• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. STRES AKADEMIK 1. Stres a. Definisi stres - Perbedaan Stres Akademik antara Kelompok Siswa Minoritas dengan Mayoritas di SMP WR.Supratman 2 Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "A. STRES AKADEMIK 1. Stres a. Definisi stres - Perbedaan Stres Akademik antara Kelompok Siswa Minoritas dengan Mayoritas di SMP WR.Supratman 2 Medan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

14

14 BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, memuat landasan teori mengenai stres akademik dan kelompok siswa, sekolah pembauran, dan profil sekolah. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai dugaan sementara terhadap masalah penelitian.

A. STRES AKADEMIK 1. Stres

a. Definisi stres

Sarafino (2006) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi dimana transaksi antara individu dan lingkungannya mengarahkan individu mempersepsikan adanya kesenjangan antara tuntutan fisik atau psikologis dari suatu situasi tertentu dengan sumber daya biologis, psikologis dan sosial yang dimiliki individu. Lazarus (dalam Sarafino, 2006) menambahkan bahwa stres melibatkan stresor dan respon individu terhadap stresor berupa ketegangan (strain).

(2)

15

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi dalam diri individu yang diakibatkan adanya tuntutan fisik, psikologis, dan lingkungan yang menimbulkan kesenjangan antara tuntutan tersebut dengan kemampuan individu untuk memenuhi tuntutannya.

b. Respon terhadap stres

Sarafino (2006) mengemukakan bahwa ada dua respon tubuh terhadap stres yaitu:

i. Respon biologis

Merupakan reaksi fisiologis terhadap stressor ataupun ketegangan, dimana diukur dengan melalui tingkat ketegangan. Canon (dalam Sarafino, 2006) menambahkan mengenai uraian dasar mengenai bagaimana tubuh bereaksi terhadap keadaan yang darurat. Reaksi ini disebut dengan respon fight-or-flight, yaitu suatu pilihan untuk menyerang ancaman atau melarikan diri dari ancaman. Fight-or-flight respon dapat mengerahkan individu untuk merespon secara cepat terhadap bahaya, akan tetapi level ketegangan yang tinggi dapat berbahaya bagi kesehatan jika berkepanjangan.

ii. Respon psikologis

Reaksi psikologis terhadap stres dapat meliputi: 1) Kognitif

(3)

16 2) Emosi

Emosi cenderung menyertai stres saat menilai kondisi stres yang dialami. Rasa takut adalah salah satu reaksi emosi umum yang sering dialami individu meliputi ketidaknyaman psikologis dan keterbangkitan fisik ketika dihadapkan pada situasi yang mengancam. Reaksi emosi lainnya adalah rasa marah yang menghasilkan perilaku agresif atau perasaan sedih atau depresi.

3) Perilaku sosial

Stres dapat merubah tingkah laku seseorang ke arah yang lain. Dalam suatu situasi yang penuh dengan stres seperti bencana alam, situasi darurat, ataupun situasi lainnya, banyak orang yang akan saling bekerja sama untuk menolong orang lain agar bisa bertahan. Namun dalam situasi stres lainnya, individu mungkin akan menjadi kurang bergaul, kurang peduli dan lebih bermusuhan, serta kurang sensitif terhadap individu lainnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, ada dua respon terhadap stres yaitu aspek biologis dan psikologis (kognitif, emosi, dan perilaku sosial).

c. Tahapan stres

Seyle (dalam Sarafino, 2006) menyebutkan serangkaian reaksi fisiologis sebagai General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri dari tiga level, yaitu: i. Tahap reaksi kegelisahan (alarm reaction)

(4)

17 ii. Tahap pertahanan (stage of resistance)

Jika stressor yang kuat terus berlanjut, tubuh akan mencoba untuk beradaptasi dengan stressor. Keterbangkitan fisik mulai berkurang namun masih tetap lebih tinggi dari kondisi normal.

iii. Tahap kelelahan (stage of exhaustion)

Ketegangan fisiologi yang dihasilkan oleh stres yang lama dan berulang menyebabkan kekebalan tubuh menurun dan berkurangnya simpanan energi tubuh.

b. Gejala stres

Menurut Fremont (2004) gejala stres dibagi kedalam empat kategori yakni: i. Perasaan

