• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketegaran Upah Nominal Untuk Turun Sebagai Sarana Rekonsiliasi Keinginan Pekerja dan Pengusaha Selama Masa Krisis | Susanto | Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ketegaran Upah Nominal Untuk Turun Sebagai Sarana Rekonsiliasi Keinginan Pekerja dan Pengusaha Selama Masa Krisis | Susanto | Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 1 PB"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280 173

Ketegaran Upah Nominal sebagai Sarana Rekonsiliasi Hubungan Industrial

pada Masa Krisis

Nominal Wage Rigidity as a Way of Industrial Relations Reconciliation in

Crisis

Joko Susantoa,✝

a

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta

Abstract

The decreasing of worker productivity, that happened in the crisis, would be a reason for employ-er to lowemploy-er nominal wages. Howevemploy-er, the crisis also led to a reduction of workemploy-er’s real incomes due to higher inflation so the workers ask higher nominal wage to maintain their welfare. This research analysis nominal wage determination in Indonesian chemical industries during the crisis. This research uses regression analysis based on the dynamic panel data model. The results show that during the crisis, nominal wage rate is not decrease. Employer state that decline in nominal wage have a negative impact on company performance. During the crisis, downward nominal wage rigidity is a way for industrial relations reconciliation.

Keywords: Crisis; Nominal Wage; Rigidity; Reconciliation; Industrial Relations

Abstrak

Penurunan produktivitas pekerja, yang terjadi dalam masa krisis, menjadi alasan bagi pengusaha untuk menurunkan upah nominal. Sementara itu, masa krisis juga menyebabkan penurunan upah riil akibat tingginya inflasi sehingga pekerja menuntut kenaikan upah nominal guna memperta-hankan kesejahteraannya. Studi ini menganalisis penentuan upah nominal pada industri kimia dalam masa krisis. Studi ini menggunakan alat analisis regresi berdasar model data panel dinamis. Hasil studi menunjukkan bahwa selama masa krisis, tingkat upah nominal tidak mengalami penurunan. Pengusaha menyatakan bahwa penurunan upah nominal berdampak negatif pada kinerja perusahaan. Dalam masa krisis, ketegaran upah nominal untuk turun merupakan sarana rekonsiliasi hubungan industrial.

Kata kunci:Krisis; Upah Nominal; Ketegaran; Rekonsiliasi; Hubungan Industrial

JEL classifications:J30; J38

Pendahuluan

Krisis ekonomi yang dimulai dengan kenaikan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS)

terha-✝Alamat Korespondensi: Program Studi Ekonomi

Pembangunan, Fakultas Ekonomi UPN ”Veteran” Yo-gyakarta. Jl. Lingkar Utara (SWK 104 ) Condong Ca-tur, Yogyakarta 55283.E-mail:jk.susanto.68@gmail. com.

dap rupiah telah menyebabkan kenaikan harga barang impor. Di antara barang-barang yang diimpor tersebut merupakan input bagi sektor industri manufaktur (Tambunan, 2000). Kena-ikan hargainput impor menyebabkan kenaikan biaya produksi. Hal tersebut berdampak nega-tif pada kinerja industri manufaktur.

(2)

de-ngan ketergantude-ngan industri tersebut terha-dap bahan baku dan penolong (raw materials and materials) impor, pasar tujuan produk, dukungan jaringan, dan pemasarannya. Sela-ma krisis ekonomi, subsektor industri dapat mengalami tiga kemungkinan yang berbeda, yaitu (1) subsektor industri yang tidak mampu bertahan terhadap krisis ekonomi (loser); (2) subsektor industri yang mengalami penurunan output pada awal krisis ekonomi tetapi meng-alami peningkatan output pada periode beri-kutnya (survivor); dan (3) subsektor industri yang mengalami peningkatanoutput pada ma-sa krisis ekonomi (gainer) (Feridhanusetyawan et al., 2000).

Berdasarkan pengelompokan di atas, maka subsektor industri yang termasuk dalam ke-lompok loser adalah subsektor industri yang memiliki kandungan bahan baku impor ting-gi (Feridhanusetyawan et al., 2000). Salah sa-tu subsektor industri yang memiliki kandungan bahan baku impor (import content) tinggi ada-lah subsektor industri kimia di mana industri ini sangat bergantung kepada bahan baku im-por.

Nilai import content menunjukkan persen-tase bahan baku impor terhadap keseluruhan bahan baku (Alessandria et al., 2008). Suatu industri dikelompokkan menjadi industri de-ngan import content tinggi apabila 70% atau lebih bahan bakunya harus diimpor (Flatters, 2005). Berdasarkan kriteria ini, maka objek studi selanjutnya dipusatkan pada industri ki-mia yang memilikiimport content tinggi.

Kenaikan harga input impor menyebabkan kenaikan biaya produksi. Agar tidak mengala-mi kerugian, maka pengusaha menaikkan har-ga output. Kenaikan harga output akan menu-runkan jumlah output yang diminta dan ber-dampak pada penurunan penggunaan kapa-sitas terpasang. Jumlah output yang dihasil-kan relatif lebih kecil dibandingdihasil-kan kemam-puan perusahaan untuk menghasilkan output tersebut. Kondisi ini menyebabkan penurun-an produktivitas pekerja. Sementara itu, krisis

ekonomi juga menyebabkan penurunan penda-patan konsumen. Sebagai konsekuensinya, alo-kasi belanja konsumen terhadap barang sekun-der mengalami penurunan. Konsumen meng-alihkan dananya dari belanja barang sekun-der ke barang primer, di antaranya makanan (Feridhanusetyawan et al., 2000). Hal terse-but mempertajam penurunan permintaan ter-hadapoutput industri kimia.

Penurunan permintaan output menyebab-kan penurunan pemanfaatan kapasitas terpa-sang industri kimia sehingga laba yang dipe-roleh turun. Selanjutnya, penurunan laba akan menurunkan kemampuan industri kimia dalam pemberian upah kepada pekerjanya. Sementara itu, di sisi lain pekerja juga menghadapi masa-lah penurunan daya beli akibat tingginya infla-si selama masa kriinfla-sis sehingga tingkat kesejah-teraan pekerja turun. Untuk mempertahan-kan tingkat kesejahteraannya, pekerja menun-tut kenaikan upah nominal. Tunmenun-tutan kenaik-an upah menyebabkkenaik-an timbulnya perselisihkenaik-an antara pekerja dengan pengusaha. Perselisihan antara pekerja dan pengusaha mengakibatkan terganggunya kegiatan perusahaan tersebut.

Masalah hubungan industrial telah lama menjadi masalah pelik dan berkepanjangan. Ketidakserasian hubungan kerja antara peker-ja dan pengusaha banyak disebabkan oleh ke-tidakpuasan pekerja terhadap sistem pengu-pahan yang ada. Masalah hubungan industrial menjadi lebih kompleks karena beberapa per-usahaan masih menggunakan perjanjian kerja (PK), akibat belum memiliki kesepakatan kerja bersama (KKB) atau perjanjian kerja bersama (PKB).

(3)

sa-ngat terpusat dan dikendalikan penuh oleh pe-merintah pusat ke sistem yang terdesentralisasi (Feridhanusetyawan dan Pangestu, 2004).

Pengesahan undang-undang serikat pekerja memberikan kemudahan bagi pendirian seri-kat pekerja, sehingga jumlah seriseri-kat pekerja menjadi sangat banyak. Akan tetapi, kenaik-an jumlah serikat pekerja ternyata tidak dii-kuti oleh kenaikan jumlah anggota, sehingga banyak serikat pekerja yang memiliki anggota dalam jumlah relatif kecil. Kesadaran peker-ja untuk berserikat masih rendah (APINDO, 2011).

Selain itu, tidak jarang dalam suatu per-usahaan terdapat lebih dari satu serikat pe-kerja. Kerja sama antar-serikat pekerja rela-tif sulit dilakukan. Banyaknya serikat peker-ja menyebabkan pengusaha kesulitan menen-tukan serikat pekerja mana yang mewakili pe-kerja dan berhak berunding dalam penyusun-an PKB termasuk penentupenyusun-an tingkat upah. Di samping itu, banyak serikat pekerja tidak me-miliki cukup dana. Dana serikat pekerja masih banyak yang bergantung pada bantuan pihak lain, bahkan pada dana bantuan manajemen perusahaan. Hal tersebut menyebabkan perju-angan serikat pekerja menjadi tidak efektif.

