• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah kesuburan tanah sawah id

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "makalah kesuburan tanah sawah id"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

KESUBURAN, PEMUPUKAN DAN KESEHATAN TANAH PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH SAWAH

Disusun oleh:

1. Muhammad Azzam Ridhamalik (11916)

2. Angga R J P S (12117)

3. Putri Perdana (12265)

4. Herdiana Anggrasari (12568)

5. Noerlailatul B. (12514)

6. Urfan Faridhavin (12571)

7. Petrio Permana ()

8. Dewi Putri H. (12656)

9. Wahyu A. (12651)

10. M. Rihan ()

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA 2014

I. PENDAHULUAN

(2)

yang bagus di Jawa dialihfungsikan menjadi pemukiman atau kawasan industri. Peningkatan produksi dapat dilakukan melalui intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas atau ekstensifikasi untuk mendapatkan lahan baru. Kunci utama dari kedua hal tersebut adalah bagaimana memelihara atau meningkatkan status kesuburan tanahnya (Yuwono, 2007).

Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam, yang ditentukan oleh interaksi sejumlah sifat fisika, kimia dan biologi bagian tanah yang menjadi habitat akar-akar aktif tanaman. Ada akar yang berfungsi menyerap air dan larutan hara, dan ada yang berfungsi sebagai penjangkar tanaman. Kesuburan habitat akar dapat bersifat hakiki dari bagian tubuh tanah yang bersangkutan, dan/atau diimbas (induced) oleh keadaan bagian lain tubuh tanahdan/atau diciptakan oleh pengaruh anasir lain dari lahan, yaitu bentuk muka lahan, iklim dan musim. Karena bukan sifat melainkan mutu maka kesuburan tanah tidak dapat diukur atau diamati, akan tetapi hanya dapat ditaksir (assessed). Penaksirannya dapat didasarkan atas sifat-sifat dan kelakuan fisik, kimia dan biologi tanah yang terukur, yang terkorelasikan dengan peragaan (performance) tanaman menurut pengalaman atau hasil penelitian sebelumnya. Kesuburan tanah juga dapat ditaksir secara langsung berdasarkan keadaan tanaman yang teramati (bioessay). Hanya dengan cara penaksiran yang pertama dapat diketahui sebab-sebab yang menentukan kesuburan tanah. Dengan cara penaksiran kedua hanya dapat diungkapkan tanggapan tanaman terhadap keadaan tanah yang dihadapinya (Notohadiprawiro dkk, 2006).

Lahan Sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan / menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status lahan tersebut. Termasuk disini lahan yang terdaftar di Pajak Hasil Bumi, Iuran Pembangunan Daerah, lahan bengkok, lahan serobotan, lahan rawa yang ditanami padi dan lahan-lahan bukaan baru. Lahan sawah mencakup pengairan, tadah hujan, sawah pasang surut, rembesan, lebah dan lain sebagainya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

(3)

tanah potensial yaitu kesuburan tanah yang dapat dicapai dengan intervensi tekhnologi yang mengoptimumkan semua faktor. Seberapa banyak intervensi tekhnologi yang layak diterapkan tergantung pada (1) imbangan antara tambahan hasil panen atau nilai tambah mta dagangan (komoditi) yang diharapkan akan dapat dihasilkan, dan tambahan biaya produksi yang harus dikeluarkan, (2) kemampuan masyarakat membiayai intervensi itu, dan (3) keterampilan teknik masyarakat menerapkan intervensi tersebut secara sinambung. Ketiga faktor pertimbangan itu saling pengaruh mempengaruhi. Meskipun menurut pertimbangan pertama intervensi yang direncanakan dapat diterima, namun rencana itu menjadi tidak layak kalau masyarakat tidak mampu membiayainya atau tidak berketerampilan teknik untuk melaksanakannya (Notohadiprawiro dkk, 2006).

Kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah menghasilkan bahan tanaman yang dipanen. Maka disebut pula daya menghasilkan bahan panen atau produktivitas. Ungkapan akhir kesuburan tanah ialah hasil panen, yang diukur dengan bobot bahan kering yang dipungut per satuan luas (biasanya hektar) dan per satuan waktu. Dengan menggunakan tahunh sebagai satuan waktu untuk perhitungan hasil panen, dapat dicakup akibat variasi keadaan habitat akar tanaman karena musim (Schroeder, 1984).

Salah satu langkah mengelola kesuburan tanah adalah dengan melakukan pemupukan. Pemupukan adalah Pemberian bahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki suasana tanah, baik fisik, kimia atau biologis disebut pembenahan tanah (amandement) yang berarti perbaikan (reparation) atau penggantian (restitution). Bahan-bahan tersebut termasuk mulsa (pengawet lengas tanah, penyangga temperatur), pembenah tanah (soil conditioner, untuk memperbaiki struktur tanah), kapur pertanian (untuk menaikkan pH tanah yang terlalu rendah, atau untuk mengatasi keracunan Al dan Fe), tepung belerang (untuk menurunkan pH tanah yang semula tinggi) dan gipsum (untuk menurunkan kegaraman tanah). Rabuk kandang dan hijauan legum diberikan ke dalam tanah dengan maksud sebagai pupuk maupun pembenah tanah.

(4)

keterserapan hara asli tanah, sehingga tanpa disertai pemupukan yang menambahkan hara, kesuburan tanah sudah dapat ditingkatkan. Dalam hal ini amandemen mendorong pelepasan ion hara dari ikatan mineral atau organik yang kompleks (menggiatkan proses hidrolisis lewat optimasi penambatan lengas tanah, atau melancarkan proses pertukaran ion. Pemupukan dengan pupuk hijau atau kandang sering lebih mempan, karena bahan pupuk itu berfungsi rangkap, yaitu penambahan hara dan sekaligus mengamandemenkan tanah.

(5)

A. PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI TANAH SAWAH

Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan bercampur dengan sisa bahan organik dari organisme (vegetasi atau hewan) yang hidup di atasnya atau di dalamnya. Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan dan sebagainya.Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari tanah rawa-rawa yang ”dikeringkan” dengan membuat saluran-saluran drainase (Hardjowigeno et al, 2004).

Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian, dan sebagainya. Segala macam tanah dapat disawahkan asalakan airnya cukup tersedia. Dalam pembagian jenis tanah, tanah sawah menurut FTO merupakan tanah yang masuk ke dalam jenis tanah Antrosol.

Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran-saluran drainase. Sawah yang airnya dari irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan sawah pasang surut, sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa lebak disebut sawah lebak.

Secara garis besar, tanah sawah di Indonesia dapat dibedakan menjadi (1) tanah sawah berasal dari lahan kering, (2) tanah sawah berasal dari rawa-rawa.

1. Tanah sawah berasal dari lahan kering

Tanah sawah yang berasal dari lahan kering terdapat di daerah datar hingga berbukit, bahkan kadang-kadang bergunung yang kemudian diteraskan dan diairi melalui air irigasi. Tanah sawah jenis ini ditemukan di daerah dataran rendah dan punggung, lereng, atau kaki vulkan serta daerah nonvulkanik yang cukup air sebagai sumber irigasi. Sifat tanah sawah yang berasal dari lahan kering umumnya mengalami perubahan yang sangat nyata dari sifat tanah asalnya dan profil tanah sawah tipikal mungkin terbentuk. Akan tetapi untuk tanah dengan air tanah dangkal atau tanah yang mempunyai sifat mengembang dan mengerut sulit membentuk profil tanah yang tipikal (Soepraptohardjo dan Suharjo, 1978).

