penelitiannya melaporkan bahwa ransum yang terdiri dari hijauan dengan jumlah yang rendah dan konsentrat dengan jumlah yang tinggi ternyata mampu meningkatkan konsumsi bahan kering maupun bahan segar konsentrat. Konsumsi bahan kering konsentrat P1, P2, dan P3 secara berturut-turut sebesar 377,58±34,23, 364,54±3,50, dan 442,88±51,60 gram/ekor/hari pada saat bunting serta 489,76±8,78, 466,13±33,58, dan 602,73±59,44 gram/ekor/hari pada saat laktasi. Sitepu (2011) melaporkan bahwa domba lokal yang berasal dari Jonggol pada saat bunting dapat mengonsumsi bahan kering konsentrat berkisar 311,36-325,21 gram/ekor/hari. Sementara, konsumsi bahan kering konsentrat domba ekor tipis yang sedang laktasi yang diberi pakan dengan TDN 65 dan 75% berkisar 389-562 gram/ekor/hari (Frimawaty, 1998).

Konsumsi bahan kering rumput berbanding terbalik dengan konsumsi bahan kering konsentrat. Semakin tinggi konsumsi bahan kering konsentrat, menyebabkan konsumsi bahan kering rumput menurun. Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa konsumsi konsentrat yang melebihi 320 gram/hari pada domba yang digembalakan dapat menurunkan konsumsi hijauan. Sementara itu, Forbes (2007) menyatakan bahwa tingginya propionat yang dihasilkan konsentrat dapat menurunkan kecernaan rumput, sehingga sulitnya rumput yang dicerna pada rumen menyebabkan konsumsi bahan kering rumput rendah. Konsumsi bahan kering rumput P1, P2, dan P3 secara berturut-turut sebesar 192,68±7,99, 185,06±2,27, dan 149,42±13,00 gram/ekor/hari pada saat bunting serta 238,54±4,48, 221,29±13,19, dan 173,54±7,39 gram/ekor/hari pada saat laktasi. Sitepu (2011) melaporkan konsumsi bahan kering rumput saat domba bunting yaitu berkisar 207,57-216,81 gram/ekor/hari. Sementara, konsumsi bahan kering rumput domba ekor tipis yang sedang laktasi berkisar 138,31-377,77 gram/ekor/hari (Frimawaty, 1998).

(28)

hal yang menyebabkan konsumsi bahan kering saat laktasi tinggi (Forbes, 2007). Selain itu, adanya fetus membuat volume rumen menjadi kecil sehingga menyebabkan konsumsi bahan kering menjadi terbatas (Freer dan Dove, 2002). Marai et al. (2007) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering. Suhu yang rendah dapat meningkatkan konsumsi bahan kering ransum. Pada penelitian ini, suhu lingkungan saat domba bunting rata-rata sebesar 26 oC dan pada saat laktasi rata-rata sebesar 25 oC (BMKG, 2010). Walaupun terdapat perbedaan suhu yang tidak besar, namun perbedaan suhu dapat mempengaruhi ransum yang dikonsumsi sehingga menyebabkan konsumsi bahan kering saat laktasi lebih tinggi dibandingkan saat bunting. Abdalla et al. (2003) menyatakan bahwa domba laktasi lebih tahan suhu panas dibandingkan domba bunting. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum. Konsumsi bahan kering ransum penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian (Nugroho, 2010), bahwa domba bunting yang yang digembalakan di Jonggol hanya mengonsumsi bahan kering sebesar 426,15 gram/ekor/hari pada musim kemarau dengan suhu lingkungan mencapai 32 oC. Marai et al. (2001) menyatakan bahwa domba akan mengalami stres panas yang rendah pada temperatur kurang dari 22,2 o

(29)

Pola Konsumsi Bahan Kering Ransum Domba

Pola konsumsi bahan kering domba terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering selama Pemeliharaan

Pada Gambar 2, rataan konsumsi bahan kering dari ketiga perlakuan meningkat secara perlahan dari awal hingga bulan ke-4 kebuntingan. Kemudian meningkat dengan cepat hingga bulan ke-6 (awal laktasi). Namun, pada P2 konsumsi bahan kering meningkat cepat baru dimulai pada bulan ke-5 atau setelah beranak hingga bulan ke-6. Hal ini disebabkan P2 memiliki rata-rata fetus kembar, sehingga konsumsinya terbatas. Pada akhir laktasi (bulan ke-7), konsumsi bahan kering konstan. Konsumsi yang meningkat cepat yang dimulai pada bulan ke-4 hingga bulan ke-6 disebabkan konsumsi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan fetus yang sangat cepat pada waktu tersebut (Saun, 2011) dan untuk memenuhi kebutuhan tingginya produksi susu hingga awal laktasi (Pulina, 2004). Puncak laktasi biasanya terjadi pada awal laktasi yaitu hari ke-35 laktasi (Frimawaty, 1998) atau sekitar minggu ke-3 sampai ke-4 laktasi (Poli, 1998). Konsumsi akan normal pada bulan ke-2 laktasi karena pada saat tersebut produksi susu telah menurun (Forbes, 2007).