Walaupun banyak serikat pekerja dengan jumlah anggota yang relatif kecil dan kebu-tuhan dana mereka bergantung pada pihak la-in (termasuk perusahaan), tetapi serikat pe-kerja mampu mengatasi gejolak pepe-kerja. Seri-kat pekerja cenderung memprioritaskan nego-siasi dan hanya menggunakan pemogokan se-bagai pilihan terakhir. Sebagian besar konflik hubungan industrial diselesaikan secara bipar-tit (melalui perundingan antara serikat peker-ja dengan pengusaha). Di samping itu, aspek-aspek hubungan industrial telah berfungsi le-bih mulus daripada yang diharapkan sehingga perselisihan antara pekerja dengan pengusaha berkurang. Serikat pekerja mulai terlibat da-lam perundingan antara pengusaha dengan pe-kerja mengenai persyaratan dan kondisi pe-kerja termasuk tingkat upah (SMERU, 2002).

Kompleksitas masalah ketenagakerjaan di Indonesia juga disebabkan faktor kelebihan jumlah pasokan tenaga kerja, yang relatif ter-hadap permintaannya (labor surplus). Kele-bihan pasokan tenaga kerja ditandai dengan kelebihan jumlah pencari kerja di atas jum-lah lapangan kerja yang tersedia (Tjiptoheri-janto, 1993). Kelebihan pasokan tenaga kerja menyebabkan rendahnya tingkat upah nomi-nal yang diterima pekerja. Pemerintah beru-paya mengatasi masalah ini dengan pemberla-kuan ketentuan upah minimum guna mening-katkan kesejahteraan pekerja (Suryahadiet al., 2003). Tingkat upah minimum ini besarnya melebihi tingkat upah pasar. Ketentuan upah minimum merupakan faktor kelembagaan dan diwujudkan dalam peraturan upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupa-ten (UMK). Kekabupa-tentuan upah minimum menga-kibatkan upah nominal yang terjadi sulit untuk turun di bawah tingkat upah minimum.

Dengan mempertimbangkan dampak terha-dap moral pekerja, maka upah nominal pekerja industri kimia sudah melebihi kebutuhan hi-dup minimum. Walaupun tingkat upah nomi-nal pekerja sektor industri kimia sudah mele-bihi UMP, tetapi menurut sebagian pekerja, tingkat upah tersebut dinilai belum memuas-kan. Hal ini dikarenakan acuan yang diguna-kan dalam penetapan UMP adalah kebutuhan hidup minimum (KHM) pekerja lajang (Sur-yahadi et al., 2003). Acuan ini menghasilkan UMP yang terlalu rendah dan dipandang ti-dak mencerminkan kondisi pekerja yang sudah berkeluarga.

(4)

da-pat menghasilkanoutput, sedangkan perusaha-an biasperusaha-anya sudah terikat perjperusaha-anjiperusaha-an dengperusaha-an pembeli untuk mengirimkan output sesuai de-ngan pesanan. Di samping itu, pemogokan juga merugikan pihak pekerja karena yang bersang-kutan bisa kehilangan mata pencaharian aki-bat pemutusan hubungan kerja (Barutu, 2003). Hal ini justru berlawanan dengan tujuan hu-bungan industrial yang berupa peningkatan ke-sejahteraan pekerja maupun pengusaha.

Upaya meminimalkan konflik pekerja dengan pengusaha merupakan pilihan terbaik. Untuk itu, perlu diperhatikan masalah kondisi ker-ja termasuk tingkat upah. Peluang terker-jadinya perselisihan sangat kecil pada perusahaan yang memiliki kondisi kerja yang baik dan memenu-hi harapan pekerja dalam hal pemberian upah, tunjangan, dan fasilitas lain (SMERU, 2002). Selanjutnya, agar dapat dicapai rekonsiliasi da-lam hubungan industrial, maka baik pekerja maupun pengusaha harus berupaya mencari ti-tik temu. Upaya ini perlu dilakukan agar kedua belah pihak tidak mengalami kerugian. Pekerja dan pengusaha harus bisa mencapai kesepakat-an tentkesepakat-ang tingkat upah nominal.

Penurunan produktivitas pekerja sebagai akibat krisis, menimbulkan kesulitan dalam pe-nentuan tingkat upah nominal. Hal ini dikare-nakan upah nominal tegar untuk turun. Ke-naikan produktivitas pekerja diikuti keKe-naikan upah nominal, tetapi penurunan produktivitas pekerja tidak diikuti penurunan upah nominal. Hasil studi Susanto (2009) yang menganalisis upah nominal pekerja produksi di bawah man-dor pada industri makanan jadi, bahan pakai-an, karet, dan plastik berdasar data sekunder menunjukkan bahwa upah nominal tegar untuk turun.

Perbedaan studi ini dengan studi Susanto (2009) terletak pada cakupan objek studi dan jenis data yang digunakan. Studi ini menga-nalisis ketegaran upah nominal untuk turun pada industri kimia. Industri kimia memili-ki kandungan bahan baku impor yang lebih tinggi daripada kandungan bahan baku impor

industri makanan jadi, bahan pakaian, karet, dan plastik. Dampak krisis pada industri ki-mia akan berbeda dengan dampak krisis pada industri makanan jadi, bahan pakaian, karet, dan plastik. Di samping menggunakan data se-kunder, studi ini dilengkapi dengan data pri-mer yang berfungsi sebagai konfirmasi kualita-tif terhadap hasil analisis kuantitakualita-tif. Studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi da-lam penyusunan sistem dan kebijakan pengu-pahan.

Tinjauan Referensi

Hubungan Tingkat Upah dan Produk-tivitas

Salah satu indikator kinerja perusahaan ada-lah produktivitas pekerja (Pernia dan Salas, 2006). Produktivitas pekerja berkaitan dengan upah nominal (Manning, 2000). Tingkat upah tinggi yang menjadikan pekerja sejahtera ha-nya dapat dipenuhi apabila ada peningkatan produktivitas yang memadai sesuai dengan ha-rapan pengusaha (Tjiptoherijanto, 1993; SME-RU, 2002). Peningkatan produktivitas pekerja menunjukkan kenaikan kontribusi pekerja da-lam menghasilkanoutput sehingga pekerja ber-hak memperoleh balas jasa lebih besar dan di-wujudkan dalam bentuk upah yang lebih ting-gi.

(5)

pekerja industri kimia menunjukkan penurun-an sumbpenurun-angpenurun-an (kontribusi) pekerja dalam pro-ses produksi. Hal ini akan menjadi alasan bagi pengusaha untuk menurunkan upah.

Sementara itu, bagi pekerja upah merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan pe-kerja dan keluarganya secara langsung. Ting-gi rendahnya upah berpengaruh langsung pada kesejahteraan hidup pekerja (Tjiptoherijanto, 1993). Penurunan upah nominal menyebabkan penurunan konsumsi pekerja. Jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli menjadi berkurang sehingga utilitas pekerja menurun. Oleh sebab itu, pekerja akan melakukan berbagai upaya agar pada saat produktivitas pekerja mengala-mi penurunan, upah nomengala-minal yang diterimanya tidak turun.

Di sisi lain, industri kimia yang terkena dam-pak krisis ekonomi berupaya mempertahankan kinerjanya. Upaya ini memerlukan kerja keras semua pihak termasuk pekerja. Pada umum-nya, pekerja industri kimia memiliki keahlian tinggi dan berpengaruh besar terhadap maju mundurnya perusahaan. Perusahaan akan ber-upaya memenuhi tuntutan pekerjanya walau-pun sedang mengalami kesulitan untuk mem-pertahankan apalagi meningkatkan pendapa-tannya. Pengusaha juga berupaya melakukan rekonsiliasi dengan pekerja guna memperta-hankan kinerja perusahaan.

Upah Efisiensi

Baik pekerja maupun pengusaha, keduanya berkaitan erat dengan kelangsungan hidup perusahaan. Namun demikian, dalam bebera-pa hal mereka memiliki perbedaan kepenting-an. Pengusaha ingin memaksimalkan laba, se-dangkan pekerja ingin memaksimalkan utilitas. Hal tersebut menyebabkan terjadinya masalah keagenan (principal agent problem). Pekerja se-bagaiagent mungkin melakukan tindakan ber-beda dengan yang diinginkan pengusaha (prin-cipal).

Pekerja mungkin saja meningkatkan leisure dengan cara malas bekerja. Untuk itu,

pengu-saha harus dapat menemukan cara untuk me-maksimalkan laba dengan menghilangkan ma-salah keagenan (McConnell et al., 2003). Pe-ngusaha dapat saja menurunkan jumlah peker-ja malas dengan melakukan pengawasan (mo-nitoring) terhadap pekerjanya dengan menggu-nakan mandor (supervisi). Akan tetapi, peng-gunaan mandor memerlukan biaya besar. Peru-sahaan tidak mungkin memperkerjakan sejum-lah mandor guna mengawasi setiap pekerja. Untuk itu diperlukan cara lain untuk memper-temukan kepentingan pengusaha dengan pe-kerja. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan cara memberikan upah tinggi bagi pe-kerjanya.

