Hewan Langka
Indonesia
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) adalah salah satu spesies satwa terlangka di dunia dengan perkiraan jumlah populasi tak lebih dari 60 individu di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), dan sekitar delapan individu di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam (2000). Badak Jawa juga adalah spesies badak yang paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia dan masuk dalam Daftar Merah badan konservasi dunia IUCN, yaitu dalam kategori sangat terancam atau critically endangered.
Badak diyakini telah ada sejak jaman tertier (65 juta tahun yang lalu). Seperti halnya Dinosaurus yang telah punah, Badak pada 60 juta tahun yang lalu memiliki 30 jenis banyak mengalami kepunahan. Saat ini hanya tersisa 5 spesies Badak, 2 spesies diantaranya terdapat di Indonesia.
Macam spesies Badak yang masih bertahan hidup yaitu;
Badak Sumatera (Sumatran rhino) bercula dua atau Dicerorhinus sumatrensis. Terdapat di Pulau Sumatera (Indonesia) dan Kalimantan (Indonesia dan Malaysia).
Badak Jawa (Javan rhino) bercula satu atau Rhinocerus sondaicus. Terdapat di Pulau Jawa (Indonesia) dan Vietnam
Badak India (Indian rhino) bercula satu atau Rhinocerus unicornis. Tedapat di India dan Nepal.
Badak Hitam Afrika bercula cula (Black Rhino) atau Diceros bicormis. Terdapat di Kenya, Tanzania, Kamerun, Afrika Selatan, Namibia dan Zimbabwe.
Badak Putih Afrika bercula dua (White Rhino) atau Cerathoterium simum. Terdapat di Kongo.
Badak Jawa umumnya memiliki warna tubuh abu-abu kehitam-hitaman. Memiliki satu cula, dengan panjang sekitar 25 cm namun ada kemungkinan tidak tumbuh atau sangat kecil sekali pada betina. Berat badan seekor Badak Jawa dapat mencapai 900 – 2300 kg dengan panjang tubuh sekitar 2 – 4 m. Tingginya bisa mencapai hampir 1,7 m.
Kulit Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus) memiliki semacam lipatan sehingga tampak seperti memakai tameng baja. Memiliki rupa mirip dengan badak India namun tubuh dan kepalanya lebih kecil dengan jumlah lipatan lebih sedikit. Bibir atas lebih menonjol sehingga bisa digunakan untuk meraih makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Badak termasuk jenis pemalu dan soliter (penyendiri).
Populasi Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus)
Di Indonesia, Badak Jawa dahulu diperkirakan tersebar di Pulau Sumatera dan Jawa. Di Sumatera saat itu badak bercula satu ini tersebar di Aceh sampai Lampung. Di Pulau Jawa, badak Jawa pernah tersebar luas diseluruh Jawa.
Badak Jawa kini hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUT), Banten. Selain di Indonesia Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus) juga terdapat di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Individu terakhir yang di luar TNUT, ditemukan ditembak oleh pemburu di Tasikmalaya pada tahun 1934. Sekarang specimennya disimpan di Museum Zoologi Bogor.
Badak ini kemungkinan adalah mamalia terlangka di bumi. Berdasarkan sensus populasi Badak Jawa yang dilaksanakan oleh Balai TNUK, WWF – IP dan YMR pada tahun 2001 memperkirakan jumlah populasi badak di Ujung Kulon berkisar antara 50 – 60 ekor. Sensus terakhir yang dilaksanakan Balai TN Ujung Kulon tahun 2006 diperkirakan kisaran jumlah populasi badak Jawa adalah 20 – 27 ekor. Sedangkan populasi di di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam, diperkirakan hanya 8 ekor (2007).
Populasi Badak bercula satu (Badak Jawa) yang hanya 30-an ekor ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan populasi saudaranya, Badak Sumatera yang diperkirakan berkisar antara 215 -319 ekor. Juga jauh lebih sedikit ketimbang populasi satwa lainnya sepertiHarimau Sumatera (400-500 ekor), Elang Jawa (600-an ekor), Anoa (5000 ekor). Konservasi dan Perlindungan Badak Jawa
rekomendasi dari The Netherlands Indies Society for Protection of Nature, Ujung Kulon oleh pemerintah Belanda dinyatakan sebagai Cagar Alam. Keadaan ini masih berlangsung terus sampai status Ujung Kulon diubah menjadi Suaka Margasatwa di bawah pengelolaan Jawatan Kehutanan dan Taman Nasional pada tahun 1982.