Meliputi perasaan cemas, mudah marah, ketakutan, moody, dan pemalu. ii. Pemikiran

Menjadi self-criticsm, sulit berkonsentrasi atau sulit membuat keputusan, mudah lupa, terlalu memikirkan masa depan, pemikiran yang terus berulang, ketakutan akan kegagalan.

iii. Perilaku

(5)

18 iv. Fisik

Sulit tidur, otot mengeras, sakit kepala, mudah lelah, kedinginan atau tangan berkeringat, mengeluh sakit leher atau tulang belakang, sakit perut atau gangguan pencernaan, sering demam atau infeksi , nafas cepat dan jantung berdetak keras, dan gemetaran.

2. Stres Akademik

a. Definisi stres akademik

Berdasarkan sub-bab sebelumnya diketahui bahwa stres adalah suatu kondisi dalam diri individu yang diakibatkan adanya tuntutan fisik, psikologis, dan lingkungan yang menimbulkan kesenjangan antara tuntutan tersebut dengan kemampuan individu untuk memenuhi tuntutannya.

Stres akademik menurut Rao (2008) merupakan tekanan yang muncul dari lingkungan sekolah seperti ujian dan kompetisi antar siswa dalam pencapaian standar sekolah. Pengalaman stres akademik ini dapat memunculkan distres yang bermanifestasi terhadap berbagai masalah psikologis dan perilaku.

Carveth dkk. (dalam Misra & McKean, 2000) mengemukakan bahwa stres akademik adalah persepsi siswa terhadap banyaknya pengetahuan yang harus dikuasai dan persepsi terhadap ketidakcukupan waktu untuk mengembangkan pengetahuan yang harus dikuasai tersebut.

(6)

19

tugas yang harus dikerjakan siswa. Seyle (dalam Sarafino 2006) menyebutkan bahwa setiap tuntutan tersebut akan membangkitkan respon tertentu dan membawa perubahan dalam hidup individu.

Berdasarkan pada penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres akademik adalah suatu kondisi ketegangan yang dialami seorang siswa dalam mempersepsikan tuntutan akademik yang menimbulkan kesenjangan antara tuntutan lingkungan sekolah dengan kemampuan untuk mencapainya, sehingga mengakibatkan perubahan respon dalam dirinya baik secara fisik ataupun psikologis.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres akademik

Menurut Suldo (2009) ada 7 faktor yang mempengaruhi stres akademik: i. Kebutuhan akademik

Meliputi stressor-stressor yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan akademis seperti 1) pemenuhan tugas (contoh: pekerjaan rumah/PR, ujian besar, proyek sekolah), 2) manajemen waktu yang berkaitan dengan pengaturan sejumlah tantangan akademik, 3) harapan yang tinggi dari diri sendiri, teman sebaya, dan guru, untuk mencapai perfomansi akademik yang baik/superior.

ii. Hubungan orang tua-anak

(7)

20 iii. Kejadian yang menekan remaja

Stressor-stressor yang menyinggung perubahan-perubahan dalam hidup yang menonjol selama perkembangan remaja yang terkait dengan akademik meliputi 1) rasa aman , 2) transisi (seperti persiapan kuliah, kehilangan anggota keluarga), 3) kesadaran akan suatu masalah yang sistemik dalam lingkungan yang lebih besar (seperti sekolah, masyarakat), dan 4) komunitas yang mengalami kejadian stres.

iv. Hubungan sebaya

Stressor yang berhubungan dengan hubungan sebaya seperti 1) konflik dengan teman sekelas dan partner romantis, 2) merasa tidak cocok dengan teman, dan 3) tekanan sebaya.

v. Masalah didalam keluarga

Stressor yang berhubungan dengan masalah dalam keluarga yang mempengaruhi kemampuan anak untuk belajar seperti 1) perceraian orang tua, 2) konflik antar orangtua, dan 3) ketidakhadiran orang tua dirumah.

vi. Aktivitas ekstrakulikuler

(8)

21 vii. Perjuangan akademik

Stressor yang berhubungan dengan perjuangan akademik seperti 1) keterampilan belajar yang kurang, 2) ketidakikutsertaan dalam belajar (seperti karena tidak tertarik pada materi dan kurang baiknya hubungan antara guru dan murid), dan 3) masalah kesehatan yang dapat berdampak pada prestasi di sekolah.

