• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia A. Latar Belakang Grasi - Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia A. Latar Belakang Grasi - Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia

A. Latar Belakang Grasi

Permohonan grasi ini diajukan oleh yang dihukum bersalah kepada kepala

negara atau presiden yang kedudukannya sebagai Kepala Negara yang mempunyai

hak prerogatif. Pemberian grasi merupakan suatu hak, maka kepala negara tidak

berkewajiban untuk mengabulkan semua permohonan grasi yang ditujukan

kepadanya. Kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau

pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah

bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak

preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan

berupa mengurangi pidana (starfverminderend) atau memperingan pidana atau

penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Bisa

juga Grasi itu ditolak oleh Presiden. Pemberian grasi oleh kepala negara kepada si

terhukum pada umumnya dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut; (a)

Seandainya dipandang adanya kekurang layakan dalam penerapan hukum, maka

pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan hukum;

(b)Seandainya dipandang bahwa para terhukum sangat dibutuhkan negara atau pada

mereka terdapat penyesalan yang sangat mendalam, maka dalam hal ini pemberian

grasi adalah demi kepentingan negara. Pertimbangan pemberian grasi kepada si

terhukum lebih dititikberatkan pada memberi penilaian kembali terhadap putusan

hakim. Putusan tersebut dinilai kembali apakah putusan tersebut telah sesuai dengan

kesalahan yang terbukti dilakukan oleh si terhukum atau apakah putusan tersebut

(2)

tersebut dijatuhkan. Pemberian grasi merupakan suatu koreksi atas putusan hakim

dengan dasar alasan-alasan yang telah diketahui setelah hakim menjatuhkan

putusannya.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (UU

Permohonan Grasi), tidak disebutkan secara jelas mengenai pengertian grasi. Namun,

pengertian grasi dapat kita simpulkan dari pasal 1 UU Permohonan Grasi yang

berbunyi; “Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman, baik

militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak

lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden.”

Sebelum tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 3

Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 40)

yang dikeluarkan pada masa Republik Indonesia Serikat, mengatur prosedur yang

melibatkan beberapa instansi terkait, termasuk Mahkamah Agung yang diberi

kewenangan untuk memberikan pertimbangan permohonan grasi. Jadi,

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 yang tidak mendasarkan pada Undang-Undang-undang Dasar

1945 Pasal 14 dan Undang-undang Dasar 1945 beserta Perubahan Pertama, dengan

sendirinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dalam

masyarakat, di samping prosedurnya yang terlalu panjang dengan melibatkan instansi

penegak hukum yang tidak terkait lagi dengan pemberian grasi itu sendiri.

Pertimbangan yang selama ini diberikan dengan melihat sistem peradilan pidana,

tidak diperlukan lagi. Untuk itu, substansi Undang-undang mengatur proses

pemberian grasi tanpa melalui pertimbangan yang berkaitan dengan sistem peradilan

pidana (criminal justice system) itu sendiri. Setelah tahun 2002 pemberian grasi

didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi).

(3)

yaitu semua putusan pengadilan sipil maupun pengadilan militer yang telah

berkekuatan hukum tetap. Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut

UU Grasi yaitu terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap. Putusan tersebut adalah pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara paling

rendah dua tahun.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa grasi merupakan

pengampunan yang dapat diajukan kepada Presiden atas hukuman-hukuman yang

dijatuhkan kepada si terhukum. Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002

tentang Grasi (UU Grasi) memberikan pengertian mengenai grasi yaitu sebagai

pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan

pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pada penjelasan

pasal 2 UU Grasi dinyatakan bahwa putusan pengadilan yang dapat dimintakan grasi

adalah putusan pengadilan sipil atau putusan pengadilan militer. Dengan demikian

tidak ada perubahan yang menonjol dalam pengertian grasi menurut kedua UU

tersebut. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan

yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan

putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan

persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan

hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang

yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati

pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan

kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan

(4)

B. Sejarah Grasi

Pada mulanya pemberian grasi atau pengampunan di zaman kerajaan absolut

di Eropa, adalah berupa anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan

pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Jadi sifatnya sebagai kemurahan

hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern, di mana

kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasan pemerintahan atas pengaruh

dari paham trias politica, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi upaya

koreksi terhadap putusan pengadilan khususnya mengenai pelaksanannya.

Kamus Umum Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau

keberadaan32. Sedangkan grasi, dalam Kamus Hukum berarti wewenang dari kepala

negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh

hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk

hukuman itu33

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi .

34

Sebelum berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, dua

Konstitusi yang pernah berlaku yakni Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, juga

memberikan dasar kepada Presiden untuk memberikan grasi. Dalam dua Konstitusi ,

menyebutkan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,

pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan

oleh Presiden”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak presiden untuk

menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian yang dijatuhkan oleh

hakim, atau menukarkan hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan Pasal

10 KUHP.

32J.S.Badudu Op.Cit, hlm.375 33

JCT.Simorangkir (et-al), Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.58

34

(5)

ini, rumusan mengenai grasi justru diatur lebih lengkap. Pasal 160 ayat (1) dan (2)

Konstitusi RIS, merumuskan sebagai berikut:

(1) Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang

dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.