Pada beberapa perusahaan, terutama yang memperkerjakan pekerja terampil, seringkali tingkat upah yang diterima pekerja tersebut melebihi tingkat upah minimum sekaligus me-lebihi tingkat upah pasar. Tingkat upah ini di-namakan upah efisiensi (Bosworthet al., 1996). Pemikiran dasar bagi model upah efisiensi ada-lah bahwa terdapat keuntungan bagi perusaha-an dengperusaha-an memberikperusaha-an upah lebih tinggi kepa-da pekerjanya. Upah tinggi menjadikan ting-ginya biaya kehilangan pekerjaan bagi seorang pekerja. Hal tersebut menyebabkan pekerja be-kerja lebih giat. Upah tinggi dapat menurun-kan jumlah pekerja malas (Romer, 2001). Upah tinggi juga dapat meningkatkan effort dan ka-pabilitas pekerja sehingga produktivitas peker-ja meningkat. Peningkatan produktivitas pe-kerja akan menurunkan biaya tenaga pe-kerja per unit output (McConnell et al., 2003).

(6)

a-kan memberia-kan manfaat berupa laba bagi pe-ngusaha. Tingkat upah yang rendah, seringkali membuat pekerja keluar dari perusahaan, hal ini tentu juga berkaitan dengan motivasi kerja yang rendah. Ini berarti terjadi motivasi tim-bal tim-balik (reciprocity). Pekerja yang menerima upah lebih tinggi akan berpikir bahwa pengu-sahanya santun dan membalasnya dengan ke-sediaan dan motivasi untuk bekerja lebih keras.

Ketegaran Upah Nominal untuk Tu-run

Teori ekonomi untuk menjelaskan ketegaran upah nominal adalah adanya money illusion. Pelaku ekonomi dengan berbagai alasan lebih menyukai penentuan upah dalam nominal da-ripada riil. Pekerja merespons secara berbeda terhadap penurunan upah riil yang disebabkan oleh kenaikan harga dan yang disebabkan oleh penurunan upah nominal. Penurunan upah ri-il yang terjadi ketika inflasi melebihi kenaik-an upah nominal dinilaifair. Sebaliknya, penu-runan upah riil akibat penupenu-runan upah nomi-nal dinilai tidakfair. Pekerja akan menolak pe-nurunan upah nominal karena akan menurun-kan upah riilnya relatif terhadap tingkat upah umum (Froyen, 1996).

Penurunan tingkat upah tidak disukai bu-kan saja oleh pekerja tetapi juga oleh pengu-saha. Bagi pengusaha yang menerapkan prin-sip upah efisiensi (seperti pada industri kimia), maka tidak ada untungnya bila pengusaha me-nurunkan upah nominal. Upah rendah menja-dikan pekerja malas dan selanjutnya akan ber-dampak negatif bagi kinerja perusahaan. De-ngan demikian akan lebih menguntungkan ba-gi pengusaha untuk mempertahankan tingkat upah nominal. Tingkat upah nominal bersifat tegar untuk turun (Bewley, 2004).

Salah satu alasan upah nominal tegar un-tuk turun selama masa resesi adalah adanya kontrak antara pekerja dengan pengusaha. Me-lalui kontrak tersebut disepakati bahwa peru-sahaan akan mempertahankan upah nominal, kecuali terdapat hal-hal yang di luar kendali

misalnya perusahaan mengalami kebangkrutan (McConnell et al., 2003). Pertimbangan peru-sahaan untuk mengadakan kontrak karena di-rasakan lebih mahal bila pekerja di perusahaan tersebut sering berganti. Perusahaan harus me-nanggung biaya rekrutmen dan pelatihan pe-kerja baru. Perusahaan lebih suka untuk mem-perkerjakan pekerja selama waktu tertentu gu-na menghindari biaya rekrutmen dan pelatihan pekerja baru.

Teori kontrak lebih menekankan pada ting-kat upah nominal stabil daripada pengerjaan (employment) yang stabil. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa pekerja lebih menyukai upah nominal stabil daripada pengerjaan stabil. Pe-kerja merasa bahwa tidak ada untungnya bila upah nominal diturunkan. Pekerja yang meng-anggur akan menerima tunjangan pengang-guran (unemployment benefit), mencari peker-jaan baru, atau menikmati leisure (kegiatan non-kerja). Adanya kontrak antara pihak pe-kerja dengan pengusaha menentukan tingkat upah nominal tertentu dan menjadikan nego-siasi upah sulit untuk dilakukan. Upaya penye-suaian upah nominal memerlukan biaya tran-saksi. Semakin sering penyesuaian upah nomi-nal dilakukan, semakin besar pula biaya tran-saksi yang diperlukan. Adanya biaya transak-si mendorong pekerja maupun pengusaha un-tuk menggunakan kontrak jangka panjang. Ba-ik pekerja maupun pengusaha cenderung un-tuk mempertahankan kontrak yang telah di-buat. Upaya mempertahankan kontrak meru-pakan suatu bentuk rekonsiliasi antara peker-ja dan pengusaha guna menpeker-jamin keberlang-sungan perusahaan. Penurunan upah nominal merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan (kontrak) antara pekerja dengan pengusaha.

Hasil Studi Sebelumnya

(7)

fair-ness, moral pekerja, jumlah pekerja, dan in-tensitas serikat pekerja. Responden studi ini pada tahun 1991 berjumlah 179 perusahaan. Studi tersebut diulangi lagi pada tahun 1998 dengan sampel sejumlah 157 perusahaan. Res-ponden menyatakan bahwa penurunan upah nominal akan ditentang oleh para pekerja. Pe-kerja sangat memperhatikan aspekfairness da-lam pengupahan. Tindakan menurunkan upah nominal dinilai tidak adil. Hasil studi Age-ll dan Lundborg sangat mungkin dipengaruhi oleh hukum di Swedia yang membuat sulit un-tuk melakukan penurunan upah nominal. Hasil studi juga menunjukkan bahwa adanya rekon-siliasi dalam wujud hubungan yang baik antara pekerja dengan manajemen memiliki peran le-bih besar dibandingkan peran faktor upah dan pengawasan.

SMERU (2002) meneliti hubungan industrial di Indonesia setelah adanya kebebasan berseri-kat bagi pekerja (UU Nomor 21 Tahun 2000) pada berbagai perusahaan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek), Bandung, dan Surabaya. Studi ini menggunakan meto-de meto-deskriptif meto-dengan variabel mencakup seri-kat pekerja, upah minimum, PKB, dan jum-lah perselisihan industrial. Hasil studi menun-jukkan bahwa aspek-aspek hubungan industri-al lainnya di tingkat perusahaan ternyata te-lah berjalan dengan baik. Pelaksanaan bebera-pa aspek hubungan industrial di tingkat peru-sahaan, seperti pemberlakuan UMP, keberada-an serikat pekerja, dkeberada-an keberadakeberada-an PKB telah berjalan cukup baik. Serikat pekerja merupa-kan sarana efektif untuk meminimalmerupa-kan gejolak pekerja yang lebih besar, karena mereka cende-rung memprioritaskan negosiasi di tingkat per-usahaan dan hanya menggunakan pemogokan sebagai pilihan terakhir. Sebagian besar konflik hubungan industrial dapat diselesaikan secara bipartit.

Suryahadiet al. (2003) mengkaji dampak ke-naikan upah minimum pada tingkat employ-ment dengan menggunakan pendekatan eko-nometri pada berbagai lapangan usaha. Data

studi merupakan data runtun waktu (time seri-es) dengan variabel mencakup upah minimum, produk domestik bruto, dan jumlah penduduk. Hasil studi menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum berdampak negatif terhadap tingkat pengerjaan sektor formal, kecuali untuk peker-ja non-produksi. Untuk semua pelaku, elastisi-tas pengerjaan total terhadap upah minimum berkisar -0,1 dan signifikan secara statistik. Hal ini berarti setiap kenaikan upah minimum se-besar 10%, akan mengurangi sekitar 1% ting-kat pengerjaan (employment). Untuk pekerja muda, perempuan, dan berpendidikan rendah maka elastisitas pengerjaan terhadap upah mi-nimum lebih tinggi, artinya lebih rentan ter-hadap kenaikan upah minimum. Pemutusan hubungan kerja terjadi terutama pada kelom-pok pekerja tersebut. Sementara itu, pekerja non-produksi merupakan kelompok yang diun-tungkan dari kenaikan upah minimum. Elas-tisitas pengerjaan pekerja non-produksi terha-dap upah minimum bernilai positif. Hal ini ber-arti bila terjadi kenaikan upah minimum, ma-ka ama-kan terjadi penggantian pekerja produk-si dengan pekerja non-produkproduk-si, sehingga ting-kat pengerjaan pekerja non-produksi mengala-mi kenaikan.

(8)

tingkat inflasi tinggi, upah nominal cenderung naik agar nilai riil upah tidak mengalami pe-nurunan. Perusahaan dapat menurunkan biaya tenaga kerja dengan cara menurunkan tunjang-an.