2. Tanah sawah berasal dari tanah rawa

(6)

- Rawa pelembahan dan lebak

Lahan rawa pelembahan dan lebak yang disawahkan terdapat di daerah yang hampir datar atau cekung dengan drainase jelek dan air permukaan tanah yang dangkal serta tergenang atau kebanjiran selama periode tertentu dalam satu tahun. Sifat tanah sawah yang terbentuk umumnya tidak terlalu banyak berubah dari sifat tanah asalnya (Soepraptohardjo dan Suharjo, 1978).

- Rawa pasang-surut

Daerah pasang-surut disekitar sungai besar umumnya mempunyai potensi yang tinggi untuk padi sawah. Jenis tanah yang ditemukan di daerah pasang-surut umumnya terdiri atas mineral yang sering memiliki potensi sulfat masam, demikian juga dengan tanah gambut. Profil tanah yang terbentuk tidak terlalu berbeda dengan profil tanah asalnya.

Sawah adalah sebidang lahan pertanian yang kondisinya selalu ada dalam kondisi basah dan kadar air yang dikandungnya selalu di atas kapasitas lapang. Sebidang sawah dicirikan oleh beberapa indikator, yaitu:

 Topografi selalu rata

 Dibatasi oleh pematang

 Diolah selalu pada kondisi berair

 Ada sumber air yang kontinyu, kecuali sawah tadah hujan an sawah rawa

 Kesuburan tanahnya relative stabil meskipun diusahakan secara intensif, dan

 Tanaman yang utama diusahakan petani padi sawah

Sawah berdasarkan system irigasinya / pengairan dibedakan menjadi beberapa macam sebagai berikut:

1. Sawah pengairan teknis: sawah yang bersumber pengairannya berasal dari sungai, artinya selalu tersedia sepanjang sepanjang tahun, dan air pengairan yang masuk ke saluran primer, sekunder, dan tersier volume terukur. Oleh karena itu, pola tanam pada sawah teknis ini lebih fleksibel dibandingkan dengan sawah lainnya. Ciri sawah jenis ini dalam pola tanamnya sebagian besar selalu padi – padi, meskipun ada pola tanam lain biasanya terbatas di daerah – daerah yang para petaninya sudah mempunyai orientasi ekonomi yang tinggi, seperti di daerah kebupaten Kuningan dan kabupaten Garut.

(7)

3. Sawah pengairan pedesaan: sawah yang sumber pengairannya berasal dari sumber-sumber air yang terdapat di lembah-lembah bukit yang ada di sekitar sawah yang bersangkutan. Prasarana irigasi seperti saluran, bendungan dibuat oleh pemerintah desa dan petani setempat, serta bendungan irigasi umumnya tidak permanen. Pola tanam pada sawah pengairan pedesaan ini biasanya padi – padi, dan padi – palawija, atau padi – bera. Petani yang melakukan padi – padi biasanya terbatas di daerah-daerah yang berdekatan degan sumber air saja, sedangkan yang jauh biasanya hanya ditanami padi sekali saja pada musim hujan dan pada musim kemarau dibiarkan bera. Sawah jenis ini hampir di seluruh kabupaten ada namun luasanya terbatas sekali.

4. Sawah tadah hujan: sawah yang sumber pengairannya bergantung pada ada atau tidaknya curah hujan. Sawah jenis ini biasanya terdapat di daerah-daerah yang topografinya tinggi dan berada di lereng-lereng gunung atau bukit yang tidak memungkinkan dibuat saluran irigasi. Oleh karena itu, pada sawah semacam ini pola tanamnya adalah padi – bera, padi – palawija, dan palawija – padi.

5. Sawah rawa: sawah yang sumber airnya tidak dapat diatur. Karena sawah ini kebanyakan terdapat di daerah lembah dan cekungan atau pantai. Kondisinya selalu tergenang air karena airnya tidak dapat dikeluarkan atau diatur sesuai dengan kebutuhan. Ciri utama sawah rawa adalah diolah atau ditanami pada musim kemarau dan dipanen menjelang musim hujan. Tanaman yang utama adalah padi rawa yang mempunyai sifat tumbuhnya mudah menyesuaikan dengan permukaan air apabila tergenang melebihi batas permukaan atau dilanda banjir. Sawah rawa banyak terdapat di kabupaten Kawarang sebelah utara, kabupaten Indramayu, dan di pulau-pulau luar Jawa, seperti Kalimantan Selatan, Jambi, Sumatera Selatan.

6. Sawah rawa pasang surut: sawah yang system pengairannya dipengaruhi naik dan turunnya air laut (pasang laut). Ciri khas sawah pasang surut ini adalah bahwa pengolahan tanah sangat sederhana yaitu hanya pembabatan rumput pada musim kemarau menjelang musim hujan tiba dan panen pada musim hujan. Sawah rawa pasang surut ini banyak terdapat sepanjang sungai yang besar – besar seperti di Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Irian Jaya.

(8)

menjelang musim hujan. Sawah lebak terdapat di Jawa Timur lembah Bengawan Solo, Kali Berantas, dan Delta Musi di Sumatera Selatan.

B. MORFOLOGI DAN PERKEMBANGAN PROFIL TANAH SAWAH

Tanah sawah merupakan tanah yang memiliki ciri khas yang membedakan dengan tanah tergenang lainnya yakni lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat difusi O2 setebal 0,8-1,0 cm, dan lapisan reduksi setebal 25-30 cm diikuti oleh lapisan tapak bajak yang kedap air. Selain itu selama pertumbuhan tanaman padi akan terjadi sekresi O2 oleh akar tanaman padi yang menimbulkan kenampakan yang khas pada tanah sawah (Lahuddin dan Mukhlis, 2006).

Karakteristik tanah dapat diamati seperti tebal horizon, tekstur, kadar bahan organik, reaksi tanah, jenis lempung, kandungan hara tanaman dan kemampuan mengikat air. Tanah mempunyai karakteristik yang berbeda bagi masing-masing horizon dalam profil tanah. Kualitas tanah merupakan hasil interaksi antara karakteristik tanah, penggunaan tanah dan keadaan lingkungan (Darmawijaya,1997).

Menurut Greenland (1997) karakteristik utama tanah sawah yang menentukan keberlanjutan sistem budidaya padi sawah sebagai berikut: (1) Penggunaan tanah secara kontinue tidak menyebabkan reaksi tanah menjadi masam. Hal ini berkaitan dengan sifat fisik, kimia tanah tergenang, dimana penggenangan menyebabkan terjadinya konvergensi pH tanah menuju netral. (2) Kondisi permukaan tanah sawah memungkinkan hara tercuci lebih cenderung tertampung kembali ke lahan bawahnya daripada keluar dari sistem tanah (3) Fosfor lebih mudah tersedia bagi padi sawah (4) Populasi aktif mikroorganisme penambat nitrogen mempertahankan oksigen organik. Faktor penting dalam pembentukan profil tanah sawah adalah genangan air di permukaan, penggenangan dan pengeringan yang bergantian. Proses pembentukan tanah sawah meliputi berbagai proses, yaitu (a) proses utama berupa pengaruh reduksi-oksidasi (redoks) yang bergantian; (b) penambahan dan pemindahan bahan kimia atau partikel tanah; (c) perubahan sifat fisik, kimia dan mikrobiologi tanah akibat penggenangan pada tanah kering yang disawahkan, atau perbaikan drainase pada tanah rawa yang disawahkan (Prasetyo et al., 2004).

