• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM DAN MANUSIA KEPRIBADIAN ID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM DAN MANUSIA KEPRIBADIAN ID"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM DAN MANUSIA

Disampaikan pada Mata Kuliah

Filsafat Hukum Islam

Dosen Pembimbing :

PROF. DR. MUHAMMAD YASIR NASUTION

DR. MUSTHAFA KAMAL ROKAN

DISUSUN OLEH

ARMAYA AZMI

NIM 92215023526

Semester II

PROGRAM STUDI

HUKUM ISLAM

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang "Hukum dan Manusia" ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas perkuliahan Filsafat Hukum Islam pada program studi Hukum Islam Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada dosen pembimbing, Bapak Prof. DR, H. M. Yasir Nasution dan Bapak DR. Mustafa Kamal Rokan, MA yang telah memberikan begitu banyak kontribusi keilmuan, motivasi, pencerahan dan wawasan beliau kepada penulis dalam mengembangkan keilmuan untuk menjadi insan ulul albab.

Walaupun dengan penuh semangat dan perjuangan yang tidak mudah dalam penulisan makalah ini untuk menjadikannya sebaik mungkin, tapi penulis menyadari makalah ini tentu jauh dari sempurna. Besar harapan kami, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan setiap kritik dan saran terhadap makalah ini sangat kami hargai untuk dapat dievaluasi dan diperbaiki.

Binjai, Mei 2016 Penulis

(3)

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I ... 3

PENDAHULUAN ... 3

A. Latar Belakang Masalah ... 3

B. Perumusan Masalah ... 4

BAB II ... 5

PEMBAHASAN ... 5

A. Definisi Hukum ... 5

B. Hakikat Manusia ... 9

C. Manusia Sebagai Subjek Hukum ... 13

C. Manusia Dalam Hukum Barat ... 15

D. Pandangan Hukum Islam tentang Manusia dan Kemanusiaan ... 17

BAB III ... 21

PENUTUP ... 21

KESIMPULAN ... 21

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ubi Societas ibi ius (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Kaidah ini menegaskan bahwa hukum dan manusia adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Manusia tanpa hukum akan menyebabkan ketidakteraturan dalam kehidupannya, sedangkan hukum tanpa manusia maka juga tidak akan pernah ada. fungsi hukum adalah membuat ketertiban dan keteraturan, kenyamanan dan ketentraman dalam interaksi manusia dengan manusia lainnya.

Manusia dalam subjeknya memiliki kebebasan untuk berbuat dan bertindak, namun dalam hubungannya dengan manusia lainnya maka dia memiliki keterbatasan untuk menjaga kebebasan orang lain untuk berbuat. Sehingga manusia bebas dalam keterikatan dan terikat dalam kebebasannya. Seandainya semua manusia bebas melakukan apa saja menurut keinginannya maka dapat dipastikan akan terjadi chaos, karena akan terjadi benturan-benturan kepentingan yang berbeda dan kesemuanya merasa lebih berhak untuk diutamakan.

Sebagai contoh di persimpangan jalan di buat traffic light untuk menghindari terjadi kecelakaan, seandainya semua kendaraan tidak mematuhinya dan berbuat sebebas keinginannya maka dapat dipastikan perjalanan tidak akan kondusif, karena semua hendak cepat justru akhirnya menjadi lambat karena tidak ada yang saling mengalah, bahkan akan terjadi tabrakan dan kecelakaan lalu lintas.

Maka manusia membuat kesepakatan-kesepakatan untuk mengatur seluruh kepentingan, kesepakatan ini mengikat manusia yang kemudian berbentuk menjadi sebuah aturan baik tertulis maupun tidak tertulis. Namun, aturan-aturan yang dibuat manusia seringkali bersifat subjektif dan tidak mewakili kepentingan seluruh umat manusia, maka di sisi lain ada hukum yang tidak memihak kepentingan manapun dan siapapun, hukum yang dibuat untuk kepentingan seluruh manusia, hukum yang bersumber dari Tuhan.

(5)

B. Perumusan Masalah

(6)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hukum

Hukum memiliki berbagai macam definisi yang diberikan para ahli, jika ada seribu ahli mendenifinisikan hukum, maka akan ada seribu denifisi yang berbeda tentang arti hukum, menurut lawrence M. Friedman seperti yang dikutip Achmad Ali, “Hukum adalah sebuah kata dengan banyak arti, selicin kaca, segesit gelembung sabun. Hukum adalah konsep, abstraksi, konstruk sosial, bukan objek nyata di dunia sekitar kita.”1 Selaras dengan Friedman, D.M.M. Scott juga

mengatakan “it is not difficult to recognize law when we encounter it, but to define „law‟ exactly is a task that is so hard as to be almost impossible..”.2

Perbedaan dalam mendefinisikan hukum akan terlihat dari sudut pandang dan aliran mazhab yang dianutnya, Achmad Ali dalam buku menguak teori hukum mengutip setidaknya delapan puluh definisi hukum yang berbeda. Menurut

Aristoteles, “hukum adalah sesuatu yang berbeda ketimbang sekadar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi, hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.”3