Badak Jawa (Badak bercula satu) yang hidup berkumpul di satu kawasan utama sangat rentan terhadap kepunahan yang dapat diakibatkan oleh serangan penyakit, bencana alam seperti tsunami, letusan gunung Krakatau, gempa bumi. Selain itu, badak ini juga kekurangan ruang jelajah dan sumber akibat invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng.
Kanguru Pohon Wondiwoi (Dendrolagus mayri) atau dikenal juga sebagaiWondiwoi Tree-kangaroo atau Mayr Tree-Tree-kangaroo merupakan salah satu jenis kanguru yang hidup di pulau Papua, Indonesia. Kanguru Pohon Wondiwoi bahkan merupakanhewan endemik yang hanya ditemukan di pulau Papua.
Beberapa ahli memasukkan Kanguru Pohon Wondiwoi sebagai sub-spesies dariDendrolagus dorianus (Kanguru Pohon Dorius). Namun sebagian ahli lainnya memberlakukannya sebagai spesies tersendiri.
Kanguru pohon asal Papua ini hanya diketahui dari sebuah spesimen tunggal yang ditemukan pada tahun 1928 oleh Profesor Ernst Mayr (Jerman) dari Pegunungan Wondiwoi yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Nama hewan ini dalam bahasa Inggris adalah Wondiwoi Tree-kangaroo atau Mayr Tree-kangaroo. Sedangkan nama latin (ilmiah) dari Kanguru Pohon Wondiwoi adalahDendrolagus mayri.
Ilustrasi Kanguru Pohon Wondiwoi (Dendrolagus mayri)
Habitat Kanguru ini diperkirakan di daerah hutan pegunungan dengan ketinggian sekitar 1.600 meter dpl. Daerah sebarannya terbatas di semenanjung pegunungan Wondiwoi Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat.
Sebagaimana berbagai jenis kanguru pohon lainnya, Kanguru Pohon Wondiwoi(Dendrolagus mayri) yang merupakan hewan berkantung ini diperkirakan lebih banyak melakukan aktifitas di atas pohon. Makanan kesukaannya adalah daun dan buah. Selain itu, kanguru khas pulau Papua ini juga memakan biji-bijian, bunga, getah, telur, anakburung, dan bahkan kulit.
Sangat Langka dan Terancam Punah. Populasi pasti Kanguru Pohon Wondiwoi (Dendrolagus mayri) tidak pernah diketahui. Namun IUCN Red List memprediksi jumlah populasi kanguru pohon ini sekitar 50 ekor individu saja. Lantaran itu tidak mengherankan jika kemudian IUCN Red List memasukkan Kanguru Pohon Wondiwoi atau Wondiwoi Tree-kangaroo sebagai spesies Critically Endangered atau spesies yang sangat terancam punah (Kritis).
Untungnya semua jenis kanguru pohon dari genus Dendrolagus termasuk satwa yang dilindungi dan termuat dalam Lampiran PP No. 7 Tahun 1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan satwa yang dilindungi sehingga spesies kanguru pohon yang satu ini, meskipun kurang dikenal, tetap tercantum.
Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) bisa jadi merupakan mamalia air paling langka di Indonesia. Populasi Pesut Mahakam diperkirakan tidak lebih dari 70 ekor saja. Pun Pesut Mahakam yang merupakan sub-populasi Orcaella brevirostris hanya bisa ditemukan di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur saja. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian Pesut Mahakam ditetapkan sebagai fauna identitas provinsi Kalimantan Timur.
Pesut merupakan mamalia air yang unik. Berbeda dengan lumba-lumba dan ikan paus, pesut (Orcaella brevirostris) hidup di air tawar yang terdapat di sungai-sungai dan danau yang terdapat di daerah tropis dan subtropis.
Pesut Mahakam adalah salah satu populasi pesut (Orcaella brevirostris) selain sub-populasi Sungai Irrawaddi (Myanmar), sub-sub-populasi Sungai Mekong (Kamboja, Laos, dan Vietnam), sub-populasi Danau Songkhla (Thailand), dan sub-populasi Malampaya (Filipina). Pesut yang termasuk salah satu satwa dilindungi di Indonesia ini dalam bahasa Inggris disebut sebagai Irrawaddy Dolphin atau Dolphin Snubfin.