(30)

Konsumsi Zat Makanan Ransum

Konsumsi zat makanan domba yang mendapatkan ransum penelitian secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Konsumsi Zat Makanan Induk Domba yang Mendapat Perlakuan Berbeda Selama Bunting dan Laktasi

(31)

Penampilan Reproduksi Domba Induk

Penampilan reproduksi domba induk yang mendapat ransum penelitian secara lengkap tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Penampilan Reproduksi Domba Betina yang Mendapat Ransum dengan Tingkat Energi Berbeda

(32)

Jumlah Anak Lahir

Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan lebih rendah dibandingkan jumlah fetus hasil USG (Tabel 5). Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada penelitian ini sebesar 1,5 ekor/induk. Sementara rata-rata jumlah fetus yang dihasilkan sebesar 2,22 fetus/induk. Secara keseluruhan domba belum cukup mampu untuk melahirkan anak kembar karena terdapat kematian embrio/fetus selama kebuntingan. König et al. (2006) menyatakan bahwa kelahiran anak kembar dipengaruhi oleh umur induk domba. Induk domba berumur satu tahun memiliki kemungkinan menghasilkan anak kembar rendah yaitu berkisar 10% dibandingkan induk domba yang berumur 2-3 tahun yaitu kemungkinan melahirkan anak kembar sebesar 40-50%. Hal ini disebabkan pada tahun pertama, energi yang tersedia dari makanan digunakan untuk pertumbuhan sehingga perkembangan alat reproduksi belum maksimal yang akan menurunkan kemampuan untuk menghasilkan anak kembar. Selain itu, anak yang lahir sangat dipengaruhi oleh daya hidup embrio selama di uterus. Domba lokal (berasal dari Garut, Semarang, dan Grati) memiliki rataan daya hidup embrio sebesar 85,74%, nilai tersebut dipengaruhi oleh kapasitas uterus domba yang terbatas. Domba yang memiliki laju ovulasi 2-4 memiliki kapasitas uterus sebesar 1,8-2,9 embrio. Hal ini akan menyebabkan kematian embrio selama berada didalam uterus (Inounu, 1996).

Tingkat energi ransum yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kematian fetus. Parr et al. (1987) menyatakan bahwa pemberian pakan yang berlebih pada awal kebuntingan dapat menurunkan domba yang bunting karena adanya kematian embrio, hal ini dihubungkan dengan aktivitas metabolisme di hati, pemberian pakan yang berlebih menyebabkan mmeningkatnya aliran darah pada hati sehingga terjadi pemecahan progesteron yang akan menurunkan kadar progesteron dalam darah (Parr et al., 1993).

(33)

mengandung bungkil kelapa yang lebih rendah dibandingkan dengan P1 dan P2. Whittier (2011) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penggunaan urea yaitu bahan pakan sumber karbohidrat mudah dicerna, frekuensi pemberian urea, level urea pakan, dan bahan pakan sumber protein mudah larut. Tingginya penggunaan bahan pakan sumber protein dapat meningkatkan penggunaan urea dan sebaliknya. Tingginya konsumsi protein yang mudah terdegradasi rumen dapat meningkatkan urea maupun amonia dalam darah (Canfield et al., 1990). Urea dan amonia yang tinggi dalam darah dapat menjadi racun bagi embrio (Sinclair et al., 2000) dan merusak beberapa fungsi organ reproduksi yaitu menurunkan pH uterus yang dapat menyebabkan kematian embrio (Elrod et al., 1993). Mc Evoy et al. (1997) menyatakan bahwa urea secara langsung dapat merusak kematangan oosit dan perkembangan embrio, serta secara tidak langsung mengganggu lingkungan utero-oviductal selama perkembangan zigot.

(34)

Penampilan Produksi Domba Induk Pertambahan Bobot Badan Induk

Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan (PBB) induk pada saat bunting, tetapi tidak nyata pada saat laktasi. Pertambahan bobot badan perlakuan P1 dan P3 lebih besar dibandingkan P2 masing-masing sebesar 43,49±10,9, 52,47±10,47, dan 29,45±2,58 gram/ekor/hari. Besarnya pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh tingkat konsumsi induk domba. Konsumsi induk domba yang mendapat perlakuan P3 dan P1 lebih tinggi dibandingkan P2 (592,31 dan 570,25 vs 549,61). Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa konsumsi yang tinggi selain untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, kelebihannya akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus serta organ reproduksi induk domba. Pada penelitian ini, rataan pertambahan bobot badan induk domba selama bunting yaitu sebesar 41,80±9,47 gram/ekor/hari. Wardhani (2006) melaporkan bahwa rataan pertambahan bobot badan domba lokal sebesar 47,00 gram/ekor/hari. Sudjatmogo (1998) dalam penelitiannya melaporkan bahwa pertambahan bobot badan domba ekor pipih sedang bunting yaitu berkisar 41,50-67,70 gram/ekor/hari.

