• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA KEHIDUPAN DI TANAH BANJAR PADA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DINAMIKA KEHIDUPAN DI TANAH BANJAR PADA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA KEHIDUPAN DI TANAH BANJAR PADA PAROH KEDUA ABAD XIX

Bambang Subiyakto

Pengantar

Orang Banjar sering terutama dipandang sebagai pedagang1 untuk beberapa hal kedudukan itu penting. Akan tetapi, banyak gerak mereka, bersama Orang Dayak, ditentukan pula oleh situasi geografis dan kontak dengan pihak luar. Oleh karena itu, dalam masalah memahami motivasi dan dinamika kehidupan penduduk Kalimantan Selatan, adalah penting mempelajari aktivitas ekonomi dan situasi geografis setempat, di samping karena faktor lain seperti politik dan epidemic misalnya.

Tulisan berikut merupakan upaya memberikan gambaran umum mengenai apa yang berlangsung di kalangan penduduk di Tanah Banjar pada sekitar Abad ke-19. Atau, merupakan bahasan secara sejarah terhadap pertanyaan bagaimana dan mengapa pergerakan penduduk, yang atas dasar konteks waktunya, berlangsung di wilayah apa yang disebut dengan Borneo Tenggara.

Mencari Jalan Ke Luar

Lesley Potter memilah-milah Urang Banjar atas dasar penguasaan pekerjaan-pekerjaan spesifik oleh daerah-daerah tertentu di Kalimantan Selatan. Pekerjaan di bidang pertanian misalnya oleh Urang Banjar dari daerah Barabai, sedangkan industri, kerajinan tangan dan nelayan dari daerah Negara. Adapun bidang perdagangan oleh Urang Banjar dari daerah Amuntai dan Alabio, serta pekerjaan mendulang intan dan pengajaran Agama Islam dari daerah Martapura2.

1Lesley Potter. “Banjarese in and Beyond Hulu Sungai, South Kalimantan: A Study of Cultural Independence, Economic Opportunity an Mobility” dalam J. Thomas Lindblad (ed.), New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia, (Leiden: Programme of Indonesia Studies, 1993), hal. 264.

(2)

Meskipun demikian, identitas sebagai pedaganglah yang menjadi pandangan umum banyak penulis dan peneliti mengenai Urang Banjar sampai pada Abad Ke-19. Masyarakat yang oleh Lesley Potter kemudian juga dinilai memiliki mobilitas sosial tinggi. Oleh karenanya, menurut Lesley Potter lagi, bahwa pada suatu ketika Urang Banjar pernah “eksodus” ke tempat-tempat yang jauh dari tempat asal mereka lalu menetap seperti di daerah Riau dan Jambi di Sumatera, di Malaysia, di Pantai Utara Jawa Bagian Timur, dan sebagian lagi di Tanah Arab terutama di Makkah. Di sisi lain, pada masa dahulu dinamika kehidupan di wilayah Kalimantan Selatan (baca: Borneo Tenggara) lebih dikuasai oleh kegiatan Orang Banjar, karenanya seringkali pula mereka dipandang sebagai penduduk asli pemegang supremasi di wilayah itu, di Tanah Banjar.

Motovasi-motivasi yang mengawali perpindahan terutama terkait dengan menghindari kekuasaan langsung Belanda, khususnya terjadi pada saat dan seusai Perang Banjar. Kondisi politik itu yang mendorong pada awalnya Urang Banjar berpindah ke kasultanan-kasultanan lain di Kalimantan yang dianggap belum atau kurang menerima pengaruh (intervensi) langsung kekuasaan Belanda. Selanjutnya menyusul berpindah ke tempat-tempat lebih jauh, seperti ke daerah-daerah di Sumatera dan Semenanjung Melayu. Meskipun secara garis besar perpindahan berkelompok-kelompok, dan tidak saling sendiri-sendiri, mereka bersama membentuk satu kesatuan Masyarakat Banjar, dan itu suatu pembauran kembali masyarakat secara utuh yang tengah berdaya upaya di daerah-daerah baru seperti di Krian, Riau dan Batu Pahat.3