(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat

dijalankan, melainkan sesudah presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang federal diberikan kesempatan untuk memberikan ampun.

UUDS 1950 yang diundangkan tanggal 15 Agustus 1950, pada Pasal 107 ayat

(1) dan (2), dicantumkan pula tentang hak Presiden tersebut yang rumusannya senada

dengan Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS tersebut. Yaitu sebagai berikut:

(1) Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang

dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.

(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat

dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan Undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberikan grasi.

Berlakunya Kontitusi RIS 1949, diundangkan Undang-undang Darurat No.3

Tahun 1950 tentang Grasi pada 6 Juli 1950. Pada zaman Hindia Belanda, mengenai

hukum acara grasi diatur dalam Gratieregeling (Stb. 1933 No.2). Setelah Proklamasi,

dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No.67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi.

Keduanya kemudian dicabut oleh Undang-undang No.3 Tahun 1950 tentang Grasi

(L.N. 1950 No. 40), yang juga dicabut oleh Undang-undang No.22 Tahun 2002

tentang Grasi (L.N. 2002 No.108).

Keterangan mengenai grasi di dalam KUHP, hanya terdapat dalam satu Pasal

saja. Yaitu pada Pasal 33a, yang berbunyi:

(6)

presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana”.

Pasal 33a tersebut tidak mengatur mengenai grasi secara lengkap. Namun

hanya mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan

permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara

atau hukuman pidana kurungan.

Permohonan grasi kepada Presiden dapat diajukan terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu

perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan

pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara

seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun,

terpidana yang biasanya mengajukan permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

Hukuman pidana penjara dalam waktu tertentu maupun hukuman pidana

penjara seumur hidup, eksekusinya dilakukan oleh jaksa yaitu dijalankan oleh

terpidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan untuk pidana mati, menurut

Pasal 11 KUHP, eksekusi dilakukan dengan cara digantung di tiang gantungan.

Ketentuan Undang-undang No.11 Tahun 1964, eksekusi dilakukan oleh regu tembak.

Permohonan grasi sebagaimana dimaksud, hanya dapat diajukan satu kali,

kecuali dalam hal:

a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua

tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau

b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur

hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi

(7)

Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana sendiri, kuasa hukumnya,

atau keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi

pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa

persetujuan dari terpidana. Permohonan grasi ini diajukan secara tertulis oleh

terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.

Dalam permohonan grasi ini, Presiden berhak mengabulkan atau menolak

permohonan grasi yang diajukan, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah

Agung. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang

Dasar 1945, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung”. Pernyataan ini juga sejalan dengan isi Pasal 27

Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman35

a. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan berdasarkan

Undang-undang Dasar (to govern based on constitution). Bahkan, dalam

sistim yang lebih ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden haruslah didasarkan atas perintah konstitusi dan peraturan , “Mahkamah

Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum,

kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta”. Oleh karenanya

kewenangan Presiden memberikan grasi ini disebut kewenangan dengan konsultasi,

maksudnya kewenangan yang memerlukan usulan atau nasihat dari institusi lain.

Selain grasi, yang termasuk dalam kewenangan dengan konsultasi yaitu kewenangan

memberikan amnesti dan abolisi, dan kewenangan memberikan rehabilitasi.

Adapun mengenai wewenang Presiden, biasanya dirinci secara tegas dalam

Undang-ndang Dasar. Perincian kewenangan ini penting untuk membatasi sehingga

Presiden tidak bertindak sewenang-wenang. Beberapa kewenangan Presiden yang

biasa dirumuskan dalam Undang-undang Dasar berbagai negara, mencakup lingkup

kewenangan sebagai berikut:

35

(8)

perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kecenderungan yang

biasa terjadi dengan apa yang disebut dengan discretionary power, dibatasi

sesempit mungkin wilayahnya.

b. Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan

umum atau publik (to regulate public affairs based on the law and the

constitution). Dalam sistim pemisahan kekuasaan (separation of power), kewenangan untuk mengatur ini dianggap ada di tangan lembaga perwakilan, bukan di tangan eksekutif. Jika lembaga eksekutif merasa perlu mengatur maka kewenangan mengatur di tangan eksekutif itu bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya, Presiden tidak boleh menetapkan suatu, misalnya Keputusan Presiden tidak boleh lagi bersifat mengatur secara mandiri seperti dipahami selama ini.

c. Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan yang terkait

dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan. Dalam sistim parlementer yang mempunyai Kepala Negara, ini biasanya mudah dipahami karena adanya peran simbolik yang berada di tangan Kepala Negara. Tetapi dalam sistim presidensiil, kewenangan untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti itu ditentukan berada di tangan Presiden.

d. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan

dengan negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun damai. Presiden adalah pucuk pimpinan negara, dan karena itu dialah yang menjadi simbol kedaulatan politik suatu negara dalam berhadapan dengan negara lain. Dengan persetujuan parlemen, dia jugalah yang memiliki kewenangan politik untuk menyatakan perang dan berdamai dengan negara lain.

e. Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan

memberhentikan orang dalam jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan administrasi negara. Karena Presiden juga merupakan kepala eksekutif maka sudah semestinya dia berhak untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan pemerintahan atau jabatan

administrasi negara36

Kelima jenis kewenangan di atas sangat luas cakupannya, sehingga perlu

diatur dan ditentukan batas-batasnya dalam undang Dasar atau

Undang-undang. Oleh karena itu, biasanya ditentukan: .

a. Penyelengaraan pemerintahan oleh Presiden haruslah didasarkan atas

Undang-undang Dasar;

b. Dalam sistem pemisahan pemisahan kekuasaan dan checks and balances,

kewenangan regulatif bersifat derivatif dari kewenangan legislatif yang dimiliki oleh parlemen;

c. Dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan kepala pemerintahan

biasanya dibedakan dan bahkan dipisahkan dari kepala pemerintahan. Kepala negara biasanya dianggap berwenang pula memberikan grasi,

36

(9)

abolisi, dan amnesti untuk kepentingan memulihkan keadilan. Namun, dalam sistem presidensiil kewenangan tersebut dianggap ada pada presiden yang merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Untuk membatasi kewenangan tersebut, presiden harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat sebelum memberikan grasi, amnesti, dan abolisi;

d. Dalam konteks hubungan diplomatik, puncak jabatan adalah presiden.

Untuk membatasi agar jangan sampai presiden mengadakan perjanjian yang merugikan kepentingan rakyat, maka setiap perjanjian internasional harus mendapat persetujuan lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Begitu juga halnya mengenai pernyataan perang dengan negara lain;

e. Kewenangan yang bersifat administratif, meliputi pengangkatan dan

pemberhentian pejabat publik, juga tetap harus diatur dan dibatasi37

Adanya peran serta Mahkamah agung dalam hal pertimbangan pemberian

grasi ini, memberikan indikasi pembatasan terhadap otoritasi presiden. Sebagaimana

kita ketahui, sistim presidensiil yang dianut oleh negara ini mempunyai kelemahan

berupa kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan

Presiden. Dan dengan pembatasan ini, hak preogratif presiden tidak lagi bersifat

mutlak.

Permohonan grasi diajukan dalam jangka waktu yang bersamaan dengan

permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan

tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali yang diputus

terlebih dahulu. Selanjutnya, keputusan permohonan grasi ditetapkan paling lambat

tiga bulan sejak salinan putusan peninjauan kembali diterima Presiden.

Hasil keputusan permohonan grasi yang dituangkan dalam bentuk

Keputusan Presiden, dapat berupa penolakan atau penerimaan grasi. Penerimaan

permohonan grasi dapat berupa:

.

1) Peringanan atau perubahan jenis pidana;

2) Pengurangan jumlah pidana;

3) Penghapusan pelaksanaan pidana.

37

(10)

C. Perkembangan Pengaturan Grasi

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan dasar peniadaan pidana yang telah

dibicarakan di atas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Disamping itu diatur juga dalam konstitusi pasal 14 ayat (1) UUD RI Tahun 1945

yang menentukan Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Atas

dasar ketentuan ini, pada tanggal 14 April 1947, pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah No. 7 tahun 1947 yang memuat tata cara pelaksanaan permohonan ampun

kepada Presiden. Pada tanggal 25 Juli 1947 keluar Peraturan Pemerintah No. 18 tahun

1947 yang memuat perubahan terhadap Peraturan Pemerintah sebelumnya. Masih

pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan lagi Peraturan Pemerintah No. 26

tahun 1947 yang isinya memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya.

Perubahan peraturan itu masih tetap berlanjut. Pada tahun 1948, pemerintah

mengeluarkan empat kali Peraturan Pemerintah mengenai permohonan grasi ini, yakni

Peraturan Pemerintah No. 3, No. S 1, No. 16, dan terakhir Peraturan Pemerintah No.

67 tahun 1948. Dan menarik, keempat Peraturan Pemerintah ini isinya kembali

memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya tentang permohonan grasi.

Tanggal 27 Desember 1949 terbentuk negara Republik Indonesia Serikat.

Konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi

RIS) 1949. Berkenaan dengan masalah grasi, konstitusi tersebut mengatur dalam pasal

160. Atas dasar ketentuan tersebut, pada tanggal 1 Juli 1950 dikeluarkan

Undang-undang No. 3 tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi, Lembaran Negara 1950 No. 40,

yang mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 1950. Undang-undang ini disebut pula

(11)

berbeda dengan Peraturan Pemerintah lainnya mengenai permohonan grasi yang

dikeluarkan berdasarkan pasal 14 UUD 1945 sebelum amandemen.

Meskipun demikian, ada hal-hal yang baru dalam undang-undang grasi ini.

