• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAN MAPPING PEMIKIRAN ISLAM KON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS DAN MAPPING PEMIKIRAN ISLAM KON"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAN MAPPING PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER (Mahmoud Muhammad Thaha dan Al-Na’im, Khaleed Abou Fadl, dan Abu Zayd)

Wacana Konseptual dan Kritik Rendra Khaldun1

Tuhan Tidak menghendaki sebuah kebenaran objektif atau tunggal. Tuhan menginginkan agar manusia mencari dan menemukan Kehendak Tuhan. Kebenaran adalah pencarian itu sendiri-pencarian itu sendiri adalah kebenaran tertinggi. Oleh karena itu, ketepatan jawaban diukur berdasarkan ketulusan seseorang dalam melakukan pencarian2

Pada tiga dekade terakhir ini kritik pemikiran keagamaan menjadi tema sentral yang menjadi perhatian hampir kebanyakan pemikir Muslim kontemporer. Mereka melihat bahwa krisis yang dialami masyarakat Islam hari ini tak lain hanya merupakan refleksi dari krisis yang tengah melanda pemikiran Islam. Untuk itulah mereka berpendat bahwa sudah saatnya untuk dilakukan autokritik atas pemikiran Islam.

Para tokoh muslim kontemporer berusaha menawarkan metodologinya masing-masing. Tawaran metodologi baru ini tidak seperti metodologi ulama klasik yang terlalu mencurahkan perhatian pada interpretasi literal terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Metodologi baru tersebut, terutama dari kelompok liberalisme religius, menekankan pada hubungan dilalektis antara perintah-perintah teks wahyu dan realitas dunia modern. Pendekatan yang digunakan adalah memahami wahyu baik dari sisi teks maupun konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dan masyarakat modern tidak dibangun melalui interpretasi literalis, melainkan melalui interpretasi terhadap ruh dan pesan universal yang dikandung teks wahyu.

Dalam konteks ini dan hubungannya dengan sikap dalam mengahadapi krisis, terutama krisis metodologi, para intelektual muslim dewasa ini dapat dibedakan ke dalam empat kelompok berikut: Pertama, kelompok yang menyikapi krisis atau tantangan ini dalam prespektif masa lampau (salaf). Menurut kelompok ini, segala bentuk perubahan akan menuju ke arah yang lebih buruk, sehingga sikap yang ditampilkannya adalah menarik diri dari realitas kemoderenan dan memusatkan perhatian pada pemeliharaan serta perlindungan warisan tradisi Islam. Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa melindungi warisan masa lalu saja tidak cukup, sebab tantangan sudah menghadang di muka, sehingga mereka berusaha secara aktif melalui gerakan sosio-politik agar supremasi Islam masa silam dapat dibangun kembali. Ketiga, adalah kelompok yang dengan berbagai cara berusaha mengkrompomikan dan mencari sintesis antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai modern. Namun sejauh itu, mereka tidak berani mengabaikan ajaran-ajaran Islam yang disebut al-Qur’an secara jelas dan rinci (qath’iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah). Kelompok keempat adalah kalangan sekuler, yang berpandangan bahwa persoalan agama dan dunia merupakan dua hal yang terpisah, sehingga semua gagasan modern dapat diterima sebagai sesuatu yang berada di luar agama.

Dalam upaya pembaharuan tersebut, muncullah tokoh-tokoh sarjana muslim kontemporer Isllam dari berbagai belahan dunia, seperti Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Sayyid Husein Nasr, Mohammed Arkoun, Isma’il Razi al-Faruqi, Mahmoud Muhammad

1Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram

2Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name Islamic Law, Authority, and Women (Oxford:

(2)

Thaha, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Khaleed Abou El-Fadl, Jasser Audah, Abdullah Saeed, dan lain-lain.

Pemikiran Mahmoud Muhammad Thaha dan Abdullah Ahmad Na’im

Mahmoud Muhammad Thaha, seorang ulama dan pemikir Sudan mengambil bagian dan ikut berpartisipasi dengan menawarkan metodenya yang orisonil dan genuine dalam mengembangkan metodologi pemahaman terhadap al-Qur’an. Di antara tokoh pembaharu yang ada, Mahmoud mempunyai latar belakang, landasan teologis dan kerangka epistemologis yang jauh berbeda. Mahmoud membedakan agama dengan syari’ah, syari’ah menurutnya hanya satu cara untuk memasuki agama, dan merupakan cara terendah atau batas minimal agama. Pandangan ini diserap oleh muridnya Abdullahi Ahmed al-Na’im3. Sejalan dengan Mahmoud, al-Na’im menyatakan bahwa syari’ah

bukanlah Islam itu sendiri melainkan hanyalah interpretasi terhadap teks (nash) yang dipahami melalui konteks historis tertentu4.

Lebih jauh menurut Mahmoud, memang benar jika dikatakan bahwa syari’ah Islam sudah sempurna. Akan tetapi, kesempurnaannya bukan terletak pada kebakuannya yang dianggap final, dan dengan demikian menjadi berakhir dan berhenti dengan wafatnya Nabi, melainkan justru karena kemampuannya untuk terus berkembang maju. Perkembangannya dilakukan melalui “intiqal min nashin ila nashin”, perpindahan dari satu teks ke teks yang lain. Yakni, perpindahan dari suatu teks yang tidak relevan ke teks yang lain yang dianggap relevan. Tegasnya, perpindahan dari teks untuk masa abad ketujuh ke teks untuk masa kini yang lebih beragam dan kompleks. Untuk itu terjadilah proses naskh, penghapusan atau penangguhan penerapan teks-teks al-Qur’an yang dianggap tidak relevan pada saat ini dan akan diterapkan pada masa dan waktu yang sesuai dengan spirit ayat-ayat yang dimansukh.5 Gagasan Mahmoud yang dilanjutkan

oleh al-Na’im mengenai syari’ah modern (humanis) dengan bertumpu pada redefinisi naskh ini menarik untuk dikaji.

Evolusi Syari’ah

Dengan mengkritik sosiologi dan filsafat Barat, serta tawarannya kepada Islam sebagai jalan tengah yang alternatif, dan meninggalkan jalan sekuler, Mahmoud berusaha memfokuskan pemikirannya dan penyelesaian dari agama itu sendiri. Namun demikian apabila Islam dengan syari’ahnya diterapkan untuk menjawab problem-problem modernitas, maka tidak akan menyelesaikan masalah karena, menurutnya, di dalam syari’ah masih terdapat diskriminasi gender (laki-laki dan perempuan) dan keyakinan keagamaan (muslim dan non-muslim) sehingga akan menghadapi problem baru yang berkaitan dengan hubungan dunia internasional.6

Satu-satunya jalan keluar dari dilema ini, menurut Mahmoud dan al-Na’im, adalah melakukan evolusi syari’ah. Menurut mereka, syari’ah bersifat historis dan bukan merupakan Islam secara keseluruhan, ia hanyalah tingkatan hukum Islam yang sesuai untuk diterapkan pada satu fase perkembangan manusia. Oleh karena itu ia mengusulkan 3 Abdullahi Ahmed An-Na’im, The Second Message of Islam by Ustadh Mahmoud Mohammed

Taha, (New York: Syracuse University Press, 1987), terj. Nur Rachman, Syari’ah Demokratik, (Surabaya: eLSAD, 1996)

4 Abdullah Ahmad al-Na’im, “Islamic Foundation of Islamic Human Rights,” dalam John Witte J.

Jr. dan J. van der Vyver (eds.), dan, “Religious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective”, (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996) h. 70.

