• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Cerai Gugat Pada Mahkamah Syar’iyah Meulaboh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Cerai Gugat Pada Mahkamah Syar’iyah Meulaboh"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Cerai Gugat Pada

Mahkamah Syar’iyah Meulaboh

Cut Wan Nurlaili

Mahkamah Syar’iyah Meulaboh Email: icoetahsy@yahoo.com

Abstract: The discourse of divorces is an inexhaustible discussion. The divorce rate has risen rapidly.

The religious (Syar‟iyah) court of Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat is one of courts that registered a

significant increase of divorce practice. This study examines the causes of high divorce rate. This

research is categorized into case study research done in Meulaboh Syar‟iyah courts to collect the

necessary data. The approach used in this study is a normative juridical which is an approach of problem by considering right or wrong based on the applicable law. Based on the results, there are a variety of causes of divorces including harmony issues, lack of responsibility, money, third party involvement (affair/polygamy), domestic violence, and interference of others.

Keywords: divorces, Mahkamah Syar‟iyah

Abstrak: Perkara perceraian merupakan suatu perkara yang tiada habis-habisnya untuk dibahas. Bahkan angka perceraian terus meningkat tajam, salah satunya adalah perkara cerai gugat yang terdaftar di Mahkamah Syar‟iyah Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Tulisan ini ingin meneliti faktor-faktor penyebab tingginya gugat cerai. Jenis penelitian dalam tulisan ini digolongkan kepada case study research (penelitian kasus) dengan mengadakan penelitian langsung di Mahkamah Syar‟iyah Meulaboh untuk mencari data yang diperlukan. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan terhadap masalah dengan melihat benar atau salah berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Berdasarkan kajian yang dilakukan, ditemukan faktor- faktor penyebab cerai gugat ialah tidak adanya keharmonisan, tidak adanya tanggung jawab, ekonomi, gangguan pihak ketiga (selingkuh/poligami), cemburu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan campur tangan pihak lain.

Kata kunci: cerai, Mahkamah Syar‟iyah, gugat cerai

Pendahuluan

Perkara perceraian merupakan suatu perkara yang tiada habis-habisnya untuk

dibahas. Bahkan angka perceraian terus meningkat tajam, salah satunya adalah

perkara cerai gugat1 yang terdaftar di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, Kabupaten

Aceh Barat. Buktinya presentase antara perkara cerai talak dan cerai gugat itu tidak

1

(2)

balance (seimbang). Persentase perbedaannya bahkan sampai dua kali lipat lebih

banyak dari pada cerai Talak.

Perceraian merupakan suatu perkara yang mubah tapi tidak disukai Allah

SWT (Inna abghad al-mubahat „inda Allah al-thalak),2 pada prinsipnya Islam tidak

memberikan peluang untuk terjadinya perceraian kecuali pada hal-hal yang darurat,

sehingga perceraian juga bisa menjadi solusi apabila beban yang dihadapi pasangan

sudah tidak bisa dibendung lagi. Allah juga tidak akan membebani manusia dengan

sesuatu yang dia tidak mampu memikulnya. Oleh karena itu jika kehidupan rumah

tangga yang tadinya merupakan nikmat telah berubah menjadi bencana, prahara dan

bahkan seperti neraka maka talak bisa jadi merupakan rahmat yang dapat

membebaskan suami isteri dari prahara tersebut. Ini jika suami istri memandang

bahwa permasalahan sudah menemui jalan buntu dan kedua belah pihak atau salah

satunya benar-benar sudah menghendaki talak.

Dalam KHI disebutkan bahwa Perceraian dapat terjadi karena alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena lain diluar

kemamuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

2

(3)

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar ta’lik talak

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan

dalam rumah tangga.3

Alasan-alasan diatas juga bisa di gunakan dalam hal cerai gugat, Jika gugatan

tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim

berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya. Akan tetapi

terkadang alasan-alasan yang telah ditetapkan belum semuanya mencakup apa yang

menyebabkan istri mengajukan cerai terhadap suaminya. Data statistik belum

sepenuhnya bisa mencakup kenyataan yang terjadi di lapangan. Sehingga penulis

ingin menemukan alasan lain di balik alasan umum ini.

Talak sendiri terbagi dua yaitu talak raj‟i dan talak ba‟in, yang keduanya

terletak di tangan suami, sedangkan bila istri ingin berpisah, maka usaha yang

dilakukan adalah dengan jalan pasakh. Saat ini banyak sekali para istri yang

mengajukan pasakh. Dalam lingkup Peradilan Agama yang khusus untuk Propinsi

Aceh disebut dengan Mahkamah Syar’iyah4 dikenal istilah cerai Talak dan cerai

Gugat atau pasakh.

