• Tidak ada hasil yang ditemukan

IZIN TERBIT : No.2426SKDitjen PPGSTT1998 ISSN 1829-5657

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IZIN TERBIT : No.2426SKDitjen PPGSTT1998 ISSN 1829-5657"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

Qu

alit

y Sys

te

m

Quality Endorsed Company ISO 9001: 2000 Lic no:QEC 23961 SAI Global TM

(2)

LIM S

EDISI NOMOR 23, Agustus 2009

Redaksi menerima tulisan atau artikel dari pembaca. Artikel yang dimuat akan mendapatkan imbalan sepantasnya, sedangkan yang tidak dimuat akan dikembalikan bila disertai perangko secukupnya. Redaksi berhak memperbaiki naskah yang akan dimuat tanpa mengubah makna/isinya. Kritik atau saran dapat dikirimkan langsung ke redaksi

LIM S

Kunjungan Presiden SEAMEO Council ke PPPPTK Matematika dalam rangka

pre-launching SEAMEO Centre for

QITEP in Mathematics di PPPPTK Matematika sekaligus membuka diklat perdana bagi guru-guru matematika se-ASEAN dengan tema Realisthic

Seksi Data dan Informasi

PPPPTK Matematika Yogyakarta

Jl. Kaliurang Km.6, Sambisari, Depok, Sleman, Yogyakarta, Kotak Pos 31 Yk-Bs Yogyakarta

: (0274) 885725, 881717 ext.229

: (0274) 885752

: www.p4tkmatematika.com : [email protected]

Diterbitkan : Pusat Pengembangan dan PemberdayaanPendidik

dan Tenaga Kependidikan Matematika Izin terbit : No.2426/Ditjen PPG/STT/1998

Assalamualaikum wr wb

Pembaca LIMAS yang budiman,

Pertengahan tahun 2009 ini banyak peristiwa yang terjadi di seputar lingkungan PPPPTK Matematika. Diantaranya, berakhirnya masa jabatan Drs. Kasman Sulyono, M.M sebagai Kepala PPPPTK Matematika dan diresmikannya SEAMEO Centre for QITEP in Mathematics.

Untuk itu, pada LIMAS edisi Agustus ini, redaksi menyajikan profil Kepala PPPPTK Matematika melalui wawancara yang telah dilakukan redaksi untuk mengenal pribadi Drs. Kasman Sulyono, MM dan mengetahui apa saja yang telah dicapai selama kepemimpinannya. Tidak lupa juga kami sajikan liputan mengenai kegiatan Pre-launching SEAMEO Centre for QITEP in Mathematics yang dilaksanakan pada tanggal 12 dan 13 Juli 2009.

Selain itu, rubrik-rubrik yang biasa hadir disetiap terbitan LIMAS juga kami perkaya dengan tulisan-tulisan yang menarik dengan tema yang beragam. Semoga LIMAS ini menjadi sumber informasi dan bermanfaat bagi Anda. Terimakasih.

Wassalamualaikum wr wb Pembina

Penasehat

Penanggung Jawab

Pemimpin Redaksi

Redaktur Pelaksana Redaktur

.

Sekretariat Redaksi

: Kepala PPPPTk Matematika : Kepala Bidang Program dan

Informasi

: Kepala Seksi Data dan Informasi

: Rina Kusumayanti, S.Sos

: Fadjar Shadiq M.App.Sc Anna Tri Lestari, S.IP : Dra. Pujiati, M.Ed

Adi Wijaya, S.Pd., M.A. Sri Wulandari D, M.Pd M. Tamimmudin H, M.T Marfuah, M.T

: Estina Ekawati, M.Pd Suhadi, S.Pd

(3)

7

11

15

21

44

42

47

49

Nilai Strategis

Ujian Nasional (UN)

Apa dan Mengapa

Matematika Begitu

Penting?

WAWASAN

TANYA JAWAB

Perlukah Perubahan Nama

Istilah Matematika?

Mencari Gambar

di Google

Images

DAFTAR ISI

KAJIAN ILMIAH

WAWANCARA

LIPUTAN

5

2

Validitas Penilaian Hasil

Belajar Matematika SMP

Pengubinan

Unik dengan Transformasi

Lebih Kontekstual Dengan

Bentuk Alamiah

37

TIPS DAN TRIK

Jawaban Masalah

“Peluang” kunjungan MGMP

Matematika Kab. Pekalongan

Provinsi Jawa Tengah ke

PPPPTK Matematika Yogyakarta

Rabu, 23 Juni 2008

Penerapan Pembelajaran

Menggunakan

Student Recap

untuk Mengaktifkan Siswa

24

Rangkaian

Pre-launching

SEAMEO

Centre for

QITEP

In Mathematics

Pengembangan

(4)

S

eorang pemimpin merupakan ujung tombak suatu organisasi. Pemimpin harus memiliki sikap tegas dan menjadi teladan bagi karyawannya. Sebagai Kepala PPPPTK Matematika, Drs. Kasman Sulyono, MM, selalu berupaya membawa lembaga yang dipimpinnya menuju arah yang lebih baik. Perubahan pola pikir dan wawasan sumber daya manusia menjadi target awal untuk menunjang kemajuan dan memenuhi tantangan masa depan lembaga.

Tidak hanya perubahan pola pikir yang menjadi concern beliau, peningkatan kualitas SDM sangat diperhatikan karena SDM merupakan kunci investasi dalam pengembangan lembaga. Kepala Bagian Umum PPPPTK Matematika, Dra. Ganung Anggraini, M.Pd, mengungkapkan bahwa dalam berbagai kesempatan, Drs. Kasman Sulyono, MM., selalu mendorong dan memberi kesempatan kepada karyawan untuk meningkatkan kompetensi dan kualifikasi melalui pendidikan gelar maupun non gelar seperti pelatihan-pelatihan.

Masalah peningkatan kesejahteraan pegawai juga menjadi titik perhatian Drs. Kasman Sulyono, MM. Hal tersebut diakui oleh para karyawan PPPPTK Matematika. Salah seorang widyaiswara, Dra. Sri Wardhani, M.Pd berkata, “Pak Kasman adalah pribadi yang tegas dan berani mengambil resiko untuk tidak populer. Namun beliau memberi perhatian besar pada kesejahteraan pegawai dan peduli terhadap organisasi-organisasi di PPPPTK Matematika seperti dharma wanita, koperasi dan FUI. Dalam menjalankan roda kepemimpinannya, Drs. Kasman Sulyono, MM., dikenal memiliki disiplin yang tinggi, apalagi menyangkut kinerja pegawai. Nanang, salah seorang karyawan honorer, berkata,”Pak Kasman orangnya baik dan mengutamakan disiplin. Beliau tidak pernah memandang pegawai tingkat apapun dan selalu memberi dukungan untuk melakukan yang terbaik”. Sikap disiplin yang ditegakkan Beliau bagi sebagian kecil karyawan dinilai cukup keras, namun hal tersebut dilakukan untuk kebaikan karyawan.

Selama menjabat sebagai Kepala PPPPTK Matematika sejak 29 Juni 2005 hingga akhir masa jabatannya pada tanggal 31 Juli 2009, berbagai terobosan telah dilakukan, diantaranya adalah perubahan pola pikir karyawan, peningkatan kualitas SDM, penataan lingkungan dan peningkatan kualitas layanan jasa. Kepada redaksi LIMAS, beliau mengungkapkan apa saja yang menjadi harapan dan cita-citanya untuk kemajuan PPPPTK Matematika. Berikut petikan wawancara yang dilakukan redaksi LIMAS dengan Bapak Drs.Kasman Sulyono, M.M :

Redaksi LIMAS (LIMAS) : Apa yang berkesan bagi Bapak ketika pertama kali datang di PPPPTK Mateamtika?

Drs.Kasman Sulyono,M.M(KS): PPPPTK merupakan lembaga pelatihan guru tingkat nasional yang punya potensi meningkatkan kompetensi guru khususnya matematika. Oleh karena itu kesan pertama bagaimana agar setiap peserta diklat atau tamu yang datang ke PPPPTK Matematika memiliki kesan yang baik. Kesan baik itu nomor satu bagi saya. Maka perlu ditingkatkan kondisi lingkungan, layanan, sumberdaya, dan komunikasi sehingga para tamu punya kesan mendalam terhadap PPPPTK sehingga ingin kembali lagi ke PPPPTK.