5Mahmoud Muhammad Thoha, Arus Balik Syari’ah, Terj. Khairon Nahdliyyin, (Jogjakarta: LKiS,

2003) h. 16

(3)

untuk merombak syari’ah dengan cara berpindah dari teks al-Qur’an dan hadits (periode Madinah) yang selama ini menjadi fondasi syari’ah historis menuju teks-teks al-Qur’an dan hadits yang lain (periode Makkah) yang selama ini tidak diberlakukan untuk kemudian dijadikan fondasi bagi syari’ah modern yang humanis. Dengan demikian syari’ah menurut Mahmoud mengalami evolusi (tathawur), yaitu dengan berpindah dari ayat-ayat dan hadits yang selama ini menjadi landasan bagi diskriminasi terhadap kaum perempuan dan non-muslim menuju ayat-ayat dan hadits lain yang kemudian ditetapkan untuk mencapai kesetaraan secara penuh bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin dan agama. Perpindahan dari satu teks Qur’an dan hadits ke teks al-Qur’an dan hadits lain yang dapat dimungkinkan melalui konsep naskh, dalam arti penyeleksian terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadits yang dapat diterapkan secara sah atau relevan pada waktu tertentu.7

Redefinisi Makkiyah dan Madaniyah

Kalau para ulama terdahulu mendefinisikan Makkiyah sebagai bagian al-Qur’an yang turun sebelum peristiwa hijrah Nabi SAW ke Madinah dan mendefiniskan Madaniyah merupakan bagian Qur’an yang turun pasca hijrah, bagi Mahmoud dan al-Na’im tidaklah demikian. Menurut mereka Makkiyah adalah bagian al-Qur’an yang essensial (ushul) yang didalamnya terdapat nilai-nilai fundamental dan universal Islam, yakni keadilan, persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, toleransi, nilai dasar demokrasi, hak-hak asasi manusia dan ini merupakan tahapan iman8. Sedangkan

Madaniyah adalah bagian al-Qur’an yang bersifat furu’, yang berisi ajaran yang kurang toleran, kurang menimbang keadilan, bias gender dan kurang menghoramati dan bertoleransi terhadap pluralisme agama dan tahapan ini dalam terminologi mereka dikenal dengan nama tahapan Islam.

Lebih jauh menurut mereka bahwa ajaran Islam yang orisnil dan essesnial terdapat dalam ayat-ayat Makkiyah, tetapi karena kesadaran dan pola fikir bangsa Arab abad ke-VII tidak bisa menerima dan memahami nilai-nilai universal Islam itu maka kemudian yang diturunkan dan diberlakukan adalah ayat-ayat Madaniyah yang bersifat temporal dan kurang toleran. Bangsa Arab saat itu tidak bisa menerima apabila ada orang yang yakin dengan satu agama tetapi tetap menghormati agama lain.9

Jadi, tidak seperti ulama terdahulu yang mendefnisikan Makkiyah-Madaniyah hanya berdasarkan waktu turunnya ayat, Mahmoud dan al-Na’im mendefenisikan Makkiyah-Madaniyah berdasarkan lebih kepada siginfikansi kandungan makna ayat, universal atau tidak. Dalam hal ini ia mengajukan argumen sebagai berikut: Pertama; Al-Qur’an merupakan wahyu terkhir dan Nabi Muhammad merupakan Nabi yang terakhir juga. Konsekwensinya, al-Qur’an harus berisi semua yang dikehendaki Allah untuk diajarkan, baik ajaran yang akan diterapkan segera maupun ajaran yang akan diterapkan pada waktu yang akan datang. Kedua; Demi martabat dan kebebasan yang dilimpahkan Allah kepada seluruh umat manusia, Allah menghendaki umat manusia belajar melalui pengalaman praktis mereka sendiri dengan tidak bisa diterapkannya pesan Mekkah yang lebih awal yang kemudian ditunda dan digantikan oleh pesan Madinah yang lebih praktis.

Teori Naskh versi Mahmoud Muhammad Thaha dan Al-Na’im

Menyadari signifikansi ijtihad dalam rangka kontekstualisasi dan pembaharuan pemikiran Islam, al-Na’im mencoba melakukan ijtihad dengan menggunakan pendekatan

7Ibid, h. 15

8 Subhi al-Shalih, “Maba>hi>th fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n” (Beirut: Da>r ‘Ilm li al-Mala>yin, 1977) h. 259-260.

(4)

postulat yang telah digagas oleh Mahmoud Muhammad Thaha, yaitu teori ”naskh-evolutif“.10 Dalam pandangan Mahmoud Muhammad Thaha, nasakh lama yang

menganggap bahwa ayat-ayat Madaniyah menghapus ayat-ayat Makkiyah harus dibalik, yakni ayat Makkiyah-lah yang justru menghapus ayat Madaniyah. Prinsip pembalikan ini oleh Mahmoud Thaha disebutnya sebagai teori evolusi Islam. Menurut Mahmoud Muhammad Thaha, evolusi syari’ah merupakan sebuah cara melakukan peralihan dari suatu teks al-Qur’an ke teks yang lain, dari sebuah teks yang sesuai dan berlaku pada abad ke-7 kepada teks yang yang sesuai dengan abad ke-2011.

Bagi Mahmoud Muhammad Thaha dan al-Na’im, pada abad modern ini ayat-ayat Makkiyah justru menghapus ayat-ayat Madaniyah, karena ayat Makkiyah itu adalah ayat-ayat yang lebih universal dan abadi karena menganjurkan kebebasan, persamaan derajat tanpa diskriminasi gender, maupun agama dan kepercayaan dan ayat Makkiyah lebih relevan dengan kondisi masyarakat abad ke-20 sehingga mudah dipraktikkan setelah sekian lama ditunda dan diganti dengan ayat Madaniyah.12 Teori ini oleh al-Na’im

dipandang sebagai jalan untuk mengeluarkan syari’ah dari kebuntuan pemahaman. Menurutnya, bahwa dengan teori ini perlu dilakukan pengujian secara terbuka atas isi al-Qur’an yang melahirkan dua tahapan risalah dalam Islam, yakni periode Makkah dan Madinah.13 Mahmoud dan al-Na’im berpendapat, bahwa sebenarnya ayat-ayat Makkiyah

mengandung ajaran universalisme Islam, makna yang abadi, fundamental, emansipatif, egalitarian dan demokratif.14

Penegasan serta jalan pikiran yang dibangun oleh Mahmoud dan al-Na’im tersebut menunjukkan suatu perspektif yang hendak menegaskan bahwa kerangka fundamental untuk menjawab tantangan modernitas, khususnya, dalam konteks menjawab problematika hukum Islam ketika berhadapan dengan isu-isu kemanusiaan (HAM) adalah dengan menghidupkan dimensi universalitas ajaran Islam yang tertuang dalam ayat-ayat Makkiyah, yang ia sebut sebagai pesan Makkah. Aplikasi pesan Makkah yang tertuang dalam nash-nash al-Qur’an ini dia sebut sebagai aktualisasi teori “naskh al-hukmi du>na al-tila>wah”.15 Jadi, Mahmoud dan al-Na’im, mencoba mengubah

konsep nasakh pada tataran aplikatifnya dengan cara menunda pelaksanaan hukum, bukanlah menghapuskan hukumnya.

Selanjutnya, menurut Mahmoud dan al-Na'im, ayat Makkiyah sebagai nasikh terhadap ayat Madaniyah(mansukh) didasarkan atas beberapa hal;

Pertama, pesan ayat Makkah adalah pesan abadi dan fundamental yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Akan tetapi, karena pesan Makkah ini belum siap diterapkan pada abad ke-7 M. Tuhan menurunkan pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu.

Kedua, aspek pesan Makkah adalah abadi, hanya karena alasan kondisi zaman, pesan yang abadi itu ditunda pelaksanaannya.

Ketiga, pemberlakuan teori nasakh lama itu tidak permanen. Sebab, jika ia permanen berarti umat Islam menolak sebagian dari agamanya.16

10al-Na’im, Nahwa Tathwir, 97.

11Muhyar Fanani, "Abdullah Ahmad al-Na'im: Paradigma Baru Hukum Publik Islam," dalam Khudari

Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), 9.

12Ibid. 13Ibid., 93-94.

14al-Na’im, Dekonstruksi, 115-116.

