Pergeseran Gulma dan Hasil Kedelai pada Pengolahan Tanah dan Teknik
Pengendalian Gulma yang Berbeda
Weed Shifting and Soybean Yield on Different Soil Tillage and Weed Control
Technique
Nanik Setyowati, Uswatun Nurjanah dan Afrizal Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu 38371
Email : [email protected]
ABSTRACT
Soybean can be planted either in tillage or no-tillage soil. Weed is one of many problems in soybean cultivation. Recently, there are limited informations on soybean weed control at different soil tillage. The aim of this research were to explain the effect of soil tillage and weed control technique on weed shifting and to explain the effect of soil tillage and weed control technique on weed growth and soybean growth and yield. The research was conducted in Bengkulu from September 2004 through January 2005. Insects and diseases were not controlled during the research. The research was conducted using Randomized Complete Block Design (RCBD) factorial consisted of two factors and replicated three times. The first factor was tillage system, consisted of no-tillage and tillage. The second factor was herbicide dosage, consisted of no weeding (control), weeding at 4 and 6 week after planting and oxadiazone herbicide control. Soil tillage and weed control technique differences shifted the weeds. There was five weeds species growth at the time of land clearing and Imperata cylindrica was the dominance species. After weed control activities, there was 28 weeds species and Borreria alata was the dominance species followed by I. cylindrica. Soybean planted in no-tillage soil and the weeds controlled at 4 and 6 week after planting yielded 63.1% higher plant dry weight compared to that planted in tillage soil where the weed was controlled at the same time. Pod number and seed dry weight were not affected by soil tillage and weed control differences. Further research need to be conducted using the same treatments, however insects and diseases need to be controlled to get better soybean growth and development.
Key words : soybean, tillage, no tillage, weed control, Imperata cylindrica, Borreria alata
PENDAHULUAN
Usaha peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan baik secara ekstensifikasi maupun intensifikasi dengan menanam kedelai pada lahan TOT (tanpa olah tanah). Pengendalian gulma pada saat pembukaan lahan umumnya dilakukan dengan cara pengolahan tanah, namun demikian herbisida merupakan alternatif lain yang dapat digunakan untuk membuka lahan. Praktek penanaman TOT lebih efisien dibandingkan pengolahan tanah sempurna (Bangun 1994). Kedelai yang ditanam pada lahan yang diolah atau lahan TOT hasilnya masih belum konsisten, namun demikian hasil penelitian Oktariza (2002) menunjukkan, kedelai yang ditanam pada lahan TOT hasilnya 1,8 toh/ha, lebih tinggi dibandingkan yang ditanam pada lahan yang diolah yang hanya menghasilkan 0,7 ton/ha (Maryanto et al, 2000).
Gulma merupakan salah satu faktor yang dapat menekan hasil kedelai yang ditanam di lahan kering. Penurunan hasil yang diakibatkan persaingan antara gulma dengan tanaman kedelai sangat bervariasi, antara 18 – 76%. Kedelai yang gulmanya tidak disiangi hasilnya dapat turun sampai 55%.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengendalikan gulma, salah satunya dengan menggunakan herbisida. Pengendalian dengan menggunakan herbisida cukup efisien dalam menekan ongkos tenaga kerja dibandingkan secara mekanik.Untuk mendapatkan hasil pengendalian gulma yang efektif dan efisien maka penetapan herbisida yang akan dipakai menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan.
Herbisida oxadiazon merupakan herbisida purna tumbuh yang dapat mengendalikan gulma rumput maupun berdaun lebar (Humburg et al, 1989). Dosis oxadiazon 2 L/ha dapat mengakibatkan keracunan sedang pada tanaman kedelai (20-50%) namun demikian mampu menekan pertumbuhan gulma sebesar 75% (Supriyo dan Budiman, 1994). Setyowati et al, (2005) juga melaporkan bahwa aplikasi herbisida glyfosat mempu mengubah komposisi gulma pada lahan yang semula didominasi alang-alang dengan jenis-jenis baru seperti
Cleome rutidospermae, Desmodium heterophyllum, Chromolaena odorata dan Cyperus compressus. Susanto (2001) melaporkan, penyiangan gulma secara manual dapat menekan pertumbuhan gulma sebesar 12,5%.