Diskripsi Pesut. Pesut Mahakam dewasa mempunyai panjang tubuh hingga 2,3 meter dengan berat mencapai 130 kg. Tubuh Pesut berwarna abu-abu atau kelabu sampai biru tua dengan bagian bawah berwarna lebih pucat.
Bentuk badan pesut hampir mendekati oval dengan sirip punggung mengecil dan agak ke belakang. Kepala pesut berbentuk bulat dengan mata yang berukuran kecil. Bagian moncong pendek dan tampak papak dengan lubang pernafasan. Sirip punggung berukuran kecil terletak di belakang pertengahan punggung. Dahi tinggi dan membundar, tidak ada paruh. Sirip renangnya relatif pendek dan lebar.
Pesut Mahakam, tinggal 70 ekor
Habitat dan Populasi. Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris sub-populasi sungai Mahakam) hidup di sungai Mahakam pada daerah sekitar 180 km dari muara sungai hingga 600 km dari daerah hulu. Lokasi yang diduga didiami mamalia air tawar ini antara lain Kedang Kepala, Kedang Rantau, Belayan, Kedang Pahu, dan anak sungai Ratah, serta sebagai danau Semayang dan Melintang (Kreb 1999, 2004).
Populasi Pesut Mahakam diperkirakan antara 67 hingga 70 ekor (2005). Ancaman tertinggi kelangkaan populasi Pesut Mahakam diakibatkan oleh belitan jaring nelayan. Selain itu juga akibat terganggunya habitat baik oleh lalu-lintas perairan sungai Mahakam maupun tingginya tingkat pencemaran air, erosi, dan pendangkalan sungai akibat pengelolaan hutan di sekitarnya.
Rendahnya populasi ini membuat lumba-lumba air tawar ini menjadi salah satu binatang paling langka di Indonesia. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian IUCN Redlistmenyatakan status konservasi Pesut Mahakam sebagai Critically Endangered (Kitis) yaitu tingkat keterancaman tertinggi.
Macan Tutul Jawa atau dalam bahasa latin disebutPanthera pardus melasmenjadi kucing besar terakhir yang tersisa di pulau Jawa setelah punahnya Harimau Jawa. Macan Tutul Jawa (Java Leopard) merupakan satu dari sembilan subspesies Macan Tutul (Panthera pardus) di dunia yang merupakan satwa endemik pulau Jawa. Hewan langka yang dilindungi ini menjadisatwa identitas provinsi Jawa Barat.
Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) yang dimasukkan dalam status konservasi “Critically Endangered” ini mempunyai dua variasi yaitu Macan Tutul berwarna terang dan Macan Tutul berwarna hitam yang biasa disebut dengan Macan Kumbang. Meskipun berwarna berbeda, kedua kucing besar ini adalah subspesies yang sama.
Ciri-ciri Macan Tutul Jawa. Dibandingkan subspesies macan tutul lainnya, Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) mempunyai ukuran relatif kecil. Panjang tubuh berkisar antara 90 – 150 cm dengan tinggi 60 – 95 cm. Bobot badannya berkisar 40 – 60 kg.
Macan Tutul Jawa di atas dahan
Subspesies Macan Tutul yang menjadi satwa endemik pulau Jawa ini mempunyai khas warna bertutul-tutul di sekujur tubuhnya. Pada umumnya bulunya berwarna kuning kecoklatan dengan bintik-bintik berwarna hitam. Bintik hitam di kepalanya berukuran lebih kecil. Macan Tutul Jawa betina serupa, dan berukuran lebih kecil dari jantan.
Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) sebagaimana macan tutul lainnya adalah binatang nokturnal yang lebih aktif di malam hari. Kucing besar ini termasuk salah satu binatang yang pandai memanjat dan berenang.
Kucing besar ini juga mampu menyeret dan membawa hasil buruannya ke atas pohon yang terkadang bobot mangsa melebih ukuran tubuhnya. Perilaku ini selain untuk menghindari kehilangan mangsa hasil buruan, selain itu juga untuk penyimpanan persediaan makanan. Meskipun masa hidup di alam belum banyak diketahui tetapi di penangkaran, Macan tutul dapat hidup hingga 21-23 tahun. Macan tutul yang hidup dalam teritorial (ruang gerak) berkisar 5 – 15 km2. Bersifat soliter, tetapi pada saat tertentu seperti berpasangan dan pengasuhan anak, macan tutul dapat hidup berkelompok. Macan tutul jantan akan berkelana mencari pasangan dalam teritorinya masing-masing, di mana tiap daerah tersebut ditandai dengan cakaran di batang kayu, urine maupun kotorannya.