15al-Na’im, Nahwa Tathwir, 91. Dalam kajian studi ulu>m al-Qur’a>n atau tafsir-tafsir

al-Qur’an, terma nasakh diberi berbagai macam makna. Lihat. Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Mana>hil al-‘Irfan fî ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 191.

(5)

Dengan demikian, upaya untuk meninjau kembali teori nasikh-mansukh tidak dalam konteks periode, tetapi lebih pada makna subtantif atau esensi, bukan tempat maupun waktu turunnya wahyu.

Pendekatan Hermeneutika: Sebuah Tawaran Metodologis Dari Khaled Abou El Fadl

Pada awalnya hermeneutika17 yang ditawarkan oleh Abou Fadl digunakan untuk

mengkritik hermeneutika otoriter Komisi Fatwa hukum Islam Timur Tengah. Menurutnya fatwa tersebut mengebiri otoritas Tuhan, membatasi peran Tuhan dan teks, mengunci rapat-rapat teks sehingga tidak ada ruang gerak yang dialogis antara teks, Tuhan dan pembaca. Padahal, ketiga elemen tersebut yakni teks, Tuhan dan pembaca merupakan elemen pokok dalam pendekatan hermeneutika Khaled Abou Fadl.

Resiko dari penutupan sebuah teks adalah bahwa teks akan dipandang tidak lagi relevan. Penetapan makna terakhir yang diletakkan pada teks akan menyegel makna teks untuk selamanya. Teks menjadi tidak relevan, dalam arti bahwa para pembaca tidak punya alasan untuk kembali merujuk teks dan menggelutinya. Para pembaca hanya perlu kembali pada penetapan makna yang terakhir dan memperdebatkannya, atau cukup untuk mengikuti saja.18

Jika dilihat dari sudut pandang sosiologis, dalam beberapa kasus hal ini tidak bisa dihindari, namun secara moral hal ini tetap tidak bisa dibenarkan. Menutup teks adalah bentuk kesombongan intelektual. Pembaca mengklaim memiliki suatu pengetahuan yang identik dengan pengetahuan Tuhan. Dengan mengklaim telah mengetahui arti sebenarnya dari teks pembaca seakan mengatakan bahwa “interpretasi saya sangat identik dengan makna teks sebenarnya”. Klaim tersebut sebenarnya telah menyandingkan penetapan makna pembaca dengan teks aslinya.19

Merebaknya bentuk otoritarianisme seperti inilah dalam bahasa Amin Abdullah digambarkan sebagai “penggunaan kekuasaan Tuhan” (author) untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang pembaca (reader) dalam memahami dan menginterpretasikan teks (text) yang menjadi kegelisahan Khaled Abou el Fadl. Khaled ingin mendekonstruksi otoritarianisme yang menjadi fenomena umum dalam Islam dengan menggunakan pendekatan hermeneutika. Ia ingin memposisikan bagaimana sesungguhnya hubungan antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author), dan pembaca (reader) dalam pergumulan pemikiran hukum Islam pada khususnya dan pemikiran pada umumnya.20

A. Memahami Dunia Teks, Pembaca, dan Pengarang dalam Diskursus Hermeneutika

Teks didefinisikan sebagai sekelompok entitas yang digunakan sebagai tanda, yang dipilih, disusun, dan dimaksudkan oleh pengarang dalam konteks tertentu untuk menghantarkan beberapa makna tertentu kepada pembaca. Teks biasanya tersusun dari dari berbagai simbol, dan simbol tersebut terbentuk dari berbagai entitas. Huruf, kata, dan 17Untuk definisi hermenutika lihat. E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat

(Yogyakarta: Kanisius, 1999), 23.

18 Hal ini diistilahkan dengan logic of repetition atau logic of juctification atau sakralitas

penemuan-penemuan sebelumnya. Lihat Ahkmad Minhadji, Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial Dalam Perspektif Sejarah, dalam Amin Abdullah, Mencari Islam Studi Islam Dengan Berbagai Pendekatan (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2000), 74.

19Khaled Abou el Fadl, Atas Nama Tuhan…, 213

20Amin Abdullah, Pendekatan Hermeneutik dalam Fatwa-fatwa Keagamaan Proses Negosiasi

(6)

angka bisa menjadi sebuah tanda jika ia tersusun dari entitas yang mengandung makna.21

Namun dalam diskusi ini yang dimaksud dengan teks adalah (al-Qur’an dan al-hadits). Dengan meminjam istilah Umberto Eco, Khaled Abou Fadl menginginkan bahwa al-Qur’an dan sunnah (text) dipandang sebagai “karya yang terus berubah”, yakni membiarkan diri mereka terbuka bagi berbagai jenis interpretasi. Teks terbuka tidak hanya mendukung interpretasi yang majemuk tapi juga mendorong proses penelitian yang menundukkan teks dalam posisi sentral karena kehendak Tuhan dapat ditemukan melalui pendekatan kumulatif dan terus menerus.22

Ketika seorang pembaca bergelut dengan teks23 dan menarik sebuah hukum dari

teks, resiko yang dihadapinya adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau penetapan membaca akan menjadi perwujudan eksklusif teks tersebut. Akibatnya teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini, teks itu tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca memilih sebuah cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain, teks tersebut larut kedalam karakter pembaca. Jika pembaca melampaui dan menyelewengkan teks, bahaya yang akan dihadapi adalah bahwa pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, melangit, dan otoriter.24

Oleh sebab itu diperlukan adanya sebuah jarak (space) antara pembaca, dan teks. Yang penting bukan apakah pembaca telah menampilkan makna sebenarnya dari seorang pengarang teks secara akurat, tapi apakah pembaca telah menghargai teks tersebut secara layak dengan mencoba memahaminya, bukan menolaknya.25

Makna dari sebuah teks tidaklah permanen dan akan berkembang secara aktif karena teks berbicara dengan makna yang diperbaharui kepada masing-masing generasi pembaca. Teks tetap relevan dan menduduki posisi sentral karena keterbukaannya memungkinkan dirinya untuk terus mengeluarkan makna. Selama teks bersifat terbuka, ia akan terus berbicara, dan selama ia berbicara ia akan terus relevan dan bermakna penting. Para pembaca akan selalu merujuk kepada teks karena teks akan menghasilkan pemahaman dan interpretasi baru.26

Berbeda halnya jika sebuah teks menjadi tertutup, tidak mampu lagi berbicara atau dibungkam suaranya, tidak ada alasan untuk menggeluti teks, dan bagaimanapun teks sudah membeku dan tertutup. Penutupan teks ini terjadi ketika pembaca bersikeras bahwa teks mengandung makna yang telah ditentukan, stabil, tetap, dan tidak berubah. Sebuah sumber akan menjadi teks yang tertutup ketika seorang pembaca menutup proses interpretasi dan menggabungkan teks dengan penetapan makna tertentu seperti misalnya jika makna dari sebuah hadits tertentu menjadi mapan, makna teks secara efektif telah dinyatakan tertutup.27

21Bandingkan dengan definisi teks yang dikemukakan oleh Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Nas} wa al-Sult}ah wa al-Haqi>qah(Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 2000), 150

22Khaled Abou el Fadl, Atas Nama.., 212

23Untuk membaca teks masa lampau, menurut gadamer ada tiga cara atau yang lebih dikenal

dengan istilah affective history yakni past, present, dan future. Untuk lebih jelasnya lihat E. Sumaryono, Hermenutika…, 31

24Ibid., 206 25Ibid., 211

26Hal ini disebabkan karena para penafsir membawa “kepentingan”nya sendiri-sendiri dalam

memproduksi komentar-komentar terhadap al-Qur’an (teks), karenanya tidaklan mengherankan jika beragam makna dan penafsiran dari tiap generasi. Untuk lebih jelasnya lihat Farid Esack, Qur’an: Liberationand Pluralism(Oxford: Oneworld, 1997), 161

(7)

