• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Beracara Persamaan dan Perbedaa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Prosedur Beracara Persamaan dan Perbedaa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1. Prosedur Beracara di PTUN.

Harus diketahui terlebih dahulu bahwa penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tidak boleh langsung diajukan ke Pengadilan TUN, dan harus diselesaikan secara bertahap. Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa apabila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang kepada pejabat atau Badan Tata Usaha Negara untuk dapat menyelesaikan sengketa TUN melalui upaya administrasi, maka upaya itu harus ditempuh dahulu dan jika gagal maka baru dapat diajukan ke Pengadilan TUN.

Adapun apabila seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN yang berwenang untuk mengadilinya dengan tahapan sebagai berikut :

1) Penelitian Administrasi

Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, hal ini merupakan tahap pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta mendapat nomor register yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan membayar uang panjar perkara.

2) Proses Dismissal

Setelah Penelitian Administrasi, Ketua Pengadilan melakukan proses dismissal, yakni proses untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat layak dilanjutkan atau tidak. Pemeriksaan Disimissal dilakukan secara singkat dalam rapat permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat menunjuk seorang hakim sebagai reporteur (raportir).

Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal apabila dipandang perlu. Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :

a. Apakah penggugat sudah menempuh upaya administrasi (Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara)

b. Gugatan tidak kadaluarsa (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara)

c. Diajukan ke Pengadilan TUN secara benar (kompetensi)

d. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

(2)

f. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan TUN yang digugat

Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka kemungkinan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut. Penetapan Dismissal ditandatangani oleh ketua dan panitera/wakil panitera (wakil ketua dapat pula menandatangani penetapan dismissal dalam hal ketua berhalangan). Penetapan Ketua Pengadilan tentang dismissal proses yang berisi gugatan penggugat tidak diterima atau tidak berdasar, diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan terlebih dahulu memanggil kedua belah pihak untuk didengar keterangannya. Upaya hukum terhadap putusan penetapan ini berupa Verzet/Perlawanan (Pasal 62 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara)

3) Pemeriksaan Persiapan

Pemeriksaan persiapan dipimpin oleh hakim majelis yang sudah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan TUN. Tujuan pemeriksaan persiapan adalah untuk melengkapi gugatan yang belum jelas. Adapun tujuan khusus pemeriksaan persiapan ini adalah untuk mematangkan perkara.

Dalam pemeriksaan persiapan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Surat Edaran (SEMA No. 2 Tahun 1991) serta Juklak MARI (Juklak MARI No.052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992), (Surat MARI No. 223/Td.TUN/ X/ 1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), (Surat MARI No. 224 /Td.TUN/X/1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), majelis Hakim berwenang untuk :

a. Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari. b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan,

(3)

c. Dalam kenyataan Keputusan TUN yang hendak disengketakan itu mungkin tidak ada dalam tangan penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya, maka untuk kepentingan pembuktian ia seharusnya melampirkannya pada gugatan yang ia ajukan. Tetapi apabila penggugat yang tidak memiliki Keputusan TUN yang bersangkutan tentu tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap keputusan yang hendak disengketakan itu. Untuk itu, Hakim dapat meminta kepada Badan/Pejabat TUN yang bersangkutan untuk mengirimkan kepada Pengadilan Keputusan TUN yang sedang disengketakan itu. Dengan kata “sedapat mungkin” tersebut ditampung semua kemungkinan, termasuk apabila tidak ada keputusan yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

d. Pemeriksaan persiapan terutama dilakukan untuk menerima bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan. Dalam hal adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat diartikan sebagai replik dan duplik. Bahwa untuk itu harus dibuat berita acara pemeriksaan persiapan.

e. Mencabut “Penetapan Ketua PTUN tentang penundaan pelaksanaan Keputusan TUN” apabila ternyata tidak diperlukan.

f. Dalam tahap pemeriksaan persiapan juga dapat dilakukan pemeriksaan setempat. Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak selalu harus dilaksanakan lengkap, cukup oleh salah seorang anggota yang khusus ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.

4) Persidangan

Dalam pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara cepat (Pasal 98 dan 99 Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Adapun dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

(4)

hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan. Dalam pemeriksaan dengan acara biasa, Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa TUN dengan tiga orang Hakim, sedangkan dengan acara cepat dengan Hakim Tunggal.

b. Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan. Pemeriksaan sengketa TUN dalam persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua Sidang. Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik. Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum. Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum, namun putusan tetap diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.

(5)

Ketua Sidang diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi. Apabila pada hari penundaan sidang tersebut tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya.

d. Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawaban oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan oleh mereka masing-masing. Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim. Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim. Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui tergugat. Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan, apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan. Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok perkara.

(6)

menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materil. Alat bukti terdiri dari : Surat atau tulisan, Keterangan ahli, Keterangan saksi, Pengakuan para pihak, Pengetahuan hakim.

f. Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing

5) Putusan

Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut. Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakataan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila musyawarah majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.

Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Tidak diucapkannya putusan dalam sidang terbuka untuk umum mengakibatkan putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

2. Persamaan dan perbedaan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Perdata

a. Persamaan

1) Pengajuan gugatan

(7)

hukum acara Peradilan TUN maupun hukum acara perdata sama-sama menganut asas bahwa gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau tempat tinggal tergugat.

2) Isi gugatan

Persyaratan mengenai isi gugatan menurut hukum acara Peradilan TUN di atur dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 nomor 3 Rv. Isi gugatan pada pokoknya harus memuat, pertama, identitas para pihak (penggugat dan tergugat), kedua dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan atau yang lebih dikenal dengan sebutan fundamentum petendi atau posita (atau dasar tuntutan yag biasanya terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwanya dan bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwanya dan bagian yang menguraikan tentang hukumnya), ketiga, petitum atau tuntutan ialah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim.

3) Pendaftaran perkara

Pendaftaran perkara menurut hukum acara Peradilan TUN diatur dalam pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan dalam hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 HIR. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang baik secara kompetensi absolut maupun relatif. Dalam mengajukan gugatan, penggugat diwajibkan membayar uang muka biaya perkara. Uang muka biaya perkara ini meliputi biaya pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak, biaya taksi, biaya administrasi kepaniteraan, yang semuanya akan di perhitungkan kemudian setelah perkara diputus.

Selain itu kepada penggugat yang tidak mampu membayar biaya perkara, dibuka kemungkinan untuk mengajukan permohonan berperkara tanpa biaya. Permohonan tersebut diajukan bersamaan pada saat mengajukan gugatan yang di sertai dengan surat keterngan tidak mampu dari kepala desa atau lurah setempat. 4) Penetapan hari sidang

(8)

mempertimbangkan jarak antara tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan pengadilan tempat persidangan

5) Pemanggilan para pihak

Pemanggilan para pihak menurut hukum acara Peradilan TUN diatur dalam pasal 65 jo pasal 66 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan menurut hukum acara perdata di atur dalam pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 390 ayat (1) dan pasal 126 HIR.

Pemanggilan para pihak dilakukan setelah gugatan dianggap sempurna dan sudah di catat. Dalam hukum acara TUN, jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 (enam) hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus di periksa dengan acara cepat.

6) Pemberian kuasa

Pemberian kuasa oleh kedua belah pihak menurut hukum acara Peradilan TUN diatur dalam pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat (1) HIR.

Apabila di kehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh seorang kuasa atau beberapa orang kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum atau selama perkara diperiksa. Pemberian surat kuasa yang dilakukan sebelum perkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan pemberian suarat kuasa ini, si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan di persidangan bisa dilakukan secara lisan.

7) Adanya Hakim majelis

Pemeriksaan perkara dalam hukum acara Peradilan TUN dan hukum acara perdata dilakukan dengan hakim majelis (tiga orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota. Namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh prosedur pemeriksaan dengan hakim tunggal (unus judex). Dalam hukum acara Peradilan TUN hal ini dapat dilakukan dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 99 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

8) Adanya beberapa asas peradilan yang sama i. Persidangan terbuka untuk umum

(9)

jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Dalam hukum acara Peradilan TUN diatur dalam pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sedangkan dalam ukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat (1) HIR.

ii. Audi et alteram partem

ketentuan asas ini mengandung bahwa kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak, dan kedua belah pihak didengar dengan adil. Hakim tidak diperkenankan hanya mendengarkan atau memperhatikan keterangan salah satu pihak saja.

9) Pencabutan dan perubahan gugatan

Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan penggugat, maka akan dikabulkan hakim, apabila mendapat persetujuan tergugat (pasal 76 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan pasal 271 RV)

10) Adanya hak ingkar

Untuk menjaga obyektivitas dan keadilan dari putusan hakim, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila diantara para hakim, antara hakim dan panitera, antara hakim atau dengan salah satu pihak yang berperkara mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, atau juga hakim atau panitera mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya. 11) Pengikutsertaan pihak ketiga

Pada dasarnya di dalam suatu sengketa sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yaitu penggugat sebagai pihak yang mengatakan gugatan dan pihak tergugat sebagai pihak yang digugat oleh penggugat. Namun, ada kemungkinan selama pemeriksaan perkara berjalan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga yang membela kepentingannya.

12) Beban pembuktian

(10)

sampai dengan pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan pasal 163 jo pasal 164 HIR).

13) Pelaksanaan putusan pengadilan

Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan setelah adanya putusan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yang pelaksanaanya dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama (pasal 116 UU PTUN, pasal 195 HIR).

b. Perbedaan

1) Obyek gugatan

Objek gugatan atau pangkal sengketa TUN adalah Keputusan TUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang mengandung perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (onrechtsmatingoverheid daad), sedangkan dalam hukum acara perdata adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmating daad).

