• Tidak ada hasil yang ditemukan

studi syariat islam di Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "studi syariat islam di Aceh"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Judul Buku :Penerapan Syariat islal di Aceh (Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa)

Penulis :Prof.DR. Al Yasa Abu Bakar, MA. Penerbit :Dinas Syariat Islam Aceh

Cetakan :Pertama, Nopember, 2013 Jumlah Halaman :xiv + 345 hlm

Oleh : Lia Almuknisa

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Lingkup Pembahasan

Buku penerapan syariat islam di Aceh akan membahas tentang kebijakan yang diputuskan untuk merealisasikan penegakan syariat islam. Kebijakan ini memiliki dua maksud, yang pertama kebijakan dalam arti formal, yaitu kebijakan yang sudah disahkan sebagai aturan perundang undangan, artinya aturan yang berbau syariat tersebut sudah di positifkan dan diakui sebagai peraturan resmi negara. Yang kedua dalam arti substansial, yaitu tentang kebijakan mana yang diambil dari kaidah fiqh untuk membentuk kebijakan dalam arti fomal. Namun buku ini hanya akan membahas terbatas di bidang pidana yang dalam istilah fiqh disebut jinayat.

Kebijakan syariat islam di Aceh dilakukan untuk menciptakan hukum yang lebih baik dan lebih sesuai dengan keadaan sekarang, yaitu syariat islam di Aceh lebih baik dan lebih sesuai daripada hukum peninggalan Belanda, sekaligus lebih baik dan lebih sesuai daripada aturan fiqh dalam kitab ulama zaman dahulu yang terkesan begitu kaku jika dilihat dari keadaan modern sekarang. Oleh karena itu kebijakan dalam penegakan syariat sangat memperhatikan kemaslahatan bagi muslim di Indonesia, khususnya di Aceh. Di sisi lain sistematika hukum dan proses peradilan peninggalan belanda akan tetap dipakai selama tidk bertentangan dengan kebijakan substansial, maka penerapan syariat ini belum sepenuhnya berdiri sendiri

B. Sistematika Pembahasan

Buku ini akan membahas tentang sejarah usaha rakyat Aceh dalam memperjuangkan hak pelaksanaan syariat di Aceh, pengertian fiqh dalam kajian modern, prisip dalam pembuatan qanun, kajian tentang UU No. 14 tahun 1999, UU No. 18 tahun 2001, langkah langkah yang sudah ditempuh dalam penyusunan hukum positif berdasarkan syariat islam, kajian tentang UU No. 11 tahun 2006, dan penutup yang memaparkan kesimpulan isi buku.

C. Sejarah Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

(3)

provinsi Aceh memiliki hak otonomi, hal ini mungkin dilakukan karena pemuka saat itu menyadari bahwa syariat Islam hanya bisa berhasil jika Aceh berdiri sebagai provinsi sendiri. Beberapa tulisan menyatakan bahwa Presiden Soekarno memberikan izin secara lisan bersamaan meminta bantuan untuk membeli pesawat saat mengunjungi Aceh pada tahun 1948. Bahkan sebelum diberi izin pun Residen Aceh sudah membentuk Mahkamah Syariah atas izin Gubernur Sumatera melalui surat kawat Nomor 189 tanggal 13 Januari 1947.

Pada Agresi Militer belanda yang kedua aktivitas Pemerintah Pusat terhenti karena belanda berhasil menduduki Yogyakarta yang merupakan ibukota Indonesia saat itu, agar pemerintahan tetap berlanjut maka dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Sumatera dengan presidennya Syafruddin Prawiranegara. Pada saat berkunjung ke Aceh tahun 1949 presiden PDRI memberikan status otonom untuk provinsi Aceh.

Indonesia berubah menjadi negara serikat setelah diadakan Konferensi meja Bundar, namun Pemerintahan serikat ini hanya bertahan sebentar, lalu pada tahun 1950 RIS berubah menjadi NKRI dengan konstitusi baru yaitu UUDS 1950.

Salah satu kesepakatannya adalah Provinsi Aceh dihapuskan dan digabung dengan Sumatera utara, sehingga mahkamah syariah yang sebelumnya sudah ada di Aceh terbengkalai, akibatnya timbul pemberontakan Aceh pada September 1953 dan berlanjut hingga 1962. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah pusat kembali membentuk Aceh pada tahun 1956 atas dasar UU No. 24 Tahun 1956. Mahkamah syariah juga diakui kembali melalui UU No.29 Tahun 1957. Madrasah juga dinegerikan berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 1 tahun 1959. Tapi hal ini tidak mampu membendung pemberontakan yang sudah terlanjur muncul, sehingga diadakanlah musyawarah antara pemerintah Indonesia dengan Abu Beureueh yang menghasilkan Keputusan Missi Hardi pada tanggal 26 mei 1956, yang isinya memberikan keistimewan dalam tiga bidang di Aceh, yaitu dalam agama, pendidikan dan peradatan. Meski begitu Abu Beureueh dan beberapa pengikutnya masih belum puas dan tetap menuntut izin dan jaminan pelaksanaan syariat Islam di Aceh sehingga menghasilkan Keputusan Prinsipal Bijaksana.

