• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aturan perkawinan di Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh adat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai ajaran Agama, seperti Agama Hindu, Budha, Kristen serta Agama Islam. Adanya beragam pengaruh dalam masyarakat tersebut mengakibatkan terjadinya banyak aturan yang mengatur masalah perkawinan. Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebabkan terjadinya unifikasi dalam bidang perkawinan bagi seluruh warga negara Indonesia. Undang-undang Perkawinan tersebut diUndang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 bersamaan dengan saat berlakunya Peraturan Pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(2)

diharapkan dapat menciptakan unifikasi hukum di bidang hukum perkawinan atau hukum keluarga.1

Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terjalinnya ikatan lahir dan bathin tersebut merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal merupakan tujuan ideal yang tinggi dan mencakup pengertian jasmani dan rohani yang melahirkan keturunan,2 sehingga dapat diartikan bahwa perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain selain kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan ikatan perkawinan yang berupa perceraian hidup merupakan jalan terakhir, karena setelah itu tidak ada jalan yang lain.3

Perkawinan merupakan penyatuan masing-masing sifat, pola pikir dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu didalam kehidupan berkeluarga, selalu ada permasalahan atau konflik yang terjadi diantara pasangan suami istri. Apabila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri maka dapat menyebabkan berakhir dan putusnya ikatan perkawinan yang disebut dengan perceraian. Dalam Undang-undang Perkawinan dan KUHPerdata disebutkan sebab berakhirnya perkawinan.

Pasal 38 Undang-undang perkawinan menyebutkan alasan putusnya perkawinan karena: 1. Kematian,

1 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia, Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal.1

2

Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Rajawali, Medan, 1986, hal. 3

3

(3)

2. Perceraian dan

3. Atas keputusan Pengadilan.

Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan alasan bubarnya perkawinan karena:

1. Kematian;

2. Tidak hadirnya si suami atau si isteri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru isteri atau suaminya.

3. Keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran Catatan Sipil. 4. Perceraian.

Perceraian adalah bubarnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami atau istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan Perundang-undangan.4 Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak dapat dilakukan hanya atas dasar kesepakatan suami istri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.5 Perceraian harus melalui suatu proses yaitu dilakukan didepan sidang pengadilan yang berwenang dan sebelum diambil keputusan, hakim diwajibkan untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai.

Apabila upaya hakim untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai tidak tercapai maka proses perceraian tetap dilanjutkan sampai terbitnya akta perceraian.6

Perceraian memang bukan hal yang dilarang. Namun untuk mempertahankan prinsip kekal dan abadi suatu perkawinan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-undang

4

Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata

Barat, Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 135

5

Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

6

R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. Ke-28,PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996,

(4)

Perkawinan, maka Undang-undang Perkawinan mengatur alasan-alasan seseorang boleh mengajukan cerai yang ditentukan secara limitatif. Peraturan ini dibuat untuk mempersulit terjadinya perceraian.7

Adapun alasan yang dimaksud, tercantum dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan dan diulang lagi sama bunyinya dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.8

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan. Tata cara mengajukan gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundangan

7

Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta

Undang-undang dan Peraturan Pelaksanaannya, Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal. 139 8

(5)

tersendiri (Pasal 40). Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi mereka yang beragama lainnya Pasal 63 ayat 1 Undang-undang Perkawinan dan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.9

Menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.10 Hukum perkawinan adalah sebagian dari Hukum Keluarga dan Hukum Keluarga ini adalah bagian dari Hukum Perdata. Masalah perceraian merupakan bagian dari masalah perkawinan. Karena itu masalah perceraian senantiasa diatur oleh Hukum Perkawinan.11

Perceraian sering terjadi dalam masyarakat. Peningkatan angka perceraian dalam keluarga merupakan salah satu ciri masyarakat modern, tidak terkecuali di Indonesia. Hal itu mungkin berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan keluarga yang sudah mulai bergeser karena pengaruh budaya asing yang masuk secara sadar atau tidak sadar ke dalam rumah tangga masyarakat Indonesia. Peningkatan ini dapat dilihat dari jumlah perceraian yang tercatat melalui prosedur hukum di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Agama misalnya, menangani perkara khusus Umat Islam, perkara perceraian menempati peringkat teratas dari semua perkara yang ditanganinya.