Macan tutul betina umumya memiliki anak lebih kurang 2-6 ekor setiap kelahiran dengan masa kehamilan lebih kurang 110 hari. Menjadi dewasa pada usia 3-4 tahun. Anak macan tutul akan tetap bersama induknya hingga berumur 18-24 bulan. Dalam pola pengasuhan anak, kadang-kadang macan tutul jantan membantu dalam hal pengasuhan anak.
Macan Kumbang Adalah Macan Tutul. Meskipun mempunyai warna tubuh yang berbeda, hitam, namun Macan Kumbang pun subspesies yang sama dengan Macan Tutul. Variasi warna tubuh tersebut bukanlah menjadikan macan tutul yang bertubuh hitam tersebut adalah subspesies yang lain, tetapi sesungguhnya sub spesies yang sama. Terbukti keduanya dapat kawin dan menghasilkan keturunan yang berwarna tutul dan berwarna hitam.
Macan Tutul Jawa berbulu hitam biasa disebut Macan Kumbang
varian dari Macan Tutul Jawa juga banyak dijumpai pada Macan Tutul di India. Para ahli menduga perbedaan warna tersebut disebabkan oleh pigmen melanistik.
Konservasi Macan Tutul Jawa. Kucing besar ini termasuk satwa yang dilindungi dari kepunahan di Indonesia berdasarkan UU No.5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999. Oleh IUCN Red list, Macan Tutul Jawa (Panthera padus melas) digolongkan dalam status konservasi “Kritis” (Critically Endangered). Selain itu juga masuk dalam dalam CITES Apendik I yang berarti tidak boleh diperdagangkan.
Jumlah populasi Macan Tutul Jawa tidak diketahui dengan pasti. Data dari IUCN Redlist memperkirakan populasinya di bawah 250 ekor (2008) walaupun oleh beberapa instansi dalam negeri terkadang mengklaim jumlahnya masih di atas 500-an ekor.
Populasi Macan Tutul Jawa ini tersebar di beberapa wilayah yang berbeda seperti di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN. Gunung Halimun Salak, TN. Gunung Gede, Hutan Lindung Petungkriyono Pekalongan, dan TN. Meru Betiri Jawa Timur.
Subspesies Macan Tutul. Di seluruh dunia terdapat 9 subspesies Macan Tutul. Selain Macan Tutul Jawa (Panthera padus melas) yang endemik pulau Jawa terdapat 8 subspesies lainnya yaitu;
Panthera pardus delacourii: Asia Selatan dan China bagian selatan
Panthera pardus japonensis: China bagian utara
Panthera pardus orientalis: Rusia, Korea dan China bagian tenggara
Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) merupakan salah satu spesies badak yang dipunyai Indonesia selain badak jawa (Rhinocerus sondaicus). Badak sumatera (Sumatran rhino) juga merupakan spesies badak terkecil di dunia merupakan satu dari 5 spesies badak yang masih mampu bertahan dari kepunahan selain badak jawa, badak india, badak hitam afrika, dan badak putih afrika.
Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) seperti saudara dekatnya, badak jawa, semakin langka dan terancam kepunahan. Diperkirakan populasi badak bercula dua ini tidak mencapai 200 ekor. Wajar jika IUCN Redlist kemudian memasukkan badak sumatera (Sumatran rhino) dalam daftar status konservasi critically endangered (kritis; CE).
Badak sumatera dalam bahasa Inggris disebut sebagai Sumatran rhino. Sering kali juga disebut sebagai hairy rhino lantaran memiliki rambut terbanyak ketimbang jenis badak lainnya. Badak Sumatera dalam bahasa latin disebur sebagai Dicerorhinus sumatrensis. Ciri-ciri dan Habitat Badak Sumatera. Badak sumatera memiliki dua cula dengan panjang cula depan berkisar antara 25-80 cm dan cula belakang lebih pendek sekitar 10 cm. Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) mempunyai panjang tubuh antara 2-3 meter dengan berat antara 600-950 kg. Tinggi satwa langka ini berkisar antara 120-135 cm.
badak sumatera dewasa
Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) merupakan satwa penjelajah yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil meskipun umumnya hidup secara soliter (menyendiri).Pada cuaca yang cerah sering turun ke daerah dataran rendah, untuk mencari tempat yang kering. Pada cuaca panas ditemukan berada di hutan-hutan di atas bukit dekat air terjun.