Dengan demikian, sistem pengolahan tanah dan teknik pengendalian gulma mempunyai peranan penting dalam budidaya kedelai. Oleh karena itu penelitian mengenai sistem olah tanah dan teknik pengendalian gulma yang efektif perlu dilakukan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh pengolahan tanah dan cara pengendalian gulma terhadap pergeseran gulma, membandingkan pengaruh pengolahan tanah dan cara pengendalian gulma terhadap pertumbuhan gulma serta membandingkan pengaruh pengolahan tanah dan cara pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa Talang Kering, Kecamatan Muara Bangkahulu, Kodya Bengkulu pada bulan September 2004 sampai Januari 2005 dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktorial, dua faktor dan diulang tiga kali. Faktor pertama pengolahan tanah yang terdiri dari P0=Tanpa Olah Tanah (TOT) dan P1= Olah Tanah Sempurna (OTS) dan faktor kedua pengendalian gulma yang terdiri dari G0= Tanpa pengendalian; G1= Penyiangan pada 4 dan 6 MST dan G2= Oxadiazon diaplikasikan 4 MST.
Ukuran petak penelitian 3 m x 4,5 m, jarak antar petak 1 m dan jarak antar ulangan 1 m. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak kuadrat 0,5 m x 0,5 m pada masing-masing petak penelitian. Aplikasi herbisida glifosat (6 L/ha Round Up) dilakukan 2 minggu sebelum tanam untuk petak TOT, sedangkan untuk petak OTS tidak disemprot herbisida. Penyemprotan herbisida oxadiazon dilakukan pada umur 4 MST dengan volume semprot 500 L/ha. Pada petak TOT, gulma dirobohkan dua minggu setelah aplikasi herbisida Sedangkan pada petak OTS, lahan diolah dua kali, satu minggu sebelum tanam dan satu hari sebelum tanam.
Dua benih kedelai ditanam dengan sistem tugal pada kedalaman 3 cm dan jarak tanam 20 cm x 30 cm. Sebelum ditanam benih diinokulasi bakteri Rhizobium japonicum
dengan dosis 10 g/kg kedelai. Pada setiap lubang tanam dimasukkan carbofuran dengan dosis 0,3 kg/ha. Pemupukan dilakukan dengan sistem tugal pada dosis N 23 kg/ha yang diberikan 2 kali, pada saat tanam dan 3 MST. Pupuk P2O5 (36 kg/ha) dan pupuk K2O (60
Penjarangan dilakukan pada 2 MST. Pengendalian gulma dilakukan sesuai dengan perlakuan penelitian namun demikian hama yang ada tidak dikendalikan mengingat pada lahan yang sama juga dilakukan penelitian tentang musuh alami dan serangan hama pada tanaman kedelai dan gulma.
Panen dilakukan setelah 90% polong telah masak yang ditandai dengan perubahan warna polong menjadi coklat dan kering.
Variabel yang diamati meliputi identifikasi spesies gulma, bobot kering gulma, frekuensi kemunculan gulma dan kerapatan gulma. Sedangkan untuk kedelai meliputi luas daun, tingkat kehijauan daun, jumlah stomata, jumlah bintil akar, bintil akar efektif, bobot kering tanaman, jumlah polong panen, jumlah polong rusak serta bobot biji layak konsumsi.
Analisis Data
Analisis Vegetasi dilakukan untuk mendapatkan nilai SDR. Selanjutnya nilai SDR digunakan untuk menghitung nilai koefisien komunitas (C) (Tjitrosoedirjo et al, 1984). Data hasil pengamatan diuji Normalitasnya (Kolmogrov-Simirnov), sedangkan data yang tidak normal dilakukan transformasi data dengan Log (x + 5) dan Vx + 0,5. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji F (5%). Jika beda nyata dilanjutkan dengan uji BNT (5%) sedangkan uji lanjut interaksi berat kering tanaman 9 MST dilakukan dengan DMRT (5%).
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian
Lahan yang digunakan memiliki BV 0,84 g/cm3. Menurut Rachman (1987) apabila
suatu tanah BV nya tidak lebih dari 1,2 g/cm3 maka lahan tersebut tidak perlu diolah.