Pertengahan tahun 1870, mulailah berdatangan Urang Banjar asal Amuntai ke daerah Kasulatanan Kutai. Perpindahan tertuju ke sana karena sebelumnya Sultan Kutai pernah menjanjikan kepada penduduk Amuntai untuk tinggal di daerahnya dan mereka ini akan dibebaskan atas pungutan biaya atau pajak dalam berusaha menggali hasil hutan. Pada saat kekuasaan Belanda semakin intensif masuk ke daerah mereka di Hulu Sungai pasca Perang Banjar, kehidupan dirasakan semakin tidak nyaman menyebabkan mereka mengambil keputusan bermigrasi ke daerah Kutai. Migrasi mereka lakukan secara

(3)

berangsur-angsur. Kelompok-kelompok Urang Banjar dari Amuntai ini berdatangan ke daerah Kutai dan setahap demi setahap menempati daerah di sepanjang sungai Mahakam, antara Muara Muntai dan Kota Bangun, suatu daerah yang kondisinya mirip dengan tempat asal mereka4.

Antara tahun 1885 dan 1888 serangkaian musim kering yang dahsyat dan banjir besar menghancurkan lahan rawa tanaman ekspor di daerah Hulu Sungai. Peristiwa masa itu merupakan tekanan berat bagi sektor pertanian (cultivation). Akibatnya, Urang Banjar dari daerah Hulu Sungai ini melakukan perpindahan dengan di mulai ke Semenanjung Melayu. Perpindahan populasi Urang Banjar terbanyak ketika itu ke distrik Pantai Perak, Pulau Pinang, dan di bagian Utara Selangor. Di lain pihak, seperti ditulis oleh Masthof, bahwa irigasi yang kurang memadai dan kemungkinan menanam padi tahap kedua yang pupus di distrik Kelua (Amuntai Utara) pada tahun 1888, menyebabkan pula Urang Banjar dari daerah ini berimigrasi ke lain-lain daerah agar dapat mengusahakan produksi padi5.

Pada mulanya secara sendiri-sendiri Urang Banjar asal Hulu Sungai berpindah sebagai “buruh kuli”, suatu bidang kerja yang sebenarnya kurang mereka sukai, seperti ke Sumatera Timur dalam tahun 1880-an. Perpindahan berikutnya terjadi tidak lagi individual melainkan secara komunal, berdasar kepada kelompok sanak famili, atau bubuhan6. Mereka melakukan perpindahan

ke tampat yang jauh dari tempat asal mereka. Pengalaman Urang Banjar yang terbiasa melayari sungai dan perairan daratan pada umumnya, barangkali menjadi salah satu pendorong untuk tanpa rasa khawatir melayari laut menuju tempat-tempat yang baru ke luar Kalimantan.

Kelompok lain yang juga melakukan perpindahan ke daerah Kutai adalah kelompok Orang Bakumpai, yaitu kelompok Orang Dayak yang umumnya telah Muslim tetapi tidak menyebut diri Urang Banjar, meskipun seringkali oleh pihak lain dikatagorikan dan disebut Urang Banjar juga. Di bawah pimpinan Bang Juk,

4Ibid., hal. 270. Periksa pula A.W. Nieuwenhuis, Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari

Pontianak ke Samarinda, (Jakarta: Gramedia, 1994), hal. 252-254. 5Lesley Potter, loc cit.

(4)

Orang Bakumpai itu berlayar ke wilayah Mahakam, di muara Sungai Rata. Di sini kemudian mereka membangun permukiman dan melakukan perdagangan dengan orang-orang Bahau, serta mengeksploitasi hutan milik kepala-kepala suku setempat. Dalam hal itu, mereka juga bersaing dengan pedagang-pedagang Bugis dan sejak itu menjadi pesaing utama mereka. Dalam perekembangannya Orang Bakumpai ternyata berhasil lebih berpengaruh dan tersebar di situ dalam jumlah yang semakin besar7.

Di daerah yang disebut Uju Tepu di Sungai Mahakam terdapat dua kelompok permukiman. Di bagian daerah tepi kanan merupakan permukiman Orang Bugis, sedangkan di tepi kiri merupakan permukiman Orang Bahau di samping terdapat kelompok rumah terapung (lanting) Orang Bakumpai. Selebihnya, bermukim pula bersama orang Bahau dan Bakumpai itu pedagang-pedagang Banjar8.

Klaim bahwa Belanda telah berkuasa sepenuhnya atas seluruh wilayah Kalimantan Selatan pada masanya seringkali dikritik beberapa sejarawan seperti Graham Irwin, Anthony Reid dan J.T. Lindblad. Klaim itu menurut mereka tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sampai Abad Ke-19 berakhir, kekuasaan yang dimaksud kenyataannya belum sepenuhnya menjangkau daerah-daerah perdalaman. Pengalaman Nieuwenhuis dalam melakukan ekspedisi spektakulernya di penghujung Abad Ke-19 membuktikan kenyataan itu.