Berdasarkan data yang diperoleh di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh

menyebutkan bahwa angka perceraian mengalami peningkatan setiap tahunnya,

selama tahun 2010 berjumlah 277 perkara, dengan rincian cerai gugat 115 perkara

dan cerai talak 60 perkara, tahun 2011 berjumlah 331 perkara, dengan rincian cerai

gugat1170 perkara, dan cerai talak 56 perkara, dan tahun 2012 berjumlah 332

3

Intruksi Presiden R.I. Nomor I Tahun 1991, Kompilasi Hukum di Indonesia.

4

(4)

perkara, dengan rincian cerai gugat 175 perkara dan cerai talak 67 perkara, dan pada

tahun 2013 berjumlah 320 perkara, dengan rincian cerai gugat 174 perkara, dan cerai

talak 79 perkara.

Dari data di atas tampak bahwa suami (cerai talak) cenderung lebih pasif bila

di bandingkan dengan istri (cerai gugat) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun,

sedangkan angka cerai talak relatif tetap. Hal ini tidak hanya terjadi di Meulaboh saja,

tetapi hampir di seluruh Pengadilan Agama seluruh Indonesia, volume cerai gugat

sampai mencapai 80 persen dan menimpa semua kalangan baik masyarakat biasa,

PNS, maupun selebritis tanah air.

Di Meulaboh sendiri bisa di petakan bahwa faktor-faktor yang paling dominan

adalah masalah moral, cemburu, sampai perselingkuhan yang dimulai dari segi alat

komunikasi/hp, yang sebenarnya tidak termasuk dalam alasan yang membolehkan

perceraian, meninggalkan kewajiban seperti nafkah lahir dan batin, Salah satu factor

pemicu kecekcokan (Syiqaq), dalam Pejelasan UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan

bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami dan

isteri. Termasuk disini persoalan nusyuz (kedurhakaan) yang dilakukan oleh istri

maupun suaminya. Penerapan ta’lik talak juga tidak sepenuhnya berjalan adakalanya

suami istri tidak membuat perjanjian ta’lik talak, padahal menurut Mahmud Syaltut, ta’lik talak adalah jalan terbaik untuk melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak

baik suami.5

Seharusnya para istri tidaklah dengan mudah diberi peluang untuk menggugat

cerai suaminya, tetapi harus dengan pertimbangan yang sangat matang. Karena

kehidupan rumah tangga adalah kehidupan yang serius untuk keberlangsungan jenis

manusia dan tempat membina kepribadian Islam generasi penerus masa depan.

5

(5)

Di Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya terjadi peningkatan

yang sangat tinggi dalam hal cerai gugat. Dari tahun ketahun, data Mahkamah

Syar’iyah menyebutkan bahwa presentase cerai gugat memang selalu lebih banyak daripada cerai talak, akan tetapi tidak sebanyak tahun-tahun terakhir yang naik dua

kali lipat dibandingkan cerai talak. Perceraian yang diajukan bukan oleh suami

sebagai pemegang hak prerogatif talak, akan tetapi cenderung pihak istri yang lebih

aktif dalam mengajukan perkaranya ke Mahkamah Syar’iyah. Perceraian yang

diajukan oleh sang isteri atau yang biasa disebut cerai gugat terus melonjak naik dari

tahun ke tahun berbanding terbalik dengan cerai talak yang relatif stabil.

Meskipun alasan mengajukan perkara cenderung sama dimana bisa suami atau

istri yang mengajukan perceraian, akan tetapi di lapangan istri yang lebih aktif

langsung berperkara. Hal ini menjadi tanda tanya besar tentang apa yang sebenarnya

terjadi sehingga banyak isteri-isteri yang menggugat suaminya sendiri. Apakah istri

telah ingkar (nusyuz) kepada suami, atau apakah dampak gender yang begitu kuat

sehingga para istri begitu aktif dalam menyelesaikan masalahnya.

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, masalah pokok yang akan

dijawab dalam penelitian adalah : Kenapa cerai gugat relatif lebih tinggi dan terus

meningkat di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh setiap tahunnya dari cerai talak?

Berangkat dari fenomena-fenomena yang telah disebutkan di atas membuat

penulis tertarik untuk membahas persoalan ini dengan judul “Faktor-Faktor Penyebab

Tingginya Cerai Gugat Pada Mahkamah Syar’iyah Meulaboh”

Metode penelitian

Jenis penelitian dalam tulisan ini digolongkan kepada case study research

(penelitian kasus) dengan mengadakan penelitian langsung di Mahkamah Syar’iyah

(6)

Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif,

yaitu pendekatan terhadap masalah dengan melihat benar atau salah berdasarkan

kaidah-kaidah hukum yang berlaku.6 Dengan menganalisa perundang-undangan yang

berhubungan dengan kasus-kasus yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh.

Adapun sumber data yang peneliti gunakan adalah ayat Al-Qur’an dan hadist

yang berkaitan dengan perceraian, dan juga hasil putusan hakim di Mahkamah

Syar’iyah Meulaboh. Serta data pendukung dalam penelitian ini diperoleh melalui

buku-buku seperti: Kompilasi Hukum Islam, Problematika Hukum Keluarga Islam

Kontemporer, Hukum Perdata Islam di Indonesia, dan buku lainnya yang berkaitan

dengan masalah cerai gugat.