Selain berpengaruh terhadap suami atau istri, perceraian juga berakibat kepada anak-anak yang lahir dalam perkawinan. Menurut Pasal 41 Undang-undang Perkawinan dijelaskan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anak adalah :

9

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum

Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hal.170. 10

Subekti, Pokok-Pokok Dari Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1975, hal.42.

11

(6)

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak maka pengadilan yang akan memutuskan;

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Hal ini berarti, meskipun terjadi perceraian tetapi tidak membuat hapus kewajiban orang tua terhadap kesejahteraan anak-anaknya.

Apabila orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan pengadilan. Dalam Pasal 33 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali anak yang bersangkutan.

(7)

terjadi apabila orang tuanya meninggal dunia, maka hal yang demikian ini anak harus dibawah perwalian.12

Dalam Undang-undang Perkawinan, kekuasaan orang tua bersifat tunggal tidak hapus karena perceraian. Selama perkawinan berlangsung dengan baik artinya tidak putus di tengah jalan, maka kewajiban pemeliharaan oleh orang tua atas anaknya tidak menimbulkan masalah, suami istri dapat secara bersama-sama dan saling membantu serta dengan penuh kasih sayang menunaikan kewajibannya memelihara anak mereka. Namun disaat perkawinan tidak dapat lagi diteruskan, saat itulah timbul permasalahan siapa yang paling berhak memelihara anak pasca perceraian orang tuanya. Untuk menentukan siapa yang paling tepat diantara ayah dan ibu tidak mempertimbangkan kemampuan finansial saja, tetapi harus dengan mempertimbangkan sifat, perilaku dan kebiasaan, keadaan jasmani, rohani dan spiritual, serta mempertimbangkan kesalahan siapa yang menjadi penyebab terjadinya perceraian.

Perlindungan anak dalam kasus perceraian orang tua berkaitan erat dengan kekuasaan orang tua setelah putusnya ikatan perkawinan. Walaupun perkawinan telah putus karena perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara anak-anak mereka. Hanya dalam implementasinya kekuasaan orang tua tersebut dilakukan dengan situasi dan kondisi yang berbeda yaitu di satu sisi ibu memegang hak pemeliharaan anak dan di sisi lain ayah diwajibkan membiayai pemeliharaan anak tersebut.13

Ketika terjadi perceraian orang tua, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orang tua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya, dan tidak sedemikian

12

Iman Jauhari, Kajian Yuridis Terhadap Perlindungan Hak-Hak Anak Dan Penerapannya di Sumatera

Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2005, hal. 48 13

(8)

sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Ini berarti bahwa anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orang tua). Oleh sebab itu, dalam kasus perceraian orang tua, anak merupakan salah satu subjek. Karena anak adalah salah satu unsur dari suatu keluarga dan mengalami hubungan-hubungan pribadi yang pertama-tama dalam keluarga dengan orang tuanya,14 maka dalam kasus perceraian orang tua kepentingan anak tetap dan harus menjadi prioritas utama dan pertama.

Seharusnya orang tua dapat mengorbankan perasaan dan membuang perasaan egois demi anak-anak, karena sesungguhnya tolak ukur kesuksesan seseorang sebagai orang tua adalah kesuksesan anak yang merupakan hasil dari pendidikan dan pengasuhan yang diterapkan pada anak-anak mereka.

Terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang anak di Indonesia, seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dalam Pasal 41 secara implisit mengatur mengenai hak anak untuk tetap dipelihara oleh kedua orang tuanya sampai anak dewasa dan mandiri walaupun orang tuanya telah bercerai.

“Anak-anak yang menghadapi masalah dalam kasus perceraian orang tuanya, dikategorikan sebagai anak terlantar.”15 ”Anak terlantar adalah anak yang memerlukan pelayanan secara khusus”.16

14

Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal.23.

15

(9)

Secara fisik anak-anak yang mengalami masalah dalam kasus perceraian orang tua memang tidak bermasalah, tetapi secara psikologis, mereka bermasalah dan pantas mendapat perlindungan. Jadi sebenarnya anak korban perceraian harus mendapat perlindungan khusus tanpa menunggu harus diterlantarkan dahulu oleh orang tuanya. Karena tidak boleh dilupakan bahwa anak adalah keturunan yang berasal dari perkawinan. Akibat dari perceraian itu pula, tidak sedikit anak yang dilahirkan dari perkawinan harus menanggung derita yang berkepanjangan. Terhadap adanya perbedaan keinginan berbagai masalah hukum dalam pengasuhan anak jika telah bercerai, misalnya siapa yang harus memelihara anak-anak mereka, hak-hak apa saja yang harus diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Majelis Hakim wajib memeriksa dan mengadili setiap bagian dalam gugatan para pihak, termasuk juga tuntutan hak pengasuhan anak.