2) Subjek atau para pihak

Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN,s elalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihak tergugat (Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), sedangkan dalam hukum acara perdata tidaklah demikian.

3) Tenggang waktu pengajuan gugatan

Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 Hari.

4) Tuntutan gugatan

Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu (petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiar. Dalam hukum acara PTUN hanya dikenal satu macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar KTUN yang digugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat. 5) Rapat permusyawaratan

Dalam hukum acara perdata tidak dikenal Rapat Permusyawaratan. Dalam hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

6) Pemeriksaan persiapan

(11)

wajib memberi nasehat kepada pengugat untuk memperbaiki gugatan dalam jangka waktu 30 hari dan hakim memberi penjelasan kepada badan hukum atau pejabat yang bersangkutan.

7) Pemeriksaan acara cepat

Dalam hukum acara PTUN dikenal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), sedangkan dalam hukum acara perdata tidak dikenal pemeriksaan dengan acara cepat.

8) Sistem pembuktian

Sistem pembuktian (vrij bewijsleer) dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil (pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). 9) Erga Omnes

Dalam hukum acara PTUN, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengandung sifat erga omnes artinya berlaku untuk siapa saja dan tidak hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara, seperti halnya dalam hukum acara perdata.

10)Pelaksanaan serta merta

Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenaldalam hukum acara perdata. Ini terdapat pada pasal 115 UU PTUN. 11)Kedudukan pengadilan tinggi

Dalam hukum acara perdata kedudukan pengadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding, sehingga tiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan Negeri). Dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama.

12)Adanya Hakim ad Hoc

Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli. Dalam hukum acara PTUN diatur pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus maka ketua pengadilan dapat menujuk seorang hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis.

3. Kompetensi absolut dan pembatasannya

(12)

disebutkan dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan: ” Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di Pengadilan TUN meliputi : 1. Penetapan tertulis; 2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN; 3. Berisi tindakan hukum TUN; 4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5. Bersifat konkrit, individual dan final; 6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Keenam persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa di Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi keenam persyaratan tersebut. Selain itu, kompetensi Peradilan TUN termasuk pula ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pasal 3 UU Peratun, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu merupakan kewajibannya.

Akan tetapi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dibatasi oleh ketentuan pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 142 Undang-Undang Peradilan tersebut, sehingga Pembatasan terhadap objek sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dibedakan menjadi:

(13)

Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus sengketa dan menyelesaikan sengketa tersebut. Hal tersebut disebutkan secara tegas dalam :

a) Pasal 2 Undang-Undang Peratun yaitu :

1. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. 2. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. 3. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.

4. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-UndangUndang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana.

5. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia. 7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah,

mengenai hasil pemilihan umum. b) Pasal 49 Undang-Undang Peratun

Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dikeluarkan:

1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Pembatasan tidak langsung

Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan yang masih membuka kemungkinan bagi Pengadilan Tinggi TUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi dengan ketentuan seluruh upaya administratif yang tersedia telah ditujukan terlebih dahulu oleh Orang/ Badan Hukum Perdata. Pembatasan tidak langsung tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 yang berbunyi :

(14)

2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya adminisratif yang bersangkutan telah digunakan.

Berdasarkan pembatasan tidak langsung tersebut, jika upaya administratif (administratief beroep) yang tersedia telah ditempuh dan pihak Penggugat masih dirugikan, maka secara tegas dalam ketentuan pasal 51 ayat 3 Undang-Undang Peardilan Tata Usaha Negara yang berbunyi sebagai berikut : ”Pengadilan Tinggi Tata Usaha Ngara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.”

c. Pembatasan langsung yang bersifat sementara

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan dengan pengukuran suhu ruangan dan suhu jamu , untuk mengetahui kualitas pengeringan dan laju pengeringan pada produk jamu , dan mencoba

Kondisi demikian terjadi karena proses pergeseran budaya dari daerah yang cenderung menjadi budaya kota yang identik dengan kehidupan mall dan nongkrong, sehingga

Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian terdahulu yang menemukan bahwa pendapatan komprehensif adalah nilai yang lebih relevan pada laba bersih sehingga

Dari hasil penelitian (Gambar 3a) didapat bahwa 59% responden menyatakan kondisi drainase ITB masih cukup baik, 24% tidak baik, 16% baik dan hanya 1% yang

membukukan dana MAP dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I pada Rekening KSP/USP Koperasi. menarik dan menerima angsuran jasa/bunga serta pembayaran angsuran

Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan kadang – kadang dijumpai adanya bersin

Saran peneliti untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukan penelitian untuk meneliti dosis toksik, efek samping, dan dosis efektif, dilakukan penelitian