WAWANCARA

BIODATA

Nama

Drs. H. Kasman Sulyono, M.M

Tempat dan tanggal lahir

Surakarta, 27 Juli 1949

 Kepala Seksi di Direktorat Pembinaan Kesiswaan

Tahun 1994

 Kepala Bagian Tata Usaha di Direktorat Pembinaan

Kesiswaan Tahun 1998

 Kepala BPG Yogyakarta Tahun 1999

 Kepala LPMP Provinsi DI. Yogyakarta Tahun 2000

 Kepala PPPG Matematika Yogyakarta Tahun 2005

 Kepala PPPPTK Matematika Yogyakarta Tahun 2007

Penghargaan

(5)

LIMAS : Apa yang menjadi misi Bapak waktu perubahan yang lebih baik.

LIMAS: Selama Bapak menjadi kepala PPPPTK Matematika, apakah Bapak sudah merasa lembaga ini optimal menjalankan tugasnya dalam pengembangan dan pemberdayaan PTK matematika?

KS: Apabila dicermati tentu masih bisa ditingkatkan karena potensi di PPPPTK Matematika sangat banyak, dan masih bisa dikembangkan atas dasar kebutuhan dan kondisi pasar khususnya matematika. Tidak hanya guru matematika, tetapi kepada semua tenaga kependidikan matematika dan bila perlu sampai kepada semua siswa karena memang PPPPTK didukung berbagai sumber daya.

LIMAS: Hal apa yang perlu ditingkatkan untuk kemajuan PPPPK Matematika?

KS: Pertama adalah SDM, karena SDM merupakan kunci investasi dalam pengembangan lembaga baik untuk saat ini maupun di masa depan. Oleh karena itu, diawal kehadiran, saya berusaha melakukan perubahan pola pikir terhadap setiap SDM yang ada di PPPPTK Matematika, yakni perubahan yang lebih baik dan mengedepan. Selain itu, perlu ditingkatkan pula kondisi supporting unit, kondisi perkantoran, kondisi sarana penunjang akademik dan tenaga pelayanan yang sangat menunjang kesan terhadap PPPPTK Matematika.

LIMAS: Terkait SDM, menurut Bapak bagaimana kinerja SDM di lingkungan PPPPTK Matematika?

KS: Pada saat awal, saya melihat SDM kita perlu dimotivasi karena terbiasa mengerjakan sesuatu seakan-akan hanya sebagai rutinitas. Sehingga untuk meningkatkan layanan sekaligus memenuhi tantangan masa depan, SDM harus ditingkatkan melalui pola pikir positif, ikhlas bekerja, tanpa dikomando dan melakukan pekerjaan yang menantang. Itu yang harus ditanamkan ke generasi muda sekarang. Upaya mengubah pola pikir ini antara lain melalui pendidikan. Oleh karena itu saya mendorong adanya peningkatan kesempatan melanjutkan pendidikan bagi mereka yang ingin maju. Pada saat saya datang jumlah S3 hanya 1 orang,

sekarang 5 orang. Untuk S2 cukup banyak. Alhamdulillah teman-teman dapat menggunakan peluang ini dengan sebaik-baiknya. Namun kita harus selektif dalam memilih pendidikan apa yang akan ditempuh, tentunya yang menunjang kemajuan lembaga dan memenuhi tantangan masa depan lembaga.

LIMAS: Selama kepemimpinan Bapak, adakah perubahan signifikan terhadap kinerja bagaimana mengubah beban itu agar berubah menjadi bekal untuk lebih maju lagi.

LIMAS: Terkait dengan supporting unit, seperti kita ketahui belum semua supporting unit diberdayakan. Apa saran Bapak?

(6)

harus memberi contoh dari yang terkecil dan termudah. Pada saat saya datang ke sini, lingkungan PPPPTK Matematika terlihat gersang dan kurang terpelihara. Pada awal saya datang, saya membawa bunga dan saya tanam. Saya ingin tahu bagaimana perhatian teman-teman. Ternyata gedung yang bagus, bersih dan diberi hiasan tanaman menambah kesejukan dan keindahan sehingga memberikan kesan baik bagi seluruh tamu.

LIMAS: Ketika Bapak berupaya mengubah pola pikir, ada beberapa yang tidak siap menerima perubahan. Bagaimana Bapak menyikapi hal itu? KS: Kita terus menerus mulai dari yang termudah. kegiatan, menyikapi, melakukan supervisi mulai dari pekerjaan administrasi hingga pekerjaan lapangan.

LIMAS: Adakah cita-cita Bapak yang belum terwujud di PPPPTK Matematika?

KS: Inginnya PPPPTK setara dengan lembaga training internasional lain.

LIMAS : Walaupun sekarang sudah ada QITEP? KS: Itu kan milik lembaga lain. Cita-cita saya dahulu bagaimana supaya PPPPTK Matematika sendiri memiliki International Training Division, dan ini belum terlaksana. Walaupun ada QITEP, ini hal yang berbeda. Karena pasar PPPPTK Matematika seluruh Indonesia sedangkan QITEP untuk Asia Tenggara. Karena yang sangat diperlukan Indonesia adalah bagaimana matematika memberikan layanan pengembangan pendidikan matematika khususnya SD dan SMP, yang dapat digunakan sekolah bertaraf internasional. Kita belum memiliki bahan, dosen, lisensi sehingga inilah yang saya katakan PPPPTK Matematika terlambat mengimbangi sekolah-sekolah bertaraf internasional. banyak perubahan lain, termasuk kesejahteraan.

Untuk PPPPTK Matematika, kesejahteraan kita serahkan ke lembaga yang memiliki tugas demikian, yakni koperasi karyawan. Kita berusaha menggerakkan koperasi agar lebih maju dan bisa memberikan kesejahteraan karyawan yang bermuara pada peningkatan kinerja. Saat ini peran koperasi sangat tepat untuk ditingkatkan, dan itu sah-sah saja. Selain berbadan hukum dan sesuai ketentuan yang berlaku, keuntungan koperasi dapat ditujukan bagi seluruh anggota koperasi.

LIMAS: Pernahkah terbersit oleh Bapak akan m e m i m p i n 2 0 0 - a n p e g a w a i P P P P T K Matematika?

KS: Sama sekali tidak. Saya hanya mengerjakan dengan baik apa yang saya hadapi. Semua berjalan dengan baik karena saya membiasakan membagi waktu. Sejak kecil saya dibiasakan untuk bekerja dengan ikhlas, “Kerjakan dan lakukan, Tuhan tidak tidur”. Waktu kecil saya sering menonton wayang kulit, dan percakapan para satria menginspirasi saya untuk tahan menghadapi cobaan. Apabila kita tahan menghadapi cobaan Tuhan akan memberikan wahyu. LIMAS: Adakah tokoh wayang yang menjadi favorit Bapak?

KS: Tentu ada, Bima. Tokoh wayang ini apa yang dikatakannya sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Hal lain dari perwayangan yang saya pelajari adalah

KS: Saya ingin menikmati kemerdekaan, ha..ha..ha! Selama 38 tahun saya bekerja, dapat dihitung jumlah cuti yang saya ambil. Pagi hari olahraga mengitari Candi Prambanan. Juga meningkatkan ibadah, momong anak cucu. Saya juga mengerjakan pekerjaan rumah, saya tidak pernah menolak pekerjaan yang menurut saya bisa saya kerjakan.

(7)

LIPUTAN

M

atematika selama ini selalu menjadi pelajaran yang dianggap tidak menarik bagi sebagian besar siswa. Padahal sebenarnya matematika bisa menjadi pelajaran yang menyenangkan dan mengasyikkan bagi siswa jika guru tahu cara mengajarkannya dengan benar. Salah satu cara menjadikan pembelajaran matematika menjadi menarik adalah dengan menggunakan alat peraga untuk membantu siswa memahami suatu konsep tertentu, misalnya menghitung hasil operasi dengan menggunakan blok pecahan.

Alat peraga matematika sudah banyak beredar di pasaran, namun masih terbatas baik dari segi jenis maupun kualitasnya. Berangkat dari hal tersebut, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah meluncurkan MEQIP (Mathematics Education Quality Improvement Programme) atau program peningkatan mutu pembelajaran matematika. Tujuan yang ingin dicapai melalui program ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika melalui pemanfaatan alat peraga matematika sehingga siswa tidak hanya menghafal tetapi memahami konsep, bernalar dan berkomunikasi. Diharapkan melalui program ini mutu pendidikan matematika kedepan akan lebih baik lagi.