(4)

untuk memisahkan diri dari NKRI yang dipimpin oleh Dr. Muhammad Hassan di Tiro pada Desember 1967.

(5)

BAB II

PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN

A. Pengertian Fiqih

Istilah Fiqh pada masa sahabat dan tabiin menjadi sandingan ilmu. Fiqh dipahami sebagai pengetahuan yang didapatkan melalui perenungan dan penalaran, sedangkan ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui penuturan atau periwayatan. Pada masa ini fiqh sangat identik dengan metode ra’yu.

Pada periode Imam Mazhab, Fiqh bukan sekedar pengetahuan hasil penalaran tapi juga harus dibarengi dengan pemikiran yang sistematis, Imam Hanafi menggunakan istilah fiqh sebagai makna dari kaidah kaidah. Selanjutnya Imam Syafi’I mempersempit makna istilah fiqh sebagai kaidah di bidang perbuatan saja, sehingga pengertian fiqh menjadi pengetahuan sistematis tentang aturan perbuatan atau tata kehidupan keseharian. Akhirnya pada masa modern, istilah fiqh yang awalnya sering disangkutpautkan sebagai ilmu atau kemampuan penalaran menjadi produk yang dihasilkan penalaran tadi.

Setelah periode Imam mazhab, para ulama memunculkan istilah siyasah syariah, yaitu produk fiqh yang dalam pelaksanaannya harus melibatkan pemerintah atau negara, karena untuk mewujudkannya tidak bisa dilakukan oleh individu. Dikarenak siyasah syariah membutuhkan kebijakan penguasa yang sangat perlu mempertimbangkan kemaslahatan rakyat, maka siyasah syariah cenderung lebih longgar dibanding fiqh yang lebih kaku dan bahkan pada masa kemunduran diklaim sebagai kebenaran yan tidak akan pernah bisa berubah.

Meskipun istilah siyasah syariah sudah diperkenalkan, namun sedikit sekali ulama yang mau memberikan perhatian, kebanyakan kitab siyasah syariah yang sudah ada dituliskan oleh ulama yang pernah menjadi qadhi. Pembelajaran saat ini cenderung sangat kokoh pada fiqh sehingga siyasah syariah terabaikan.

(6)

syara’ dibagi dua, yaitu hukum taklify yang berisi perintah, larangan, serta perizinan, dan hukum wadhi yang menjelaskan pengkondisian dari suatu perbuatan. Adapun istilah amaliyah digunakan untuk menunjukkan semua perbuatan lahir manusia, baik dari perbuatan, ucapan, maupun niat. Sedangkan dalil tafshili berarti dalil yang dipakai sebagai dasar sebuah peraturan.

Dalam pembahasan ushul fiqh ulama lebih terfokus pada cara memperoleh dalil, dan siapa yang berwenang melakukan istinbath, sedangkan penjelasan tentang subjek hukum dan metode untuk menghasilkan definisi diabaikan. Banyak yang menjelaskan definisi suatu perbuatan hukum, tapi tidak dijelaskan metode umtuk melahirkan definisi tadi. Begitu pula pembahasan tentang orang yang memiliki kewenangan dalam upaya penegakan hukum syara’, intinya tidak ada metode hukum acara dalam fiqh.

Dengan demikian definisi dari masa lalu masih belum berubah hingga sekarang, begitupun kajian kajiannya, untuk itu masih perlu dikembangkan kajian mengenai hukum acara serta sistem yang akan dipakai supaya fiqh menjadi suatu hukum yang mapan.

B. Karakteristik, Isi, dan Sistematika

Hukum hukum yang tertera dalam Al quran pada umumnya merupakan jawaban terhadap permasalahan umat pada masa itu, jadi tidak ada teori, sistem peradilan, maupun paradigma hukum di dalamnya. Sitematika pembagian hukum yang kita ketahui sekarang merupakan hasil yang dikembangkan para ulama.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, hukum yang dirumuskan adalah sekedar penyelasaian dari permasalahan masyarakat dimana metode yang digunakan untuk menghasilkan peraturan ini merupakan pengalaman mereka dengan rasulullah, oleh karena itu kesimpulan ijtihad yang dihasilkan bukan merupakan sesuatu yang sistematis.

