• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untaian Fatwa dan Nasihat Ulama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Untaian Fatwa dan Nasihat Ulama"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Untaian Fatwa

dan Nasihat Ulama

Daftar Isi :

- Mengaminkan Doa Khotib

- Memutus Sholat Sunnah Ketika Iqomah

- Mengeraskan Bacaan Basmalah

- Meninggalkan Sholat Sunnah Rawatib

- Puasa Tetapi Tidak Sholat

- Berkumur-Kumur Ketika Puasa

- Menyambut Ramadhan dengan Apa?

- Fatwa Puasa oleh Syaikh Ahmad an-Najmi

- Cara Menasihati Penguasa

- Hukum Demonstrasi dan Unjuk Rasa

- Hukum Bom Bunuh Diri

- Jihad Tanpa Ijin

- Menyikap Ketergelinciran Ulama

- Merayakan Ulang Tahun

- Mengenal Wali Allah

- Penarikan Kesimpulan Yang

Mengagumkan

- Mengakui Kebodohan

- Pemberontakan Bukan Solusi

- Pengaruh Aqidah terhadap Manhaj Dakwah

- Mengenal Tawadhu’

- Sebuah Pelajaran bagi Penimba Ilmu

- Orang-Orang Yang Beruntung

- Nasihat Bagi Pendakwah

- Pentingnya Ikhlas

- Berpegang Teguh dengan Sunnah

- Pemadam Fitnah

- Wasiat Para Imam

- Perkara Paling Agung

- Pentingnya Aqidah Tauhid

Penyusun :

Redaksial-mubarok.com

Fanspage : Kajian Islam al-Mubarok Telegram : Belajar Tauhid al-Mubarok Website : Yukberinfak.com

E-mail : yapadijogja@gmail.com

Mengaminkan Doa Khotib

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahpernah ditanya :

Apakah mengaminkan doa imam setelah selesai khutbah pada sholat Jum'at termasuk bid'ah, atau ketika sang imam berdoa lalu kita menjawab sesudah doanya dengan ucapan 'amin'. Apakah hal ini termasuk bid'ah? Berikanlah faidah untuk kami,jazakumullahu khairan.

Beliau menjawab :

Membaca 'amin' setelah doa khotib pada khutbah terakhir yaitu ketika dia mulai mendoakan

kebaikan bagi kaum muslimin adalah perkara yang dianjurkan bukan bid'ah. Akan tetapi hendaknya tidak dengan suara bersama-sama (diseragamkan) dan dikeraskan. Namun semestinya setiap orang mengaminkan sendiri-sendiri dengan suara yang lirih saja, sehingga tidak menimbulkan semacam 'kegaduhan' atau suara-suara yang keras (apalagi teriakan, pent). Hendaklah setiap orang

mengaminkan doa sang khotib dengan suara lirih dan dibaca sendiri-sendiri.

Sumber:Majmu' Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 272

Memutus Sholat Sunnah

Ketika Iqomah

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahpernah ditanya :

Saya melihat sebagian orang ketika sedang menunaikan sholat sunnah lalu imam mulai mendirikan sholat [wajib] padahal dia telah melakukan sholat satu raka'at dan baru mulai masuk ke raka'at kedua tiba-tiba dia memutuskan sholatnya tanpa menyelesaikan raka'at keduanya. Apakah hal ini boleh ataukah tidak?

Beliau menjawab :

(2)

seorang muslim yang sedang mengerjakan sholat sunnah yang telah dia mulai sebelum iqomah maka hendaklah dia menyempurnakannya dengan singkat (tidak berlama-lama, pent) dan tidak perlu memutuskannya. Allahta'alaberfirman (yang artinya),“Dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian.”(Muhammad : 33). Padahal tidak ada faktor pendorong yang mengharuskan dia memutus sholat sunnah yang sedang dia kerjakan itu.

Adapun setelah dikumandangkannya iqomah tidak boleh bagi ma'mum untuk memulai mengerjakan sholat sunnah. Akan tetapi yang dimaksud dalam kasus tadi adalah orang yang sudah memulai mengerjakan sholat sunnah

sebelum iqomah/sebelum sholat jama'ah didirikan. Oleh karena itu wajib baginya menyempurnakan sholat itu secara ringan/tidak lama kemudian ikut bergabung bersama imam, dan dia tidak boleh memutuskan sholat sunnahnya tadi.

Sumber:Majmu' Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 290

Mengeraskan Bacaan Basmalah

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahditanya :

Apa hukum membaca basmalah di dalam sholat dengan keras yaitu pada sholat jahriyah (sholat yang dikeraskan bacaannya semisal maghrib dan 'isyak, pent)?

Beliau menjawab :

Mengeraskan bacaan basmalah dalam sholat jahriyah; apabila hal itu dikerjakan kadang-kadang maka tidak mengapa, hanya saja tidak semestinya hal itu dikerjakan secara terus-menerus. Karena sesungguhnya dalil yang sahih dari Sunnah Nabi

shallallahu 'alaihi wa sallamdan Sunnah para khulafa' rasyidin menunjukkan bahwa mereka tidak mengeraskan 'bismillahirrahmanirrahim'.

Dan bahwasanya mereka mengeraskan bacaan al-Fatihah pada sholat jahriyah, mereka juga mengeraskan bacaan surat setelah al-Fatihah. Adapun 'bismillahirrahmanirrahim' tidak ada

riwayat sahih yang menunjukkan bahwa mereka mengeraskannya. Oleh sebab itu tidak selayaknya mengeraskannya secara terus-menerus. Namun jika ia mengerjakan hal itu dalam sebagian kesempatan (kadang-kadang) maka tidak mengapa.

Sumber:Majmu' Fatawa Syaikh al-Fauzan, hlm. 259

Meninggalkan Sholat Sunnah

Rawatib

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahpernah ditanya :

Dalam sebagian kesempatan saya merasakan sedikit kerisauan -sedang banyak pikiran, pent-setelah mengerjakan sholat. Atau terkadang saya merasa mengantuk dan malas sehingga saya pun tidak mengerjakan sholat sunnah rawatib. Apakah saya bersalah karena hal itu?

Beliau menjawab :

Hendaknya selalu menjaga sholat sunnah rawatib karena ia adalah sunnah mu'akkad/sangat

ditekankan. Apabila seorang insan condong menuruti kemalasannya maka sifat malas itu justru akan semakin menjadi-jadi. Adapun rasa kantuk; jika memang mengantuk berat dimana hal itu akan mengganggu ketika sedang sholat dan tidak mengerti apa yang anda baca maka dalam kondisi semacam ini hendaknya anda tidur. Adapun apabila sekadar rasa kantuk yang ringan maka tidak selayaknya anda tinggalkan sholat sunnah rawatib. Padahal sebenarnya sholat sunnah rawatib ini tidak akan memakan banyak waktu. Oleh sebab itu hendaknya anda senantiasa menjaganya selama hal itu memungkinkan untuk anda kerjakan.

(3)

Puasa Tetapi Tidak Sholat

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

rahimahullahditanya :

Apakah hukum berpuasa Ramadhan tetapi meninggalkan sholat?

Beliau menjawab :

Sesungguhnya orang yang berpuasa tetapi tidak sholat maka puasanya tidak bermanfaat baginya dan tidak diterima, dan tidak bisa menggugurkan tanggungan/kewajibannya. Bahkan,

seseungguhnya orang yang melakukan perbuatan semacam itu tidaklah dituntut berpuasa selama dia berada dalam keadaan tidak menunaikan sholat.

Karena orang yang tidak mengerjakan sholat sama halnya dengan Yahudi dan Nasrani. Bagaimanakah pendapat kalian apabila ada orang Yahudi atau Nasrani melakukan puasa sementara dia tetap berada di dalam agamanya, apakah amalan itu akan diterima? Tentu saja tidak.

Oleh sebab itu kami katakan kepada orang ini : Bertaubatlah kepada Allah dengan kembali mengerjakan sholat dan -kemudian- berpuasalah. Barangsiapa yang mau bertaubat niscaya Allah akan menerima taubatnya.

Sumber:Tsamaniyah wa Arba'uuna Su'aalan fish Shiyam, hlm. 25

Berkumur-Kumur Ketika Puasa

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

rahimahullahpernah ditanya :

Apakah benar pendapat yang menyatakan

bahwasanya berkumur-kumur dalam wudhu tidak wajib bagi orang yang sedang melakukan puasa di siang hari Ramadhan?

Beliau menjawab :

Ini tidak benar. Berkumur-kumur di dalam wudhu adalah salah satu kewajiban di dalam berwudhu.

Sama saja apakah hal itu pada siang hari Ramadhan atau di waktu lainnya, untuk orang yang sedang puasa ataupun selainnya. Hal itu berdasarkan keumuman firman Allahta'ala(yang artinya),“Maka cucilah wajah-wajah kalian.”

(al-Ma'idah : 6)

Meskipun demikian tidak selayaknya

berlebih-lebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq -menghirup air ke hidung- dalam

keadaan dia sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan hadits Laqith bin Shabirah bahwa Nabishallallahu 'alaihi wa sallambersabda kepadanya,

“Sempurnakanlah wudhu, sela-selailah antara jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali apabila kamu sedang berpuasa.”(HR. Tirmidzi dan Nasa'i, disahihkan al-Albani)

Sumber:Tsamaniyah wal Arba'una Su'alan fish Shiyam, hlm. 58

Menyambut Ramadhan

Dengan Apa?