Karenanya pembacaan yang cermat dan ketat terhadap teks menjadi basis kesamaan tujuan dan kepastian. Ini membuat sejumlah kalangan menyatakan bahwa teks memiliki realitasnya dan integritasnya sendiri, dan realitas dan integritasnya berhak untuk dipatuhi. Umberto Eco menyatakan bahwa teks memiliki integritas mendasar yang harus dihormati bahwa pembaca tidak boleh menggunakan teks secara bebas. Teks harus dipandang sebagai entitas kompleks yang maknanya tergantung sejarah dan konteksnya. Richard Rorty mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk memberikan status sakral kepada teks. Sepertinya nilai sebuah teks ditentukan oleh bagaimana teks itu digunakan oleh pembaca, sehingga penggunaan teks dipandang sah selama ia melayani tujuan yang memiliki manfaat praktis. 28

Dalam tataran simbolis, penyelidikan interpretasi dalam Islam harus dimulai dan diakhiri dengan maksud pengarang karena maksud Tuhan menentukan segalanya. Syari’ah merupakan salah satu produk dari upaya untuk mencari jalan Tuhan yang menuntut bahwa kehidupan yang baik harus dijalani dengan mengikuti arahan Tuhan melalui berbagai macam dalil. Dalil merupakan salah satu petunjuk untuk menunjukkan jalan menuju Tuhan. Wadah penampung petunjuk tersebut adalah teks, sehingga tugas satu-satunya yang dihadapi oleh seorang pembaca adalah mencari kehendak sebenarnya dari seorang pengarang teks.29

Jika kita ingin membaca teks untuk menganalisa sebuah petunjuknya dan untuk menarik implikasi normatif darinya, pembacaan yang bersifat historis mutlak diperlukan. Untuk mengkaji dinamika antara teks dan konteks historisnya, teks harus dibaca dengan sebuah pemahaman akurat tentang kaitan antara teks dan relevansi historisnya. Pembaca yang cermat akan mempertimbangkan fakta bahwa sebuah teks muncul pada masa lalu dan juga muncul pada masa kini. Sebuah teks pada masa lalu akan menyampaikan sebuah makna atau serangkaian makna dalam konteks masa lalu.memahami sebuah konteks masa lalu akan membantu kita menghindari bentuk anakronisme yang dipandang sebagai proyeksi oportunistik dan subyektifitas seorang pembaca atas sebuah teks.30

Teks tidak bersifat pasif dan para pembaca juga tidak mendekati teks dengan kepala kosong. Para pembaca mendekati teks dengan asumsi-asumsi dan normatifitas-normatifitas yang mereka bawa untuk diterapkan dalam proses interpretasi. Dinamika interaktif menciptakan komunitas interpretasi. Tapi pembacaan yang berkesinambungan dan pembacaan ulang terhadap interpretasi dan reinterpretasi terhadap teks, dapat menyusun ulang asumsi-asumsi para anggota komunitas interpretasi, dan konsep-konsepnya tentang makna.

Mengenai asumsi dasar tentang komunitas interpretasi, Khaled Abou Fadl menyebutkan empat jenis. Asumsi-asumsi tersebut berfungsi sebagai landasan untuk membangun analisis hukum, dan seringkali berfungsi sebagai batas luar bagi penetapan hukum. Keempat jenis asumsi dasar tersebut adalah pertama, asumsi berbasis nilai, menurut Abou Fadl asumsi berbasis nilai ini harus dibangun atas nilai-nilai normatif yang dipandang penting atau mendasar oleh sebuah sistem hukum. Asumsi-asumsi tersebut menjadi nilai-nilai mendasar dalam sebuah budaya hukum, atau apa yang oleh komunitas interpretasi hukum tertentu dipandang sebagai asumsi yang secara normatif diperlukan. Misalnya pelestarian kehidupan, perlindungan terhadap hak milik, pentingnya menjaga kesopanan, kebebasan berbicara, atau peningkatan berbagai bentuk ekspresi diri bisa menjadi nilai normatif yang mendasar sebagai sebuah sitem hukum.31

28 Ibid, 184.

29 Khaled Abou El Fadl, Atas Nama.., 190 30 Ibid., 192

(8)

Kedua, asumsi metodologis. Menurut Abou Fadl, asumsi metodologis pada sisi-sisi tertentu berbeda dengan asumsi-asumsi berbasis nilai, dan pada sisi yang lain asumsi-asumsi metodologis cenderung tumpang tindih dengan asumsi nilai dalam sistem hukum. Asumsi-asumsi semacam itu diakui sebagai perangkat bantu yang mempermudah tercapainya tujuan hukum. Asumsi-asumsi metodologis mungkin muncul dari pendekatan teoritis yang sistematis terhadap hukum, tetapi asumsi-asumsi tersebut cenderung bertahan dan berkembang melalui kekuatan kebiasaan. Asumsi-asumsi tersebut menjadi kerangka yang selalu digunakan oleh budaya hukum dalam menghasilkan hukum. Yang penting dicatat adalah bahwa perdebatan antara berbagai madzhab hukum sangat dipandang bersifat metodologis.32

Ketiga, asumsi berbasis akal. Menurut Abou Fadl asumsi berbasis akal ini berbeda dengan dua asumsi sebelumnya, asumsi berbasis akal memperoleh eksistensinya dari logika atau bukti hukum pada penetapan hukum yang bersifat substantif. Ia bukanlah hasil dari dinamika langsung antara Muslim dengan Tuhannya, tapi didasarkan pada hubungan antara seorang Muslim dengan dan berbagai bukti atau perintah Tuhan yang ia temukan. Asumsi berbasis akal diklaim bersandar pada potongan-potongan bukti yang bersifat kumulatif. Asumi semacam itu dipandang sebagai sebagai hasil dari proses objektif dalam mempertimbangkan berbagai bukti secara rasional, dan bukan hasil dari pengalaman etis, eksistensial, atau metafisik yang bersifat pribadi. Asumsi berbasis akal tidak mengakui pengaruh nilai normatif, tapi ia menegaskan sikap yang moderat dan objektif. Persoalan yang bersifat menentukan bagi jenis asumsi ini adalah bahwa, seperti halnya pembacaan literal terhadap hukum, ia mengklaim sebagai bebas nilai, dan didasarkan hanya pada bobot pembuktian.33

Keempat, asumsi berbasis iman. Asumsi berbasis iman ini menurut Abou Fadl lahir dari sebuah hubungan tambahan antara wakil dan Tuannya. Asumsi-asumsi ini tidak mengklaim diperoleh langsung dari perintah Tuannya, tapi dari dinamika antara wakil dan Tuannya. Asumsi-asumsi berbasis iman ini dibangun di atas apa yang kita sebut dengan pemahaman pokok atau mendasar tentang karakteristik pesan Tuhan dan tujuannya. Dengan demikian, asumsi-asumsi ini membentuk kesadaran atau keyakinan mendasar yang tidak akan dibagikan atau dipertanggungjawabkan kepada orang lain. 34

Oleh karena itu, sebuah komunitas interpretasi harus mampu mengetahui karakteristik utama dari asumsi-asumsi dasarnya apakah ia bersifat normatif, metodologis, didasarkan pada bukti, atau semata persoalan keimanan dan keyakinan? Menurut Abou Fadl, menjelaskan dan secara kritis menganalisis karakteristik dari asumsi-asumsi komunitas interpretasi tersebut akan menambah keterpaduan diskursus tersebut. Penggunaan berbagai asumsi-asumsi di atas secara intrinsik bukanlah tindakan otoriter. Tapi ketika asumsi-asumsi tersebut berubah menjadi objek loyalitas dan akhirnya menggantikan keberwenangan Tuhan dan perintah-Nya, maka asumsi-asumsi tersebut menjadi problematis. Sejauh mengenai asumsi-asumsi nilai, akal, dan metodologis, moralitas tertingginya adalah moralitas proses, bukan moralitas hasil.35

dikenal dengan kamaliyyat –kemewahan atau hiasan). Kemudian seringkali ditegaskan oleh para ahli hukum Islam bahwa keperluan mendasar terdiri dari lima nilai pokok (al-dharuriyyat al-khamsah): agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta. Semuanya dipandang sebagai nilai atau tujuan dasar yang harus dipenuhi atau dilindungi oleh syari'ah. Khaled Abou El Fadl, Atas Nama... 277. Bandingkan dengan konsep mas}lahah yang dikemukakan oleh al Sha>t}ibi dalam Abu Ishaq al-Sha>t}ibi, Al-Muwa>faqat Fi