Faktor lingkungan yang cukup mempengaruhi pertumbuhan kedelai selama penelitian berlangsung adalah curah hujan. Curah hujan selama fase generatif relatif tinggi yaitu 547 mm (November) dan sebesar 608 mm pada bulan Desember. Curah hujan ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan keperluan tanaman kedelai yang menghendaki kisaran curah hujan 150 – 200 mm/bulan (Fachruddin, 2000). Disamping itu benih berkecambah tidak serempak satu minggu setelah tanam. Beberapa tidak tumbuh sehingga perlu dilakukan penyulaman.
Koefisien Komunitas Gulma (C)
Dari hasil analisis vegetasi gulma sebelum aplikasi herbisida (SAH) diperoleh nilai C antara blok I : blok II = 77,47%; blok I : blok III 88% dan blok II : blok III 77,47%. Nilai tersebut menunjukkan adanya keseragaman komunitas gulma pada lahan penelitian. Adapun nilai C setelah adanya perlakuan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Koefisien komunitas gulma 5 dan 9 minggu setelah tanam Waktu Penyiangan 4 dan 6 MST, dan G2 = oxadiazon (2L/ha)
terangkat ke atas permukaan sehingga jenis gulma yang muncul menjadi lebih banyak. Mortimer (1991) menyatakan, peningkatan temperatur tanah dan kualitas cahaya dapat mematahkan dormansi gulma.
Pada umur 9 MST, nilai C untuk G0 : G1 dan G0 : G2 lebih kecil dari 75 % mengisyaratkan bahwa komposisi gulma tidak seragam. Hal ini karena pada petak G1 dan G2 dilakukan pengendalian gulma sehingga gulma yang tumbuh terhambat. Pada kondisi ini juga, kanopi tanaman sudah menutupi areal penelitian. Disisi lain, pada petak G0 gulma dibiarkan tumbuh dengan baik. Hal serupa dilaporkan oleh Supriyo dan Budiman (1994) bahwa cara pengendalian gulma dapat menggeser kompisisi gulma menjadi tidak seragam
Teknik pengendalian gulma (G1 dan G2) yang berbeda dapat menghasilkan komposisi gulma yang berbeda (Tabel 2). Hal ini terjadi karena pada perlakuan G1 gulma yang telah disiang dibuang ke luar petakan sedangkan pada perlakuan G2 herbisida yang diaplikasikan hanya mampu menekan gulma berdaun lebar. Herbisida oxadiazon efektif mengendalikan gulma semusim jenis berdaun lebar (Zimdahl, 1993). Hasil penelitian Supriyo dan Budiman (1994) juga menunjukkan bahwa penyiangan dan aplikasi herbisida oxadiazon dapat menurunkan pertumbuhan gulma masing-masing sebesar 92% dan 75%.
Nilai SDR Sebelum Aplikasi Herbisida dan 9 MST
Pada awal penelitian dijumpai 5 speseies gulma yang tumbuh yaitu Imperata cylindrica, Eupatorium odoratum, Mikania micrantha, Oxalis barrelieri, dan Cyperus rotundus. Jenis gulma yang tumbuh pada 9 MST (Tabel 2) diduga berasal dari biji-biji yang selama ini dorman. Akibat kegiatan pengolahan tanah menyebabkan biji-biji gulma yang ada dapat berkecambah dan menjadi individu baru.
Gulma yang tumbuh pada 9 MST sebanyak 22 spesies. Hal ini menunjukkan munculnya jenis gulma-gulma baru seperti Stemodia verticiliata, Euphorbia hirta, Erigeron sumatrensis, Spigelia anthelmia, Desmodium heterophyllum, Pyllantus niruri, croton histus, Polanasia icosandra, Acalypha indica, Panicum repens, Bidens pilosus, Osbeckia chinensis, Sinedrella nodiflora, Hydrolea spinosa dan Crotalaria striata.
