• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Analisa dalam Trajektori St

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perkembangan Analisa dalam Trajektori St"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Perkembangan Analisa

dalam Trajektori Studi Politik

Indonesia

Rajif Dri Angga

Pengantar

Dinamika kepolitikan di Indonesia tetap menjadi daya tarik sekaligus tantangan tersendiri bagi ilmuwan politik yang mengkaji Indonesia untuk menjelaskan fenomena sosial politik dengan keberagaman corak pendekatan. Trajektori studi politik Indonesia menawarkan bentangan fenomena politik yang menantang para Indonesianis non-Indonesia untuk mengkajinya lebih jauh dengan perspektif dan lokus analisa tertentu. Perspektif metodologis yang digunakan ilmuwan untuk mengkaji kepolitikan di Indonesia telah membawa implikasi logis bagi berkembangnya corak analisa tertentu yang secara generik mendominasi kajian politik Indonesia. Lokus analisa yang dicoba ditelaah ilmuwan juga merefleksikan perkembangan trend kajian tertentu yang acapkali memberikan corak kekhasan trajektori politik Indonesia dari masa ke masa.

(2)

tulisan-tulisan mereka. Selain itu, tulisan ini juga akan difokuskan pada pembahasan mengenai pendekatan dominan sekaligus pendekatan yang terpinggirkan dalam kajian analisa politik Indonesia.

Analisa politik dalam trajektori era kolonialisme dan pasca kolonialisme awal

Fase trajektori politik era kolonialisme ini dititikberatkan pada pembacaan politik Indonesia dengan melihat basis sosial-ekonomi dan budaya politik masyarakat. Dari kacamata analisa tersebut muncul kajian mendalam tentang struktur sosial masyarakat Indonesia yang dikaji oleh JS Furnivall. Dalam studinya, Furnivall (1939) memandang bahwa struktur masyarakat Hindia Belanda bukanlah sebuah kesatuan entitas masyarakat yang homogen melainkan masyarakat yang plural yang dihubungkan oleh interaksi dan relasi ekonomi. Konsep ‘plural society’ Furnivall sedikit banyak telah menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang plural terdapat beberapa sistem sosial yang saling berdampingan satu sama lain tanpa kesatuan politik yang konkret. Furnivall juga menekankan bahwa pembagian kerja didasarkan pada golongan etnisitas dan interaksi di antara mereka hanya terjadi di pasar dalam mekanisme transaksional.

(3)

Analisa politik dalam trajektori pasca kolonialisme (1966-1998)

Dalam fase yang berlangsung selama periode kekuasaan Orde Baru ini, analisis politik difokuskan pada kajian tentang karakter negara Orde Baru dan relasinya dengan masyarakat dan kapitalis. Para Indonesianis yang mengkaji politik Indonesia pada trajektori tersebut memberikan labelisasi terhadap negara Orde Baru dengan poin kunci pada negara Orde Baru dengan derajat otonomi tertentu. Fokus utama kajian pada trajektori studi politik ini menitikberatkan pada sifat negara Orde Baru dan relasinya dengan masyarakat. Bagian ini ini akan menjelaskan bagaimana para Indonesianis menjelaskan negara Orde Baru dan labelisasi atas karakter yang melekat pada rezim otoritarianisme ini. Trajektori pada masa ini juga ditandai dengan terjadinya pergeseran dari fokus kajian yang menitikberatkan pada konstruksi nation-building dan identitas primordial (etnisitas dan agama) menuju fokus kajian yang melihat negara sebagai entitas yang hegemonik dan monolitik (Nordholt & Klinken 2007, hh. 4-5).

(4)

dari dominasi birokrasi baik sipil maupun militer, kebijakan floating mass, dan pendekatan teknokratis dalam proses pembangunan.

Kajian tentang politik Orde baru juga diperkaya dengan analisa tentang derajat otonomi relatif negara Orde Baru. Dalam fokus kajian ini, muncul analisa Dwight King (1982) yang melihat politik Orde Baru sebagai tatanan ‘bureaucratic authoritarianism’. Konsep ini sebenarnya pertama kali diintrodusir oleh Guillermo O’Donnell untuk menjelaskan konteks yang hampir serupa di Amerika Latin. Karakteristik dasar otoritarianisme birokratis menurut King terletak pada hadirnya dominasi militer yang oligarkis sebagai sebuah institusi yang berkolaborasi dengan teknokrat sipil dalam pembuatan kebijakan. Menurut King, Orde Baru merupakan rezim politik yang dikuasai oleh kolaborasi antara elit birokrasi sipil dan militer yang menggunakan pendekatan teknokratis dalam pembuatan kebijakan dan penggunaan mekanisme demobilisasi massa demi memastikan ketertiban dan keselarasan.