Us}u>l Al-Shari>’ah. (Beirut, Libanon: Darl al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004)

32Khaled Abou El Fadhl, Atas Nama…., 229 33Ibid., 229

(9)

B. Pencarian Makna dan Kehendak Tuhan: Keseimbangan antara Teks, Pengarang, dan Pembaca

Dalam pandangan Abou Fadl, sebuah teks tidak memuat kehendak pengarang, sebuah teks memuat upaya pengarang atau pandangan tertentu berkaitan dengan maksud pengarang. Dengan kata lain teks hanya menceritakan kepada kita apa yang dipandang pengarang sebagai hal yang penting tentang dirinya untuk diungkapkan kepada pembaca berdasarkan dinamika historis tertentu yang ia hadapi. Maksud pengarang seperti terungkap dalam teks, terikat oleh pembaca, konteks historis dan bahasa. Teks juga tidak mewakili kehendak Tuhan dan juga tidak mewakili kehendak pengarang. Teks mewujudkan petunjuk-petunjuk kehendak Tuhan dan juga kehendak pengarang.36

Jika memang teks memegang peranan penting dalam menggapai kehendak Tuhan, maka harus dipelihara adanya dinamika proses penentuan makna secara “demokratis”. Dengan begitu, makna tidak boleh digenggam, dicengkram, dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh salah satu atau beberapa aktor yang membelakanginya. Perimbangan kekuasaan dalam penentuan makna perlu terus menerus dijaga dan dipelihara antara pengarang (author) pembaca (reader) dan teks (text). Dominasi atau kekuasaan yang berlebihan pada salah satu pihak akan menyebabkan kebuntuan intelektual.

Oleh karena itu menurut Abou Fadl agar dapat menentukan makna atau petunjuk-petunjuk kehendak Tuhan, maka antara teks dan pembaca harus melakukan proses negosiasi dan konstruksi. Proses negosiasi inilah yang akhirnya menjadi penentu makna. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa makna merupakan hasil sebuah interaksi antara pengarang, teks dan pembaca, artinya harus ada sebuah negosiasi antara ketiga belah pihak dan bahwa salah satu pihak tidak boleh mendominasi yang lain dalam proses penetapan makna.

Bagan Hermeneutika Abou Fadl

Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

Abu Zayd melihat bahwa wacana keagamaan sudah sangat keruh karena adanya tendensi ideologis yang membayanginya. Semua karya pemikiran keagamaan, baik bidang teologi, tafsir, fiqh, maupun yang lainnya tidak terlepas dari tendensi ideologis sang pengarang.37 Artinya, mereka diwarnai oleh kepentingan pribadi maupun kelompok,

baik yang bersifat kepentingan ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun interes-interes 36Ibid., h. 195

37Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 3.

Pengarang Pembaca

Teks

(10)

lainnya. Oleh karena itu, Abu Zayd berupaya melepaskan umat Islam dari kungkungan pemikiran keagamaan yang telah terkontaminasi oleh interes-interes subjektif tersebut38

dengan cara membongkar ideologi yang melingkupinya. Ia berupaya keras mengajak umat Islam untuk membaca al-Qur’an maupun sumber pemikiran keagamaan lainnya secara terbuka, objektif, dan produktif.39

Fenomena tersebut berlangsung dalam beberapa abad (abad tengah sampai abad modern) sehingga membuat percampuran antara esensi ajaran Islam dengan pemikiran umat Islam sangat kusut. Abu Zayd berhasil mengidentifikasi kekusutan tersebut dalam lima bentuk.40 Pertama, ada upaya pengidentikan “pemikiran keagamaan” dengan

“agama”. Hal ini menyuburkan justifikasi kebenaran karena apa yang sebenarnya hanya sekadar pemikiran dianggap sebagai esensi agama. Penafsiran terhadap al-Qur’an dianggap setara dengan al-Qur’an itu sendiri sehingga menjadi absolut dan tak boleh disentuh logika.

Kedua, penjelasan semua fenomena dikembalikan kepada prinsip penyebab tunggal (causa prima). Artinya, penjelasan terhadap semua persoalan, baik menyangkut persoalan sosial maupun kealaman cukup dijelaskan bahwa semuanya terjadi atas kehendak Tuhan sehingga logika kritis tidak diperlukan lagi.41Ketiga, ada ketergantungan

absolut pada otoritas salaf. Semua persoalan dicarikan penjelasan dan penyelesaiannya dengan menggunakan kitab-kitab karya ulama abad tengah yang belum tentu masih relevan untuk memecahkan persoalan-persoalan kekinian. Bahkan, umat Islam cenderung menganggap teks-teks tradisional salaf tersebut seolah-olah setara dengan teks primer, al-Qur’an, dan diberi kesucian setara dengan kesucian al-Qur’an. Keempat, tumbuhnya sikap truth-claim sehingga menolak adanya perbedaan pendapat sama sekali. Sikap ini merupakan dampak dari fenomena pertama sampai ketiga yang menggejala.

Kelima, pengabaian terhadap dimensi historis. Mereka tidak bersedia melihat bahwa pembentukan umat Islam dari zaman Nabi Muhammad hingga tercapainya masa kejayaan umat Islam pada masa khulafa al ra>shidin maupun Turki Uthmani memerlukan proses sejarah yang panjang. Pemikiran keislaman juga bukan merupakan produk pemikiran final yang sudah terekstraksi pada zaman nabi, melainkan telah berproses selama lima belas abad lebih. Sikap pengabaian terhadap dimensi historis tersebut telah membuat mereka larut ke dalam nostalgia kejayaan umat Islam di masa lalu tanpa mau belajar dari pengalaman sejarah yang berharga tersebut untuk pengembangan umat Islam di era sekarang ini.

Melihat kenyataan tersebut, Abu Zayd berusaha membebaskan masyarakat dari kungkungan ideologi dengan cara membaca seluruh warisan intelektual Islam secara kritis dan produktif (qira>’ah al-muntijah). Tujuannya adalah untuk mempelajari kembali Qur’an maupun hasil karya pemikiran umat Islam sebagai interpretasi atas al-Qur’an secara ilmiah, terbuka, dan produktif42 sehingga esensi ajaran yang terdapat dalam

semua pemikiran umat Islam dapat dipisahkan dari tendensi ideologis yang membayanginya.43

38 Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-Studi al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), 106.

39Nas}r Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khit}ab al-Di>ni(Kairo: Sina li al-Nasyr, 1994), 115-118. 40Nas}r Hamid Abu Zayd, Naqd, 5-6 dan Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zaid (Bandung: Teraju, 2003), 28-29.

41Moch. Nur Ichwan, Meretas, 26-27

(11)

Al-Qur’an sebagai Kitab Agung Berupa Teks Arab

Nasr Hamid membagi al-Qur’an menjadi 2 (dua) sisi yaitu, sisi pewahyuan dan sisi kemanusiaan (muta’annas). Sewaktu al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad untuk memberi petunjuk kepada manusia, maka ia memasuki kepada pemahaman manusia, ia mengejawantahkan elemen-elemen, ideologi, politis, kultural yang bersifat partikular dari masyarakat Arab abad 7 M, maka ia menjadi subyek untuk aturan-aturan (qawa>ni>n) dan hukum-hukum yang bersifat sosiologis dan historis.