Thomas Aquinas mengatakan “hukum adalah satu aturan atau tindakan-tindakan, dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak (sesuai aturan atau

ukuran itu).” Kant mendefinisikan hukum adalah “keseluruhan kondisi-kondisi, dimana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan hukum umum tentang

kemerdekaan.”4

Hans Kelsen melihat hukum sebagai perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum adalah norma primer yang menetapkan sanksi-sanksi. Donal Black memandang hukum adalah government sosial control.. dengan kata lain, hukum adalah kehidupan normatif dari suatu negara dan warga negaranya, seperti

1

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory & Teori Peradilan (Judicial

Prdence), termasuk interpretasi Undang-Undang (Legisprudences) Volume 1 Pemahaman Awal, (Jakarta: Kencana, 2009) h. 28

(7)

legislasi, litigasi dan adjudikasi. Karl Marx melihat hukum adalah suatu pencerminan hubungan umum ekonomis dalam masyarakat, pada suatu tahap perkembangan tertentu. 5

Demikian tidak terbatasnya definisi hukum, sehingga Lawrence M.

Friedman menuliskan bahwa “there is, of course, no „true definition of law. Definitions flow from the aim or function of the definer.6

Istilah hukum dalam literatur hukum, utamanya yang berbahasa Inggris, disebut law, laws, a law, the law, dan legal. Beberapa bahasa kontinental menggunakan kata-kata berbeda, seperti jus, lex, recht, gesete, droit, loi, diritto, legge.7

Perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia berasal dari kata hukm dalam bahasa Arab, artinya, norma atau kaidah yaitu ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.8

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia hukum berarti (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah (2) Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu.9

Dalam Al-Qur‟an Allah menggunakan begitu banyak kata hukum dengan berbagai variannya, Pertama, dalam bentuk kata kerja Al-Qur‟an menggunakan kata hakama dengan berbagai bentuk dan dhomirnya seperti hakama, hakamta, hakamtum, ahkumu, tahkumu, tahkumun, yahkumu, yahkumani, yahkumun, lalu dalam bentuk kata kerja lain seperti hakkama, tahakama, ahkama. Kedua, dalam bentuk ism atau mashdar, Al-Qur‟an menggunakan kata hukm, hikmah,

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. 18, 2013), h. 44

9

KBBI versi daring 10

Muhammad Fuad Abdul Baqy, Al-Mu‟jam Al-Mufahras li Alfazhi Al-Qur‟ani Al

(8)

Menurut Raghib Isfahani dalam Mufradat fi Gharibi Al-Qur‟an, arti dasar kata Hukum adalah mana‟a man‟an li ishlah, mencegah atau melarang sesuatu demi kebaikan, dan hukum juga berarti memutuskan/menetapkan sesuatu, Hakim atau Hukkam bermakna orang yang memberikan putusan atau ketetapan antara manusia, dalam bentuk Ism dari kata hukm, muncul istilah Hikmah yang bermakna mendapatkan kebenaran melalui ilmu dan akal, hikmah dari Allah adalah mengetahui berbagai hal dan mencari maksud dan tujuan hukum. Perbedaannya adalah Hukum lebih umum dari hikmah, semua hikmah adalah hukum dan tidak semua hukum adalah hikmah.11

Selain Kata hukum, dalam literatur keislaman yang sering digunakan untuk menyebut Hukum Islam digunakan Istilah Syariat Islam (Islamic Law) dan Fiqih Islam (Islamic Jurisprudence).12

Syariah secara etimologi bermakna sumber air, makna lain darinya adalah jalan yang lurus13, Al-Qur‟an menggunakan istilah Syir‟ah dan Syariah, Syariah dimaksudkan adalah Tauhid sebagaimana Q.S. Asy Syura ayat 13 Allah berfirman :

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama. dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya..”

Dari ayat di atas difahami bahwa Allah menurunkan syariat yaitu Tauhid, dan memerintahkan para Nabi dan orang-orang yang beriman untuk bersatu dan jangan berpecah belah tentangnya.14

11

Ar-Raghib Al-Ishfahani, Al-Mufradat fi Gharibi Al-Qur‟an, (Damaskus, Darul Qalam,

1412 H), h. 249 12

Ibid., h. 49 13

Abid Muhammad As-Sufyani, Ats-Tsabat wa Asy-Syumul fi Asy Syariah Al-Islamiyah, (Makkah: Al-Manarah, 1988) h. 57

14

(9)

Istilah kedua Al-Quran menggunakan kata Syir‟ah yang berarti furu‟ atau

“...untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan Syir‟ah (aturan) dan Minhaj (jalan yang terang). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,

Istilah Syariah juga mengandung makna keseluruhan hukum yang Allah syariatkan kepada manusia. Seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Jatsiyah 18:

hukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Istilah ketiga ini yang sering digunakan para ulama untuk menegaskan bahwa Syariat adalah hukum yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah. Seperti yang diungkapkan Ibnu Taimiyah

