• Tidak ada hasil yang ditemukan

DENGAN TINGKAT ENERGI BERBEDA

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Domba Lokal

Domba adalah ternak ruminansia yang memiliki perut majemuk dan secara fisiologis sangat berbeda dengan ternak ruminansia yang memiliki perut tunggal seperti unggas dan babi (Tomaszewska et al., 1993). Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim tropis, makanan yang kualitasnya rendah, penyakit dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara dengan biaya rendah serta dapat beranak sepanjang tahun (FAO, 2002). Sumantri et al. (2007) menyatakan bahwa domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi sosial, ekonomis, dan budaya serta merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor. Selain itu, domba juga termasuk ternak penghasil daging yang sangat potensial (Hudallah et al., 2007), mampu mengonversi bahan pakan berkualitas rendah menjadi produk bergizi tinggi, memiliki kemampuan reproduksi yang relatif tinggi, produk sampingan berupa kulit, bulu, tulang, kotoran ternak bisa digunakan sebagai bahan baku industri (Abidin dan Sodiq, 2002).

Menurut Subandriyo et al. (1981), domba ekor tipis mempunyai fertilitas yang tinggi. Tomaszewska (1993) menyatakan bahwa walaupun domba lokal hanya mendapatkan pakan untuk hidup pokok, namun dapat mempertahankan kebuntingannya. Lama kebuntingan pada domba-domba yang akan melahirkan anak tunggal lebih lama dari domba-domba yang akan melahirkan anak kembar. Jarak beranak domba tersebut berkisar antara 7,5-12,5 bulan. Rata-rata litter size adalah 1,97 dengan rata-rata jumlah anak yang disapih 1,32.

Flushing

Flushing adalah pemberian pakan tambahan terhadap domba induk sebelum dikawinkan untuk meningkatkan bobot badan. Pemberian pakan tambahan tersebut dapat meningkatkan rata-rata ovulasi dan tercermin dari jumlah anak per kelahiran (Bearden et al., 2004). Pulina (2004) menyarankan bahwa flushing cukup efektif dilakukan dua sampai tiga minggu sebelum induk dikawinkan. Flushing selama dua minggu dapat meningkatkan lambing rate sebesar 10-20%. (Bush dan Thompson,

2011). Bearden et al. (2004) melaporkan, pada babi yang mendapatkan pakan dengan peningkatan kandungan energi delapan sampai 12 hari sebelum dikawinkan dapat meningkatkan rata-rata ovulasi berkisar 14,2-18,6. Pengaruh flushing diketahui dapat meningkatkan insulin dan insulin-like growth factor didalam ovari. Hasil tersebut dari meningkatnya respon ovari terhadap FSH dan LH serta menurunnya atresi folikel. Menurut Tillman et al. (1989), penggunaan energi tinggi akan merangsang estrus dan memiliki efek positif pada tingkat konsepsi. Schoenian (2010) menyatakan bahwa flushing dapat dilanjutkan hingga akhir musim kawin. Pengaruhnya terhadap meningkatnya daya tahan embrio selama awal kebuntingan. Pada domba merino terjadi peningkatan rata-rata ovulasi sebesar 20-30% dengan pemberian pakan sebesar 750 g/ekor/hari selama 6 hari yang mengandung protein tinggi (Oldham dan Lindsay, 1984). Penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan pakan sebesar 750 g/ekor/hari selama 9 hari dapat meningkatkan rata-rata ovulasi (Teleni et al., 1984).

Bahan Pakan Jagung

Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman biji-bijian. Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan. Sebagai pakan ternak, jagung merupakan sumber karbohidrat. Kandungan gizi utama jagung adalah pati (72-73%), dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30% : 70-75%, namun pada jagung pulut (waxy maize) 0-7% : 93-100%. Kadar gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%. Protein jagung (8-11%) terdiri atas lima fraksi, yaitu: albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan nitrogen nonprotein. Asam lemak pada jagung meliputi asam lemak jenuh (palmitat dan stearat) serta asam lemak tidak jenuh, yaitu oleat (omega 9), linoleat (omega-6) dan linolenat (omega-3). Linoleat dan linolenat merupakan asam lemak esensial. Lemak jagung terkonsentrasi pada lembaga, sehingga dari sudut pandang gizi dan sifat fungsionalnya, jagung utuh lebih baik daripada jagung yang lembaganya telah dihilangkan. Vitamin A atau karotenoid dan vitamin E terdapat dalam komoditas ini, terutama pada jagung kuning. Selain fungsinya sebagai zat gizi mikro, vitamin tersebut berperan sebagai antioksidan alami yang dapat meningkatkan imunitas tubuh dan menghambat kerusakan degeneratif sel. Jagung juga mengandung berbagai mineral esensial,