Selain Dwight Y King, Olle Törnquist (1990) menjelaskan Orde Baru sebagai fenomena ‘rent capitalist state’ dimana negara dengan kapasitas sumberdayanya mampu menjadi subjek dengan otonomi relatif. Kekuatan otonom negara didapat dari praktek memungut rente atas produksi dan eksploitasi sumberdaya minyak bumi. Mengingat lemahnya borjuasi domestik, kelompok pemburu rente lahir dan berasal dari birokrasi negara yang kuat. Negara menjalankan relasi timbal balik dimana negara bertindak sebagai patron dan kapitalis domestik berperan sebagai klien yang membutuhkan proteksi ekonomi.

(5)

kebijakan public di dalam negara. Bentuk ideal dari korporatisme ini sendiri berupa pengakuan, perizinan dan keangotaan wajib dari kategori yang telah didesain oleh negara.

Jika analisa Anderson, McVey, Dwight King, dan Porter senantiasa menitikberatkan analisanya pada variabel negara yang berdiri kuat dan mengkooptasi masyarakatnya, maka analisa politik yang akan dijelaskan ini cenderung memandang pada pentingnya peran kapital dan arus-arus modal internasional dalam menjelaskan fenomena negara Orde Baru (Nordholt & van Klinken 2007, h. 6). Pendekatan ekonomi politis dan perspektif strukturalis menawarkan alternatif pendekatan untuk membaca politik Indonesia saat itu dengan menempatkan relasi negara dan bisnis sebagai variabel kunci. Salah satu Indonesianis, studi Andrew McIntyre (1990) dalam sektor tekstil dan farmasi menjelaskan bahwa perubahan fundamental secara masif telah terjadi dalam perekonomian Indonesia dimana kelompok pengusaha telah terbentuk dan beroperasi di kancah internasional (Nordholt & van Klinken 2007, hh. 6-7). Sejak tahun 1980-an, representasi bisnis semakin menguat dan menjadi salah satu kekuatan politik yang perlu diperhitungkan terutama pasca oil-boomketika Orde Baru merasa perlu melakukan perubahan basis ekonomi dan politiknya ke arah

yang lebih plural. Poin penting dalam studi tersebut adalah kontinuitas relasi patron-klien yang terjadi antara negara dan bisnis di era tersebut.

Trajektori studi transisi politik (1990-an)

(6)

batas-batas teritori nasional dan pengaruh gerakan demokratisasi yang terjadi di Filipina dan Eropa Timur. Pluralitas ideologi yang berkembang pada dekade 1990-an mesti dipahami bukan saja dalam konteks domestik melainkan dalam konteks yang lebih global.

Kajian yang hampir serupa juga nampak dari tulisan Edward Aspinall (2005) yang lebih menekankan pada dimensi aktor oposisi yang berkembang sepanjang periode akhir kekuasaan Soeharto. Menurut Aspinall, munculnya kekuatan oposisi terhadap rezim Soeharto dipelopori oleh kelas menengah yang semakin berkembang sebagai dampak perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat. Kelas menengah (terutama yang berasal dari kalangan akademisi, LSM, mahasiswa, dan pengusaha) dimungkinkan menjadi aktor oposisi yang kuat karena basis sumberdaya yang dimiliki.

Analisa politik dalam trajektori pasca transisi (1998-sekarang)

Pasca keruntuhan rezim Orde Baru pada 1998, kajian politik Indonesia mengalami pergeseran fokus dan lokus kajian dalam cara ilmuwan menganalisa politik Indonesia. Seiring dengan kejatuhan rezim otoritarianisme Orde Baru, sentralitas negara sebagai aktor yang omnipoten mengalami degradasi dan pada akhirnya terdispersi baik dari segi fokus maupun lokus. Di level fokus kajian, analisa politik yang diberkembang pada periode pasca transisi tidak hanya menitikberatkan pada aktor negara namun juga melibatkan aktor lain di luar negara (civil society dan economic society). Pada periode ini, negara tidak lagi menjadi aktor dominan dalam politik Indonesia. Di level lokus kajian, penjelasan studi politik pada era reformasi ditandai dengan pergeseran lokus kajian dari level nasional ke level lokal. Memahami politik Indonesia yang berfokus pada negara tidak lagi mampu menjelaskan dinamika politik Indonesia secara komprehensif.