Misalnya, tenggang waktu penundaan pelaksanaan hukuman penjara yang

dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Presiden untuk mempertimbangkan

grasi kepada terpidana tersebut sekalipun terpidana tidak mengajukan permohonan

grasi. Dalam Undang-undang Grasi tenggang waktunya tiga puluh (30) hari,

sementara dalam peraturan sebelumnya 14 hari.

Tanggal 15 Agustus 1950, Pemerintah Republik Indonesia Serikat

mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1950 yang mengubah Konstitusi RIS

untuk menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-undang

Dasar ini dikenal dengan sebutan UUDS 1950. Pasal 2 UU No. 7 tahun 1950

menyatakan, UUDS RI ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

Berkenaan dengan grasi/pengampunan hukuman, pengaturannya tercantum

dalam pasal 107 UUDS 1950. Ayat (1) pasal tersebut menetapkan, Presiden

mempunyai hak memberi grasi atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh

keputusan pengadilan. Pelaksanaan hak grasi tersebut didasarkan atas nasehat

Mahkamah Agung. Ayat (2) mengatur penangguhan putusan terpidana untuk

memberikan kesempatan kepada Presiden untuk menggunakan hak grasinya. Ayat (3)

mengatur masalah amnesti dan abolisi.

Masa UUDS 1950, pengaturan tata cara pelaksanaan grasi masih tetap

menggunakan UU Grasi tahun 1950 yang dikeluarkan pada masa RIS. Hal ini sesuai

(12)

tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku selama peraturan-peraturan tidak dicabut,

ditambah, diubah atas kuasa Undang-undang Dasar ini.

Masa ini, peraturan yang keluar berkenaan dengan grasi tercatat Peraturan

Mahkamah Agung No. 1 tahun 1954 tentang Kasasi dan Grasi. Pasal 2 peraturan ini

menetapkan, seorang terpidana yang berada dalam tahanan dan mengajukan grasi

sehingga ia tidak harus menjalani hukumannya. Jika terdapat alasan-alasan yang

penting. Disamping itu keluar surat edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/135/5

tanggal 29 Agustus 1951 tentang Pelaksanaan Urusan Grasi. Surat Edaran ini

ditujukan kepada ketua-ketua Pengadilan Negeri dan Kepala-kepala Kejaksaan

Negeri, yang isinya antara lain, menjelaskan maksud dan pengertian tempo 14 hari

sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Grasi.

UUDS 1950 berlaku sampai dengan tanggal 5 Juli 1959. Presiden melalui

Dekritnya tanggal 5 juli 1959 menetapkan berlakunya kembali UUD 1945.

Berlakunya UUD 1945 mempengaruhi status hukum badan-badan kenegaraan dan

peraturan-peraturan yang ada dan berlaku pada masa 5 Juli 1959. Namun hal ini dapat

diatasi melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menetapkan, segala badan

negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang

baru menurut UUD ini. Peraturan yang ada dan berlaku sebelum 5 Juli 1959 dan

masih tetap berlaku setelah keluarnya dekrit tersebut antara lain, UU Grasi No. 3

tahun 1950. Ketentuan-ketentuan yang terbit berkenaan dengan masalah grasi,

misalnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/42/11, tanggal 5 Nopember

1969.

Di samping grasi menurut Undang-undang Grasi, ada pula grasi yang khusus

(13)

dengan Keppres No. 449 tahun 1961 tanggal 17 Agustus 1961 tentang Pemberian

Amnesti dan Abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dalam pemberontakan.

Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara

merupakan wewenang Presiden. Dalam hal ini, berlaku UU Grasi No. 3 tahun 1950

(pasal 7). Mengenai tatacara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana

penjara sementara, Menteri Kehakiman mengeluarkan Keputusan No. M.03.HN.02.01

tahun 1988 tentang Tatacara Permohonan Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup

menjadi Pidana Penjara Sementara berdasarkan Keppres No. 5 tahun 1987 tentang

Pengurangan Masa Menjalani Pidana (Remisi).

Tatacara pengajuan permohonan perubahan pidana tersebut harus

menggunakan tatacara yang diatur dalam UU Grasi tersebut karena mengajukan

permohonan kepada Presiden untuk mengubah atau mengganti bentuk

hukuman/pemidanaan dengan bentuk pemidanaan yang lebih ringan artinya sama

dengan mengajukan grasi.

Setelah UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi tidak sesuai lagi dengan sistem

ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak

sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, maka lahirlah

Undang-undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, yang diberlakukan mulai tanggal

22 Oktober 2002, dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 108. Sejak saat

itu UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi dinyatakan tidak berlaku lagi.

Penyesuaian dengan sistem ketatanegaraan Indonesiaan yang dimaksud

adalah berhubungan dengan amandemen UUD 1945, yakni ketentuan pasal 14 ayat

(1) yang menentukan bahwa Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan

(14)

grasi dalam undang-undang grasi yang lama menimbulkan celah yang selama ini

menjadi permasalahan, antara lain megenai penundaan eksekusi karena permohonan

grasi. Hal ini mengakibatkan penyalahgunaan permohonan grasi untuk

menghindarkan diri dari eksekusi.