Holden dan Wulfsberg (2007) meneliti kete-garan upah nominal untuk turun pada bebera-pa industri manufaktur di negara-negara Orga-nisation for Economic Co-operation and Deve-lopment (OECD) selama tahun 1973–1999. Va-riabel studi mencakup intensitas serikat peker-ja dan tingkat pengangguran. Sementara itu, alat analisis studi menggunakan ekonometri de-ngan data runtun waktu dan metode estimasi OLS. Hasil analisis menunjukkan bahwa upah nominal bersifat tegar untuk turun. Faktor te-kanan serikat pekerja dan ketatnya undang-undang perlindungan tenaga kerja di negara-negara OECD menjadikan upah nominal tegar untuk turun. Pada saat pengangguran rendah, upah nominal akan semakin tegar untuk turun. Dohmen et al. (2008) meneliti perkembang-an tingkat upah nominal pada perusahaperkembang-an- perusahaan-perusahaan manufaktur di Rusia selama kri-sis keuangan (1997–2002). Studi ini mengguna-kan alat analisis deskriptif dan ekonometri run-tun waktu dengan metode estimasi OLS. Varia-bel studi meliputi masa kerja, umur dan status pekerja, tingkat pendidikan pekerja, serta sta-tus pekerjaan. Hasil studi menunjukkan bahwa selama krisis keuangan, perusahaan tidak me-nurunkan upah nominal karena akan mengaki-batkan pekerja keluar dari perusahaan. Walau-pun perusahaan dapat menghindari penurunan upah nominal, tetapi tidak mampu menghinda-ri penurunan upah menghinda-riil akibat inflasi.

Susanto (2009) menguji ketegaran upah no-minal pekerja produksi di bawah mandor pada industri besar dan sedang makanan jadi, bahan pakaian, karet, dan plastik. Studi ini menggu-nakan data sekunder dari Badan Pusat Statis-tik (BPS) yang tercantum pada publikasi Sta-tistik Upah 1997 sampai denganStatistik Upah 2005. Data studi mencakup upah nominal pe-kerja produksi di bawah mandor, produktivitas

pekerja, dan intensitas modal. Studi ini meng-gunakan alat analisis regresi dengan metode es-timasi OLS. Hasil studi menunjukkan bahwa penurunan produktivitas pekerja tidak menga-kibatkan penurunan upah pokok pekerja pro-duksi di bawah mandor, sehingga pokok pe-kerja produksi tegar untuk turun. Sementara itu, penurunan produktivitas pekerja berdam-pak pada penurunan upah lembur pekerja pro-duksi di bawah mandor.

Metode

Studi ini menggunakan data Statistik Indus-tri 1997 sampai denganStatistik Industri 2006 yang dipublikasikan BPS. Dalam periode ini terjadi krisis ekonomi yang ditandai oleh rela-tif rendahnya pemanfaatan kapasitas terpasang sektor industri, termasuk industri kimia diban-dingkan kapasitas terpasang periode sebelum-nya. Sementara itu setelah tahun 2006 peman-faaatan kapasitas terpasang sudah mengala-mi kenaikan sebagaimana kapasitas terpasang periode sebelum krisis. Studi ini menganalisis upah nominal pekerja produksi. Hal ini dike-ranakan sebagian besar pekerja industri kimia adalah pekerja produksi.

Data studi mencakup upah nominal dan pro-duktivitas pekerja produksi. Sementara itu, da-ta upah minimum provinsi diambil dari pu-blikasi Kementerian Tenaga Kerja dan Trans-migrasi1. Selanjutnya, data sekunder ini di-lengkapi dengan data primer sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang tidak da-pat diperoleh dari data sekunder. Data pri-mer diperoleh melalui wawancara dengan me-nelepon kepada pejabat (direktur atau mana-jer) pada perusahaan kimia yang menjadi res-ponden. Wawancara dilakukan kepada direktur atau manajer karena materi wawancara terka-it dengan kebijakan perusahaan. Lokasi peru-sahaan kimia yang menjadi sampel penelitian tersebar di berbagai daerah mulai dari

(9)

ten, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Lokasi perusahaan yang tersebar dan keterba-tasan waktu dari direktur dan manajer menjadi kendala untuk melakukan wawancara langsung dengan menemui pejabat tersebut. Untuk itu wawancara dilakukan melalui telepon.

Sampel yang diambil untuk studi ini pada mulanya sejumlah 30 perusahaan kimia yang termasuk dalam 8 industri kimia (KLUI 5 di-git) yang menjadi objek studi ini. Akan tetapi, sampai dengan studi ini ditulis, hanya sejumlah delapan perusahaan kimia yang bersedia diwa-wancarai. Sebagian perusahaan tidak bersedia diwawancarai dan lainnya meminta penunda-an. Dengan demikian, data primer dari dela-pan perusahaan kimia tersebut adalah jumlah maksimum yang dapat diperoleh dan merupa-kan konfirmasi kualitatif terhadap hasil analisis kuantitatif.

Berikut ini dijelaskan definisi operasional da-ri masing-masing vada-riabel:

Upah nominal pekerja produksi (W)

adalah keseluruhan pengeluaran upah un-tuk pekerja produksi pada industri besar dan sedang kimia dibagi jumlah pekerja produksi pada industri tersebut. Satuan yang digunakan adalah ribu rupiah per pe-kerja.

Produktivitas pekerja (Y)adalah nilai ri-il barang yang dihasri-ilkan oleh industri be-sar dan sedang kimia dibagi jumlah pe-kerja pada industri tersebut. Satuan pro-duktivitas pekerja adalah ribu rupiah per pekerja. Dalam studi empiris, konsep pro-duk rata-rata sebagai proksi bagi propro-duk- produk-tivitas pekerja lebih banyak digunakan da-ripada konsep produk marjinal. Selanjut-nya diasumsikan bahwa produk rata-rata pekerja mencapai nilai maksimum sehing-ga nilai produk rata-rata pekerja sama de-ngan nilai produk marjinal pekerja.

Upah Minimum Provinsi (UPMIN) ada-lah rata-rata upah minimum provinsi yang berlaku di provinsi tempat perusahaan ki-mia berlokasi. Untuk variabel ini

diberi-kan bobot jumlah perusahaan di tiap-tiap provinsi.

Variabel upah dinyatakan dalam nilai no-minal, sedangkan untuk variabel produktivitas pekerja digunakan nilai riil. Pengenaan nilai nominal pada variabel upah dikarenakan stu-di ini mengkaji ketegaran upah nominal. Se-mentara itu, produktivitas pekerja merupakan ukuran jumlah output yang dapat dihasilkan setiap pekerja. Penggunaan nilai riil pada va-riabel produktivitas pekerja lebih tepat karena dapat menunjukkan jumlahoutput riil yang di-hasilkan setiap pekerja.

Dalam studi ini, cakupan kelompok industri dibatasi pada industri kimia dengan kandung-an bahkandung-an baku impor tinggi. Hal ini dikarena-kan krisis moneter adikarena-kan berdampak pada ki-nerja industri yang memiliki kandungan ba-han baku impor tinggi. Subsektor industri ki-mia yang diteliti mencakup kelompok industri berikut: (1) kimia dasar anorganik khlor dan alkali; (2) kimia dasar anorganik gas industri; (3) kimia dasar anorganik pigmen; (4) kimia dasar anorganik yang tidak diklasifikasikan di tempat lain; (5) kimia dasar organik, bahan ba-ku zat warna dan pigmen; (6) kimia dasar or-ganik bersumber minyak bumi, gas bumi, dan batu bara; (7) kimia dasar organik yang meng-hasilkan bahan kimia khusus; serta (8) damar buatan dan bahan plastik.

Studi ini mengamati dampak perubahan produktivitas pekerja terhadap tingkat upah nominal pekerja produksi pada beberapa sub-sektor industri kimia selama kurun waktu 1997–2006 sehingga dilakukannya observasi terhadap sejumlah objek (industri) selama be-berapa periode. Sehingga berbentuk data panel yang merupakan gabungan dari data belah si-lang dan runtun waktu. Data panel memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut (Baltagi, 2003):

(10)

dan waktu, sedangkan data runtun wak-tu dan belah silang tidak mampu. Swak-tudi berdasarkan data runtun waktu dan belah silang tidak dapat mengontrol heterogeni-tas sehingga hasil yang diperoleh bias. 2. Data panel lebih banyak memberikan

in-formasi, variabilitas, derajat kebebasan (degree of freedom), dan mengurangi ko-linieritas antar-variabel.