(7)

Filipina, Thailand, dan Indonesia. Fenomena local bossism dipahami sebagai munculnya local strongmen yang mengisi ruang ketidakhadiran negara dalam konteks lemahnya kapasitas fungsi negara. Namun, praktek local bossism tidak boleh semata-mata dipahami dalam konotasinya yang negatif dan destruktif karena dalam realitasnya, kehadiran local bossism justru berhasil menarik modal dan investasi yang implikasinya pada pertumbuhan ekonomi.

Selain John T. Sidel yang menganalisa praktek local bossism dalam politik di level lokal, kajian Syarif Hidayat (2007) juga menjelaskan fenomena yang hampir serupa dalam konteks politik lokal di propinsi Banten. Hidayat menjelaskan aktivitas negara bayangan (shadow state) yang dimainkan oleh pebisnis penting di daerah tersebut yang menguasai kontrak-kontrak penting dari pemerintah dan terus menerus berupaya mengontrol DPRD sebagai lembaga legislatif sekaligus otoritas yang mengangkat pejabat eksekutif (Hidayat 2007).

Analisa tentang informal politics di ranah politik lokal juga mendapat kajian mendalam dari van Klinken dan Aspinall (2011) yang menjelaskan kompetisi, korupsi, dan jalinan relasi yang melibatkan kelompok pengusaha bisnis konstruksi dengan elit lokal dan birokrasi. Klinken & Aspinall menjelaskan bagaimana pebisnis konstruksi yang sebagian besar berasal dari mantan pejuang GAM menguasai bisnis konstruksi dan proses tender dengan melakukan illegality dan pada tahap tertentu dibarengi dengan mekanisme kekerasan. Berbeda Klinken dan Aspinall, Marcuse Mietzner (2011) melihat aspek illegality dalam proses pendanaan pemilihan langsung kepala daerah dimana para pengusaha mendanai proses pencalonan kepala daerah dengan jaminan proteksi monopoli sumberdaya.

(8)

Indonesia. Politik Indonesia adalah hasil dari konstruksi para Indonesianis yang dianggap sebagai realitas.

Lebih jauh Heryanto menjelaskan bahwa apa yang dibayangkan orang dalam menganalisa politik Indonesia perlu dipahami bukan sebagai fenomena yang muncul by nature dalam nuansa yang bersifat a-historis dan a-politis dengan implikasi pada kekaburan pemahaman atas konteks dan lingkungan sosial-politik. Pergeseran tersebut setidaknya dapat dimengerti secara lebih komprehensif dengan mengkaitkannya dengan konteks sosial-politik yang melingkupinya. Dominasi pendekatan tertentu dalam memahami politik Indonesia juga merefleksikan pergulatan mainstream perspektif tertentu yang secara diskursif dipengaruhi oleh ideologi dan konteks politik tertentu.

Pola keajegan dalam membaca politik Indonesia

Penjelasan singkat atas berbagai analisa para Indonesianis di atas setidaknya dapat memberikan ilustrasi tentang variasi corak pendekatan yang melahirkan kekhasan ilmuwan dalam membaca politik Indonesia. Analisa terhadap struktur sosial masyarakat kolonial, labelisasi terhadap rezim Orde Baru, serta kajian politik pasca transisi merupakan highlights analisa politik yang dimunculkan sepanjang rentang trajektori kolonial hingga periode transisi pasca Soeharto. Namun demikian, dari sekian banyak analisa para Indonesianis tersebut akan ditemukan pola-pola keajegan yang hampir selalu dimunculkan dalam menjelaskan seberapa plural politik Indonesia. Keseluruhan analisa yang ada hampir selalu menunjukkan kontinuitas pola-pola patrimonial baik selama periode pasca kolonial hingga era pasca Soeharto.

(9)

yang ditandai oleh fenomena ‘informal poltics’ dalam proses pengambilan kebijakan.

