• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai nilai Nasionalisme dalam Islam Tra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Nilai nilai Nasionalisme dalam Islam Tra"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL PENELITIAN

Pengaruh Kearifan Lokal Islam Tradisional (NU) Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme di Indonesia

Oleh: Siti Rodiah

(2)

DAFTAR ISI

BAB I PERTEMUAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL A. Islamisasi Masyarakat Indonesia

………... 3

B. Perpaduan Islam dengan Budaya Lokal ……….

….. 6

C. Penghargaan Organisasi Islam Tradisional Terhadap Budaya Lokal Indonesia

………... 8 BAB II MUSLIM INDONESIA YANG ANTI-KEKERASAN

A. Kerukunan Umat Islam Di Indonesia ………... . 12 B. Bentuk Penanganan Konflik Umat Islam di Indonesia …………... 15

BAB III KETERBUKAAN UMAT ISLAM DI INDONESIA TERHADAP PENGARUH BUDAYA ASING

A. Modernisasi dalam Budaya Asing ... 18 B. Upaya Masyarakat Indonesia Dalam Menanggapi Pengaruh Budaya Asing

... 19

BAB IV KEMAJEMUKAN MASYARAKAT INDONESIA

A. Kondisi Sosial-Masyarakat Indonesia ………... 22 B. Pesan Persatuan dalam Keberagaman Masyarakat Indonesia …... 23

(3)

BAB I

PERTEMUAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL

A. Islamisasi Masyarakat Indonesia

Islamisasi merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Islam di Indonesia.1 Banyak teori mengenai proses Islamisasi di Indonesia. Paling tidak, ada

empat teori yang dimunculkan: “teori India”, “teori Arab”, “teori Persia”, dan “teori China”. Salah satu pemegang “teori India” adalah Pijnappel, seorang professor Bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Dia mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia (Nusantara) bukan berasal dari Arab atau Persia secara langsung, tetapi berasal dari India, terutama dari pantai barat (Gujarat dan Malabar). Sebelum Islam sampai di Nusantara, banyak orang Arab bermazhab Syafi’I yang berimigrasi dan menetap di wilayah India. Dari sanalah kemudian Islam menyebar ke Nusantara.2

Dalam “teori Arab” Crawfurd mengemukakan bahwa Islam dikenalkan pada masyarakat di Nusantara langsung dari Tanah Arab, meskipun hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan umat Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor penting. Teori ini didasarkan pada persamaan mazhab Syafi’i yang dominan di Indonesia. Sementara itu, P.J. Veth berpandangan bahwa hanya orang-orang Arab yang melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi yang berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara.3

“teori Persia” menyatakan bahwa Islam yang datang di Nusantara berasal dari Persia, bukan dari India atau Arab. Teori ini disarkan pada beberapa unsur kebudayaan Persia, khususnya Syi’ah yang ada dalam sebagian kebudayaan Islam di

1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), hlm. 3

2 Lihat G.W.J. Drewes, “New Light on the coming of Islam to Indonesia?”, dalam Reading on Islam in Southeast asia, disusun dan diedit oleh Ahmad Ibrahim, Sharon Shiddique dan Yasmin Hussain (Singapore: Institute of Southeast Asean Studies, 1983), hlm. 8.

(4)

Nusantara. P.A. Hoesein Djajadiningrat mendukung teori ini dengan mendasarkan analisisnya pada pengaruh sufisme Persia terhadap beberapa ajaran mistik Islam (sufisme) Indonesia.

Istilah bahasa persia dalam sistem pengejaan huruf Arab juga terlihat dalam kebiasaan masyarakat Indonesia, terutama untuk tanda bunyi harakat seperti Jabar (Arab: Fathah); Jer (Arab: kasrah); Pes (Arab: Dhammah). Peringatan Asyura atau 10 Muharram sebagai salah satu hari yang diperingati kaum Syi’ah, yakni hari wafatnya Hussain bin Ali bin Abi Thalib di padang Karbala juga dapat terlihat di Jawa dengan adanya pembuatan bubur Asyura. Di Minangkabau, bulan Muharram disebut dengan bulan Hasan-Husain. Di Sumatera tengah sebelah Barat ada upacara Tabut, yaitu mengarak “keranda Husain” untuk dilemparkan ke dalam sungai.4

“teori China” dalam Islamisasi Indonesia juga tidak bisa diabaikan. H.J. de Graaf, misalnya telah menyunting beberapa literatur Jawa klasik (Catatan Tahunan Melayu) yang memperlihatkan peranan orang-orang China dalam pengembangan Islam di Indonesia.5 Dalam tulisan itu disebutkan bahwa tokoh-tokoh besar seperti

Sunan Ampel (Raden Rahmat/Bong Swi Hoo) dan Raja Demak (Raden Fatah/Jin Bun) merupakan orang-orang keturunan China.