Pengertian Cerai Gugat

Secara umum pengertian dari cerai gugat yaitu istri menggugat suaminya

untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan

gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat

(suami).7 Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan tentang cerai gugat, dan

membedakan cerai gugat dengan khulu‟. Namun demikian dia mempunyai kesamaan

dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah keinginan untuk bercerai

datangnya dari pihak istri. Lain halnya perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak

selamanya membayar uang „iwadh (uang tebusan) yang menjadi dasar akan

terjadinya khulu‟atau perceraian.8

Bila seseorang istri melihat pada suaminya sesuatu yang tidak diridhai Allah

untuk melanjutkan hubungan perkawinan, sedangkan suami tidak merasa perlu untuk

menceraikannya, maka istri dapat meminta perceraian dari suaminya dengan

6

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni. Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif-sebagai ilmu Hukum Empirik-Deskritif (Bandung: Rimdi Press. 1995), 166-dst

7

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2002), 906.

8

(7)

kompensasi ganti rugi yang diberikannya kepada suaminya. Bila suami menerima dan

menceraikan istrinya atas dasar ganti rugi itu, maka putuslah perkawinan antara

keduanya. Putus perceraian dengan cara ini disebut khulu‟.9

Putusnya perkawinan yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya dalam

hukum Islam adalah seperti khulu‟. Sering juga disebut dengan istilah cerai gugat.

Adapun yang dimaksud dengan cerai gugat adalah permohonan untuk memutuskan

perkawinan yang dilakukan oleh sang istri di Pengadilan.

Menurut Zaini Nasoah menyebutkan bahwa khulu‟ dari segi bahasa bermakna

”cabut atau tanggal” seolah-olah suami atau istri telah menanggalkan pakaian dari

mengganti pakaian pada badan. Karena seorang wanita yang telah bersuami

merupakan pakaian bagi suaminya begitu juga sebaliknya. Sehingga hak untuk

berpisah antara suami dan istri itu sama apabila suami bisa menceraikan sang istri,

begitu pula sebaliknya.11

Abdul Manan meyebutkan bahwa cerai gugat adalah cerai yang didasarkan

atas adanya gugatan yang diajukan oleh sang istri agar perkawinan dengan suaminya

menjadi putus. Dalam perkawinan agama Islam dapat berupa gugatan yang

dikarenakan suami melanggar ta‟lik talak, gugatan karena syiqaq, gugatan karena

fasakh dan gugatan karena khulu‟.Khulu‟ hanya dibolehkan kalau ada alasan yang

tepat, seperti suami meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa ada izin

9

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), 131.

10

Zaini Nasoah, Perceraian: Hak Wanita Islam, (Malaysia: Perpustakaan Negara Malaysia, 2002), 18.

11

(8)

dari istrinya ataupun alasan lain yang sah, atau juga karena suami seorang yang

murtad dan tidak memenuhi kewajiban kepada istrinya. Sedangkan istri khawatir

akan melanggar hukum Allah. Dalam kondisi seperti ini istri tidak wajib menggauli

suami dengan baik dan istripun berhak untuk khulu‟.12

Menurut pendapat penulis, khulu‟ maupun fasakh adalah dua bentuk talak

yang dikategorikan atas inisiatif istri, dan tidak ada perbedaan yang signifikan. Ini

sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita (istri), walaupun

hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu, istri juga mempunyai

hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai terhadap suaminya melalui

khulu‟ maupun fasakh.

Di dalam Islam, jika suami merasa dirugikan dengan perilaku maupun kondisi

isterinya, ia berhak menjatuhkan talak, begitu pula sebaliknya, jika isteri merasa

dirugikan dengan perilaku dan kondisi suaminya, ia dapat mengajukan gugatan cerai,

yang dikenal dengan istilah khulu‟.

Jadi, dapat disimpulkan bahwasanya cerai gugat adalah cerai yang dilakukan

dari pihak istri yang diajukan di pengadilan dan dalam Islam juga disebutkan tentang

hal itu, kemudian yang disebut khulu‟ yaitu putusnya perkawinan karena keinginan

dari sang istri dengan membayar uang tebusan, namun ada juga pendapat yang

mengatakan kalau suaminya sudah rela tidak mendapat uang tebusan, maka bagi istri

tidak diwajibkan lagi membayar uang tebusan. Jadi antara khulu‟ dan cerai gugat

sama-sama yang dimintakan oleh sang istri.

Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Cerai Gugat

Dalam KHI disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan

12

(9)

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar

kemampuannya

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

g. Suami melanggar ta‟lik talak

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan

dalam rumah tangga.