Pada awalnya MEQIP merupakan adaptasi dari program sejenis yaitu SEQIP (Science Education Quality Improvement Project), yang menghasilkan alat peraga IPA. MEQIP diluncurkan untuk menghasilkan alat peraga matematika yang sesuai

dengan kriteria yang diharapkan dari kurikulum pendidikan matematika di Indonesia. Jika SEQIP menggunakan konsultan dari Jerman, maka untuk MEQIP pihak Direktorat Pembinaan TK dan SD meminta PPPPTK Matematika (dahulu PPPG) sebagai leading sector untuk pengembangan alat peraga matematika sesuai dengan salah satu tugas yang dimiliki PPPPTK Matematika yaitu melakukan pengembangan dan pengkajian alat peraga.

Berkaitan dengan media atau alat peraga matematika, PPPPTK Matematika sudah menghasilkan banyak pengembangan alat peraga, baik hasil desain widyaiswara/matematikawan maupun guru yang melaksanakan diklat di PPPPTK Matematika. Unit yang bertanggung jawab terhadap pengembangan media/alat peraga adalah unit/laboratorium alat peraga dan unit workshop. Pada unit-unit tersebut tersimpan hasil pengembangan media/alat peraga y a n g d i k e m b a n g k a n o l e h g u r u d a n widyaiswara/matematikawan PPPPTK Matematika. Selain mengembangkan media/alat peraga, PPPPTK Matematika juga menjadi rujukan bagi guru atau pengembang alat peraga matematika untuk penilaian kelayakan alat bila digunakan di sekolah, contoh: alat peraga yang didesain oleh Sirajudin, guru SD dari Mataram NTB.

Program MEQIP sendiri telah dirintis sejak tahun 2004 dengan diadakannya workshop oleh Direktorat Pembinaan TK dan SD yang dihadiri sekitar 60 orang, terdiri dari guru dan kepala SD, widyaiswara PPPPTK Matematika dan LPMP, dosen perguruan

Pengembangan

Alat Peraga Matematika

di PPPPTK Matematika

(8)

tinggi antara lain UNES, UNY, UPI, dan UGM. Workshop ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan inventarisasi alat peraga matematika (kebanyakan sudah ada di PPPPTK Matematika meskipun dengan bahan sederhana dan dibutuhkan di SD/MI). Hasil kegiatan workshop tersebut digunakan sebagai acuan dalam pembuatan prototype alat peraga matematika.

Ada 50 item yang telah dibuat dan diujicobakan (dengan dikoordinir oleh UNES) untuk 6 provinsi, yaitu: Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, NTB, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Uji coba tersebut dilakukan selama tahun 2004 hingga 2005. Berdasarkan kajian terhadap hasil uji coba tersebut, pada tahap pertama PPPPTK Matematika memberikan Rekomendasi Spesifikasi Prototype Alat Peraga Matematika SD sebanyak 30 item kepada Direktorat Pembinaan TK dan SD pada tanggal 2 Mei 2006. Selain rekomendasi, PPPPTK Matematika juga mengharapkan tindak lanjut dari kegiatan tersebut melalui beberapa tahapan kegiatan lanjutan, yaitu: 1. Surat Penetapan Direktur Pembinaan TK dan SD

tentang spesifikasi prototype alat peraga matematika SD

2. penyusunan petunjuk penggunaan alat peraga matematika dan finalisasinya

3. pelatihan-pelatihan dan sosialisasi penggunaan alat peraga matematika

4. monitoring evaluasi di lapangan setelah alat peraga matematika didistribusikan ke sekolah

Berdasarkan surat rekomendasi tersebut, pihak Direktorat Pembinaan TK dan SD, menetapkan Alat Peraga Matematika melalui Surat Penetapan Nomor: 1190.a/C2.1/LL/2006, pada tanggal 1 Juni 2006. Dalam surat penetapan tersebut Direktur Pembinaan TK dan SD menetapkan 30 Alat Peraga Matematika Sekolah Dasar beserta spesifikasinya.

Selanjutnya pada tahap kedua, PPPPTK Matematika mengeluarkan revisi terhadap spesifikasi Prototype Alat Peraga Matematika SD, yang semula ada 30 item disempurnakan menjadi 46 item. Revisi tersebut dilakukan setelah melalui rangkaian evaluasi terhadap hasil uji coba terdahulu. Hasil revisi tersebut kemudian direkomendasikan ke Direktorat Pembinaan TK dan SD yang diharapkan dapat ditindaklanjuti untuk dikembangkan secara luas ke khalayak. Untuk kedua kalinya Direktorat Pembinaan TK dan SD menetapkan revisi mengenai Alat Peraga Matematika melalui Surat Penetapan Nomor: 0920/C2.1/LK/2007, tanggal 6 Maret 2007.

Dalam surat tersebut ditetapkan sebanyak 46 item Alat Peraga Matematika Sekolah Dasar beserta spesifikasinya.

Kerjasama yang dilakukan antara PPPPTK Matematika dan Direktorat Pembinaan TK dan SD dalam dalam hal peningkatan kualitas pembelajaran matematika untuk jenjang SD/MI melalui pemberdayaan alat peraga matematika ini dituangkan secara resmi dalam nota kesepahaman. Nota kesepahaman tersebut ditandatangani tanggal 23 September 2006 di PPPPTK Matematika. Di dalam nota kesepahaman tersebut disebutkan bahwa bidang kegiatan kerjasama meliputi 6 aspek, yaitu:

1. peningkatan uji coba dan pengembangan media pembelajaran matematika khususnya alat peraga 2. produksi contoh model (prototype) alat peraga

matematika Sekolah Dasar yang akan dikembangkan

3. pengembangan sistem dan bahan pelatihan bagi pendidik dan tenaga kependidikan

4. peningkatan pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan dan pembinaan program tindak lanjut paska pelatihan

5. pemberdayaan manajemen peningkatan mutu pembelajaran matematika sekolah dasar

6. penyelenggaraan sistem monitoring dan evaluasi terhadap peningkatan mutu pembelajaran matematika sekolah dasar

(9)

Simbol aljabar Simbol

Matematika

Verbal

Simbol auditori

Visual

*) Sumardyono

ada kurikulum 1975, terdapat nama “jajaran genjang”, lalu nama “jajar genjang” atau “jajargenjang” pada kurikulum berikutnya.

P

Maksud penggantian ini, konon karena istilah “jajaran genjang” tidak sesuai kaidah Bahasa Indonesia. Nama “bujursangkar” pada kurikulum 1987 diganti “persegi” (dimulai pada kurikulum 1994). Alasannya, nama “bujursangkar” diyakini mengacu bentuk dasar (alas) sangkar burung, namun sekarang bentuk dasar sangkar telah bervariasi. Alasan lain bahwa nama “persegi” lebih tepat karena satuan luas juga menggunakan nama “persegi”, misalnya “meter persegi”. Tetapi benarkah perubahan-perubahan itu diperlukan? Apakah kosakata matematika harus selalu selaras dengan kaidah bahasa (Indonesia)? Apakah untuk kebutuhan pendidikan (sekolah), perlu perubahan kosakata matematika di sekolah?

Nama Istilah Matematika: Bagian dari Simbol Matematika

Nama istilah matematika, seperti “segitiga”, “luas”, “bilangan”, “simetri” atau dalam bahasa Inggris: triangle, area, numbers, symmetry, merupakan simbol dalam matematika. Skemp (1971: 94-113) membedakan dua macam simbol matematika, yaitu: simbol visual dan simbol verbal. Simbol visual adalah simbol yang mewakili konsep matematika melalui gambar, diagram, kurva, dan bentuk piktorial (gambar) lainnya. Sementara simbol verbal adalah

simbol yang mewakili konsep matematika melalui simbol aljabar (notasi matematika) atau simbol auditori (nama istilah matematika), baik yang ditulis (written) maupun yang diucapkan (spoken).

Dari penjelasan Skemp di atas, dapat dibagankan klasifikasi simbol matematika, sebagai berikut:

Nama istilah matematika juga merupakan simbol, dipertegas oleh Gardner et al tahun 1974 (dalam Wittrock, 1986: 467) menyatakan bahwa: “A symbol is anything that can be used in a referential way, and that can be organized into systems”. Secara lebih teknis, Brumfiel, Eicholz, & Shank (1962: 3) menyatakan: “A symbol is a mark, an object, a sign, or a word that represents another object or an idea”. Pengertian yang serupa dikemukakan pula oleh Resnick & Ford (1981: 113),

“A symbol is a word or mark that stands for something but in no way resembles that things. It is completely abstract. … .Symbols are invented by people to refer to certain objects, events, and ideas,

(10)

and their meanings are shared largely because people have agreed to share them”.