Dari beberapa perbedaan mengenai proses Islamisasi di Indonesia tersebut, haruslah diupayakan sintesis dari beberapa pendapat yang ada. Diantaranya adalah upaya dalam membuat fase-fase Islamisasi di Indonesia, seperti: tahap permulaan, yaitu datangnya Islam ke Nusantara pada abad ke-7 M.6Adapun pada abad ke-13 M

dipandang sebagai proses penyebaran dan terbentuknya masyarakat Islam di Nusantara. Sementara itu, proses Islamisasi yang cepat dapat dilihat di pulau Jawa. hal ini merupakan hasil dari dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa.7

4 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 90

5 H.J. de Graaf, dkk. China Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos, terj. Alfajri (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998).

6 Marwati Djoned Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 181.

(5)

Pada umumnya, para ahli berpendapat bahwa Islam di Indonesia disebarluaskan melalui jalan damai. Tidak ada misi khusus untuk menyebarkan Islam di Indonesia seperti yang terlihat dalam agama protestan dan katolik,8 paling tidak

pada masa awal. Perkembangan Islamisasi di Indonesia pada dasarnya menggunakan tiga metode: 1) disebarkan oleh para pedagang muslim yang datang dari luar Indonesia dalam suasana damai, 2) disebarkan oleh para juru dakwah dan para wali khusus dari India dan Arab untuk mengislamkan penduduk, dan 3) disebarkan dengan kekuatan untuk berperang melawan pemerintahan kafir.9

Proses Islamisasi di Indonesia terjadi dengan proses yang sangat pelik dan panjang. Diterimanya Islam oleh penduduk pribumi, secara bertahap mebuat Islam terintegrasi dengan tradisi, norma, dan cara hidup keseharian penduduk lokal. Hal ini, menurut andi Faisal Bakti, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sudah menerima nilai-nilai dari luar dan menjadi bukti akan keterbukaan sikap mereka.10

Kini Islam telah menjadi agama mayoritas di Indonesia dan telah memberi warna atau corak peradaban yang khas di negeri ini. Sebagai agama yang universal, Islam telah membawa peradabannya sendiri yang berakar kuat pada tradisi yang sangat panjang sejak masa Rasulullah. Ketika bersentuhan dengan situasi lokal dan partikular, peradaban Islam itu tetap mempertahankan esensinya yang sejati, walaupun secara instrumental menampakkan bentuk-bentuk yang kondisional.11

Menurut Hasan Mu’arif Ambary, masa-masa datang, tumbuh, dan berkembangnya Islam serta unsur-unsur budaya Islam di Nusantara, menghasilkan dan meninggalkan peradaban yang secara ideologis bersumber pada kitabullah dan sunah Rasul. Sementara itu, secara fisikal, memperlihatkan anasir yang berkesinambungan dengan unsur kebudayaan pra-Islam.12 Oleh karena itu,

8 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, hlm. 93-94.

9 H.J. de Graaf, “South-East Asian Islam to Eighteenth Century”, dalam The Cambridge History of Islam, Volume 2A, diedit oleh P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), hlm. 123.

10 Lihat Andi Faisal Bakti, Islam and Nation Formation in Indonesia: From Communitarian to Organizational Communications (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 17-18.

11 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 82.

(6)

kebudayaan Islam di Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan negara-negara Islam lainnya.13

B. Perpaduan Islam dengan Budaya Lokal

Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Namun keberadaannya secara nyata dalam wujud komunitas masyarakat muslim yang menempati suatu wilayah baru pada abad ke-13 M. Komunitas itu terdiri dari para pedagang yang datang dari berbagai daerah: Gujarat, Cina, Persia, dan Arab. Mereka singgah untuk menjual barang dagangan ataupun untuk membelinya yang kemudian dibawa kembali ke daerah asalnya. Sebagai kelompok masyarakat musiman yang berinteraksi dengan pribumi, mereka menempati starata sosial yang lebih tinggi dibanding warga pribumi. Oleh karena itu, diantara mereka kemudian ada yang tinggal dan menetap menjadi warga pribumi karena hubungan pernikahan.14