Alasan-alasan di atas dapat digunakan dalam hal cerai gugat maupun cerai

talak dengan ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang

Pengadilan, maka dapat dikatakan bahwa walaupun Undang-Undang Perkawinan ini

memandang perceraian sebagai sesuatu yang wajar dan dibolehkan, namun oleh

Undang-undang tidak membolehkan begitu saja terjadinya perceraian tanpa alasan

yang kuat. Dengan perkataan lain, Undang-Undang Perkawinan mempersulit

terjadinya perceraian, dalam hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yang

menentukan bahwa perkawinan pada dasarnya adalah untuk selama-lamanya.13 Jika

gugatan tersebut dikabulkan oleh hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri,

13

(10)

maka hakim berhak memutuskan hubungan perkawinan antara keduanya. Akan

tetapi, terkadang alasan-alasan yang telah ditetapkan belum semuanya mencakup apa

yang menyebabkan istri mengajukan cerai terhadap suaminya. Data statistik belum

sepenuhnya dapat mencakup kenyataan yang terdapat di papan pengumuman

Mahkamah Syar’iyah. Sehingga peneliti ingin menggali lebih dalam untuk

menemukan alasan lain di balik alasan umum ini.

Perceraian di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh

Berikut ini disajikan data-data tentang perkara perceraian di Mahkamah

Syar’iyah Meulaboh yang diambil dari tahun 2010 sampai dengan 2013.

Rekapitulasi Jumlah Perkara Perceraian di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh

NO

TAHUN CERAI GUGAT CERAI TALAK JUMLAH PERKARA

1 2010 115 60 175

2 2011

170 56 226

3 2012

173 67 240

4

2013 174 81 255

Jumlah 632 264 896

Sumber: Dokumentasi Mahkamah Syar‟iyah Meulaboh

Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa angka perceraian dari tahun ke tahun

semakin meningkat, dan perkara cerai gugat lebih tinggi daripada perkara cerai talak

(11)

faktor-faktor penyebab perceraian yang diajukan oleh istri yang peneliti temukan adalah

sebagai berikut:

1. Tidak ada Keharmonisan

Tidak ada keharmonisan merupakan salah satu alasan bagi seorang istri

mengajukan perceraian, disebabkan karena terjadinya percekcokan, perlakuan suami

kepada istri dengan seenaknya saja tanpa memperdulikan perasaan seorang istri,dan

perselisihan pendapat. Faktor tidak ada keharmonisan merupakan faktor yang

memiliki persen yang sangat tinggi, sekitar 89% dari 100%, karena setiap perkara

yang masuk ke register Mahkamah Syar’iyah mengaku kalau rumah tangganya mengalami perselisihan yang terus-menerus sehingga tidak pantas untuk

dipertahankan lagi.

2. Tidak Adanya Tanggung Jawab

Tidak adanya tanggung jawab yang dimaksud disini adalah, suami tidak

menafkahi keluarga lagi atau suami jarang pulang kerumah. Persentase tidak adanya

tanggung jawab termasuk tinggi yaitu sekitar 75% dari 100%, karena rata-rata istri

yang mengajukan perkaranya di Mahkamah Syar’iyah sudah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun telah ditinggalkan oleh suaminya. Terkadang ketika hidup

bersama-sama pun suami tidak bertanggung jawab terhadap nafkah istri, ketika tidak lagi

hidup bersama, baik nafkah lahir maupun bathin sudah tidak lagi suami pedulikan.

3. Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor terjadinya cerai gugat.Seorang

suami seharusnya memberikan nafkah, namun pada zaman sekarang ini, banyak kita

lihat bahwa istri yang lebih dominan memberi nafkah, meskipun cuma

sebagian.Namun terkadang karena seorang istri merasa dirinya lebih tinggi baik dari

segi fisik, pekerjaan, ataupun pendidikandari suami sehingga menyebabkan istri

mengajukan perkara cerai gugat.Perkara seperti ini sekitar 50% dari 100%

(12)

4. Gangguan Pihak Ketiga

Gangguan pihak ketiga,yaitu adanya orang lain yang menganggu hubungan

suami istri tersebut, seperti banyak yang terjadi sekarang para suami selingkuh

dengan wanita lain, baik melalui hp maupun sempat ditangkap oleh orang-orang

kampung ataupun tiba-tiba sudah menikah dengan perempuan lain tanpa

sepengetahuan istri. Tidak bisa dipungkiri lagi, ketika suami sudah mempunyai istri

yang kedua, menyebabkan seorang istri mengajukan gugatan cerai. Perkara dalam

kategori ini sekitar 40% dari 100% masuk ke register Mahkamah Syar’iyah

Meulaboh.

5. Cemburu

Cemburu mendominasi sekitar 35%dari 100% masuk ke register Mahkamah

Syar’iyah Meulaboh. Salah satu contohnya, yaitu seorang suami sering curiga kepada

istrinya, atau tidak puasnya terhadap perangai istri apabila sedang berada diluar

rumah. Cemburu di sini adalah cemburu yang berlebihan sehingga apa dikerjakan

istri selalu dicurigai suami, dan apapun yang dikerjakan istri tetap tampak salah di

mata suaminya. Akhirnya berujung ke percekcokan lagi.Apalagi jika istri cenderung

lebih tinggi kedudukan baik dalam hal paras, pendidikan, maupun pekerjaan dari

suami.

6. KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga mempunyai persentase sekitar 30 %.Dari

100%.Banyak para istri yang hanya mendiamkan apa yang telah dilakukan suami

terhadap mereka, tanpa mendokumentasi (foto) ataupun membuat bukti bahwa

mereka telah diperlakukan secara kasar. Baru setelah mengajukan perkara ke

Mahkamah Syar’iyah, istri diminta visum et repertum sebagai bukti otentik bahwa istri telah menjadi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

(13)

Maksudnya disini adalah adanya pihak-pihak seperti keluarga yang sangat

mencampuri urusan suami istri, sehingga suami istri tersebut menjadi tidak

nyaman.Sehingga pada akhirnya memutuskan nasib rumah tangganya di Mahkamah

Syar’iyah.Perkara seperti hanya sekitar 10% dari 100%, sebuah presentase yang kecil namun tidak bisa dianggap sepele.

Jika dirincikan dalam tabel :

Penyebab Perceraian Persentase

Tidak ada keharmonisan 89 %

Tidak adanya tanggung jawab 75 %

Ekonomi 50 %

Gangguan pihak ketiga 40 %

Cemburu 35 %

KDRT 30 %

Campur tangan pihak lain 10 %

Sumber :Data Mahkamah Syar‟iyah Meulaboh tahun 2013

Peneliti membuat semua persentase penyebab perceraian berbanding 100%,

maksud 100% disini adalah keseluruhan perkara cerai gugat pada tahun 2013 yaitu

174 perkara, sedangkan persentasenya adalah jumlah perkara cerai gugat yang berasal

dari penyebab perceraian itu. Sehingga pada akhirnya persentase tertinggi adalah:

tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga. Ini merupakan salah satu alasan yang

terbanyak dan selalu ada perkara cerai gugat.

Perkara Cerai Gugat yang diteliti

Dari 174 perkara cerai gugat pada tahun 2013 yang masuk ke register

Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, maka yang diambil sebagai sampel adalah yang

(14)

usia yang paling telat menikah. di bawah ini peneliti uraikan kasus tersebut yang

berisi: identitas, keadaan rumah tangga, pertimbangan hakim beserta vonis dan

analisis peneliti

Kasus Pertama: Kategori usia menikah paling muda (42. Pdt.G/ 2013)

Penggugat Dara binti Dari (nama disamarkan) umur 47 tahun, agama Islam,

pendidikan SD (tidak tamat), pekerjaan tani, tempat tinggal di Kabupaten Nagan

Raya (alamat tidak dirincikan), adalah istri yang sah dari tergugat Bob bin Simin

(nama disamarkan), umur 53 tahun, agama Islam, pendidikan SMP, pekerjaan tani,

tempat tinggal di Kabupaten Nagan Raya (alamat tidak dirincikan), yang menikah

pada hari senin tanggal 19 Oktober 1979 di KUA, Kabupaten Nagan Raya. Ketika

menikah penggugat berusia 14 tahun dan tergugat berusia 20 tahun. Perkawinan telah

berlangsung selama 34 tahun lamanya dan sudah bergaul layaknya suami istri

sehingga di karuniai 4 orang anak. Kehidupan rumah tangga yang aman dan damai

sudah sekitar 25 tahun setelah itu tepatnya sesudah tsunami pada awal tahun 2005

penggugat dan tergugat selalu terjadi perselisihan yang terus menerus yang

disebabkan hal-hal berikut:

 Tergugat telah menikah siri dengan wanita lain

 Semenjak nikah sirri tersebut tergugat tidak memperdulikan tanggung jawab

nafkah lahir batin terhadap penggugat terhitung sudah tujuh tahun lamanya

 Penggugat telah berusaha menjemput tergugat akan tetapi tergugat tidak mau

kembali lagi sama penggugat

Maka berdasarkan hal-hal yang tersebut di atas, penggugat memohon kepada

hakim Mahkamah Syar’iyah Meulaboh untuk menjatuhkan talak satu bain sughra

tergugat kepada penggugat dan putusan yang seadil-adilnya.

Adapun pertimbangan Hakim dalam persidangan yang berlangsung, tergugat

tidak pernah hadir ke persidangan, mediasi tetap diupayakanakan tetapi tidak

(15)

tergugat di persidangan, hakim tidak mendapatkan jawaban ataupun tanggapan

padahal sudah dipanggil secara patut dan sah. Maka perkara ini dapat diperiksa dan

diputus tanpa hadirnya tergugat (verstek) sesuai dengan pasal 149 ayat (1) Rbg.