(9)

Tanah sawah dapat mengalami beberapa perubahan. Perubahan-perubahan tersebut dapat berupa sementara dan permanen. Sebelum tanah digunakan sebagai sawah, secara alami tanah tersebut mengalami pembentukan sesuai dengan faktor-faktor pembentuknya sehingga muncul jenis tanah tertentu. Pada tanah yang disawahkan dengan penggenangan air, maka pembentukan tanah alami yang sedang berjalan akan terhenti. Dan terjadi proses pembentukan tanah baru ketika air genangan di permukaan tanah dan metode pengolahan tanah yang diterapkan menjadi peran penting. Penggunanaan tanah kering untuk padi sawah dapat menyebabkan perubahan sifat morfologi dan sifat fisika-kimia tanah secara permanen, sehingga dapat menyebabkan perubahan klasifikasi tanah (Sarwono Hardjowigeno dkk, 2008). Sedangkan pada tanah sawah yang berasal dari lahan basah, maka perubahan-perubahan tersebut tidak terlalu jelas (Hardjowigeno dan M. Luthfi, 2005).

a. Perubahan sementara

Perubahan sementara adalah perubahan-perubahan sifat fisik, morfologi, dan kimia tanah sebagai akibat penggenangan tanah musiman baik pada waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan padi sawah. Perubahan-perubahan tersebut terjadi di permukaan tanah dan hanya bersifat sementara karena setelah penyawahan selesai dan diganti dengan tanaman palawija atau diberakan, terjadi perubahan kembali sifat-sifat tanah akibat pengeringan tanah. 1. Perubahan sifat fisik tanah

Terdapat beberapa proses pengolahan tanah yang menyebabkan perubahan fisik tanah, yaitu: a) Pelumpuran

Perubahan sifat fisik tanah yang mula-mula terjadi pada tanah sawah merupakan akibat pelumpuran (puddling). Tujuan dari pelumpuran adalah menghancurkan agregat tanah menjadi lumpur yang sangat lunak. Pelumpuran secara keseluruhan menyebabkan sifat tanah menjadi : a) semua agregat (struktur) tanah hancur sehingga tanah tidak berstruktur, b) pori-pori kasar berkurang sedangkan pori-pori halus (mikro) meningkat, c) daya menahan air meningkat karena meningkatnya pori-pori mikro, d) tanah menjadi sangat lunak karena lumpur baru mengendap, e) dalam keadaan lumpur tersebut, tanah dapat mempertahankan keadaan reduksi lebih lama, f) partikel-partikel halus dalam lumpur tersebut dapat bergerak kebawah bersama air perkolasi dan mengendap di bawah lapisan olah sehingga membantu pembentukan lapisan tapak bajak.

(10)

Prasetyo dkk (2009), mikroba aerob dengan cepat menghabiskan udara yang tersisa dan menjadi tidak aktif lagi atau mati. Kemudian mikroba fakultatif anaerob dan obligat aerob mengambil alih dekomposisi bahan organik tanah dengan menggunakan komponen tanah teroksida (seperti: nitrat, Mn, Fe-Oksida dan sulfat).

b) Selama pertumbuhan tanaman

Setelah pengolahan tanah dengan cara pelumpuran selesai, maka dimulailah penanaman padi. Akibat yang terjadi pada tanah karena makin tergenang oleh air, antara lain adalah: a) partikel-partikel tanah mulai mengendap, b) terdapat lapisan tipis diatas lapisan pasir, karena pengendapan lapisan pasir yang diikuti oleh debu dan liat, c) kadar air tanah berkurang akibat dari pengendapan partikel tanah dan makin berkurang akibat penyerapan air oleh akar tanaman. d) daya kohesi partikel-partikel tanah meningkat, sehingga tanah menjadi padat.

c) Setelah penggenangan selesai

Setelah penggenangan selesai, maka mulai terjadi proses pengeringan tanah yang berjalan lambat. Perlakuan pelumpuran dapat mempertahankan tanah dalam keadaan reduksi lebih lama. Bila pengeringan berlanjut, maka tanah akan berubah menjadi pasta yang kemudian tanah akan retak-retak dan akibatnya adalah tanah mengami aregasi kembali.

2. Perubahan sifat fisika kimia tanah

Perubahan sementara sifat fisika kimia tanah dapat terjadi di permukaan tanah yang mengalami penggenangan secara berkala akibat tanah disawahkan. Perubah sementara tersebut dianggap penting untuk mempelajari perubahan sifat kimia jangka panjang. Jika tanah digenangi, maka difusi gas ke dalam massa tanah terputus sehingga organisme aerobik akan menghabiskan oksigen yang ada di permukaan tanah dengan cepat. Dekomposisi bahan organik secara aerobik yang cepat pada tanah dengan tata udara baik, diambil alih oleh bakteri fakultatif atau obligat anaerobik tersebut yang relatif lambat.

(11)

Setelah nitrat habis, maka konsentrasi Mn2+ dan Fe2+ dalam larutan tanah meningkat sampai ketitik puncak tertentu dalam minggu-minggu pertama penggenangan yang kemudian menurun ke suatu nilai yang kurang lebih konstan. Bila lapisan yang melumpur tersebut retak-retak akibat dari pengeringan lebih lanjut, maka aerasi keseluruh bagian tanah menjadi lebih cepat. Aerasi menyebabkan proses oksidasi Fe2+ yang tidak aktif menjadi lambat. Perubahan reduksi dan oksidasi yang berulang-ulang dapat menyebabkan senyawa besi ferro pada lapisan olah tetap tidak teroksidasi selama tanah dalam keadaan kering (diberakan) (Mitsuchi, 1974). 3. Perubahan sifat morfologi tanah

Perubah sifat fisika kimia tanah yang terus berlangsung tersebut dicerminkan juga oleh perubahan sifat morfologi tanah, terutama lapisan permukaan. Dalam keadaan tergenang tanah menjadi berwarna abu-abu akibat reduksi besi menjadi besi ferro. Akan tetapi warna reduksi tersebut tidak terjadi pada tanah pasir atau tanah lain dengan permeabilitas tinggi, kecuali pada penggenangan yang sangat lama. Apabila tanah dikeringkan, akan terjadi oksidasi lagi terhadap besi ferro menjadi ferri sehingga terbentuk karatan cokelat pada retakan-retakan, bekas akar atau tempat lain dimana udara dapat masuk.

b. Perubahan permanen

Perubahan permanen terjadi akibat efek kumulatif perubahan sementara karena penggenangan tanah musiman atau praktik pengelolaan tanah sawah seperti pembuatan teras, perataan tanah, pembuatan pematang, dan lain-lain. Perubahan permanen pada tanah sawah yang disawahkan dapat dilihat pada sifat morfologi profil tanahnya yang seringkali menjadi berbeda dengan profil tanah asalnya yang tidak disawahkan. Perubahan-perubahan permanen profil tanah, dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

- Cara pembuatan atau pencetakan sawah misalnya dengan perataan dan penerasan serta pembuatan pematang.

- Perubahan sifat fisik tanah karena praktik budidaya tanaman padi sawah yang dilakukan dengan penggenangan, baik pada waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan tanaman.

- Perubahan yang kompleks dalam sifat-sifat kimia dan mineralogi tanah menjadi bagian dari proses pembentukan tanah.

C. PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH SAWAH

(12)

berbagai batas ekosistem untuk mendukung produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan kesehatan tanaman, hewan dan manusia.

Pengukuran kualitas tanah merupakan dasar untuk penilaian keberlanjutan pengelolaan tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa yang akan dating, karena dapat dipakai sebagai alat untuki menilai pengaruh pengelolaan lahan. Hingga saat ini banyak dicari indikator-indikator kualitas tanah yang dapat dipilah yang banyak diterima pengguna dan mempunyai kehandalan dalam menilai tanah, khususnya pada tanah-tanah terdegradasi dan terpolusi (Winarso, 2005).