Seperti halnya dalam undang-undang grasi yang lama, seorang terpidana

mati hanya dapat mengajukan grasi jika putusan pemidanaannya telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap. Jika terpidana masih dalam proses melakukan upaya

hukum berupa banding atau kasasi maka tidak dapat mengajukan grasi, sebab putusan

pidana mati pada saat tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Undang-undang ini putusan pemidanaan yang dapat diajukan grasinya selain

pidana mati dan penjara seumur hidup adalah pidana penjara yang ditentukan lamanya

paling rendah 2 (dua) tahun. Berbeda dengan undang-undang grasi lama yang tidak

membatasi lamanya pidana penjara yang dapat dimohonkan grasi. Sehingga

dimungkinkan terjadi proses pengajuan grasi lebih lama dari masa hukuman seorang

terpidana. Selain itu, tidak adanya batasan tersebut menyebabkan banyaknya

permohonan grasi yang harus diproses.

1. Standar Baku Permohonan Grasi

Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden, yang diberikan oleh konstitusi

(UUD). Dewasa ini istilah prerogatif diartikan sebagai hak atau kekuasaan eksklusif

atau istimewa yang berada pada sebuah badan atau pejabat karena menduduki suatu

kedudukan resmi.

Menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil

(15)

mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini juga bersifat

absolut, artinya, tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan

grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan.

Berkaitan dengan bagaimana permohonan grasi dapat dikabulkan atau

bahkan ditolak oleh Presiden tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam

UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan

lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk

alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan,

keadilan, moral ataupun alasan politik.

Menurut Pompe38

1. adanya kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu

peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan suatu kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan ataupun harus dijatuhi suatu tindak pidana yang lebih ringan. Dalam hal ini Pompe menunjuk antara lain pada

penafsiran yang lebih luas dari pengertian overmacht di dalam arrest dari

Hoge Raad ;

, terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai sebagai

alasan untuk memberikan grasi, yaitu:

2. adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh hakim

pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah ia jatuhkan. Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan beberapa contoh, yaitu misalnya keadaan terpidana yang sedang sakit atau keadaan terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim;

3. terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh Pompe

telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi yang berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal tersebut;

4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa

percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan;

38

(16)

5. pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar yang bersejarah. Menurut Pompe grasi seperti ini dapat membuat terpidana selalu ingat kepada hari bersejarah yang bersangkutan dan dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya apabila grasi seperti itu diberikan kepada orang-orang terpidana yang telah melakukan tindak pidana-tindak pidana yang bersifat politis.

Sedangkan menurut Van Hattum39

Undang-undang grasi sebelum UU No. 22 tahun 2002, prosedur penanganan grasi

melibatkan beberapa komponen yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana , alasan pemberian grasi antara lain:

“Naar huidige rechtstopvatting mag het instituut echter niet meer gehanteerd worden als vorstelijk guastbetoon, doch behoort het te worden aangewend als middel om onrecht zou moeten leiden. Ook redenen van staatsbelang kunnen aanleiding zijn tot gratieverlening.” Yang artinya:

“Menurut pandangan hukum dewasa ini, lembaga tersebut tidak boleh lagi

dipergunakan sebagai kemurahan hati dari raja, melainkan ia harus dipergunakan

sebagai alat untuk meniadakan ketidakadilan, yaitu apabila hukum yang berlaku di

dalam pemberlakuannya dapat menjurus pada suatu ketidakadilan. Kepentingan

negara itu juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi.”

Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan alasan pemberian

grasi oleh presiden antara lain faktor keadilan dan kemanusiaan. Faktor keadilan

yakni jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah

menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai

penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan tersebut dilihat dari

keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah

membuktikan dirinya telah berubah menjadi lebih baik, maka grasi juga dapat

diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

39

(17)

(criminal justice system). Masing-masing instansi mulai dari Hakim Ketua Pengadilan

Negeri, Kejaksaan Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung sampai Mahkamah

Agung menyertakan pertimbangannya berkaitan dengan pemebrian atau penolakan

grasi terhadap seorang terpidana. UU No. 22 tahun 2002 terdapat penyederhanaan

birokrasi, sehingga tidak diperlukan lagi pertimbangan selain dari Mahkamah Agung.

Uraian tersebut dapat dipahami bahwa presiden mempunyai kekuasaan mutlak

atas grasi. Adapun pembatasan yang diberikan oleh pasal 14 UUD RI tahun 1945,

bahwa pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung,

tidak serta merta mengikat. Karena pertimbangan hukum sifatnya tidak mutlak harus

dilaksanakan. Jika dilihat dalam hal kewenangan presiden atas grasi, berdasarkan

pendekatan aliran klasikdalam kriminologi, presiden harus membuat masyarakat

merasakan ketentraman dengan pemberian atau penolakan grasi tersebut. Keberadaan

penjahat telah merusak keseimbangan sosial. Keadaan tersebut harus dipulihkan.