c. Sumber stres akademik

Menurut Suldo (2009) ada 4 sumber stres akademik yang berhubungan dengan sekolah, yakni:

i. Stressor akademik

Seorang siswa mengalami tekanan di sekolah dari hari ke hari seperti tes, peringkat, pekerjaan rumah, akademik, dan harapan berprestasi. Tipe dari stressor yang berhubungan dengan sekolah meliputi performansi akademik, kehadiran, interaksi dengan guru, dan keseimbangan waktu sekolah. Hal ini berkaitan dengan metode instruksional, hubungan guru dan siswa, beban akademik yang berat, linhkungan kelas fisik yang kurang dan ketidakteraturan perencanaan tugas dan jadwal. Stressor akademik spesifik meliputi tes yang terstandar.

ii. Stressor hubungan

(9)

22

orang terdekat. Stressor yang paling mempengaruhi dalam akademik biasanya yang berhubungan dengan keluarga dan teman.

iii. Stressor transisi remaja

Remaja dikarakteristikkan sebagai transisi yang unik dengan peran dan tanggung jawab yang dibuat oleh institusi (seperti sekolah, tempat kerja). Stressor ini meliputi tekanan untuk menghasilkan uang, interferensi dari pekerjaan, sekolah dan aktivitas sosial dan berfokus pada masa depan, kompetisi sebagai tekanan dalam mencapai nilai tinggi dalam suatu tes atau ujian.

iv. Stressor kelompok remaja

Stressor dapat muncul dari kelompok remaja, seperti mereka yang tergabung dalam lingkungan urban, latar belakang etnis minoritas, atau mereka dengan intelektual tinggi. Remaja dalam suatu kelompok mungkin akan mengalami pelecehan, merasa tidak aman dan tertekan, cenderung terlibat dalam perilaku kekerasan. Siswa minoritas memiliki resiko yang tinggi untuk gagal di sekolah. Hal ini berhubungan dengan status sosioekonomi, dimana komunitas ini ditandai dengan kurangnya sumber daya, miskin, pengangguran, rasis, konflik keluarga dan kekerasan.

Lebih lanjut McPherson (2010) menyatakan bahwa sumber stres yang berkaitan dengan sekolah terdiri dari:

i. Underachievers dan Overachievers

Siswa yang tidak mampu mencapai kemampuan standar biasa disebut dengan underachiver. Terkadang tekanan dari orang tua ataupun guru, mendorong diri

(10)

23

waktu rekreasi mereka, waktu tidur, dan tidak bersenang-senang demi mencapai tujuan yakni peringkat yang baik.

ii. Reward

Penghargaan tidak hanya sebagai bukti tanda peringkat tinggi, tetapi juga dapat meningkatkan stres pada siswa. Beberapa pengajar menyatakan bahwa sebuah insentif dapat menambah beban stres beberapa siswa yang telah merasakannya.

iii. Tidak ada waktu istirahat

Belajar membutuhkan waktu yang banyak, terkadang beberapa jam yang digunakan sekolah dalam sehari untuk mengefektifkan momen yang lebih produktif, seperti membaca, matematika, sains, dan sejarah dirasa lebih penting dibanding bermain, membuat beberapa sekolah memiliki waktu istirahat yang sedikit. Waktu istirahat memberikan siswa kesempatan untuk mengendurkan otot akibat stres mereka, dan mengisi energi mereka kembali dan meningkatkan kemampuan konsentrasi.

iv. Ekspektasi

(11)

24 v. Pekerjaan rumah (PR)

Pekerjaan rumah menjadi penyebab utama tekanan akademik pada siswa. Konsep pekerjaan rumah masih diperdebatkan. Pekerjaan rumah dapat membantu siswa untuk mengerti pelajaran mereka. Namun banyak siswa mengeluh dengan pekerjaan rumah yang terlalu menghabiskan banyak waktu. Ketika pekerjaan rumah dianggap terlalu banyak dan berat membuat lelah dan cemas, sehingga mereka kehilangan kesenangan dalam belajar dan lebih memilih melakukan aktivitas yang mereka sukai.