3. Data panel lebih mampu untuk menga-mati dinamika penyesuaian. Estimasi de-ngan data belah silang dapat mengesti-masi kondisi variabel pada saat tertentu. Apabila estimasi belah silang diulang, ma-ka dapat menunjukma-kan bagaimana kondi-si tersebut berubah sepanjang waktu pe-ngamatan. Dengan data panel yang ber-perspektif panjang, perubahan-perubahan tersebut dapat diamati sehingga kecepat-an penyesuaikecepat-an ekonomi dapat diikuti per-kembangannya.

4. Data panel mampu mengidentifikasi dan mengukur dampak yang tidak terdeteksi dalam data runtun waktu dan belah silang murni.

5. Data panel memungkinkan untuk memba-ngun dan menguji model perilaku secara lebih lengkap daripada data runtun waktu dan belah silang murni. Pada model yang mengandung variabel senjang, dapat dila-kukan pembatasan dan restriksi yang lebih sedikit.

6. Data panel diperoleh dari unit mikro mi-salnya individu perusahaan. Banyak vari-abel yang dapat diukur dengan lebih tepat pada tingkatan mikro sehingga bias karena agregasi beberapa perusahaan dapat diku-rangi.

Model Ketegaran Upah Nominal un-tuk Turun

Mengacu pada hubungan antara upah dengan produktivitas, dapat dibangun model berikut.

Wt✏b0 b1Yt b2DU MtYt ut (1)

dengan:

W : upah nominal pekerja; Y : produktivitas pekerja;

DU M : variabel dummy. Variabel DU M ber-nilai 1 bila produktivitas pekerja turun dan bernilai 0 untuk yang lain.

Sementara itu, b1 dan b2 adalah koefisien yang merepresentasikan respons terhadap upah nominal dari produktivitas pekerja dan perka-lian produktivitas pekerja dengan suatu varia-bel dummy (DU M). Tanda koefisien yang di-harapkan dari Persamaan (1) adalahb1 →0 dan b2 ➔0.

Studi ini menggunakan analisis regresi da-ta panel berdasarkan model koreksi kesalahan (Error Correction Model/ECM). Model korek-si kesalahan ECM memiliki keseimbangan yang tetap dalam jangka panjang antar-variabel-variabel ekonomi. Apabila dalam jangka pen-dek terdapat ketidakseimbangan, maka ECM akan melakukan koreksi pada periode beri-kutnya. Mekanisme koreksi kesalahan meru-pakan penyelaras perilaku jangka pendek dan jangka panjang. Melalui mekanisme ini, ma-salah regresi lancung dapat dihindari dengan penggunaan variabel-variabeldifference, tanpa menghilangkan informasi jangka panjang aki-bat penggunaan data difference.

(11)

ekonomi menuju keseimbangan. Kemampuan ECM melakukan koreksi dari ketidakseimbang-an jketidakseimbang-angka pendek menuju keseimbketidakseimbang-angketidakseimbang-an jketidakseimbang-ang- jang-ka panjang, mendorong dilakujang-kannya berba-gai studi empiris untuk membuktikan fenome-na yang terjadi dengan teori yang mendasari.

Studi ini menganalisis ketegaran upah nomi-nal untuk turun pada industri kimia. Berda-sarkan Persamaan (1) dilakukan pembentukan model dinamis dengan memasukkan lag, baik pada variabel sisi kanan maupun sisi kiri persa-maan. Dengan memasukkan variabel upah mi-nimum (U P M IN) dan unsur koreksi kesalah-an, diperoleh model ketegaran upah nominal untuk turun.

i : macam industri kimia (unit belah silang); t : dimensi waktu.

W : upah nominal pekerja produksi; Y : produktivitas pekerja;

DU M : variabeldummy;

U P M IN : upah mininum provinsi;

ECT :Error Correction Term (unsur koreksi kesalahan).

Model regresi data panel berbeda dengan re-gresi berdasarkan data runtun waktu maupun belah silang yang tercermin dari efek indivi-dual ditunjukkan oleh intersep yang bersifat konstan selama periode t dan spesifik untuk setiap unit belah silang i. Dalam regresi data panel terdapat dua model dasar yaitu model fi-xed effects(FE) danrandom effects(RE). Pada model FE, maka intersep diasumsikan spesifik untuk setiap unit belah silang.

Perbedaan antar-unit belah silang ditun-jukkan oleh perbedaan intersep. Untuk sejum-lah N unit belah silang, maka akan terdapat sejumlah N intercept. Masing-masing intersep tersebut tidak berubah-ubah menurut waktu (time invariant), sedangkanslope (koefisien re-gresi) tidak berbeda antar-unit belah silang dan antar-waktu.

Sementara itu, dalam model RE, maka in-tersep αterdistribusi secara acak untuk setiap unit belah silang. Dalam model ini diasumsikan bahwa unit-unit belah silang memiliki nilai in-tersep yang seragam (common)α, tetapi secara individu terdapat perbedaan intersep yang ter-cermin dari error term εi. Komponen

kesalah-anεi menunjukkan deviasiintercept individual

secara acak dari nilai rata-ratanya.

Kesalahan dalam memilih model yang benar akan berdampak pada kesalahan interpretasi. Penggunaan variabel dummy yang begitu ba-nyak dalam model FE akan berdampak pada berkurangnya degree of freedom. Berdasarkan pertimbangan ini, maka model RE memiliki ke-unggulan. Akan tetapi, model FE juga memili-ki keunggulan lain. Pada model FE, tidak perlu justifikasi guna memperlakukan efek individual yang tidak berkorelasi dengan variabelvariabel bebas sebagaimana diasumsikan dalam model RE. Konsistensi pada model RE berkurang bila beberapa variabel berkorelasi dengan efek indi-vidual (Greene, 2000).

Asumsi dalam model regresi adalah bahwa E♣uit④xitq ✏0. Residualuitdimungkinkan

ber-korelasi dengan xit, misalnya dalam estimasi

fungsi pendapatan,uityang menunjukkan

pen-dapatan yang tidak terobservasi mungkin ber-korelasi dengan tingkat pendidikan sebagai va-riabel regressor. Dalam kasus ini, E♣uit④xitq ✘ 0 dan estimasi GLS ( ˆβRE) menjadi bias dan

tidak konsisten. Sementara estimasi dengan transformasi Within menghapus ui sehingga

˜

βF E tidak bias dan konsisten. Baltagi (2003)

menganalisis perbandingan antara ˆβRE dan

˜

βF E. Keduanya akan menghasilkan estimator

(12)

tidak ditolak. Koefisien ˜βF E akan tetap

kon-sisten baik jika hipotesis nol ditolak maupun tidak ditolak. Koefisien ˆβRE merupakan

esti-mator yang Best Linear Unbiased Estimator (BLUE), konsisten, dan efisien jika hipotesis nol E♣uit④xitq ✏ 0 tidak ditolak, tetapi akan merupakan estimator yang tidak konsisten jika hipotesis nolE♣uit④xitq ✏0 ditolak.

Untuk menguji model yang unggul apakah model FE ataukah RE, maka dilakukanlah uji Hausman. Pengujian Hausman dilakukan ber-dasar perbedaan dari ˜βF E dan ˆβRE, dengan

hi-potesis nol ˆβF E✁β˜RE ✏0, berarti kedua

mo-del estimasi tidak berbeda. Uji Hausman akan menguji hipotesis yang menyatakan efek indi-vidual berkorelasi dengan variabel-variabel be-bas. Apabila efek individual berkorelasi dengan variabel-variabelregessor, maka melanggar sa-lah satu asumsi Gauss-Markov sehingga model yang dipilih adalah FE. Untuk Σ digunakan ko-varian matriks darislope estimator pada model FE (estimator konsisten) dan RE (estimator efisien) di luar konstanta. Uji Hausman akan mengikuti distribusi menurut Chi-Square de-ngan derajat kebebasan sesuai jumlah variabel bebas (k). Apabila nilai m lebih kecil daripa-da χ2 pada derajat keyakinan tertentu, maka model yang dipilih adalah RE. Sebaliknya, bi-la nibi-laim lebih besar daripadaχ2 maka model yang pilih adalah FE.

Hasil dan Analisis

Salah satu konsep penting dalam teori ekono-metri adalah anggapan stasioneritas variabel-variabel yang akan diestimasi. Data yang sta-sioner memiliki kecenderungan untuk kembali menuju nilai rata-ratanya. Sementara itu, da-ta yang non-sda-tasioner tidak memiliki kecen-derungan untuk kembali menuju nilai rata-ratanya. Apabila dua atau lebih variabel tidak stasioner, maka regresi yang menggunakan da-ta tersebut menghasilkan estimator yang bias dan tidak konsisten.