Tabel 6. Penampilan Produksi Domba Induk yang Mendapatkan Tingkat Energi Berbeda

Peubah Perlakuan Rataan

P1 P2 P3

BB Awal (kg/ekor) 19,63±0,96 20,13±0,82 19,88±0,89 19,88±0,20 BB Sesaat Setelah

Melahirkan (kg/ekor) 27,88±2,66 26,83±1,04 29,63±2,06 28,11±1,15 PBB Selama Bunting

(g/e/h)1) 43,49±10,91a 29,45±2,58b 52,47±10,47a 41,80±9,47 Efisiensi Ransum Selama

Bunting1) 0,076±0,015a 0,054±0,004b 0,089±0,012a 0,073±0,017 BB Saat Sapih

(kg/ekor) 27,25±0,75 25,17±0,62 27,75±2,27 26,72±1,12 PBB Selama Laktasi

(g/e/h) -40,18±18,94 -26,79±7,87 -33,48±15,25 -33,48±5,46 Efisiensi Ransum Selama

Laktasi

(tanpa PBB anak) -0,055±0,025 -0,039±0,012 -0,044±0,023 -0,046±0,008 (dengan PBB anak) 0,154±0,017 0,156±0,040 0,150±0,022 0,154±0,003 Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum

(35)

Pada saat laktasi terjadi penurunan bobot badan. Rataan penurunan bobot badan induk domba 33,48±5,86 gram/ekor/hari. Penurunan bobot badan terjadi karena pakan yang dikonsumsi belum dapat memenuhi kebutuhan induk laktasi. Mathius (1996) melaporkan, pada domba yang sedang laktasi, perubahan bobot badan bernilai negatif. Pada periode tersebut, tingginya produksi susu tidak bisa dicukupi dari konsumsi pakan yang diberikan, maka terjadi mobilisasi lemak oleh induk domba, sehingga akan terjadi kehilangan bobot badan selama awal laktasi. Besarnya penurunan bobot badan selama awal laktasi yaitu 10-36 gram/ekor/hari.

Pola Pertumbuhan Bobot Badan Domba Induk

Pola pertumbuhan bobot badan domba induk yang mendapatkan tingkat energi berbeda terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik Pola Pertumbuhan dari Bobot Badan Induk selama Pemeliharaan

(36)

badan hingga bulan ke dua laktasi pada perlakuan P3 dipengaruhi oleh produksi susu induk yang mendapatkan perlakuan P3 masih cukup tinggi dibandingkan P1 dan P2. Hal tersebut karena perlakuan P3 menghasilkan anak tunggal dibandingkan P1 dan P2 yang cenderung menghasilkan anak kembar. Raharjo (2008) menyatakan bahwa penurunan produksi susu secara nyata lebih besar terjadi pada induk yang menghasilkan anak kembar dibandingkan anak tunggal, penurunan tersebut terjadi setelah puncak laktasi atau pada hari ke-35.

Pola Pertambahan Bobot Badan Harian Domba Induk

Pola pertambahan bobot badan harian domba induk yang mendapatkan tingkat energi berbeda terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba Induk selama Pemeliharaan

(37)

uterus, plasenta, dan membran. Sebaliknya, pada sepertiga akhir kebuntingan zat makanan diprioritaskan untuk perkembangan fetus. Forbes (2007) menyatakan bahwa meningkatnya ukuran fetus menyebabkan rongga perut mengecil dan laju aliran pakan meningkat sehingga penggunaan kapasitas energi menurun. Pada bulan pertama laktasi merupakan hal yang biasa terjadi penurunan bobot badan, karena pada awal laktasi terjadi aliran metabolit yang cepat dari darah untuk produksi susu, namun konsumsi pakan tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga terjadi mobilisasi cadangan lemak tubuh oleh induk untuk produksi susu, serta kebutuhan nutrisi untuk perbaikan organ reproduksi setelah beranak (Mathius 1996; Forbes 2007; Pulina 2004). Pertambahan bobot badan induk akan meningkat setelah puncak laktasi karena produksi susu mulai menurun, sehingga nutrisi yang ada digunakan untuk pertambahan bobot badan (Freer dan Dove, 2002).