Beberapa kriteria yang biasa dipenuhi untuk mengevaluasi keberhasilan pengendalian gulma salah satunya adalah bertambahnya spesies gulma setelah dilakukan pengendalian. Sastroutomo (1990) menyatakan, pengendalian gulma dikatakan berhasil apabila mampu meningkatkan spesies gulma yang tumbuh pada pertanaman tetapi dalam jumlah sedikit. Hasil penelitian Setyowati et al (2005a dan 2005b) dan Megawaty (2002)
Tabel 2. Nilai SDR gulma pada 9 MST
Spesies SDR (%)
P0G0 P0G1 P0G2 P1G0 P1G1 P1G2
Rumput
Imperata cylindrica 9,55 5,41 19,63 12,2 36,68 32,28
Eleusine indica 5,58 0 0 0 4,38 6,13
Panicum repens 0 0 8,24 7,5 9,87 13,43
Daun lebar
Borreria alata 24,29 26,01 9,87 45,83 20,79 25,58
Oxalis barrelieri 9,6 6,41 4,45 2,19 4,64 0
Stemodia verticiliata 3,72 0 0 2,87 0 0
Mikania micrantha 9,52 29,54 8,46 2,52 0 0
Mellochia corchorifolia 0 4,27 12,04 5,03 2,86 4,33
Euphorbia hirta 5,41 0 0 0 0 0
Erigeron sumatrensis 5,54 0 0 0 0 0
Spigelia anthelmia 10,27 0 0 0 0 0
Desmodium heterophyllum 12,89 0 0 10,25 4,53 0
Phyllantus ninuri 3,62 3,85 0 0 4,95 4,25
Croton hirtus 0 11,07 0 2,52 0 0
Polanasia icosandra 0 0 30,67 0 0 0
Acalypha indica 0 0 6,63 0 0 0
Bidens pilosus 0 0 0 2,1 0 0
Osbeckia chinensis 0 0 0 2,01 0 0
Sinendrella nodiflora 0 13,45 0 2,13 0 0
Hydrolea spinosa 0 0 0 2,86 0 0
Crotalaria striata 0 0 0 0 8,42 9,93
Teki
Cyperus rotundus 0 0 0 0 2,87 4,08
99,99 100,01 99,99 100,01 99,99 100,01
Keterangan: P0 = Tanpa Olah Tanah, P1 = Olah Tanah Sempurna, G0 = Tanpa Pengendalian, G1 = Penyiangan 4 dan 6 MST, G2 = oxadiazon (2 L/ha)
Meningkatnya spesies gulma yang muncul baik pada perlakuan TOT maupun OTS diduga terjadi akibat pelapukan I. cylindrica yang selanjutnya tidak berperan sebagai mulsa. Terjadinya pelapukan ini menjadikan cahaya matahari mampu menembus mulsa sehingga biji-biji gulma yang ada mampu berkecambah dan tumbuh. Dikatakan oleh Mortimer (1991) bahwa peningkatan temperatur tanah dan kualitas cahaya dapat mematahkan dormansi biji gulma.
Pada perlakuan P1G1 dan P1G2 lahan didominasi oleh I. cylindrica. Hal ini terjadi karena ada kegiatan pengendalian gulma yang menjadikan petak penelitian tidak ternaungi gulma lain sehingga I. cylindrica tumbuh dominan. Menurut Moenandir (1990), I. cylindrica merupakan jenis gulma yang tidak tahan terhadap naungan.
Secara umum spesies gulma yang tumbuh pada lahan yang gulmanya tidak dikendalikan (G0) jumlahnya lebih banyak (18 jenis) dibandingkan yang lahannya disiang (G1 = 13 jenis) dan dikendalikan dengan oxadiazon (G2 = 12 jenis). Hal yang sama dikemukakan oleh Ardjasa dan Bangun (1985), lahan yang gulmanya tidak dikendalikan jenis gulma yang tumbuh lebih banyak dibandingkan dengan lahan yang gulmanya dikendalikan.