Komunitas itulah yang menjadi cikal bakal penyebaran Islam di seluruh kepulauan Nusantara yang makin lama makin cepat meluas perkembangannya. Hal itu terjadi terutama berkat usaha para penyiar ajaran mistik Islam (sufi). Selanjutnya, unsur mistik ini mendapat lahan subur di tanah jawa.15 Unsur mistik Islam dalam hal

ini dianggap oleh masyarakat jawa sebagai ajaran sesuai dengan ajaran mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak zaman sebelum masuknya agama Islam, tradisi kebudayaan Hindu-Budha yang dianut mayoritas masyarakat memang didominasi oleh unsur-unsur mistik.16

Para pengamat dan peneliti telah membuktikan bahwa Orang Jawa memang memiliki kepercayaan yang beragam dan campur aduk. Praktik keagamaan orang Islam banyak dipengaruhi oleh keyakinan lama: Animisme, Hindu, Budha maupun kepercayaan kepada alam, dinamisme.17

Agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Indonesia dan diintegrasikan kedalam pola budaya, sosial, dan politik yang sudah mapan. Demikian juga, para

13 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2007), cet. Ke-1, hlm. 43

14 Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 192-193.

15 Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press, 2008) Cet. Ke-1, hlm. 25

16 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 53

(7)

penyeru (da’i) tidak mengusik kepercayaan yang telah mengakar di masyarakat.18

Mereka menggunakan metode dakwah yang kompromi, hal ini bisa dilihat melalui perkembangan Islam di Jawa, dimana ia mengalami proses yang cukup unik karena Islam berhadapan dengan kekuatan tradisi budaya Hindu-Budha yang telah mengakar kuat dalam masyarakat.19 Dengan pengaruh Hindu-Budha yang kuat itu, tidak ada

jalan lain untuk mengajak kepada Islam selain dengan pendekatan yang kompromi dan penuh toleransi.

Warna-warni Islam di segala aspek kehidupan sosial, budaya dan politik semakin beragam mengiringi perjalanan peradaban manusia, terlebih setelah Islam keluar dari jazirah Arab dan masuk masuk ke wilayah luar seperti Afrika, Eropa, Cina, India, Eropa, Melayu dan Indonesia.

Corak kedaerahaan pasti ada tanpa menurangi karakter dasar yang menjadi pembeda antara yang Islam dan non-Islam. Bukan hanya pada aspek ritual seremonial perbedaan itu terjadi, tetapi juga masuk ke ranah teologis yang menjadi pijakan ritual keagamaan tersebut. Dalam aspek ritual-mistik, Islam memiliki corak yang khas setelah bersentuhan dengan tradisi persia yang kental dengan mistik ke-Hindu-annya.20

Bentuk perpaduan budaya dan Islam salah satunya dapat dilihat melalui proses Islamisasi Jawa melalui jalur kesenian wayang yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga yang dikenal memiliki keterampilan mementaskan wayang dengan amat memikat, hingga ia berhasil merubah cerita Ramayana dan Mahabarata dari India yang penuh ajaran Hindu-Budha ke dalam Islam. Sunan kalijaga ketika mementaskan wayang tidak pernah memungut upah. Ia hanya meminta para penonton mengucapkan “syahadah”sebelum menonton wayangnya.21

18 Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press, 2008) Cet. Ke-1, hlm. 56

19 Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press, 2008) Cet. Ke-1, hlm. 14

20

(8)

Dalam hal kesenian tari, musik, dan seni sastra dapat terlihat pada upacara-upacara keagamaan, seperti Maulud Nabi, sering dipertunjukkan sani tari atau seni musik tradisional, misalnya sekaten yang terdapat di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, sedangkan di Cirebon seni musik dapat terlihat pada acara Gerebeg Maulud. Dalam bidang sastra banyak cerita babad dan hikayat yang ditulis dalam huruf jawi, pegon, dan Arab. Dimana bentuk huruf jawi dalam sastra Melayu merupakan adaptasi dari huruf Arab.22

Perpaduan antara Islam dan budaya lokal juga dapat terlihat pada bentuk bangunan Masjid kuno yang mengadaptasi pola-pola bangunan Hindu. Selain itu, Di kudus misalnya, masyarakat juga memandang tabu terhadap penyembelihan sapi, karena merupakan binatang yang disucikan oleh umat Hindu. Ini membuktikan tingginya tenggang rasa dan toleransi antar umat beragama di Indonesia khususnya karena Islam datang dengan membawa misi perdamaian.23

C. Penghargaan Organisasi Islam Tradisional Terhadap Budaya Lokal Indonesia Pada abad ke-20 dapat disebut abad Nasionalisme yaitu timbulnya kesadaran berbangsa. Dimana peta pemikiran, pergerakan nasionalisme dan Islam mengalami kebangkitan di masa ini.