(7)

cenderung dipertahankan dan bahkan oleh para Sahabat dan Imam Mazhab dijadikan fiqh, entah dengan atau tanpa sengaja.

Sistemasi fiqh baru ada pada zaman belakangan, tepatnya pada masa imam mazhab yang bahannya diambil dari isi fiqh di masa sahabat.

C. Periodesasi Perkembangan Fiqh

Pada masa pra fiqih penyelesaian masalah didapatkan dari wahyu yang turun, sedangkan jika ada ijtihad para sahabat, maka akan dianggap sebagai hadits taqriri, penyebaran islam saat itu terjadi dengan cara internalisasi, dimana para sahabat mendapat praktik langsung dari Rasulullah.

Setelah Rasul wafat proses penurunan wahyu pun selesai, sehingga dimulailah periode fiqh. Ijtihad para sahabat dihargai tinggi sekali sampai ada pendapat bahwa generasi selanjutnya tidak boleh keluar dari pendapat yang dihasilkan sahabat, hal ini didasari hanya para sahabat lah yang mendapatkan penuturan langsung dari Rasulullah.

Setelah para sahabat wafat muncul periode kelahiran mazhab, pada masa ini hasil fiqh para sahabat mulai disistemasi oleh ulama mazhab, meski begitu pondasi fiqh yang digunakan masih sama. Hal ini dilakukan karena metode, praktek dan penyusunan yang ada pada masa sahabat sudah tidak memenuhi keperluan masyarakat lagi.

Pada masa berikutnya muncullah rasa fanatik terhadap mazhab, dimana segala sesuatu yang disampaikan oleh imam mazhab dianggap final dan tidak boleh dirubah. Kefanatikan ini menimbulkan perpecahan dalam umat Islam, dimana seolah kelompok dari mazhab berbeda dianggap di luar islam

(8)

ini penguasa Turki Usmani yang mulai memperkenalkan peradilan sekuler berupaya menyusun fiqh mengikuti sistem peradilan barat.

(9)

BAB III

PRINSIP PRINSIP SYARIAT ISLAM

A. Prinsip Prindip syariat dalam Tulisan Para Ulama

Maksud prinsip syariat disini adalah konsep, nilai,kaidah dasar dan umum yang diperoleh dari serangkaian penafsiran dalil dari Al quran maupun Sunnah yang berkaitan dengan fiqh.

Dalam penentuan kebijakan harus ada prinsip tertentu, dalam hal ini prinsip syariat untuk menjadi dasar penalaran kebijakan hukum yang berlandaskan syariat. Dalam buku fiqh atau ushul fiqh klasik tidak dipaparkan mengenai prinsip ini, tapi dalam mukaddimahnya langsung disampaikan materi dari fiqh itu sendiri. Dalam fiqh klasik hanya terdapat konsepsi fiqh atau penggolongan fiqh, seperti konsepsi yang dibagi oleh Imam Syafi’I ke dalam empat bagian

Salah satu kitab yang bisa dianggap pengecualian adalah kitab yang disusun oleh Al syathibi, yang melalui penalaran induktif atas ayat ayat Al quran dan Sunnah dalam menyusun beberapa asas atau prinsip umum. Beliau berpendapat bahwa semua ketentuan Allah itu untuk memenuhi dan melindungi kebutuhan manusia yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu dharuriyyat yang artinya kebutuhan primer manusia dimana tanpanya akan menghilangkan eksistensi manusia tersebut, hajiyyat artinya kebutuhan sekunder untuk mempermudah dan menyempurnakan manusia dalam mencapai kebutuhan dharuriyyat, tahsiniyyat artinya kebutuhan tersier untuk membuat kehidupan manusia lebih nyaman.

Selain itu banyak ulama lain yang merincikan asas asas ini setelah sebelumnya dibagi ke dalam beberapa kelompok hukum, misalnya asas hukum pidana, asas hukum keluarga, dan lainnya.

Menurut Muhammad Ali Daud hanya ada tiga asas hukum fiqh yaitu asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas kemanfaatan.

(10)

dan 4hadits yang tidak sejalan, maka beliau secara tegas menolak keempat hadits itu karena bertentangan dengn AL Quran.

Metode yang dilakukan oleh Muhammad Ali Wari ini bisa dijadikan metode untuk merumuskan prinsip prinsip syariah, yaitu dengan menghimpun dan meneliti ayat Al quran sebanyak mungkin, setelah itu dikaitkan juga dengan keadaan lingkungan.