Populasi dan Konservasi Badak Sumatera. Badak sumatera dulunya tersebar mulai dari Indonesia (Sumatera dan Kalimantan), Bangladesh, Bhutan, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Malaysia. Namun saat ini diperkirakan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) telah punah dibeberapa tempat dan hanya menyisakan di Indonesia dan Malaysia.
Populasi badak sumatera semakin langka. Menurut data IUCN Redlist populasi badak bercula dua ini berkisar antara 220-275 ekor (1997). Bahkan menurut International Rhino Foundation (Virginia) diperkirakan populasi badak sumatera tidak mencapai 200 ekor (2010). Di Sumatra populasi badak sumatera terkonsentrasi di Taman Nasional Bukit Barisan (60-80 ekor), Taman Nasional Gunung Lauser (60-80 ekor), TN. Way Kambas (15-25 ekor), dan Taman Nasional Kerinci Seblat (diperkirakan telah punah). Di Sabah Malaysia diperkirakan memiliki populasi berkisar antara 6-10 ekor. Sedangkan populasi di Kalimantan hingga sekarang belum teridentifikasi.
Ratu dan Andalas, sepasang badak sumatera di Way Kambas. Ratu kini sedang hamil satu bulan
Selain itu, badak sumatera juga terdaftar dalam CITES Apendiks I sejak tahun 1975. CITES Apendiks I berarti badak sumatera dilindungi secara internasional dari segala bentuk perdagangan.
Menurunnya populasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) disebabkan oleh perburuan liar untuk mengambil cula dan anggota tubuh lainnya. Meskipun untuk praktek perburuan liar ditengarai tidak pernah terjadi lagi dalam kurun sepuluh tahun terakhir.
Faktor utama penurunan populasi badak sumatera saat ini adalah berkurangnya habitat akibat deforestasi hutan dan kebakaran hutan. Akibat semakin berkurang dan rusaknya hutan, beberapa tahun terakhir sering kali dilaporkan kemunculan badak bercula dua ini di daerah pemukiman warga dan perkebunan.
Kura-kura hutan Sulawesi atau kura-kura paruh betet (Sulawesi Forest Turtle) yang dalam bahasa latin disebut Leucocephalon yuwonoi memang kura-kura langka. Kura-kura hutan sulawesi (kura-kura paruh betet) termasuk salah satu dari 7 jenisreptil paling langka di Indonesia. Bahkan termasuk dalam daftar The World’s 25 Most Endangered Tortoises and Freshwater Turtles—2011 yang dikeluarkan oleh Turtle Conservation Coalition.
Kura-kura hutan sulawesi yang dipertelakan pada tahun 1995 ini sering disebut juga sebagai kura-kura paruh betet. Ini lantaran bentuk mulutnya yang meruncing menyerupai paruh burung betet.
Dalam bahasa Inggris kura-kura hutan sulawesi yang endemik pulau Sulawesi ini disebut sebagai Sulawesi Forest Turtle. Sedangkan resminya, kura-kura ini mempunyai nama latin Leucocephalon yuwonoi (McCord, Iverson & Boeadi, 1995) yang bersinonim denganGeoemyda yuwonoi (McCord, Iverson & Boeadi, 1995) dan Heosemys yuwonoi (McCord, Iverson and Boeadi, 1995). Dahulunya kura-kura hutan sulawesi digolongkan dalam genusHeosemys, namun sejak tahun 2000 dimasukkan dalam genus tunggal Leucocephalon. Kata ‘yuwonoi’ dalam nama ilmiahnya merujuk pada Frank Yuwono yang kali pertama memperoleh spesimen pertama kura-kura hutan sulawesi ini di pasar di GorontaloSulawesi.
Kura-kura Hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi)
Ciri-ciri. Kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) berukuran sedang dengan karapas sepanjang 28 – 31 cm (jantan) dan 20 – 25 cm (betina). Daerah sebarannya hanya terdapat di pulau Sulawesi bagian utara. Karenanya hewan langka ini merupakan hewan endemik pulau Sulawesi, Indonesia dan tidak ditemukan di daerah lain.
Populasi dan Konservasi. Pada tahun 1990-an diperkirakan populasi kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) masih sangat melimpah namun saat ini diperkirakan populasinya di alam liar tidak mencapai 250 ekor.