Untuk mengetahui apakah variabel yang

di-observasi tidak stasioner atau stasioner, digu-nakan uji akar-akar unit. Data studi ini meru-pakan data panel sehingga dilakukan uji akar-akar unit berdasar data panel. Berbagai litera-tur menunjukkan bahwa uji akar-akar unit de-ngan data panel memiliki kekuatan lebih tinggi daripada uji akar-akar unit pada data runtun waktu. Pengujian akar-akar unit dalam studi ini menggunakan model Im et al. (2003). Pe-ngujian akar-akar unit Im memiliki small sam-ple properties yang lebih baik daripada pengu-jian Levin dan Lin pada saat N melebihi T. Hasil simulasi Monte Carlo yang dilakukan oleh Im et al. (2003) menunjukkan bahwa uji t-bar dari model yang dihasilkannya lebih baik di-bandingkan model yang dikemukakan oleh Le-vin dan Lin.

Pengujian akar-akar unit model Im et al. (2003) memperhitungkan intersep, sedangkan untuk tren linier bisa diperhitungkan dalam pe-ngujian maupun tidak. Berdasarkan hasil simu-lasi Monte Carlo menunjukkan bahwa pengu-jian akar-akar unit dengan memperhitungkan tren linier cenderung memiliki kekuatan uji yang lebih rendah untukT dan N kurang dari 25 (Im et al., 2003; Moon et al., 2005). Un-tuk itu, pengujian akar-akar unit dalam studi ini dilakukan dengan memasukkan intersep sa-ja tanpa memasukkan tren linier.

Hasil uji akar-akar menunjukkan bahwa vari-abel upah pekerja produksi (W) stasioner pada level, sedangkan variabel produktivitas peker-ja (Y) dan upah minimum provinsi (U P M IN) tidak stasioner pada level. Untuk itu, uji akar-akar unit perlu dilanjutkan dengan uji derajat integrasi. Selanjutnya, hasil uji derajat integra-si menunjukkan bahwa seluruh variabel memi-liki statistika t bertanda negatif dengan nilai mutlak melebihi nilai kritis. Dengan demikian seluruh variabel telah stasioner pada derajat integrasi pertama (Tabel 1).

(13)

Tabel 1:Hasil Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi

Variabel Aras (level) Differensi Pertama

t-statistik Nilai Kritis (α=5%) t-statistik Nilai Kritis (α=5%) LNW1it -2,081 )** -1,645

LNY2 i,t -0,771 -1,645 -4,136 )** -1,645

LNUPMIN i,t -0,171 -1,645 -2,739 )** -1,645 Sumber: Imet al. (1997), diolah

Keterangan: ** signifikan pada taraf 5%

stasioner dalam model regresi dapat menghin-darkan dari masalah spurious regression. Re-gresi yang menggunakan data stasioner (sta-bil) menghasilkan estimator yang tidak bias dan konsisten. Dengan demikian, hasil estima-si model persamaan upah nominal dengan da-ta first difference menunjukkan bahwa terda-pat hubungan yang signifikan secara statistik antar-variabel dalam model regresi. Selanjut-nya model analisis akan dibangun berdasarkan variabel-variabel yang stasioner yaitu variabel pada derajat integrasi pertama.

Setelah variabel stasioner pada derajat in-tegrasi pertama, maka pengujian dilanjutkan dengan uji kointegrasi guna mengetahui apa-kah suatu set variabel berkointegrasi atau ti-dak. Pendekatan ini berkaitan dengan kemung-kinan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antar-variabel ekonomi seperti yang dikehendaki dalam teori ekonomi. Kointegra-si mengacu pada pemikiran bahwa untuk su-atu set variabel terdapat susu-atu kombinasi li-nier dari variabel-variabel tersebut yang sta-sioner. Apabila terdapat hubungan kointegrasi di antara dua variabel, maka setidaknya terda-pat hubungan kausalitas jangka panjang dalam satu arah di antara kedua variabel tersebut. Pengujian kointegrasi dalam studi ini menggu-nakan model Pedroni (1999).

Pedroni (1999) membahas pengembangan tujuh statistik panel kointegrasi; yaitu 4 ber-dasarkan pooling within dimension dan 3 ber-dasarkan pooling between dimension. Pada ka-tegori pertama, 3 dari 4 pengujian menca-kup penggunaan koreksi non-parametrik dari Philips-Perron (1988), sedangkan model keem-pat dengan parameter berdasar uji ADF. Pada

kategori kedua, 2 dari 3 uji menggunakan ko-reksi non-parametrik, sementara kategori keti-ga menggunakan uji ADF.

Hasil pengujian kointegrasi menunjukkan adanya penolakan terhadap hipotesis H0 yang menyatakan tidak adanya kointegrasi antar-variabel untuk model panel Philips-Perron sta-tistik dan panel ADF stasta-tistik, baik menurut pooling within dimension maupun between di-mension. Hal ini berarti berdasarkan model statistik panel kointegrasi nomor 3, 4, 6, dan 7 dari model yang dibangun Pedroni (1999) menunjukkan adanya kointegrasi untuk kese-luruhan model. Adanya kointegrasi menunjuk-kan bahwa untuk suatu set variabel dalam seti-ap model terdseti-apat suatu kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut yang stasioner (sta-bil). Residual yang dihasilkan dari estimasi se-tiap model adalah stasionerI♣0q. Hal ini berar-ti variabel-variabel dalam model tersebut me-miliki hubungan keseimbangan jangka panjang sesuai dengan teori (Tabel 2). Model yang dies-timasi memiliki konsistensi dalam jangka pan-jang, atau setidaknya terdapat hubungan ka-usalitas dalam satu arah di antara variabel-variabel dalam model tersebut.

(14)

Aka-Tabel 2:Hasil Uji Kointegrasi Pedroni

No. Panel Statistik Kriteria Nilai Kritis Pedroni 1 PanelV-stat -0,462 1,645 2 PanelRho-stat 1,131 -1,645 3 PanelPP-stat -2,508 )** -1,645 4 PanelADF-stat -2,376 )** -1,645 5 PanelRho-stat 2,481 -1,645 6 PanelPP-stat -2,542 )** -1,645 7 PanelADF-stat -1,969 )** -1,645 Variabel terikatLWi,t

Variabel bebasLYi,t,DU M LYi,t,LU P M I Ni,t

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis Keterangan: ** signifikan pada taraf 5%

ike (AIC) yang lebih kecil menunjukkan mo-del yang lebih baik. Berdasarkan hasil estimasi Vector Autoregression (VAR), maka nilai AIC minimum terjadi pada saat panjang lag ada-lah satu tahun. Estimasi VAR dengan panjang lag 1 akan terhindar dari kesalahan spesifikasi model dan masalah pengurangan derajat kebe-basan. Dalam penentuan upah nominal, pelaku ekonomi mempertimbangkan variabel-variabel ekonomi pada tahun berjalan dan satu tahun lalu.

Setelah diketahui panjanglag optimum ada-lah satu tahun, maka dilakukan pengujian Ha-usman untuk mengetahui model data panel yang tepat, apakah FE ataukah RE. Hasil pe-ngujian Hausman menunjukkan nilai m sebe-sar 25,58. Sementara itu nilaiχ2tabel (α=5%) sebesar 11,07. Dengan demikian, nilai m lebih besar daripadaχ2 sehingga model yang dipilih adalah FE.

Selanjutnya, melalui estimasi model FE dan reduksi terhadap paramater-paramater yang tidak signifikan, diperoleh hasil estimasi yang sederhana (Tabel 3). Ketepatan model ditun-jukkan oleh signifikansi error correction term (ECT). Nilai koefisien ECTi,t✁1 sebesar -0,5135, menunjukkan bahwa kecepatan penye-suaian (speed of adjustment) upah pekerja pro-duksi menuju ke kondisi keseimbangan adalah sebesar 51,35% per tahun. Dengan demikian, sebesar 51,35 ketidaksesuaian antara upah no-minal pekerja produksi yang terjadi dengan upah nominal yang diinginkan, akan

dihilang-kan dalam 1 tahun. Nilai koefisien determina-si (R2) sebesar 0,6463. Hal ini berarti sebesar 64,63% variasi upah nominal pekerja produk-si dapat dijelaskan oleh variaproduk-si produktivitas pekerja dan upah minimum provinsi, sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Se-mentara itu, nilaiFhitung sebesar 5,93 dan

sig-nifikan (nilaiFtabel(5%) = 2,04). Hal ini

berar-ti variabel-variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh pada variabel terikat.

Berdasarkan hasil estimasi, terdapat bebera-pa variabel yang tidak signifikan seperti per-ubahan upah nominal pekerja produksi satu tahun yang lalu (DLWi,t✁1) dan upah mini-mum (DLU P M INi,t). Koefisien regresi upah

nominal pekerja produksi tahun sebelumnya (DW1i,t✁1) yang tidak signifikan menunjukkan bahwa kenaikan upah nominal pekerja produk-si industri kimia pada tahun lalu tidak diikuti oleh kenaikan upah yang sama pada tahun ber-jalan. Sementara itu, variabel upah minimum (DLU P M IN1i,t) yang tidak signifikan diduga

karena upah pekerja produksi industri kimia sudah di atas upah minimum provinsi.