d. Penggolongan stres akademik

Oon (2007) mengemukakan empat tipe stres akademik, yaitu: i. Stres reaktif

Disebabkan oleh tekanan dan tuntutan terhadap siswa yang melebihi kemampuannya. Contohnya: reaksi terhadap tes mendadak, terlambat menghadiri kegiatan penting di sekolah, atau dimarahi di depan kelas.

ii. Stres kumulatif

Respon terhadap stres yang masih berlangsung dan gejalanya meningkat dari waktu ke waktu. Masalah-masalah tersebut sering menjadi penyebab siswa tidak produktif. Contohnya: siswa tidak mampu mengerti instruksi di kelas atau terus menerus diomeli atau dimarahi.

iii. Stres insiden kritis

(12)

25

Contohnya: diganggu secara fisik oleh kakak kelas di sekolah atau terlibat dalam kecemasan yang mengancam jiwa.

iv. Stres post-traumatis

Reaksi terhadap ingatan tentang suatu insiden traumatis yang berhubungan dengan stres. Ingatan ini bersifat mengganggu yang menjadi pemicu reaksi stres. Stres ini juga sering disebut disfungsi kesadaran. Ini terjadi ketika pikiran selama kondisi sadar diisi oleh ingatan traumatis akibat insiden kritis, misalnya dibawah ancaman sebilah pisau. Stres ini membutuhkan pengobatan dan pertolongan psikologis jangka panjang.

e. Dampak negatif dari stres di sekolah

Menurut McPherson (2010) dampak negatif dari stres yang muncul di sekolah adalah sebagai berikut:

i. Burnout

Siswa merasa lelah dengan kegiatan sekolah biasa akan kehilangan minat untuk belajar. Hal ini terjadi dikarenakan siswa kehilangan insentif pada tugas-tugas tertentu yang dirasa terlalu menghabiskan waktu dan energi yang banyak. Jika perasaan ini tidak tertolerir akan berubah menjadi depresi.

ii. Menyontek

(13)

26 iii. Gangguan makan

Tekanan akademik yang intens berkontribusi pada kemungkinan kecenderungan terhadap gangguan makan. Cemas yang berlebihan terhadap peringkat bukanlah penyebab suatu gangguan namun beresiko memperburuk. Gangguan makan yang sering ditemui adalah anoreksia, bullimia, dan “binge eating” (perilaku makan yang kompulsif).

iv. Penggunaan Obat-obatan

Terkadang tekanan akademik, berkolaborasi dengan tekanan teman sebaya, memunculkan keinginan siswa untuk bereksperimen dengan alkohol dan obat-obatan. Hasil dari penggunaan dan konsumsi obat-obatan dapat menyebabkan rasa lelah, iritabilitas, sakit kepala dan rasa tidak nyaman pada badan. Dapat membuat proses berpikir menurun, siswa tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya seperti biasa, kesulitan berkonsentrasi dan sulit mempelajari materi baru.

B. KELOMPOK SISWA 1. Definisi Kelompok Siswa

(14)

27

Jadi kelompok siswa merupakan kumpulan siswa yang memiliki beberapa atribut yang sama pada suatu sekolah yang membedakannya dengan kumpulan siswa lain.

2. Konsep Mayoritas dan Minoritas

Hogg (2003) menyatakan bahwa mayoritas dan minoritas merupakan suatu kelompok yang bergantung pada kriteria jumlah (besar versus kecil) seperti persentase individu yang menduduki pada suatu posisi.

b. Minoritas

Minoritas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah jumlah orang paling sedikit yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri tersebut. Menurut Mendatu (2010) suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas. Minoritas merupakan suatu jumlah persentase kelompok yang besarnya kurang dari 50% (UTC, 2006).

(15)

28

sehat, lebih berpendidikan. Perilaku dan karakteristik dari kelompok minoritas selalu distigmatisasi oleh kelompok dominan atau kelompok mayoritas.

Jadi minoritas adalah jumlah orang paling sedikit yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibawah 50% dimana jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas.

c. Mayoritas

Mayoritas menunjukkan jumlah yang paling banyak sedangkan minoritas menunjukkan jumlah yang paling sedikit. Mayoritas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri tersebut. UTC (2006) mendefinisikan mayoritas sebagai jumlah yang lebih dari 50%.