Gugatan yang diajukan juga telah terbukti dan memenuhi alasan sebagaimana

pasal 39 angka (2) huruf (b) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan jo pasa 19 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal

116 huruf (b) Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam, dan pendapat Ulama dalam kitab Ia‟natul Thalibin Juz IV hal. 86 yang

berbunyi; “Berlakunya fasakh itu untuk menjaga isteri dari penderitaan, karena tidak

ada nafkah, pakaian dan mahar”

Maka hakim Mahkamah Syar’iyah akhirnya memutuskan:

1. Menyatakan tergugat yang telah dipanggilsepatutnyatidak hadir;

2. Mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek;

3. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra tergugat terhadap penggugat

4. Memerintahkan panitera Mahkamah Syar’iyah Meulaboh untuk menyampaikan

sehelaisalinan putusan ini kepada PPN/KUA Kabupaten Nagan Raya, setelah

putusan ini berkekuatan hukum tetap;

5. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.

391.000,- (tiga ratus sembilanpuluh satu ribu rupiah);

Peneliti menganilisa bahwa para pihak dalam perkara diatas merupakan

pasangan paling muda ketika menikah yaitu: penggugat berumur 14 tahun dan

tergugat berumur 20 tahun. Ketika menilik umur diantara keduanya tampak bahwa

penggugat telah menikah di bawah umur, dalam KHI pasal 15, disebutkan: (1)

Untuk kemashlahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umurt yang ditetapkan dalam pasal 7

Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur

(16)

Faktor usia turut mempengaruhi pembentukan keluarga sakinah. Karena usia

dalam pernikahan adalah faktor utama dan penting dalam upaya melanggengkan

ikatan perkawinan antara pasangan suami istri. Usia pernikahan yang baik adalah

jangan terlalu muda dan jangan terlalu tua.

Seorang pria atau wanita, sebelum masuk masa kematangannya, akan

mengalami berbagai macam perubahan fisik dan mental atau yang lebih popular

disebut sebagai masa puber. Oleh karena itu, apabila seorang wanita yang menikah

dalam usia yang sangat muda, maka akan sedikit mempunyai kesempatan untuk

memiliki anak dan keturunan dari rahimnya sendiri, karena wanita yang terlalu muda

akan mengalami kesulitan dan kesusahan dalam masa melahirkan.14 Penggunaan alat

reproduksi wanita yang belum cukup sempurna, akan berpengaruh pada kesehatan

mental dan fisiknya. Tentunya hal ini akan menjadi problema tersendiri bagi ibu

muda tersebut.

Secara psikologis, pendewasaan usia kawin mutlak diperlukan, karena kawin

paksa atau kawin di usia terlalu muda sering membuat mental suami istri belum siap

untuk menghadapi berbagai persoalan keluarga, sehingga sering mengalami

kegagalan dalam rumah tangga, karena masih tingginya tingkat emosi kedua belah

pihak.15

Emosi merupakan bagian mental yang memerlukan pembinaan secara baik,

karena dia merupakan luapan perasaan yang timbul baik secara spontanitas, maupun

secara rutinitas.16

Namun, setelah mencermati isi duduk perkara di atas dapat diketahui bahwa

yang menjadi sebab terjadinya sengketa ini adalah karena penggugat tidak sanggup

lagi mempertahankan keadaan rumah tangganya dengan tergugat yang telah menikah

siri dengan wanita lain dan sudah tidak lagi memberikan nafkah lahir dan batin yang

menjadi kewajiban suami dan menjadi hak istri.

14

Dep. Kes. R.I., Indonesia Sehat 2010, (Jakarta: Depkes R.I, 1999), 23.

15

Hidayat Salim, Rumahku Mahligaiku, cet VII, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 19.

16

(17)

Dalam hal ini beristri lebih dari satu (poligami) sebenarnya telah diatur dalam

KHI Pasal 55-59. Bahwasanya syarat dari berpoligami adalah suami harus adil

terhadap istri-istri dan anak-anaknya, dan jika seandainya istri tidak dapat lagi

menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Maka dalam perkara ini penggugat

tidak termasuk dalam bolehnya tergugat melakukan poligami, dikarenakan hak

penggugat dan anak-anak penggugat diabaikan sehingga tergugat melanggar syarat

yang telah ditetapkan untuk poligami.

Masalah nafkah lahir bathin yang telah lama tidak diberikan oleh tergugat

sudah sekitar 7 tahun lamanya juga menjadi pertimbangan dalam analisis ini. Bukan

hanya nafkah istri yang dilalaikan melainkan juga nafkah untuk anak-anak penggugat.

