• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Temuan dan Analisis

2. Analisis dan Pembahasan

Dalam melindungi nasabah bank selaku pengguna E-Banking tentunya, menurut teori keadilan bermartabat, faktor hukum dalam jiwa bangsa (Volksgeist), yaitu peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang digambarkan di atas adalah faktor penting. Dalam kata lain perlindungan hukum bagi manusia dalam masyarakat, yaitu nasabah bank, juga perbankan itu sendiri, diatur oleh pemerintah baik dalam hukum dan peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat manifestasinya dalam putusan pengadilan, sebagaimana telah digambarkan di atas.

Selain peraturan perundang-undangan sebagai manifestasi dari jiwa bangsa menurut teori keadilan bermartabat, yang ada dalam putusan pengadilan sebagaimana dikemukakan di atas, yang menggambarkan tentang keadaan perlindungan hukum bagi nasabah bank, masih ada lagi peraturan terkait, yang menuntut bahwa pihak perbankan harus menjaga dan menjunjung tinggi martabat masyarakat/nasabahnya selaku subyek hukum. Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/7/PBI/2005 dinyatakan bahwa penyelesaian pengaduan nasabah merupakan salah satu bentuk peningkatan perlindungan nasabah dalam rangka menjamin hak-hak nasabah dalam berhubungan dengan bank. Kewajiban dari pihak perbankan harus memberikan jaminan dan tanggung jawab kepada nasabahnya jika nasabahnya mengalami permasalahan dalam transaksi E-Banking seperti cybercrime, tentunya dengan aspek kemanusiaan.

Selanjutnya, bentuk perlindungan hukum pihak perbankan terhadap nasabahnya dapat dilakukan dalam bentuk seperti penyusunan pengaduan nasabah, pemberian jaminan terhadap nasabah apabila terjadi pembajakan E-Banking nasabah, meningkatkan transparansi produk dan melakukan edukasi produk-produk dan jasa bank kepada masyarakat luas, dan kini masyarakat diuntungkan dengan hadirnya ombudsman yang dapat membantu masyarakat untuk memperjuangkan keadilan bagi nasabah itu sendiri.

Dengan adanya fakta, yang terungkap dalam putusan pengadilan yang digambarkan di atas, bahwa tergugat tidak memelihara dengan baik ATM yang berada di SPBU Raden Inten, maka secara awam orang dapat mengatakan bahwa tergugat telah melanggar hukum sesuai dengan UU informasi Transaksi Elektronik, UU No. 11 tahun 2008.33 Pembobolan rekening, yang terjadi karena tidak terpeliharanya dengan baik ATM yang digunakan nasabah dalam kasus di atas, dapat melahirkan persepsi, bahwa ada kehilangan fungsi dalam memelihara hubungan dalam fungsi intermediary bank sebagai lembaga penyimpan dan penyalur dana

33

Sebagaimana telah dikemukakan di muka, UU ini telah diubah dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lihat halaman 3 di muka. Supra, hlm., 3.

masyarakat. Hal itu selanjutnya akan mendegradasi keberadaan bank sebagai lembaga kepercayaan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang Undang No. 9 tahun 1992 jo Undang Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dimaksudkan dengan degradasi, adalah bank dapat dituding sebagai lembaga yang tidak dapat dipercaya, meskipun kasus yang dikemukakan di atas, merupakan satu kasus saja yang tidak dapat dipergunakan sebagai generalisasi.

Perlu dikemukakan kembali di sini, bahwa tergugat, dalam putusan yang digambarkan di atas, dalam hal ini adalah sebagai penyelenggara sistem elektronik karena menyelenggarakan sistem transaksi dalam layanan perbankan melalui ATM sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka (6) UU Informasi Transaksi Elektronik, UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang saat ini sudah di revisi menjadi UU No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa penyelenggaraan sistem elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat.

Dalam implementasinya, pihak/suatu bank yang menyelenggarakan layanan ATM harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan kecermatan, sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Informasi Transaksi Elektronik, UU No. 11 tahun 2008. Di sana ditentukan, bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Dengan telah terjadinya pembobolan rekening penggugat, berarti tergugat telah tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan telah tidak menyediakan sistem yang handal dan aman dalam sistem elektroniknya, dan oleh karenanya harus bertanggung jawab terhadap sistem elektronik yang diselenggarakannya sebagaimana ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU Informasi Transaksi Elektronik, UU No. 11 tahun 2008 yang menyatakan, bahwa penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem

elektroniknya. Hanya saja, dalam hal ini penyelenggara sistem elektronik dalam kasus di atas, bukan bank, namun badan alih daya, outsourcing, yang dipercayakan untuk melaksanakan fungsi perbankan.