Akan tetapi, para sejarawan asing itu melanjutkan asumsinya dengan pernyataan yang justeru menampakan pandangan “Eropa Sentris”. Mereka ini berpendapat bahwa kehidupan penduduk di daerah perdalaman mendapat tekanan dari para penguasa pribumi dan sering terjadi kekacauan justeru karena kekuasaan pemerintahan Belanda belum menyentuh daerah-daerah itu. Di sini mereka ingin menggambarkan bahwa kalau saja kekuasaan Belanda secara penuh dapat dilaksanakan sampai di daerah-daerah perdalaman tentu keadaan penduduknya akan lebih nyaman dan aman. Adapun yang dimaksud dengan

(5)

penguasa pribumi tentulah terutama adalah Kesultanan Banjar dan kepala-kepala setempat yang berada di bawah pengaruh atau kendalinya.

Suasana Chaos di Perdalaman

Pendapat para hali itu muncul atas dasar pengetahuan tentang keadaan di perdalaman Kalimantan pada Abad Ke-19, seperti digambarkan oleh Nieuwenhuis. Ketika itu, sebagaimana dikutip Nieuwenhuis dari Sellato, mengemukakan bahwa kehidupan suku-suku Dayak di daerah Mahakam Hulu terjepit di antara kekuasaan Kesultanan Kutai dan Suku Iban di Sarawak. Sultan Kutai ketika itu tengah berupaya agar suku-suku itu mengakui kekuasaannya dan memaksa mereka berdagang dengan pihaknya. Sementara itu, Kwing Irang kepala suku paling berpengaruh di daerah Mahakam Hulu, berjuang keras agar wilayahnya tetap bebas dari Kutai, kesultanan yang dianggap telah menyebabkan suku-suku di wilayah Mahakam Hilir banyak menderita. Di Pihak lain, Belare kepala suku berpengaruh saingannya telah berpihak kepada Sultan Kutai, sedangkan Paron kepala suku lainnya lagi (dari daerah Mahakam sebelah Barat) telah bersumpah setia kepada Sultan Banjarmasin.

Suku Iban (dari Batang Lupar, Sarawak) merupakan cabang Suku Dayak yang pada tahun 1885 bergerak ke selatan melakukan menyerbuan besar-besaran terhadap Suku-suku Dayak pimpinan Kwing Irang, Belare, Paron dan Tingang Kohi di Kalimantan Tenggara. Mereka membakar desa-desa Suku Dayak di sana, membunuh sebagian penghuninya dan sebagian lagi menjadi tawanan, serta menjarah harta benda. Sarawak berada di wilayah Borneo bagian utaramerupakan wilayah di bawah kekuasaan Inggris. Sedangkan wilayah Borneo bagian selatan merupakan wilayah di bawah kekuasan Belanda terbagi atas dua bagian, yaitu barat dan tenggara. Wilayah Borneo Tenggara ini pada masanya dianggap sebagai wilayah di bawah pengaruh kekuasaan Kasultanan Banjar.

(6)

Belare dan pengikutnya menerima imbas dari peristiwa penyerangan Suku Iban itu dan menjadi pihak dengan korban terbesar. Di samping tempat tinggalnya dibakar dan harta bendanya dirampas, 234 orang warga sukunya tewas, dan Belare sendiri menderita luka akibat tertombak. Imbas penyerbuan itu juga dialami pihak Kwing Irang. Meski hanya kehilangan tempat tinggal dan harta benda saja, namun hal ini menyebabkan terjadinya permusuhan antara dirinya dengan pihak Belare.

Peristiwa penyerbuan Suku Iban itu merupakan ancaman yang selalu membayang dan tidak jarang menciptakan perselisihan antar kelompok Orang Dayak di daerah selatan. Dalam kelompoknya masing-masing sejak tahun 1885 itu seringkali terjadi perpindahan tempat tinggal guna menghindari keadaan yang kurang menguntungkan. Dalam kaitan itu mereka juga berupaya mengikatkan diri dengan kekuatan-kekuatan di luar mereka seperti kepada kekuasaan Gusti Mat Seman (putera Pangeran Antasari dari Kesultanan Banjar) dan Kesultanan Kutai9.