Pengolahan tanah yang paling utama adalah untuk memperbaiki sifat fisik tanah agar sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara umum ditentukan oleh sifat fisik tanah, antara lain konsentrasi dan struktur tanah yang mampu memberikan cukup ruang pori-pori untuk aerasi dan penyediaan air bagi tanaman. Kondisi tersebut kadang sudah terpenuhi secara alami dan apabila kondisi belum baik maka dapat dilakukan modifikasi yaitu dengan atau tanpa pengolahan tanah. Pengolahan tanah yang sering digunakan ada tiga macam diantaranya:

1. Pengolahan Lahan Sempurna

Pengolahan lahan secara sempurna yaitu pengolahan lahan yang meliputi seluruh kegiatan pengolahan lahan. Dimulai dari awal pembukaan lahan hingga lahan siap untuk ditanami, meliputi pembajakan, pemupukan dan rotary.

2. Olah Lahan Minimum.

Pegolahan lahan dengan olah tanah minimum hanya meliputi pembajakan( tanah diolah, dibalik, kemudian tanah diratakan). Pada pengolahan tanah ini biasanya banyak dilakukan untuk lahan persawahan.

3. Tanpa Olah Tanah(TOT)

Pengolahan lahan pada system ini hanya meliputi penye,protan guna membunuh atau menghilangkan gulma pada lahan, kemudian ditungg hingga gulma mati dan lahan siap untuk ditanami. Pada pengolahan lahan ini biasanya digunakan sisti tajuk dalam proses penanamannya.

Tahapan pengolahan lahan, pada lahan basah/sawah meliputi:

1. Bajak pertama membalik tanah sedalam lapisan olah/topsoil menggunakan alat bajak. Tujuannya adalah agar lapisan tanah bagian bawah diangkat untuk membonkar endapan mineral/Hara yang sulit diraih akar, memperlancar sirkulasi udara, benih-benih gulma dan sisa tumbuhan lainnya dibenamkan memperkaya bahan organik tanah.

(13)

tanah menjadi remah, meratakan campuran antara unsur liat, pasir, tanah dan bahan orgaik pada lapisan olah, mematikan bibit-bibit gulma yang baru tumbuh.

3. Penggaruan pada lahan yang sudah dilakukan pembajakan kedua, berguna;

a) Membentuk lapisan kedap air di permukaan tanah. Untuk lahan yang memiliki lapisan kedap air di bawah lapisan olah/top soil tujuan ini dapat diabaikan.

b) Meratakan lahan agar tinggi permukaan air seragam di pertanaman. c) Membenamkan bagian-bagian tumbuhan yang masih tersisa.

Pengolahan lahan pada lahan tegal/ladang dengan becocok tanam sistim gogo, pengolahan lahan menggunakan kaidah-kaidah yang sama dengan di lahan sawah, yaitu untuk memperbaiki komposisi lapisan olah/ top soil, melancarkan sirkulasi udara dalam tanah, mengurangi gulma, dan meratakan permukaan. Kelalaian dalam pegolahan lahan memungkinkan besar produksi yang ingin tidak tercapai. Bercocok tanam tanpa olah tanah dapat dilakukan pada lahan bukaan baru (Hutan) yang kesuburannya masih terjaga. Atau melalui pengolahan alamiah secara pertahap kesuburan di tingkatkan yaitu dengan mengembalikan sebagian besar sisa tanaman setiap panen pada permukan lahan di tambah pengaturan irigasi yang baik.

 Pengolahan Lahan Sawah Bukaan Baru

Lahan sawah bukaan baru dapat dicetak dari lahan kering yang digenangi air. Lahan sawah dikatakan baru bukan karena lamanya tetapi karena belum terbentuknya lapisan tapak bajak. Terbentuknya lapisan tapak bajak tergantung dari sifat kimia tanah yang mendorong proses oksidasi reduksi yang dipengaruhi oleh lamanya waktu tergenang dan keringnya lahan. Lahan sawah di Sumatera yang berumur satu sampai tujuh tahun belum memiliki lapisan tapak bajak.

 Perubahan Sifat Tanah Akibat Penggenangan

Penggenangan menurunkan nilai pH, pada tanah masam meningkatkan pH tanah dan meningkatkan ketersediaan besi fero dalam tanah yang dapat meracuni tanaman padi. Dengan meningkatnya besi fero dapat menyebabkan beberapa hara tidak tersedia seperti hara N, P, K, Ca dan Mg. Peningkatan besi fero menyebabkan efisiensi penggunaan pupuk, dan produksi padi menurun. Selain itu oksida besi dapat membungkus akar padi, sehingga pertumbuhan terhambat dan tidak mampu menyerap hara.

 Pengembangan Lahan Sawah Bukaan Baru

(14)

 Pengelolaan Lahan Sawah Bukaan Baru

Pengelolaan lahan sawah bukaan baru dimaksudkan untuk menekan keracunan Fe. Beberapa hal yang dilakukan antara lain pemupukan yang tepat, pengelolaan bahan organik dan sisa hasil panen, pengelolaan air, dan pengelolaan tanaman.

a. Pemupukan yang Tepat

Lahan sawah bukaan baru umumnya bersifat masam, kadar hara N, P, K, Ca, dan Mg rendah, serta Fe tinggi. Pemupukan dilakukan bersamaan dengan menekan ketersediaan Fe tanah. Untuk mengurangi ketersediaan kadar Fe dalam tanah dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik dan pengairan secara berselang antara digenangi dan dikeringkan.

b. Ameliorasi Lahan Sawah Bukaan Baru

Penambahan bahan organik ke dalam lahan sawah bukaan baru dapat menurunkan kadar Fe dan meningkatkan hasil gabah kering 22,5%. Pemberian 1t kapur/ha dan 5t pupuk kandang/ha serta pemupukan NPK dapat meningkatkan hasil padi 1-2 t/ha. Pemberian bahan organik pada lahan sawah bukaan baru dapat memperbaiki kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan hara dan membantu menetralisir keracunan Fe. Pengapuran diberikan pada lahan sawah pada pH awal <4. Pengapuran dapat meningkatkan pH tanah, mempercepat pencucian besi terlarut. Jerami padi sisa hasil panen setiap musim tanam dikembalikan sebagai sumber bahan organik.

c. Drainase dan Pencucian

Pengairan berselang antara penggenangan dan pengeringan dapat menanggulangi keracunan besi pada lahan sawah bukaan baru. Pengeringan selama 6 dan 9 hari setelah tanam dapat meningkatkan hasil gabah sebesar 3 kali lipat.

d. Rekomendasi Pemupukan

Pupuk P dan K diberikan sesuai dengan status hara yang dapat diukur dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Sedangkan pemupukan N diberikan berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD). Pemberian dolomit sebagai sumber hara Ca dan Mg. e. Pengelolaan Tanaman

Pemilihan varietas tanaman padi yang tahan terhadap keracunan Fe perlu dilakukan. Penanaman padi dengan menghindarkan tanaman dari cekaman Fe yang tinggi. Pengeringan dilakukan sampai tanaman berumur 6-9 hari.

4. Lahan Kering menjadi Lahan Sawah

(15)

pelepasan CO2, CH4, H2S dan asam organik (Damanik, dkk, 2010). Sifat kimia tanah ini dicirikan dengan terbentuknya H2S yang menghambat penyerapan hara tanaman dan memperbesar perkembangan akar, meningginya pH dan pelarutan silika. Sifat fisik tanah akibat pembentukan padas akan menghambat drainase dan dalamnya akar tanaman, tetapi tidak menghambat perkembangan akar ke samping. Faktor penting yang mempengaruhi tanah sawah adalah (a) suasana reduksi yang menyebabkan drainase buruk, pH rendah, dan ketersediaan bahan organik untuk diserap, (b) adanya sejumlah senyawa besi dan mangan, (c) kemampuan perkolasi ke bawah. Hal ini menyebabkan terbentuknya tanah permukaan yang banyak mengandung lapisan debu dan berwarna cerah/muda yang tebalnya sejajar dengan permukaan tanah sawah setelah di teras. Di bawahnya terdapat akumulasi besi lalu mangan berupa coretan-coretan, bercak-bercak, selaput-selaput, agregat, konkresi atau bahan lapisan padas tergantung lamanya dipersawahkan.