Kasus perceraian sebagaimana diputuskan oleh Pengadilan Negeri Medan tertanggal 25 September 2007 No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn, hak pengasuhan terhadap dua orang anak yang masih di bawah umur bernama SAS dan NOS jatuh kepada ayahnya yaitu DBS, sementara salah seorang anak di bawah umur tersebut yaitu NOS berada dalam penguasaan ibunya yaitu AFLT, yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Sehingga walaupun hak pengasuhan anak dipegang oleh ayahnya namun dalam pelaksanaannya tidak akan mudah dijalankan.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai tanggung jawab hukum suami atau istri dalam perceraian terhadap anak yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan Nomor: 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)”.

B. Permasalahan

16

(10)

Adapun permasalahan pokok yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah:

1. Apa yang merupakan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan tanggung jawab pengasuhan anak setelah perceraian?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya?

3. Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang merupakan tujuan dari tesis ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan jawaban dari permasalahan masalah, sehingga dapat memberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tanggung

jawab pengasuhan anak setelah perceraian.

2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh pemegang tanggung jawab pengasuhan anak apabila salah satu orang tua tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan.

3. Untuk mengetahui yang menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

(11)

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pedoman bagi praktisi hukum dalam perkara hak asuh anak di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian serta lebih lanjut dapat menjadi landasan pengembangan lebih lanjut.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya dengan judul “Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Terhadap Anak Dalam Perceraian”

Namun pernah ada penelitian dari Mahasiswa Magister Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan dengan judul :

1. Saudari Kadriah (NIM. 94310511), Mahasiwa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Penelitian di Kabupaten Pidie)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab orang tua atas pemeliharaan anak dan nafkah hidup anak setelah perceraian?

b. Faktor apa yang menyebabkan orang tua melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak? c. Bagaimana penyelesaian yang diambil sehingga anak tetap mendapatkan hak-haknya

secara layak?

(12)

a. Bagaimanakah putusan Pengadilan Negeri dalam menentukan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah perceraian?

b. Upaya apakah yang dapat dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi kewajiban terhadap anak sesuai putusan pengadilan?

c. Apakah yang menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian?

3. Saudari Syarifah Tifany (NIM 037011076), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Agama Binjai)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a. Apa yang menjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orang tua terhadap anaknya dalam

hukum islam?

b. Bagaimana menemukan hak pengasuh anak (hadhanah) di Pengadilan Agama Binjai jika terjadi perceraian?

c. Bagaimana eksekusi putusan perkara-perkara hadhanah di Pengadilan Agama Binjai? Judul dalam permasalahan beberapa penelitian sebagaimana disebutkan diatas ternyata judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa atau sama dengan yang diteliti saat ini. Oleh karena itu penelitian ini asli dan secara akademis dapat saya pertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

(13)

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi atau proses tertentu terjadi,17 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18

Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variable, defenisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.19

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain tergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.”20

Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.21

Menurut Maria Sumardjono, teori adalah “Seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.”22

17

M.Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996,

hal. 203. 18Ibid

, hal. 16 19

J.Supranto MA, Metode Penelitian Hukum dan statistic, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal 194

20

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 6

21

Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 21

22

(14)

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuan-penemuan penelitian, memuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.23

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah teori Tanggung jawab Hukum yang dikemukakan oleh Han Kelsen. Kelsen mengatakan bahwa seseorang bertanggung jawab atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa ia memikul tanggungjawab hukum, dalam arti ia bertanggung jawab atas sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.

Tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tapi dalam hidup bersama ia memikul tanggungjawab menciptakan hidup bersama yang tertib. Tapi untuk mewujudkan hidup bersama yang tertib itu, perlu pedoman-pedoman objektif yang harus dipatuhi bersama pula.24

Hans Kelsen juga mengatakan bahwa hukum telah menentukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya berprilaku sesuai pola yang ditentukan itu. Singkatnya orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang telah ditentukan.25

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tanggung jawab hukum sebagaimana dikemukakan oleh Hans kelsen suatu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa ia

23

Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.17.

24

Bernard L.Tanya, dkk, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 201.