Efisiensi Penggunaan Ransum

Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,01) terhadap efisiensi penggunaan ransum pada saat bunting, tetapi tidak pada saat laktasi. Pada saat bunting perlakuan P1 dan P3 memberikan efisiensi penggunaan ransum yang lebih tinggi dibandingkan P2 yaitu masing-masing sebesar 0,076±0,015, 0,089±0,012, dan 0,054±0,004. Efisiensi penggunaan ransum bergantung pada pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa efisiensi ransum dipengaruhi oleh genetik, kualitas pakan, suhu dan kelembaban.

(38)

Penampilan Produksi Anak

Penampilan produksi anak dari induk yang mendapatkan perlakuan ransum dengan energi yang berbeda tercantum pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tingkat energi ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap bobot lahir anak, bobot anak hari ke-28, bobot sapih anak (hari ke-56), pertambahan bobot badan anak pada hari ke 0 sampai 28 dan 29 sampai 56, serta produksi susu induk pada hari ke 0 sampai 28.

Bobot Hari Ke-28 (kg/e) 6,55±0,07 4,99±2,10 7,72±0,88 6,42±1,37

PBB Hari Ke 0-28 (g/e/h) 160,36±3,54 121,13±39,04 179,18±30,08 153,55±29,62

Produksi Susu Hari Ke

0-28 (g/e/h) 962,14±21,21 969,00±252,01 1075,07±180,45 1002,07±63,31

Keterangan: P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%.

Bobot Lahir

(39)
(40)

Bobot Sapih (Hari ke-56)

(41)

sel-sel sekretori kelenjar ambing terjadi sewaktu induk bunting atau pralaktasi, sehingga nutisi yang cukup sangat diperlukan untuk memproduksi susu.

Kematian Anak Sampai Sapih

Kematian anak setelah kelahiran yang tertinggi terjadi pada domba yang mendapat perlakuan P1 yang kemudian diikuti oleh P2, sedangkan P3 tidak ada (Tabel 8). Kematian anak terjadi pada induk yang melahirkan anak kembar. Farida (2008) menyatakan bahwa pada induk yang mengandung anak kembar akan terjadi kompetisi dalam memperoleh zat makanan, baik kompetisi antara induk dengan anak maupun antar anak yang dikandung. Terbatasnya zat makanan yang didapatkan oleh anak, membuat anak yang lahir akan memiliki kondisi yang lemah, sehingga akan menurunkan daya hidup anak serta menyebabkan kematian. Rata-rata kematian anak terjadi sesaat setelah kelahiran. Kematian anak disebabkan terdapat beberapa induk yang melahirkan anak dengan bobot lahir yang rendah (0,8-1,1kg). Inounu (1993) menyatakan bahwa untuk mendapatkan daya hidup yang tinggi maka anak domba yang dilahirkan harus memiliki bobot lahir diatas 1,5 kg.

Hubungan Bobot Lahir dengan Bobot Sapih

(42)

Gambar 5. Grafik Hubungan antara Bobot Lahir dengan Bobot Sapih

(43)

Gambar 6. Grafik Hubungan antara Produksi Susu Hari Ke 0-28 dengan Bobot Badan Anak Hari Ke-28

Perbandingan Penampilan Anak Tunggal dan Kembar

(44)

Tabel 9. Perbandingan Penampilan Anak Kelahiran Tunggal dengan Anak Kelahiran Kembar dari Induk yang Mendapat Ransum dengan Tingkat Energi Berbeda

Peubah

Tipe Kelahiran

Tunggal Kembar

Jumlah Anak 7 3

Bobot Lahir (gram/ekor) 2377,43±356,55 997,00±108,87

Bobot Badan Hari Ke-28 (gram/ekor) 7442,86±884,79 3951,66±718,33

PBB Hari Ke 0-28 (gram/ekor/hari) 180,91±23,95 105,52±29,14

Bobot Sapih (gram/ekor) 10914,29±747,06 8333,33±1059,87

PBB Hari Ke 29-56 (gram/ekor/hari) 123,98±30,98 156,48±42,53

Bobot lahir anak tunggal pada penelitian ini lebih baik dibandingkan bobot lahir anak tunggal domba Jonggol yang dipelihara secara ekstensif yaitu rata-rata sebesar 2,13 kg/ekor, sedangkan untuk bobot lahir anak kembar lebih rendah dibandingkan bobot lahir anak kembar domba Jonggol yang dipelihara ekstensif yaitu rata-rata sebesar 1,26 kg/ekor (Harahap, 2008). Hal tersebut disebabkan pada bobot lahir anak kembar penelitian ini dari tipe kelahiran kembar tiga (triplet), sedangkan bobot lahir anak kembar Harahap (2008) dari tipe kelahiran dua (duplet).