Oleh karena bagian dari simbol, maka nama istilah matematika sesungguhnya bebas (independent) dari pengaruh makna bahasa, termasuk dalam Bahasa Indonesia. Simbol adalah simbol. Rubenstein & Thompson menyatakan, “symbolism is a form of mathematical language that is compact, abstract, specific, and formal. …” (2000: 268).

Konsep Lebih Penting dari Nama Konsep

Usiskin dalam “Mathematics as Language” menyatakan: “Mathematical symbols are the means by which we write mathematics and communicate mathematical meaning”. (Rubenstein & Thompson, 2001). Sharp, juga membedakan antara konsep matematika dan simbol matematika,

“sharp distinctions are made between the concept of diwakilinya. Seperti yang dinyatakan oleh Brumfiel, Eicholz, & Shanks (1962: 4): “In using a symbol we must be sure that we know what it stands for. That is, we must know the object, or idea, which it represents.” Di banding simbol-simbol matematika, maka konsep yang diwakilinya jauh lebih penting. Oleh karena itu, pemahaman simbol dan istilah matematika haruslah ditekankan pada pemahaman konsep-konsep matematika yang diwakilinya, bukan pada pemahaman simbol itu sendiri sebagai sebuah kata Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, Brumfiel, Eicholz, & Shanks menegaskan: “Doing mathematics consists of thinking about concepts rather than arranging symbols upon paper.” (1962: v). Jika kita berbicara tentang “garis singgung” maka haruslah dipahami sebagai sebuah konsep matematika. Karena konsep dalam matematika berbeda dengan pengertian kata “singgung” dalam percakapan Bahasa Indonesia sehari-hari. Begitu pula dengan nama istilah “tinggi”, “alas”, dan lain-lain.

Menyinggung kasus penggantian “bujursangkar” dengan “persegi”, banyak yang dapat dipertanyakan lebih lanjut. Jika memang karena masalah perubahan sosial budaya (jenis sangkar burung) memaksa ide perubahan tersebut, mengapa nama istilah

“layang-layang” juga tidak diganti dengan nama lain? Bukankah sekarang juga telah amat beragam bentuk dari layang-layang? Lagi, jika kita membandingkan bangun “persegi” dengan “persegipanjang”, maka secara bahasa tampak ada sesuatu yang janggal. Kata “persegipanjang” secara bahasa dapat berarti “persegi yang panjang”. Bukankah ini bertentangan dengan konsep “persegi” itu sendiri?

(11)

Makna Ethimologis Tidak Harus Sama dengan Makna Terminologisnya

Banyak simbol matematika yang secara bahasa berbeda dengan konsep yang diwakilinya. Contohnya notasi bilangan = 3,1415926… , hasil bagi keliling sebarang lingkaran dengan jari-jarinya. Tetapi secara bahasa, huruf ini berasal dari kata Yunani atau “perimetros” yang berarti keliling. Jadi, secara logika mestinya lambang bukan untuk 3,1415926… tetapi untuk “keliling lingkaran”. Contoh lain adalah nama istilah “tinggi” (atau dalam nama istilah bahasa Inggrisnya, high). Konsep “tinggi” suatu bangun datar dalam geometri berbeda dengan konsep “tinggi” dalam ilmu fisika atau pada kehidupan sehari-hari. Tinggi suatu segitiga tidak diukur dari “atas” ke “bawah”, tetapi dari “titik puncak segitiga” tegak lurus ke “alas segitiga”; tidak peduli kita menggambar segitiga tersebut dalam posisi apapun. Untuk menyebut beberapa contoh lainnya yang dapat berbeda dengan arti bahasa sehari-hari, antara lain: “bersinggungan”, “himpunan”, “alas”, “titik puncak”, “irasional”, “sisi miring”, “pangkat”, “akar”, “bersilangan”, “geometri”, “keliling”.

Jika memang ide perubahan nama istilah yang diselaraskan dengan makna bahasa menjadi perlu, maka dapat terjadi banyak istilah penting matematika yang harus diganti namanya. Adda (dalam Benjafield, 1992: 317) menegaskan, “like physics concepts, mathematical symbols often have a technical meaning that is different from the ordinary meaning of the same symbol.”

Notasi dan Nama Istilah Matematika adalah Konvensi Secara Kultural

Berbeda dengan sains atau IPA, notasi dan nama istilah dalam matematika diterima luas masyarakat matematika bukan karena peraturan resmi. Jika pada sains ada badan resmi bertaraf internasional yang mengatur tentang nomenklatur, tidak demikian halnya pada matematika. Simbol matematika termasuk istilah matematika merupakan konvensi (kesepakatan) yang dipergunakan setelah melewati kurun waktu yang lama. Jadi, konvensi simbol matematika tidak terjadi di ruang pertemuan, tidak pula oleh suatu aturan perundang-undangan yang mengikat, dan yang jelas juga tidak terjadi dalam

(12)

Dalam Pembelajaran Matematika, Makna Lebih Dikedepankan Dibanding Simbol

Ada juga yang memberi alasan perlunya perubahan nama istilah, karena untuk memudahkan siswa dalam mempelajari matematika. Bila siswa telah dihadapkan pada nama istilah yang “rancu”, bagaimana mungkin ia dapat memperoleh pemahaman yang benar? Sekarang, mari kita melihat kasus pembelajaran “persegipanjang”. Secara pedagogik (ilmu pendidikan), tidaklah disarankan bahwa siswa dihadapkan pada nama istilah “persegipanjang” lebih dulu, lalu mencari contoh-contoh bentuk persegipanjang. Untuk pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), siswa seharusnya diajak berkolaborasi dengan berbagai contoh bentuk geometris (datar) untuk diarahkan pada kelompok bentuk bujursangkar. Setelah siswa mencermati dan memahami karakteristik bentuk tersebut, barulah sebuah nama “persegipanjang” diperkenalkan. Jadi, pembelajaran yang bermakna, selalu dimulai dari pengertian baru kemudian penamaan. Arah yang lebih tegas, dapat dilihat pada model pembelajaran matematika realistik yang lebih mendahulukan emergent model (pada taraf matematisasi horizontal). Jadi, begitu siswa memahami konsep maka notasi atau nama konsep bukanlah suatu penghalang lagi.

Ketika siswa telah lancar menyampaikan ide yang sesuai dengan konsepnya maka barulah dihubungkan dengan simbol-simbol matematikanya. “Delaying the introduction of symbolism until these children were verbally “ready” proved to be beneficial in connecting ideas with symbol” Hamrick (1979) dalam Van De Walle (1990). Selain itu, pengenalan simbol matematika yang terlalu cepat juga dapat memunculkan miskonsepsi, “the introduction of mathematical symbol too soon, without an adequate understanding of the deep structure, is a major cause of alienation”, demikian yang dinyatakan Orton (1992: 137). Istilah deep structure menunjukkan konsep yang diwakili simbol.

Penutup

Berdasar pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ide perubahan nama istilah matematika yang telah dikenal menjadi tidak perlu dan tidak penting, termasuk dengan alasan penyelarasan arti bahasa (ethimologi).

Bahan Bacaan

Benjafield, John. G. 1992. Cognition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Brumfiel, C.F., Eicholz, R.E., & Shanks, M.E. 1962. Fundamental Concepts of Elementary Mathematics Bab Symbols and Numeral. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

Cooper, F. M. 1980. “Reading in Mathematics” dalam Learning To Love Mathematics. Editor: Phil Williamson. Mathematics Association of Victoria Seventeenth Annual Conference. Victoria: The Mathematical Association of Victoria.

Orton, Anthony. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom Practice. Norfolk: Fakenham Phnoneting Ltd.

Munro, J. 1980. “Language and Mathematics Learning” dalam Mathematics Theory to Practice. Penyunting Doug William. Australian Association of Mathematics Teachers. Eighth Biennial Conference,

th th

January 14 18 1980. Canberra: The Canberra Mathematical Association.

Resnick, Lauren B. & Ford, Wendy W. 1981. The Psychology of Mathematics for Instruction. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Rubenstein, Rheta N. & Thompson, Denisse R. 2001. “Learning Mathematical Symbolism: Challenges and Instructional Strategies” dalam Mathematics Teacher Volume 94 Number 4 (April 2001): 265 271. Reston, Virginia (VA): NCTM

Skemp, Richard R. 1971. The Psychology of Learning Mathematics. NY: Penguin Books. Van De Walle, John A. (1990), Elementary School

Mathematics, teaching developmentally. 1990. New York: Longman.