A.W. Nieuwenhuis, E.B. Kielstra, dan H.T. Colenbrander misalnya mengemukakan, bahwa pasca Perang Banjar sikap bermusuhan dan perlawanan terhadap Belanda masih terus dilakukan oleh tunas turunan raja-raja Banjar yang menyingkir dan menguasai daerah-daerah perdalaman. Mereka membentuk pemerintahan sendiri sebagai kelanjutan dari Kasultanan Banjar dan mendaulat Gusti Mat Seman sebagai sultan. Kekuasaan ini mendapat dukungan luas dari kelompok-kelompok Orang Dayak di perdalaman10. Di samping dari Urang Banjar pengikut Gusti Mat Seman, dari kelompok-kelompok Orang Dayak itulah kekuasaan Gusti Mat Seman ditegakan.

Belare merupakan kepala suku utama Orang Bahau, tinggal di daerah Muara Sungai Kaso di Mahakam, bersama pengikutnya dikenal karena kekerasannya. Penampilannya mencerminkan keberanian, ketekadan dan kejantanan dengan bentuk tubuh yang kekar. Ia suka melakukan perjalanan-perjalanan jauh dan berburu, sehingga Belare amat terkenal di seluruh wilayah

9Ibid., hal. xvii dan 154.

(7)

Kapuas, Mahakam, bahkan hingga Rejang daerah utama Suku Iban di Sarawak. Bersama sisa pengikutnya, akibat penyerbuan Suku Iban, Belare mengungsi ke arah timur di Sungai Danum Pare, dan baru kira-kira tahun 1892 ia kembali membangun tempat tinggalnya di Muara Sungai Kaso, Mahakam Hulu. Belare bersama pengikutnya mendiami rumah yang sangat besar dan kokoh. Rumahnya menampung sekitar 400 orang. Ini sebanding dengan rumah kepala suku lainnya, yaitu Akam Igau di Mendalam. Belare maupun Akam Igau merupakan kepala Suku Dayak yang berpihak dan setia kepada Kesultanan Kutai11.

Di daerah perdalaman lainnya, kepala Suku Dayak Siang Murung mempunyai kebiasaan berpakaian yang berbeda dari kepala-kepala Suku Dayak umumnya, yaitu berpakaian Melayu. Nama Suku Siang itu merupakan nama untuk semua suku yang mendiami daerah sepanjang Sungai Murung (anak Sungai Barito) serta anak sungai lainnya. Daerahnya dikuasai keturunan terakhir dinasti Kesultanan Banjar, Gusti Mat Seman. Putera Pangeran Antasari ini masuk ke perdalaman karena terdesak pada saat Perang Banjar. Mereka menguasai daerah Barito dan dengan sikap keras menolak tunduk kepada Belanda. Sikap bermusuhan tunas keturunan raja Banjar itu menyebabkan wilayah itu tertutup bagi orang asing terutama Belanda, apalagi kerena Suku-suku Dayak di situ berpihak dan memberikan dukungan kepadanya12.

Dinamika Yang Terpaksa

Di samping faktor politik dan bencana alam, faktor ekonomi merupakan pula pendorong mobilitas dan berlangsungnya migrasi. Selain sebagaimana secara umum telah disinggung, masyarakat Banjar asal Negara mempunyai jiwa berdagang yang unggul sehihgga tingkat mobilitas mereka berada di atas masyarakat Banjar lainnya maupun Dayak. Dalam kaitan itu, Potter menungkapkan bahwa meskipun mereka menerima hak istimewa dari Sultan Banjar, namun menentang campur tangan terhadap industri manufaktur dan aktivitas perdagangan mereka.

(8)

Negara merupakan daerah asal para pedagang Banjar yang menyebarkan sendiri produknya ke seluruh Nusantara. Mereka membangun kapal-kapal dari kayu ulin dan menggunakannya sebagai pedagang keliling dengan jumlah komoditas yang besar dan menempuh perjalanan-perjalanan yang jauh. Mereka memperdagangkan barang-barang produk mereka sendiri dan hasil alam dengan perahu-perahu mereka sendiri pula menyeberang laut. Dalam hal kepiawaian berdagang, mereka hanya dapat disaingi Urang Banjar asal Alabiu13. Sesungguhnya dari aktivitas ekonomi Urang Banjar asal Negara dan Alabiu itulah banyak pihak (peneliti dan penulis) sampai pada kesimpulan Urang Banjar adalah pedagang. Dari kedua daerah itulah saudagar-saudagar Banjar berasal dan terkemuka pada masa dahulu.