(45)

padat, sehingga kekurangan kebutuhan anak domba diperoleh dari pakan padat dan produksi air susu setelah minggu ke empat juga mulai berkurang (Mathius, 1996). Penurunan produksi susu secara nyata mulai hari ke-35 dibandingkan pada anak tunggal (Raharjo, 2008). Cepatnya penurunan produksi susu pada anak kembar disebabkan laju penyusutan ambing yang besar setelah puncak produksi susu pada anak kembar (Adriani, 1998). Bulan pertama laktasi, susu yang didapatkan anak kembar terbatas dibandingkan anak tunggal (Tomaszewska et al., 1991) dan penurunan produksi susu pada kelahiran anak kembar juga lebih cepat dibandingkan anak tunggal (Raharjo, 2008), sehingga anak kembar akan mencukupi kebutuhannya dengan mengonsumsi pakan induk. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan kompensasi. Atti dan Ben Salem (2008) menyatakan bahwa domba yang pada awal mendapat pakan terbatas kemudian mendapatkan pakan yang berlebih akan memiliki pertambahan bobot badan lebih tinggi dibandingkan domba yang pada awal mendapatkan pakan berlebih kemudian mendapatkan pakan terbatas.

Perbandingan Penampilan Anak Jantan dan Betina

Penampilan produksi anak domba berdasarkan jenis kelamin tercantum pada Tabel 10.

Tabel 10. Perbandingan Penampilan Anak Jantan dengan Anak Betina dari Induk yang Mendapat Ransum dengan Tingkat Energi Berbeda

Peubah

Jenis Kelamin

Jantan Betina

Jumlah Anak 3 7

Bobot Lahir (gram/ekor) 1903,33±678,85 1680,00±682,03

Bobot Badan Hari Ke-28 (gram/ekor) 7216,67±2352,84 6043,57±1701,14

PBB Hari Ke 0-28 (gram/ekor/hari) 189,76±60,20 155,84±49,05

Bobot Sapih (gram/ekor) 10566,67±1205,54 9957,14±1627,74

(46)

Bobot lahir anak jantan lebih baik dibandingkan bobot lahir anak betina. Bobot lahir anak jantan lebih tinggi 223,33 gram/ekor dibandingkan anak betina. Ilham (2008) menyatakan bahwa bobot lahir anak jantan domba Jonggol lebih tinggi dibandingkan bobot lahir anak betina yang masing-masing sebesar 2,43 dan 2,17 kg/ekor. Hasil penelitian lebih rendah dibandingkan yang dilaporkan Ilham (2008), disebabkan pada domba Jonggol yang dipelihara secara ekstensif cenderung menghasilkan anak tunggal sehingga akan menghasilkan bobot lahir yang lebih besar (Raharjo, 2008). Bobot lahir anak jantan lebih tinggi dibandingkan anak betina disebabkan anak jantan memiliki otot yang lebih banyak dibandingkan anak betina (Muhlhauslera et al., 2008). Hal tersebut dikarenakan anak jantan sistem hormonal dimana androgen yang muncul pada domba jantan lebih mampu meretensi N (Nitrogen) dan mengubahnya menjadi protein serta menyimpannya dalam tenunan otot dibanding betina (Swatland, 1984).

(47)

kelahiran. Muhlhausler et al. (2008) menyatakan adanya pakan energi tinggi pada periode setelah kelahiran dibutuhkan sebagai cara untuk menjaga mempercepat pertumbuhan pada anak yang memiliki bobot lahir rendah.

Income Over Feed Cost

Biaya ransum yang digunakan mulai dari flushing hingga dua bulan laktasi dan keuntungan dari produksi anak pada domba lokal yang menggunakan ransum flushing dengan tingkat energi berbeda tercantum pada Tabel 11.

Tabel 11. Nilai Ekonomi dari Pembibitan Domba Lokal yang Mendapat Ransum

Pertengahan Kebuntingan 77.064 84.844 111.673

(48)
(49)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Tingkat energi ransum belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap penampilan reproduksi induk yang mencakup jumlah fetus dan jumlah anak yang dilahirkan. Berdasarkan penampilan produksi induk, tingkat energi ransum berpengaruh nyata hanya terhadap pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum selama bunting dan tidak nyata terhadap pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum selama laktasi serta produksi susu induk. Penampilan produksi anak juga tidak nyata dipengaruhi oleh tingkat energi ransum. Berdasarkan tipe kelahiran, penampilan anak yang lahir tunggal lebih baik dibandingkan anak yang lahir kembar. Berdasarkan jenis kelamin, anak jantan memiliki penampilan lebih baik dibandingkan anak betina. Terdapat hubungan positif antara bobot lahir dengan bobot sapih dan produksi susu pada hari ke 0-28 dengan pertambahan bobot badan anak pada hari ke 0-28. Income Over Feed Cost yang dihasilkan P2 cenderung lebih tinggi dibandingkan yang lain.