“sesungguhnya syariat itu tidak lain adalah Al-Qur‟an dan Sunnah”15

Dalam Mendefinisikan Hukum Islam, Selain istilah Syariah juga digunakan Al-Fiqhu Al-Islamy atau sering disebut Fiqh, secara bahasa bermakna al fahmu li al-syai‟i wa al-„ilmu bihi pemahaman dan pengetahuan tentang sesuatu.16 Dalam Q.S. At-Taubah 122 Allah berfirman :

15

Ibid., h. 53 16

(10)

untuk memperdalam pengetahuan mereka -bertafaqquh- tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Arti liyatafaqqahu adalah untuk menjadi ulama (dalam ilmunya), ini menunjukkan bahwa fiqh mutlak harus berilmu. Secara istilah fiqh bermakna Ilmu tentang hukum-hukum Syariah yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.17

Perbedaan antara syariat dan fiqh antara lain adalah : Syariat dimaksudkan adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul Nya. Sedang Fiqih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariah dan hasil pemahaman itu. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas karena kedalamannya, sedangkan fiqih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut perbuatan hukum. Syariat hanya satu, sedangkan fiqih lebih dari satu, syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fiqih menunjukkan keragamannya.18

B. Hakikat Manusia

Pertanyaan sentral tentang “apakah manusia itu” sangat penting untuk dijawab karena apabila manusia tidak dimengerti dan didefinisikan secara

meyakinkan maka konsep-konsep tentang hukum, bagaimanapun modernnya

tidak akan menghasilkan kesuksesan dan manfaat yang sesungguhnya. Berbagai

konsep tentang manusia telah dipaparkan demi untuk menemukan jati diri

(11)

Mengutip pandangan Sartre tentang manusia, ia berpendapat bahwa

eksistensi manusia mendahului esensinya19. Hal ini tentu berbeda dengan mahluk

lain yang esensinya mendahului eksistensi. Sebuah benda jika akan dibuat maka

telah ditentukan dahulu fungsinya (esensi), baru kemudian benda itu bereksistensi jika ia sudah ada dalam bentuk konkrit. Tetapi manusia bereksistensi (ada) dahulu, kemudian ia melakukan pencarian esensinya. Dari pendapat Sartre ini dapatlah dimengerti mengapa manusia tidak pernah berhenti bertanya dan mencari tentang dirinya sendiri.

Dalam bukunya, Man the Unknown, Dr. A. Carrel menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya.20

Menurutnya, hal ini disebabkan, pertama, pembahasan manusia terlambat dilakukan, karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi, kedua, ciri khas manusia lebih cenderung memikirkan hal yang tidak kompleks, ketiga, multikompleksnya masalah manusia.21

Maka satu-satunya jalan untuk mengetahui hakikat manusia adalah merujuk kepada wahyu Ilahi. Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia. Pertama, menggunakan kata alif nun dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas. Kedua, menggunakan kata basyar, dan ketiga menggunakan kata Bani Adam atau Dzurriyyat Adam.22

Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan

19

Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Jogjakarta: Kanisius, 2006), h. 93 20

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an-Tafsir Maudhu‟I Atas Pelbagai Persoalan

Umat, (Bandung; Mizan,, 1996), h. 274 21

Ibid., h. 275 22

(12)

manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk

(berguncang). Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.24

Istilah insan dalam al-Qur‟an, menunjuk pada potensi yang membentuk struktur kerohanian manusia dan berfungsi sebagai modal dasar kehidupannya di dunia. Potensi itu berupa kapasitas nafsu, akal, dan rasa.

1. Nafsu merupakan potensi kreatifitas yang cenderung pada arah nilai

positif dan nilai negatif , tercantum dalam Q.S. Al-Syams (91): 7-8.

2. Akal sebagai potensi intelegensi yang dapat mengenal, memahami,

memilah, meneliti, dan memperoleh pengetahuan, tercantum

dalam Q.S Al-Rahman(55) : 2, Q.S Al-„Alaq (96): 5, Q.S. Al-Hajj (22)

: 46, Q.S.Al-Nahl (16) : 12, dan Q.S. „Abasa (80) : 24.

3. Rasa merupakan potensi yang mengarah pada nilai-nilai etika, estetika,

dan agama tercantum dalam Q. S. Al-Syura (42) : 48, Al-Zumar (39) :

8, dan Al-Ma‟arij (70) : 19-20).25

Selain itu, istilah insan mengarah pada sifat-sifat manusia, seperti mulia, ingkar,

melampaui batas, dan optimis seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Tin (95) : 4,Al-„Adiyat (100) : 6, Al-„Alaq (96) : 6, dan Al Fushshilat (41) : 4926. Jadi, dalam

konteks itu, manusia adalah sebagai makhluk psikologis atau insani.