Perubahan-perubahan nyata yang terjadi pada tanah karena penyawahan pada garis besarnya adalah : 1. Tubuh tanah terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian atas yang berubah dan bagian bawah yang tetap sebagaimana semula. 2. Kedua bagian dibatasi secara tajam oleh suatu lapisan mampat yang terbentuk oleh tekanan bajak (plow sole). Kadang-kadang di bawah padas bajak terbentuk lapisan peralihan yang berbercak-bercak kuning-coklat-merah di dalam bahan dasar tanah berwarna kelabu. 3. Struktur bagian atas rusak menjadi lumpur karena pengolahan tanah sewaktu tanah jenuh atau kelewat jenuh air yang mendispersikan agregat-agregat tanah. 4. Bagian atas bersuasana reduktif (anaerob) karena pelumpuran dan penggenangan secara terus menerus (continous), yang berangsur atau tajam beralih menjadi suasana oksidatif (aerob) di bagian bawah tubuh tanah yang tidak terusik. Morfologi tanah bertampakan stagnoglei. 5. Pada perbatasan antara bagian yang anaerob dan aerob atau pada lapisan peralihan sering terbentuk konkresi-konkresi Fe-Mn karena potensial redoks meningkat ke arah bawah yang mengendapkan Fe dan Mn yang tereluviasi dari bagian atas yang bersuasana reduktif (potensial redoks rendah). Konkresi Fe-Mn dapat menyatu membentuk lapisan Fe dan Mn yang berkonsistensi keras tetapi rapuh (brittle). (Notohadiprawiro, 2006).

(16)

genangan. Pada lapisan tipis ini proses oksidasi secara biologis terjadi seperti misalnya oksidasi NH4+ menjadi NO3- atau S2- menjadi SO

42-. Sedangkan lapisan dibawahnya disebut lapisan reduksi dimana hidup mikrobamikroba fakultatif dan obligat anaerob yang mendapatkan sumber energinya melalui reduksi biologis dari senyawa-senyawa NO3-, SO

42-, Fe3+, dan Mn4+ menjadi NO2-, SO

22-, S2-, Fe2+ dan Mn2+.Masalah keracunan seringkali ditemukan pada tanaman padi sawah sebagai akibat dari penggenangan tanah. Keracunan pada lahan basah disebabkan oleh beberapa hal antara lain (a) salinitas/soliditas tinggi, (b) keracunan Fe, (c) keracunan Al, (d) keracunan yang berkaitan dengan bahan organik (tanah gambut dan asam-asam organik), (e) keracunan H2S, dan (f) keracunan B.

Kandungan bahan organik tanah sawah telah berkurang dan sebagian dalam keadaan sangat kurang. Oleh sebab itu, penggunaan bahan organik berupa jerami padi, pupuk kandang, kompos, dan jenis bahan organik lainnya tentu sangat diperlukan. Selain untuk memperbaiki sifattanah, penggunaan bahan organik juga dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia. Pada saat harga pupuk terus meningkat, penggunaan bahan organik merupakan pilihan yang sangat tepat. Karena itu, dalam rekomendasi pemupukan tersebut ditekankan pentingnya penggunaan bahan organik untuk menghemat pemakaian pupuk kimia, seperti jerami padi, pupuk kandang dan lain-lain. Pemberian pupuk kandang akan memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas menahan air,dan meningkatkan kehidupan biologi tanah.

Nitrogen merupakan suatu unsur yang paling banyak mendapat perhatian dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman. Pada tanah sawah, nitrogen dibutuhkan dalam jumlah yang banyak. unsur ini dijumpai dalam jumlah besar di dalam bagian yang muda daripada jaringan tua tanaman, terutama berakumulasi pada daun dan biji. Nitrogen merupakan penyusun setiap sel makhluk hidup karenanya terdapat pada seluruh bagian tanaman. Unsur ini juga merupakan bagian dari penyusun enzim dan molekul klorofil. Untuk memenuhi kebutuhan nitrogen pada tanaman, dapat diberikan pupuk Urea atau pupuk ZA.

D. PERMASALAHAN LAHAN TANAH SAWAH 1. Alih Fungsi Lahan Tanah Sawah

(17)

cenderung terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian.

Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara nasional, luas lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 Ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut telah beralih fungsi menjadi perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain. Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan di luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Pulau Jawa (56 ribu ha per tahun). Sebesar 58,68 persen alih fungsi lahan sawah tersebut ditujukan untuk kegiatan nonpertanian dan sisanya untuk kegiatan bukan sawah. Alih fungsi lahan sebagian besar untuk kegiatan pembangunan perumahan dan sarana publik.

Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

a. Faktor Eksternal.

Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.

b. Faktor Internal.

Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

c. Faktor Kebijakan.

(18)

peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui faktor penyebab alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak petani menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihak-pihak pemilik modal. Sawah tadah hujan paling banyak mengalamialih fungsi (319 ribu Ha) secara nasional. Lahan sawah di Jawa dengan berbagai jenis irigasi mengalami alih fungsi, masing-masing sawah tadah hujan 310 ribu Ha, sawah irigasi teknis 234 ribu Ha, sawah irigasi semi teknis 194 ribu Ha dan sawah irigasi sederhana 167 ribu Ha. Sementara itu di Luar Jawa alih fungsi hanya terjadi pada sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya alih fungsi lahan sawah beririgasi di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang ada tidak efektif.

Dampak alih fungsi lahan

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dapat berdampak terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dimana berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani memperoleh pendapatan dari usahataninya. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya kerawanan pangan serta mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian. Apabila tenaga kerja tidak terserap seluruhnya akan meningkatkan angka pengangguran. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak menunjukkan dampak positif.

(19)

menjelaskan bahwa konversi lahan berimplikasi atau berdampak pada perubahan struktur agraria. Adapun perubahan yang terjadi, yaitu:

1) Perubahan pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari pemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi akibat adanya konversi yaitu terjadinya perubahan jumlah penguasaan tanah. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa petani pemilik berubah menjadi penggarap dan petani penggarap berubah menjadi buruh tani. Implikasi dari perubahan ini yaitu buruh tani sulit mendapatkan lahan dan terjadinya proses marginalisasi.

2) Perubahan pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut. Konversi lahan menyebabkan pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya tenaga kerja wanita. Konversi lahan mempengaruhi berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian. Selain itu, konversi lahan menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang makin tinggi. Implikasi dari berlangsungnya perubahan ini adalah dimanfaatkannya lahan tanpa mengenal sistem “bero”, khususnya untuk tanah sawah.

3) Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang makin terbatas menyebabkan memudarnya sistem bagi hasil tanah “maro” menjadi “mertelu”. Demikian juga dengan munculnya sistem tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai. Perubahan terjadi karena meningkatnya nilai tanah dan makin terbatasnya tanah.

4) Perubahan pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian. Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.

5) Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan menyebabkan kemunduran kemampuan ekonomi (pendapatan yang makin menurun).

2. Sistem Budidaya Di Lahan Tanah Sawah

(20)

produk secara maksimal. Namun, keterbatasan akan pengetahuan soal pertanian yang efektif dan efisien merupakan salah satu dari banyak kendala dalam mengkuti pola tanam.