Ancaman utama populasi kura-kura langka ini adalah perburuan dan perdangan bebas sebagai bahan makanan dan hewan peliharaan. Pada awal tahun 1990-an, sekitar 2.000 – 3.000 ekor diperkirakan diperdagangkan ke China sebagai bahan makanan. Selain itu kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) juga banyak diekspor ke Eropa dan Amerika sebagai hewan peliharaan.
Selain perburuan, rusaknya habitat akibat kerusakan hutan (penebangan kayu komersial, pertanian skala kecil, dan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit) juga menjadi ancaman bagi kelangsungan populasi kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi). Hal ini diperparah oleh rendahnya tingkat reproduksi kura-kura hutan sulawesi (Sulawesi Forest Turtle).
Leucocephalon yuwonoi (kura-kura hutan sulawesi atau kura-kura paruh betet)
Lantaran jumlah populasi yang sedikit dan sifatnya yang endemik, sang kura-kura paruh betet ini oleh IUCN Red List dikategorikan sebagai spesies Critically Endangered (sangat terancam punah). Bahkan The Turtle Conservation Coalition, sebuah koalisi konservasi kura-kura yang terdiri atas berbagai lembaga konservasi seperti IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group, Wildlife Conservation Society (WCS), Turtle Survival Alliance (TSA), Conservation International (CI) dan lainnya memasukkan kura-kura hutan sulawesi sebagai salah satu dari 25 Kura-Kura Paling Langka dan Terancam Punah Di Dunia (The World’s 25 Most Endangered Tortoises and Freshwater Turtles) Tahun 2011.
Elang Flores (Spizaetus floris)merupakan salah satu jenis raptor (burung pemangsa) endemik yang dipunyai Indonesia. Sayangnya elang flores yang merupakan burung pemangsa endemik flores (Nusa Tenggara) ini kini menjadi raptor yang paling terancam punah lantaran populasinya diperkirakan tidak melebihi 250 ekor sehingga masuk dalam daftar merah (IUCN Redlist) sebagai Critically Endangered (Kritis). Status konservasi dan jumlah populasi ini jauh di bawah Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang status konservasinya Endangered (Terancam).
Elang flores (Spizaetus floris) semula dikelompokkan sebagai anak jenis (subspesies) dari elang brontok (Spizaetus cirrhatus) dengan nama ilmiah (Spizaetus cirrhatus floris). Tetapi mulai tahun 2005, elang flores ditetapkan sebagai spesies tersendiri. Dan saat itu pula, elang flores yang merupakan raptor endemik Nusa Tenggara dianugerahi status konservasi Critically Endangered. Daftar burung langka lainnya silahkan baca: Daftar Burung Langka dan Terancam Punah.
Elang flores dalam bahasa inggris dikenal sebagai Flores Hawk-eagle. Dalam bahasa ilmiah (latin) dikenal sebagai Spizaetus floris.
Ciri-ciri. Burung elang flores mempunyai ukuran tubuh yang sedang, dengan tubuh dewasa berukuran sekitar 55 cm. pada bagian kepala berbulu putih dan terkadang mempunyai garis-garis berwarna coklat pada bagian mahkota.
Tubuh elang flores berwarna coklat kehitam-hitaman. Sedangkan dada dan perut raptor endemik flores ini ditumbuhi bulu berwarna putih dengan corak tipis berwarna coklat kemerahan. Ekor elang flores berwarna coklat yang memiliki garis gelap sejumlah enam. Sedangkan kaki burung endemik ini berwarna putih.
Elang flores (spizaetus floris) tengah hinggap
Burung ini biasa mendiami hutan-hutan dataran rendah dan hutan submontana sampai ketinggian 1600 meter di atas permukaan laut (m. dpl).
Rusa Bawean (bahasa latinnya Axis kuhlii), merupakan satwa endemik pulau Bawean (Kab. Gresik, Jawa Timur) yang populasinya semakin langka dan terancam kepunahan. Oleh IUCN Redlist, Rusa Bawean, yang merupakan satu diantara 4 jenis (spesies) Rusa yang dimiliki Indonesia ini, dikategorikan dalam “Kritis” (CR; Critiscally Endangered) atau “sangat terancam kepunahan”. Spesies Rusa Bawean ini juga terdaftar pada CITES sebagai appendix I. Dalam bahasa inggris disebut sebagai Bawean Deer.