Dianalisis dari sudut pandang keadilan bermartabat yang lainnya, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bank sebagai pihak yang memiliki otoritas penuh dalam transaksi perbankan, bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaiannya dalam melaksanakan prinsip perbankan. Oleh karenanya nasabah penggugat berhak mendapatkan ganti rugi atas dana miliknya yang hilang, yang kenyataanya selama ini telah ditolak dan diabaikan oleh tergugat. Sesuai Prinsip Pertanggungjawaban, maka perbuatan tergugat, dapat dianggap telah melalaikan prinsip perbankan dalam penyeleggaraan E–Banking dalam transaksi elektronik ATM, telah melanggar UU Perbankan, peraturan Bank Indonesia, Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik dan UU Perlindungan Konsumen. Disamping itu, karena perbuatan tersebut di atas dapat dikatakan memenuhi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menimbulkan kerugian bagi penggugat. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat tersebut memenuhi empat unsur pokok untuk dapat dimintai pertanggungjawaban hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata, yaitu adanya perbuatan, unsur kesalahan, kerugian yang diderita, dan hubungan kausalita antara kesalahan dan kerugian.

Mengenai kerugian penggugat yang dialami dalam penggunaan jasa yang terjadi seperti putusan di atas, penggugat seharusnya mendapatkan haknya berupa segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum sebagaimana telah di atur dalam pasal 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, hal itu tidak terjadi.

Akan tetapi dalam kasus di atas tergugat telah melaksanakan prinsip tanggung jawab dengan cara tergugat telah bertindak kooperatif untuk segala upaya penyelesaian

permasalahan penggugat. Majelis hakim berpendapat bahwa Tergugat juga telah melaksanakan ketentuan bahwa penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) yang diatur dalam PBI No11/11/PBI/2009 jo PBI No.14/12/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kartu (APMK) dimana penerapan prinsip kehatian-hatian dilakukan dengan memberikan batasan transaksi seperti maksimal penarikan uang, sedangkan penerapan prinsip keamanan antara lain dengan memberikan PIN pada setiap kartu ATM paling sedikit empat digit yang hanya diketahui oleh nasabah/ penggugat semata.

Dalam hal ini Tergugat menjelaskan perkara ini didukung oleh alat-alat bukti yang menentukan sehingga beralasan gugatan rekonpensi menurut tergugat dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun ada banding, kasasi dan verzet. Dalam pokok perkara hakim memutuskan bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah untuk meminta pertanggungjawaban tergugat atas hilangnya dana/uang dari rekening penggugat, akan tetapi dalil-dalil penggugat disangkal oleh tergugat, maka penggugat diharuskan untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya.

Dalam hal aspek kemanusiaan yang diterapkan dalam kasus nasabah yang menggugat Bank Mandiri, sebagaimana dikemukakan di atas dilihat dari pertimbangan hukumnya penggugat dalam hal ini sebagai nasabah yang mengalami kerugian dalam penggunaan E-Banking ditolak oleh pengadilan. Dikarenakan, jika melihat fakta yang terjadi, kerugian yang dialami oleh penggugat merupakan kelalaian dari penggugat karena penggunaan ATM dan PIN adalah rahasia penguugat dalam hal ini sebagai nasabah. Penggungat, menurut putusan sebagaimana telah dikemukakan di atas harus menanggung risiko yang sangat tinggi karena kelalaiannya dalam mematuhi hukum yang berlaku untuk berhati-hati dalam menjaga PIN yang digunakan untuk melakukan transaksi melalui sarana elektronik.

Namun demikian, karena eksepsi tergugat diterima maka pokok perkara, yaitu argumentasi penggugat yang membela dirinya tidak dipertimbangkan dan gugatan penggugat

harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard), sedangkan karena gugatan Rekonpensi ada kaitannya dengan gugatan Konpensi dan keberadaannya karena adanya gugatan Konpensi, sedangkan gugatan Konpensi dinyatakan tidak dapat diterima, maka terhadap gugatan Rekonpensi juga harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).

Dokumen terkait