seperti K, Na, P, Ca, dan Fe. Faktor genetik sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dan sifat fungsional. Jagung dalam bentuk bijian utuh mengandung protein kasar 3,7%, lemak kasar 1%, serat kasar 86,7%, abu 0,8%, pati 71,3%, dan 0,34% dalam bentuk bahan kering (Suarni dan Widowati, 2011). Bobot lahir domba persilangan Finn dengan Awassi lebih tinggi dihasilkan oleh domba yang diberi jagung utuh dibandingkan jagung yang telah digiling. Namun, domba yang mendapat jagung giling menghasilkan litter size lebih tinggi dibandingkan jagung utuh (Landau et al., 2011).

Onggok

Onggok sebagai hasil sampingan pembuatan tepung tapioka selain harganya murah, tersedia cukup, mudah didapat, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Hasil pengolahan ubi kayu dapat menghasilkan 20-30% tepung tapioka (Prabawati dan Suismono, 2005), kemudian dari pengolahan tepung tapioka akan menghasilkan 11,4% onggok (Hidayat, 2011). Menurut Rasyid et al. (1996), onggok merupakan bahan sumber energi yang mempunyai kadar protein kasar rendah, tetapi kaya akan karbohidrat yang mudah dicerna (BETN) bagi ternak serta penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum. Onggok mengandung 1,6% protein kasar, 0,4% lemak kasar, 10,4% serat kasar, 0,8% kalsium, 0,6% fosfor, dan 2670 kkal/kg ME (Gunawan et al., 1995). Ali (2006) melaporkan bahwa semakin tinggi penggunaan onggok maka konsumsi dan kecernaan bahan kering akan semakin rendah. Supriyati (2011) menyatakan bahwa pada onggok yang terfermentasi dapat meningkatkan produksi susu dan kualitas susu. Namun, adanya asam sianida (HCN) pada onggok dapat menyebabkan rendahnya terjadinya kebuntingan, menurunkan bobot fetus, bobot lahir yang dihasilkan rendah, kematian anak yang tinggi, dan rusaknya fungsi tiroid (FSANZ, 2004).

Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa merupakan sisa hasil ekstrasi minyak kelapa. Kandungan protein bungkil kelapa 18%, memiliki jenis protein yang berbeda persentasenya dibanding jagung, yaitu globulin 39,25%, albumin 6,64%, glutelin 15,27%, dan prolamin 38,84% (Wibowo, 2010). Sebagai sumber protein, bungkil kelapa baik

digunakan untuk ternak, namun bungkil kelapa memiliki kecernaan yang rendah. Bungkil kelapa mengandung 21,7% protein kasar, 17,1% lemak kasar, 16,2% serat kasar, 0,1% kalsium, 0,62% fosfor, 1667 kkal/kg ME, dan daya cerna bahan kering sebesar 60% (Balitnak, 2011). Aregheore (2005) menyatakan bahwa peningkatan pemberian bungkil kelapa dapat menurunkan konsumsi bahan kering, namun dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan memberikan konversi pakan yang rendah. Theodore (2010) melaporkan bahwa pemberian bungkil kelapa menghasilkan jumlah anak sekelahiran lebih baik dibandingkan pemberian bungkil inti sawit. Garam

Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Klorida (>80%) serta senyawa lainnya seperti Magnesium Chlorida, Magnesium Sulfat, Calsium Chlorida, dan lain-lain. Garam mempunyai sifat atau karakteristik higroskopis yang berarti mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 - 0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu 801 oC (Burhanuddin, 2001). Garam Natrium Klorida untuk keperluan masak dan biasanya diperkaya dengan unsur iodin yaitu padatan kristal berwarna putih, asin, dan tidak higroskopis, bila mengandung MgCl2 akan terasa agak pahit dan higroskopis (Mulyono, 2009). Klorida banyak terdapat pada plasma darah, serta banyak ditemukan dalam kelenjar pencernaan lambung sebagai asam klorida. Ion-ion klorida mengaktifkan enzim amilase dalam mulut untuk memecahkan pati yang dikonsumsi. Sebagai bagian terbesar dari cairan ekstraseluler, natrium dan klorida juga membantu mempertahankan tekanan osmotik, disamping juga membantu menjaga keseimbangan asam dan basa (Winarno, 1997). Iodium pada garam penting dalam sintesa hormon tiroksin, yaitu suatu hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan. Iodium juga sebagai pembentukan hormon kalsitonin, yang juga dihasilkan oleh kelenjar tiroid, berasal dari sel parafolikular (sel CO). Hormon ini berperan aktif dalam metabolisme kalsium, maka harus selalu tersedia iodium yang cukup dan berkesinambungan (Djokomoeljanto, 2006).