Banyak faktor kendala yang dihadapi petani selama musim tanam, diantaranya cuaca, hama, kelangkaan pupuk dan faktor penghambat lainnya. Selain kendala tersebut, sekarang ini petani juga sudah terjebak dalam penggunaan pupuk kimia yang sangat berlebihan. Hal itu berdampak kepada menurunnya tingkat kesuburan tanah. Padahal untuk dapat mengembalikan tingkat kesuburan tanah seperti sedia kala, dibutuhkan waktu yang panjang dan petani harus dapat melepaskan ketergantungannya kepada pupuk kimia, dan kembali kepada pupuk organik. Pencemaran tanah disebabkan oleh beberapa jenis pencemaran berikut ini :

- Limbah padat (sampah)

Limbah ini meliputi bahan padatan buangan seperti : kertas, plastik, kayu, metal, kaca dan karet. Limbah ini semakin meningkat jumlahnya setiap tahun dan sering menumpuk pada TPA.

- Logam berat

Logam berat yang dapat menjadi polutan adalah timbal, besi, tembaga, nikel dll. - Pestisida

Pestisida adalah senyawa yang digunakan untuk membunuh makhluk hidup yang dianggap mengganggu. Pestisida dapat dibagi berdasarkan targetnya, yakni : Insektisida (serangga), herbisida (gulma/ tumbuhan mengganggu), rodentisida ( hewan pengerat), fungisida ( jamur). Pengunaan pestisida yang berlebihan dapat berdampak negatif bagi makhluk hidup lain. Pestisida yang mencemari tanah secara langsung terhadap tumbuhan dan biota tanah lainnya atau secara tidak langsung dengan mencemari air.

- Nitrogen, fosfat dan garam mineral

Merupakan unsur-unsur yang sangat diperlukan tumbuhan untuk tumbuh. Namun jika keberadaannya terlalu banyak, akan bersifat racun bagi tumbuhan.

Detergen bersifat nonbiodegradable, yang berarti sulit untuk diuraikan secara alami oleh mikroorganisme. Polutan detergen ini berasal dari air sisa cucian pakaian. Apabila cairan detergen masuk ke dalam pori-pori tanah maka tanah akan menjadi tidak subur carena cairan detergen dapat membunuh hewan dan tumbuhan yang hidup di daerah tanah tersebut.

Sumber polutan utama adalah kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian menggunakan pupuk dan pestisida dalam jumlah yang sangat banyak serta irigasi untuk meningkatkan jumlah panen. Pupuk mengandug nitrogen dan fosfot, pestisida mengandung senyawa berbahaya, sedangkan air irigasi umumnya mengandung gaam-garaman. Semua zat tersebut dapat menjadi polutan di tanah.

(21)

Dapat terjadi melalui penggunaan pupuk yang berlebihan dan pembuangan limbah yang sehingga air tercemar dan menggangu kehidupan mikroorganisme dalam tanah.

3. Pancemaran melalui air

Air yang mengandung zat pencemar akan meresap ke dalam tanah yang akan merubah susunan kimia tanah dan menggangu mikroorganisme dalam tanah.

Indikator Polusi tanah adalah sebagai berikut: 1. Indikator fisik

Contoh indikator fisik menunjukkan kualitas tanah, antara lain warna tanah, kedalaman lapisan atas tanah, kepadatan tanah, tekstur dan endapan pada tanah

2. Indikator kimia menyuburkan tanah. Populasi cacing tanah dipengaruhi oleh kondisi tanah habitatnya, seperti kondisi suhu, kelembapan, pH, salinitas, aerasi, dan tekstur tanah. Polusi tanah dapat menyebabkan cacing pada tanah mati.

Tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengurangi populasi hama. Akan tetapi dalam kenyataannya, sebaliknya malahan sering meningkatkan populasi jasad pengganggu tanaman, sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal ini sering terjadi, karena kurang pengetahuan dan perhitungan tentang dampak penggunaan pestisida. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang dapat dikemukakan mengapa pestisida menjadi tidak efektif, dan malahan sebaliknya bisa meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman.

Pola tanam adalah gambaran rencana tanam berbagai jenis tanaman yang akan dibudidayakan dalam dalam suatu lahan beririgasi dalam satu tahun. Pola tanam sangat dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola tanam adalah:

1. Ketersediaan air dalam satu tahun

(22)

4. Kondisi umum daerah tersebut 5. Kebiasaan dan kemampuan petani

Penetapan pola tanam perlu dilakukan untuk peningkatan usaha produksi pangan, terutama pola tanam di lahan sawah yang komoditasnya adalah padi. Pada aplikasinya di petani, pola tanam secara sudah dilakukan sesuai dengan memperhatikan persediaan air dalam satu tahun. Sistem rotasi pada umumnya sudah dilakukan dengan menanam padi pada musim hujan dan palawija pada musim kemarau.

Kesalahan biasanya terjadi pada sistem pola tata tanam. Pola tata tanam merupakan ragam tanaman yang diusahakan dalam suatu satuan luas pada suatu satuan waktu. Pola tata tanam petani kita pada umumnya menggunakan cara monokultur. Hal ini memberikan hasil yang lebih produktif namun lebih rentan terserang hama dan penyakit karena memberikan habitat yang sesuai bagi hama dan penyakit. Selain itu sistem monokultur akan dengan sangat cepat mengurangi kesuburan tanah karena penanaman satu jenis tanaman dapat mengakibatkan kandungan hara tertentu akan menjadi sedikit dan daya guna lahan akan berkurang (Wirosoedarmo, 1985). Faktor-faktor yang mempengaruhi pola tata tanam adalah:

1. Iklim 2. Topografi

3. Debit air yang tersedia 4. Jenis tanah

5. Kemampuan sosial ekonomi.

Pengaturan pola tata tanam sangat penting diperhatikan salah satunya adalah untuk pemanfaatan air dan pengelolaan kesuburan tanah yang seefektif mungkin. Sehingga tujuan penerapan pola tanam adalah sebagai berikut:

1. Menghindari keseragaman tanaman 2. Memudahkan penetapan jadwal irigasi 3. Peningkatan efisiensi irigasi dan pemupukan 4. Meningkatkan hasil produksi tanaman

Mempertahankan kesuburan tanah

E. SOLUSI PERMASALAHAN LAHAN TANAH SAWAH 1. Alih Fungsi Lahan Tanah Sawah

(23)

masyarakat petani mempertahankan sawahnya harus dalam bentuk yang tepat dan jumlah yang memadai. Insentif yang diberikan selama ini bersifat umum, mudah diselewengkan dan tidak menjamin harga jual yang lebih baik. (3) peningkatan kesadaran masyarakat tentang nilai sosial sawah (padi) harus dilakukan dengan terus menerus. Petani harus menerima penghargaan atas ekternalitas positif dari produk (beras) yang dihasilkannya berupa peningkatan infrastruktur seperti irigasi dan akses ke saprodi, selain penghargaan lain berupa keringanan pajak, status kehormatan di masyarakat dan sebagainya yang dapat meningkatkan citra positif profesi sebagai petani. (4) peningkatan fungsi kelembagaan petani, dengan menggali nilai-nilai positif yang ada di kelompok tersebut sehingga hal-hal yang dapat menghambat produksi sawah dapat dicegah oleh mereka melalui modal sosial yang mereka miliki, sekaligus mencegah hambatan itu berkembang menjadi masalah yang lebih besar. (5) pemerintah harus melakukan pendekatan pembangunan ekoregion untuk mencegah pembangunan di suatu wilayah berakses negatif terhadap wilayah lain, misalnya pembangunan yang menyebabkan kelangkaan air di suatu kawasan pertanian.

2. Sistem Budidaya Di Lahan Tanah Sawah

Dalam bercocok tanam petani dapat menghasilkan keuntungan jika sejumlah faktor penghambat dapat dilalui dengan tanpa mengeluarkan biaya ekstra. Sekarang ini petani tidak lagi dapat menghasilkan panen secara maksimal. Jika dalam kondisi normal setiap hektar lahan sawah dapat menghasilkan padi hingga 9 ton, namun sekarang ini rata-rata panen setiap hektarnya hanya menghasilkan sekitar 5 ton. Jauh dari harapan maksimal.