Presiden harus menjalankan perannya sebagai pengayom masyarakat. Sedangkan

manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan.

Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan

dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana.

Untuk kejahatan yang dampaknya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, label

yang dikenakan padanya tidak seberat label yang dikenakan bagi terpidana yang

terbukti melakukan kejahatan yang dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh

masyarakat.

Hal ini bepengaruh pada penerimaan masyarakat pada terpidana mati yang

ternyata memperoleh grasi dari Presiden. Oleh karena itu, pertimbangan Presiden

(18)

disamping melihat karakteristik dari kejahatan yang dilakukan, juga harus

memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga dapat diwujudkan manfaat

bagi masyarakat banyak.

Uraian tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa tidak ada standar yang

baku untuk dikabulkannya sebuah permohonan grasi apakah itu dalam bentuk

peraturan perundang-undangan maupun ketentuan-ketentuan tertulis lainnya. Secara

garis besar dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil

tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaannya sendiri secara alternatif,

mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini bersifat

absolut, artinya tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau

penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan;

2. tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD NRI Tahun 1945

maupun perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat

melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi

dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan

politik.

3. Hanya ada keadaan/faktor tertentu diluar peraturan perundang-undangan yang

dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan grasi. Menurut Pompe ada lima

(5) keadaan, yaitu adanya kekurangan dalam peraturan perundangundangan, ada

hal yang tidak diperhitungkan oleh hakim sebagai hal yang meringankan bagi

terpidana, terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan, terpidana

dipandang pantas mendapatkan grasi karena mengalami perubahan setelah

(19)

untuk membuat terpidana mengenang dan menghargai hari itu sebagai bentuk

nasionalisme/bela bangsa. Sedangkan menurut Van Hattum, disamping untuk

meniadakan ketidakadilan apabila pemberlakuan hukuman itu menjurus kepada

suatu ketidakadilan, kepentingan negara juga dapat dipakai sebagai alasan

pemberian grasi.

4. Berdasarkan pendekatan aliran klasik dalam Kriminologi, Presiden harus

membuat masyarakat merasakan ketenteraman dengan pemberian atau penolakan

grasi tersebut. Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana

mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan

oleh terpidana. Sebelum sebuah permohonan grasi diajukan dan akhirnya

dikabulkan atau ditolak oleh Presiden, permohonan grasi tersebut sebelum

diajukan kepada Presiden harus memenuhi syarat sebagai berikut:

5. Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

6. Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana atau keluarganya atau

melalui kuasa hukumnya. Untuk terpidana mati, keluarga dapat mengajukan

permohonan grasi sekalipun tanpa persetujuan terpidana;

7. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara

seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun;

8. Grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal:

a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua)

(20)

b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara

seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan

grasi diterima.

Adapun beberapa prosedur Permohonan Grasi yang telah ditetapkan

Pengadilan Negri40

1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

dapat diajukan permohonan Grasi kepada Presiden secara tertulis oleh : antara lain:

a. Terpidana dan atau kuasa hukumnya.

b. Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana.

c. Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, dalam hal pidana yang

dijatuhkan adalah pidana mati.

2. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah : Pidana Mati, Pidana

seumur hidup dan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.

3. Permohonan Grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu.

4. Permohonan Grasi diajukan kepada Presiden melalui Ketua Pengadilan Negeri

yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau terakhir untuk diteruskan

kepada Mahkamah Agung

5. Dalam hal permohonan Grasi diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani

pidana, permohonan dan salinannya disampaikan melalui Kepala LP, untuk

diteruskan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dan

paling lama 7 hari sejak diterimanya permohonan dans alinannya, berkas

terpidana dikirim kepada Mahkamah Agung.

40

(21)

6. Panitera wajib membuat Akta Penerimaan salinan Permohonan Grasi,

selanjutnya berkas perkara beserta permohonan Grasi dikirim ke Mahkamah

Agung. Apabila Permohonan Grasi tidak memenuhi persyaratan, Panitera

membuat Akta Penolakan permohonan Grasi.

7. Dalam jangka waktu 20 hari kerja sejak tanggal penerimaan salinan permohonan

grasi, Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas

perkara kepada Mahkamah Agung.

8. Berkas perkara yang diajukan ke Presiden harus dilengkapi dengan surat-surat

sebagai berikut :

a. Surat Pengantar.

b. Daftar isi berkas perkara.

c. Akta Berkekuatan hukum tetap.

d. Permohonan Grasi dan Akta Penerimaan Permohonan Grasi.

e. Salinan Permohonan Grasi dari dari terpidana dan Akta Penerimaan

salinan permohonan Grasi.

f. Surat Kuasa dari terpidana untuk kuasanya atau surat persetujuan untuk

keluarga dari terpidana (jika ada).

g. Foto copy Berita acara Sidang.

h. Foto copy Putusan Pengadilan tingkat pertama.

i. Foto copy Putusan Pengadilan tingkat Banding.

j. Foto copy Putusan Pengadilan tingkat Kasasi.

k. Foto copy Surat Dakwaan.

l. Eksepsi dan Putusan sela (jika ada).

m. Foto copy Surat Tuntutan, Pembelaan, Replik, Duplik (jika ada).