Premix

Premiks (bahasa latin: premix), dikenal dalam dunia peternakan sebagai bahan tambahan yang dicampurkan dalam pakan untuk meningkatkan jumlah nutrisi yang ada di dalam pakan. Asam amino, vitamin dan mineral adalah beberapa nutrisi yang sering terkandung di dalam premix. Manfaat premix dapat mengoptimalkan produktivitas, menjadikan daya tahan tubuh lebih baik, menekan stres, dan meningkatkan pertambahan berat badan. Beberapa contoh nutrisi yang terkandung di dalam premiks ialah vitamin A, C dan E yang digunakan untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Terdapat vitamin B kompleks untuk meningkatkan metabolisme tubuh (Medion, 2010).

CPO

CPO (Crude Palm Oil) atau minyak mentah kelapa sawit biasanya digunakan sebagai bahan bakar dasar untuk pembuatan bahan bakar biodiesel. CPO dapat digunakan untuk bahan pakan ternak sebagai bahan pakan sumber energi. Kandungan energi CPO yaitu 7800 kkal/kg (Tangendjaja dan Wina, 2011). Minyak sawit kasar (CPO/crude palm oil) yang diekstrak dari mesokarp buah sawit (Loi et al., 2010), mengandung asam lemak poli tak jenuh (polyunsaturated fatty acid

CaCO3

CaCO3 merupakan substrat anorganik yang sering digunakan aplikasi polimer antara lain sering digunakan dalam pembuatan plastik, industri pembuatan kertas, isolasi kabel, pipa fleksibel dan lainnya, selain itu CaCO3 terdapat dalam jumlah yang besar dialam dan mudah untuk mengolahnya. CaCO3 juga terdapat dalam berbagai jenis dimana jenisnya tergantung kepada bahan asal atau dasarnya, adapun jenis CaCO3 antara lain adalah jenis K yang berasal dari batu kapur dengan kemurnian 96%, jenis C berasal dari kalsit dengan kemurnian mencapai 98%, dan jenis CC yang berasal dari hasil pengendapan dengan tingkat kemurnian 98% (Rismana, 2003). CaCO3 merupakan sumber kalsium yang baik, karena dapat mencegah kehilangan kalsium. Namun, penambahan CaCO3 dapat menghambat penyerapan fosfat di usus halus karena terjadi pembentukan fosfor yang tidak larut (Mortensen dan Charles, 1996).

Dicalcium Phosphate

Dicalcium Phosphate (DCP) dapat digunakan sebagai sumber fosfor untuk pakan ternak. Fosfor berperan dalam mengatur tekanan osmotik dan semua reaksi metabolis tubuh (Casacuberta et al., 2007). Semakin tinggi pengunaan DCP dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan. Selain itu, penambahan DCP dapat meningkatkan ketersediaan fosfor yang berfungsi untuk pertumbuhan dan pembentukan tulang (El-Sherbiny et al., 2010)

Urea

Urea merupakan salah satu sumber protein bukan nitrogen (Non Protein Nitrogen) yang berbentuk kristal putih, bersifat mudah larut dalam air dan mengandung 45% unsur nitrogen yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak (Parakkasi, 1995). Nitrogen memiliki fungsi fisiologis bagi mikroorganisme yaitu sebagai bahan untuk mensintesis protein, asam nukleat, dan koenzim (Fardiaz, 1992). Penggunaan urea sebagai bahan pakan ternak dibatasi yaitu maksimal 1% dari ransum atau 5% dari konsentrat dan pemberiannya disarankan disertai dengan penambahan mineral mix (Parakkasi, 1995).

Molases

Molases dapat dipergunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan penggunaan molases untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48%-60% sebagai gula), kadar mineral cukup dan rasanya disukai ternak. Molases juga mengandung vitamin B komplex dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti Kobalt, Boron, Yodium, Tembaga, Magnesium dan Seng sedangkan kelemahannya ialah kadar kalium yang tinggi dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi terlalu banyak (Rangkuti et al., 1985).

