Program Benteng Tahun 1950-1954
Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, diselenggarakan
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Indonesia mengirim delegasinya
yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Dalam Konferensi itu disepakati
beberapa agreement, salah satunya adalah pembentukan Negara Indonesia
sebagai suatu serikat. Dalam konferensi tersebut juga disepakati bahwa
Soekarno diangkat menjadi presiden RIS dan Mohammad Hatta menjadi
wakil presiden sekaligus merangkap sebagai Perdana Menteri RIS.1
Bagi negara yang sepenuhnya baru lepas dari bayang-bayang
kolonialisme, dibutuhkan suatu gagasan yang baru dari para perumus
kebijakan untuk membangun perekonomian Indonesia. Di lain pihak, para
pembuat kebijakan ekonomi juga dihadapkan pada tugas yang berat, dimana
masalah-masalah sosial-ekonomi yang timbul saling mempengaruhi. Seperti
kebutuhan akan perbaikan sistem dan fasilitas ekonomi yang rusak akibat
dari kolonialisme Jepang dan Revolusi Fisik, dengan permintaan yang kuat
untuk mengubah ekonomi ala kolonial menjadi ekonomi nasional. Selain itu
juga terdapat masalah sistem nilai tukar ganda yang menyebabkan inflasi
berkepanjangan2 dan permasalahan akan pengembangan kewirausahaan
pribumi Indonesia yang kuat.
1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200 – 2008. (Jakarta:
Kemerdekaan Indonesia tidak akan utuh jika tidak didukung dalam
bidang perekonomian. Oleh karena itu perubahan sistem ekonomi kolonial
menuju ekonomi nasional menjadi agenda utama dari pemerintah Indonesia.
Hingga tahun 1950, Indonesia masih merasakan dominasi kuat ekonomi
kolonial yang kapitalis3, masyarakat Indonesia hanya menjadi bagian terkecil
(bahkan terkesan pasif) dalam sistem ekonomi kolonial tersebut.
Berdasarkan perjanjian di bidang ekonomi yang dituangkan dalam
bentuk Finec ( Financial-Economic Agreement ) dalam sidang KMB di Den
Haag, pemerintah Belanda mendapat jaminan dan konsesi akan kepentingan
ekonominya di Indonesia.4 Sebagian besar sektor ekonomi Belanda memiliki
25 persen total dari GDP Indonesia dan 10 persen total dari lapangan
pekerjaan yang ada di Indonesia.5 Sebagai langkah awal untuk mendukung
terbentuknya perekonomian Nasional, para perumus kebijaksanaan
Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengambil alih
sektor-2 J.A.C. Mackie, “Periode 1941-1965 sebagai Selingan dalam
Pembentukan Ekonomi Nasional: Bagaimana Sebaiknya Kita Menafsirkan?”, dalam J. Th. Linblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. (Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002), hlm. 401.
3 Taufik Abdullah, “Indonesianisasi: Sebuah Wacana dan Serentetan
Peristiwa”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 5.
4 M.C. RIcklef, op.cit., hlm. 497.
5 Thee Kian Wie, “Kebijaksanaan Ekonomi di Indonesia selama Periode
sektor strategis di bawah kontrol langsung pemerintah. Diantaranya adalah
nasionalisasi De Javasche Bank6, melikuidasi perusahaan penerbangan
Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands-Indische Luchtvaart Maatschappij,
KNILM)7, mengambil alih sektor-sektor penting seperti jalur-jalur kereta api di
Jawa dan fasilitas umum seperti perusahaan gas dan listrik. Meskipun
sebagian perusahaan utama milik Belanda telah dinasionalisasi, akan tetapi
yang lainnya masih beroperasi hingga tahun 1957.8
Sebagai negara yang telah lama menjadi suatu sistem perdagangan
dunia, masa kolonialisme Jepang hingga Revolusi Fisik merupakan fase
hilangnya kesempatan untuk mengembangkan dan memperkuat kelas
menengah di negeri ini. Indonesia membutuhkan kelas pengusaha untuk
memulai roda perekonomian. Untuk memunculkan kembali bibit-bibit
entrepreneur tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan
ekonomi yang pada akhirnya diarahkan untuk memperkuat kelas menengah
Indonesia.9
6 De Javasche Bank berganti nama menjadi Bank Indonesia dan
menjadikannya sebagai Bank Sirkulasi Indonesia. Lihat J. Th. Linblad, “From Java Bank to Bank Indonesia: A Case Study of Indonesianisasi in Practice”,
Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 21.
7 Koninklijk Nederlands-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM)
berganti nama menjadi Maskapai Penerbangan Garuda (GIA) dan menjadi perusahaan penerbangan domestik.
8 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara. (Jakarta: LP3ES,
Pada tahun 1950, atas prakarsa dari Menteri Kesejahteraan Djuanda
dan Sumitro Djojohadikusumo mulailah diperkenalkan “Program Benteng”.10
Target dari program ini jelas, untuk mengembangkan kewirausahaan pribumi
Indonesia, melindungi para importir nasional agar dapat bersaing dengan
importir asing, dan nantinya diharapkan dapat menggantikan posisi dominan
perusahaan dagang Belanda “The Big Five”, yang terdiri dari Borsumij,
Jacobson van den Berg, George Wehry, Internatio dan Lindeteves serta
perusahaan Inggris seperti MacLaine Watson.11
Program Benteng sendiri lebih difokuskan pada bidang perdagangan
impor. Pertama, hal ini dikarenakan jumlah modal dan sumber-sumber daya
perusahaan yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan bidang lain, seperti
perusahaan manufaktur. Kedua, banyak perusahaan-perusahaan Belanda
yang masih beroperasi memanfaatkan sektor impor ini. Ketiga, arti penting
impor bagi perekonomian Indonesia, karena sudah sejak masa kolonial,
perusahaan manufaktur bergantung pada sektor impor. Dan Keempat,
pemerintah memiliki kekuasaan yang lebih besar atas kegiatan impor
9 W. F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi
Perubahan Kelas. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 96.