25

(15)

memikul tanggung jawab hukum, berarti bahwa ia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan hukum yang bertentangan. Biasanya yakni dalam hal sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.26

Lebih lanjut menurut Hans Kelsen, tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tetapi dalam hidup bersama ia memikul tanggung jawab menciptakan hidup bersama yang tertib, oleh karena itu dibutuhkan pedoman-pedoman yang objektif yang harus dipatuhi secara bersama pula. Pedoman inilah yang disebut hukum. Jika hukum telah menentukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya berperilaku sesuai pola yang ditentukan itu.27

Tanggung jawab hukum terkait dengan konsep hak dan kewajiban hukum. Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak, istilah hak yang dimaksud disini adalah hak hukum (legal right). Penggunaan linguistik telah membuat dua perbedaan hak yaitu jus in rem dan jus in personam. Jus in rem adalah hak atas suatu benda, sedang jus in personam adalah hak yang menuntut orang lain atas suatu perbuatan atau hak atas perbuatan orang lain. Pembedaan ini sesungguhnya juga bersifat ideologis berdasarkan kepentingan melindungi kepemilikan privat dalam hukum perdata. Jus in rem tidak lain adalah hak atas perbuatan orang lain untuk tidak melakukan tindakan yang mengganggu kepemilikan.28

Persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang itu dari sudut pandang profesi mereka sebagai hakim,29 kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum itu dari sudut profesi

26

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dengan judul buku asli “General Theory of Law and State” alih

bahasa Somardi, Rumidi Pers, Jakarta, 2001, hal. 65 27

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 127 28

Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal &

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 66-67. 29

(16)

keilmuwan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka, dan sebagainya.

Menurut Oxford English Dictionary, sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Ali bahwa pengertian hukum yaitu kumpulan aturan, perUndang-undangan atau hukum kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuasaan mengikat terhadap warganya.30

Sedangkan menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.31

Berarti hukum bukan hanya sekedar kaidah melainkan juga sebagai gejala sosial dan sebagai sesi kebudayaan. Sedangkan Achmad Ali memberikan pengertian hukum yaitu seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar dilakukan oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.32

Persoalan tujuan hukum dikaji melalui tiga sudut pandang, antara lain :

30

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 31

31

Ibid, hal. 32

(17)

a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis dogmatik, dimana tujuan hukum dititik beratkan pada segi kepastian hukumnya.

b. Dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititik beratkan pada segi keadilan. c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititik beratkan pada segi

kemanfaatannya.33

Secara konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam hal ini diupayakan ketiganya dapat diwujudkan seluruhnya secara bersama-sama karena memungkinkan pertentangan-pertentangan di antara ketiga tujuan itu.34

Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial, kebiasaan keyakinan, agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).35

Penegakan hukum merupakan suatu usaha mewujudkan ide-ide yang bersifat abstrak menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan

(18)

keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat Undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.36

Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparansi, supremasi hukum dan promosi dan perlindungan HAM37 dikesampingkan.

Penegakan hukum menurut Badan Kontak Profesi Hukum Lampung menyatakan bahwa : a. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam

kaidah-kaidah/pandangan menilai dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social engineering) dan mempertahankan (social control) dan kedamaian pergaulan hidup.

b. Penegakan hukum merupakan perpaduan dari sistem nilai-nilai (warden system), dan sistem aturan-aturan perilaku (gadragregelensystem).38

Kondisi yang diresahkan masyarakat saat ini tidak semata-mata terletak pada ketidakpuasan terhadap praktek peradilan (yang dapat disebut sebagai penegakan hukum dalam arti sempit), tetapi justru ketidakpuasan terhadap penegakan hukum dalam arti luas, yaitu penegakan seluruh norma/tatanan, kehidupan masyarakat (di bidang politik, sosial, ekonomi, pertahanan-keamanan dan sebagainya).

Penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan budaya hukum dan pengetahuan/pendidikan hukum. Budaya hukum dan pengetahuan/pendidikan hukum diperlukan

36

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru, Bandung, 1983,

hal. 24 37

Keseluruhan HAM, dilihat dari sudut hukum pada hakekatnya merupakan “kepentingan hukum” yang sepatutnya mendapat perlindungan, antara lain perlindungan lewat hukum pidana.

38

Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan,

(19)

untuk mendukung reformasi hukum harus diupayakan bersama oleh seluruh aparat penegak hukum, masyarakat/asosiasi profesi hukum, lembaga pendidikan hukum dan bahkan oleh seluruh aparat pemerintah dan warga masyarakat pada umumnya. Namun, Undang-undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin Undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang tidak kunjung lahir seperti Peraturan Pemerintah terhadap Pasal 43 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Meskipun tidak lengkap atau tidak jelas Undang-undang harus dilaksanakan.