Wilder, Raymond L. 1981. Mathematics as A Cultural System. NY: Pergamon Press

Wittrock, Merlin C. 1986.Handbook of Research on Teaching. The American Educational Research Association. New York. Macmillan Publishing Company.

*)Sumardyono, M.Pd.

(13)

Pada akhir bulan Juni 2009, media masa (elektronik maupun cetak) gencar memberitakan tentang ujian nasional (UN), mulai dari isu bocornya kunci jawaban, beragam kecurangan baik yang dilakukan oleh siswa ataupun oknum guru, beberapa protes yang menentang pelaksanaan UN, dan pro-kontra pelaksanaan UN pengganti. Pertanyaan yang muncul: “Mengapa pemerintah bergeming dengan berbagai kritik dan sorotan media serta tetap melaksanakan UN?” Terkait dengan kebijakan UN tersebut, maka tulisan ini mencoba menganalisis dari sudut “teori pengukuran dan penilaian” dan sebuah tawaran solutif agar UN di masa yang akan datang tidak lagi kisruh dengan berbagai kecurangan seperti yang terjadi belakangan ini.

Mengapa UN Penting?

Sistem penilaian yang baik bergantung pada jenis penilaian yang sesuai dan informasinya dapat dengan mudah dipahami oleh orang yang membutuhkan. Di samping itu, keputusan hasil penilaian dapat digunakan untuk memaksimalkan potensi siswa dalam pembelajaran. Drake (2007) membagi jenis penilaian ke dalam 3 kelompok, yakni Assessment for Learning (AFL), Assessment of Learning (AOL), dan Assessment as Learning (AAL). Namun, AAL tidak banyak literature yang membahas. Oleh karena itu, hanya akan dibahas peran dan perbedaan antara AFL dan AOL.

AFL bertujuan untuk memberikan informasi kepada siswa, guru, dan orang tua. Dalam hal ini guru harus tahu target pembelajaran di kelas, karena AFL berbasis pada classroom assessment (Mansyur, 2009). Fungsi AFL sebagai quality assurance. Di sisi lain, AOL bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak siswa sudah belajar dalam waktu tertentu, dan AOL berfungsi sebagai quality control (Swediaty, 2009). Perbedaan antara AFL dan AOL dapat dijelaskan sebagaimana Tabel 1.

No.

Overview Assessment of Learning Assessment for Learning

1. Alasan Laporan status prestasi Membantu untuk belajar lebih banyak

2.

Menginformasi-kan Kepada orang lain tentang siswa Kepada siswa sendiri 3. Fokus Prestasi standar Target -target prestasi

turunan standar 4. Contoh Ujian Nasional (UN),

UASBN, tes prestasi belajar, TIMSS, PIRL

Penilaian yang mendiagnosis atau membentuk siswa

5. Waktu Sesudah belajar jangka

panjang Dalam proses belajar

Sumber: Swediati (2009)

*) Kusaeri

Nilai

Ujian Nasional (UN)

Strategis

(14)

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa UN/UASBN memiliki peran dan fungsi berbeda dengan penilaian yang seharusnya dilakukan oleh guru. Bila dicermati Undang-undang Sisdiknas No. 20 th. 2003 terkait peran evaluasi, pasal 57 menyebutkan bahwa evaluasi dilaksanakan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara n a s i o n a l s e b a g a i b e n t u k a k u n t a b i l i t a s penyelenggaran pendidikan kepada pihak-pihak berkepentingan. Hal ini diperkuat dengan Permendiknas No 78 th. 2008 pasal 2 yang menyebutkan UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan demikian, wajarlah bila pemerintah masih menyelenggarakan UN karena untuk mengukur sejauh mana tingkat pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) bagi satuan pendidikan yang bersangkutan. UN perlu dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. UN juga perlu dilakukan mengingat perbedaan kualitas sekolah yang satu dengan yang lain amat beragam (Widdiarto dan Kusaeri, 2009).

Di sisi lain, munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sejak tahun 2006 telah memunculkan pemahaman yang beragam dan banyak orang mengatakan ”Apakah dengan diberlakukannya KTSP maka UN masih diperlukan?” Jawaban sederhana dari pertanyaan tersebut adalah bila dalam KTSP masing-masing sekolah diberikan kebebasan mengembangkan soal ujian untuk siswanya, maka sangatlah logis apabila mereka akan menyusun soal yang membuat siswanya semua lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. SMA “X” misalnya, yang berada di pinggiran kota

dengan banyak siswa hanya 12 orang dan oleh masyarakat dikenal hampir “sekarat” berhasil dengan tingkat kelulusan 97% dengan nilai rata-rata 87,50, sementara SMA “Y” yang cukup dikenal sebagai sekolah favorit, berhasil dengan tingkat kelulusan 90% dengan nilai rata-rata 86,00. Apakah kita bisa mengatakan bahwa SMA “X” lebih bagus dari pada SMA “Y”, yang secara nyata instrumen untuk mengukurnya berbeda?

Disinilah urgensinya UN sebagai alat ukur yang bisa

digunakan sebagai benchmarking tatkala

marginalitas kemampuan antara sekolah yang beragam antara satu sekolah dengan yang lain. Pada level nasional, hasil UN setidaknya akan dapat digunakan sebagai alat untuk memetakan bagaimana capaian siswa, sekolah, atau daerah tertentu pada standar nasional yang dipersyaratkan. Bukan tidak mungkin ketika semua sekolah sudah siap, ke depan bukan tidak mungkin UN akan ditiadakan dan sekolah dipersilakan melaksanakan ujian sendiri-sendiri.

Meminimalisir Kecurangan dalam UN: Sebuah Tantangan

Target Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menjadikan hasil UN SMA dan Madrasah Aliyah sebagai bahan pertimbangan seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN) pada 2012 tampaknya tidak akan mudah. Pasalnya, PTN menilai pelaksanaan UN masih butuh pembenahan serius agar lebih kredibel. Kecurangan dan ketidakjujuran yang dilakukan kepala sekolah dan guru, kebocoran soal, beredarnya kunci jawaban dan berbagai jenis tindakan tidak terpuji lainnya masih seringkali terungkap setiap kali dalam pelaksanaan UN. Bahkan 33 sekolah di Indonesia diidentifikasi melakukan kecurangan secara sistematik dan masif sehingga kepada mereka harus dilakukan UN pengganti.

(15)

Keberhasilan lulus UN 100% seringkali menjadi target kepala daerah dan hal ini berdampak dengan cara menekan para guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan. Bila mereka tidak dapat memenuhi target itu, guru, kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan diancam dimutasi atau bahkan di nonjob kan. Akibatnya, berbagai cara dilakukan oleh guru, kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan agar dapat memenuhi ambisi kepala daerah.

Mencermati fenomena itu, maka sudah waktunya ke depan pola kebijakan UN dapat meniru pola UASBN yang sudah berjalan 3 tahun. Artinya, hasil UN tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa tetapi lebih merupakan pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan. Dengan demikian, beragam kecurangan dalam UN yang seringkali terjadi dapat diminimalisir seperti halnya sepinya kecurangan yang terjadi pada UASBN yang tidak pernah kita dengar.

Dengan demikian, UN akan semakin kredibel di mata pimpinan PTN sehingga keinginan hasil UN menjadi dasar seleksi masuk jenjang PTN segera terwujud. Dengan mengubah pola kebijakan UN meniru UASBN maka hasil UN semakin dapat dijadikan dasar pembinaan serta pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Dari sini, akan terlihat dengan jelas mutu pendidikan kita di seluruh Indonesia. Dari hasil itu pula akan tampak, mana satuan pendidikan yang perlu dibantu agar mutunya bisa ditingkatkan (www. un.snmptn.or.id, 2009-a).

Karena itu, tidak boleh ada pemaksaan atau penyeragaman kriteria kelulusan UN yang tidak sesuai dengan keputusan sekolah. Berapapun nilai minimal yang sudah ditentukan oleh sekolah, maka hal itu harus diterima oleh pemerintah daerah. Nah, dengan pemberian kewenangan kriteria kelulusan kepada masing-masing sekolah inilah, upaya untuk

mendapatkan pemetaan sebagaimana yang diinginkan dari hasil UN menjadi akan terpenuhi. Sebab dengan cara itulah kondisi sebenarnya dari masing-masing sekolah akan terlihat.