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai
Hasil analisis keragaman pada pertumbuhan kedelai disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai F-hitung variabel pertumbuhan kedelai
Waktu Nilai F-hitung
Variabel pengamatan P G P x G
Luas daun 9 MST 0,01 ns 14,20 * 2,21 ns
Tingkat kehijauan daun 9 MST 3,38 ns 2,87 ns 0,18 ns
Jumlah stomata 9 MST 4,26 ns 1,58 ns 0,74 ns
Jumlah bintil akar total 6 MST 3,88 ns 5,19 * 1,88 ns
Jumlah bintil akar efektif 6 MST 1,66 ns 1,51 ns 1,32 ns
Berat kering tanaman 6 MST 0,03 ns 0,50 ns 12,23 *
Jumlah polong per tanaman Panen 1,59 ns 1,47 ns 2,03 ns
Jumlah polong rusak per tanaman Panen 0,27 ns 1,28 ns 1,04 ns
Berat biji yang bagus per tanaman Panen 0,55 ns 0,74 ns 0,88 ns
Keterangan; P = Pengolahan Tanah, G = Pengendalian Gulma, * = berpengaruh nyata (5%), ns = tidak berpengaruh nyata
Tabel 3 menunjukkan, perbedaan pengolahan tanah tidak berpengaruh terhadap semua variabel yang diamati. Hal ini diduga karena tanahnya sudah cukup gembur yang tercermin dari nilai BV sebesar 0,84 g/cm3. Rachman (1987) melaporkan bahwa pengolahan tanah
dapat dilakukan apabila BV tanah diatas 1,2 g/cm3. Hal ini dapat dimengerti mengingat
tanah yang BVnya dibawah 1,2 g/cm3 kondisi tanahnya sudah cukup gembur, akar mampu
menembus tanah sehingga perakaran berkembang dengan baik dan pertumbuhan tanaman tidak terganggu.
Tingkat kehijauan daun dan jumlah stomata tidak dipengaruhi oleh perbedaan pengolahan tanah dan pengendalian gulma (Tabel 3). Faktor genetik dalam hal ini diduga lebih berperan daripada faktor lingkungan. Menurut Rostini et al. (2000) kandungan klorofil dipengaruhi oleh faktor genetis. Perlakuan pengendalian gulma juga menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap variabel jumlah polong pertanaman. Hal ini disebabkan tidak dilakukannya pengendalian hama selama penelitian berlangsung yang menyebabkan pada tiap fase pertumbuhan tanaman kedelai terserang hama Nezara viridula, Lamprosema sp., Etiella spp., Spodoptera litura dan belalang.
Kondisi lingkungan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil tanaman. Pada bulan Desember curah hujan sangat tinggi, sehingga mempengaruhi pemasakan biji. Hasil penelitian Sulaiman (1994) menunjukkan, semakin lama curah hujan makin besar penurunan mutu dan hasil kedelai. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Mardiah (2003) yang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang sub optimal sangat mempengaruhi pembentukan polong dan berat biji.
banyak polong yang terbentuk, serangan hama juga semakin tinggi. Pada gilirannya, biji yang rusak juga semakin banyak.
Metode pengendalian gulma ternyata mempengaruhi pembentukan bintil akar. Kedelai yang ditanam pada lahan yang gulmanya dikendalikan secara kimiawi bintil akar yang terbentuk lebih banyak dari dua perlakuan lainnya (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah bintil akar dan luas daun
Jumlah Bintil akar
Pengendalian gulma Total Efektif LD (cm2) 9 MST
G0 2,33 b 0,84 683,34 a
G1 1,50 b 0,67 690,22 a
G2 3,17 a 1,67 346,38 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji BNT (5%) G0 = Tanpa Pengendalian, G1 = Penyiangan 4 dan 6 MST, G2 = Oxadiazon (2 L/ha), LD = Luas daun
Hasil serupa dihasilkan dari lahan yang gulmanya dikendalikan dengan herbisida glifosat pada dosis 6 L/ha (Suroto, 2001). Namun demikian pupuk N yang diaplikasikan 2 kali menjadikan N yang tersedia bagi tanaman juga lebih banyak. Fenomena ini menyebabkan bintil akar yang sudah terbentuk tidak bisa berkembang efektif. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Yutono (1999), dengan pemberian N melalui pemupukan akan dapat mengurangi jumlah N2 yang difiksasi oleh bintil akar.
Luas daun tanaman kedelai yang ditanam pada lahan yang gulmanya dikendalikan dengan oxadiazon lebih rendah dibandingkan dua perlakuan lainnya (Tabel 4). Hal ini disebabkan, tanaman mengalami stagnasi atau pertumbuhannya terhambat setelah aplikasi herbisida. Supriyo dan Budiman (1994) juga melaporkan bahwa aplikasi herbisida oxadiazon pada kedelai mengakibatkan tingkat keracunan yang sedang (20-50%) yang ditandai dengan warna dan bentuk daun yang kurang normal.