Jadi dalam hal penegakan hukum juga perlu dibahas mengenai aparat penegak hukumnya seperti Polisi disebut sebagai “alat negara penegak hukum”, Jaksa disebut sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk tertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.

Menurut ketentuan umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

(20)

Ketidak harmonisan dalam rumah tangga ada kalanya masih dapat diatasi, tetapi ada juga yang harus diakhiri dengan perceraian. Sama halnya dengan perkawinan, perceraian juga merupakan masalah keluarga yang tidak hanya melibatkan suami istri saja melainkan pada kebiasaannya seluruh keluarga ikut serta menyelesaikannya.39 Tapi bagaimanapun juga putusnya hubungan perkawinan akan selalu membawa pengaruh yang buruk pada keluarga.

Pengadilan dalam hal ini adalah merupakan satu-satunya lembaga yang berhak menangani permasalah ini, selain ditentukan Pasal 63 ayat (1) a (absolut kompetensi), juga ditunjuk oleh Pasal 25 (relatif kompetensi) yakni Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal suami isteri, suami atau isteri.40

Dalam Pasal 39 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan bahwa untuk dapat melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri. Untuk pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu perceraian dapat terjadi dengan alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

39

Lili Rasjidi, Op.Cit., hal. 9

40

H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan 3, 1985,

(21)

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.41

Menurut UUP putusnya hubungan perkawinan karena terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat hukum terhadap anak, bekas suami isteri dan harta bersama. Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 UUP yaitu :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan biaya yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

41

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab undang Hukum Perdata dengan Tambahan

(22)

Dari ketentuan Pasal 41 UUP, jelas memberi perlindungan terhadap anak dimana kedua orang tua harus bertanggung jawab dalam hal pemeliharaan anak bahkan ibu juga berkewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan anak apabila bapak tidak mampu.

Mengenai harta bersama, Pasal 37 UUP menyebutkan bahwa : “Bila terjadi perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dari bunyi Pasal 37 UUP ini dapat diketahui bahwa akibat hukum yang menyangkut harta bersama atau harta pencaharian ini UUP menyerahkan penyelesaiannya kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku dan jika tidak ada kesepakatan antara kedua pihak, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. Hal ini berarti Undang-undang membuka kemungkinan berlakunya hukum lain yakni Hukum Agama, BW, Hukum Adat dan Hukum Adat yang berlaku di golongan Timur Asing Tionghoa, golongan Eropah, golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropah serta golongan Pribumi.

Menurut Dadang Hawari bahwa perceraian itu berdampak luar biasa yang mesti diperhatikan oleh pasangan suami-isteri yang akan bercerai mengenai psikologis anak dimana akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan mental dan bahkan berdampak lebih buruk lagi. Oleh sebab itu pasangan suami-isteri yang akan bercerai terlebih dahulu memikirkan psikologis dan masa depan anak-anak.42

Terhadap permasalahan itu, pengadilan yang berhubungan sebagai suatu lembaga pencari keadilan dalam memberikan keputusannya harus didasarkan pertimbangan-pertimbangan kemanusian selain dari adanya pertimbangan yang didasarkan kepada Undang-undang.

2. Kerangka Konsepsi

42

Dadang Hawari, Psikiater dan Konsultan Pernikahan, Cek & Ricek, No.447/Thn.IX/ Rabu, 21-27

(23)

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat didefenisikan beberapa konsep dasar agar dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggal hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapus karena perceraian.

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.

Tuntutan untuk mendapatkan perceraian dapat diajukan kepada hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata, tetapi harus didahului dengan meminta izin pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menggugat. Sebelum izin ini diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan percobaan untuk mendamaikan kedua belah pihak (verzoeningscomparitie).

(24)

Larangan untuk bercerai atas permufakatan, sekarang ini sudah lazim diseludupi dengan cara mendakwa si suami berbuat zina. Pendakwaan itu lalu diakui oleh si suami. Dengan begitu alasan sah untuk memecahkan perkawinan telah dapat “dibuktikan” di muka hakim.43

Gemeenschap hapus dengan perceraian dan selanjutnya dapat diadakan pembagian kekayaan gameenschap itu (scheiding en deling). Apabila ada perjanjian perkawinan, pembagian ini harus dilakukan menurut perjanjian tersebut.