Pola rezim ‘neo-patrimonialisme’ David Brown (1994) menjelaskan fenomena negara Orde Baru dengan melihat sisi personal Soeharto sebagai patron yang dikelilingi oleh klien-klien yang saling berkompetisi satu sama lain untuk mendapat akses yang lebih besar dalam monopoli sumberdaya. Pola relasi klientelistik juga diketengahkan oleh analisa Törnquist (1990) yang menjelaskan bahwa praktik mengumpulkan rente merupakan basis material dari hubungan patron-klien dalam politik Indonesia. Lebih jauh, di era pasca Soeharto, Nordholt (2005) juga kembali menekankan bahwa di samping menumbuhkan demokrasi di tingkat lokal, kebijakan desentralisasi juga membuka peluang bagi aktor informal untuk masuk ke ranah politik lokal dalam relasi patron-klien. Pola yang sama juga menjadi analisa John T Sidel (2005) ketika menjelaskan fenomena local bossism di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Demikian juga dengan analisa Syarif Hidayat (2007) yang menganalisa praktek patronase yang melibatkan Jawara sebagai fenomena ‘shadow state’ dan di saat yang hampir bersamaan, van Klinken dan Aspinall (2011) juga menganalisa relasi patron-klien dalam sektor bisnis konstruksi.

(10)

Pergeseran fokus dan lokus

Jika pola patrimonialisme dianggap sebagai pattern sekaligus karakter yang senantiasa dilekatkan dalam setiap analisa politik Indonesia, maka harus diakui bahwa pergeseran fokus dan lokus kajian juga terjadi secara signifikan. Demokratisasi pasca Soeharto dan desentralisasi kekuasaan yang sedemikian besar membawa konsekuensi logis bagi pergeseran fokus dan lokus tersebut. Keruntuhan hegemoni negara pasca transisi demokrasi menandai kebangkitan aktor non-negara yang berupaya menggantikan dominasi kekuatan negara terutama di level lokal. Analisa politik Indonesia pasca Soeharto secara jelas menunjukkan pergeseran semacam ini.

Pergeseran fokus kajian dalam analisa politik Indonesia mesti dipahami dalam konteks melemahnya dominasi kekuatan negara dengan kekuasaan yang terdispersi sedemikian masif terutama pasca penerapan desentralisasi (Nordholt 2005). Negara yang otonom dan kuat tidak lagi dihadirkan sebagai aktor dominan dalam analisa ilmuwan yang mengkaji politik Indonesia di era pasca Soeharto. Dalam trajektori politik di era ini, para Indonesianis mulai menggeser fokus kajian dari monosentrisme negara-nasional ke polisentrisme di level lokal. Kekuasaan tidak lagi dapat

dipahami secara lebih komprehensif hanya dengan melihat dinamika politik nasional di Jakarta, melainkan mesti pula diperluas ke level dinamika politik lokal.

(11)

Perspektif dominan dalam analisa politik Indonesia

Selain dimensi keajegan dan pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam membaca politik Indonesia, kecenderungan munculnya perspektif dominan juga dapat dikaji lebih jauh. Sejauh yang dapat dipahami, perspektif dominan dalam cara ilmuwan membaca politik Indonesia adalah perspektif pluralis elit yang nampak dalam karya-karya mereka. Perspektif pluralis elit mengasumsikan bahwa dalam struktur sosial masyarakat selalu terdapat individu-individu dan kelompok-kelompok yang saling berkompetisi satu sama lain dalam mendapatkan sumberdaya dan kekuasaan (Mas’oed 1989, h. xv). Menurut perspektif ini, negara dengan derajat otonomi tertentu merupakan entitas yang dikuasai segelintir elit penguasa dengan akses istimewa atas sumberdaya dan kekuasaan. Relasi negara dengan kelompok bisnis menjadi kajian utama perspektif ini. Dalam kubu besar perspektif pluralis, muncul analisa-analisa yang mengkaji negara Orde Baru dengan labelisasi state quo state, bureaucratic authoritarianism, neo-patrimonialism, dan bureaucratic polity.

Perspektif non-m ai nst r eam dalam membaca politik Indonesia

Bagian ini akan menjelaskan perspektif non-mainstream yang digunakan ilmuwan dalam mengkaji politik Indonesia. Setidaknya ada dua pendekatan yang dianggap cukup jarang digunakan ilmuwan ketika menjelaskan dinamika politik Indonesia; pertama, analisa kelas Max Lane (2008) dan kedua, paradigma interpretif dalam karya Geertz (1981) serta Klinken dan Aspinall (2011). Meskipun analisa Lane tidak dijelaskan dalam uraian di atas, namun secara eksplisit penulis menempatkan kajiannya ke dalam rentang trajektori pasca kolonial (1966-1998). Dalam menjelaskan politik Indonesia, Lane menggunakan analisa kelas dengan mengkaji bagaimana kedudukan dan relasi antar kelas yang ada di Indonesia. Lane mengkategorisasikan periode sejarah Indonesia berdasarkan basis pertarungan antar berbagai kekuatan politik dominan.