Saran

(50)

PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL DAN

PENAMPILAN PRODUKSI ANAK YANG

MENDAPAT RANSUM

FLUSHING

DENGAN TINGKAT ENERGI

BERBEDA

SKRIPSI WAHYU ISMOYO

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(51)

PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL DAN

PENAMPILAN PRODUKSI ANAK YANG

MENDAPAT RANSUM

FLUSHING

DENGAN TINGKAT ENERGI

BERBEDA

SKRIPSI WAHYU ISMOYO

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(52)

PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL DAN

PENAMPILAN PRODUKSI ANAK YANG

MENDAPAT RANSUM

FLUSHING

DENGAN TINGKAT ENERGI

BERBEDA

WAHYU ISMOYO D24070276

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperolah gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(53)

Judul : Penampilan Reproduksi Domba Lokal dan Penampilan Produksi Anak yang Mendapat Ransum Flushing dengan Tingkat Energi Berbeda.

Nama : Wahyu Ismoyo NIM : D24070276

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Kukuh Budi Satoto, MS) (Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan) NIP. 19490118 197603 1 00 1 NIP. 19610914 198703 1 00 2

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M. Sc. Agr) NIP. 19670506 199103 1 00 1

(54)

RINGKASAN

WAHYU ISMOYO. D24070276. Penampilan Reproduksi Domba Lokal dan Penampilan Produksi Anak yang Mendapat Ransum Flushing dengan Tingkat Energi Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Kukuh Budi Satoto, MS.

Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan.

(55)

menggunakan analisa sidik ragam (Analyses of Variance, ANOVA) kemudian apabila ada perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Ortogonal Kontras.

Hasil menunjukkan bahwa tingkat energi ransum hanya berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan kering rumput dan konsentrat, serta pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum selama bunting. Konsumsi bahan kering ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum selama laktasi, jumlah fetus dan jumlah anak yang dilahirkan, serta bobot lahir dan bobot sapih anak tidak dipengaruhi oleh tingkat energi ransum. Penampilan produksi anak kembar lebih baik dibandingkan anak tunggal dan penampilan anak jantan lebih baik dibandingkan anak betina. Hasil analisis korelasi, nilai korelasi antara bobot lahir dengan bobot sapih yaitu sebesar 0,85 dan antara produksi susu 0-28 hari dengan bobot badan anak hari ke-28 yaitu sebesar 0,97. Income over feed cost tertinggi dihasilkan oleh perlakuan 2. Dapat disimpulkan bahwa tingkat energi ransum yang berbeda tidak mempengaruhi penampilan produksi dan reproduksi domba induk serta penampilan produksi anak.

(56)

ABSTRACT

Reproduction Performance of Local Sheep and Production Performance of Lambs Given Flushing Ration With Various Energy Content

Ismoyo, W., K. B. Satoto and K. G. Wiryawan

(57)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 12 November 1989. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara dari Bapak Mustopo dan Ibu Halimah.

Pendidikan formal penulis diawali di TK Setia Bekasi selama satu tahun (1994-1995), selanjutnya Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Duren Jaya 08 Bekasi selama enam tahun (1995-2001) dan melanjutkan di SLTP Negeri 11 Bekasi selama tiga tahun (2001-2004). Pada tahun 2004 Penulis melanjutkan pendidikan ketingkat Sekolah Menengah Atas di SMA KORPRI Bekasi dan selesai pada tahun 2007.

Pada tahun 2007, Penulis diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri.

(58)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian dan seminar serta menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Performa Reproduksi Domba Lokal yang Mendapat Ransum Flushing dengan Tingkat Energi Berbeda merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dimulai dari bulan Februari hingga Oktober 2010 di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberikan informasi mengenai penampilan reproduksi dan produksi domba lokal yang mendapat ransum dengan tingkat energi berbeda.

Penulis berharap karya ini bermanfaat secara umum dalam dunia peternakan dan khususnya dalam upaya peningkatan produktivitas domba lokal.

Bogor, Oktober 2011

(59)
(60)
(61)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

(62)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(63)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(64)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan suatu usaha dibidang peternakan tidak terlepas dari pengaruh pakan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Pakan memiliki porsi yang besar pada suatu usaha peternakan yaitu 70% dari biaya total produksi dan sisanya dipengaruhi oleh genetik ternak serta manajemen perkandangan. Pakan ternak penting sekali guna memelihara tubuh, baik untuk kebutuhan pokok hidup, reproduksi dan produksi, terutama pada ternak bunting dan laktasi (Devendra dan McLeroy, 1982). Nutrisi yang rendah pada pakan akan menyebabkan efek yang merugikan, antara lain kemunduran pertumbuhan ternak.