Syaikh Abdul Aziz bin Bazrahimahullahpernah ditanya :

Apakah disana ada perkara-perkara khusus yang disyari'atkan bagi setiap muslim dalam rangka menyambut datangnya Ramadhan?

Beliau menjawab :

Bulan Ramadhan adalah bulan paling utama dalam setahun. Karena Allahsubhanahu wa ta'ala

mengistimewakannya dengan menjadikan puasa pada bulan itu sebagai sebuah kewajiban dan menjadi rukun keempat diantara rukun-rukun Islam. Dan Allah mensyari'atkan kepada kaum muslimin untuk menunaikan sholat [sunnah] pada malam harinya.

Hal itu sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi

(4)

Beliau'alaihis sholatu was salambersabda,

“Barangsiapa menunaikan sholat malam di bulan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mencari pahala niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.”(Muttafaq 'alaih)

Saya tidak mengetahui ada suatu perkara/amalan tertentu guna menyambut datangnya Ramadhan selain hendaknya seorang muslim menyambut datangnya bulan itu dengan perasaan gembira dan senang, bahagia, dan bersyukur kepada Allah yang mempertemukannya dengan bulan

Ramadhan. Dimana Allah berikan taufik kepadanya; ketika Allah jadikan dia termasuk golongan orang yang masih hidup -pada bulan itu- sehingga bisa berlomba-lomba untuk

melakukan amal-amal salih. Karena sesungguhnya tibanya bulan Ramadhan merupakan nikmat yang sangat besar dari Allah.

Oleh sebab itulah Nabishallallahu 'alaihi wa sallamdahulu memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya dengan kedatangan Ramadhan itu. Beliau pun menjelaskan kepada mereka tentang berbagai keutamaannya serta apa saja yang telah dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang yang berpuasa dan menunaikan sholat malam -di bulan itu- dengan pahala yang sangat besar. Dan disyari'atkan bagi setiap muslim untuk

menyambut bulan yang mulia ini dengan melakukan taubat yang tulus (taubatan nasuha) dan bersiap-siap untuk menunaikan puasa dan sholat malam/tarawih dengan diringi niat yang lurus dan tekad yang bulat.

Sumber:Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, hlm. 9-10

Fatwa Puasa oleh Syaikh

Ahmad an-Najmi

Beliau ditanya : Apa saja syarat-syarat puasa?

Beliau menjawab :

Syarat puasa ialah dilakukan oleh seorang muslim yang mukallaf/sudah terbebani syari'at, dan dia sanggup berpuasa.

--Beliau ditanya : Apakah masuknya bulan Ramadhan bisa ditetapkan berdasarkan

ru'yah/persaksian melihat bulan dari seorang saksi saja?

Beliau menjawab :

Ya. Telah datang riwayat dari Nabishallallahu 'alaihi wa sallambahwasanya beliau pernah menetapkan masuknya Ramadhan berdasarkan persaksian seorang lelaki badui. Lelaki itu mengatakan bahwa dia telah melihat hilal.

Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallampun bertanya kepadanya,“Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?”

maka dia pun menjawab, “Ya.” Maka beliau pun memerintahkan puasa (HR. Tirmidzi dan

dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Tirmidzi)

--Beliau ditanya : Kapankah waktu berniat bagi orang yang hendak puasa atau niat puasa itu?

Beliau menjawab :

Niat puasa wajib harus dilakukan pada malam hari yaitu sebelum terbit fajar kedua (sebelum waktu subuh, pent). Adapun puasa sunnah maka kapan saja dia meniatkan boleh walaupun setelah terbit matahari dengan syarat dia belum makan atau minum, maka puasanya tetap sah.

(5)

--Beliau juga ditanya : Apakah orang yang berpuasa wajib makan sahur?

Beliau menjawab :

Tidak wajib tetapi mustahab/dianjurkan, karena badan akan menjadi semakin kuat dengan hal itu.

--Beliau juga ditanya : Apakah wajib bagi orang yang berpuasa untuk berbuka ketika terbenamnya matahari?

Beliau menjawab :

Tidak wajib, akan tetapi hal itu

dianjurkan/mustahab. Hal ini berdasarkan sabda Nabishallallahu 'alaihi wa sallamketika melarang dari perbuatan wishol/menyambung puasa. Beliau menyatakan,“Barangsiapa ingin melakukan wishol/menyambung puasa maka hendaklah dia wishol hingga waktu sahur -artinya dia tunda buka hingga saat sahur, pent-.”(HR. ad-Darimi)

--Beliau ditanya : Apakah hukum orang yang berpuasa tetapi meninggalkan sholat?

Beliau menjawab :

Apabila dia tidak sholat sedangkan dia berpuasa maka saya katakan : Puasa tidak diterima dari orang yang tidak sholat. Apabila Allah beri petunjuk kepadanya niscaya Allah akan berikan taubat kepadanya, dan taubat itu akan

menghapus dosa-dosa yang sebelumnya.

--Beliau ditanya : Seorang yang tidak sholat kecuali ketika Ramadhan, bagaimana hukum puasanya?

Beliau menjawab :

Orang ini seolah-olah tidak mengerjakan sholat dan juga tidak puasa.

--Beliau ditanya : Kami menghendaki nasihat untuk para pelajar/mahasiswa yang berbuat

curang/mencontek ketika ujian pada bulan Ramadhan?

Beliau menjawab :

Para pelajar itu sungguh mengalahkanku. Mereka tidak mendengar ucapanku ketika aku mengawasi mereka pada saat ujian. Aku ingatkan mereka akan sabda Nabishallallahu 'alaihi wa sallam,

“Orang yang berbangga dengan sesuatu yang bukan menjadi miliknya seolah-olah dia seperti orang yang mengenakan dua lembar pakaian kedustaan.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, wajib bagimu wahai saudaraku pelajar untuk mencukupkan diri dengan ilmu yang diberikan Allah kepadamu. Itu sudah cukup untuk menjawab soal-soal.

Sumber:Fatawa ash-Shiyamoleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi. Cet. Darul Minhaj

Cara Menasihati Penguasa

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahpernah ditanya :

Bolehkah menampakkan aib pemerintah kaum muslimin di hadapan masyarakat dan di depan orang banyak?

Beliau menjawab :

(6)

Bahkan terkadang hal itu akan menyeret kepada tindakan pemberontakan kepada pemerintah, terjadinya pertumpahan darah dan berbagai perkara yang tidak terpuji hasilnya. Maka apabila anda memiliki catatan atau kritikan maka

sampaikan kepada penguasa secara rahasia; bisa dengan berbicara secara langsung jika anda mampu, atau melalui tulisan/surat, atau dengan mengabarkan kepada orang yang bisa

berhubungan dengannya untuk menyampaikan nasihat itu kepada penguasa tersebut. Dan hendaknya nasihat itu diberikan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, bukan secara

terang-terangan. Hal ini telah disebutkan di dalam hadits.

Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallambersabda,

“Barangsiapa yang ingin memberikan nasihat kepada seorang penguasa maka janganlah dia tampakkan hal itu secara terang-terangan -di muka umum-. Hendaklah dia mengambil

tangannya -menasihatinya secara langsung, pent-. Apabila dia mau mendengar maka itulah yang diharapkan. Apabila tidak maka dia telah

menunaikan kewajibannya.”(HR. Ibnu Abi 'Ashim dan dinyatakan sahih oleh al-Albani). Hal ini telah datang maknanya dari Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam.

(lihatal-Ijabat al-Muhimmah fil Masyakil al-Mulimmah, 1/11)

Hukum Demonstrasi dan

Unjuk Rasa

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahpernah ditanya :

Apakah termasuk dalam sarana berdakwah dengan melakukan berbagai bentuk demonstrasi demi mengatasi berbagai problematika umat?

Beliau menjawab :

Agama kita bukanlah agama kekacauan. Agama kita adalah agama yang penuh keteraturan, agama yang penuh tatanan, santun dan ketenangan. Adapun demonstrasi bukanlah termasuk amal kaum muslimin, dan tidaklah kaum

muslimin mengenalinya sejak dahulu. Agama Islam adalah agama yang santun dan penuh rahmat. Agama yang penuh keteraturan, tidak mengajarkan kekacauan dan keributan, dan tidak suka membangkitkan fitnah/kerusakan.

Inilah ajaran agama Islam. Adapun hak-hak -rakyat- maka hal itu bisa disampaikan dengan cara-cara yang telah diatur di dalam syari'at dan cara-cara yang dibenarkan oleh syari'at. Adapun melakukan demonstrasi/unjuk rasa maka hal ini pada akhirnya akan menimbulkan pertumpahan darah, dan menyebabkan penghancuran

harta/aset masyarakat. Oleh sebab itu

perkara-perkara semacam ini tidak diperbolehkan.

(lihatal-Ijabat al-Muhimmah fil Masyakil al-Mulimmah, 1/72)

Hukum Bom Bunuh Diri

Setiap amalan yang tidak sesuai dengan perintah Allah dan rasul-Nya maka hal itu tertolak,

walaupun dilandasi dengan niat baik. Karena tujuan tidak menghalalkan segala cara. Suatu tujuan yang disyari'atkan maka sarana yang ditempuh pun harus sesuai dengan syari'at.

Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallambersabda,

“Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka hal itu pasti tertolak.”(HR. Muslim)

Apabila hal ini telah jelas bagi kita, maka sesungguhnya perbuatan atau aksi bom bunuh diri adalah tindakan yang dikecam dan tidak diperbolehkan oleh para ulama di masa kini. Diantara ulama yang melarang perbuatan semacam ini adalah :

a. Syaikh Abdul Aziz bin Bazrahimahullah b. Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

rahimahullah

c. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah alu Syaikh

hafizhahullah

d. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan

hafizhahullah

(7)

f. Syaikh Abdul Muhsin al-'Ubaikan

hafizhahullah

Syaikh Dr. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi

hafizhahullahtelah memaparkan dalil-dalil syari'at yang menunjukkan haramnya aksi bom bunuh diri dalam kitabnyaal-Jihad fil Islam(hlm. 114-118).

Diantara dalil yang beliau bawakan, firman Allah (yang artinya),“Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah terhadap kalian sangat penyayang. Barangsiapa melakukan hal itu dalam rangka menimbulkan permusuhan dan kezaliman maka Kami akan memasukkannya ke dalam neraka, dan adalah hal itu sangat mudah bagi Allah.”(an-Nisaa' : 29-30)

Ayat ini bersifat umum mencakup semua orang yang melakukan perbuatan bunuh diri. Bahkan dalam aksi-aksi bunuh diri semacam itu telah terhimpun banyak kerusakan berupa tindakan bunuh diri, membunuh wanita, anak-anak, dan orang-orang tua serta orang-orang yang tidak bersalah lainnya. Dengan demikian perbuatan itu termasuk tindakan permusuhan dan kezaliman, sehingga pelakunya layak mendapat bagian dari ancaman keras yang ada di dalam ayat ini.

Dalil dari hadits, diantaranya adalah sabda Nabi

shallallahu 'alaihi wa sallam,“Barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/cara maka dia akan disiksa dengan alat/cara itu pada hari kiamat.”(HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin Dhahhakradhiyallahu'anhu)

Diantara alasan yang menunjukkan bahwa aksi semacam ini tidak bisa diterima oleh akal adalah :

[1] Aksi-aksi semacam ini pada akhirnya justru mendatangkan bencana dan musibah bagi Islam dan kaum muslimin. Baik yang terjadi di Palestina atau di tempat-tempat lainnya. Dan pada

hakikatnya aksi-aksi semacam ini merupakan bentuk peremehan terhadap darah kaum muslimin.

[2] Aksi-aksi semacam ini bahkan menjadi jalan yang akan mewujudkan tujuan-tujuan jahat dari musuh Islam secara tidak langsung. Karena

dengan adanya tindakan semacam itu akan membuka celah bagi mereka untuk merealisasikan tujuan mereka dengan mudah. Dan di saat yang sama kaum muslimin tidak mampu untuk membela dirinya.

Demikian ringkasan faidah dari penjelasan Syaikh Dr. Abdussalam as-Suhaimihafizhahullahdalam kitabnyaal-Jihad fil Islam(hlm. 116)

Jihad Tanpa Ijin

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahpernah ditanya :

Apa hukum berangkat jihad tanpa ijin pemerintah? Sementara dosa mujahid akan diampuni semenjak tetesan pertama darahnya, dan apakah dia bisa dikatakan mati syahid dalam kondisi semacam itu?

Beliau menjawab :

Tidaklah orang itu disebut mujahid apabila dia durhaka kepada pemerintah dan durhaka kepada kedua orang tuanya sehingga dia memaksa untuk pergi. Maka dia bukanlah termasuk mujahid, bahkan termasuk pelaku maksiat.

Sumber:al-Ijabat al-Muhimmah fil Masyakil al-Mulimmah, Juz 1 hlm. 52

Menyikapi Ketergelinciran Ulama

oleh : Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullah

Suatu saat Syaikh ditanya :

Apakah hukum syari'at bagi ketergelinciran seorang ulama; apakah dia mendapatkan hukuman atas hal itu ataukah kesalahan itu terkubur oleh lautan kebaikan-kebaikannya?

Beliau menjawab :

(8)

Seorang ulama apabila terjatuh dalam kesalahan tanpa sengaja berbuat kekeliruan namun

semata-mata demi mencari kebenaran; hanya saja ketika itu dia terjatuh dalam kekeliruan maka orang semacam itu mendapatkan pahala. Dan tidak boleh merendahkan dirinya dengan sebab itu, atau menganggap hal itu sebagai aib/cacat baginya.

Bahkan apa yang dilakukan olehnya adalah suatu hal yang terpuji. Sebab mencari kebenaran serta berusaha sekuat tenaga untuk menemukannya yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas/kemampuan ilmiah maka hal ini adalah perkara yang terpuji, walaupun dia kemudian jatuh dalam kesalahan [tanpa sengaja].

Meskipun begitu, dia tidak boleh terus-menerus bersikukuh di atas kekeliruannya apabila telah jelas baginya kekeliruan itu. Sehingga apabila telah jelas baginya letak kebenaran maka wajib atasnya untuk rujuk kepadanya.

Sumber:al-Farqu Baina an-Nashihah wa at-Tajrih, hlm. 34

Merayakan Ulang Tahun

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

rahimahullahpernah ditanya :

Apa hukum mengadakan hari perayaan ulang tahun kelahiran untuk anak atau yang berkaitan dengan pernikahan (ulang tahun pernikahan)?

Beliau menjawab :

Tidak ada di dalam Islam perayaan kecuali hari Jum'at sebagai hari raya pekanan, hari pertama dari bulan Syawwal yaitu Idul Fitri (kembali berbuka) setelah Ramadhan, tanggal 10 bulan Dzulhijjah atau Idul Ad-ha. Dan hari Arafah pun bisa disebut sebagai hari raya bagi jama'ah haji di Arafah. Hari-hari Tasyriq juga disebut sebagai hari raya karena mengikuti hari raya Idul Ad-ha.

Adapun perayaan ulang tahun seseorang atau anak-anaknya atau yang berkaitan dengan hari

pernikahannya dan yang semacam itu maka itu semuanya tidak disyari'atkan. Perayaan semacam itu lebih dekat kepada bid'ah daripada perkara yang mubah.

Sumber:Fatawa Arkanil Islam, hlm. 176

Mengenal Wali Allah

Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya :

Sebagian orang disebut-sebut sebagai wali Allah. Apakah sifat-sifat mereka yang hakiki? Bagaimana mereka bisa mencapai derajat ini. Apakah mereka hanya hidup pada masa tertentu, ataukah mereka bisa ada di sepanjang masa?

Beliau menjawab :

Sifat wali-wali Allah itu sebagaimana telah ditentukan oleh Allahta'aladengan firman-Nya (yang artinya),“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para wali Allah itu tidak perlu merasa takut dan bersedih, yaitu orang-orang yang bertakwa dan senantiasa bertakwa.”(Yunus : 62-63)

Jadi, para wali Allah itu adalah orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Inilah sifat mereka. Maka barangsiapa yang memiliki sifat iman dan takwa, sesungguhnya dia termasuk wali-wali Allah'azza wa jalla. Dan hal ini bisa dicapai oleh setiap muslim sesuai dengan kadar imannya, di sepanjang waktu dan di mana saja.

Wallahu a'lam.

(9)

Penarikan Kesimpulan Yang Mengagumkan

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahdalam sebuah video ceramahnya yang membahas urgensi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahullahmemberikan sebuah contoh pelajaran dakwah yang sangat agung.

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa di dalam Kitab Tauhid-nya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahullahmembawakan sebuah bab khusus yang membahas tentang keutamaan dakwah tauhid. Salah satu keutamaan dakwah tauhid itu adalah bahwa ia merupakan jalan hidup Nabishallallahu 'alaihi wa sallamdan para

sahabatnya. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya),“Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata. Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku...”

(Yusuf : 108)

Dari ayat tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahullahmenarik sebuah

kesimpulan berharga, bahwasanya seorang yang berdakwah hendaklah ikhlas di dalam dakwahnya; karena banyak orang yang berdakwah sebenarnya mengajak manusia kepada dirinya sendiri, bukan kepada agama Allah. Ini adalah sebuah pelajaran tauhid yang sangat berharga untuk kita...

Dakwah tauhid adalah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan

meninggalkan sesembahan selain-Nya. Tentu ibadah yang agung ini yaitu dakwah tidak akan diterima oleh Allah apabila pelakunya tidak ikhlas karena-Nya. Allah berfirman dalam hadits qudsi,

“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku, Aku akan tinggalkan dia bersama syiriknya itu.”(HR. Muslim)

Bagaimana bisa seorang yang mengajak kepada tauhid dan keikhlasan justru menjadi orang yang mencampuri niatnya dalam beramal dan

berdakwah demi mencari

kepentingan-kepentingan duniawi yang semu dan sementara?! Ikhlas dalam berdakwah adalah perkara yang membutuhkan latihan dan

perjuangan. Sebab hawa nafsu manusia

cenderung cinta kepada sanjungan, haus pujian, dan lapar terhadap popularitas. Berbeda dengan tabiat orang yang ikhlas yang selalu berusaha untuk menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebisa mungkin.