(12)

ekonomi yang digariskan selama Orde Baru. Kebijakan pembangunan rezim developmentalistik Orde Baru telah menghasilkan lapisan struktur sosial yang didasarkan pada kelas dan bukan lagi stratifikasi kasta yang diwariskan oleh Hinduisme. Namun demikian, dengan tidak adanya industrialisasi sebagaimana yang terjadi di Eropa Barat, proses pembilahan sosial tidak menghasilkan sebuah polarisasi antara kelas kapitalis dengan kelas buruh. Hal ini berimplikasi pada skema hubungan industrial di Indonesia yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan paternalistik dan bukannya hubungan diametral kelas pemodal dan buruh.

Proses pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan apa yang Lane labelkan sebagai kelas patron yang memiliki kontrol yang besar dalam akses sumberdaya. Munculnya kelas patron disebabkan karena meskipun terjadi transformasi dari kasta ke kelas, warisan kasta masih menyisakan budaya patron-client dalam kehidupan sosial masyarakat. Menurut Lane, kelas patron kapitalis ini lah yang mendominasi aspek penting dalam politik dan ekonomi selama Orde baru dan bahkan pasca reformasi (Lane 2008).Terpinggirkannya analisa kelas dalam studi politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari marginalisasi kelompok Kiri pasca berkuasanya Orde Baru. Wacana pemikiran kiri tidak mendapat tempat dalam kajian politik Indonesia seperti halnya analisa struktural lainnya, seperti Arief Budiman dan Richard Robison. Selain itu, dominasi perspektif pluralis yang menitikberatkan pada relasi patron-klien juga membantu mengaburkan dan mengingkari masalah-masalah kelas. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, Indonesia Orde Baru juga berkontribusi dalam memproduksi ketimpangan kelas yang cukup tajam (Nordholt & van Klinken 2007, h. 11).

(13)

priyayi merupakan realitas sosial terlepas dari persoalan kategorisasinya yang problematis. Selain itu, kajian Klinken & Aspinall (2011) mengenai relasi informal politics dalam bisnis konstruksi juga dijelaskan dengan metode etnografis dalam paradigma interpretif. Kedua ilmuwan ini berusaha keluar dari mainstream pendekatan normatif dan institusionalis yang mendominasi penjelasan mengenai permasalahan di sektor konstruksi di Indonesia. keduanya menawarkan alternatif pendekatan lain yang tidak sekadar mendasarkan analisanya pada asumsi normatif semata namun berusaha memahami realitas yang ada dari pemaknaan dan interpretasi masyarakat.

Kesimpulan

Analisa terhadap struktur sosial masyarakat kolonial, labelisasi terhadap rezim Orde Baru, serta kajian politik pasca transisi merupakan snapshot analisa politik yang dimunculkan sepanjang rentang trajektori kolonial hingga periode transisi pasca Soeharto. Namun demikian, dari sekian banyak analisa para Indonesianis tersebut akan ditemukan pola-pola keajegan yang hampir selalu dimunculkan di samping juga pergeseran-pergeseran dalam menjelaskan seberapa plural politik Indonesia.

(14)

Daftar Referensi:

Anderson, BRO’G 1983, ‘Old state new society: Indonesia’s New Order in

comparative historical perspectives’, Journal of Asian Studies, Vol. XLIII, no. 3,

hh. 477-496.

Aspinall, E 2005, Opposing Soeharto: compromise, resistance, and regime change in

Indonesia, Stanford University Press, California.

Benda, HJ 1966, ‘The pattern of administrative reforms in the closing years of Dutch rule in

Indonesia’, Journal of Asian Studies, no. 25, hh. 589-605.

Brown, D 1994, ‘Neo-patrimonialism and national integration in Indonesia’ dalam D

Brown, The state and ethnic politics in Southeast Asia, Routledge, NY.

Furnivall, JS 1939, Netherlands Indie, a study of plural economy.

Geertz, C 1981, Abangan, Santri dan Priyayi, Pustaka Jaya, Jakarta.