Ciri-ciri dan Habitat Rusa Bawean. Rusa Bawean memiliki tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan Rusa jenis lainnya. Rusa Bawean (Axis kuhlii) mempunyai tinggi tubuh antara 60-70 cm dan panjang tubuh antara 105-115 cm. Rusa endemik Pulau Bawean ini mempunyai bobot antara 15-25 kg untuk rusa betina dan 19-30 kg untuk rusa jantan.
Selain tubuhnya yang mungil, ciri khas lainnya adalah memiliki ekor sepanjang 20 cm yang berwarna coklat dan keputihan pada lipatan ekor bagian dalam. Tubuhnya yang mungil ini menjadikan Rusa Bawean lincah dan menjadi pelari yang ulung.
Warna bulunya sama dengan kebanyakan rusa, cokelat kemerahan kecuali pada leher dan mata yang berwarna putih terang. Bulu pada Rusa Bawean anak-anak memiliki totol-totol tetapi seiring bertambahnya umur, noktah ini akan hilang dengan sendirinya.
Sebagaimana rusa lainnya, Rusa Bawean jantan memiliki tanduk (ranggah) yang mulai tumbuh ketika berusia delapan bulan. Tanduk (ranggah) tumbuh bercabang tiga hingga rusa berusia 30 bulan. Ranggah rusa ini tidak langsung menjadi tanduk tetap tetapi mengalami proses patah tanggal untuk digantikan ranggah yang baru. Baru ketika rusa berusia 7 tahun, ranggah (tanduk rusa) ini menjadi tanduk tetap dan tidak patah tanggal kembali.
Rusa Bawean merupakan nokturnal, lebih sering aktif di sepanjang malam. Dan mempunyai habitat di semak-semak pada hutan sekunder yang berada pada ketinggian hingga 500 mdpl. Mereka sangat hati-hati, dan muncul untuk menghindari kontak dengan orang-orang; di mana aktivitas manusia berat, rusa menghabiskan hari di hutan di lereng-lereng curam yang tidak dapat diakses oleh penebang kayu jati.
Populasi dan Konservasi Rusa Bawean (Axis kuhlii). Di habitat aslinya, Rusa Bawean semakin terancam kepunahan. Pada akhir 2008, peneliti LIPI menyebutkan jumlah populasi rusa bawean yang berkisar 400-600 ekor. Sedang menurut IUCN, satwa endemik yang mulai langka ini diperkirakan berjumlah sekitar 250-300 ekor yang tersisa di habitat asli (2006).
Karena populasinya yang sangat kecil dan kurang dari 250 ekor spesies dewasa, IUCN Redlist sejak tahun 2008 memasukkan Rusa Bawean dalam kategori “Kritis” (CR; Critiscally Endangered) atau “sangat terancam kepunahan”. Selain itu CITES juga mengategorikan spesies bernama latin Axis kuhlii ini sebagai “Appendix I”
Semakin langka dan berkurangnya populasi Rusa Bawean (Axis kuhlii) dikarenakan berkurangnya habitat Rusa Bawean yang semula hutan alami berubah menjadi hutan jati yang memiliki sedikit semak-semak. Ini berakibat pada berkurangnya sumber makanan.
Burung Tokhtor Sumatera (Carpococcyx viridis) pernah dianggap punahkarena hampir seabad lamanya sejak terdiskripsikan pada 1916, tidak pernah sekalipun dijumpai. Baru pada November 1997 seekor Tokhtor Sumatera berhasil difoto untuk pertama kalinya.
Hingga kini burung endemik Sumatera ini termasuk dalam 18 burung paling langka di Indonesia. Burung Tokhtor Sumatera didaftar sebagai satwa “Critically Endangered” (Kritis) yakni status konservasi dengan keterancaman paling tinggi. Diduga populasinya tidak mencapai 300 ekor.
Burung Tokhtor Sumatera dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sumatran Ground-cuckoo, Sumatran Ground Cuckoo dan mempunyai nama latin Carpococcyx viridis. Burung ini merupakan satu dari tiga spesies Tokhtor yang ada di dunia selain Tokhtor Kalimantan (Carpococcyx radiceus) yang endemik Kalimantan dan Coral-billed Ground-cuckoo (Carpococcyx renauldi) yang terdapat di Thailand dan Vietnam. Dulunya, Tokhtor Sumatera dan Tokhtor Kalimantan dianggap satu spesies yang dinamai Tokhtor Sunda.