Istilah al-Nas dalam al-Qur‟an mengandung beberapa makna

yaitu: pertama, obyek pembicaraannya mengenai manusia bukan secara

individual, tetapi manusia secara kelompok. Hal ini dapat dilihat pada ungkapan-ungkapan Qur‟ani,“aktsar al-nas”[kebanyakan manusia, Q.S. Al-Rum (30) :

Samsul Arifin, Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Deepublish, 2014), h. 44 26

(13)

nas ajma‟in” [Manusia seluruhnya, Q.S. Ali-„Imran (3) : 87]. Selain itu, bentuk

kalimat perintah yang berkaitan dengan al-nas ditujukan kepada semua orang,

seperti dalam ungkapan “ya ayyuha al-nas u‟budu rabba kum” [hai manusia,

sembahlah Tuhanmu sekalian, Q.S. Al-Baqarah (2) : 21] “ya ayyuha al-nas

uzkuru” [hai manusia, ingatlah kalian semuanya, Q.S. Al-Fathir (35) : 3], dan “ya

ayyuha al-nas ittaqu” [hai manusia, bertakwalah kamu sekalian, Q.S. Luqman

(31) : 33].27

Kedua, istilah al-nas berkaitan dengan petunjuk al-Qur‟an yang

diperuntukkan pada manusia secara komunal, sebagai terlihat dalam

ungkapan “ya ayyuha al-nas qad jaa kum al-rasul” [hai manusia, sesungguhnya

telah datang rasul kepada kalian, Q.S. Al-Nisa (4) : 170], “wa anjalna ilaika al

-zikra li tubayyina li al-nas” [dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‟an sebagai

penjelasan bagi umat manusia, Q.S. Al-Zumar (39) : 41].28

Ketiga, istilah al-nas dikaitkan dengan penjelasan mengenai berbagai tipe,

perilaku, atau karakter kelompok manusia. Menurut al-Qur‟an, manusia itu

munafiq [Q.S. Al-Baqarah (2) : 8-13], fasiq [Q.S. Al-Maidah (5) : 49], zalim [Q.S.

Yunus (10) : 44], lalai[Q.S. Yunus (10): 92], kafir [Q.S. Al-Isra‟ (17) : 89],

destruktif (Q.S. Al-Syu‟ara‟ (26) : 183], musyrik [Q.S. Yusuf (12) : 103, 106],

tidak bersyukur (Q.S. Yusuf (12) : 28], beriman [Q.S. Al-Ankabut (29) : 10],

materialisme [Q.S. Al-Baqarah(2) : 204], dan berpaling [Q.S. Al-Anbiya‟ (21):

1].29

Jika dilihat dari konteksnya, istilah al-nas dalam al-Qur‟an mengacu pada

manusia sebagai makhluk sosial yang saling bersekutu dan berinteraksi. Selain itu,

naluri manusia cenderung bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dalam budaya

yang berbeda, dan cenderung pula untuk saling berhubungan, membutuhkan,

tolong menolong, dan memahami [Q.S. Al-Hujurat (49) : 13, al-Nisa‟: 1].

(14)

ruhi” (maka ketika Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan aku meniupkan

ke dalam tubuhnya ruh ciptaan-Ku). Jadi, manusia dalam konteks bani

Adam adalah sebagai makhluk theoformis yang tersusun dari jasad dan ruh. Jasad

berasal dari tanah, sedang ruh berasal dari Tuhan sebagai meta-energi yang

menyebabkan daya basyari (biologis), daya insani (psikologis), dan daya

al-nasi (hidup sosial). Daya-daya itu akan kembali tidak berfungsi setelah ruh

diambil oleh Tuhan, itulah yang disebut kematian [Q.S. Al-Jumu‟ah (62) : 8].

C. Manusia Sebagai Subjek Hukum

Subjek Hukum atau person dalam bahasa Inggris merupakan suatu bentukan hukum artinya keberadaannya karena diciptakan oleh hukum. Salmond

menyatakan : ”so far as legal theory is concerned, a person is being whom the law regards as capable of rights and duties. Any being thet is so capable is a person, whether a ahuman being or not, and no being that is not so capble is a person, even though he be a man.31

Dari apa yang dikemukan oleh Salmond tersebut jelas bahwa baik manusia maupun bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum atau istilah Salmond, person kalau dimungkinkan oleh hukum. Manusia sekalipun pada masa perbudakan oleh hukum tidak dipandang sebagai subjek hukum atau person. Sebaliknya, bukan manusia tetapi oleh hukum dipandang sebagai cakap untuk memegang hak dan kewajiban merupakan subjek hukum atau person.

Menurut Peter M. Marzuki32 Pada masa sekarang semua manusia merupakan subjek hukum. Manusia merupakan subjek hukum selama ia masih hidup yaitu sejak saat dilahirkan sapak meninggal dunia. Bahkan dalam sistem

civil law dikenal ungkapan ”nasciturus pro iam nato babetur” yang artinya anak yang belum dilahirkan yang masih dalam kandungan dianggap telah dilahirkan apabila kepentinngannya memerlukan. Maxim demikian tertuang di dalam pasal 2

BW yang menetapkan bahwa ”anak dalam kandungan seorang wanita dianggap telah lahir setiap kali kepentigannnya menghendakinya, bila telah mati waktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada.