Litter Size

Litter size atau jumlah anak sekelahiran adalah hasil dari tingkat ovulasi pada saat siklus saat mana terjadi pembuahan, dikurangi kehilangan sel telur, janin dan anak dalam kandungan. Kondisi tubuh dan kualitas pakan yang baik dapat meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan melalui peningkatan ovulasi. Kondisi tubuh dan bobot badan yang tinggi pada saat perkawinan, berakibat ovulasi yang lebih banyak dibandingkan bobot badan yang lebih ringan. Hal tersebut diistilahkan dengan pengaruh statis. Selain itu, kualitas pakan sebelum kawin dapat meningkatkan ovulasi atau dapat disebut pengaruh dinamis (Tomaszewska et al., 1993). Dimsoski et al. (1999) dan Inounu et al. (1993) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah anak sekelahiran adalah genotipe, manajemen dan interaksi antara manajemen dengan paritas induk, bangsa induk serta pertambahan bobot badan induk. Adawiyah (1993) melaporkan bahwa bertambahnya umur induk akan meningkatkan jumlah anak sekelahiran. Inounu (1996) melaporkan bahwa jumlah anak sekelahiran domba ekor tipis jawa yaitu sebesar 1,77 ekor/induk. Sementara itu, Jarmuji (2008) melaporkan bahwa jumlah anak sekelahiran pada domba Jonggol sebesar 1,27 ekor/induk.

Konsumsi

Konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan produktifitas ruminansia dan ukuran tubuh ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakan (Aregheore, 2000), karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

faktor makanan, faktor hewan, dan faktor lingkungan. Faktor makanan antara lain bentuk, bau, rasa, tekstur dan komposisi nutrien. Faktor hewan antara lain bobot badan, palatabilitas, status fisiologis dan kapasitas rumen serta faktor lingkungan antara lain suhu dan kelembaban udara (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1989), konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak, zat makanan yang dikandungnya akan digunakan ternak untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan keperluan produksi.

Nurachma (1991) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering ransum induk pada saat bunting (6 minggu menjelang kelahiran) yang diberikan rumput secara ad libitum dan konsentrat sebanyak 150, 300, 450 gram/ekor/hari secara berturut-turut 952, 1053, dan 1170 gram/ekor/hari. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrat maka konsumsi bahan kering ransum akan semakin tinggi. Sitepu (2011) dalam penelitiannya melaporkan, pemberian rumput dan konsentrat secara terpisah dengan rasio 40 : 60 menghasilkan konsumsi bahan kering rumput berkisar 207,57-216,81 gram/ekor/hari dan konsumsi bahan kering konsentrat berkisar 311,36-325,21 gram/ekor/hari.

Kebutuhan Zat Makanan Domba Reproduksi

Fungsi reproduksi pada ternak tergantung oleh beberapa perkembangan fisiologi alat-alat tubuh umumnya yang nyata dan saling terkait satu sama lain terutama alat-alat reproduksi. Makanan berperan penting dalam perkembangan umum dari tubuh dan reproduksi. Pengaruh makanan terhadap reproduksi ternak diatur melalui sistem endokrin. Kekurangan energi atau zat makanan dapat menyebabkan pengurangan hasil hormon tertentu. Hal ini dapat diperbaiki dengan penambahan hormon atau perbaikan makanan. Kekurangan ataupun kelebihan dalam pemberian makanan kepada ternak berdampak kurang baik. Pada ternak betina yang kegemukan, sel telur sering mengalami infiltrasi jaringan lemak sehingga dapat mencegah pertumbuhan dan pelepasan telur (Tillman et al., 1989).

Nutrisi berperan terhadap rata-rata ovulasi melalui cara yang berbeda-beda yaitu bobot badan dan kondisi tubuh saat dikawinkan (pengaruh statis), perubahan bobot badan dan kondisi tubuh yang terjadi 2-3 minggu sebelum dikawinkan, serta pemberian pakan tambahan 4-6 hari sebelum dan sesudah dikawinkan (pengaruh

waktu). Peningkatan konsumsi energi dan protein berperan dalam peningkatan konsentrasi insulin dan insulin growth factor (IGF) dalam darah yang berpengaruh terhadap folikel yang hubungannya dengan FSH dan LH (Pulina, 2004).