Untuk mengembalikan tingkat kesuburan sawah milik petani, seharusnya petani dapat menerapkan pola tanam dengan penggunaan pupuk berimbang 5-3-2. Penggunaan pola pupuk berimbang 5-3-2 merupakan pola yang paling pas untuk mendapatan hasil panen yang maksimal. Dengan pola 5-3-2 artinya setiap penggunaan 500 kg pupuk organik, harus diimbangi dengan penggunaan 300 kg pupuk Ponska dan 200 kg pupuk Urea. Dari hasil penelitian yang dilakukan kerjasama PT Petrokimia dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jatim, penerapan pola pupuk berimbang 5-3-2 tersebut mampu menghasilkan panen padi hingga 8 ton untuk setiap hektar sawah (Boediono, 2014).

(24)

Petani yang saat ini sudah merasa tergantung kepada pupuk kimia, harus diberi pemahaman bahwa hal tersebut sangat tidak menguntungkan dan cenderung merusak lahan karena semakin kehilangan unsur haranya.

Pemerintah harus mampu meyakinkan petani untuk menggunakan pupuk berimbang jika ingin mendapatkan hasil yang lebih baik, dan mengembalikan kondisi lahan pada tingkat kesuburan ideal yang ideal, karena dengan pola tanam berimbang, lambat laun ketergangtungan kepada pupuk kimia akan semakin berkurang dan petani akan kembali kepada penggunaan pupuk organik.

Sebenarnya pupuk kimia tetap dibutuhkan untuk dapat menghasilkan panen yang maksimal, karena peranan pupuk kimia ibarat nutrisi bagi tanaman yang mampu mempercepat proses pertumbuhan. Namun jika penggunaannya berlebihan akan berdampak kepada rusaknya lahan pertanian. Solusinya petani harus menerapkan pola tanam dengan sistem berimbang agar lahan tidak mudah jenuh dan tingkat kesuburan juga tetap terjaga (Boediono, 2014).

Dalam bercocok tanam, terdapat beberapa pola tanam agar efisien dan memudahkan kita dalam penggunaan lahan, dan untuk menata ulang kalender penanaman. Pola tanam sendiri ada tiga macam, yaitu: monokultur, polikultur (tumpangsari), dan rotasi tanaman. Ketiga pola tanam tersebut memiliki nilai tambah dan kurangnya tersendiri.

Pola tanam memiliki arti penting dalam sistem produksi tanaman. Dengan pola tanam ini berarti memanfaatkan dan memadukan berbagai komponen yang tersedia (agroklimat, tanah, tanaman, hama dan penyakit, keteknikan dan sosial ekonomi). Pola tanam di daerah tropis seperti di Indonesia, biasanya disusun selama 1 tahun dengan memperhatikan curah hujan (terutama pada daerah/lahan yang sepenuhnya tergantung dari hujan. Maka pemilihan jenis/varietas yang ditanampun perlu disesuaikan dengan keadaan air yang tersedia ataupun curah hujan.

(25)

dikombinasikan antara tanaman yang mempunyai perakaran yang relatif dalam dan tanaman yang mempunyai perakaran relatif dangkal.

Pada lahan tadah hujan, palawija dapat ditanam secara monokultur atau tumpangsari. Ada dua alternatif untuk pelaksanaannya. Alternatif pertama, pada awal musim hujan sampai pertengahan musim huajn, lahan ditanami padi sebanyak satu kali. Pada akhir atau pertengahan musim hujan, lahan ditanami palawija secara monokultur sebanyak satu kali. Sedangkan alternatif kedua pada awal musim hujan, lahan ditanami padi sebanyak satu kali. Pada akhir atau pertengahan musim hujan sampai musim kemarau lahan dapat ditanami palawija secara tumpangsari. Tumpangsari dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah tumpangsari dua tanaman berumur pendek. Misalnya, jagung dengan kacang kedelai, kacang tanah atau kacang hijau. Pada metode ini waktu tanam dilakukan bersamaan. Demikian pula waktu panennya. Karena terdapat tanaman lain, maka jarak tanam jagung harus lebih lebar. Cara kedua dilakukan antara dua tanaman dengan umur berbeda. Misalnya, ubi kayu dengan kacang tanah, kedelai atau kacang hijau. Metode ini waktu tanamnya bersamaan. Ketika tanaman yang berumur pendek sudah dipanen, singkong masih dibiarkan tumbuh sampai saatnya panen. Dengan cara ini, jarak tanam singkong harus lebih lebar.

Pada lahan sawah, palawija umumnya ditanami secara monokultur dengan pola tanam sebagai berikut. Pada awal musim hujan sampai akhir musim hujan, lahan ditanami padi sebanyak dua kali tanam. Pada musim kemarau, lahan dapat ditanami palawija berumur pendek sebanyak satu kali. Kerugian pola lahan sawah beririgasi tanam ini adalah pola pergiliran tanaman pada setiap daerah berbeda sebab masing masing daerah mempunyai kondisi iklim, tanah dan kecocokan tanaman untuk pergiliran yang berbeda pula sehingga tidak dapat di samaratakan.

(26)

Di lahan rawa, palawija juga ditanami secara monokultur atau tumpang sari. Aturannya sebagai berikut. Di lahan di bagian tabukan, ditanami padi dua kali setahun. Sedangkan di bagian guludan pada awal dan akhir musim hujan ditanami palawija berumur pendek (jagung dan kacang-kacangan). Atau, pada awal musim hujan ditanami palawija berumur pendek dan akhir musim hujan ditanami singkong.

Penetapan awal musim ditentukan jika curah hujan dalam satu dekade dan tiap dekade berikutnya lebih besar dari 50 mm untuk musim hujan sedangkan untuk musim kemarau kurang dari 50 mm. Lebih mudahnya dalam tiga dekade harus lebih besar dari 150 mm untuk musim hujan dan kurang dari 150 mm untuk musim kemarau. Dari data curah hujan pada tabel ceraca air yang disesuaikan dengan kriteria diatas maka awal musim hujan jatuh pada bulan nopember dekade pertama. Penetapan ini dikarenakan curah hujan pada bulan nopember dekade pertama dan dua dekade berikutnya masing-masing melebihi kriteia diatas 50 mm yaitu berturut-turut 56.31 mm, 61.81 mm, dan 74.31 mm sedangkan curah hujan sebelumnya masih rendah yaitu 45.37 mm. Penetapan awal musim kemarau jatuh pada bulan april dekade pertama. Penetapan ini dikarenakan curah hujan pada bulan april dekade pertama dan dua dekade sesudahnya masing-masing sesuai kriteia yaitu berturut-turut 42.14 mm, 37.64 mm, dan 28.64 mm sedangkan curah hujan sebelumnya masih tinggi yaitu 60.86 mm.

Contoh pola tanam dapat disusun sesuai kebutuhan petani. Pemilihan jenis tanaman budidaya umumnya disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Diketahuinya ketersediaan air disuatu daerah dengan adanya neraca air maka penentuan pola tanam dalam satu tahun dapat diatur sehingga lahan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Penentuan pola tanam sangat dipengaruhi ketersediaan air. Maka dari itu, ketika waktu defisit air penentuan pola tanam akan berbeda jika air dapat ditambahkan ataupun tidak dapat diberikan penambahan air. Berikut akan diberikan lima contoh model pola tanam:

1. Padi – Padi – Padi

(27)

memerlukan waktu empat bulan maka saat penanaman padi kedua yaitu pada bulan maret masih terdapat air namun bulan april hingga juni terjadi defisit air. Maka varietas padi yang ditanam mengunakan padi lahan kering. Penanaman padi ketiga pada bulan juli jika tetap tidak dapat diusahakan pengairan maka padi yang ditanam menggunakan varietas lahan kering.