B. Pengembangan dan Penyempurnaan Prinsip Prinsip Syariat

Prinsip syariat yang dihasilkan ulama selanjutnya terus dikembangkan dan disempurnakan, di samping itu prinsip yang dirumuskan sebelumnya merupakan asas yang bekaitan dengan fiqh sebagai subtansif, di zaman sekarang perlu juga merumuskan prinsip untuk hukum yang akan dihasilkan para mujtahid ketika mereka melakukan ijtihad atau istinbath.

Menurut Prof. Dr. Al Yasa Abubakar,MA. Ada sebelas prinsip syariat yaitu

1. Ada perbedaan antara nash (syariat) yang bersifat mutlaq dan berlaku sepanjang masa dengan hasil ijtihad (fiqh) yang bersifat nisbi.

2. Ada nash yang qathi dan yang zhanni

3. Ada keterkaitan erat antara ketentuan agama dan moral dengan hukum. 4. Semua orang sama di hadapan hukum (baik perempuan maupun laki laki)

5. Perubahan hukum diakui, karena ada perubahan waktu, tempat, budaya, serta kemampuan dan kecenderungan mujtahid.

6. Hukum dasar ibadah dilarang, dasar muamalah mubah, dasar munakahat ihtiyat, dan dasar jinayat adalah menghindari syubhat,pemenuhan rasa keadilan, dan perlindungan korban.

7. Ada perbedaan ibadat kepada Sunnah, ibadat kepada bidah rasulullah, dan bidah Rasulullah dengan bidah ijtihadiah.

8. Harus ada keseimbangan antar fiqh untuk kebutuhan individual dengan fiqh untuk kepentingan masyarakat umum dan pengadilan.

9. Menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan. 10. Semua hukum Allah dari hasil ijtihad harus mengandung kemaslahatan untuk manusia. 11. Adat yang baik dalam masyarakat yang dapat diterima oleh Al Quran tidak perlu dirubah,

(11)

Selain pinsip dasar mengenai fiqh yang diambil sebagai dasar kebijakan, maka untuk rancangan qanun tentang pelaksanaan syariat, maka ada beberapa prinsip yang layak dijadikan pedoman.

1. Ketentuan yang ditulis harus berasal dari Al Quran dan Sunnah

2. Rancangan qanun yang bedasarkan dalil harus disesuaikan dengan adat lokal Aceh

3. Rancangan qanun sebagai hasil penafsiran harus berorientasi ke masa sekarang bahkan pada masa depan.

4. Tetap memakai ketentuan lama yang dianggap baik.

Selain empat prinsip utama ada lima prinsip tambahan untuk mendukung prinsip utama, yaitu:

1. Islam bertujuan untuk menyingkirkan semua hal yang tidak sejalan dengan fitrah manusia 2. Kejelasan antara fiqh dan siyasah syariah

3. Penyempurnaan terhadap metode penalaran Al Quran dan Sunnah

4. Penyelesaian yang rinci tmenggunakan fiqh erhadap permasalahan kontemporer 5. Memberi tempat bagi konstitusi dalam kegiatan istinbath

C. Hambatan dan Tantangan yang Perlu Diperhatikan

Ada beberapa hambatan dalam upaya menjalankan syariay islam dengan gaya fiqh modern untuk dijadikan hukum positifyang berlaku secara penuh di tengah masyarakat muslim dalam kerangka negara berbangsa.

1. Mayoritas kaum muslim masih sangat terikat dengan fiqh klasik, sehingga sungkan untuk menerima fiqh dengan komposisi dan sistem yang lebih modern

2. Tidak ada contoh nyata tentang bagaimana pelaksanaan syariat islam yang layak untuk dijadikan model hukum negara modern

3. Ketakutan dan tuduhan bahwa hukum islam kejam dan tidak manusiawi, yang dikemukan sangat berlebihan oleh oknum di luar bahkan kalangan umat islam sendiri.