Di daerah pantai, seperti Tanah Laut, penduduknya melakukan hubungan dengan Kota Banjarmasin melalui sungai Batutungku, Tabonio, dan Maluka. Mereka yang berasal dari daerah agak ke dalam menggunakan sungai-sungai itu menuju muara kemudian menyusuri pantai untuk mencapai Banjarmasin. Penduduk dari daerah inipun pada dasarnya memiliki kemampuan berdagang. Posisi daerah Tanah Laut yang strategis dan terbuka memungkinkan mereka berinteraksi dengan berbagai suku dari luar Kalimantan. Wilayahnya memiliki pantai yang panjang dan melalui perairannya mereka berhubungan dengan Banjarmasin pada masa dahulu. Komoditas mereka biasanya rotan dan hasil hutan lainnya serta hasil laut.

Di luar hal itu, J.J. Meijer mengemukakan bahwa pada awal Abad Ke-19 penduduk Tanah Laut yang hanya sedikit jumlahnya terserang epidemi yang disebut masyarakat setempat “penyakit kuning”. Sebagian besar penduduknya tewas dan yang tersisa beberapa waktu kemudian berhubungan dengan penduduk Martapura, disusul kemudian dengan penduduk dari daerah Hulu Sungai. Penduduk Tanah Laut Semakin bertambah dengan makin banyaknya pendatang yang menetap, terutama dari Martapura dan Amuntai (Hulu Sungai). Sekitar tahun 1845, penduduk Tanah Laut diperkirakan Meijer telah mencapai 6.000 jiwa.

(9)

Sebelum etnis lain dan Urang Banjar dari Hulu Sungai berdatangan, telah menetap terlebih dahulu Orang Cina di Kampung Parit, Tanah Laut. Sementara itu menurut Meijer di Maluka dan Tabonio telah terbentuk permukiman Cina yang pertama di daerah Tanah Laut, yaitu mulai terjadi tahun 1790-an. Atas permintaan Sultan Panembahan Batu, orang-orang Cina itu mula-mula didatangkan sebanyak 13 orang, kemudian ditambah lagi dengan 70 orang, langsung dari Negeri Cina. Kemudian, atas bantuan Alexander Hare (kuasa usaha pemerintah Inggris di Banjarnasin) didatangkan lagi sekitar 70 orang ke daerah itu pada dasa warsa kedua Abad Ke-19. Pada saat jumlah mereka mencapai lebih dari 150 orang, diangkatlah seorang kapten Cina di sana berdasarkan keputusan residen yang berkedudukan di Banjarmasin14.

Di samping mendatangkan Orang Cina, didatangkan pula oleh Alexander Hare sekitar 4.000 pekerja dari Jawa. Mereka terutama ditempatkan di Maluka dan Pulausari Tanah Laut untuk mengerjakan usahanya di bidang perkebunan dan yang bersedia bekerja sebagai kuli. Permintaan Alexander Hare kepada Sultan Sulaiman sebelumnya ternyata hanya mampu menyediakan sangat sedikit pekerja Banjar sehingga atas persetujuan Sultan pula dia mendatangkan pekerja asal Jawa itu. Selain sedikitnya jumlah penduduk, pada umumnya Urang Banjar asal Banjarmasin dan Martapura enggan menerima pekerjaan sebagai kuli. Ini karena umumnya Urang Banjar ketika itu telah memiliki perkerjaannya masing-masing15.

Pada tahun 1853 untuk kesekian kalinya sejak tahun 1802, daerah pantai Tanah Laut yaitu Tabonio mendapat serbuan besar-besaran dari kawanan perompak. Berdasarkan alasan bahwa Tabonio tidak aman, pemerintah Belanda memindahkan sebagian besar penduduknya ke Pengaron, Martapura. Meskipun demikian, alasan pemindahan penduduk itu sebenarnya lebih disebabkan semakin meningkatnya suhu politik menjelang Perang Banjar meletus. Sebagian besar penduduk Pengaron dan Martapura ketika itu tidak lagi bersedia menambang batubara untuk kepentingan Belanda. Pertambangan batubara

14J.J. Meijer, op cit. hal. 381-383 dan 388-389.

(10)

Oranje Nassau di Pengaron akibatnya kekurangan pekerja sehingga perlu mendatangkannya dari Tabonio16.