Lihatlah apa yang dilakukan para ulama hadits kita terdahulu dan yang sekarang... Mereka adalah orang-orang yang berjasa besar kepada umat manusia. Seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama salaf,“Para malaikat adalah penjaga langit, sedangkan ahli hadits adalah penjaga bumi.”Para ulama hadits mengisi hembusan nafasnya dengan kalimat-kalimat dan petunjuk Nabishallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka nukilkan kepada generasi sesudahnya hadits-hadits tanpa

memelintir makna dan maksudnya menurut hawa nafsu mereka. Oleh sebab itu karya para ulama hadits penuh dengan berkah di sepanjang masa. Bukan karena mereka menjunjung tinggi akal, perasaan dan pendapat-pendapatnya; akan tetapi karena mereka meriwayatkan sabda-sabda Nabi

shallallahu 'alaihi wa sallamkepada umatnya. Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Imam Nawawi dengan Hadits Arba'in-nya, dengan Riyadhush Shalihin-nya, dan para ulama-ulama sebelum beliau seperti Imam Bukhari dengan kitab Sahih-nya dan Imam Muslim dengan Sahih-nya pula...

Lihatlah pula apa yang dilakukan oleh para ulama hadits ketika menyampaikan hadits dalam

majelis-majelis mereka. Sebagian mereka

mengatakan, bahwa terkadang sebuah hadits itu membutuhkan berkali-kali pelurusan niat. Sebab terkadang niat itu berubah-ubah. Bahkan mereka dengan rendah hati menuturkan,“Dahulu kami menimba ilmu bukan murni karena Allah. Akan tetapi ilmu enggan kecuali menyeret kami agar selalu ikhlas karena Allah.”

(10)

Mengakui Kebodohan

Ibnul Qayyimrahimahullahmenuturkan :

Beruntunglah orang yang bersikap inshof/objektif kepada Rabbnya. Sehingga dia mengakui

kebodohan yang meliputi ilmu yang dia miliki. Dia pun mengakui berbagai penyakit yang berjangkit di dalam amal perbuatannya. Dia juga mengakui akan begitu banyak aib pada dirinya sendiri. Dia juga mengakui bahwa dirinya banyak berbuat teledor dalam menunaikan hak Allah. Dia pun mengakui betapa banyak kezaliman yang dia lakukan dalam bermuamalah kepada-Nya.

Apabila Allah memberikan hukuman kepadanya karena dosa-dosanya maka dia melihat hal itu sebagai bukti keadilan-Nya. Namun apabila Allah tidak menjatuhkan hukuman kepadanya dia melihat bahwa hal itu murni karena

keutamaan/karunia Allah kepadanya. Apabila dia berbuat kebaikan, dia melihat bahwa kebaikan itu merupakan anugerah dan sedekah/kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Apabila Allah menerima amalnya, maka hal itu adalah sedekah kedua baginya. Namun apabila ternyata Allah menolak amalnya itu, maka dia sadar bahwa sesungguhnya amal semacam itu memang tidak pantas dipersembahkan

kepada-Nya.

Dan apabila dia melakukan suatu keburukan, dia melihat bahwa sebenarnya hal itu terjadi

disebabkan Allah membiarkan dia dan tidak memberikan taufik kepadanya. Allah menahan penjagaan dirinya. Dan itu semuanya merupakan bentuk keadilan Allah kepada dirinya. Sehingga dia melihat bahwa itu semuanya membuatnya semakin merasa fakir/butuh kepada Rabbnya dan betapa zalimnya dirinya. Apabila Allah

mengampuni kesalahan-kesalahannya hal itu semata-mata karena kebaikan, kemurahan, dan kedermawanan Allah kepadanya.

Intisari dan rahasia dari perkara ini adalah dia tidak memandang Rabbnya kecuali selalu

melakukan kebaikan sementara dia tidak melihat dirinya sendiri melainkan orang yang penuh

dengan keburukan, sering bertindak berlebihan, atau bermalas-malasan. Dengan begitu dia

melihat bahwasanya segala hal yang membuatnya gembira bersumber dari karunia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan yang dicurahkan Allah kepadanya. Adapun segala sesuatu yang

membuatnya sedih bersumber dari dosa-dosanya sendiri dan bentuk keadilan Allah kepadanya.

[lihatal-Fawa'id, hlm. 36]

Keterangan :

Di dalam kalimat-kalimat di atas, Ibnul Qayyim

rahimahullahingin menjelaskan kepada kita bagaimanakah sikap yang benar dalam mengabdi kepada Allah. Seorang hamba siapa pun dia tidak bisa mengelak bahwa dirinya sangat butuh kepada Allah. Setiap insan adalah ciptaan Allah. Sebelumnya dia tidak ada kemudian Allah menciptakan dirinya sehingga ada. Dengan demikian setiap hamba harus menghadirkan di dalam hatinya perasaan butuh sepenuhnya kepada Allah. Seperti yang kita ucapkan di dalam sayyidul istighfar,'...Khalaqtani wa ana 'abduka...'

artinya,“Engkau lah yang telah menciptakan aku sedangkan aku ini adalah hamba-Mu.”

Kesadaran penuh bahwa kita adalah hamba ciptaan Allah. Kita wajib bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Kita wajib mengakui segala macam bentuk nikmat yang Allah curahkan kepada kita bahwa itu memang datang dari-Nya. Seorang hamba tidak bisa lepas dari bantuan Allah sekecil apapun kebaikan yang ingin dia kerjakan dan sekecil apapun bahaya yang ingin dia hindari. Dengan keyakinan semacam itulah dia akan ingat bahwa kebaikan-kebaikan yang bisa dia lakukan selama ini benar-benar merupakan anugerah Allah kepadanya, bukan semata-mata hasil kerja keras dan jerih payahnya. Oleh sebab itu sebagian ulama ketika ditanya apa rahasia sehingga dia bisa begitu bersemangat dan mengumpulkan ilmu yang begitu banyak, mereka menjawab,“Aku tidak tahu, sesungguhnya hal itu hanyalah taufik...”

(11)

keberhasilan oleh manusia- akan tetapi tidak banyak orang yang ketika berhasil bisa

menyandarkan keberhasilannya itu kepada Allah. Banyak orang merasa hebat dan tangguh dengan segala pengorbanan dan kebaikan yang telah dilakukannya. Perasaan ini pada akhirnya membuatnya lupa bahwa hal itu merupakan akibat pertolongan Allah kepadanya. Oleh sebab itu sebagian ulama terdahulu mengatakan,

“Dahulu kami diuji dengan musibah, maka kami bisa bersabar. Akan tetapi ketika kami diuji dengan nikmat-nikmat kami justru gagal.”

Ketika musibah melanda banyak orang kembali ingat kepada Allah dan betapa besar kebutuhan mereka kepada-Nya. Sementara dalam kondisi senang dan berlimpah nikmat, banyak orang justru hanyut dalam kegembiraan dan lalai dari mensyukuri nikmat-Nya.

Kelalaian inilah yang pada akhirnya akan menyeret mereka dalam berbagai bentuk sikap kufur nikmat kepada-Nya. Dia pun menyandarkan nikmat itu kepada selain Allah. Seperti yang dialami oleh Qarun ketika dia menyombongkan diri seraya mengatakan,“Sesungguhnya aku diberikan ini semuanya karena ilmu yang aku miliki.”

Di sisi lain, seorang hamba harus selalu menyadari akan dosa-dosa dan kesalahan yang dia kerjakan. Dengan mengingat hal itu niscaya akan semakin besar perasaan butuhnya kepada Allah. Karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Dia. Sebaik apapun amal yang dia lakukan maka dia sadar bahwa hak-hak Allah sangatlah agung dan terlalu sempurna untuk bisa dia tunaikan

hak-hak-Nya itu dengan baik. Seburuk apapun dosa dan maksiat yang telah dia lakukan maka dia akan tetap melihat bahwa Allah senantiasa

membuka pintu taubat untuk hamba-Nya. Dia pun sadar bahwa apabila dia tidak bertaubat

kepada-Nya nasibnya berada di dalam bahaya.

Dia sadar bahwa apabila Allah menerima amalnya itu pun karena kemurahan Allah kepada dirinya. Dan apabila Allah tidak menerimanya maka hal itu semata-mata karena kekurangan dan kesalahan yang dia lakukan. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah menyaksikan curahan nikmat

Allah dan selalu memperhatikan aib diri dan amalan kita. Dengan melihat curahan nikmat akan tumbuh kecintaan kepada Allah. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal kita niscaya akan membuahkan perendahan diri dan pengagungan kepada-Nya. Dengan cinta dan pengagungan itulah kita akan bisa beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Karena ibadah kepada Allah adalah ketundukan kepada-Nya yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada-Nya.

Bukanlah hamba Allah apabila dia

menyombongkan dirinya. Bukan hamba Allah apabila dia merasa hebat dan sombong di hadapan-Nya. Bukanlah hamba Allah orang yang melakukan ketaatan tanpa rasa kecintaan

kepada-Nya. Hamba Allah yang sejati adalah yang tulus beribadah kepada-Nya dengan penuh perendahan diri dan kecintaan kepada-Nya. Sampai pun apabila Allah tidak menerima amalnya dia memandang bahwa dirinya layak untuk

mendapatkan perlakuan itu. Bahkan ketika Allah timpakan musibah kepadanya hal itu pun merupakan bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya; agar mereka bertaubat kepada-Nya atau semakin bersyukur akan nikmat-Nya.