Burung Tokhtor Sumatera yang tertangkap camera trap
Ciri-ciri dan Kebiasaan. Burung Tokhtor Sumatera merupakan burung penghuni permukaan tanah dengan ukuran tubuh yang besar mencapai 60 cm. Kaki dan paruh berwarna hijau. Mahkota hitam, sedangkan mantel, bagian atas, leher samping, penutup sayap dan penutup sayap tengah berwarna hijau pudar. Bagian bawah tubuh berwarna coklat dengan palang coklat kehijauan luas. Sayap dan ekor hitam kehijauan mengilap. Tenggorokan bawah dan dada bawah hijau pudar, bagian bawah sisanya bungalan kayu manis, sisi tubuh kemerahan. Kulit sekitar mata berwarna hijau, lila dan biru.
Burung Tokhtor Sumatera yang Langka. Burung Tokhtor Sumatera atau Sumatran Ground Cuckoo (Carpococcyx viridis) merupakan binatang yang langka. Burung endemik Sumatera ini termasuk dalam 18 burung paling langka di Indonesia.
Sejak terdiskripsikan pada 1916, burung ini tidak pernah terlihat sekalipun hingga pada November 1997 di Taman Nasional Bukit Barisan, seekor Tokhtor Sumatera berhasil difoto untuk pertama kalinya. Burung ini terdokumentasi kedua kalinya lewat kamera trap di Taman Nasional Kerinci Seblat pada Tahun 2006. Baru pada Januari 2007, tim survei satwa liar dari Wildlife Coservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) berhasil menangkap spesies burung Tokhtor Sumatera hidup. Inipun setelah burung tersebut terperangkap jeratan untuk menjebak Ayam Hutan.
Burung Tokhtor Sumatera (Carpococcyx renauldi)
Populasi burung Tokhtor Sumatera (Carpococcyx viridis) diperkirakan hanya antara 50-250 ekor saja. Dengan habitat (daerah persebaran) seluas 26.000 km persegi di Pegunungan Barisan, Sumatera. Burung endemik yang langka ini mendiami hutan pegunungan rendah dengan ketinggian antara 800-1000 meter dpl.
Pun berbagai perilaku dan kebiasaan burung ini belum dapat diungkap secara detail akibat kurangnya data dan penelitian yang bisa dilakukan. Apalagi dengan sedikitnya jumlah spesies yang ditemukan dan berhasil diamati.
Kodok Merah atau Leptophryne cruentata merupakan jenis kodok endemik yang langka. Kodok Merah merupakan spesies ampibi endemik Jawa Indonesia yang hanya bisa ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Kodok Merah pun menjadi salah satu hewan langka yang terancam punah. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian IUCN Redlist mencatatnya dengan status Critically Endangered(Kritis). Meskipun di Indonesia sendiri Kodok ini luput dari daftar satwa yang dilindungi.
Kodok Merah sering kali disebut juga sebagai Katak Darah. Kodok Merah dalam bahasa Inggris disebut sebagai Bleeding Toad atau Fire Toad. Sedangkan dalam bahasa latin (nama ilmiah) hewan ini disebut Leptophryne cruentata. Nama latinnya ini mempunyai arti kurang lebih ‘berdarah’.
Kodok Merah (Leptophyrne cruentata)
Diskripsi, Ciri, dan Populasi. Kodok Merah (Leptophryne cruentata) berukuran kecil dan ramping. Ciri khasnya adalah wana kulitnya yang dipenuhi bintik-bintik berwarna merah darah. Kulit katak merah berwarna hitam dengan bintik-bintik merah atau kuning atau putih marmer. Lantaran warna merahnya yang menyerupai darah, kodok ini biasa disebut juga sebagai katak merah.
Pada tahun 1976 diperkirakan populasi katak ini masih sangat melimpah. Pada tahun 1987 dan paska meletusnya gunung Galunggung populasinya mulai jarang ditemui. Saking langkanya pada periode 90-an hingga 2003 hanya dapat ditemukan satu ekor Kodok Merah di sekitar air terjun Cibeureum.
Karena daerah sebarannya yang sangat sempit (endemik lokal) dan populasinya yang menurun drastis IUCN Redlist memasukkannya dalam daftar spesies Critically Endangered (Kritis) yang merupakan tingkat keterancaman tertinggi sebelum punah.
Sayangnya, meskipun populasinya sangat sedikit dan sebarannya yang sangat sempit,hewan langka, hewan endemik, sekaligus hewan unik ini tidak termasuk dalam satwa yang dilindungi di Indonesia.