Tabel 5. Berat kering tanaman (g/tan.) pada 9 minggu setelah tanam
Pengendalian gulma
Olah tanah G0 G1 G2
Tanpa Olah Tanah (P0) 7,16 a 8,02 a 3,43 a
(A) (A) (B)
Olah Tanah Sempurna (P1) 3,03 b 4,92 b 4,83 a
(A) (A) (A)
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama arah vertikal dan huruf besar yang sama arah horizontal tidak berbeda nyata pada uji DMRT (5%)
G0 = Tanpa Pengendalian G1 = Penyiangan 4 dan 6 MST, G2 = oxadiazon (2 L/ha),
Tabel 5 menunjukkan bahwa efek pengendalian gulma terjadi pada P0, namun tidak pada P1. Tanah yang tidak diolah, baik yang gulmanya tidak dikendalikan maupun yang dikendalikan pada umur 4 dan 6 MST, berat kering gulma yang dihasilkan tidak berbeda (P0G0 dan P0G1). Hal ini sejalan dengan luas daun yang dihasilkan (Tabel 4). Hasil ini mengindikasikan, semakin luas daun yang dihasilkan maka fotosintat yang dihasilkan juga lebih besar. Sedangkan berat kering tanaman merupakan manifestasi dari semua proses dan peristiwa yang terjadi dalam pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1990).
Sitompul dan Guritno (1990) menyatakan, tingginya luas permukaan daun akan berpengaruh terhadap pemanfaatan cahaya matahari.
Bobot kering tanaman yang dihasilkan dari lahan yang tanahnya diolah, baik yang gulmanya dikendalikan maupun yang tidak, hasilnya sama. Hal ini terjadi karena pada lahan yang tanahnya diolah bobot kering gulmanya lebih tinggi dibandingkan TOT. Pada kondisi tersebut, tanaman berkompetisi dengan gulma dalam memanfaatkan unsur hara maupun cahaya natahari, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Hal senada dilaporkan oleh Adrizal dan Lamid (1994), semakin tinggi bobot kering gulma semakin rendah berat kering tanaman.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan:
1. Pengolahan tanah dan pengendalian gulma yang berbeda mampu merubah komposisi gulma menjadi tidak seragam.
2. Terdapat 28 jenis gulma yang berasosiasi dengan tanaman kedelai yang ditanam pada lahan alang-alang, diantaranya ada 2 jenis gulma dominan yaitu Borreria alata dan
Imperata cylindrica.
3. Gulma B. alata tidak tumbuh pada lahan yang tanahnya diolah pada 5 MST, namun demikian pada 9 MST B. alata mendominasi lahan yang gulmanya tidak dikendalikan. 4. Lahan yang gulmanya dikendalikan 2 kali pada 4 dan 6 MST luas daunnya lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dikendalikan dengan herbisida oxadiazon. Namun demikian bintil akar yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan pengendalian gulma secara mekanik
5. Tanaman kedelai yang ditanam dengan sistem TOT dan gulmanya dikendalikan pada 4 dan 6 MST bobot keringnya 63,09% lebih tinggi dibandingkan sistem OTS yang gulmanya dikendalikan pada waktu yang sama.
6. Jumlah polong panen, jumlah polong rusak, dan berat biji pertanaman tidak dipengaruhi baik oleh cara pengolahan tanah maupun teknik pengendalian gulma.
Penelitian lanjutan dengan perlakuan yang sama perlu dilakukan, namun pengendalian hama dan penyakit perlu dilaksanakan untuk memperoleh hasil kedelai yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adrizal, dan Z. Lamid. 1994. Pengendalian gulma secara mekanis dan khemis, pada kedelai setelah padi gogo. hlm. 269-273. Prosiding Konferensi XII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N. Jalid, A. Rachman, dan Ardi (eds), Padang, 11-13 Juli 1994.
Arjasa, W.S. dan P. Bangun. 1985. Gulma kedelai dan pengendaliannya. Dalam
Sumaatmadja, S., M. Ismunadi, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswaedi. Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Bangun, P. 1994. Budidaya padi sawah dengan sistem tanpa olah tanah. hlm. 301-309. Prosiding Konferensi XII HIGI. Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N. Jalid, A. Rachman, dan Ardi (eds), Padang, 11-13 Juli 1994.
Fachruddin, L. 2000. Budidaya Kacang-Kacangan. Kanisius, Yogyakarta.
