EKONOMI ISLAM
Pendahuluan
Sesungguhnya telah sepuluh abad sebelum orang-orang Eropa menyusun teori-teori tentang
ekonomi, telah diturunkan oleh Allah Swt sebuah analisa tentang ekonomi yang khas di daerah
Arab. Hal yang lebih menarik adalah bahwa analisa ekonomi tersebut tidak mencerminkan
keadaan bangsa Arab pada waktu itu, tetapi adalah untuk seluruh dunia. Jadi sesungguhnya hal
tersebut merupakan hidayah dari Allah Swt, Tuhan yang mengetahui sedalam-dalamnya akan isi
dan hakikat dari segala sesuatu. Kemudian struktur ekonomi yang ada dalam firman Allah dan
sudah sangat jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah dilaksanakan dengan baik oleh
umat pada waktu itu. Sistem ekonomi tersebut adalah susatu susunan baru yang bersifat
universal, bukan merupakan ekonomi nasional bangsa Arab. Sistem ekonomi tersebut dinamakan
ekonomi Islam.
Pengertian Ilmu Ekonomi Islam
Ilmu Ekonomi Islam adalah teori atau hukum-hukum dasar yang menjelaskan
perilaku-perilaku antar variabel ekonomi dengan memasukkan unsur norma ataupun tata aturan tertentu
(unsur Ilahiah). Oleh karena itu, Ekonomi Islam tidak hanya menjelaskan fakta-fakta secara apa
adanya, tetapi juga harus menerangkan apa yang seharusnya dilakukan, dan apa yang seharusnya
dikesampingkan (dihindari).
Menurut Adi Warman Karim (2003: 6), dengan demikian, maka Ekonom Muslim, perlu
mengembangkan suatu ilmu ekonomi yang khas, yang dilandasi oleh nilai-nilai Iman dan Islam
yang dihayati dan diamalkannya, yaitu Ilmu Ekonomi Islam.
Sebuah sistem ekonomi yang juga menjelaskan segala fenomena tentang perilaku pilihan
dan pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan aturan syariah
sebagai variabel independent (ikut pengambilan keputusan ekonomi), yang berasal dari Allah Swt. meliputi batasan- batasan dalam melakukan kegiatan ekonomi. Proses integrasi norma dan
aturan syariah ke dalam ilmu ekonomi, disebabkan adanya pandangan bahwa kehidupan di dunia
tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan di akhirat. Semuanya harus seimbang karena dunia
adalah sawah ladang akhirat. Return (keuntungan) yang kita peroleh di akhirat, bergantung pada
apa yang kita investasikan di dunia.
Sejarah Pemikiran
Berbagai pemikiran dari para sarjana ataupun filosof-filosof zaman dahulu mengenai
ekonomi tersebut juga sudah ada. Diantaranya adalah pemikiran Abu Yusuf (731-798 M), Yahya
Ibnu adam (wafat 818 M), Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), el-Hariri (1054-1122
M), Imam al-Ghozali (1058-1111 M), Tusi (1201-1274 M), Ibnu Taimiyah (1262-1328 M), Ibnu
Khaldun (1332-1406 M) dan lain-lain1. Barangkali tidaklah pada tempatnya untuk menyebut secara singkat sumbangan dari beberapa diantara mereka itu. Sumbangan Abu Yusuf terhadap
keuangan umum adalah tekanannya terhadap peranan negara, pekerjaan umum dan
perkembangan pertanian yang bahkan masih berlaku sampai sekarang ini. Gagasan Ibnu
Taimiyah tentang harga ekuivalen, pengertiannya terhadap ketidaksempurnaan pasar dan
pengendalian harga, tekanan terhadap peranan negara untuk menjamin dipenuhinya
kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat dan gagasannya terhadap hak milik. Memberikan sejumlah petunjuk
ekonomi yang lebih luas dari Tusi. Dia menganggap bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu
pengetahuan yang positif maupun normatif. Maksudnya mempelajari ekonomi adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan bukan kesejahteraan individu. Ibnu Khaldun yang telah melihat adanya hubungan timbale balik antara factor-faktor ekonomi, politik, sosial, etika
dan pendidikan. Dia memperkenalkan sejumlah gagasan ekonomi yang mendasar seperti
pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja dalam teori nilai, teori
mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistem harga dan
sebagainya.
Secara keseluruhan para cendekiawan tersebut pada umumnya dan Ibnu Khaldun pada
khususnya dapat dianggap sebagai pelopor perdagangan fisiokrat dan klasik (misalnya Adam
Smith, Ricardo dan Malthus) dan neo klasik (misalnya Keynes). Sebutan ekonomi Islam
melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata “Islam” memposisikan Ekonomi Islam
pada tempat yang sangat ekslusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan
bagi semua manusia. Bagi lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan
antara aliran kapitalis dan sosialis, sehingga ciri hal khusus yang dimiliki oleh ekonomi Islam itu sendiri hilang. Sebenarnya ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri
khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat
mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan cirri khasnya, ekonomi
Islam dapat menunjukan jati dirinya-dengan segala kelebihannya pada setiap sistem yang
dimilikinya.