Refleksi

Fenomena kecurangan dan ketidakjujuran dalam UN menarik untuk dicermati. Mengapa? Karena dengan masih suburnya kecurangan dan ketidakjujuran UN maka semakin tipislah harapan Depdiknas meyakinkan pimpinan PTN agar hasil UN menjadi dasar seleksi masuk PTN pada tahun 2012. Semua pihak juga harus menyadari, dengan adanya kecurangan dan ketidakjujuran pada UN inilah para siswa diajari dan dikenalkan cara-cara yang busuk, menghalalkan segala cara, yang jelas-jelas melanggar aturan main yang bisa menimbulkan friksi-friksi tidak sehat. Bagi kita yang berkecimpung di dunia pendidikan, tentu ini meracuni dan akan merugikan kepentingan generasi penerus bangsa dalam jangka panjang. Inilah proses pembusukan karakter yang sistematik dan masif.

Dalam konteks inilah kita perlu merenung dan melakukan refleksi. Dengan cara-cara itu, tujuan dicapai dengan menghalalkan segala cara. Generasi penerus bangsa diajari untuk berbangga pada hasil, walaupun proses untuk mendapatkannya penuh kecurangan dan ketidakjujuran. Hal penting yang tertancap abadi di benak mereka adalah ketidakjujuran yang dilegalkan bukanlah perbuatan melanggar norma hukum.

(16)

seolah-olah karakter itulah yang dianggap paling benar. Kaum terdidik hanya memerlukan keahlian atau keterampilan saja. Komitmen moral boleh dinomor duakan (www.un.snmptn.or.id, 2009-b). Padahal apa pun profesinya diperlukan komitmen moral yang tinggi. Tanpa landasan itu, keahlian atau jabatan seseorang mudah disalahgunakan. Mereka masuk ke dalam ranah penuh dengan perilaku mafia. Mafia pendidikan, mafia pengadilan, mafia pertanahan, mafia perizinan, mafia pelayanan, dan sebagainya. Kalau terjadi, seahli-ahlinya mafia, tidak dapat dianggap profesional dalam pengertian sebenarnya. Apa untungnya jika pendidikan di proses ala mafia? Yang pasti, usaha untuk melakukan pemetaan kwalitas pendidikan berdasarkan hasil UN menjadi lebih bersifat semu. Sekolah jelek mutunya dianggap bagus. Gambar bagus tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Lembah digambar gunung. Comberan dikatakan danau jernih. Semak belukar dianggap sawah siap panen.

Begitulah kira-kira hasil kinerja para mafia yang ahli membuat wajah berseri-seri, untuk menutupi realita yang selalu jujur. Kalau masih mungkin berharap, dunia pendidikan seyogianya jangan disusupi oleh mentalitas mafia. Dalam jangka panjang jelas akan menghancurkan negeri ini.

Ketidakjujuran yang memenuhi azas legalitas pada hakikatnya tetap sebagai ketidakjujuran. Manakala nilai itu dijadikan komitmen moralitas, maka akan semakin merebak operasi ala mafia yang pragmatik. Kita berharap hal itu tidak terjadi, khususnya di dunia pendidikan. Kokoh atau robohnya suatu bangsa dimulai dari sini. Oleh karena itulah, sudah saatnya dipikirkan kebijakan UN yang tidak lagi mengedepankan standar kelulusan secara seragam. Mungkin pola UASBN dapat digunakan mengganti

pola UN yang digunakan selama ini agar kehancuran bangsa Indonesia di masa mendatang tidak terjadi. Dengan demikian maka UN akan memiliki makna strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia. Referensi

Drake, Susan M., 2007. Creating Standards-Based Integrated Curriculum (Aligning Curriculum, Content, Assessment, and Instruction). California: A Sage Publication Company.

Mansyur, 2009. Pengembangan Model Assessment for Learning pada Pembelajaran Matematika di SMP. Ringkasan Disertasi tidak dipublikasikan. Yogyakarta: PPs Universitas Negeri Yogyakarta.

Nilai Sebuah Kejujuran dalam Ujian Nasional, 2009-b. Dalam

http://un.snmptn.or.id/nilai-sebuah-kejujuran-dalam-ujian-nasional/ . Diakses tanggal 15 Juli 2009.

Peraturan Menteri, 2008. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, Nomor 78 Tahun 2008 tentang Ujian Nasional Sekolah M e n e n g a h P e r t a m a / M a d r a s a h Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/MTs/SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2008/2009.

UASBN Sebagai Pemetaan Mutu dan Pengawasan P e n d i d i k a n , 2 0 0 9 - a . D a l a m http://un.snmptn.or.id/uasbnsebagaip e m e t a a n m u t u d a n http://un.snmptn.or.id/uasbnsebagaip e n g a w a s a n -pendidikan/. Diakses tanggal 15 Juli 2009. Undang-Undang, 2003. Undang-undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Swediati, Nony, 2009. Assessment for Learning dan Assessment of Learning. Materi kuliah disampaikan pada tanggal 24 April 2009 Matakuliah Teori Respon Butir Lanjut. Yogyakarta: PPS Universitas Negeri Yogyakarta.

(17)

ahirnya Permendiknas RI No. 20 th. 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan tertanggal 11 Juni 2007 masih disikapi

L

beragam oleh banyak kalangan praktisi pendidikan, guru misalnya. Sebagai implementasi dari produk hukum Peraturan Pemerintah No. 19 th. 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kelahiran Permendiknas ini tergolong agak bungsu apabila dibanding dengan Standar Pendidikan yang lain. Sebelum munculnya Permendiknas tentang Standar Penilaian Pendidikan, cukup beragam penilaian yang dilakukan oleh para guru di masing-masing sekolah. Keragaman ini makin bervariasi apabila kita mencoba melihat lebih dalam di masing-masing mata pelajaran, Matematika SMP misalnya. Dari Laporan Monitoring dan Evaluasi Pasca Diklat PPPPTK Matematika Yogyakarta Th. 2007 di beberapa daerah, penulisan aspek-aspek atau komponen penilaian Pembelajaran Matematika dalam buku rapor cukup beragam. Ada beberapa daerah yang di

bawah mata pelajaran matematika, mereka mencantumkan: (1) Kognitif, (2) Penerapan; ada yang (1) Aljabar, (2) Aritmetika, (3) Geometri (4) Statistika; ada juga yang mencantumkan (1) Konsep, (2) Pemecahan Masalah, dan masih banyak lagi yang mengkombinasikan atau menambahnya, sesuai dengan pemahaman di daerah masing-masing.

Kebingungan dan kegamangan para guru dan praktisi pendidikan di lapangan muncul pada Standar Penilaian Pendidikan pada Bagian D. Mekanisme dan Prosedur Penilaian butir ke (13) “Hasil Penilaian oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan disampaikan dalam bentuksatu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar”. Ini terjadi karena sebelumnya pernah muncul Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004 tentang penilaian perkembangan anak didik SMP yang meliputi 3 (tiga) aspek yakni (1) Pemahaman konsep (2) Penalaran dan komunikasi (3) Pemecahan

VALIDITAS

HASIL BELAJAR

PENILAIAN

MATEMATIKA SMP

(Tinjauan Kebijakan dari Perspektif

Validity Evidence

)

*)

Rachmadi Widdiharto

(18)

Kompetensi dan Tujuan Pembelajaran Matematika

A p a b i l a k i t a m e n e n g o k s e j e n a k kemampuan/kecakapan seseorang dalam berbahasa Inggris (English Proficiency), ada beberapa keahlian/kompetensi yang harus mereka tunjukkan misalnya dalam aspek listening (pendengaran), writing (penulisan), speaking (pembicaraan/pe -cakapan), atau mungkin reading comprehension-nya. Bagaimana dengan belajar matematika, kompetensi apa yang harus dikuasai seseorang/siswa dalam belajar matematika? NCTM (National Council of Teachers of Mathematics), sebuah organisi profesi yang didirikan sekitar th. 1920 di California, Amerika Serikat, untuk pertama kalinya pada tahun 1989 mengeluarkan Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics dan Professional Standards for Teaching Mathematics, dan yang untuk Curriculum Standards th 2000 bisa diakses pada www.nctm.org. Dalam Standar Kurikulum tersebut disebutkan bahwa ada 4 (empat) stressing/penekanan yang harus dituju/disajikan dalam mempelajari matematika yakni: mathematics as problem solving, mathematics as communication, mathematics as reasoning, and mathematical connections. Dengan mengacu pada 4 prioritas di atas, maka keahlian yang harus dimiliki dalam mempelajari matematika adalah: problem solving skills, communicating and reasoning skills, and connecting idea skills (Posamentier; 1999:4)

Kalau kita menengok bagaimana Kurikulum Matematika di Indonesia mengarah pada kompetensi, baru sekitar tahun 2004 muncul dengan label Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), kemudian dilanjutkan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan disempurnakan adanya Standar Isi (SI) Mata Pelajaran Matematika Permendiknas No. 22 th. 2006. Pada Lampiran dari Permendiknas tersebut dicantumkan bahwa Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) matematika dalam dokumen itu disusun selain untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir kritis, logis, analitis, kreatif dan sistematis, juga sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain. Sementara itu, masih dalam Standar Isi disebutkan pula bahwa ruang lingkup mata pelajaran matematika Masalah. Sementara itu, apabila kita merujuk pada

Peraturan Pemerintah No. 19 th. 2005 pada Bab X Standar Penilaian Pendidikan pasal 64. ayat (4) menyebutkan bahwa: “Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai”.