31

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Kencana, 2008), h. 242 32

(15)

Dalam hukum Islam, Manusia sebagai mahkum alaih yang diberikan beban hukum (taklif) mesti memiliki dua syarat33 :

1. bahwa ia harus mampu memahami dalil pentaklifan, sebagaimana ia mampu untuk memahami berbagai nash perundang-undangan. Kemampuan untuk memahami dalil-dalil taklif hanyalah dapat dibuktikan dengan akal dan keberadaan nash yang ditaklifkan pada orang-orang yang berakal pada jangkauan akal mereka untuk memahaminya. Maka orang yang tidak sempurna akalnya sebagai potensi dalam kapasitasnya sebagai insan tidak bisa menjadi subjek hukum atau tidak bisa dibebankan padanya taklif. Sesuai sabda Rasul

pena diangkat dari tiga jenis manusia, orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai ia dewasa, dan orang gila sampai ia sadar” 2. kelayakan (ahliyyah) dikenakan taklif. Kelayakan sebagai subjek

hukum juga terbagi menjadi dua (1) ahliyah al-wujub, yaitu kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan padanya hak dan kewajiban. Ahliyyah wujub ini tetap pada setiap orang dalam sifatnya sebagai manusia, baik ia laki-laki atau perempuan, baik ia masih janin, anak kecil atau mumayyiz atau telah baligh, atau dewasa, atau bodoh, berakal ataupun gila, sehat atau sakit. Karena ahliyyah wujub ini didasarkan pada kekhususan yang lamiah pada manusia. Detiap manusia yang manapun orangnya. Ia mempunyai ahliyyah wujub, tidak seorang manusia pun ditemukan sebagai orang yang tidak mempunyai ahliyyah wujub, karena ahliyyah wujubnya merupakan kemanusiaannya. (2)

ahliyyah ada‟. Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul

ada‟ mempunyai tiga keadaan, pertama, tidak memiliki ahliyatul ada‟ seperti anak kecil dan orang gila.kedua, kurang ahliyyah ada‟, orang yang telah pintar tapi belum baligh. Ketiga, sempurna ahliyyah ada‟nya, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal.

33

Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Mohd. Zuhri dan Ahmad Qarib,

(16)

D. Manusia Dalam Perspektif dan Historis Hukum Barat

Hukum sesungguhnya dibuat untuk kepentingan manusia, mengatur tingkah laku, perbuatan, kebebasannya agar tidak terjadi kekacauan, manusia menurut Thomas Hobbes memiliki kecendrungan untuk memangsa manusia lainnya (homo homini lupus) yang disimbolkan dengan serigala atau lupus, oleh karena itu manusia terpaksa mengadakan kontrak sosial, untuk melindungi keselamatan masing-masing. Namun menurut Driyarkara Teori ini mengandung banyak kelemahan. Menurutnya justru manusia adalah teman bagi sesamanya, homo homini socius.34

Kontrak sosial ini kemudian menjadi hukum yang mengikat masyarakat dan dikembangkan sesuai dengan kondisi masyarakatnya, pemikiran-pemikiran atau filsafat tentang hukum terus berkembang agar bagaimana hukum dapat dijalankan untuk memberikan keamanan, ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Muncullah Teori-teori tentang hukum yang digagas para filosof dan pakar hukum.

Pada masa klasik, muncul aliran hukum alam, natural law, menurut Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum alam disini dilihat sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.35

Aliran hukum alam ini kemudian terbagi menjadi dua, pertama, aliran hukum alam Irrasional yang didukung oleh Thomas Aquinas, Jhon Salisbury, Dante, Puere Dubos, Marsilisu Padua dan Jhon Wycliffe, aliran hukum irrasional berpandangan bahwa segala bentuk hukum yang bersifat universal dan abadi dan bersumber dari Tuhan secara langsung. kedua, aliran hukum alam rasional yang didukung oleh Hugo de Groot, Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel von Pufendorf, aliran ini berpandangan bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Gagasan kedua pandangan ini menggambarkan bagaimana hukum alam diwujudkan sebagai bagian organik dan esensial dalam hierarki nilai-nilai hukum.36

34

A. Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara – Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang Terlibat

Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta : Gramedia Pustaka utama, 2006), h. 591 35

Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum - Teori dan Praktek, (Jakarta: Prenadamedia

Group, 2013), h. 95 36

(17)

Pada periode selanjutnya, paradigma tentang hukum bergeser dari natural law kepada term positivisme hukum, hukum dipisahkan dengan moral secara tegas, das sein dan das sollen. Hukum adalah perintah penguasa, law is a command of the lawgivers, hukum identik dengan undang undang. Aliran ini dikembangkan antara lain oleh Jhon Austin, Reine Rechslehre, dan Hans Kelsen.37

Pada abad ke 18, muncul teori Utilitarianisme yang melihat hukum harus bertujuan untuk memberikan kebahagiaan buat manusia, The Greatest Happines For The Great Numbers. Pandangan ini dikembangkan oleh Jeremy Bentham, Jhon Stuart Mill, Rudolf von Jhering.38