Ekonomi Rabbani menjadi ciri khas utama dari model Ekonomi Islam. Chapra
menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai divine
economics. Cerminan watak “ketuhanan” ekonomi Islam bukan aspek pelaku ekonominya -
sebab pelakunya pasti manusia – tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus dipedomani
oleh pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua factor ekonomi termasuk diri
manusia pada dasarnya adalah milik Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan
segala urusan (QS 3:109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam batas koridor aturan main. “Dialah yang memberi
kelapangan atau membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki” (QS. 42:12,13, 26). Atas hikmah
Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama ia tidak menolak untuk
mendapatkannya (QS 11:6) Namun Allah tak pernah menjamin kesejahteraan ekonomi tanpa
manusia tadi melakukan usaha.
Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka ekonomi Islam – meminjam istilah dari Ismail
al-faruqi – mempunyai sumber “nilai-nilai normative-imperatif”, sebagaim acuan yang mengikat.
Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan
ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai yang secara vertical merefleksikan
apapun dengan perbankan konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk
saling bahu membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
syariah dan bukan pada bunga. Masa ini dimulai kira-kira pada pertengahan decade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir decade 1950- an dan awal decade 1960-an.
Pada masa itu di Pakistan didirikan Bank Islam local yang beroperasi bukan pada bunga,
lembaga keuangan ini diberi nama Mit Ghomr Local Saving Bank yang berlokasi di delta
sungai Nil, Mesir.
2. Tahapan Kedua, dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan ini para ekonom
muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika
Serikat dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter
Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan
alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar tentang
ekonomi Islam digelar dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim dan
nonmuslim. Konfrensi internasional pertama tentang ekonomi Islam pertama diadakan di
Makkah al-Mukaromah pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi internasional yang baru di London pada tahun
1977. Pada tahapan ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal diseluruh dunia Islam
antara lain : Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan sebagai bapak ekonomi Islam, Dr.
M. Umer Chapra, Dr. MA. Mannan, Dr. Omar Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M.
Nezatullha Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr. Munawwar Iqbal, Dr. Muhammad Ariff, Dr. Anas
Zarqa dan lain-lain. Mereka adalah ekonom-ekonom yang didik di barat tetapi memahami
sekali bahwa Islam sebagai way of live yang integral dan komprehenshif memiliki sistem
ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan baik akan mampu membawa umat Islam
kepada kedudukan yang berwibawa dimata dunia.
3. Tahapan ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk engembangkan perbankan dan
lembaga-lembaga non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah.
Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan muslim yang memiliki kepedulian kepada
perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank Islam dan
lembaga investasi berbasis non-riba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi
yang lebih mapan. Bank Islam pertama yang didirikan adalah Islamic Development Bank
(IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasama antara
negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Selanjutnya
Sejarah tentang Sistem Ekonomi Islam/Syariah
Dengan hancurnya komunisme dan sistem ekonomi sosialis pada awal tahun 90-an membuat sistem kapitalisme disanjung sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang sahih. Tetapi ternyata, sistem ekonomi kapitalis membawa akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak negara miskin bertambah miskin dan negara kaya yang jumlahnya relatif sedikit semakin kaya.
Dengan kata lain, kapitalis gagal meningkatkan harkat hidup orang banyak terutama di negara-negara berkembang. Bahkan menurut Joseph E. Stiglitz (2006) kegagalan ekonomi Amerika dekade 90-an karena keserakahan kapitalisme ini. Ketidakberhasilan secara penuh dari sistem-sistem ekonomi yang ada disebabkan karena masing-masing sistem ekonomi mempunyai kelemahan atau kekurangan yang lebih besar dibandingkan dengan kelebihan masing-masing. Kelemahan atau kekurangan dari masing-masing sistem ekonomi tersebut lebih menonjol ketimbang kelebihannya.
Karena kelemahannya atau kekurangannya lebih menonjol daripada kebaikan itulah yang menyebabkan muncul pemikiran baru tentang sistem ekonomi terutama dikalangan negara-negara muslim atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu sistem ekonomi syariah. Negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim mencoba untuk mewujudkan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada Al-quran dan Hadist, yaitu sistem ekonomi Syariah yang telah berhasil membawa umat muslim pada zaman Rasulullah meningkatkan perekonomian di Zazirah Arab. Dari pemikiran yang didasarkan pada Al-quran dan Hadist tersebut, saat ini sedang dikembangkan Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah di banyak negara Islam termasuk di Indonesia.
Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah merupakan perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah bukan untuk menyaingi sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke muka bumi ini dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat sebagai nilai ekonomi tertinggi. Umat di sini tidak semata-mata umat Muslim tetapi, seluruh umat yang ada di muka bumi. Ketentraman hidup tidak hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan hidup secara melimpah ruah di dunia, tetapi juga dapat memenuhi ketentraman jiwa sebagai bekal di akhirat nanti. Jadi harus ada keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia dengan kebutuhan untuk akhirat.