Akan tetapi, nafkah untuk anak menjadi gugur dengan kadaluwarsa apabila jika

ternyata selama anak tidak mendapatkan nafkah dari ayahnya, ia mampu membiayai

diri sendiri dengan hartanya sendiri. Anak-anak penggugat diketahui melalui BAP

(Berita Acara Persidangan), bahwasanya 2 orang sudah berumah tangga, dewasa dan

mandiri. Sedangkan 2 orang lagi masih didalam tanggungan penggugat. Masalah

nafkah adalah kewajiban suami yang diberikan kepada istri dan anak-anak, meskipun

nafkah keluarga dibebankan kepada suami, Islam tidak melarang istri membantu

suaminya dalam mencari nafkah dengan izin suaminya, sepanjang tidak mengganggu

tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Dalam perkara ini dibuktikan pula bahwasanya

penggugat juga berprofesi sebagai petani. Sehingga tampak bahwasanya nafkah lahir

yang masih bisa diupayakan oleh penggugat dengan cara bertani, jadi ada nafkah lain

yang benar-benar diabaikan oleh tergugat yaitu nafkah batin.

Gugatan yang diajukan oleh penggugat terlihat wajar, karena sudah sekitar 7

tahun lamanya penggugat cukup bersabar tidak lagi mendapatkan nafkah lahir dan

batin dari tergugat. Nafkah disini bukan hanya untuk istri bahkan untuk anak-anak

yang belum dewasa/mandiri. Penggugat dan tergugat sama-sama tidak lagi hidup

(18)

diajak pulang akan tetapi tergugat tetap pada pendiriannya tidak mau pulang. Di sini

jelas bahwa permasalahan nafkah batin yang sangat disia-siakan. Karena ketika

tergugat tidak memberikan nafkah lahir, maka penggugat masih bisa mengusahakan

sendiri karena penggugat juga berprofesi sebagai petani.

Kasus kedua: Kategori Usia Menikah Paling Tua (144/Pdt.G/2013)

Pada hari Kamis tanggal 28 Maret 2013 terdaftar di Kantor Urusan Agama

Kaway XVI terjadi pernikahan antara Umi binti Umar (nama disamarkan), Umur 49

tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan Ibu rumah tangga, alamat

Kabupaten Aceh Barat (alamat tidak dirincikan), selanjutnya disebut sebagai

penggugat. Dengan Arif bin Hasan (nama disamarkan), umur 54 tahun, agama Islam,

pendidikan SMA, pekerjaan Swasta/Geuchik, alamat Kabupaten Aceh Barat (alamat

tidak dirincikan), selanjutnya disebut sebagai tergugat. Dalam perjalanannya

pasangan ini tidak pernah rukun dan damai, adapun perselisihan yang terjadi

disebabkan oleh:

1. Masalah anak angkat tergugat yang sangat nakal. Sebelumnya, status yang

diemban keduanya adalah janda dan duda.

2. Perbedaan prinsip yang tidak sejalan dan selalu berselisisih.

3. Atas permasalahan di atas penggugat sudah tidak mau lagi hidup bersama

tergugat yang memang baru berjalan 3 bulan.

Adapun pertimbangan Hakim Atas dasar duduk perkara yang terjadi,

menimbang Penggugat tetap bersikeras ingin bercerai dengan tergugat. Sedangkan

tergugat tidak hadir ke persidangan sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 149 ayat

(1) RBg majelis hakim dapat memeriksa dan memutus perkara ini tanpa hadirnya

tergugat (verstek); dalam BAP diketahui ternyata tergugat sangat jarang pulang ke

(19)

sudah menikah lagi dengan perempuan lain, ditambah lagi dengan keadaan keuangan

yang tidak transparan dan hanya bergantung kepada penggugat.

Menimbang, bahwa berdasarkan penilaian terhadap alat-alat bukti yang

diperlihatkan oleh penggugat, dalam kaitannya dengan keterangan beserta dalil-dalil

permohonan penggugat. Dan juga ditemukan pula fakta-fakta baru di persidangan.

Sehingga pihak hakim memutuskan yang isi putusannya di bawah ini:

1. Menyatakan tergugat yang telah dipanggil secara sah dan patut untuk menghadap

dipersidangan, tidak hadir;

2. Mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek;

3. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra tergugat terhadap penggugat;

4. Memerintahkan panitera Mahkamah Syar’iyah Meulaboh untuk menyampaikan

salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat

Nikah pada Kantor Urusan Agama;

5. Membebankan kepada Penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp. 291.000,-

(dua ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);

Para pihak menikah dengan usia yang tidak bisa lagi dibilang muda yaitu

penggugat berusia 49 tahun dan tergugat berusia 54 tahun. Dengan status duda dan

janda, di sini peneliti melihat bahwa masing-masing pihak masih terbawa keadaan

pada status sebelumnya dan masih belum bisa menerima kehidupan baru dengan

pasangannya sekarang. Terbukti juga dengan masa pernikahan yang begitu singkat

hanya 3 bulan. Tampak di sini ada sesuatu di diri penggugat yang tergugat tidak sukai

sehingga baru seumur jagung menikah, tergugat malah menikah lagi dengan wanita

lain.