(22)

o. Foto copy Penetapan hari siding.

p. BAP dari Penyidik.

q. Dan surat-surat lain.

9. Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan

permohonan PK atau jangka waktu antgara kedua permohonan tersebut tidak

terlalu lama, maka permohonan PK dikirim terlebih dahulu.

10.Permohonan Grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kecuali dalam hal :

Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua)

tahun sejak penolakan grasinya. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana

mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat 2 (dua) tahun sejak

tanggal keputusan pemberian grasi diterima.

2. Pemberian Grasi Kepada Pihak Narkoba

Grasi adalah salah satu dari lima hak yang dimiliki kepala negara di bidang

yudikatif. Sesuai Undang-undang Dasar Tahun 1945, Presiden memberi grasi dengan

memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi, pada dasarnya, pemberian

dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan,

pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan

demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan

tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim.

Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang

yudikatif, melainkan hak prerogratif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati

pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan

kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan

(23)

mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang

yang memutus perkara pada tingkat pertama. Hal terpidana dijatuhi pidana mati,

permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.

Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan

hukum tetap. Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa

hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.

Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus

perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Dalam

jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan

permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan

tertulis kepada Presiden. Selanjutnya, Presiden memberikan keputusan atas

permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.

Salah satu dasar pertimbangan pemberian grasi kepada terpidana mati adalah

untuk penegakan hak asasi manusia. Pemberian grasi kepada terpidana mati harus

dilakukan secara tepat untuk tercapainya perlindungan hak asasi manusia berdasarkan

Pancasila dan UUD Tahun 1945. Demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum

HAM dapat meminta terpidana atau keluarganya untuk mengajukan permohonan

grasi. Menteri Hukum dan HAM berwenang meneliti dan melaksanakan proses

pengajuan grasi dan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden.

Pandangan masyarakat yang beragam terkait layak atau tidaknya pemberian

grasi kepada terpidana mati kasus narkoba. Sebagian pendapat dari masyarakat

pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkoba tidak layak karena kasus

(24)

pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkoba layak diberikan karena alasan

kemanusiaan.

Masyarakat yang berpendapat pemberian grasi tidak layak diberikan kepada

terpidana mati kasus narkoba memiliki beberapa alasan: Pertama, kejahatan narkoba

merupakan kejahatan serius seperti halnya kejahatan terorisme. Kedua, keadilan bagi

si korban khususnya korban pengguna narkoba menjadi alasan kuat perlunya

hukuman berat bagi pelaku kejahatan narkoba. Ketiga, narkoba dapat berakibat pada

rusaknya generasi muda pengguna narkoba.

Selanjutnya masyarakat yang berpendapat pemberian grasi layak diberikan

kepada terpidana mati kasus narkoba memiliki beberapa pandangan: Pertama,

pemberian grasi tidak serta merta diberikan pada setiap permohonan grasi. Namun,

pemberian grasi dapat dipertimbangkan dengan melihat latar belakang mengapa

terpidana melakukan tindak pidana yang berakibat pada hukuman mati. Apabila dari

segi kemanusiaan si pemohon grasi tersebut layak untuk diberikan grasi tentu grasi

tersebut dapat diberikan. Kedua, Pertimbangan pemberian grasi terhadap terpidana

mati sejalan dengan upaya pemerintah dalam mencegah adanya hukuman mati di luar

negeri, khususnya terhadap ancaman hukuman mati yang dialami WNI yang sedang

bekerja di luar negeri. Banyak ancaman hukuman mati dialami oleh WNI karena

terpaksa melakukan kejahatan dengan alasan kemanusiaan.

Layak atau tidaknya pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkoba

dapat dipertimbangkan dari alasan yang disampaikan dalam permohonan grasi dan

pertimbangan Mahkamah Agung terhadap isi permohonan grasi yang disampaikan.

(25)

terpidana mati kasus narkoba. Namun, pemberian grasi harus tepat diberikan kepada

terpidana yang memang memiliki alasan kemanusiaan yang cukup kuat.

3. Prosedur Penerimaan Grasi

Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat

diajukan permohonan grasi kepada Presiden secara tertulis oleh: 1.Terpidana dan atau

kuasa hukumnya, 2. Keluarga Terpidana dengan persetujuan Terpidana, 3. Keluarga

Terpidana tanpa persetujuan Terpidana, dalam hal pidana yang dijatuhkan adalah

pidana mati. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah: Pidana mati,

pidana seumur hidup dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun. Permohonan

grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu. Permohonan grasi diajukan kepada Presiden

melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau

terakhir untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Hal permohonan grasi diajukan

oleh Terpidana yang sedang menjalani pidana, permohonan dan salinannya

disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan, untuk diteruskan kepada

Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut dan paling lambat

7 ( tujuh ) hari sejak diterimanya permohonan clan salinannya, berkas perkara

Terpidana dikirim kepada Mahkamah Agung. Panitera wajib membuat Akta

penerimaan Salinan Permohonan Grasi, selanjutnya berkas perkara beserta

permohonan grasi dikirimkan kepada Mahkamah Agung. Apabila permohonan grasi

tidak memenuhi persyaratan, Panitera membuat Akta Penolakan Permohonan Grasi.

Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan

salinan permohonan grasi, Pengadilan Tingkat Pertama mengirimkan salinan

(26)

Presiden yang diterima oleh Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama,

dicatat oleh Petugas dalam buku register induk, dan diberitahukan oleh Panitera

kepada Terpidana dengan membuat Akta Pemberitahuan keputusan Grasi.

4. Prosedur Pengajuan Grasi Berdasarkan Undang-undang Republik

Indonesia No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

UU Permohonan Grasi, prosedur permohonan grasi yaitu sebagai berikut41

41

Pasal 5 s.d. 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi ;

1. Hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama

memberitahukan hak mengajukan grasi kepada terpidana sesaat setelah putusan

dibacakan. Namun apabila terpidana tidak hadir, hak terpidana diberitahukan

secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat

pertama.

2. Surat permohonan yang diajukan oleh terpidana atau orang lain dengan persetujuan

terpidana (dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, dapat diajukan tanpa

persetujuan terpidana) harus diajukan kepada Presiden setelah putusan pengadilan

memperoleh kekuatan hukum tetap dan disampaikan kepada Pengadilan yang

memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.

Permohonan grasi ini (dan salinannya) dapat pula disampaikan melalui Kepala

Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana yang nantinya akan

disampaikan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan tersebut kepada Presiden dan

salinannya kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

(27)

4. Setelah menerima permohonan yang diajukan, dalam jangka waktu paling lambat

20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi,

Panitera Pengadilan mengirimkan surat permohonan tersebut beserta berita-berita

acara sidang, surat putusan yang bersangkutan atau salinannya, dan banding serta

kasasi (bila ada) kepada Ketua Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama

untuk diteruskan ke Mahkamah Agung.

5. Mahkamah Agung (MA) memberikan pertimbangan-pertimbangannya terhadap

grasi yang diajukan terpidana.

6. Dalam jangka paling lama tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan

permohonan dan berkas perkara, MA segera meneruskan berkasberkas tersebut

beserta pertimbangan yang tertulis kepada Presiden.

7. Presiden kemudian memberikan keputusannya, apakah mengabulkan permohonan

grasi atau menolaknya. Jangka waktu pemberian atau penolakan grai paling lambat

tiga bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung. Kemudian

Keputusan Presiden megenai grasi tersebut disampaikan kepada terpidana paling

lambat empat belas hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.

8. Salinan Keputusan Presiden (Keppres) tersebut disampaikan kepada:

a. Mahkamah Agung,

b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama,

c. Kejaksaan Negeri yang menuntut perkara terpidana,

d. dan Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana

(28)

Prosedur pengajuan grasi sebagaimana telah dipaparkan diatas merupakan

prosedur pengajuan grasi yang baku yang harus dilakukan oleh terpidana maupun

kuasa hukumnya baik pada pengajuan grasi yang pertama maupun pengajuan grasi

yang kedua. Namun untuk dapat mengajukan permohonan grasi yang kedua, terpidana

harus menunggu waktu dua tahun sejak pengajuan grasi yang pertama ditolak oleh

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan: 1) kualitas proses pembelajaran dan 2) keterampilan menulis karangan eksposisi pada siswa kelas VII A SMP Negeri 2

Kewenangan Desa adalah kewenangan yang dimiliki desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintah Desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan

22 tahun 1999, mengandung beberapa prinsip: otonomi daerah harus memperhatikan demokrasi, keadilan, pemerataan dan potensi serta keanekaragaman daerah; implementasi

Dalam melakukan analisis tidak hanya untuk keperluan pemeriksaan pola sebaran data, tetapi juga untuk pendugaan parameter dan Return Level.Dalam menganalisis Return

Kondisi ini diduga terjadi karena adanya perubahan pola arus menurut musim yang mempengaruhi karakter massa air lapisan permukaan pada masa tersebut (Wyrtki 1961). Kondisi

Peramalan Pada Masa Yang Akan Datang Dengan menggunakan distribusi weibull dan distribusi eksponensial serta data waktu tunggu yang digunakan sampai pada tanggal 11 April 2012 maka

Irakurtzeko zailtasun maila altuagoa badute ere (poesia irakurtzeko dagoen ohitura gutxi dela medio), heldu baten laguntzaz iristeko aukera ematen dute Colomer-ek eta Durán-ek

dengan menggunakan analisis rasio likuiditas, rasio leverage, rasio aktivitas, rasio profitabilitas dan rasio penilaian untuk periode tahun 2009 sampai tahun 2013... Jurnal