(12)

BAB IV

(KEBIJAKAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DALAM UU NO.44/99)

A. Isi Undang Undang

Undang-Undang No.44 tahun 1999 adalah UU yang menguatkan serta melindungi penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang sudah diberikan sejak tahun 1959. Dalam UU No.44/99 cakupan pelaksanaan syariat islam masih sangat abstrak, karena syariat islam didefinisikan dengan tuntunan ajaran islam dalam semua aspek kehidupan. Tapi, karena berkaitan dengan keistimewaan yang sebelumnya telah diberikan pemerintah pusat, maka ada beberapa idang yang menonjol, yaitu bidang hukum, pendidikan dan adat, yang dikaitkan dengan bentuk pemerintahan pada tingkat desa. Dikarenakan masalah pendidikan dan bentuk serta kewenangan pemerintahan desa sudah menjadi otonomi setiap daerah di Indonesia melalui UU No.22/99, maka UU 44/99 hanya menonjol pada penyelenggaran kehidupan beragama. Ditambah lagi, pasal 11 menyatakan bahwa pelaksanaan keistimewaan ini dilakukan berdasarkan PERDA, akibatnya pelaksanaan syariat tidak bisa dilakukan sepenuhnya karena tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

(13)

Namun ada beberapa keuntungan yang didapat dari pengesahan UU 44/99. Yaitu:

1. Penegakan syariat islam di Aceh adalah perjuangan yang sudah berlangsung, jadi pengesahan UU No.44/99 adalah sesuatu yang harus disyukuri

2. UU No.44/99 adalah bagian dari upaya dan perjuangan panjang bukan akhir dari segalanya, masih harus diperjuangkan lagi untuk mencapai tingkat yang unggul

3. Pelaksanaan syariat islam di Aceh ataupun di wilayah lain adalah suatu pencapaian yang baru, dengan segala keterbatasan yang ada, pelaksanaan tetap harus dilakukan guna mencapai tujuan hidup dalam beragama.

4. Pemerintah Aceh dapat membuat kebijakan berbagai kegiatan secara resmi atas nama syariat islam secara langsung, bukan atas nama gubernur/bupati/ bahkan walikota atau kegitan pelaksanaan syariat yang dihubungkan dengan kegiatan lain.

B. Qanun Yang Dihasilkan

Meskipun keadaan Aceh pada saat itu sangat kacau dan tidak stabil, pemerintah tetap berupaya menjalankan dan mengisi izin yang diberikan oleh UU No.44/99, maka telah disahkan lima buah PERDA sebagai berikut :

1. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh no.04/1999 tentang larangan minuman beralkohol yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh no.04/2000 tentang perubahan pertama atas peraturan daerah provinsi daerah istimewa aceh n0. 04/1999; Dalam hal ini, PERDA ini mengatur tentang pencegahan penggunaan khamar yang tengah meresahkan masyarakat dan penjatuhan hukuman bagi yang melanggarnya.

2. Peraturan daerah provinsi daerah istimewa Aceh no.3/2000 tentang pembentukan, organisasi, dan tata kerja MPU provinsi daerah istimewa Aceh; Dalam PERDA ini diatur tentang pembentukan lembaga independen yang beranggotakan ulama (MPU) yang merumuskan peranan tentang kebijakan daerah provinsi aceh.

3. Peraturan daerah provinsi daerah istimewa Aceh no.5/2000 tentang pelaksanaan syariat islam;

(14)

5. Peraturan daerah provinsi daerah istimewa Aceh no.7/2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.

Secara umum, kehadiran UU No. 44/99 tidak berpengaruh besar pada pelaksanaan syariat islam di Aceh. Izin pelaksanaan syariat oleh sebagian orang dianggap diberika setengah hati, dan dengan rumusan yang tidak cukup jeas sehingga tidak dapat dijalankan secara nyata. Hak ini dimanfaatkan oleh GAM untuk mengejek Pemerintah dan para ulama, mereka menunjukkan kepada masyarakat bahwa cara mereka lebih efektif daripada cara pemerintah. Keadaan ini mengharuskan para ulama untuk memberi pengertian bahwa pelaksanaan syariat oleh apparat yang tidak berwenang tidak sejalan dengan syariat itu sendiri.

(15)

BAB V

(KEBIJAKAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DALAM UU NO.18/01)

A. Isi Undang Undang

Setelah kehadiran UU No.44/99, TAP MPR No.IV/MPR/1999 merekomendasikan agar Aceh diberikan otonomi khusus, TAP MPR no.IV/MPR/2000 merekomendasikan agar UU otonomi Khusus untuk Aceh tersebut dapat dikeluarkan sebelum mei 2001. Maka untuk memenuhi hal ini, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang N0.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini adalah tentang apa otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh, akan tetapi tidak dipaparkan secara jelas mengenai maksud dari otonomi khusus ini.