Dengan demikian, Nasr Hamid menyebut al-Qur’an dengan istilah “Teks” atau “al-Nas}” baik penyebutan secara keseluruhan ataupun bagian terkecil dari pada al-Qur’an tersebut. Teks sebutan untuk al-al-Qur’an didasarkan pada fakta empiris dari pada al-Qur’an itu sendiri, dimana ia berupa untaian huruf-huruf yang membentuk bahasa dari mulai bagian yang terkecil sampai yang paling luas menurut konvensi bahasa tertentu yaitu bahasa Arab.

Nas}r Hamid mengakaji teks al-Qur’an pada dasarnya berangkat dari sejumlah fakta-fakta di sekitar al-Qur’an itu sendiri yang dibentuk oleh peradaban Arab di satu sisi, dan berangkat dari konsep-konsep yang ditawarkan teks al-Qur’an disisi lain. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum teks al-Qur’an turun, realitas budaya Arab sudah ada.

Perjalanan turunnya teks al-Qur’an sejak pertama kali turun sampai berakhir, tidak bisa dilepaskan dari realitas dan budaya yang ada. Berangkat dari fakta inilah Nasr Hamid berpendapat bahwa teks al-Qur’an adalah produk budaya.44 Pernyataan teks

al-Qur’an merupakan produk budaya, ini sebenarnya Nas}r Hamid ingin menunjukkan bahwa teks al-Qur’an terbentuk atau diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., bukan pada masyarakat yang kosong dari budaya, tetapi teks tersebut di dalam realitas dan budaya lebih dari 20 tahun.

Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an berupa teks Arab, maka dalam menginterpretasikan harus melibatkan ma’na dan magza. 45 Ma’na merupakan dala>lah (arti) yang dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkanpun berupa makna-makna gramatik (ma’ani al-nahwi).46 Sedangkan maghza

dibangun pada tataran konteks sosio-historis.47 Dalam proses interpretasi kedua hal ini

saling berkaitan, artinya maghza selalu mengikuti ma’na begitu pula sebaliknya. Keduanya bagaikan sisi mata uang, antara satu dan lainnya saling berhubungan. Maghza tidak bisa berdiri sendiri tanpa dala>lah. Maghza mencerminkan tujuan dan sasaran dari pembacaan terhadap teks yang mana bisa dicapainya hanya melalui penyingkapan dalalah. Maka dengan demikian magza ini merupakan signifikasi. Pada dasarnya signifikasi merupakan akta (tindakan) yang menyatukan penanda (signifiant) pada petanda (signifie).48Hubungan timbal balik antara penanda dan petanda inilah yang

melahirkan makna. Bahasa lisan maupun tulis sebagai tanda yang mempunyai acuan tertentu, dan inilah yang disebut kata dalam konsep awal suatu bahasa, Nasr Hamid menyebutnya dengan istilah dalalah (makna). Dalam konteks yang lebih luas, arti suatu bahasa ditentukan oleh konvensi masyarakat pemakai bahasa, sehingga muncullah makna baru yang bagi Nasr Hamid disebut magza (signifikasi).

44Nas}r Hamid Abu Zayd,Mafhu>m al-Nas}: Dira>sat fi ‘Ulu>m al-Qur’an (Beirut:

al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 2000), 24.

45Ibid.,229

46Nas}r Hamid Abu Zayd, Al-Nass wa al-Sultah wa al-Haqiqah.,( Beirut: Markaz Saqafi

al-Arabi, 2000), 108.

47Nas}r Hamid Abu Zayd, Dawa>ir al-Khauf , (Beirut: Markaz al-Saqafi al-Arabi, t.th.), 203 48 Ronald Bathes, Petualangan Semiologi, (penerj.) Stephanus Aswar Herwinarko (Yogyakarta:

(12)

Penyingkapan makna dala>lah mencerminkan upaya kembali ke asal, sementara maghza mencerminkan tujuan dan sasaran dari pembacaan.49 Dengan kata lain

teks memiliki dua makna, yaitu makna pertama sebagai dala>lah, lalu makna pertama dikaji untuk mencapai makna kedua sebagai tujuan dan sasaran pembacaan yang disebut maghza.

Istilah dala>lah dan maghza yang dibuat oleh Nas}r Hamid juga memiliki kemiripan dengan denotasi dan konotasi, yang merupakan salah satu teori yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Bahasa yang denotatif adalah bahasa koresponden, yaitu tanda (kata) dengan sesuatu yang ditunjuk (penanda) hanya mempunyai satu arti.50

Dan ini merupakan makna asal yang belum berubah, namun bahasa tidak hanya memiliki makna denotatif, namun juga memiliki makna konotatif yaitu makna yang muncul karena bahasa tersebut dalam konteks tertentu berasosiasi dengan yang lain, sehingga memunculkan makna tambahan. Makna konotatif tidak bisa dilepaskan dan makna denotatif, karena pada dasarnya makna konotatif berangkat dan makna denotatif. Hal ini juga sama dengan apa yang disampaikan Nasr Hamid di atas, bahwa maghza tidak bisa dilepaskan dan sentuhan dala>lah, karena maghza beronientasi pada dimensi-dimensi dala>lah.51 Pembedaan dua dimensi makna bahasa juga sebenarnya sudah dilakukan oleh kalangan ulama-ulama terdahulu, yaitu pembagian antara makna lahir dan makna batin. Dengan demikian, ada semacam korelasi antara pendapat-pendapat Nas}r Hamid mengenai makna bahasa dengan sarjana-sarjana Barat seperti Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes, maupun dengan ulama-ulama klasik.

Nasr Hamid memandang teks al-Qur’an mengalami dinamika proses pengkodean yang tidak pernah berakhir. Konsep dinamika teks ini, Nas}r Hamid dipengaruhi pula teori Charles Sanders Pierce. Pierce menciptakan teori umum untuk tanda-tanda, agar dapat diterapkan dalam berbagai macam tanda termasuk dalam fenomena sosial budaya. Pierce memberikan konsep trikotomi, yaitu representamen (tanda), object dan interpretant.52 Interpretant adalah apa yang diproduksi tanda, yang merupakan represantasi lain dari tanda baru yang juga memiliki interpretant lain, sehingga terjadilah proses semiosis yang tidak pernah berhenti.53

Dalam proses inilah, maka makna sosial-budaya kontekstual tidak bisa diabaikan, karena makna yang sangat vital bagi petunjuk pesan baru teks tersebut. Petunjuk ini akan memfasilitasi perkembangan dan makna kepada signifikasi konteks sosial-budaya yang ada. Pengkodean teks ini akan berjalan terus menerus seiring perjalanan teks yang diresepsi dari waktu ke waktu dan konteks sosial-budaya yang berbeda-beda. Dengan kata lain, makna yang dihasilkan oleh interpretasi tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah, sosial-budaya dan linguistik teks, yang kemudian dikodekan lagi oleh penafsir sendiri. Dengan demikian, produksi makna teks akan selalu terjadi sesuai dengan konteks yang dihadapi. Barangkali inilah yang mengilhami Nas}r Hamid untuk berpendapat bahwa interpretasi tidak akan pernah berakhir dan reinterpretasi pun selalu berbeda di sepanjang masa.