Pemikiran tentang hukum, bergerak dari fokus terhadap manusia sebagai individu mengarah kepada bangsa yang dikembangkan oleh Mazhab sejarah (Historische Rechtschule) dengan tokohnya Friedrich Karl von Savigny, Puchta, Henry Summer. Mazhab Sejarah ini menganggap hukum itu tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.39

Sebagai sintesis dan dialektika dari positivisme hukum dan mazhab sejarah, muncul aliran Sosiological Jurisprudence yang didukung oleh Eugen Ehrlic dan Roscoe Pound, yang menganggap sama pentingnya positivisme hukum sebagai command of lawgivers dan mazhab sejarah yang menyatakan hukum timbul dan berkembang dengan masyarakat, Sosiological Jurisprudence melihat hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.40

Pada masa modern, pemikiran tentang hukum dan manusia terus dikembangkan, muncul teori Realisme Hukum, Amerika dan Skandinavia, Sosiologi hukum, antropologi hukum Critical Legal Studies dsb. yang kesemuanya melihat hubungan antara hukum dan manusia, dan bagaimana keduanya – hukum dan manusia- saling mempengaruhi satu sama lain.

37

Ibid. h. 106-107 38

Ibid. h. 111-117 39

Ibid. h. 117-122 40

(18)

D. Pandangan Hukum Islam tentang Manusia dan Kemanusiaan

Dalam perspektif hukum Islam, hukum meskipun juga mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi manusia dan sosialnya, namun tetap harus dilandaskan kepada sumber utamanya, yaitu syariat, sehingga hubungan atau pengaruh hukum dan manusia tidak mengalami banyak perbedaan sepanjang masa. Karena patron dalam melihat hukum sudah secara tegas dan tidak akan lari dari konsep hukum yang ada dalam Al-Qur‟an maupun Sunnah, hanya pengembangan hukum melalui ijtihad terhadap hal-hal yang tidak tertulis jelas dalam Syariat terus dilakukan dengan tetap berpegang pada dua sumber hukum utama tsb

Al-Qur‟an sebagai sumber hukum dalam Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap manusia. Al-Qur‟an sebagi sumber hukum pertama bagi umat Islam telah meletakan dasar dasar kemanusiaan serta kebenaran dan keadilan, jauh sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Hal ini dapat dilihat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

al-Qur‟an,antara lain :

1. Dalam al-Quran terdapat 80 ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana kehidupan, misalnya dalam surat al-Maidah ayat 32 :

” Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”.

2. Al-Qur‟an juga menjelaskan 150 ayat tentang ciptaan dan makhluk -makhluk serta tentang persamaan dalam penciptaan, misalnya dalam surat al-Hujarat ayat 13.

(19)

memerintahkan berbuat adil dalam 50 ayat yang diungkapkan dengan kata : adl, qisth dan qishsh.

4. Dalam al-Qur‟an terdapat sekitar 10 ayat yang berbicara mengenai larangan memaksa untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi, misalnya yang dikemukakan dalam surat al-Kahfi ayat 29 .

Beberapa ayat lain yang menunjukkan penghormatan akan hak-hak manusia dalam ajaran Islam antara lain, Hak Persamaan dan Kebebasan (QS. Al-Isra : 70, An Nisa : 58, 105, 107, 135 dan Al-Mumahanah : 8). Hak Hidup (QS. Al-Maidah : 45 dan Al - Isra : 33). Hak Perlindungan Diri (QS. al-Balad : 12 - 17,

At-Taubah : 6). Hak Kehormatan Pribadi (QS. At-Taubah : 6). Hak Keluarga (QS. Al-Baqarah : 221, Al-Rum : 21, An-Nisa 1, At-Tahrim :6). Hak Keseteraan Wanita dan Pria (QS. Al-Baqarah : 228 dan Al-Hujrat : 13). Hak Anak dari Orangtua (QS. Al-Baqarah : 233 dan surah Al-Isra : 23 - 24). Hak Mendapatkan Pendidikan (QS. At-Taubah : 122, Al-Alaq : 1 - 5). Hak Kebebasan Beragama (QS. Al-kafirun : 1 - 6, Al-Baqarah : 136 dan Al Kahti : 29). Hak Kebebasan Mencari Suaka (QS. An-Nisa : 97, Al Mumtaharoh : 9). Hak Memperoleh Pekerjaan (QS. At-Taubah : 105, Al-Baqarah : 286, Al-Mulk : 15). Hak Memperoleh Perlakuan yang Sama (QS. Baqarah 275 - 278, An-Nisa 161, Al-Imran : 130). Hak Kepemilikan (QS. Al-Baqarah : 29, An-Nisa : 29). Dan Hak Tahanan (QS. Al-Mumtahanah : 8).