Humburg, N.E., S.R. Colby, R.G. Lym, E.R. Hill, W.J. Mcavoy, L.M. Kitchen and R. Prasad. 1989. Herbiside Handbook of the Weed Science Society of America. Weed Science Society of America, Illinois.
Mardiah. 2003. Pertumbuhan gulma dan hasil kedelai setelah aplikasi campuran herbisida glifosat + 2,4-D dengan dosis dan waktu aplikasi yang berbeda pada sistem tanpa olah tanah. Universitas Bengkulu, Bengkulu (tidak dipublikasikan).
Maryanto, E., D. Suryati dan N. Setyowati. 2002. Pertumbuhan dan hasil beberapa galur harapan kedelai pada kerapatan tanam berbeda. Akta Agrosia : Media Informasi Agronomi 5(2):47-52
Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Cetakan Pertama. Rajawali Press, Jakarta.
Mortimer, A.M. 1991. The Clasification and Ecology of Weed. p: 13-67. Labora, M.R., Caseley, J.C. and Pahru (ed.) Weed Management for Develove Cauntries. FAO. USA. Munir, R., Zulirfan, dan Adrizal. 1994. Pengendalian Alang-Alang dengan tanaman
kompetitif. hlm. 259-263. Prosiding Konferensi XII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N. Jalid, A. Rachman, dan Ardi (eds), Padang, 11-13 Juli 1994.
Oktariza, S. 2002. Kajian interval waktu penyiangan gulma dan dosis campuran herbisida glifosat + 2,4-D terhadap pergeseran gulma dan komponen hasil kedelai pada sistem TOT. Universitas Bengkulu, Bengkulu (tidak dipublikasikan).
Rachman, L.M. 1987. Penerapan sistem budidaya pertanian tanpa olah tanah ditinjau dari sifat fisik tanah. hm: 13-23. Prosiding Pengolahan Tanah. Kristina, H.F.(ed), Bogor 17 Desember 1987.
Rostini, N., A. Baihaki, R. Setiamihardja, dan G. Suryatmona. 2000. Pewarisan karakter kandungan klorofil pada kedelai. Zuriat XI (2): 65-71.
Sastroutomo, S.S. 1990 Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Setyowati, N., U. Nurjanah dan A. Altubagus. 2005a. Pergeseran gulma pada budidaya
jagung manis yang ditanam pada system tanpa olah tanah (TOT) di lahan alang-alang. hlm:IV.57. Pros. Konf. Nas. XVII HIGI. Siwi Hardiastuti, Endah Budi Irawati, Lagiman, Sari Virgawati, Tuti Setyaningrum, Mofit Ekon Purwanto dan Partoyo (eds), Yogyakarta 20-21 Juli 2005.
Setyowati, N., U. Nurjanah dan M. Yarni. 2005b. Tanggap kedelai kultivar Willis dan
Burangrang terhadap pergeseran gulma pada jarak tanam berbeda. Agripura : Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura 1(1):24-27.
Sitompul, S.M. dan G. Guritno. 1990. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sukman, Y. dan Yakub. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Cetakan Pertama. Rajawali Press, Jakarta.
Sulaiman, F. 1994. Kemunduran mutu dan hasil benih kedelai akibat deraan curah hujan secara simulasi pada fase reproduktif. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 2 (I): 1-4.
Supriyo, A. dan A. Budiman. 1994. Pengaruh cara pengendalian gulma terhadap hasil kedelai dan pertumbuhan gulma pada lahan bergambut. hlm. 278-283. Prosiding Konferensi XII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Lamid. Z., M. Kasim, Z. Irfan, N. Jalid, A. Rachman, dan Ardi (eds), Padang, 11-13 Juli 1994.
Suroto, D. 2001. Pengaruh glifosat dan legin terhadap pembentukan bintil akar dan hasil kedelai (Glycine max (L.) Merrill). hlm: 438-443. Prosiding Konferensi Nasional XV HIGI. Suroto, D., A. Yunus, E. Purwanto, Wartoyo, Supriyono (eds), Surakarta 17-19 Juli 2001.
Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo, dan J. Wiroatmojo. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Gramedia, Jakarta.
Yutono. 1999. Inokulasi rhizobium pada kedelai. Dalam Sumaatmadja, S., M. Ismunadi, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswaoedi. Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.