Peningkatan populasi ternak merupakan salah satu tujuan pada usaha peternakan untuk dapat meningkatkan profitabilitas. Saat ini pemerintah sedang berusaha menjalankan programnya yaitu Swasembada Daging 2014. Segala upaya yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas dalam negeri serta mengurangi impor daging yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Populasi ternak yang tersedia saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging, baik yang disediakan dari ternak unggas, sapi, kerbau, domba maupun kambing. Pada sisi lain populasi penduduk dari tahun ke tahun kian meningkat, yang menyebabkan kebutuhan terhadap daging juga meningkat.

(65)

mempunyai persiapan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan zat makanan bagi anak dan induk.

Flushing merupakan suatu teknik pemberian pakan dengan kadar nutrisi yang tinggi selama 2-3 mingu sebelum dikawinkan pada domba betina (Pulina, 2004). Flushing pada domba akan mengoptimalkan pada saat ovulasi sehingga akan berdampak pada meningkatnya persentase jumlah anak lahir (Freer dan Dove, 2002). Pada peternakan rakyat yang rata-rata memelihara domba lokal, flushing belum diterapkan karena keterbatasan penelitian mengenai pengaruh flushing terhadap domba lokal. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh flushing dengan pakan kadar energi tinggi pada domba lokal.

Tujuan

(66)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Domba Lokal

Domba adalah ternak ruminansia yang memiliki perut majemuk dan secara fisiologis sangat berbeda dengan ternak ruminansia yang memiliki perut tunggal seperti unggas dan babi (Tomaszewska et al., 1993). Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim tropis, makanan yang kualitasnya rendah, penyakit dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara dengan biaya rendah serta dapat beranak sepanjang tahun (FAO, 2002). Sumantri et al. (2007) menyatakan bahwa domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi sosial, ekonomis, dan budaya serta merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor. Selain itu, domba juga termasuk ternak penghasil daging yang sangat potensial (Hudallah et al., 2007), mampu mengonversi bahan pakan berkualitas rendah menjadi produk bergizi tinggi, memiliki kemampuan reproduksi yang relatif tinggi, produk sampingan berupa kulit, bulu, tulang, kotoran ternak bisa digunakan sebagai bahan baku industri (Abidin dan Sodiq, 2002).

Menurut Subandriyo et al. (1981), domba ekor tipis mempunyai fertilitas yang tinggi. Tomaszewska (1993) menyatakan bahwa walaupun domba lokal hanya mendapatkan pakan untuk hidup pokok, namun dapat mempertahankan kebuntingannya. Lama kebuntingan pada domba-domba yang akan melahirkan anak tunggal lebih lama dari domba-domba yang akan melahirkan anak kembar. Jarak beranak domba tersebut berkisar antara 7,5-12,5 bulan. Rata-rata litter size adalah 1,97 dengan rata-rata jumlah anak yang disapih 1,32.

Flushing

(67)

2011). Bearden et al. (2004) melaporkan, pada babi yang mendapatkan pakan dengan peningkatan kandungan energi delapan sampai 12 hari sebelum dikawinkan dapat meningkatkan rata-rata ovulasi berkisar 14,2-18,6. Pengaruh flushing diketahui dapat meningkatkan insulin dan insulin-like growth factor didalam ovari. Hasil tersebut dari meningkatnya respon ovari terhadap FSH dan LH serta menurunnya atresi folikel. Menurut Tillman et al. (1989), penggunaan energi tinggi akan merangsang estrus dan memiliki efek positif pada tingkat konsepsi. Schoenian (2010) menyatakan bahwa flushing dapat dilanjutkan hingga akhir musim kawin. Pengaruhnya terhadap meningkatnya daya tahan embrio selama awal kebuntingan. Pada domba merino terjadi peningkatan rata-rata ovulasi sebesar 20-30% dengan pemberian pakan sebesar 750 g/ekor/hari selama 6 hari yang mengandung protein tinggi (Oldham dan Lindsay, 1984). Penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan pakan sebesar 750 g/ekor/hari selama 9 hari dapat meningkatkan rata-rata ovulasi (Teleni et al., 1984).

Bahan Pakan Jagung

(68)

seperti K, Na, P, Ca, dan Fe. Faktor genetik sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dan sifat fungsional. Jagung dalam bentuk bijian utuh mengandung protein kasar 3,7%, lemak kasar 1%, serat kasar 86,7%, abu 0,8%, pati 71,3%, dan 0,34% dalam bentuk bahan kering (Suarni dan Widowati, 2011). Bobot lahir domba persilangan Finn dengan Awassi lebih tinggi dihasilkan oleh domba yang diberi jagung utuh dibandingkan jagung yang telah digiling. Namun, domba yang mendapat jagung giling menghasilkan litter size lebih tinggi dibandingkan jagung utuh (Landau et al., 2011).