(19)

(Validitas adalah sebuah keputusan, dan seperti halnya semua keputusan adalah relatif dan terus berkembang. Sangat mungkin, dan mestinya mungkin, dievaluasi dalam kejelasan dari bukti baru, interpretasi tertentu, pembuatan validitas, dan pemvalidasian adalah proses yang berjalan terus)

Brennan (2006: 312) menyebutkan bahwa terkait dengan validity evidence , desain tes juga harus diperhatikan juga legal consideration yang salah satu diantaranya adalah curicular validity. Artinya, bahwa desain suatu tes harus merujuk pada kurikulum yang berlaku dan yang diajarkan di sekolah.

Sementara itu, terkait dengan pendekatan dalam validitas, Messick (1994) yang dikutip oleh Samuelsen & Lissitz (2007: 441) menyebutkan bahwa pendekatan dalam validasi juga mengukur kompleksitas pengetahuan, keahlian, atau indikator lainnya yang tergantung pada masyarakat dalam menilainya. Lebih lanjut, Guilarmo Solano-Flores (http://www.edgateway.net/cs/cvap/print/cvap/news .htm diakses tgl. 17 Januari 2009) Terkait dengan masyarakat dalam menilai atau menginterpretasinya, tentunya tak lepas pula dengan budaya yang melingkupinya, dan mensinyalir adanya apa yang disebut dengan Cultural validity in assessment.

Ia menegaskan, bahwa budaya mempengaruhi bagaimana kita bertindak/bersikap, apa yang kita yakini, bagaimana kita bersosialisasi dengan lingkungan, dan bagaimana kita nyaman dengan pengalaman kita. Kekurangpekaan atau kesadaran atas keragaman budaya akan mengarah pada perbedaan tingkah laku, keyakinan, sistem nilai, gaya bersosialisasi dan pembelajaran, yang tentunya juga dapat membahayakan pemahaman antarindividu. SMP/MTs meliputi: Bilangan, Aljabar, Geometri dan

Pengukuran, serta Statistika dan Peluang.

Kalau kita perhatikan, ada beberapa kesamaan tujuan dan kompetensi antara yang ada di SI (atau kalau boleh dikatakan mengadopsi dan dikembangkan) dengan yang disampaikan oleh NCTM. Demikian juga apa yang disampaikan pada Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004 tentang penilaian perkembangan anak didik SMP yang meliputi aspek (1) Pemahaman konsep (2) Penalaran dan komunikasi (3) Pemecahan masalah, juga masih dalam koridor yang sama, bahkan lebih concise formulasinya, dan 3 (tiga) aspek ini yang menurut pengamatan penulis lebih sesuai dengan kompetensi pembelajaran matematika yang memang harus diukur.

Bukti Validitas (Validity evidence) dalam penilaian.

Sebagian besar literatur pengukuran (measurement) lebih banyak membahas tentang construct validity, content validity, internal validity maupun, external validity . Akhir-akhir ini mulai berkembang pada validity evidence dengan segala variasinya. Kane (2008: 77) menyebutkan:

Current validation models are defined quite broadly to include a wide range of possible interpretations and uses, and they seek to match the kinds of validity evidence employed (content-related evidence, correlational evidence, evidence based on theory-based inferences, evidence derived from experimental studies) to the proposed interpreatations and uses.

(Model-model validitas saat ini didefinisikan secara luas untuk mencakup berbagai penggunaan dan interpretasi yang mungkin, para ahli tengah mencari yang sesuai jenis-jenis bukti validitas (bukti terkait dengan isi, bukti keterhubungan, bukti berdasarkan penarikan kesimpulan dari teori, bukti yang diturunkan dari penelitian atau kajian-kajian) yang diarahkan pada penggunaan dan interpretasi yang dimaksud)

(20)

matematika, mengacu pada ruang lingkup (coverage area) atau topik/sub topik dalam pelajaran matematika, dan tidak mengacu pada kompetensi matematika yang hendak diukur. Sementara itu, mereka yang menggunakan aspek konsep dan pemecahan masalah nampaknya sudah mulai mengacu pada kompetensi pembelajaran matematika seperti telah disebutkan di atas, namun meninggalkan untuk aspek penalaran dan komunikasi. Apakah ini karena keterbatasan pemahamannya atau belum tahu bagaimana menyusun indikator untuk kompetensi penalaran dan komunikasi itu. Hal ini masih perlu dikaji lebih jauh.

Apabila kita merujuk curricular validity sebagimana yang disampaikan Brennan di atas, maka kesalahan atau ketidaksesuaian dalam menggunakan aspek penilaian hasil belajar matematika para guru di atas bisa dikategorikan sebagai validity evidence atau lebih spesifik lagi adalah policy validity. Hal ini karena mereka menggunakan aspek-aspek tersebut lebih disebabkan silih bergantinya produk dari kebijakan yang ada dan petunjuk yang mengatur hal itu memang belum sesuai. Yang jelas, bukan karena kebiasaan guru kita atau budaya guru kita yang kadang kurang kritis, hanya “mengekor” dari atas, dengan kebijakan top-down-nya yang sentralistis, atau karena sikap apatis sebagian guru kita yang menyebutkan bahwa dulu-dulunya juga begitu dan tidak ada masalah, atau kenapa harus repot-repot, yang praktis-praktis saja. Kalau hal itu yang terjadi, boleh jadi bukan lagi policy validity, tetapi mengarah ke cultural validity in assessment.

Sementara itu kalau merujuk pada pendapat Brennan (2006: 311) tentang legal considerations terkait dengan vailiditas kebijakan dibutuhkan waktu sekitar 4-5 tahun untuk sosialisasinya. Artinya bahwa validitas penilaian hasil belajar matematika siswa SMP oleh para guru matematika, dibutuhkan waktu sekitar 4 5 tahun. Sehingga, harapannya pada tahun 2010/2011 nanti para guru matematika di Indonesia telah mampu mengukur kompetensi matematika siswa dengan benar.

Menyikapi Standar Penilaian Pendidikan.

Terhadap Standar Penilaian Pendidikan pada Bagian D butir ke - (13) “Hasil Penilaian oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar” dan Kekurangpekaan perbedaan budaya dapat

berpengaruh pada cara bagaimana kita menilai prestasi akademik siswa. Mengabaikan pentingnya keragaman budaya juga akan mengarah pada unfair testing practices.

Merujuk apa yang disinyalir oleh Guilermo yakni di Amerika Serikat yang memiliki keragaman budaya, bangsa Indonesia yang secara geografis juga memiliki keragaman etnik, suku bangsa, agama, dan budaya, perlu juga wacana ini digulirkan dan disikapi sebagai bahan diskusi dan penelitian. Istilah lain menyebutkan sebagai validitas antar-budaya (Ancok dalam Singarimbun, 1998)

Penilaian Hasil Belajar Matematika, Policy Validity?

Dengan merujuk pada fenomena di mana terjadi keragaman penggunaan aspek penilaian hasil belajar matematika (seperti: kognitif & penerapan; aljabar, aritmetika, geometri & statistika; dan seterusnya) serta seputar trends validitas dalam penilaian sebagaimana telah disebutkan di atas, bagaimana ini terjadi, apakah ini merupakan validity evidence, policy validity, atau bahkan telah menjadi cultural validity in assessment?

Mereka (para guru) yang menggunakan aspek: kognitif dan penerapan dalam penilaian hasil belajar

matematika, mengacu pada content domain

(21)

mengakitkannya dengan 3 (tiga) aspek penilaian hasil belajar matematika di atas, maka dapat di sarankan sebagai berikut:

1. Sependapat dengan butir ke - (13) pada Standar Penilaian Pendidikan yakni dengan satu nilai dan disertai dengan deskripsi kemajuan belajar. 2. Satu nilai tersebut diperoleh dari 3 aspek penilaian hasil belajar matematika sesuai dengan Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 506/C/PP/2004 tanggal 11 N o v e m b e r 2 0 0 4 t e n t a n g p e n i l a i a n perkembangan anak didik SMP yang meliputi 3 (tiga) aspek yakni (1) Pemahaman konsep (2) Penalaran dan komunikasi (3) Pemecahan masalah.