2. Padi – Padi – Palawija

Penanaman dengan pola tanam padi-padi-palawija dapat dimulai dengan penanaman padi pertama saat awal musim yaitu awal nopember. Persiapan dimulai bulan oktober sehingga pada awal musim penanaman telah siap. Pada bulan pebruari penanaman padi kedua dapat dilaksanakan sehingga pada waktu defisit air yaitu pada bulan juni hingga oktober dapat digunakan untuk penanaman palawija dan pengolahan tanah.

3. Padi – Padi – Bero

Untuk memperbaiki keadaan tanah maka disamping dilakukan penanaman dapat juga dilakukan pemberoan. Jika padi ditanam dua kali seperti pola tanam padi-padi-palawija maka waktu penanaman palawija dapat digunakan untuk pemberoan dan pengolahan tanah. Waktu penanaman padi dapat disamakan dengan pola tersebut.

4. Padi – Palawija – Bero

Menurut rekomendasi Oldeman, pola tanam yang sesuai untuk tipe iklim ini yaitu hanya mungkin satu kali padi atau satu kali palawija setahun tergantung pada adanya persediaan air irigasi. Pola tanam ini sesuai dengan rekomendasi Oldeman maka penanaman padi dapat dilakukan saat terjadi surplus air yaitu pada bulan nopember hingga maret. Dengan waktu lima bulan ini maka pertumbuhan padi dapat dioptimalkan. Sedangkan penanaman palawija ini dapat disesuaikan dengan jenis palawija dengan kebutuhannya terhadapa air. Jika palawija yang ditanam tidak terlalu tahan kekeringan maka penanamannya dapat dilakukan bulan maret disesuaikan saat surplus air sehingga waktu untuk penanaman padi lebih dimajukan dan sisanya untuk palawija. Jika palawija yang ditanam tahan terhadap kekeringan maka penanamannya dapat dilakukan bulan april kemudian dilakukamn pemberoan.

5. Padi – Padi

Jika penanaman padi akan dilaksanakan dua kali dalam satu tahun tanpa kegiatan lagi. Maka penanaman padi pertama dilakuka saat surplus air yaitu bulan nopember hingga maret. Sedangkan penanaman padi kedua dapat digunakan padi lahan kering yang ditanam setelah padi kedua. Varietas padi dapat menggunakan varietas berumur panjang karena dalam satu tahun hanya dilakukan dua kali penanaman.

(28)

dan hama wereng coklat serta OPT lainnya. Untuk Pola tanam pada lahan sawah adalah dengan padi-palawija-padi atau padi-padi-palawija.

Pelaksanaan Pola tanam padi-palawija-padi yang benar adalah sebagai berikut:

- Padi sawah ditanam pada bulaan akhir Desember sampai awal Februari , dan panen pada bulan april sampai awal Juni. dengan menerapkan konsep PTT serta tanam benih langsung ( Tabela jajar Legowo 2:1 ) atau sistem tanam SRI jajar legowo 2:1 atau 4:1.Pemupukan dan perawatan menarapakan konsep PTT Padi sawah. Panen pada pertengahan Bulan Maret hingga pertengahan April dengan mengunakan power treser.

- Tanam Kedele pada awal April hingga awal Mei dengan menerapkan konsep TOT ( tanpa Olah Tanah ) yaitu dengan cara memotong / memaras sisa tanaman padi dengan mengunakan arit atau mesin pemotong rumput. Kemudian dilanjutkan penyemprotan herbisida sistemik.Pembuatan saluran drainage atau caren mutlak harus dilaksanakan agar air hujan tidak tergenang. 1-2 hari kemudian dilaksanakan penanaman .Pada saat menanam kedele air irigasi harus tidak mengalir tiap hari. Untuk Perawatan terutama pengendalian gulma adalah dengan menggunakan herbisida kontak. Pengendalian OPT dengan insektisida sistemik atau kontak. Panen dilaksanakan dengan cara memotong pohon dengan menggunakan arit atau parang . Penjemuran dilaksanakan dengan memberikan alas kedele yang dijemur. Perontokan dengan Power treser yang dilanjutkan dengan pengemasan dengan karung plastik/goni.

(29)

IV. PENUTUP

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. ITB, Bandung.

Boediono. 2014. Pola Tanam Berimbang, Solusi Bagi Petani. <http://krjogja.com/read/231340/pola-tanam-berimbang-solusi-bagi-petani.kr>. Diakses pada tanggal 6 Desember 2014.

Hardjowigeno Sarwono dkk. 2008. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. <http://balittanah.litbang . deptan.go.id/.../buku/tanahsawah/tanahsawah1>. Diakses 29 November 2014.

Hardjowigeno dan M. Luthfi. 2005. Tanah Sawah. Bayumedia Publishing, Malang Kartasapoetra, A.G.1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta, Jakarta.

Kartasapoetra, A.G. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha Untuk Merehabilitasinya. Bina Aksara, Jakarta.

Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science, 280pp. Kyoto University Press. Trans Pacific Press. Mitsuchi, M. 1975. Permebility Series of Lowland Paddy Soil in Japan. Jpn. Agric. Sci. B. Notohadiprawiro,T., Soekardarmodjo, S., dam Sukana, E. 2006 Pengelolaan Kesuburan Tanah

dan Penignkatan Efisiensi Pemupukan. Jurnal Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Prasetyo Bambang. H, dkk. 2009. Mineralogi, Kimia, Fisika, dan Biologi Tanah Sawah. <http://balittanah.litbang.deptan.go.id/...berita-terbaru&Itemid=58>. Diakses 25 November 2014.

Sanchez. P. A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. ITB, Bandung. Schoeder, D. 1984. Soils, facts and concepts. Int. Potash Inst. Bern. 140 h.

Sihaloho M. 2004. Konversi lahan pertanian dan perubahan struktur agraria. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Soepraptohardjo, M. and H. Suhardjo. 1978. Rice Soil in Indonesia. In : Soil and Rice, p. 99-114. Los Banos, Laguna, Philipines : The International Rice Research Institute.

Somaji RP. 2004. Perubahan tata guna lahan dan dampaknya terhadap masyarakat petani di Jawa Timur. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

(31)

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakarta.

Wirosoedarmo, R. 1985. Dasar-Dasar Irigasi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

Referensi

Dokumen terkait

pemahaman bahwa ta’l im hanyamengedepankan proses pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar ( mu’alim ) dan yang diajar ( muta’alim ). Namun, istilah ta’lim menunjukkan

Puji syukur penulis sampaikan kepada Allah Bapa di Surga dan PutraNya Yang Tunggal Yesus Kristus, karena hanya dengan bimbingan dan pertolonganNya penulis dapat

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Majelis dan Sekretariat

Penelitian ini bertujuan mencari variasi dan komposisi karbon aktif dalam pembuatan katoda udara agar menghasilkan potensial dan arus listrik optimal menggunakan

While Kermit stared at the candy and pleaded with Evan to give him a bite, Andy would slip a tiny chunk of Monster Blood into Kermit’s mixture.. Evan crunched the candy bar

Demikian pula dari prasasti dapat diketahui berbagai jabatan yang berhubungan dengan penggarap atau penggarapan industri, sebagai contoh adalah prasasti Pikatan 1106

Dari telaah prasasti-prasasti masa Balitung juga dapat diketahui gambaran mengenai alat-alat yang menunjang dalam kehidupan masyarakat pada masa prasasti tersebut

PREDIKSI KEBANGKRUTAN PERUSAHAAN DENGAN MODEL ALTMAN’S Z-SCORE, POLA ARUS KAS, DAN MODEL SPRINGATE (STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAAN PERTAMBANGAN YANG TERDAFTAR DI