Al-Qira>’ah al-Muntijah tawaran Nas}r Hamid Abu Zayd

Mengingat al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang berbentuk teks yang berperan sebagai petunjuk bagi manusia, maka Nasr Hamid menawarkan “al-qira’ah al-muntijah

49 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini, 116

50 Rahmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: UGM Press, 2007), 58. 51 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini, 116

52 Umberto Eco, Teori Semiotika, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), 21.

(13)

yaitu pembacaan yang di dalamnya melibatkan hubungan antara ma’na atau dala>lah dan maghza. Dala>lah dan maghza pada dasarnya merupakan dua bentuk yang digunakan untuk satu pekerjaan. Maghza tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dalalah, sebab dalalahlah yang mengantarkan magza sampai pada makna yang paling jauh.54

Sementara, untuk mengungkap makna dalalah harus melalui media al-tafsirah. Jadi lebih singkatnya al-qira’ah al-muntijah adalah suatu kajian yang dimulai dari menganalisis tanda bahasa atau struktur teks untuk memperoleh makna teks, kemudian kembali ke asal kata atau dihubungkan dengan makna konteks sosio-historis untuk memperoleh magza. Sedangkan struktur teks dan produksi makna teks, tidak dapat dilepas dari persolan al-siyaq (konteks). Maka disini Nasr Hamid memandang persoalan penting bagi al-siyaq untuk memproduksi makna. Al-siyaq mempunyai arti yang luas, artinya berbagai macam konteks.55

Menurut Nas}r Hamid teks al-Qur’an memiliki berbagai macam konteks, yaitu antara lain:

1). konteks sosio-kultural (al-siya>q al-thaqafi al-ijtima>’i) padateks bahasa, artinya bahasa adalah gambaran dari kumpulan aturan-aturan tradisi atau konvensi masyarakat tertentu, yang berawal dari tingkat suara atau bunyi yang memiliki makna. Konvensi-konvensi ini tergantung pada masyarakat yang menggunakan bahasa56. Oleh

karena itu, sumber pengetahuan mengenai konvensi ini dapat digali melalui budaya dengan segala macam tempat dan tradisi, yang tampak dalam bahasa dan peraturannya. Apabila al-siya>q al-thaqafi menggambarkan hubungan teks dengan sesuatu di luar teks dalam berbagai hal, maka al-siya>q al-kha>riji pada dasarnya saling mengisi dengan al-siya>q al-saqafi.

2). konteks eksternal (al-siya>q al-kha>riji atau al- siya>q al-takhatub), menggambarkan konteks percakapan, yaitu komunikasi antara qa’il (yang berbicara) atau penyampai pesan dengan penerima pesan (al-mutalaqqi). Al-siya>q al-kha>riji al-Qur’an di satu sisi kental dengan aspek sejarah yang menciptakan teks, dan sisi lainnya berhubungan dengan perubahan alami audiens-audiens teks (al-mukha>t}ab au

al-mukha>ttabin).57 Dengan kata lain teks al-Qur’an memiliki sebab-sebab yang

melatarbelakangi suatu ayat turun dan berhadapan dengan audiens pada fase dakwah Islamiyah, baik pada fase Mekah ataupun Madinah. Bahkan menurut Nas>r Hamid,

al-siya>q al-kha>riji tidak hanya terbatas pada persoalan asba>b al-nuzu>l dan makki-madani saja, tetapi secara tekstual ayat-ayat al-Qur’an juga memiliki audiens masing-masing. Al-Qur’an memiliki bangunan pembicaraan (al-khit}ab al-qur’ani) yang luas dan beraneka ragam. Beberapa audiens itu, seperti Nabi Muhammad saw. sendiri sebagai audiens pertama (al-mukhattab al-awwal), konteks audiens yang lain, diantaranya: konteks audiens istri-istri Nabi, para perempuan, laki-laki, dan sebagainya. Pandangan inilah yang melahirkan pendapat bahwa asbab al-nuzul juga bisa diperoleh dan dalam teks al-Qur’an sendiri, tidak harus melalui riwayat-riwayat.

3). konteks internal (al-siya>q al-da>khili), konteks yang membahas tentang kemusykilan teks al-Qur’an, yaitu konteks diskusi (al-siya>q al-qaul) atau konteks pembicaraan (al- siya>q al-khitab). Beberapa konteks yang masuk dalam kategori ini, diantaranya: al- siya>q al-qissah (konteks kisah), al- siya>q nahi wa amr, al-targhib, al-tarhib (ancaman), jadal (perdebatan), sajal (rivalitas), tahdi>d, ind}ar, akidah, syariat, halal, haram, mubah, makruh, sunah dan sebagainya.58Nasr Hamid

54Nas}r Hamid Abu Zayd, Naqd al-Kitab al-Dini, 144.

55Nas}r Hamid Abu Zayd, Al-Nas} wa al-Sult}ah wa al-Haqiqah, 96 56 Ibid., 97.

(14)

mendasarkan al- siya>q al-dakhili pada munasabah antar ayat dan surat, hal ini dikarenakan teks al-Qur’an merupakan kesatuan struktural yang masing-masing bagian saling berkaitan.59 Menurut al-siyaq al-dakhili, al-Qur’an memiliki karakteristik yang

substantif, karena keberadaannya sebagai satu teks yang memiliki bagian-bagian sejenis. Karakteristik ini bisa dilihat dari aspek isi dan stilistika-kebahasaan teks al-Qur’an. Persoalan al-siyaq al-dakhili tidak hanya terbatas pada persoalan munäsabah yang selama ini dibahas oleh para ulama al-Qur’an klasik.

4). konteks bahasa (al-siyaq al-lughawi) . Konteks yang secara langsung menghasilkan makna gramatikal (ma’ani al-nahwi). Dengan mengutip Abdul Qãhir, Nasr Hamid menjelaskan bahwa al-siyaq al-lughawi merupakan analisis terhadap fenomena-fenomena style (al-zawahir al-uslubiyyah) pada tingkatan jumlah (kalimat), seperti: fenomena al-taqdim, al-ta’khir, al-hazf; al-idmar, hubungan antara kalimat, balãghah, dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan analisis kebahasaan secara umum.60 Nasr

Hamid menambah bahwa analisis pada tingkat al-siyaq al-lughawi tidak hanya terbatas pada analisis kebahasaan secara umum, tetapi berusaha untuk memperluaskan analisis demi menyingkap al-dalalah al-maskut ‘anha (makna yang tersembunyi). Artinya analisis al-siyaq al-lughawi tidak hanya bertujuan untuk menggali makna gramatikal, tetapi juga harus mampu mengungkap makna yang tersembunyi di balik teks. Al-dalalah al-maskut ‘anha berarti mencari makna terdalam untuk menyingkap hubungan yang secara kuat saling berdesak-desakan antara sesuatu yang terdapat di luar teks dengan makna pada konteks bahasa.61

5). konteks pembacaan atau penakwilan (al-siyaq al-qira’ah atau siyaq al-ta’wil).62 Konteks yang terakhir adalah konteks pembacaan (al-siyaq al-qira’ah), yaitu cara pembacaan teks dengan memperhatikan hasil para penafsir yang lainnya. Pembacaan ini harus memisahkan dari pembacaan ideologis-oportunis-tendensius (qira’ah al-aidilujiyyah al-naf’iyyah al-mughridah).63 Pembacaan, pada dasarnya adalah proses pengiriman pesan dari pengirim pesan (al-mursil) yang selalu melakukan pembacaan terhadap teks kepada penerima pesan (al-mutalaqqi). Dalam dunia penafsiran dapat ditemukan jumlah tafsir yang begitu banyak. Ini disebabkan oleh jumlah pembaca yang banyak, juga faktor latar belakang pemikiran dan ideologi yang berbeda-beda. Seorang pembaca dalam menafsirkan teks harus menyadari hal ini. Fakta inilah yang membuat Nasr Hamid beranggapan bahwa konteks pembacaan termasuk bagian dari struktur teks. Dengan demikian, terlihat bahwa sebenarnya Nasr Hamid ingin mengatakan persepsi para penafsir yang pernah ada, merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan dalam proses penggalian makna teks.

Penggalian makna dengan menggunakan atau memenuhi kelima konteks ini sudah mencukupi persyaratan al-qira’ah al-muntijah. Pandangan Nasr Hamid ini, pada dasarnya sama dengan kerangka teori yang dibangun semiotika. Semiotika memandang fakta-fakta dan fenomena-fenomena masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda yang bermakna, sedangkan bahasa termasuk bagian dan fakta itu. Oleh karena itu, apabila ingin menggali makna suatu teks bahasa tertentu, maka harus menganalisis berbagai macam konteks yang berhubungan dengan teks itu. Semua macam teks bahasa, baik al-Qur’an ataupun teks-teks sastra lainnya selalu berhubungan dengan konteks-konteks di atas.