Oleh sebab itu orang yang bisa merasakan lezatnya iman adalah mereka yang ridha Allah sebagai rabb. Artinya dia merasa puas bahwa Allah semata sesembahannya, Allah semata yang mengatur kehidupannya, dan Allah pula yang menetapkan takdir musibah kepadanya. Dia yakin bahwa Allah Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Tidak ada perbuatan Allah yang sia-sia. Apabila Allah berikan musibah artinya Allah menguji

(12)

Pemberontakan Bukan Solusi

Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi berkata : Kami -ahlus sunnah- tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan penguasa/pemerintah yang mengatur

urusan-urusan kami. Meskipun mereka bertindak aniaya. Kami tidak mendoakan keburukan

terhadap mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka. Kami memandang bahwa ketaatan kepada mereka adalah bagian dari ketaatan kepada Allah'azza wa jallayang wajib hukumnya. Selama mereka tidak

memerintahkan untuk bermaksiat. Kami mendoakan agar mereka selalu diberikan kebaikan dan keselamatan. (lihatSyarh ath-Thahawiyah, hlm. 379)

Mengapa kita harus patuh kepada penguasa muslim walaupun mereka bertindak aniaya dan merampas hak-hak rakyatnya? Mungkin inilah pertanyaan yang sering terlontar diantara kita.

Imam Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi menjelaskan : Adapun kewajiban untuk tetap taat kepada mereka walaupun mereka bertindak aniaya, hal itu disebabkan resiko yang harus diambil akibat memberontak kepada mereka adalah terjadinya berbagai kerusakan/kekacauan yang jauh lebih besar daripada kezaliman yang mereka perbuat sebelumnya. Akan tetapi justru dengan bersabar menghadapi kezaliman mereka menjadi sebab terampuninya dosa-dosa dan dilipatgandakannya pahala. Karena sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan mereka menindas diri-diri kita kecuali disebabkan rusaknya amal-amal kita. Balasan itu diberikan sejenis dengan amal yang dikerjakan. Oleh sebab itu, wajib atas kita untuk

bersungguh-sungguh dalam

beristighfar/memohon ampunan kepada Allah, berdoa, dan memperbaiki amalan. (lihatSyarh ath-Thahawiyah, hlm. 381)

Oleh sebab itu Imam Ibnu Abil 'Izz berpesan setelah membawakan ayat Allah (yang artinya),

“Demikianlah akan Kami jadikan berkuasa sebagian orang yang zalim itu kepada sebagian yang lain disebabkan apa-apa yang mereka kerjakan.”(al-An'am : 129). Beliau berkata : Maka

apabila rakyat menghendaki untuk terbebas dari kezaliman penguasa/pemerintah yang zalim hendaklah mereka meninggalkan kezaliman. (lihat

Syarh ath-Thahawiyah, hlm. 381)

Syaikh al-Albani mengomentari nasihat Imam Ibnu Abil 'Izz di atas. Beliau mengatakan : Di dalam keterangan ini terkandung penjelasan bahwa jalan keluar/solusi dari kezaliman para penguasa -yang mereka itu berasal dari bangsa kita sendiri dan berbicara dengan bahasa kita- (sebagaimana yang dimaksud dalam suatu hadits, pent) adalah

dengan cara kaum muslimin bertaubat kepada Rabb mereka, meluruskan akidah mereka,

mendidik diri mereka dan keluarga mereka di atas ajaran Islam yang benar sebagai perwujudan dari firman Allahta'ala(yang artinya),“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib/keadaan suatu kaum sehingga mereka yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.”(ar-Ra'd : 11). Itulah yang diisyaratkan oleh salah seorang da'i masa kini dengan ucapannya,“Tegakkanlah daulah islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di bumi kalian.”(lihatMasa'il 'Ilmiyah Fi Da'wah wa Siyasah Syar'iyah, hlm. 21)

Syaikh al-Albani melanjutkan keterangannya : Sehingga bukanlah jalan keluar bagi masalah ini sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang -yaitu melakukan revolusi bersenjata melawan penguasa melalui aksi kudeta

militer-sesungguhnya cara semacam itu selain termasuk bid'ah kontemporer maka perbuatan ini juga menyelisihi maksud dalil-dalil syari'at yang memerintahkan untuk mengubah apa-apa yang ada pada diri kita (lihat jugaar-Riyadh an-Nadiyah, hlm. 136)

(13)

Pengaruh Aqidah terhadap Manhaj Dakwah

Bismillah.

Satu hal yang diyakini oleh kaum muslimin, bahwa amalan hati memiliki pengaruh kuat terhadap amalan lahiriah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nu'man bin Basyirradhiyallahu'anhuma

yang menjelaskan pentingnya hati bagi amalan, dimana Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam

bersabda,“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah jantung.”(HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini para ulama memetik sebuah faidah bahwasanya kerusakan lahiriah merupakan dalil/tanda terhadap rusaknya batin (lihatFat-hul Qawil Matinoleh Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad

hafizhahullah, hlm. 44)

Oleh sebab itu apabila kita lihat dalam sejarah umat Islam, penyimpangan kaum Khawarij bermula dari keyakinan seorang yang mencela Nabishallallahu 'alaihi wa sallam, tatkala dia berkata kepada beliau,“Bertakwalah, wahai Muhammad.”(HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa lelaki itu bernama Dzul Khuwaishirah, dia berkata,“Wahai Rasulullah, berbuat adillah!”(HR. Bukhari dan Muslim).

Dan lihatlah apa dampak keyakinan ini -yang menganggap Rasulshallallahu 'alaihi wa sallam

tidak berlaku adil- terhadap perbuatan mereka dan terhadap umat. Disebutkan dalam hadits Nabi

shallallahu 'alaihi wa sallambahwa mereka [Khawarij] itu,“...membunuhi umat Islam dan membiarkan bebas para pemuja berhala...”(HR. Bukhari dan Muslim)

Karena itulah kita dapati para ulama salaf sangat besar perhatiannya dalam masalah aqidah dan amalan-amalan hati. Dan dalam hal ini mereka telah meniti jalan dakwah para nabi dan rasul

'alaihimus salamyang senantiasa menanamkan tauhid kepada umatnya. Di mana setiap rasul berkata kepada kaumnya (yang artinya),“Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan -yang benar- selain Dia.”(al-A'raaf :

59). Demikian pula yang dilakukan oleh Nabi

shallallahu 'alaihi wa sallamselama berdakwah di Mekah dan di Madinah.

Oleh sebab itu suatu hal yang membuat hati pilu ketika ada sebagian orang yang mengatakan

'Mengapa kita begitu besar memperhatikan masalah tauhid? Tidakkah sebaiknya kita memperhatikan persoalan-persoalan kaum

muslimin dan masalah yang menghimpit mereka?'

atau seruan lain yang serupa. Orang yang

mengucapkan kalimat semacam itu mungkin lupa atau pura-pura lupa terhadap ucapan imamnya ahli tauhid; yaitu Ibrahim'alaihis salamketika beliau berdoa kepada Rabbnya (yang artinya),

“Dan jauhkanlah aku beserta anak keturunanku dari menyembah berhala.”(Ibrahim : 35). Kalau Ibrahim'alaihis salamsaja sedemikian besar merasa takut dari syirik padahal beliau lah orang yang menghancurkan berhala kaumnya maka bagaimanakah lagi dengan orang lain yang berada di bawah kedudukannya?! (lihatUshul ad-Da'wah as-Salafiyaholeh Syaikh Abdussalam Barjasrahimahullah, hlm. 44-45)

Salah satu pokok aqidah yang dilalaikan oleh banyak orang di masa kini adalah tidak bolehnya memberontak kepada pemerintah muslim yang sah ketika mereka melakukan penyimpangan yang tidak mencapai derajat kekafiran (akbar). Rasul

(14)

Diantara sekian banyak pokok aqidah, ada tiga hal pokok yang menjadi pilar manhaj salaf yaitu; memurnikan ibadah kepada Allah, berpegang teguh dengan al-Jama'ah serta mendengar dan taat kepada pemerintah muslim yang sah, dan berhati-hati dan waspada dari bid'ah dan pembela bid'ah (lihatal-Manhaj as-Salafi, Ta'rifuhu wa Simaatuhu wa Da'watuhu al-Ishlahiyyaholeh Syaikh Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul

hafizhahullah, hlm. 7-8)

Dalil tentang wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa ini adalah sebuah hadits yang terkenal dari Irbadh bin Sariyahradhiyallahu'anhu, dimana Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam

bersabda,“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyi...”(HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi berkata; hadits hasan sahih)

Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbadhafizhahullah

menjelaskan salah satu faidah hadits ini,“Salah satu wasiat yang paling penting untuk diberikan adalah kewajiban mendengar dan taat kepada ulil amri/pemerintah muslim; karena di dalamnya terkandung berbagai bentuk manfaat duniawi maupun ukhrawi bagi kaum muslimin.”(lihat

Fat-hul Qawil Matin, hlm. 100)

Dalam hadits lain, Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallamtelah menegaskan,“Wajib mendengar dan taat selama dia tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Ketika dia diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lainnya, Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallambersabda,“...Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu dia melihatnya melakukan suatu bentuk kemaksiatan kepada Allah maka hendaklah dia membenci perbuatan kemaksiatan kepada Allah itu tetapi janganlah sekali-kali dia mencabut ketaatan darinya.”(HR. Muslim)

Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallambersabda,

“Barangsiapa melihat pada pemimpinnya sesuatu yang tidak dia sukai hendaklah dia bersabar menghadapinya. Karena sesungguhnya

barangsiapa yang memisahkan diri dari jama'ah (kaum muslimin) satu jengkal saja niscaya dia mati dalam keadaan seperti bangkai jahiliyah.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Hasan al-Bashrirahimahullahberkata,“Demi Allah, tidak akan lurus perkara agama ini kecuali dengan adanya para penguasa (ulil amri), meskipun mereka berbuat aniaya dan zalim. Demi Allah, apa-apa yang Allah perbaiki dengan keberadaan mereka itu jauh lebih banyak daripada kerusakan yang mereka perbuat.”(lihatal-Manhaj as-Salafi,