Tiga Prinsip Dasar Yang Menyangkut sistem ekonomi Syariah menurut Islam
1. Tawhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas jagad raya ini adalah Allah SWT.
2. Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup dalam rangka menyebarkan misi hidupnya.
Pengertian Hisbah
Hisbah secara terminologi diambil dari kata HSB yang berarti menghitung (reckoning dan computing) berarti pula kalkulasi, berpikir (thinking), memberikan opini, pandangan dan lain-lain. Sedangkan menurut John L. Esposito, kata hisbah secara harfiah berarti jumlah, hitungan, atau upah, hadiah, pahala. Namun, secara teknis, ia mengandung arti institusi negara untuk mendukung kebaikan dan mencegah kemungkaran (amru bi ma’ruf wa nahyu ‘an al-munkar). Institusi hisbah didefinisikan oleh Abdul hadi sebagi sistem “ yang membuat seseorang bisa berlaku benar dalam prilaku mereka.” Dalam kata lain ia adalah institusi check and balances.
Pengertian Hisbah Menurut Dr. Kamal Ibrahim Mursi, aktifitas konseling agama yang dijumpai pada zaman klasik Islam dikenal dengan nama hisbah, atau ihtisab, konselornya disebut muhtasib, dan klien dari hisbah tersebut dinamakan muhtasab 'alaih.
Hisbah menurut pengertian syara' artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan munkar yang jelas-jelas dikerjakan oleh klien (amar ma'ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan. Hisbah merupakan panggilan, oleh karena itu muhtasib melakukannya semata-mata karena Allah, yakni mem¬bantu orang agar dapat mengerjakan hal-hal yang menumbuhkan kesehatan fisik, mental dan sosial, dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang merusak. Panggilan untuk
melakukan hisbah didasarkan kepada firman Allah SWT yang artinya : Hendaknya ada diantara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Q/3:104)
Bentuk amar ma'ruf dalam hisbah ialah menyuruh dan menghendaki kliennya mengerjakan yang ma'ruf, yakni semua hal yang dituntut syara, termasuk perbuatan dan perkataan yang membawa kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, yang wajib maupun yang sunat. Sedangkan bentuk nahi munkar dalam hisbah ialah meminta klien menjauhi yang munkar, yakni semua yang dilarang syara`, termasuk perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kesulitan bagi pribadi dan masyarakat.
Sudah barang tentu hisbah dilakukan dengan prinsip suka sama suka, bersifat sugesti dan introspeksi, sehingga klien menyadari betul manfaat perbuatan ma'ruf dan bahayanya perbuatan munkar, dan dengan itu klien terdorong pada perbuatan baik dan allergi terhadap yang mungkar, kuat motivasi positipnya dan padam motivasi negatipnya. Hisbah juga dilakukan dengan lemah lembut.
Mu’jam al Wasith menerangkan definisi hisbah sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh negara Islam dengan mengangkat seorang kepala yang bertugas mengawasi urusan umum, harga dan adab umum. Berdasarkan definisi tersebut, setidaknya ada tiga poin penting mengenai institusi hisbah, yaitu:
1. Bahwa hisbah adalah sebuah lembaga (departemen) yang secara khusus dibentuk oleh pemerintah.
2. Tugas utamanya adalah melakukan amar makruf nahi mungkar
3. Tugas hisbah yang lebih spesifik adalah mengawasi berbagai kegiatan ekonomi di pasar, menjaga mekanisme pasar berjalan normal dan tidak terdistorsi, dan melakukan tindakan korektif ketika terjadi distorsi pasar.
Menurut Islahi yang mendasarkan pada kajian-kajian kitab klasik, terutama karya Ibnu Taimiyah, dan prakteknya pada perekonomian negara Islam pada masa lalu, menjelaskan fungsi umum al-hisbah, yaitu:
1. Sebuah sistem yang secara umum digambarkan pelaksanaan kebajikan dan kewajiban oleh muhtashib dan berkaitan dengan aspek agama dan yuridis dalam pengurusannya
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirot Allah Swt, karena atas rahmat serta ridhonyalah
penulis dapat menyelesaikan makalah ini, sholawat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi
Besar Muhammad Saw, kepada keluarga dan para sohabatnya serat kita selaku umatnya yang
mudah-mudaha mendapat safaatnya. Amin.
Pada makalah ini akan dibahas tentang Ekonomi Islam.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kesalahan keritik serta saran yang membangun dari pembaca penulis harapkan agar kedepannya
makalah ini dapat jauh lebih baik lagi.
Purwakarta, Oktober 2012
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi... ii
Ekonomi Islam ... 1
Pendahuluan ... 1
Pengertian Ilmu Ekonomi Islam ... 1
Sejarah Pemikiran ... 1
Sejarah Baru Ekonomi Islam... 2
Sejarah Tentang Sistem Ekonomi Islam/Syariah ... 4
Tiga Prinsip Dasar Yang Menyangkut Sistem Ekonomi Syariah Menurut Islam ... 4
Empat Ciri/Sifat Sistem Islam ... 4