Di luar alasan-alasan yang mendorong pergerakan (mobilitas) dan pembentukan permukiman-permukiman baru di wilayah Borneo Tenggara adalah mudahnya hal itu dilakukan. Kemudahan ini disebabkan tersedianya jalur-jalur air untuk menuju ke tempat-tempat yang diinginkan. Proses perpindahan bisa terjadi tidak secara serempak, melainkan berangsur-angsur. Perpindahan dimulai dari satu atau dua keluarga, kemudian disusul oleh keluarga-keluarga lainnya. Perpindahan itupun tidak selalu dalam jarak-jarak yang sangat jauh seperti ke luar Kalimantan atau Indonesia. Perkampungan pantai Kuala Tambangan misalnya, kira-kira antara tahun 1890 dan 1900 telah bergeser dari tempat semula ke tempat yang baru dalam jarak tidak lebih dari dua kilometer dan hanya dipisahkan oleh sungai Batutungku.

Penutup

Melalui pengetahuan historis mengenai dinamika kehidupan yang berlangsung di Tanah Banjar sebagaimana dipaparkan di atas kita dapat belajar bagaimana Urang Banjar khususnya dan penduduk di Borneo Tenggara pada umumnya telah mempunyai cara-caranya sendiri dalam mengatasi dan mencari jalan memperbaiki jalan kehidupannya. Berbagai kendala namun juga sekaligus sebagai pemacu bagi berlangsungnya pergerakan kehidupan di Tanah Banjar menjadi pelajaran generasi kini bagaimana seharusnya mengelola kehidupan masa depan.

Urang Banjar dahulu demi ketentraman dan kenyamanan biasa bermigrasi ke daerah-daerah di nusantara maupun ke mancanegara. Mobilitas kehidupan mereka cukup tinggi. Mereka terbiasa bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, baik secara sementara maupun untuk menetap. Urang Banjar memiliki istilah dan prkatik ‘madam’, suatu konsep pergerakan (mobilitas) mereka dalam upaya memperbaiki kehidupan. Selanjutnya terserah pembaca

(11)

Kandil yang budiman, apakah ‘madam’ dilakukan guna menggapai ilmu setinggi-tingginya atau mencapai kesejahteraan yang lebih baik.

Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, semoga tidak mengganggu pembaca, merupakan penghargaan dan penghormatan penulis yang tinggi kepada almarhum Prof. Dr. Noer’id H Radam. Istilah ‘madam’ penulis ajukan hampir dua puluh tahun yang lalu (1990) di hadapan teman sejawat dan beberapa orang guru besar dalam suatu diskusi rancangan penelitian kawasan Kalimantan. Tahun 1991, Prof. Dr. Noer’id H Radam, salah seorang guru besar pada diskusi itu, saat bertemu penulis menyampaikan secara lisan permintaan “izin” akan menulis makalah yang berkenaan dengan ‘madam’. Sayang penulis lupa judul tepatnya makalah yang dibuat dan disampaikan pada Seminar Pembangunan Kalimantan 12-14 Mei 1991 itu.

Penulis yang saat itu hanya seorang dosen “ingusan” merasa sangat tidak pantas dimintai “izin” semacam itu, namun begitulah Prof. Noer’id. Begitulah sikap kejujuran intelektual yang diperlihatkannya dan juga seorang intelektual Banjar yang rendah hati.

Referensi

Dokumen terkait

Variabel tergantung yang akan diteliti pada penelitian ini adalah tentang faktor determinan penurunan nilai total gejala pada neuropati diabetik yaitu nyeri, rasa

Adapun tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk mengetahui bagaimana metode pembayaran tagihan suplier melalui Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) pada

Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dari “segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri

Thamrin 2007 Analisis Keberlanjutan Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat- Malaysia Untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan Analisis Multi Dimension al Scalling Kondisi

Ditemukan sebanyak 1 data kesalahan penggunaan pengacuan, 2 data kesalahan penggunaan penyulihan ( substitution ), 1 data ketidakefektifan wacana karena tidak ada

(6) Bantuan Pemerintah dalam bentuk pemberian bantuan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g, bantuan operasional potensi dan sumber

Tabling adalah suatu proses konsentrasi untuk memisahkan antara mineral berharga dengan tak berharga berdasarkan pada perbedaan berat jenis dari mineral melalui

Metode penyajian laporan arus kas yang digunakan oleh perusahaan berdasarkan metode tidak langsung dimana laporan arus kas dalam metode ini menyajikan laba rugi yang