Ta'rifuhu wa Simaatuhuhlm. 21)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah

menegaskan,“Bersabar dalam menghadapi kezaliman para penguasa merupakan salah satu pokok diantara pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama'ah.”(lihat dalamal-Manhaj as-Salafi,

Ta'rifuhu wa Simaatuhuhlm. 22)

Oleh sebab itu salah satu manhaj/metode Ahlus Sunnah dalam hal ini adalah mereka tidak menempuh cara-cara yang menyebabkan perpecahan umat atau menanamkan kebencian dalam hati rakyat kepada penguasa mereka. Oleh sebab itu Ahlus Sunnah tidak menyebut-nyebut keburukan pemerintah di atas mimbar-mimbar, dalam ceramah-ceramah atau

pertemuan-pertemuan. Bukanlah termasuk manhaj salaf mengobral aib-aib penguasa melalui mimbar-mimbar -atau yang sekarang marak dalam bentuk demonstrasi, pen- karena cara-cara semacam ini justru akan mengantarkan kepada kekacauan serta tidak adanya sikap mendengar dan taat pada perkara yang ma'ruf (lihat

al-Manhaj as-Salafi,Ta'rifuhu wa Simaatuhuhlm. 26)

Cara yang benar adalah memberikan nasihat kepada pemerintah secara rahasia atau

(15)

membicarakan aib penguasa di atas mimbar atau pengajian-pengajian -apalagi yang mereka sebut dengan istilah unjuk rasa atau aksi damai dsb. Pen- ini bukanlah nasihat, tetapi ini adalah mengumbar aib sesama. Dan hal ini akan

menyuburkan fitnah serta menyulut permusuhan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hal ini justru akan melahirkan banyak bahaya dan kerusakan seperti tekanan dan penindasan kepada para ulama dan da'i disebabkan aksi-aksi semacam ini (lihat nasihat Syaikh Shalih al-Fauzan

hafizhahullahdalam catatan kakial-Manhaj as-Salafi, hlm. 26-27)

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahberkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga terjadi dalam bentuk ucapan.” (lihat dalamDa'aa'im Minhaj Nubuwwah, hlm. 272 karya Syaikh Muhammad Raslan)

Syaikh Abdul 'Aziz bin Bazrahimahullah

menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan aib-aib pemerintah dan

menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma'ruf, dan menjerumuskan kepada pembicaraan yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung antara dirinya dengan penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya, sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (lihatDa'aa'im Minhaj Nubuwwah, hlm. 271)

Ibnu Abbasradhiyallahu'anhumaditanya tentang cara beramar ma'ruf dan nahi mungkar kepada penguasa, beliau menjawab, “Apabila kamu memang mampu melakukannya, cukup antara kamu dan dia saja.” (lihatJami' al-'Ulum wa al-Hikam, hlm. 105 oleh Ibnu Rajab)

Syaikh Abdul Aziz bin Bazrahimahullah

berpandangan bahwasanya berbagai aksi demonstrasi bukanlah solusi. Hal itu justru menjadi sebab fitnah-fitnah dan salah satu

sumber keburukan-keburukan, dan menjadi sebab pelanggaran hak kepada orang lain serta

terjadinya kezaliman terhadap sebagian manusia (lihatal-Muzhaharat, hlm. 77)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

rahimahullahpun menegaskan bahwa

demonstrasi adalah keburukan karena ia akan mengantarkan kepada kekacauan baik bagi orang-orang yang ikut berunjuk rasa maupun bagi pihak yang lainnya, bahkan terkadang timbul karenanya pelanggaran hak baik dalam hal kehormatan, harta, atau fisik. Karena orang-orang yang larut dalam demo ini seolah menjadi

orang-orang yang mabuk. Oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa semua demonstrasi itu buruk; sama saja apakah ia diizinkan pemerintah ataupun tidak, yang jelas demonstrasi ini bukan jalannya para ulama salaf (lihatal-Muzhaharat, hlm. 97-98)

Cukuplah kiranya bagi kita hadits-hadits dan nasihat para ulama di atas untuk memberikan jalan dalam memperbaiki keadaan umat ini dan mengatasi masalah-masalah yang sedang bergejolak di tengah masyarakat negeri ini. Sebagaimana ucapan Imam Malikrahimahullah

(16)

Mengenal Tawadhu'

al-Hasan berkata, “Tahukah kalian apa itu

tawadhu'? Tawadhu' itu adalah ketika kamu keluar dari rumahmu, maka tidaklah kamu bertemu seorang muslim melainkan kamu melihat dirinya memiliki suatu kelebihan di atas dirimu.” (lihat

Aina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/119)

Abdullah bin al-Mubarok pernah ditanya mengenai ujub. Maka beliau menjawab, “Yaitu ketika kamu melihat pada dirimu ada sesuatu -keutamaan- yang tidak ada pada selainmu.” (lihat

Aina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/119).

Fudhail berkata, “Barangsiapa yang

mencintai/ambisi kepemimpinan maka dia tidak akan beruntung selamanya.” (lihatAina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/125)

Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Apabila disebutkan mengenai orang-orang salih maka aku merasa diriku bukan termasuk golongan mereka.” (lihat

Aina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/126)

Imam Syafi'i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah yang tidak melihat kedudukannya. Dan orang yang paling banyak keutamaannya adalah yang tidak melihat

keutamaannya.” (lihatAina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/126). Ibnul Mubarok berkata, “Apabila seorang telah mengenali kadar dirinya sendiri maka jadilah dirinya itu jauh lebih hina daripada anjing.” (lihat

Aina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/128)

Sufyan berkata, “Apabila kamu telah mengenali jati dirimu maka tidaklah membahayakanmu apa yang diucapkan orang-orang.” (lihatAina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/128).

Qatadah berkata, “Barangsiapa yang diberikan harta, keelokan rupa, pakaian, atau ilmu kemudian dia tidak tawadhu' di dalamnya maka itu akan berubah menjadi bencana baginya kelak pada hari kiamat.” (lihatAina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/129)

Bakr bin Abdullah al-Muzani berkata, “Apabila kamu melihat seorang yang lebih tua darimu maka katakanlah -di dalam hatimu- bahwa orang

ini telah mendahuluiku dalam hal iman dan amal salih. Maka dia lebih baik dariku. Apabila kamu melihat orang yang lebih muda darimu maka katakanlah bahwa aku telah mendahuluinya dalam hal berbuat dosa dan maksiat. Maka dia lebih baik dariku. Apabila kamu melihat saudara-saudaramu memuliakanmu dan mengagungkanmu maka katakanlah bahwa ini adalah sebuah keutamaan yang mereka kerjakan. Apabila kamu melihat pada diri mereka ada suatu kekurangan/sikap kurang sopan maka katakanlah bahwa ini adalah akibat dosa yang aku kerjakan.” (lihatAina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/129-130)

Yahya bin Ma'in berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang seperti Ahmad bin Hanbal. Kami berteman dengannya selama lima puluh tahun dan beliau tidak pernah membangga-banggakan kesalihan dan kebaikan yang ada pada dirinya.” (lihatAina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/137)

Abu Sulaiman berkata, “Seorang hamba tidak akan bisa menjadi tawadhu' kecuali setelah mengenali jati dirinya sendiri.” (lihatAina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/141). Wahb bin Munabbih berkata, “Tanda orang munafik itu adalah membenci celaan/kritikan dan menggandrungi pujian.” (lihat

Aina Nahnu min Haa'ulaa'i, 5/141)

(17)

Sebuah Pelajaran Bagi Penimba Ilmu

Syaikh Sulaiman ar-Ruhailihafizhahullahberkata :

Diantara fikih/kedalaman ilmu salafus shalih -semoga Allah meridhai mereka- ialah perkataan mereka, “Sesungguhnya kami tidak banyak berbicara di sisi para pembesar/senior kami.” (diriwayatkan oleh Khathib al-Baghdadi dalam

al-Jami' li Akhlaqir Rawino. 706)

Adalah para salafus shalih -semoga Allah meridhai mereka- menyerahkan apa-apa yang menjadi hak orang-orang yang lebih senior kepada

orang-orang yang lebih senior. Sehingga setiap orang diantara mereka akan menyibukkan dirinya dengan apa-apa yang semestinya dia kerjakan.

Adapun sebagian penimba ilmu di masa sekarang ini, kamu dapati mereka itu berbicara dan

membahas perkara apa saja. Mereka masuk dan nimbrung dalam masalah apa pun. Walaupun hal itu bukanlah dalam kapasitas dan wewenang mereka. Akhirnya mereka tidak bisa mengambil faidah apa-apa dan tidak juga memberikan faidah sedikit pun.

Mereka hanya menyia-nyiakan waktunya. Sehingga mereka terjerumus dalam kekeliruan dan ketergelinciran. Sudah semestinya seorang penimba ilmu menyadari kadar dan kapasitas dirinya sendiri. Dia berhenti dimana seharusnya dia berhenti. Tidak usah dia melebihi batas itu. Janganlah dia menjadi orang yang terburu-buru bersikap dan berkomentar terhadap segala kejadian.