Hadiz, V R 2003, ‘Desentralization and democracy in Indonesia: a critique of

neo-institutionalist perspectives’, working paper series 53, City University of Hong

Kong, Hong Kong.

Heryanto, A 2005, ‘Ideological baggage and orientations of the social sciences in Indonesia’

dalam VR Hadiz & D Dhakidae (eds.), Social science and power in Indonesia,

Equinox Publishing Asia Pte Ltd, Jakarta & Singapore.

Hidayat, S 2007, ‘Shadow state..? Bisnis dan politik di Provinsi Banten’ dalam HS

Nordholt & G van Klinken (eds.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta.

King, D 1982, ‘Indonesia’s New Order as a bureaucratic polity, a neo patrimonial regime or

bureaucratic authoritarian regime: What difference does it make?’ dalam BRO’G

Anderson & A Kahin (eds.), Interpreting Indonesian politics; Thirteen

contributions to the debate, Cornell University Press, Ithaca.

Klinken, G van & Aspinall, E 2011, ‘Building relations: Corruption, competition, and

cooperation in the construction industry’ dalam E Aspinall & G van Klinken (eds.),

The state and illegality in Indonesia, KITLV Press, Leiden.

Lane, M 2008, Unfinished nation: Indonesia before and after Suharto, Verso, London.

(15)

McVey, R 1982, ‘The beambtenstaat in Indonesia’ dalam BRO’G Anderson & A Kahin,

Interpreting Indonesian politics: thirteen contribution to the debate, Cornell

University Press, Ithaca NY.

Mas’oed, M 1989, Ekonomi dan struktur politik Orde Baru 1966-1971, LP3ES, Jakarta.

Mietzner, M 2011, ‘Funding pilkada: Illegal campaign financing in Indonesia’s local

elections’ dalam E Aspinall & G van Klinken (eds.), The state and illegality in

Indonesia, KITLV Press, Leiden.

Nordholt, H & van Klinken, G (eds.) 2007, Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor

Indonesia.

Nordholt, HS 2005, ‘Decentralisation in Indonesia: Less State, More Democracy’ dalam

Törnquist, Politicising democracy, the new local politics of democratisation

International Palgrave, New York.

Philpott, S 2000, Meruntuhkan Indonesia: Postkolonial dan Otoritarianisme, LKiS,

Jakarta.

Porter, D 2005. Managing Politics and Islam in Indonesia. London : Taylor and Francis.

Sidel, JT 2005, ‘Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand, and Indonesia:

Towards an Alternative Framework for the Study of ‘Local Strongmen’ dalam O

Tornquist, Politicising democracy, the new local politics of democratisation,

International Palgrave, New York.

Törnquist, O 1990, ‘Rent capitalism, state, and democracy’ dalam A Budiman (ed.), State

and civil society in Indonesia, Monash Asia Institute, Clayton.

Uhlin, A 1997, ‘The Indonesian pro-democracy movement and transnational diffusion of

democratic ideas’ dalam A. Uhlin, Indonesia and the third wave of democratization,

Referensi

Dokumen terkait

Klaster 2 hanya Desa Wisata Blue Lagoon yang memiliki potensi pada komponen obyek daya tarik wisata, kelembagaan, dan fasilitas pendukung.. Kelemahan klaster 2

Dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, yaitu suatu pendekatan untuk melihat objek penelitian sebagai suatu kesatuan yang terpadu

Permasalahan yang dihadapi Kelompok pencari belut Karangbesuki dan Bakalankrajan antara lain: Semakin sempitnya lahan persawahan tempat mencari belut, resiko kesehatan (rentan

Untuk bahan baku jenis polietilena masa jenis tinggi, senar mentah dapat mengalami perpanjangan antara 10 sampai dengan 1200 persen (Tabel 1), oleh karena itu

Berdasarkan sifat-sifat fenotif yang diamati secara kualitatif dan kuantitatif pada tanaman Jeruk Besar (Citrus maxima Merr.) faktor lingkungan dan pemeliharaan tanaman

Chapter II Literature Review, including description of basic theory of the research which are about science virtual test, paper-based test, students critical

Taekwondo Putra Fly (>54-58 kg) Pada Lomba Pekan Olah Raga dan Seni (PORSENI) X Politeknik Se-Indonesia.

PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL NEGARA REPUBLIK INDONESIA KE DALAM MODAL SAHAM PERUSAHAAN PERSEROAN