Izzuddin Abdus Salam41 berpendapat bahwa hukum Allah yang diturunkan kepada Rasulnya adalah bertujuan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan manusia dan mencegah hal-hal yang dapat mendatangkan kerusakan. Dalam Q.S. Annahl 90, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan kebaikan (Al-Adl dan Al-Ihsan), Ihsan bukan hanya antara manusia kepada Tuhannya, namun juga kepada semua Makhluk, baik manusia, binatang dan tumbuhan. Termasuk juga Ihsan kepada dirinya sendiri

41

(20)

Al-Syathiby menjelaskan bahwa hukum yang disyariatkan Allah memiliki tujuan memberikan perlindungan kepada makhluknya. Tujuan atau maksud hukum (maqashid syariah) tersebut dibagi menjadi tiga, dharuriyyah (primer) hajjiyyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier).42

Tujuan yang Dharuriyyah adalah hukum wajib memberikan pemeliharaan dan proteksi kepada lima hal, (1) hifzhu al-din, hukum dibuat untuk melindungi manusia dalam menjaga agamanya, (2) Hifzhu al-nafs, memberikan proteksi dan pemeliharaan terhadap jiwa, (3) Hifzhu Al-Nasl, pemeliharaan terhadap anak dan keturunan (4) Hifzhu Al-Mal, perlindungan terhadap harta benda, dan (5) Hifzhu Al-Aql, memelihara akal, fikiran dan nalar.43

Hasbi Ash-Shiddiqy mengatakan bahwa Hukum Islam sesungguhnya sangat berkarakter Insaniyyah (kemanusiaan), hukum Islam memberikan perhatian penuh kepada manusia, memelihara segala yang berpautan dengan manusia, baik mengenai diri, ruh, akal, aqidah, fikrah, usaha, pahala, dan siksa, baik selaku perorangan maupun selaku anggota masyarakat, baik mengenai anak istrinya, harta kekayaannya keutamaan dan kekejiannya dsb.44

Tidak ada agama baik yang diwahyukan atau tidak, baik dalam kitab-kitab ketuhanan, kitab-kitab buatan manusia, baik dalam mazhab falsafah lama maupun baru, yang menjadikan manusia asas dan sumber kemudian menjadikannya washilah (cara) dan ghayah (tujuan) serta menjadikannya objek pembahasan sebagai yang diperbuat Al-Qur‟an.45

Hukum Islam memberikan kemuliaan kepada manusia karena kemanusiaannya, Islam tidak mendahulukan sesuatu pun atas manusia, manusialah yang menjadi substansi dan asas. Ada negara atau syariat yang menempatkan negara di atas segala-galanya. Karena negara melarang manusia berbicara bebas, negara membatasi gerak-gerik rakyatnya dan mengharuskan mereka tunduk setunduk-tunduknya kepada negara, dan mengorbankan dirinya demi untuk kejayaan negara.46

42

Abu Ishaq Al-Syathiby, Al-Muwafaqat, (Arab Saudi: Dar Ibn Affan, 1997) h. 17 43

Ibid., h.. 20 44

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (t.t.p: Pustaka Rizki Putra, t.t), h. 100

45 Ibid. 46

(21)

Ada pula negara yang berpendapat bahwa masalah ekonomi dan perbaikannya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karenanya negara meletakkan seluruh masyarakat tunduk di bawah hukum ekonomi. Maka jika masalah ekonomi dan kemajuannya tidak dapat berjalan dengan baik terkecuali dengan mengorbankan manusia, maka dengan tidak segan-segan manusia itu dikorbankan demi untuk kepentingan-kepentingan ekonomi.47

Islam tidak membenarkan seseorang melecehkan kemuliaan manusia dan mengancamnya atau menumpahkan darahnya, jalan yang ditempuh Islam baik dalam menghadapi orang-orang yang bertindak jahat haruslah menurut cara-cara

yang telah ditetapkan syara‟ tidak boleh dilampaui. Hukuman-hukuman yang ditetapkan atas dasar memelihara kemuliaan manusia. Oleh karena ini yang menjadi asas hukum Islam, maka Islam tidak mendasarkan perintah kepada pemaksaan, tidak menghilangkan kemerdekaan manusia dan membatasi gerak dirinya.48

Sehingga bisa dilihat bahwa manusia dalam perspektif hukum Islam diberikan tempat dan porsi yang besar sebagai subjek sekaligus objek hukum, menjadi asas maupun tujuan hukum, dengan pedoman yang berasal dari hukum asli yang berasal dari zat yang tidak mempunyai kepentingan sedikitpun kecuali untuk kepentingan dan kemashlahatan hambanya. Kepatuhan manusia terhadap hukum Tuhan ini bukan hanya disebabkan pemaksaan atau sanksi yang diberikan, ataupun reward yang didapatkan. namun ada daya dorong yang sangat besar yang datang dari dalam hati. Hukum dan akhlak adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

47

Ibid., h, 101 48

(22)

21

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Hukum memiliki sejuta definisi, setiap orang akan berbeda dalam mendefinisikan hukum, dalam Islam hukum dikenal dengan nama Syariah yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah, dan Fiqh hasil pemahaman manusia terhadap Syariah.