Kepada isteri, jika ia tidak mempunyai penghasilan cukup dan kepada anak-anak yang diserahkan pada isteri itu oleh hakim dapat ditetapkan tunjangan nafkah yang harus dibayar oleh suami tiap waktu tertentu. Permintaan untuk diberikan tunjangan nafkah ini oleh si isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatannya untuk mendapatkan perceraian atau tersendiri. Penetapan jumlah tunjangan oleh hakim diambil dengan mempertimbangkan kekuatan dan keadaan si suami. Apabila keadaan ini tidak memuaskan dapat mengajukan permohonanya supaya penetapan itu oleh hakim ditinjau kembali. Adakalanya juga, jumlah tunjangan itu ditetapkan sendiri oleh kedua belah pihak atas dasar permufakatan. Juga diperbolehkan untuk merubah dengan perjanjian ketentuan-ketentuan mengenai tunjangan tersebut yang sudah ditetapkan dalam keputusan hakim. Jikalau seorang janda kawin lagi, ia kehilangan haknya untuk menuntut tunjangan dari bekas suaminya.

Perceraian mempunyai akibat pula, bahwa kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) berakhir dan berubah menjadi “perwalian” (voogdij). Karena itu, jika perkawinan itu terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Penetapan wali oleh Hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak-anak tersebut. Hakim merdeka untuk menetapkan ayah atau ibu menjadi wali, tergantung dari siapa

43

(25)

yang dipandang paling cakap atau baik mengingat kepentingan anak-anak. Penetapan wali ini juga dapat ditinjau kembali oleh hakim atas permintaan ayah atau ibu berdasarkan perubahan keadaan.

G. Metode Penelitian

Agar mendapat hasil yang maksimal guna tercapainya bagian dari penulisan ini, maka diperlukan kecermatan dan usaha yang cukup untuk mengumpulkan dan mengolah data, dengan baik serta layak. Untuk itu dilakukan penelitian yang meliputi:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Masalah

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada pendekatan asas-asas hukum serta norma-norma hukum yang terdapat dalam perUndang-undangan di Indonesia dan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pedekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.

2. Sifat Penelitian

Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil44. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiil tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada

44

(26)

fakta tersebut. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Sedangkan diktum, yaitu putusannya merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi.

3. Sumber Data

Jenis data penelitian ini adalah menggunakan data sekunder, yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tersier.

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari: a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini berupa perUndang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab suami isteri dalam perceraian terhadap anak, dalam hal ini peraturan perUndang-undangan yang berkaitan adalah :

1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer berupa putusan-putusan Pengadilan Negeri Medan, buku-buku, hasil penelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap objek permasalahan yang diteliti. c. Bahan hukum Tertier

Bahan hukum tertier dalam penelitian ini akan memberikan informasi lebih lanjut tentang bahan hukum primer dan tertier berupa data statistik.

(27)

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara menghimpun data-data dengan, melakukan penelaahan kepustakaan, berupa peraturan perUndang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.

5. Analisis Data

Sesuai dengan sifat penelitian maka sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap data primer, data sekunder dan data tertier untuk mengetahui validitasnya. Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis data ini.

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan lama pemberian pakan berkarotenoid yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter pertumbuhan ikan maskoki yaitu laju pertumbuhan

membagi asma anak menjadi tiga derajat penyakit yaitu asma episodik jarang (asma ringan) dengan frekuensi serangan <1 kali/bulan, asma episodik sering (asma sedang) dengan

Dengan mengetahui dan memahami pemberian nama gelar abdi dalem, memberikan manfaat untuk IPS, sebagai ilmu pengetahuan yang bisa disampaikan dan dapat dijalankan dalam

Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih

Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan merupakan hasil dari penelitian di lapangan, data dan informasi yang diperoleh dari lokasi penelitian, maka dapat

Kemudian memiliki semangat dan kepedulian yang tinggi dari masyarakat terhadap tanggap bencana; (5) Ada tempat relokasi untuk hunian tetap yang telah disediakan oleh pemerintah

sebelumnya, maka jika penulis maknai secara mubādalah , teks tersebut menjelaskan bahwa seorang laki-laki atau suami yang sejak awal ada masalah dengan istrinya sehingga

Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani adalah ibu dengan komplikasi kebidanan di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu yang mendapat penanganan