Onggok

Onggok sebagai hasil sampingan pembuatan tepung tapioka selain harganya murah, tersedia cukup, mudah didapat, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Hasil pengolahan ubi kayu dapat menghasilkan 20-30% tepung tapioka (Prabawati dan Suismono, 2005), kemudian dari pengolahan tepung tapioka akan menghasilkan 11,4% onggok (Hidayat, 2011). Menurut Rasyid et al. (1996), onggok merupakan bahan sumber energi yang mempunyai kadar protein kasar rendah, tetapi kaya akan karbohidrat yang mudah dicerna (BETN) bagi ternak serta penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum. Onggok mengandung 1,6% protein kasar, 0,4% lemak kasar, 10,4% serat kasar, 0,8% kalsium, 0,6% fosfor, dan 2670 kkal/kg ME (Gunawan et al., 1995). Ali (2006) melaporkan bahwa semakin tinggi penggunaan onggok maka konsumsi dan kecernaan bahan kering akan semakin rendah. Supriyati (2011) menyatakan bahwa pada onggok yang terfermentasi dapat meningkatkan produksi susu dan kualitas susu. Namun, adanya asam sianida (HCN) pada onggok dapat menyebabkan rendahnya terjadinya kebuntingan, menurunkan bobot fetus, bobot lahir yang dihasilkan rendah, kematian anak yang tinggi, dan rusaknya fungsi tiroid (FSANZ, 2004).

Bungkil Kelapa

(69)

digunakan untuk ternak, namun bungkil kelapa memiliki kecernaan yang rendah. Bungkil kelapa mengandung 21,7% protein kasar, 17,1% lemak kasar, 16,2% serat kasar, 0,1% kalsium, 0,62% fosfor, 1667 kkal/kg ME, dan daya cerna bahan kering sebesar 60% (Balitnak, 2011). Aregheore (2005) menyatakan bahwa peningkatan pemberian bungkil kelapa dapat menurunkan konsumsi bahan kering, namun dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan memberikan konversi pakan yang rendah. Theodore (2010) melaporkan bahwa pemberian bungkil kelapa menghasilkan jumlah anak sekelahiran lebih baik dibandingkan pemberian bungkil inti sawit.

Garam

(70)

Premix

Premiks (bahasa latin: premix), dikenal dalam dunia peternakan sebagai bahan tambahan yang dicampurkan dalam pakan untuk meningkatkan jumlah nutrisi yang ada di dalam pakan. Asam amino, vitamin dan mineral adalah beberapa nutrisi yang sering terkandung di dalam premix. Manfaat premix dapat mengoptimalkan produktivitas, menjadikan daya tahan tubuh lebih baik, menekan stres, dan meningkatkan pertambahan berat badan. Beberapa contoh nutrisi yang terkandung di dalam premiks ialah vitamin A, C dan E yang digunakan untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Terdapat vitamin B kompleks untuk meningkatkan metabolisme tubuh (Medion, 2010).

CPO

Gambar

Gambar 1.  Ternak Domba yang Digunakan
Tabel 1.  Komposisi Bahan Pakan Penelitian
Tabel 2.  Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian (% BK)
Tabel 3. Konsumsi Bahan Kering Ransum Domba Induk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kegiatan Pembelajaran daring dengan pendekatan saintifik menggunakan metode observasi, diskusi, presentasi dan model pembelajaran discovery learning peserta didik

 Mengikuti prose&amp;ur &amp;alam memasang perangkat jaringan  Melaksanakan pengukuran !N &amp;engan sabar &amp;an teliti  Pene!&#34;#$&#34;n.  Menjelaskan

Rule yang dipilih bisa lebih dari satu sesuai dengan karakteristik data yang akan diterapkan topology.. Lihat ilustrasi

21 Ali al- Wardi, seorang cendekiawan Syi’ah Irak dan penulis beberapa buku kontroversial, termasuk Manzilat al- ‘Aql al -Basyari (Kedudukan Akal Manusia), adalah orang

Burung penguin dewasa berbulu halus tetapi sangat rapat menutup tubuhnya, hingga binatang tersebut terlindung dari hawa yang dingin. Di bagian depan warnanya

Strategi layanan BK yang dapat dilakukan untuk mengembangkan self- control siswa sekolah dasar adalah layanan dasar dengan strategi bimbingan kelompok, karena menurut

Skema jaringan penyimpanan data pusat menggunakan komputer yang sudah terinstalasi windows 7 yang ada di STIKOM Al Khairiyah sebagai tempat penyimpanan data

national anthem of the People’s Republic of China would be played on official occasions such as flag-raising and medal ceremonies (see also Xu 2008); and 2) Hong Kong started