Manusia dalam Al-Qur‟an disebut dalam tiga bentuk, pertama disebut basyar, menunjukkan manusia dalam arti biologisnya, kedua disebut Al-Ins dengan berbagai derivasinya seperti Insan, Unas dan An-Nas, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan. Ketiga, Bani Adam atau Dzurriyat Adam, menunjukkan manusia berasal dari satu ayah nafsin wahidah yaitu Adam dan berasal dari rahim yang satu yaitu Hawa. Kemudian berkembang menjadi makhluk sosial yang saling berhubungan satu sama lain.

Hukum dan Manusia adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan, dimana ada manusia dan masyarakat disitu ada hukum. Hukum berkembang seiring dengan perkembangan manusia, dalam konteks hukum yang berkembang di Barat, perkembangan hukum sangat relatif dan tergantung kondisi sosial dan pemikiran filosofis yang berkembang pada zamannya, karena tidak memiliki satu dasar yang kokoh dalam mendefinisikan hukum, akan berbeda dengan perkembangan hukum Islam, memiliki dasar yang fundamental yang tidak akan berubah sepanjang zaman, perkembangan hukum tetap mengacu kepada syariat, dan prinsip-prinsipnya disesuaikan dengan perkembangan manusia.

Manusia diberikan tempat yang istimewa dalam hukum, baik dalam hukum Barat terlebih lagi dalam pandangan hukum Islam, hukum bertujuan memelihara eksistensi manusia, keteraturan, ketertiban, keadilan, keseimbangan hak dan kewajiban.

(23)

22

berupa akal yang bisa memilih baik dan buruk. Ketika potensi itu hilang maka sebagai beban taklif hukum itu pun tidak berlaku lagi untuknya.

Hukum Islam sesungguhnya sangat berkarakter Insaniyyah (kemanusiaan), hukum Islam memberikan perhatian penuh kepada manusia, memelihara segala yang berpautan dengan manusia, baik mengenai diri, ruh, akal, aqidah, fikrah, usaha, pahala, dan siksa, baik selaku perorangan maupun selaku anggota masyarakat, baik mengenai anak istrinya, harta kekayaannya keutamaan dan kekejiannya dsb.

Hukum Islam bertujuan memberikan kemashlahatan yang sebesar-besarnya kepada manusia, dan memberikan perlindungan menyeluruh terhadap manusia baik agamanya, jiwanya, keturunannya, hartanya dan akalnya.

(24)

23

DAFTAR PUSTAKA

A. Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara – Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang Terlibat Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya, Jakarta : Gramedia Pustaka utama, 2006

Abdul Baqy. Muhammad Fuad, Al-Mu‟jam Al-Mufahras li Alfazhi Al-Qur‟ani Al -Karim, Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyah, 1364 H

Ali. Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory & Teori Peradilan (Judicial Prudence), termasuk interpretasi Undang-Undang (Legisprudences) Volume 1 Pemahaman Awal, Jakarta: Kencana, 2009

Ali. Mohammad Daud, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. 18, 2013

Al-Ishfahani. Ar-Raghib, Al-Mufradat fi Gharibi Al-Qur‟an, Damaskus, Darul Qalam, 1412 H

Al-Syathiby. Abu Ishaq, Al-Muwafaqat, Arab Saudi: Dar Ibn Affan, 1997

Ash-Shiddiqy. Teungku Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, t.t.p: Pustaka Rizki Putra, t.t

As-Sufyani. Abid Muhammad, Ats-Tsabat wa Asy-Syumul fi Asy Syariah Al-Islamiyah, Makkah: Al-Manarah, 1988

Izzuddin bin Abdis Salam, Fawaid fi Iktishari al-Maqashid au Qawaid Al-Sughra, (Lebanon, Darul Fikri, 1996)

Khalaf. Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Mohd. Zuhri dan Ahmad Qarib, Semarang: Dina Utama, 1994

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008

Shihab. M. Quraish, Wawasan Al-Qur‟an-Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung; Mizan, 1996),

Referensi

Dokumen terkait

Pemangkasan batang utama pada jarak kepyar jenis lokal Beaq Amor berpengaruh nyata terhadap hasil biji, jumlah cabang primer, dan cabang sekunder, namun tidak

Overall, the conceptual model of participation in shared accommodation-based economy by Airbnb hosts is novel for its associations of demographic, socio-economic, occupational,

Untuk menganalisis apakah variabel komitmen, komunikasi dan kepuasan berpengaruh terhadap retensi pelanggan pada nasabah bank BTPN di Kabupaten Kudus secara

HASIL UJI STATISTIK KONSTANTA LAJU DISOLUSI TABLET LIKUISOLID IBUPROFEN ANTAR FORMULA.

Pada kegiatan belajar ini anda akan dipandu dalam penciptaan tari, proses. penyusunan tari tidak hanya menitik beratkan pada aspek

Mengkaji motivasi petani jahe emprit mitra menjalin kemitraan dengan

Jumlah total hasil tangkapan Pangilar (Fish Trap) baik yang menggunakan umpan hidup dan yang tidak menggunakan umpan hidup adalah 75 ekor atau dengan berat 5350

Mencari matriks peluang transisi dengan menggunakan transformasi Laplace, bergantung pada invers dari selisih antara matriks identitas dengan matriks generator.. Mencari