Fase Bunting

Pada dasarnya ternak membutuhkan zat makanan atau energi untuk hidup pokok dan untuk energi cadangan yang akan disimpan dalam jaringan baru dan energi untuk proses-proses metabolisme. Jaringan yang dimaksud yaitu janin, membran janin, pembesaran uterus, dan perkembangan glandula mammaria (Tillman et al., 1989). Secara langsung, nutrisi menyediakan glukosa, asam amino, vitamin, dan elemen kimia essensial. Secara tidak langsung, nutrisi dapat memodifikasi fungsi hormonal, dimana dapat meningkatkan kematangan sel telur, ovulasi, perkembangan embrio, pertumbuhan fetus, dan daya tahan anak yang lahir (Freer dan Dove, 2002).

Pada domba bunting, kebutuhan nutrisi dibutuhkan untuk perkembangan embrio dan pertumbuhan fetus melalui perbaikan kondisi uterus sebagai tempat tinggal embrio dan plasenta sebagai saluran yang menghubungkan aliran nutrisi dari induk ke anak. Kekurangan pakan yang sangat berat dapat menyebabkan beberapa kematian janin hingga 15-20 persen (Tomaszewska et al., 1993). Pulina (2004) membagi masa kebuntingan domba menjadi tiga fase, 1) fase awal kebuntingan (bulan pertama kebuntingan), dimana pada fase ini banyak terjadi kematian embrio saat implantasi di uterus. 2) fase pertengahan kebuntingan (dua sampai tiga bulan kebuntingan), pada fase ini perkembangan plasenta sangat penting karena berpengaruh terhadap bobot lahir anak. Pengaruh nutrisi terhadap perkembangan plasenta dihubungkan oleh bobot badan, skor kondisi tubuh, dan umur induk domba. 3) fase akhir kebuntingan (tiga sampai lima bulan kebuntingan), pada fase ini terjadi perkembangan fetus yang sangat cepat. Hormon plasenta laktogen yang dihasilkan oleh chorion berperan penting dalam mengalirkan glukosa dari induk untuk pertumbuhan fetus. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan pada awal kebuntingan, terutama sebelum pertautan janin merupakan saat yang paling peka oleh pengaruh luar yang mengganggu yaitu kira-kira hingga hari ke-35. Pada periode pertengahan, janin relatif tidak peka lagi terhadap pengaruh-pengaruh yang merusak dan juga terhadap makanan sebab janin masih kecil. Pada periode ketiga atau terakhir, janin tumbuh dengan cepat dan laju pertumbuhannya tergantung pada keadaan makanan

induknya. Tillman et al. (1989) mengatakan bahwa energi yang ditimbun pada jaringan selama sepertiga masa kebuntingan terakhir naik 15% dari kebutuhan untuk hidup pokok, sehingga sebelum masa tersebut standar makanan hanya untuk kebutuhan hidup pokok hewan dewasa. Ensminger (1980) menyatakan, kebutuhan energi (TDN) untuk domba bunting lebih kurang sebesar 66%.

Fase Laktasi

Laktasi adalah produksi susu oleh mammary glands, dimana dengan maksud untuk memberi makan kepada anak yang baru lahir (Bearden et al., 2004). Pada fase ini kebutuhan gizi dari siklus reproduksi mencapai tahap tertinggi. Produksi susu yang dihasilkan selama laktasi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti konsumsi pakan, bobot hidup, komposisi tubuh, potensi genetik, dan kondisi iklim. Selain itu, nutrisi selama kebuntingan memiliki hubungan yang erat terhadap produksi susu (Tomaszewska et al., 1993).

Kebutuhan domba bunting atau yang sedang laktasi membutuhkan nutrisi yang lebih banyak bila dibandingkan dengan kebutuhan induk domba yang tidak bunting atau tidak laktasi (Robinson, 1986). Kebutuhan energi induk domba, baik yang bunting maupun yang sedang laktasi sangat tinggi, maka jumlah energi yang dikonsumsi harus ditingkatkan yakni sebanyak 1,5 sampai 2 kali dari kebutuhan hidup pokok (NRC, 1985). Tillman et al. (1989) mengatakan bahwa kebutuhan zat makanan domba yang sedang laktasi dipengaruhi oleh komposisi air susu. Air susu domba mengandung energi lebih besar dibandingkan ternak lain seperti sapi dan kambing. Menurut Anggorodi (1979) domba yang bunting maupun laktasi dapat diberikan ransum yang mengandung TDN 75%. Poli (1998) dalam penelitiannya melaporkan bahwa kebutuhan TDN dan protein domba lokal saat laktasi pertama sebesar 44%-61% TDN dan 8%-15% protein dengan bobot badan berkisar 27,5-30 kg dan produksi susu hingga 600 gram.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria untuk mengukur pertumbuhan. Pertambahan bobot badan sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging. Kecepatan pertumbuhan dapat diketahui dengan melakukan penimbangan berulang

setiap hari, minggu atau bulan (Tillmann et al., 1989). Judge et al. (1989) menyatakan bahwa ternak dari satu bangsa tertentu cenderung tumbuh dan berkembang dalam suatu sifat yang khas.