Koefisien variabel produktivitas pekerja (DLYi,t) bertanda positif. Dalam jangka

pen-dek, dampak perubahan produktivitas peker-ja pada upah nominal pekerpeker-ja produksi ditun-jukkan oleh koefisien variabel produktivitas kerja dan interaksi variabel produktivitas pe-kerja dengan variabeldummy(DU M✝DLYi,t).

(15)

Tabel 3:Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Upah Nominal Pekerja Produksi (Fixed Effects)

Variabel Koefisien Statistika t Konstanta 0,2130 3,7665**

DLWi,t1 -0,1038 -1,3980

DLYi,t 0,1907 5,1450**

DU M✝DLYi,t -0,1163 -1,6930**

DLU P M I N1i,t -0,2243 -0,6567

ECTi,t1 -0,5135 -7,0536**

Variabel terikat:DLWi,t R2 = 0,6463F = 10,5955

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis Keterangan: ** signifikan pada taraf 5%

pekerja tidak turun. Selanjutnya, dalam kasus penurunan produktivitas pekerja, maka terda-pat kemungkinan bahwa upah nominal pekerja produksi tidak turun walaupun pada saat ber-samaan produktivitas pekerja mengalami nurunan. Dengan kata lain, upah nominal pe-kerja produksi tegar untuk turun. Untuk me-ngetahui ketegaran upah nominal pekerja pro-duksi untuk turun, dilakukan pengujian Wald. Apabila hasil penjumlahan koefisien-koefisien dimaksud sama dengan nol, maka upah po-kok nominal pekerja produksi tegar untuk tu-run, dan sebaliknya. Hasil pengujian Wald me-nunjukkanthitung yang tidak signifikan,

sehing-ga upah nominal pekerja produksi tesehing-gar untuk turun. Kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1% diikuti dengan kenaikan upah nominal se-besar 0,19%, sedangkan penurunan produktivi-tas sebesar 1% tidak diikuti dengan penurunan upah nominal,ceteris paribus.

Pada saat krisis, pengusaha tidak menurun-kan upah nominal karena ada kekhawatiran pe-kerja akan melakukan tindakan berbeda de-ngan tindakan yang diinginkan pengusaha (ma-salah keagenan). Pengusaha dapat saja me-nurunkan upah nominal, akan tetapi pekerja mungkin saja meresponsnya dengan cara ma-las bekerja. Pengusaha menyadari pentingnya upaya untuk memengaruhi moral pekerjanya. Keputusan pengusaha yang tidak menurun-kan upah nominal pada saat krisis membuat pekerja termotivasi untuk bekerja keras yang akhirnya akan memberikan manfaat bagi

pe-ngusaha. Tindakan menurunkan upah nomi-nal, di samping membuat pekerja keluar, ju-ga menyebabkan penurunan motivasi kerja (pe-kerja menjadi malas). Untuk mengurangi jum-lah pekerja malas, maka pengusaha dapat me-lakukan pengawasan terhadap pekerjanya de-ngan menggunakan supervisi (mandor). Akan tetapi, penggunaan supervisi memerlukan bia-ya besar. Perusahaan tidak mungkin memper-kerjakan sejumlah mandor guna mengawasi se-tiap pekerja.

Untuk itu diperlukan cara lain sebagai sa-rana rekonsiliasi antara kepentingan pengusa-ha dengan kepentingan pekerja. Salah satu ca-ra yang dilakukan adalah dengan tidak menu-runkan upah nominal walaupun pada saat ber-samaan produktivitas pekerja mengalami pe-nurunan akibat krisis. Pekerja industri kimia pada umumnya memiliki keahlian yang lebih tinggi daripada pekerja pada industri lainnya. Pengusaha tidak mau kehilangan sumber daya manusia yang spesifik dan memiliki keahlian tinggi. Pengusaha akan menanggung biaya le-bih mahal apabila pekerja di perusahaan terse-but sering berganti. Apabila pekerja sering kali berganti, maka perusahaan harus menanggung biaya rekrutmen dan pelatihan pekerja baru.

(16)

Tabel 4: Alasan Perusahaan Kimia Tidak Menurunkan Upah Nominal Pekerja Produksi pada Masa Krisis

Pertanyaan Jawaban Jumlah Responden (perusahaan)

Pada saat krisis ekonomi, apakah upah no-minal pekerja produksi di perusahaan anda turun?

- Ya 0

- Tidak 8

Pada saat krisis ekonomi, apakah fair bila upah nominal pekerja produksi diturunkan?

-Fair 0

- TidakFair 4

Apakah moral pekerja produksi akan turun apabila perusahaan menurunkan upah nomi-nal?

- Moral Pekerja Turun 8

- Moral Pekerja Tidak Turun 0 Apakah penurunan upah nominal melanggar

kontrak antara pekerja dan pengusaha?

- Melanggar Kontrak 8

- Tidak Melanggar Kontrak 0 Sumber: Data Primer (diolah)

selama masa krisis ekonomi, perusahaan me-lakukan peningkatan efisiensi di berbagai bi-dang. Upaya ini meliputi substitusi bahan ba-ku impor dengan bahan baba-ku domestik yang le-bih murah, pengurangan tunjangan, dan peng-hilangan lembur. Peningkatan efisiensi ini da-pat mengurangi biaya-biaya yang harus ditang-gung perusahaan termasuk biaya tenaga ker-ja. Selama masa krisis ekonomi, tidak ada sa-tupun perusahaan kimia menurunkan tingkat upah nominal pekerja produksi (Tabel 4). Pe-ngusaha berupaya melakukan rekonsiliasi de-ngan pihak pekerja/serikat pekerja.

Berdasarkan Tabel 4, dari delapan perusa-haan kimia yang menjadi responden tidak ada satupun perusahaan yang menurunkan upah nominal pekerja produksi. Seluruh responden menyatakan bahwa penurunan upah nominal pekerja produksi dapat menyebabkan penurun-an moral pekerja produksi, sehingga berdam-pak negatif bagi kinerja perusahaan. Manajer berpandangan bahwa penurunan upah tidak a-kan membuat perusahaan menjadi lebih baik. Selain alasan tersebut, seluruh responden ju-ga menyatakan bahwa alasan perusahaan un-tuk tidak menurunkan upah nominal pekerja produksi adalah karena penurunan upah nomi-nal melanggar kontrak antara pekerja dengan pengusaha. Berdasarkan kontrak ini, maka

per-usahaan berupaya memenuhi ketentuan pem-bayaran upah walaupun pada saat bersamaan perekonomian sedang mengalami krisis. Ada-pun sejumlah empat responden juga menya-takan bahwa penurunan upah nominal pekerja produksi merupakan tindakan tidak fair kare-na pada saat krisis ekonomi pendapatan riil pe-kerja juga mengalami penurunan akibat ting-ginya inflasi.

(17)

Tabel 5:Penurunan Tunjangan Pekerja Produksi pada Perusahaan Kimia dalam Masa Krisis Ekonomi beserta Alasannya

Pertanyaan Jawaban Jumlah Responden (perusahaan)

Pada saat krisis ekonomi, apakah per-usahaan Anda menurunkan tunjang-an pekerja produksi?

- Ya 8

- Tidak 0

Pada saat krisis ekonomi, apakah jam kerja lembur di perusahaan Anda berkurang atau ditiadakan?

- Lembur ditiadakan 8

- Lembur seperti sebelum krisis 0 Pada saat krisis ekonomi, apakah

bo-nus yang diterima pekerja produksi mengalami penurunan?

- Bonus turun 8

- Bonus tidak turun 0

Pada saat krisis ekonomi, apakah uang makan/kopi bagi pekerja pro-duksi berkurang?

- Uang makan/kopi berkurang 8

- Uang makan/kopi tidak berkurang 0 Sumber: Data Primer (diolah)

Simpulan

Berdasarkan hasil dan analisis, studi ini menya-takan beberapa simpulan. Pertama, upah no-minal bersifat tegar untuk turun.Kedua, ikan produktivitas pekerja diikuti dengan kena-ikan upah nominal, tetapi penurunan produk-tivitas pekerja tidak diikuti dengan penurunan upah nominal. Ketiga, ketegaran upah nomi-nal untuk turun merupakan sarana rekonsiliasi bagi pekerja dan pengusaha agar kelangsung-an usaha tetap terjaga.Keempat, selama krisis ekonomi, perusahaan tidak menurunkan upah nominal walaupun pada saat bersamaan pro-duktivitas pekerja mengalami penurunan. Pe-nurunan upah nominal ini sulit dilakukan ka-rena baik pekerja maupun pengusaha terikat suatu kesepakatan (kontrak). Penurunan upah nominal melanggar kesepakatan (kontrak) an-tara pekerja dengan pengusaha dan dinilai ti-dakfair sehingga akan menurunkan moral pe-kerja dan akhirnya berdampak negatif bagi ki-nerja perusahaan.