Berdasarkan UU No.18/2001, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga pemahaman tentang otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh, pertama, Aceh mendapatkan peraturan yang berbeda dalam bidang yang sebetulnya sudah diotonomikan ke seluruh wilayah Indonesia. Misalnya, anggota DPRD Aceh lebih banyak dari anggota DPRD di daerah lain. Kedua, Aceh mendapatkan tambahan kewenangan dari pemerintah pusat, artinya kewenangan pemerintah di Aceh diatur berbeda dengan kewenangan di daerah lain. Misalnya, Aceh diberikan kewenangan tambahan dalam bidang hukum, yaitu izin melaksanakan syariat islam sebagai hukum materiil dan formiil, meski dalam bidang peradilan Aceh tidak diotonomikan tetapi diatur berbeda dengan daerah lain. Ketiga, keberadaan lembaga Wali Nanggroe, adanya Majelis Permusyawaratan Ulama(MPU) sebagai mitra DPRD dan Gubernur dalam membuat kebijakan peraturan daerah (UU No.44/99) serta izin penggunaan alam dan lambang Aceh.

Undang-Undang ini berlaku selama lima tahun, setelah MOU diganti dengan UU No.11 tahun 2006 yang dianggap lebih sempurna, meskipun diganti namun pembicaraan mengenai UU No.08 tahun 2001 tetap dianggap perlu karena adanya qanun didasarkan pada UU No. 44/99.

(16)

sebagai sistem peradilan nasional. Mahkamah syariah terdiri dari tingkat kab/kota dan provinsi, sedangkan tingkat kasasi ditangani Mahkamah Agung.

Ketentuan pembentukan peradilan di Aceh ini cenderung masih umum, dan tidak dijelaskan rumusan mengenai hal tersebut, baik secara teknis maupun teoritis.

B. Peraturan pelaksanaan dan Upaya Sinkronisasi

Dalam mengadapi ketidakjelasan ini, Pemerintah Provinsi Aceh melakukan pembicaraan dengan Pemerintah Pusat untuk mencari jalan keluar dalam menjalankan otonomi ini. Dalam hal ini, pemerintah Aceh memberikan pra rancangan peraturan untuk membantu kebijakan yang wewenangnya dipegang pemerintah pusat.

Mungkin karena menyadari kerumitan ini dan disertai lobi dari pemerintah Aceh yang intensif, akhirnya Departemen Dalam Negeri membentuk tim yang menanggani masalah pembentukan mahkamah syariah di aceh

C. Qanun yang Dihasilkan

Adapun qanun – qanun yang dihasilkan di Aceh bersamaan dengan koordinasi, konsultasi dan pembicaraan dengan pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung dilakukan pula berbagai kegiatan untuk mempersiapkan qanun qanun, peraturan gubernur / peraturan lainnya guna mendorong dan mempercepat pelaksanaan secara nyata izin melaksanakan syariat islam yang sudah tercantum dalam UU No.08/2001. Demikianlah pada tahun 2002 disahkan dua buah qanun provinsi, sedang pada tahun 2003 disahkan 3 buah qanun provinsi, selanjutnya pada tahun 2004 disahkan juga 2 buah qanun provinsi.

(17)

BAB VI

PRIORITAS DAN LANGKAH PENULISAN QANUN SYARIAT DI ACEH

A. Prioritas dan Langkah Penulisan Qanun

Penulisan rancangan qanun di Aceh sudah dimulai sejak kelahiran UU No.44/99, dan baru mendapat momentumnya setelah kehadiran UU No 18/01. Hasil dari diskusi tentang kebijakan ini dapat disimpulkan menjadi empat bidang.

Hal pertama yang harus dirumuskan adalah penulisan tentang mahkamah syariah sebagai badan pelaksana peradilan Syaiat Islam di Aceh, badan peradilan ini dianggap perlu karena UU 18/01 tidak menjelaskan bagaimana pembentukan badan, tapi memberikan kewenangan pembentukannya pada qanun Aceh tentang pembentukannya. Dalam merealisasikan hal ini telah disahkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam nomor 10 Tahun 2002 tentang peradilan syariat islam. Sebenarnya dalam penegakan hukum dibutuhkan komponen lain seperti badan kepolisian sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai penunut, tapi keberadaan dua lembaga ini tidak diberi izin oleh UU untuk diatur dengan Qanun.

Kedua, penulisan qanun di bidang ibadah, meski begitu qanun ini akan lebih bersifat mengatur, artinya qanun ini diberlakukan untuk mengatur ketertiban dan mendorong pengadaan fasilitas. Akan tetapi selalu saja ada usul agar ada hukuman uqubat bagi yang tidak menunaikan ibadah tertentu, meski begitu peniadaan paksaan terhadap ibadah tetap dipertahankan. Qanun tentang ibadah juga disahkan Qanun Provinsi Nanggroe aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2001 tentang pelaksanaan syariat islam bidang Aqidah, Ibadat, dan Syiar Islam. Akan tetapi masalah zakat tidak dapat diselesaikan di tahun 2002.