59 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas}, 160 60 Ibid., 108

(15)

SIMPULAN

Berangkat dari kesadaran bahwa al-Qur’an memuat berbagai macam petunjuk yang paling lengkap bagi manusia, yang membenarkan dan mencakup wahyu-wahyu yang terdahulu yang kedudukannya menempati posisi sentral dalam studi keislaman, maka lahirlah niatan dikalangan ummat Islam untuk mencoba memahami isi kandungan al-Qur’an itu sendiri. Usaha untuk memahmi al-Qur’an inilah nantinya yang dikenal dengan aktivitas penafsiran (exegesis, al-tafsir) dalam rangka mencari makna “sebenarnya” dari al-Qur’an dengan berbagai macam perangkat metodologi yang ada, baik bersumber dari “Barat” maupun bersumber dari Timur.

Para tokoh muslim kontemporer berusaha menawarkan metodologinya masing-masing. Tawaran metodologi baru ini tidak seperti metodologi ulama klasik yang terlalu mencurahkan perhatian pada interpretasi literal terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Metodologi baru tersebut, terutama dari kelompok liberalisme religius, menekankan pada hubungan dilalektis antara perintah-perintah teks wahyu dan realitas dunia modern. Pendekatan yang digunakan adalah memahami wahyu baik dari sisi teks maupun konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dan masyarakat modern tidak dibangun melalui interpretasi literalis, melainkan melalui interpretasi terhadap ruh dan pesan universal yang dikandung teks wahyu.

Mapping Pemikiran Thaha dan al-Na’im, Abou Fadl, dan Abu Zayd

Thaha dan al-Na’im Abou Fadl Nashr Hamid Abu Zayd

(16)

Bibliografi

Abu Zayd, Nash Hamid,

Al-Nass wa al-Sultah wa al-Haqiqah

(Beirut: Al-Markaz

al-Saqafi al-‘Arabi, 2000).

---,

Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an,

terj. Khoiron

Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2001).

---,

Naqd al-Khithab al-Dini

(Kairo, Sina li al-Nasyr, 1994)

---,

Mafhum al-Nas: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an

(Beirut: al-Markaz al-Saqafi

al-‘Arabi, 2000).

---,

Al-Nass wa al-Sultah wa al-Haqiqah

.,( Beirut: Markaz al-Saqafi al-Arabi,

2000).

---,

Dawair al-Khauf ,

(Beirut: Markaz al-Saqafi al-Arabi, tth.).

---,

Al-Quran, Hermeneutik dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan

Hermneutik Al-Quran

(Bandung: RQiS, 2003).

Ali, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

Al-Ashmawi, Muhammad Sa’id

, Kritik Nalar Syari’ah

(Jogjakarta; LKiS, 2004),

Al-Na’im, Abdullahi Ahmed, The Second Message of Islam by Ustadh Mahmoud

Mohammed Taha, (New York: Syracuse University Press, 1987), terj. Nur

Rachman,

Syari’ah Demokratik

, (Surabaya: eLSAD, 1996)

---, “

Islamic Foundation of Islamic Human Rights

,” dalam John Witte J. Jr. dan

J. van der Vyver (eds.), dan, “

Relgious Human Rights in Global

Perspective: Religious Perspective

”, (The Hague: Martinus Nijhoff

Publishers, 1996).

Al-Shalih, Subhi, “

Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an

” (Beirut: Dar ‘Ilm li

al-Malayin, 1977).

Al-Shatibi, Abu Ishaq,

Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syari’ah

. (Beirut, Libanon:

Darl al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004)

Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim,

Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an

,

(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988).

Amin Abdullah, Pendekatan Hermeneutik dalam Fatwa-fatwa Keagamaan Proses

Negosiasi Komunitas Pencari Makna Teks, Pengarang, dan Pembaca,

dalam Amin Abdullah,

Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan

Integratif Interkonektif

, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 276

Bathes, Ronald,

Petualangan Semiologi

, (Terj.) Stephanus Aswar Herwinarko

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).

Coulson, N.J.,

A History to Islamic Law.

Islamic Surveys, 2. (Eindenburgh:

(17)

Crone, Patricia dan Martin Hinds,

God’s Caliph: Religious Authority in The First

Century of Islam

(Cambridge: Cambridge Univercity Press, 1986)

Eco, Umberto,

Teori Semiotika

, (terj.) Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: Kreasi

Wacana, 2009).

El Fadl, Khaled Abou,

Speaking in God’s Name Islamic Law, Authority, and

Women

(Oxford: Oneword Publication, 2003).

---,

Atas Nama Tuhan, Dari Fiqh Otoriter ke Fikih Otoritatif

, (Jakarta:

Serambi, 2004)

Esack, Farid,

Qur’an: Liberationand Pluralism

(Oxford: Oneworld, 1997)

Fanani, Muhyar, "Abdullah Ahmad al-Na'im: Paradigma Baru Hukum Publik

Islam," dalam Khudari Soleh,

Pemikiran Islam Kontemporer

(Yogyakarta:

Jendela, 2003)

Hassan, Ahmad,

The Early Development of Islamic Jurisprudence

, (Islamabad:

Islamic Research Institute, 1970).

Ichwan, Nur,

Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori HermeneutikaNasr

Abu Zaid

(Bandung: Teraju, 2003).

Minhadji, Ahkmad, Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial Dalam Perspektif Sejarah,

dalam Amin Abdullah,

Mencari Islam Studi Islam Dengan Berbagai

Pendekatan

(Jogjakarta: Tiara Wacana, 2000), 74.

Mustaqim, Abdul,

Paradigma Tafsir Feminis, Membaca Al-Qur’an dengan Optik

Perempuan: Studi Pemikiran Riffat Hasan tentang Isu Gender dalam

Islam

(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008).

Pradopo, Rahmat Djoko,

Pengkajian Puisi

, (Yogyakarta: UGM Press, 2007).

Sumaryono, E.,

Hermeneutika

: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,

1999).

Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-Studi al-Qur’an”

dalam Sahiron Syamsuddin, dkk.,

Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya

(Yogyakarta: Islamika, 2003).

Umar, Nasaruddin,

Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur an

(Jakarta:

Paramadina, 1999).

(18)

Tim CSRC,

Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap

Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non Muslim

(Jakarta: Center

of the Study of Relegion Culture CSRC UIN Jakarta, 2007).

Zoest, Aart van, “Interpretasi dan Semiotika” dalam Panuti Sudjiman dan Aart van

Referensi

Dokumen terkait

Apabila kita lihat kuesioner yang diedarkan, pernyataan/indikator yang dipertanyakan dalam kuesioner ini masih terlalu umum dan kurang spesifik dan kurang jelas sehingga

PTK ini dilakukan secara kolaboratif, yaitu guru inti sebagai pelaksana pembelajaran dan peneliti sebagai pengamat ( observer ). Subjek penelitian ini adalah anak kelompok A2

Maka dapatan kajian ini adalah selari dengan dapatan kajian yang dilakukan di negara barat yang juga mendapati jumlah masa bekerja mempunyai perkaitan yang positif

EVALUASI POSTUR KERJA DENGAN METODE OWAS TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PEKERJA MANUAL HANDLING DI PT ISKANDAR INDAH PRINTING TEXTILE

Respon siswa terhadap mata pelajaran seni Musik cukup baik, sebagian besar siswa mengikuti setiap materi yang diberikan, memperhatikan penjelasan dari guru dengan

oleh mahasiswa praktikan, sebagai latihan untuk menerapkan teori yang telaha. diperoleh dalam perkuliahan, sesuai dengan persyaratan yang ditentukan

Hamalik (2001) mengemukakan motivasi merupakan perubahan energi di dalam pribadi seseorang dan ditandai dengan timbulnya efektif (perasaan dan reaksi untuk mencapai

Problematika kepolisian sebagai penyidik tindak pidana korupsi dalam penetapan tersangka tindak pidana korupsi dana kampung/desa, yaitu : Pertama, saksi tidak kooperatif