Apabila dia mendengar suara dari arah kanan maka dia pun segera berjalan menuju ke sana. Dan apabila dia mendengar suara dari sebelah kiri maka dia pun segara berjalan menuju ke sana. Hal semacam ini tidak layak bagi seorang penimba ilmu.

Sesungguhnya yang pantas bagi penimba ilmu adalah menyibukkan diri untuk menimba ilmu dan menyerahkan segala urusan kepada ahlinya. Hendaknya dia menyadari dan menghargai

kedudukan para ulama, dan hendaklah dia mengerti kadar dan kapasitas dirinya sendiri.

(lihatal-'Ilmu Wasaa'iluhu wa Tsimaaruhu, hlm. 37-38)

Keterangan :

Ini adalah nasihat yang sangat berharga bagi seorang penimba ilmu dan kaum muslimin secara umum. Yaitu hendaklah mereka menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat dan menjadi tugas mereka masing-masing. Tidak sepantasnya seorang muslim apalagi penimba ilmu kemudian sibuk mengomentari dan memperbincangkan hal-hal yang di luar kapasitasnya.

Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallambersabda,

“Salah satu kebaikan Islam seorang adalah dengan meninggalkan apa-apa yang tidak penting dan bermanfaat baginya.”(HR. Tirmidzi, hasan)

Dalam hadits lainnya, Nabishallallahu 'alaihi wa sallamjuga mengarahkan kepada kita semua,

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Allah berfirman (yang artinya),“Wahai

orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu.”

(at-Tahrim : 6)

Allah berfirman (yang artinya),“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.”

(al-'Ashr : 1-3)

Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallambersabda,

“Dua buah nikmat yang kebanyakan manusia merugi dan tertipu oleh keduanya; yaitu kesehatan dan waktu luang.”(HR. Bukhari)

(18)

seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang masih beriman tetapi di sore hari berubah menjadi kafir. Atau pada sore hari masih beriman kemudian pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.”(HR. Muslim)

Tidaklah diragukan bahwa amar ma'ruf dan nahi mungkar adalah salah satu tugas dan kewajiban umat Islam. Meskipun demikian perlu diingat juga bahwa hal itu harus dilandasi dengan ilmu dan pemahaman. Bukan hanya bermodal semangat dan perasaan. Allah berfirman (yang artinya),

“Katakanlah -Muhammad-; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku...”(Yusuf : 108)

Para ulama pun telah menjelaskan bahwa ilmu yang dibutuhkan dalam dakwah ini mencakup ilmu tentang syari'at, ilmu tentang tata-cara berdakwah yang benar, dan ilmu mengenai kondisi orang-orang yang didakwahi. Karena berdakwah tanpa ilmu justru akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki keadaan. Ingatlah, bahwa niat baik harus diiringi dengan cara yang baik pula.

Allah berfirman (yang artinya),“Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam

kehidupan dunia sementara mereka mengira telah berbuat yang sebaik-baiknya.”(al-Kahfi : 103-104). Para ulama menjelaskan bahwa diantara yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum Khawarij yang menyangka dirinya menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar namun pada kenyataannya justru merusak agama, merusak dirinya sendiri, dan merusak umat Islam.

Perkara semacam ini banyak kita jumpai pada para pemuda. Apalagi pada masa ini dimana media sosial begitu mewarnai kehidupan mereka. Berita dan informasi dari berbagai penjuru membanjiri kehidupan dalam kondisi mereka tidak sanggup menyaring dan menyikapinya dengan benar. Oleh sebab itu para ulama menyebut media informasi

laksana pedang bermata dua. Apabila dimanfaatkan untuk kebaikan maka dia akan mendatangkan kebaikan yang sangat besar. Namun sebaliknya apabila digunakan untuk keburukan maka akan membinasakan manusia itu sendiri.

Oleh sebab itu pada kesempatan yang sangat berharga ini, kami hanya ingin mewasiatkan kepada diri kami dan juga segenap kaum muslimin; marilah kita berusaha untuk menebarkan kebaikan demi kebaikan untuk menyelamatkan diri kita kelak di akhirat.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits mengenai tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, diantaranya adalah,“Seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan beribadah kepada Rabbnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Anda wahai para pemuda, adalah harapan masa depan bangsa dan umat manusia. Inilah saatnya bagi anda untuk menebar benih amal salih agar pada hari esok anda bisa menuai pahala dan balasan kebaikan yang berlipat ganda dari sisi Allah. Pada hari itu tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang-orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.

Orang-Orang Yang Beruntung

Di dalam Hilyatul Auliyaa' disebutkan sebuah perkataan dari Tsabit al-Bunanirahimahullah, beliau mengatakan, “Beruntunglah orang yang mengingat saat datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak ingat kematian melainkan pasti akan terlihat pengaruhnya pada amal-amalnya.” (lihatAina Nahnu min Haa'ulaa'i, 1/23-24)

(19)

Tidak ada yang bisa meraih keberuntungan dan keselamatan selain orang-orang yang beriman dan beramal salih. Allah berfirman (yang artinya),

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.”(al-'Ashr : 1-3)

Iman dan amal salih adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan. Allah berfirman (yang artinya),

“Barangsiapa melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan sementara dia adalah beriman niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan sesuatu yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka kerjakan.”(an-Nahl : 97)

Iman yang bersih dari syirik akan membuahkan ketentraman dan hidayah. Sebagaimana firman Allah (yang artinya),“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan

kezaliman/syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.”(al-An'am : 82)

Ayat yang agung ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang akan mendapatkan rasa aman pada hari kiamat dari segala hal yang buruk dan diberikan petunjuk jalan lurus di dunia adalah orang-orang yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan tidak mengotori tauhidnya dengan segala bentuk syirik (lihatal-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 24)

Oleh sebab itulah Allah perintahkan kita untuk beribadah -dengan ikhlas- kepada-Nya hingga datangnya kematian. Allah berfirman (yang artinya),“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu keyakinan/kematian.”(al-Hijr : 99). Setiap perintah beribadah di dalam al-Qur'an maka maknanya adalah perintah untuk bertauhid, sebagaimana tafsiran dari sahabat Ibnu 'Abbas

radhiyallahu'anhumayang dinukil oleh Imam al-Baghawirahimahullah(lihatMa'alim at-Tanzil, hlm. 20)

Banyaknya harta bukanlah sebab keselamatan jika tidak disertai dengan tauhid dan keimanan. Allah berfirman (yang artinya),“Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.”(asy-Syu'ara' : 88-89). Sa'id bin al-Musayyabrahimahullahmengatakan, “Hati yang selamat adalah hati yang sehat, yaitu hati kaum beriman. Karena hati orang kafir dan munafik sakit.” (lihatMa'alim at-Tanzil, hlm. 942)

Apabila kehidupan dan kematian ini adalah ujian dan tidak ada yang selamat kecuali orang yang beriman dan beramal salih, tentu saja seorang muslim harus merasa khawatir kalau-kalau kehidupannya berakhir dalam keadaan su'ul khotimah. Ingatlah, bahwa amal-amal itu ditentukan pada akhir dan penutupnya nanti; apakah kita mati di atas iman atau tidak. Lalu siapakah yang bisa menjamin dan memastikan bahwa dirinya akan meninggal di atas tauhid dan ketaatan?!

Nasihat Bagi Pendakwah

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahberkata:

… Tidaklah diragukan bahwasanya keikhlasan seorang da’i memiliki pengaruh yang kuat terhadap mad’u/objek dakwah. Apabila seorang da’i itu adalah orang yang ikhlas dalam niatnya. Dia juga menyeru kepada manhaj yang benar. Dia membangun dakwahnya di atas bashirah/hujjah dan ilmu mengenai apa yang dia serukan itu. Maka dakwah semacam inilah yang akan

memberikan pengaruh/bekas kepada para mad’u.

Adapun apabila dia tidak ikhlas dalam dakwahnya, yaitu sebenarya dia hanya mengajak kepada dirinya sendiri, atau mengajak kepada

(20)

Demikian pula, apabila dia termasuk orang yang mengajak manusia kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi dia sendiri tidak mengamalkan apa-apa yang dia dakwahkan. Maka hal ini juga termasuk faktor yang menyebabkan orang-orang lari meninggalkan dirinya. Allah ta’ala maha

mengetahui apa yang ada di dalam hati. Allah juga mengetahui apa pun yang dilakukan seorang insan di tempat mana pun ia berada.

Apabila dia menjadi orang yang berterus-terang menyelisihi dan menentang Allah di saat sedang berada dalam kondisi sendirian/tidak bersama orang lain, lalu apabila dia berhadapan dengan manusia dia mengajak orang kepada kebaikan sementara dia justru bertolak-belakang dengan apa yang dia serukan, maka da’i semacam itu tidak akan memberikan bekas pengaruh apa-apa. Dakwahnya pun tidak akan diterima.

Hal itu karena Allah tidak menjadikan keberkahan di dalam dakwahnya. Cobalah perhatikan para da’i yang ikhlas, buah kebaikan apa saja yang muncul dari dakwah mereka, padahal mereka sendirian sementara mereka memiliki banyak lawan/musuh? Seperti halnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta murid-muridnya. Demikian pula semisal Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama yang lainnya.

Kemudian, lihatlah begitu banyaknya da’i pada hari ini [jaman sekarang] dan begitu banyaknya jama’ah dakwah namun betapa sedikit

pengaruh/bekas yang mereka tinggalkan dan betapa sedikit manfaat yang mereka berikan. Supaya anda sadar bahwa sesungguhnya yang menjadi ibroh/patokan dan penilaian adalah kualitas, bukan sekedar kuantitas.