10 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik. (Jakarta: ELKASA,
tt), hlm. 677.
11 Widigdo Sukarman, “Upaya Membentuk Perbankan Nasional: Peran
dibanding pihak manapun.12 Oleh karena itu, pemerintah berharap lewat
perdagangan impor inilah pengusaha-pengusaha lokal atau pribumi dapat
memutar kembali modalnya dan dapat digunakan untuk mengembangkan
sektor-sektor usaha yang lebih besar.13 Pemerintah memberikan bantuan
dalam bentuk kredit lunak kepada para pengusaha dan juga lisensi-lisensi
impor dengan beberapa syarat. Akan tetapi, karena sebagian besar aktivitas
ekonomi Indonesia pada masa kolonial masih pada taraf industri rumahan,
pemerintah Indonesia juga mengambil tindakan untuk mendorong dan
mengembangkan usaha koperasi. Pertumbuhan koperasi merata di seluruh
Nusantara, dari mulai tingkat propinsi hingga ke tingkat desa (KUD).14 Sistem
koperasi ini dianggap pemerintah sebagai usaha paling efisien, selain
membeli barang dari hasil karya anggota-anggotanya, Koperasi Unit desa
juga membantu pemerintah memberikan pinjaman berupa kredit lunak untuk
merangsang industri-industri berskala kecil di daerah.
Dikeluarkannya kebijakan Benteng selain untuk menghentikan
dominasi ekonomi Belanda, pada akhirnya juga merambah pada pembatasan
dominasi pengusaha Tionghoa di Indonesia. Bahkan jauh sebelum
12 Lukman, “Perekonomian Indonesia 1950-1966 (Suatu Tinjauan Aspek
Moneter)”. Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2001, hlm. 24.
13 Thee Kian Wie, op.cit., hlm. 377.
14 Eddiwan, “Beberapa Catatan Mengenai Perkoperasian di Indonesia”,
dikeluarkannya kebijakan Benteng, pada tanggal 27 Oktober 1949 telah
diadakan pertemuan pejabat sipil Indonesia bidang perdagangan yang
membahas tentang peniadaan modal Cina sebesar mungkin, tanpa melihat
mereka sebagai warga negara Indonesia atau asing.15 Dilihat dari sejarahnya,
pengusaha Tionghoa memang mendapatkan prioritas utama dalam ekonomi
kolonial.16 Mereka menguasai hampir semua sektor ekonomi modern, seperti
perkebunan, pertambangan, perusahaan manufaktur skala besar, sistem
perbankan, fasilitas publik, dan perdagangan antara di kota maupun
pedesaan.17 Diskriminasi terhadap pengusaha Tionghoa dalam program
Benteng ini membuat Siauw Giok Tjhan yang menjadi anggota parlemen
sekaligus perwakilan etnis Tionghoa memprotes kepada DPR, menurutnya
program Benteng ini terlalu rasialis dan mendiskriminasi peran orang
Tionghoa dalam ekonomi nasional.18
Dalam prakteknya pemerintah tidak dapat melepaskan pengaruh kuat
dominasi pengusaha Tionghoa, karena mereka menguasai perdagangan
ekspor-impor. Selain itu mereka juga memiliki jaringan yang kuat dan efektif,
15 Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi
Kemerdekaan 1940-1950. (Yogyakarta: Penerbit Niagara, 2005), hlm. 373.
16 Thee Kian Wie, “Indonesia’s First Affirmative Policy: The “Benteng”
program in The 1950’s”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 36.
17 Yoshihara Kunio, op.cit., hlm. 55-60.
18 J. Th. Linblad, “Beyond Benteng: Indonesian Entrepreneurship in
jaringan ini sudah sangat lama terbentuk dan memiliki hubungan dengan
jaringan internasional.19 Meskipun pribumi pada masa ini diuntungkan dan
mendapat prioritas dari perdagangan impor tetapi hanya beberapa
pengusaha pribumi saja yang dapat mengembangkan perusahaannya. Hal ini
disebabkan Indonesia yang didiami berbagai etnik, membuat jaringan
pribuminya hanya terbatas pada lokasi tertentu dan tidak dapat terhubung
satu dengan yang yang lainnya.
Selain itu, Kebijakan Benteng juga melahirkan para importir-importir
gadungan. Para pengusaha pribumi (si Ali) yang tidak memiliki modal dan
tempat usaha, dengan membawa “aktentas” keluar masuk kantor Lembaga
Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) untuk mendapatkan lisensi
impor. Setelah mereka mendapatkan lisensi tersebut, mereka mendatangi
pengusaha Tionghoa (si Baba) untuk menjual lisensi tersebut.20 Kerjasama
inilah yang kemudian terkenal dengan istilah sistem Ali-Baba. Keinginan
pemerintah untuk menyingkirkan peran orang Tionghoa lewat program
Benteng bukan hanya merupakan tugas yang sulit, tetapi juga sangat tidak
efektif. Hal ini dikarenakan ativitas ekonomi Tionghoa yang sudah
berlangsung lama, secara tidak langsung telah terjalin hubungan yang lebih
dekat dengan pribumi Indonesia.
19 op.cit., hlm. 76.