Langkah ketiga adalah kebijakan di bidang jinayat (pidana). Prof. Dr. Al Yasa’ Abu Bakar memilah pidana dalam empat bagian.

1. Berkaitan dengan perlindungan moral seperti larangan meminum khamar, perjudian, zina, perbuatan mesum, pemerkosaan serta pencemaran nama baik.

2. Berkaitan dengan perlindungan harta sepertipencurian dan penipuan.

3. Berkaitan dengan perlindungan nyawa manusia yaitu tentang larangan membunuh

(18)

maka dibuatkan Qanun yang berbeda dengan aturan nasional dan menambahkan qanun Aceh dengan aturan yang tidak ada dalam aturan nasioanal. Untuk rencana jangka panjang maka akan diatur pula hukum acara pidana dengan mengkaji ulang serta menulis hukum acara pidana baru dalam sebuah kitab kodifikasi sesuai dengan kebutuhan Aceh.

B. Penentuan Perbuatan Pidana dan Hukuman

Mayoritas ulama masih tetap mengikuti ketentuan yang ada dalam khazanah pemikiran fiqh yang selama ini berkembang untuk menentukan bagaimana sebuah perbuatan dapat dikatakan perbuatan pidana, berikut beberapa metode perolehannya

1. Telah disebutkan langsung dalam nash, seperti hukuman potong tangan bagi pencuri atau qisas bagi pembunuh

2. Perbuatan yang dinyatakan sebagai jarimah oleh nash, maksudnya perbuatan tersebut termasuk hudud tapi belum memenuhi syarat untuk dianggap hudu, seperti kasus pencurian yang hasil curiannya belum mencapai perbuatan hudud

3. Al Quran dan Hadits menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan maksiat tanpa menyatakan hukumannya, kemudian ulama menetapkan hukuman setelah sebelumnya memilah akan memberikan hukuman jarimah bagi maksiat yang merugikan orang lain dan tidak ada jarimahmaksiat yang tidak merugikan orang lain.

4. Al Quran dan Hadits tidak menyebutkan masalah itu secara langsung, tapi ada nash umum yang dapat diambil sebagai rujukan. Contohnya aturan lalu lintas.

Para ulama sepakat bahwa hukuman yang sudah ada daam Al Quran tidak boleh diubah, akan tetapi dalam prinsip pemberian hukum ada tiga aspek yang harus diperhatikan yaitu aspek keadilan, aspek melindungi masyarakat, dan aspek pertaubatan. Oleh karena itu jenis dan bentuk hukuman dapat terus dikembangkan, diubah, maupun ditambah dan dikurang seseuai dengan kebutuhan masyarakat.

C. Hakikat Penghukuman

(19)

Hukuman yang ada sekarang bermacam ragam, hukuman yang diterapkan dalam suatu negara dipilih berdasarkan pandangan dan peradaban masyarakat, banyak ocehan yang menyatakan bahwa hukuman yang diatur dalam islam sangat kejam, padahal kejam atau tidaknya suatu hukum bersifat subjektif, tergantung dari sudut pandang siapa yang melihat.

Di masa sekarang paham yang banyak dianut adalah liberarisme, maksudnya paham yang sangat mendukung kebebasan individu sehingga menghasilkan HAM. Menurut Liberalisme kebebasan adalah hak yang paling tinggi dan paling berharga yang ada pada seseorang, maka hukuman yang terberat adalah dengan cara merampas kemerdekaan tersebut, sehingga saat ini pada umumnya banyak negara yang memakai hukuman kurungan atau penjara.

Menurut Prof.Dr. Al Yasa’ Abu Bakar hukuman penjara ini juga termasuk hukuman yang tidak manusiawi karena menghilangkan hak dan kesempatan seseorang hanya karena dia pernah dihukum, menurut penalaran ini maka sangat salah jika menyatakan hukum yang ada dalam agama islam tidak manusiawi atau kejam, karena kejam tidaknya suatu hukuman bergantung pada budaya yang ada.

D. Prinsip dan Materi di Bidang Hukum Acara Pidana

Dalam khazanah pemikiran fiqh, terutama fiqh ensilopedis, masalah hukum acara cenderung tidak dibicarakan. Uraian tentang ini biasanya terdapat dalam buku keilmuan lain yang bukan buku fiqh.