Kelima, selama krisis ekonomi, perusahaan dapat menurunkan biaya tenaga kerja dengan cara meniadakan lembur dan menurunkan ber-bagai tunjangan. Penurunan tunjangan ini

me-liputi penurunan uang lembur, bonus, uang makan (kopi), dan uang transportasi. Hilang-nya kerja lembur tersebut menyebabkan tun-jangan pekerja turun. Pekerja dapat menerima penurunan tunjangan ini karena kinerja peru-sahaan sedang mengalami penurunan.

(18)

Keterbatasan

Studi ini menganalisis penentuan upah nomi-nal pada pekerja produksi. Dalam kenyataan-nya, pekerja produksi terdiri dari berbagai ma-cam pekerja. Hal ini dikarenakan adanya keter-batasan data. Publikasi Statistik Industri dari BPS, tidak membagi pekerja produksi dalam unit-unit yang lebih spesifik. Untuk itu, studi berikut dapat melakukan analisis yang sama berdasar unit pekerja produksi yang lebih sifik. Penggunaan unit pekerja yang lebih spe-sifik sebagai dasar analisis akan dapat membe-rikan hasil analisis yang lebih akurat.

Daftar Pustaka

[1] Agell, J., & Lundborg, P. (2003). Survey Evidence on Wage Rigidity and Unemployment: Sweden in the 1990s.The Scandinavian Journal of Economi-cs, 105(1), 15–29.

[2] Alessandria, G., Kaboski, J. ,& Midrigan, V. (2008). Inventories, Lumpy Trade, and Large De-valuations (Working Paper, 08-3). Philadelphia: Research Department, Federal Reserve Bank of Philadelphia. http://www.philadelphiafed. org/research-and-data/publications/

working-papers//2008/wp08-3.pdf (Diakses 12 Juli 2010).

[3] APINDO. (2011, 27 Maret). Kesadaran Berserikat Buruh di Banten Masih Ren-dah. http://apindo.or.id/id/berita/read/ kesadaran-berserikat-buruh-di-banten-masih -rendah(Diakses 12 Desember 2012).

[4] Baltagi, B. H. (2003).Econometric Analysis of Pa-nel Data. John Wiley & Sons.

[5] Barutu, C. (2003). Hak Mogok Buruh dan Impli-kasinya terhadap Investasi Asing di Indonesia. Ja-karta: DPN Apindo.

[6] Bewley, T. (2004).Fairness, Reciprocity, and Wa-ge Rigidity. IZA Discussion Paper, 1137. Bonn, Germany: The Institute for the Study of Labor (IZA).http://ftp.iza.org/dp1137.pdf(Diakses 5 November 2006).

[7] Bosworth, D. L., Dawkins, P., & Stromback, T. (1996).The Economics of the Labour Market. Bos-ton: Addison Wesley Longman.

[8] BPS. Statistik Industri (Terbitan Tahun 1997– 2006). Jakarta: Badan Pusat Statistik.

[9] BPS.Statistik Upah(Terbitan Tahun 1997–2005). Jakarta: Badan Pusat Statistik.

[10] Dohmen, T. J., Lehmann, H., & Schaffer, M. E. (2008). Wage Policies of a Russian Firm

and the Financial Crisis of 1998: Evidence from Personnel Data - 1997 to 2002 (Di-scussion Papers of DIW Berlin, 771). Berlin: Deutsches Institut f¨ur Wirtschaftsforschung (DIW), German Institute for Economic Research http://www.diw.de/documents/publikationen/ 73/diw_01.c.79809.de/dp771.pdf (Diakses 15 April 2009).

[11] Feridhanusetyawan, T., & Pangestu, M. (2004). In-donesia in Crisis: A Macroeconomic Perspective (No. WPE074). Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

[12] Feridhanusetyawan, T., Aswicahyono, H., & Anas, T. (2000). The Economic Crisis and the Manufa-cturing Industry: The Role of Industrial Networks (No. WPE053). Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

[13] Flatters, F. (2005). The Economics of MIDP and the South African Motor Industry. Canada: Queen’s University. http://qed.econ.queensu.ca/pub/faculty/ flatters/writings/ff_economics_of_midp.pdf (Diakses 12 Juni 2009).

[14] Froyen, R. T. (1996). Macroeconomics: Theories and Policies, 5th edn. London: Prentice Hall. [15] Greene, W. H. (2000).Econometric Analysis. New

York: Prentice Hall.

[16] Holden, S. & Wulfsberg, F. (2007). Downward Nominal Wage Rigidity in the OECD (European Central Bank Working Paper Series, 777). Ger-many: European Central Bank. https://www. ecb.europa.eu/pub/pdf/scpwps/ecbwp777.pdf (Diakses 15 April 2008).

[17] Im, K. S., Pesaran, M. H., & Shin, Y. (2003). Test-ing for unit roots in heterogeneous panels.Journal of Econometrics, 115(1), 53–74.

[18] Liew, V. K. S. (2004). Which lag length selection criteria should we employ?. Economics Bulletin, 3(33), 1–9.

[19] Manning, C. (2000). Labour market adjustment to Indonesia’s economic crisis: context, trends and implications.Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(1), 105–136.

[20] McConnel, C. R., Brue, S. L., & Macpherson, D. A. (2003). Contemporary Labor Economics. New York: McGraw-Hill.

(19)

oyer/wp/rigidity.pdf(Diakses 5 March 5 2012). [23] Pedroni, P. (1999). Critical values for cointegration tests in heterogeneous panels with multiple regres-sors.Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 61(s 1), 653–670.

[24] Pernia, E. M. & Salas, J. M. I. S. (2006). Invest-ment Climate, Productivity, and Regional Devel-opment in a Developing Country. Asian Develo-pment Review, 23(2), 70–89.

[25] Perron, P. (1988). Trends and Random Walks in Macroeconomic Time Series: Further Evidence from a New Approach.Journal of Economic Dyna-mics and Control, 12(2), 297–332.

[26] Romer, D. (2001).Advanced Macroeconomics, 2nd edn. McGraw-Hill.

[27] SMERU. (2002).Industrial Relations in Jabotabek, Bandung, and Surabaya during the Freedom to Or-ganize Era. Jakarta: The SMERU Research Insti-tute. http://www.smeru.or.id/sites/default/ files/publication/industrialrelation.pdf (Diakses 26 Januari 2005.)

[28] Suharyadi, A., Widyanti, W., Perwira, D., & Su-marto, S. (2003). Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sec-tor. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(1), 29–50.

[29] Susanto, J. (2009). Ketegaran Upah Nominal Un-tuk Turun: Kasus Upah Nominal Pekerja Produksi di Bawah Mandor pada Industri Besar dan Sedang Makanan Jadi, Bahan Pakaian, Karet dan Plastik. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 10(1), 15-31. [30] Tambunan, T. (2000). The Performance of

Sma-ll Enterprises during Economic Crisis: Evidence from Indonesia.Journal of Small Business Mana-gement, 38(4), 93–101.

Gambar

Tabel 1: Hasil Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi
Tabel 2: Hasil Uji Kointegrasi Pedroni
Tabel 3: Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Upah Nominal Pekerja Produksi (Fixed Effects)
Tabel 4: Alasan Perusahaan Kimia Tidak Menurunkan Upah Nominal Pekerja Produksi pada Masa Krisis
+2

Referensi

Dokumen terkait

Konten dalam Perda ini secara keseluruhan berisi tentang ragam penanganan yang akan dilakukan oleh Pemerintah DIY dalam mengatasi gelandangan dan pengemis dengan beragam

Tempat tinggal mereka di gunung Komasaan (wilayah Bintauna. Makin lama turunan kedua keluarga itu semakin banyak, sehingga mereka mulai menyebar ke timur di Tudu

[r]

Auditor mempunyai peranan yang cukup baik dapat kemungkinan terjadinya fraud dari perspektif yang cukup banyak, teori yang digunakan dalam aspek untuk melakukan

Pengaruh positif psychological capital yang terdiri dari aspek self efficacy, resiliency, hope dan optimism terhadap kepuasan berwirausaha yang ditemukan dalam penelitian

Dalam setiap preservasinya, Rumah Asuh memberikan empat syarat: pertama, dibangun sebagai proyek masyarakat; kedua, memprioritaskan arsitektur Indonesia yang terancam

Berdasarkan hasil observasi, analisa, desain, pembuatan kode hingga tahapan implementasi perancangan sistem buku kasus berbasis web di SMK Multi Media Mandiri,

Busana Pengantin termasuk Mata Kuliah Pilihan (MKP) yang ditempuh mahasiswa Konsentrasi Keahlian Butik yang diselenggarakan pada semester VI dengan bobot 3