Konsep tentang mayoritas juga sering kali dihubungkan dengan dominant culture. Dengan menggunakan analisis Gollnick dan Chinn (dalam Liliweri,

(16)

29

atau kelompok dominan dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol.

Jadi mayoritas merupakan jumlah terbanyak atau dominan yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri tersebut dimana patokan jumlah lebih dari 50% dibanding kelompok lain.

3. Konsep siswa pribumi dan non pribumi

Sebagai dampak dari masyarakat multikultural dalam bidang pendidikan, Pelly (2003) menjelaskan bahwa identitas siswa pribumi merupakan identitas yang muncul dari peninggalan Belanda dimana mereka merupakan warga negara Indonesia (WNI) keturunan asli Indonesia, yang berasal dari suku-suku asli di Indonesia.

Sedangkan untuk siswa non pribumi, Pelly (2003) menyebutkan bahwa siswa non pribumi merupakan identitas yang muncul kepada mereka yang berasal dari keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih) maupun campuran, walaupun telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia yang biasa dikenal sebagai warga negara Indonesia (WNI) keturunan asing.

C. SEKOLAH PEMBAURAN

(17)

30

budayanya dan menyesuaikan adat istiadat budaya dengan budaya mayoritas (macroculture). Dalam setting sekolah, di Amerika memberikan dimensi khusus dan penting dari mosaik Amerika yang mempertahankan identitasnya sendiri yang unik. Hal ini penting untuk mendorong siswa untuk mempertahankan tradisi microcultural mereka, termasuk bahasa mereka. Namun juga penting bahwa guru

mengekspos siswa untuk tradisi macrocultural.

Di Indonesia sendiri pada pemerintah Orde Baru ingin menjadikan sekolah (lembaga pendidikan) dari tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai dengan SMA (Sekolah Menengah Atas) sebagai wadah pembauran atau melting pot (Glazer & Moynihan 1963). Melting pot dapat dianggap sebagai wadah asimilasi dengan harapan agar kelompok tertentu (dalam hal ini WNI keturunan Tionghoa) dapat meleburkan (dirinya dan budayanya) kepada kelompok yang lebih dominan (dalam hal ini kelompok WNI asli). Dalam rangka integrasi nasional, terdapat perbedaaan kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap kelompok-kelompok etnik WNI asli jika dibandingkan dengan WNI keturunan asing. Untuk WNI keturunan asing, pemerintah menekankan agar mereka melakukan asimilasi total ke dalam budaya nasional (kelompok WNI asli), sedang bagi antar sesama kelompok etnik WNI asli diharapkan terjadi akulturasi (saling memberi dan menerima unsur budaya masing-masing) (Pelly, 2003).

(18)

31

nasional melalui wadah pendidikan itu. Alur pemikiran ini dapat dilihat dari aturan-aturan baku yang diterapkan dalam sekolah pembauran (Pelly 1985). Peleburan identitas siswa-siswa non pribumi ke dalam budaya nasional, seperti yang diharapkan oleh pemerintah Orde Baru tidak terjadi selama sepuluh tahun proses sekolah pembauran itu dilaksanakan.

Menurut Glazer dan Moynihan di New York (1963), walaupun sebagai kota metropolitan sekolah pembauran tetap menampung belasan kelompok etnik/ras dari berbagai penjuru dunia (terutama Eropa dan Afrika), tetapi proses kehidupan urban itu sendiri tidak meleburkan masing-masing identitas mereka.

Pelly (2003) menjelaskan bahwa proses kebersamaan (togetherness) siswa pribumi dan non pribumi adalah tumbuhnya suatu kehidupan yang majemuk, walaupun mereka telah banyak mengacu pada kesatuan unsur-unsur budaya bersama melalui pendidikan dengan kurikulum nasional.

(19)

32

Menurut Banks (2001) kurikulum dalam pendidikan multikultural ini menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek, dimana siswa lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerja sama, daripada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah siswa yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya. Melalui pembelajaran multikultural, siswa belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi.

Perbedaan-perbedaan pada diri siswa yang harus diakui dalam pendidikan multikultural, antara lain mencakup kelompok minoritas etnis dan ras, kelompok pemeluk agama, perbedaan agama, perbedaan jenis kelamin, kondisi ekonomi, daerah atau asal-usul, ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur, dan lain-lain (Banks, 2001). Melalui pendidikan multikultural ini siswa diberi kesempatan dan pilihan untuk mendukung dan memperhatikan satu atau beberapa budaya, misalnya sistem nilai, gaya hidup, atau bahasa.