Oleh sebab itu kajian ijtihad dalam menetapkan kebijakan hukum formiil lebih luas daripada hukum materiil, Prof. Dr. Al Yasa’ Abu Bakar menawarkan beberapa prinsip mengenai hukum acara pidana

1. Mengakui adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, serta pemisahan keduanya sesuai dengan KUHP, karena kewenangan polisi dan kejaksaan diatur hukum nasional,dalam fiqh jinayah dikenal hak pemaafan maka kewenangan dan tugas penuntutan ikut disesuaikan dengan hak pemaafan yang ada pada korban atau keluarga korban. Selanjutnya tanggung jawan eksekusi ditentukan kejaksaan dengan mengikutu aturan nasional.

(20)

sangat terpaksa. Selain itu, hukum acara pidana umum juga menerapkan hal yang sama, dan bagi orang yang diputuskan tidak bersalah maka akan ada pembayaran ganti rugi atas masa penahanan tersebut.

3. Adanya izin penyitaan atas barang yang dianggap berkaitan dengan perbuatan pidana dan akan dikembalikan setelah persidangan, akan tetapi jika barang tersebut barang yang tidak sah untuk dimiliki maka akan disita oleh negara untuk dimanfaatkan atau dimusnahkan.

4. Pembuktian atas adanya perbuatan pidana harus betul betul menunjukkan perbuatan tersebut benar terjadi.

(21)

BAB VII

KEBIJAKAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2006

DAN UNDANG-UNDANG NO.48 TAHUN 2007

A. Isi Undang Undang No. 11 Tahun 2006

Salah satu kesepakatan yang dicapai dalam MOU Helsinki 15 Agustus tahun 2005 adalah keharusan menulis UU tentang Aceh, maka disahkanlah UU No.11 tahun 2006 sebagai Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Undang-Undang-undang ini terdiri 40 bab, 273 pasal dan diantaranya terdapat tiga bab tentang pelaksanaan pelaksanaan syariat islam. Aturan aturan yang telah disepakati lebih dulu seperti keistimewaan Aceh tidak diatur dalam UU Baru ini karena sudah ada dalam UU No.

Pelaksanaan syariat islam dijelaskan secara rinci dalam bab XVII syariat islam dan pelaksanaannya, bab XVIII tentang Mahkamah Syar’iyyah dan bab XIX membahas tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), sedangkan dalam bab lainnya ditemukan tentang Zakat. Ada juga tentang tugas dan hubungan kepolisian dan kejaksaan dengan penegakan syariat islam serta pasal tentang sanksi syariat yang boleh digunakan dalam qanun Aceh oleh Pihak Wilayatul Hisbah (WH).

BAB XVII terdiri dari 3 pasal tentang syariat islam dan pelaksanaannya yang diatur dalam pasal 125, 126 dan 127 yang mengatur tentang syariat islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi syariat, Aqidah dan Akhlak. BAB XVIII terdiri atas 10 pasal tentang Mahkamah Syar’iyah yang diatur dalam pasal 128 sampai pasal 137. BAB XIX membahas tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) terdiri atas 3 pasal yang diatur dalam pasal 138 sampai dengan pasal 140.

B. Perluasan kewenangan

(22)

1. Aturan tentang “peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah” yang diatur dalam UU No.44/1999 yang telah dijabarkan menjadi MPU dalam peraturan Daerah provinsi Aceh No.3 tahun 2000, dimasukkan menjadi satu bab tersendiri dalam UU No.11/06.

2. Ada bab baru tentang syariat islam dan pelaksanaannya yang diletakkan sebelum bab Mahkamat Syar’iyyat.

3. Ada tambahan dan penyempurnaan yang berkaitan dengan penetapan zakat sebagai pendapatan Asli daerah (PAD).

Referensi

Dokumen terkait

perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir, Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah

Dengan value proposition yang telah ditentukan yaitu menjadi lembaga riset yang bergerak pada pengembangan mobil hemat energi terbaik di Indonesia, maka pengembangan

Sedangkan hasil wawancara dengan salah satu karyawan Bank Syariah Bukopin Kantor Cabang Sidoarjo\, bahwa punishment tidak berpengaruh karena hukuman yang diberikan

Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang dapat diidentifikasi pada penelitian ini ialah tepung daun kelor ( Moringa oleifera ) diketahui mengandung zat

MEDAN 2018.. Medan: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan relasi makna yang

- Gerakan: Helen memegang pistol suar dan membidiknya kearah depan - Perilaku: Menunjukan sikap linglung - Ekspresi: Linglung - Kamera: Teknik pengambilan

ier yang didapatkan dengan cara memplot konsen- trasi larutan uji dengan persen inhibisi DPPH seba- gai parameter aktivitas antioksidan, dimana konsen- trasi larutan uji (ppm)

[r]