[lihatal-Ajwibah al-Mufidah 'an As'ilah al-Manahij al-Jadidah, hlm. 42-43]

Pentingnya Ikhlas

Syaikh as-Sa'dirahimahullahmenerangkan, “Barangsiapa mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah serta dalam beramal itu dia mengikuti tuntunan Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam

maka inilah orang yang amalnya diterima. Barangsiapa yang kehilangan dua perkara ini -ikhlas dan mengikuti tuntunan- atau salah satunya maka amalnya tertolak. Sehingga ia termasuk dalam cakupan hukum firman Allah

ta'ala(yang artinya),'Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka perbuat kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.'

(al-Furqan : 23).” (lihatBahjah al-Qulub al-Abrar, hlm. 14 cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah)

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahmenjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar kecuali dengan dua syarat; ikhlas kepada Allah'azza wa jalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasulshallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalamI'anatul Mustafid(Jilid 1, hlm. 60-61)

Beliau juga memaparkan, bahwasanya kedua syarat ini merupakan kandungan dari kedua kalimat syahadat. Syahadat laa ilaha illallah bermakna kita harus mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah. Syahadat Muhammad rasulullah bermakna kita harus mengikuti

tuntunan dan ajaran Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam(lihatI'anatul Mustafid, Jilid 1, hlm. 61)

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahberkata, “Maka bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau sholat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak tanpa disertai keikhlasan.

(21)

Ibnu Taimiyahrahimahullahberkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya),“Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.”(Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah

perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihatMawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 30)

Berpegang Teguh dengan Sunnah

Berpegang teguh dengan Sunnah dan menjauhi bid'ah adalah jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan hakiki. Fudhail bin 'Iyadh

rahimahullahberkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan tidak akan membahayakanmu sedikitnya orang yang menempuhnya. Jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar dengan banyaknya orang yang binasa.” (lihat

Mukhtashar al-I'tisham, hlm. 25)

Suatu ketika Sa'id bin al-Musayyabrahimahullah

melihat ada seorang lelaki melakukan sholat setelah terbitnya fajar lebih dari dua raka'at dan dia memperbanyak padanya ruku' dan sujud. Maka Sa'id pun melarangnya. Orang itu berkata,

“Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengazabku karena melakukan sholat?”. Beliau menjawab,“Tidak, tetapi Allah akan mengazabmu

karena menyimpang dari as-Sunnah/tuntunan.”

(lihat dalamal-Ahadits adh-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah, hlm. 27)

Abul 'Aliyahrahimahullahberkata, “Aku tidak mengetahui manakah diantara kedua macam nikmat ini yang lebih utama; ketika Allah berikan hidayah kepadaku untuk memeluk Islam ataukah ketika Allah menyelamatkan aku dari hawa nafsu/bid'ah-bid'ah ini?” (lihatat-Tahdzib al-Maudhu'i li Hilyat al-Auliyaa', hlm. 601)

Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari'ah, dari az-Zuhrirahimahullah, beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan, “Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”.” (lihatDa'a'im Minhaj an-Nubuwwah, hlm. 340).

Abdullah bin Mas'udradhiyallahu'anhuberkata, “Ikutilah tuntunan, dan jangan membuat

ajaran-ajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Beliauradhiyallahu'anhujuga berkata, “Sesungguhnya kami ini hanyalah meneladani, bukan memulai. Kami sekedar mengikuti, dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami tidak akan tersesat selama kami berpegang teguh dengan atsar/jejak pendahulu yang salih.” (lihatDa'a'im Minhaj Nubuwwah, hlm. 46)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badrhafizhahullahberkata, “Barangsiapa yang mencermati keadaan kaum ahli bid'ah secara umum, niscaya akan dia dapati bahwa sebenarnya sumber kesesatan mereka itu adalah karena tidak berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Hal itu bisa jadi karena mereka bersandar kepada akal dan

pendapat-pendapat, mimpi-mimpi,

hikayat-hikayat/cerita yang tidak jelas, atau perkara lain yang dijadikan oleh kaum ahlul ahwaa' [penyeru bid'ah] sebagai sumber dasar hukum bagi mereka.” (lihatat-Tuhfah as-Saniyyah Syarh al-Manzhumah al-Haa'iyah, hlm. 15)

(22)

'alaihi wa sallam, meneladani mereka dan meninggalkan bid'ah-bid'ah. Kami meyakini bahwa semua bid'ah adalah sesat. Kami

meninggalkan perdebatan. Kami meninggalkan duduk-duduk (belajar) bersama pengekor hawa nafsu. Kami meninggalkan perbantahan,

perdebatan (debat kusir), dan pertengkaran dalam urusan agama.” (lihat'Aqa'id A'immah as-Salaf, hlm. 19)

Abu Ja'far al-Baqirrahimahullahberkata,

“Barangsiapa yang tidak mengetahui keutamaan Abu Bakar dan 'Umarradhiyallahu'anhumamaka sesungguhnya dia telah bodoh terhadap

Sunnah/ajaran Nabi.” (lihatat-Tahdzib al-Maudhu'i li Hilyat al-Auliyaa', hlm. 466)

Imam al-Barbaharirahimahullahberkata, “Apabila kamu melihat seseorang yang mendoakan

keburukan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pengekor hawa nafsu. Dan apabila kamu mendengar seseorang yang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pembela Sunnah, insya Allah.” (lihat dalam mukadimah

Qa'idah Mukhtasharah, hlm. 13 oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr)

asy-Sya'birahimahullahberkata, “Cintailah ahli bait Nabimu, namun janganlah kamu menjadi Rafidhi [Syi'ah]. Beramallah dengan al-Qur'an, namun janganlah kamu menjadi Haruri [Khawarij]. Ketahuilah, bahwa kebaikan apapun yang datang kepadamu adalah anugerah dari Allah. Dan apa pun yang datang kepadamu berupa keburukan adalah akibat perbuatanmu sendiri. Namun, janganlah kamu menjadi Qadari [penolak takdir]. Dan taatilah pemimpin [pemerintah muslim] walaupun dia adalah seorang budak Habasyi.” (lihatAqwal Tabi'in fi Masa'il at-Tauhid wa al-Iman

[1/146])

Pemadam Fitnah

Adalah Thalq bin Habibrahimahullah-salah seorang ulama terdahulu- mengatakan,“Jagalah diri kalian dari fitnah dengan takwa.”Ada yang bertanya kepadanya,“Gambarkan kepada kami takwa itu seperti apa?”maka beliau menjawab,

“Yaitu kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya takut akan azab Allah.”Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abi Dun-ya, dan lain-lain (lihat

Mauqif al-Muslim minal Fitan, oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul

hafizhahullah, hlm. 92)

Salah satu bentuk ketakwaan itu adalah bersabar. Allah berfirman (yang artinya),“...maka

bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.”(Huud : 49). Sabar adalah perkara yang sangat penting, sampai-sampai ada sebuah ucapan yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib

radhiyallahu'anhu, bahwa beliau mengatakan,

“Sabar bagi iman seperti kepala bagi badan. Apabila kepala sudah terputus maka tidak lagi ada nyawa pada jasad...”Sebagian ulama menafsirkan bahwa hakikat sabar itu adalah tegar di atas al-Kitab dan as-Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa sabar juga harus dilandasi dengan ilmu.

Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallambersabda -dalam sebuah hadits yang sangat populer di tengah kita-,“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan ia dalam hal agama.”(HR. Bukhari dan Muslim). Ilmu adalah pondasi bagi amal dan ketaatan. Tanpa ilmu seorang tidak akan bisa beribadah dan beramal dengan benar. Oleh sebab itu sebagian ulama salaf mengatakan,“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu -dalam riwayat lain dikatakan 'beramal tanpa ilmu'- maka

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi ruang kelas yang nyaman akan membantu siswa untuk lebih mudah dalam berkonsentrasi, memeperoleh hasil belajar yang maksimal dan dapat menikmati

Makalah yang berjudul “Fakta Sejarah Kemaritiman Indonesia” dibuat dengan maksud memenuhi tugas mata kuliah WSBM (Wawasan Sosial Budaya Maritim). Tujuan pembuatan makalah

Kemudian data-data yang telah terangkum dalam database SNMPTN diolah dengan menggunakan algoritma Fuzzy AHP, dimana panitia SNMPTN akan menginput parameter adaptif

Parameter pemeriksaan hematologi meliputi jumlah sel darah putih, jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah dan volume trombosit, serta indeks eritrosit

Oleh karena itu di dalam sistem pengolahan air, senyawa mangan dan besi valensi dua tersebut dengan berbagai cara dioksidasi air, senyawa mangan dan besi valensi dua

Ketua Tim Pengendali DAK sub bidang KB Provinsi (Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi) dan Ketua Tim Pengendali DAK SKPD KB Provinsi secara berkala melakukan

Persoalan yang menjadi objek penelitian penulis adalah meneliti apakah terjadi politisasi dalam konflik antar warga Desa Balinuraga dengan Desa Agom dan akhirnya meluas

Identifikasi masalah ditemukan 4 permasalah utama yakni: (1).Perusahaan inti lebih mendahulukan mengolah TBS (Tandan Buah Segar) yang dihasilkan kebun milik perusahaan ini, dalam