Adapun lima dimensi pendidikan berbasis multikultural menurut Banks (2001), yaitu:

1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration)

(20)

33

2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction).

Suatu dimensi dimana guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman siswa terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri.

3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction).

Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang datang ke sekolah dengan banyak stereotip, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan textbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu siswa untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para siswa untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.

4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy).

(21)

34

kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning).

5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure).

Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat.

D. PROFIL SEKOLAH WR.SUPRATMAN

Perguruan Wage Rudolf Supratman Medan didirikan sebagai usaha dan perjuangan tanpa pamrih dari Yayasan untuk membantu Pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia (Chandra, 2007).

1. Deskripsi lembaga pendidikan Wage Rudolf Supratman Medan (d/h bernama Tri Bukit):

Pada tanggal 1 Juli 1960 telah berdiri satu lembaga pendidikan yang berbadan hukum Yayasan Perguruan Tri Bukit, dan dibuat Akte Notaris pada tanggal 28 Juni 1963 di hadapan Notaris Ny. Jo Jian Tjaij, S.H.

(22)

35

mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK) sebagai sekolah pembauran dalam rangka untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan Bangsa. Program pembauran terhadap sekolah swasta nasional yang muridnya mayoritas WNI Keturunan. Program tersebut disambut baik oleh para pengurus yayasan, karena yayasan menyadari pentingan pembauran tersebut dalam rangka nation building, dan untuk memperkokoh pembinaan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Pembauran tidak mengalami kesulitan dan berjalan lancar dan baik.

Sampai dengan sekarang sekolah ini terus berkembang dengan pesat dengan berbagai program yang ditawarkan mulai dari kelas reguler sampai dengan kelas nasional plus. Pada kelas reguler, untuk tingkat SMP untuk siswa pribumi dikenakan uang sekolah sebesar Rp 360.000 dan untuk siswa non pribumi dikenakan uang sekolah sebesar Rp 370.000. Jam sekolah dari Senin-Sabtu dari jam 07.30-13.05 WIB. Adapun jumlah kelas sebanyak 12 kelas, dimana kelas VII SMP (5 kelas), kelas VIII SMP (4 kelas), dan kelas IX SMP (3 kelas).

2. Visi

(23)

36 3. Misi

a. Mengembangkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, tangguh, cerdas, berakhlak mulia, penuh tanggung jawab dalam memajukan pendidikan nasional demi masa depan bangsa dan negara yang cerah.

b. Mengupayakan terbentuknya pribadi yang matang dan berkembang menjadi pendidik yang profesional sehingga mampu menciptakan sesuatu yang baru bagi diri sendiri dan bagi anak didik.

4. Tujuan

Mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan WR.Supratman, sehingga perguruan yang telah dirintis sejak tahun 1960 dapat bertahan dan semakin dikenal dan dicintai masyarakat.

5. Kurikulum

(24)

37

E. PERBEDAAN STRES AKADEMIK ANTARA KELOMPOK SISWA MINORITAS DENGAN MAYORITAS

Sekolah dengan konsep pendidikan berbasis multikultural memiliki tujuan untuk mengembangkan pendidikan bagi siswa-siswa dengan berbagai macam identitas melalui asas pembauran. Konsep pembauran sebagai konsep metafora yang menetapkan kelompok minoritas (microculture) untuk melebur kedalam kelompok mayoritas, menyingkirkan bahasa ibu mereka dan tradisi budayanya dan menyesuaikan adat istiadat budaya dengan budaya mayoritas (macroculture) (Mitchell & Salsburry, 1999).

Dalam sekolah pembauran, terjadi dikotomi antara siswa pribumi dan siswa non pribumi yang merupakan hasil dari program asimilasi era orde baru (Pelly,2003). Namun, komposisi siswa pribumi tidak mencapai 50% dikarenakan terdapat hambatan fisik dan psikologis, seperti keengganan belajar di satu kelas yang sama dengan murid WNI keturunan Tionghoa, letak sekolah pembauran yang sebagian besar berada di komunitas WNI keturunan Tionghoa, disiplin sekolah yang ketat, dana untuk buku, pakaian, dan uang sekolah yang tinggi (walaupun beberapa sekolah memberikan keringanan kepada mereka, terutama dalam pembayaran uang sekolah) (Pelly, 2003).