Penggugat juga mengaku tidak ingin ada orang lain di rumah, sehingga

mengganggu kenyaman hidup berumah tangga, sedangkan tergugat mempunyai anak

(20)

pada akhirnya penggugat tidak sanggup bersabar lagi sehingga mengajukan perkara

ini ke Mahkamah Syar’iyah.

Dengan status sudah pernah menikah sebelumnya seharusnya menjadi

pertimbangan yang matang bagi pasangan ini. Karena pasti ada anggota-anggota baru

lainnya yang akan mengisi hari-hari rumah tangga keduanya. Ini juga termasuk dari

tujuan perkawinan yaitu untuk memperluas ikatan kekerabatan (hurmatu

al-muşāharah).17 Namun, tampaknya hal ini yang tidak bisa diterima penggugat. Anak yang sudah dianggap anak sendiri oleh tergugat ternyata tidak disukai oleh penggugat

sebagai istri baru tergugat. Ditambah lagi dengan alasan-alasan lain menjadi

pertimbangan penggugat dalam mengajukan perkara.

Kesimpulan

Dari seluruh pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, peneliti

mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Terjadinya cerai gugat yang sangat tinggi dibandingkan cerai talak terlihat

bahwasanya suami telah melepaskan tanggung jawab atau kesadaran untuk

bertanggung jawab sangat menurun, padahal istri sudah cukup bersabar sebelum

mengajukan perkara di Mahkamah Syar’iyah. Akan tetapi dengan sikap suami

tersebut membuat istri tidak sanggup lagi untuk hidup bersama.

2. Banyak alasan-alasan perceraian yang telah disebutkan di dalam KHI, di

Mahkamah Syar’iyah Meulaboh sendiri alasan-alasan dalam mengajukan cerai gugat lebih di dominasi oleh alasan-alasan sebagai berikut: tidak adanya

keharmonisan, tidak adanya tanggung jawab, ekonomi, gangguan pihak ketiga

(selingkuh/poligami), cemburu, KDRT, dan campur tangan pihak lain. Dan usia

pernikahan merupakan faktor yang paling ektrim penyebab terjadinya cerai gugat.

17

(21)

Bibliography

Books

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2001.

Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syari‟at Islam, terj: H. Basri Iba Asghary dan

Wadi Masturi, cet ke-II, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.

Agusni Yahya, dkk.Hak dan Kewajiban Perempuan sebagai Istri, Banda Aceh:

Yayasan flower Aceh dan The Asia Fondation, 2002.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003.

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:

Studi Kritis perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI,

Dep. Kes. R.I., Indonesia Sehat 2010, .Jakarta: Depkes R.I, 1999.

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni. Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif-sebagai ilmu

Hukum Empirik-Deskritif, Bandung: Rimdi Press. 1995.

Hidayat Salim, Rumahku Mahligaiku, cet VII, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994..

Intruksi Presiden R.I. Nomor I Tahun 1991, Kompilasi Hukum di Indonesia.

Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap

Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Seri INIS XXXIX, Jakarta: 2002.

Tarmizi M. Jakfar, Poligami dan Talak liar dalam Perspektif Hakim Agama di

Indonesia, Cet I, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007.

UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Zaini Nasoah, Perceraian: Hak Wanita Islam, Malaysia: Perpustakaan Negara

Malaysia, 2002.

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, Palu: Yayasan Masyarakat

Indonesia Baru, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

1 Yusuf Setyaji, “Metode Pembelajaran Nahwu-Shorof dalam Meningkatkan Kemampuan Baca Kitab Kuning di Pondok Pesantren Ibnu Abbas Sragen Tapel 2018/2019”

Tujuan jangka panjang penelitian yang dilakukan adalah untuk mempelajari keragaman genetik Bego- movirus yang menyerang pertanaman tomat di Indo- nesia, secara lebih detail

Hasil uji lanjut BNJ 5% menunjukkan bahwa pemberian bokashi daun gamal dan diameter agregat tanah dengan perlakuan atau diameter yang meningkat nyata meningkatkan

Pelaksanaan SL-PHT pada umumnya sudah berjalan sesuai rencana, tetapi masih perlu perbaikan aspek teknis, yaitu salah satu persyaratan petani peserta harus bisa baca tulis

Dari kedua laboratorium ( Lab 1 dan 2 ) yang digunakan untuk menganalisa komposisi asam lemak diperoleh waktu retensi yang bervariasi, selanjutnya untuk asam

ini adalah tingkat pengetahuan pada penderita diabetes sebagian besar tinggi, sedangkan pada tingkat distress sebagian besar rendah, dan terdapat hubungan antara

Berdasarkan data (Tabel 10), penyimpanan semen cair pada pengamatan jam ke 32 menggunakan pengencer MIII menunjukkan bahwa motilitas spermatozoa menggunakan teknik

Dalam penelitian Afni Avriani tahun 2008 yang berjudul “Pengaruh Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Profitabilitas Bank Syariah” menyebutkan bahwa terdapat pengaruh