Pada domba bunting, pertambahan bobot badan induk dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan fetus. Meningkatnya umur kebuntingan akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan fetus, namun laju peningkatannya menurun seiring umur kebuntingan (Sugana, 1988). Sudjatmogo (1998) melaporkan bahwa domba bunting yang diberi pakan dengan TDN 75% dan PK 15% menghasilkan pertambahan bobot badan lebih tinggi 13,56% dibandingkan yang diberi pakan TDN 65% dan PK 12%.

Pada masa laktasi, terutama pada masa awal laktasi akan terjadi penurunan bobot badan. Penurunan bobot badan terjadi saat bulan pertama laktasi, kemudian akan meningkat kembali setelah satu bulan laktasi (Freer dan Dove, 2002). Hal tersebut disebabkan pada awal laktasi aliran metabolit dari darah terjadi dengan cepat untuk produksi susu, sementara konsumsi induk tidak dapat memenuhi kebutuhan zat makanan induk sehingga penggunaan cadangan lemak tubuh akan dilakukan (Forbes, 2007). Induk domba yang mendapatkan pakan dengan TDN 65 dan 75%, puncak laktasi terjadi pada hari ke-35 laktasi (Frimawaty, 1998). Mathius (1996) melaporkan bahwa pada saat laktasi terjadi penurunan bobot badan induk domba yaitu sebesar 10-36 g/ekor/hari.

Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan merupakan nilai yang menggambarkan banyaknya pakan yang dapat diubah menjadi satuan unit produk ternak. Pakan yang mudah dicerna akan meningkatkan efisiensi pakan karena dapat meningkatkan penyerapan zat makanan untuk kebutuhan ternak (Parakkasi, 1999). Selain itu, bentuk fisik dapat mempengaruhi efisiensi, rumput yang dipotong-potong atau memiliki ukuran lebih pendek lebih efisien dibandingkan rumput yang lebih panjang (Freer dan Dove, 2002). Forbes (2007) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi pakan diantaranya adalah laju perjalanan pakan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, dan komposisi zat makanan pakan.

Bobot Lahir

Bobot lahir merupakan salah satu komponen dari penampilan reproduksi ternak. Tingkatan nutrisi selama bunting cukup berpengaruh terhadap bobot lahir (Tomaszewska et al., 1993). Anak domba jantan selalu lebih berat saat lahir dibandingkan dengan domba betina, dan bobot lahir tersebut akan berkorelasi positif dengan bobot sapih dan pertambahan bobot badan (Ramsey et al., 1994). Anak domba yang lahir tunggal selalu lebih berat dibandingkan dengan yang lahir kembar, keadaan ini dapat diduga bahwa pada masa pertumbuhan prenatal atau pertumbuhan fetus selama kandungan, dalam memperoleh makanan fetus tunggal tidak mengalami persaingan seperti yang terjadi pada anak kembar. Di lain pihak, kelahiran tunggal lebih berat daripada kelahiran kembar hanya pada anak domba jantan, tetapi pada anak domba betina tidak berbeda. Disimpulkan bahwa jumlah anak sekelahiran dan jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot lahir, pertambahan bobot badan prasapih, dan bobot sapih anak domba ekor gemuk (Suryadi, 2008). Selain itu, bobot lahir ditentukan juga oleh bobot badan induk waktu melahirkan (Pitono dan Romjati, 1992). Nurachma (1991) melaporkan bahwa rataan bobot lahir anak domba pada induk yang diberi pakan PK 15%, TDN 65,8% dan PK 17%, TDN 77% masing- masing sebesar 2,22 kg dan 2,35 kg.

Bobot Sapih

Bobot sapih ialah bobot badan anak sampai umur penyapihan. Bobot sapi merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan air susu dan kemampuan anak untuk mendapatkan air susu dan tumbuh (Hardjosubroto, 1994). Subandriyo (1996) menyatakan bahwa bobot anak saat di sapih dipengaruhi oleh tipe

Dokumen terkait