(25)

38

menunjukkan perbedaan buruk yang berkaitan dengan ras dan keanggotaan etnis, apalagi stressor status kelompok minoritas meliputi konflik intragroup seperti perasaan tertekan untuk menunjukkan loyalitas pada satu kelompok tertentu dan merasa tekanan yang muncul akibat perbandingan kelompok, khususnya perbandingan hasil belajar (Greer, 2008). Menurut Rice (1993) status minoritas merupakan sumber unik pada stres yang dirasakan siswa.

Stres dalam lingkup akademik dapat membawa konsekuensi positif jika terkontrol dengan baik dan menjadi negatif jika tidak terkontrol (Agola & Ongori, 2009). Stres akademik merupakan ketegangan yang muncul dari tuntutan akademik (Oljenik & Holschuch, 2007). Rao (2008) menyatakan bahwa banyak sumber stres akademik, yang membuat siswa merasa tertekan dan alhasil menjadi distres karena harapan akademis mereka yang tinggi. Berbagai faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya stres akademik yang dikemukakan oleh Suldo (2009) seperti kebutuhan akademik, hubungan orang tua-anak, kejadian yang menekan di masa remaja, tekanan dari hubungan sebaya, aktivitas ekstrakulikuler, dan perjuangan untuk mencapai standar akademik yang baik.

(26)

39

menunjukkan bahwa siswa keturunan Afrika-Amerika lebih memiliki tingkat distres yang lebih tinggi saat belajar di sekolah yang siswanya mayoritas berkulit

putih dibanding di sekolah yang mayoritas siswanya berkulit hitam. Menurut Fleming, (1981, dalam Greer, 2008) stres muncul sebagai kontribusi dari kurangnya penyesuaian diri di sekolah, sehingga hasil akademis mereka berbeda di kedua institusi ini.

Rice (1993) mengadakan penelitian mengenai dampak stres pada pendidikan multikultural, melalui keanekaragaman ras dan etnis pada 103 siswa berkulit hitam, 129 hyspanic dan 105 siswa berkulit putih pada sekolah multietnik di Southwestern, dimana kelompok-kelompok etnis ini merupakan kelompok minoritas di sekolah-sekolah distrik di Southwestern. Tiap kelompok dibandingkan dalam hal stres akademik, penilaian terhadap dampak kejadian-kejadian negatif, dukungan sosial dan gejala psikologis. Dari hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh perbedaan etnis atau ras terhadap stress, sumber daya personal, dan respon terhadap stress.

(27)

40

(1993) kelompok siswa minoritas diindikasikan memiliki masalah dalam hal performansi akademik yang buruk dan jumlah drop out dari sekolah yang cukup tinggi. Hal inilah yang menunjukkan kemungkinan adanya perbedaan stres akademik antara kelompok siswa minoritas dan mayoritas.

F. HIPOTESIS

Referensi

Dokumen terkait

Hal itu semata-mata dilakukan juga untuk mengurangi respon negatif yang dapat berimbas diskriminatif oleh suku Jawa, yang sebelumnya memandang orang bersuku Batak

In case of Indonesia, where most of the fresh milk product goes into processing factory, farm gate price would be the most important factor that can drive in achieving

[r]

Hasil pengamatan kualitas pembelajaran baik guru maupun siswa dengan menerapkan layanan bimbingan kelompok dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam seni melipat

Gambaran latar belakang di atas dengan ini terdapat beberapa masalah yang dapat diangkat pada penelitian ini yaitu bagaimana analisis keandalan sistem keselamatan

olah menggunakan metode AHP dan ELECTRE dan beasiswa Dari hasil penelitian tersebut didapatkan rating kecocokan minat siswa terhadap jurusan di perguruan tinggi

Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan umbi bibit G4 dengan mulsa mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik daripada penggunaan umbi lokal, kecuali umbi lokal

Tahap ini menandakan bahwa segala proses telah selesai dilaksanakan, kemudian dalam melaksanakan penilaian tingkat risiko yang ada maka langkah pertama yang