3. Tiga aspek pada Peraturan Dirjen itu dipilih karena dari kajian akademik-keilmuan (dari NCTM di atas) telah sesuai dengan kompetensi pembelajaran Matematika

4. Tiga aspek pada Peraturan Dirjen itu dipilih karena telah memuat indikator-indikator yang dibutuhkan untuk pengukuran kompetensi, yang notabene dibutuhkan oleh para guru di lapangan. Sebagai hal “baru” mereka masih butuh “guidance” awal untuk menunjang proses kreativitas dan kemandirian, utamanya mengarah ke KTSP.

5. Indikator-indikator sebagaimana yang dimaksud pada poin ke-4 adalah sebagai berikut:

(a). Indikator bahwa siswa memahami konsep ditunjukkan oleh kemampuan:

- menyatakan ulang sebuah konsep - mengklasifikasi objek menurut

sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya

- memberi contoh dan non-contoh dari konsep

- menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis - mengembangkan syarat perlu atau

syarat cukup dari suatu konsep - menggunakan, memanfaatkan dan

memilih prosedur atau operasi tertentu

- mengaplikasikan konsep atau algoritma ke pemecahan masalah (b). Indikator keberhasilan melakukan

penalaran dan komunikasi ditunjukkan oleh kemampuan:

- menyajikan pernyataan matematika

secara lisan, tertulis, gambar, diagram - mengajukan dugaan

- melakukan manipulasi matematika - menarik kesimpulan, menyusun

bukti, memberikan alasan, atau bukti terhadap kebenaran solus

- menarik kesimpulan dari pernyataan - memeriksa kesahihan suatu argumen - menemukan pola atau sifat dari gejala

m a t e m a t i s u n t u k m e m b u a t generalisasi

(c). Indikator keberhasilan memecahkan masalah ditunjukkan oleh kemampuan: - menunjukkan pemahaman masalah - mengorganisasi data dan memilih

informasi yang relevan dalam pemecahan masalah

- menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk - memilih pendekatan dan metode

pemecahan masalah secara tepat - mengembangkan strategi pemecahan

masalah

- membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah menyelesaikan masalah yang tidak rutin

(22)

7. Satu nilai dan disertai dengan deskripsi kemajuan hasil belajar, sangat dibutuhkan dalam melihat track record dan progress belajarnya. Deskripsi ini mengacu pada tingkat pencapaian SK dan KD dari siswa tersebut dalam pencapaian Standar Ketuntasan Minimal (SKM)

8. Deskripsi ini harus menjadi feedback bagi remediasi ataupun perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran matematika di kelas.

Penutup

Lahirnya Standar Nasional Pendidikan yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendiknas RI No. 20 th. 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan perlu menjadi acuan bagi penilaian hasil belajar (Matematika SMP) dengan tetap merujuk pada Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 506/C/PP/2004 tentang Penilaian perkembangan anak didik SMP yang meliputi 3 (tiga) aspek yakni (1) Pemahaman konsep (2) Penalaran dan komunikasi (3) Pemecahan masalah.

Perubahan berbagai kebijakan terkait dengan penilaian hasil belajar Matematika SMP serta keragaman interpretasi terhadap kebijakan tersebut yang terlihat pada keragaman pencantuman aspek penilaian, memungkinkan munculnya bias, miss- interpretations ataupun kegamangan validitas penilaian kita, atau diperlukan adanya validity evidence, atau lebih spesifik sebagai kategori policy validity.

Hal lain yang perlu disadari adalah bahwa muara dan esensi dari validitas penilaian ini adalah bagaimana hasil penilain ini dapat digunakan sebagai feedback atau input bagi peningkatan, diagnosis, dan perbaikan kualitas pembelajaran di kelas. Inilah yang

sebenarnya harus dilakukan oleh para guru maupun praktisi pendidikan lainnya, tidak hanya Assessment of Learning (AOL), tetapi juga Assessment for Learning (AFL). Dengan perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran di kelas inilah yang pada gilirannya nanti akan meningkatkan prestasi belajar matematika anak bangsa ini di kelak kemudian hari, semoga!

Referensi

Brennan, Robert L (2006). Educational Measurement (Fourth Edition), American Council on Education, Praeger Publishers.CT

Gorin, Joanna S (2007). Reconsidering Issue in Validity Theory, Educational Researcher Vol.36, No. 8 , November 2007

Kane, Michael T (2008). Terminology, Emphasis, and Utility in Validations, Educational Researcher Vol.37, No. 2 , March 2008

Permendiknas RI No. 20 th. 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan

Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 506/C/PP/2004 tentang Penilaian perkembangan anak didik SMP

Posamentier, Alfred S & Stepelman, Jay (1999) Teaching Secondary Mathematics, Techniques and Enrichment Units, Printice Hall Inc, New Jersey Singarimbun, Masri & Efendi, Sofian (1998). Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta

Samuelses, Karen & Lissitz, Robert W (2007). A Suggested Change in Terminology and Emphasis Regarding Validity and Education, Educational Researcher Vol.36, No. 8 , November 2007

Http://www.edgateway.net/cs/cvap/print/docs/cvap/ news.htm What is Cultural Validity in Assessment? By Guilermo Solano-Flores, diakses tgl 17 Januari 2009.

_________________________________________

*) Drs. Rachmadi Widdiharto, M.A.

(23)

A. Pendahuluan

D

alam berbagai forum seminar yang penulis ikuti muncul berbagai kritik, antara lain: konsep pendidikan telah tereduksi menjadi pengajaran, dan pengajaran lalu menyempit menjadi kegiatan di kelas. Kegiatan di kelas tak lebih dari kegiatan guru mengajar murid dengan target kurikulum dan mengejar NUN (Nilai Ujian Nasional). Pendidikan dan Pengajaran adalah dua hal yang berbeda. Di lapangan banyak guru hanya menitikberatkan pengajaran sehingga mengesampingkan pendidikan. Proses pengajaran yang menitikberatkan pada aspek kognitif dan kemampuan teknis semata akan melahirkan manusia tukang dan bukan seorang pemimpin yang kaya dengan inovasi serta memiliki komitmen sosial yang kuat.

Agar di dalam kelas tercipta kegiatan pendidikan yang diidamkan, maka salah satunya adalah dengan meningkatkan keaktifan siswa dan lebih memberdayakan kemampuannya dalam pembelajaran. Dengan keaktifan siswa yang meningkat serta kemampuan siswa yang diberdayakan, maka akan meningkatkan hasil belajar siswa. Hal itu, sejalan dengan pendapat Komarudin Hidayat (2002: xxi) untuk mempelajari sesuatu dengan baik, belajar aktif membantu untuk mendengarkannya, melihatnya, mengajukan pertanyaan tentang materi tertentu, dan mendiskusikannya dengan yang lain. Yang

paling penting, peserta didik perlu memecahkan masalah sendiri, menemukan contoh-contoh, mencoba keterampilan-keterampilan, dan melakukan tugas-tugas sesuai dengan pengetahuan yang telah mereka miliki.

Seperti kata pepatah banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk mengaktifkan siswa, antara lain dengan: melaksanakan model-model pembelajaran maupun mengunakan berbagai media pembelajaran, seperti: alat peraga, ICT, dan sebagainya. Menurut Mel Silberman (2002:237), ada 101 cara untuk mengaktifkan siswa belajar, salah satunya adalah dengan “Student Recap” (ikhtisar siswa). Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas penggunaan “Student Recap” untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika.

B. Landasan Teori

Istilah “Student Recap” dapat diartikan sebagai ikhtisar/rangkuman siswa. Strategi ini memberikan kesempatan siswa aktif untuk meringkas/merangkum apa yang telah mereka pelajari dengan caranya sendiri di akhir pembelajaran dan menyampaikannya kepada orang lain.

Hal itu sesuai dengan pendapat John Holt (1967: 76), bahwa belajar menjadi semakin baik apabila siswa diminta untuk melakukan hal-hal sebagai berikut.

1. Mengungkapkan informasi dengan bahasa mereka sendiri

*) Wahyu Cahyaning Pangestuti

PENERAPAN

MENGGUNAKAN

UNTUK MENGAKTIFKAN SISWA

PEMBELAJARAN

”STUDENT RECAP”

Referensi

Dokumen terkait