Kesadaran dan bangkitnya rasa nasionalisme dalam masyarakat Islam Indonesia dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah, terutama yang dikembangkan oleh Wahabi. Sehingga banyak organisasi Islam puritan yang terbentuk, seperti: Muhammadiyah, Persis, SI, dan lain-lain. Yang cenderung melihat setiap persoalan dengan menggunakan palu bid’ah, sesat, dan menyimpang.24

Noorhaidi Hassan (2009) dalam Transnasional Islam in South and Southeast Asia: Movements, Networks, and Conflict Dynamics menegaskan maraknya gerakan Islam yang mengusung ide-ide transnasional, khususnya dari Timur Tengah, Pakistan, dan Afganistan. Ironisnya, gerakan-gerakan tersebut justru subur dalam ruang publik yang demokratis setelah jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto.

22 Ibid.,

23 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2007), cet. Ke-1, hlm. 49

24 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,

(9)

Kemudian NU lahir sebagai bentuk keprihatinan yang mendalam terhadap munculnya gerakan puritan yang kerap kali mereduksi paham keagamaan dalam pandangan yang sempit.

Nahdlatul Ulama didirikan tanggal 31 Maret 1926 di Surabaya oleh K. H. Hasyim Asy’ari dan K. H. Abdul Wahab Hasbullah sebagai reaksi terhadap gerakan pemurnian ajaran Islam yang dilakukan oleh kaum modernis yang dinilainya mengancam eksistensi kelompok Islam tradisional.25

K.H. Hasyim Asy’ari merupakan sosok penting karena menjadi salah satu pendiri NU yang merupakan organisasi sosial-keagamaan terbesar di tanah air, bahkan di Asia Tenggara dan dunia Islam pada umumnya. Peran NU dicatat dengan tinta emas dalam sejarah republik Indonesia, karena tidak hanya mencerdaskan umat dari belenggu literasi keagamaan, tetapi juga mendorong akselerasi kemerdekaan bangsa dari belenggu penjajah.

Kiai Hasyim menegaskan bahwa antara keislaman dan ke-Indonesiaan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya harus berada dalam satu napas. Islam adalah nilai-nilai adiluhung yang bersifat universal, sedangkan keindonesiaan adalah realitas sosial yang harus diisi dengan nilai-nilai itu tanpa harus menafikannya. Artinya, keislaman harus hadir dalam kebudayaan dan kebinekaan yang sudah mengakar kuat dalam jati diri dan memori kolektif bangsa ini. Sebagaimana Islam datang ke Nusantara melalui para saudagar Gujarat yang bersifat toleran dan damai, maka NU harus memainkan peran tersebut. Yaitu dengan melindungi kebinekaan dan membangun solidaritas kebangsaan yang kuat.26

Nahdlatul Ulama adalah kelompok terbesar dari kalangan Muslim Jawa. Mereka mempunyai karakter yang memadukan tradisi ulama salaf dengan tradisi kebudayaan lokal. Mereka berpegang teguh pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi disisi lain mereka mempunyai sejumlah tradisi yang khas, seperti tahlilan, diba’an, dan ziarah kubur, yang umumnya dilarang oleh kelompok muslim lain.

Ali Haidar mencatat bahwa ada empat motif pembentukan organisasi Nahdlatul Ulama. Motif utama yang mendasari gerakan para ulama pesantren membentuk NU ialah motif keagamaan sebagai jihad fi sabilillah. Motif kedua adalah

25 Ida, 1996: 1

26 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,

(10)

tanggung jawab pengembangan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan upaya pelestarian ajaran mazhab ahlussunah wal jama’ah. motif ketiga adalah dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, sosial, dan ekonomi. Ini ditandai dengan pembentukan Nahdlatul Wathan, Tasywirul Afkar dan Ta’mirul Masajid. Motif keempat adalah motif politik yang ditandai dengan semangat nasionalisme.27

Setidaknya ada tiga hal yang menonjol dari rumusan Ahlussunnah wal Jama’ah yang dilakukan kalangan muda PWNU di Jawa Timur. Pertama, apresiasi yang sangat baik terhadap paradigma yang dikukuhkan oleh Kiai Hasyim. Kedua, apresiasi terhadap tradisi dan budaya. Salah satu kaidah yang digunakan adalah kaidah-kaidah fikih yang sangat familiar di lingkungan pesantren, yaitu al-‘addah muhakkamah (Adat dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum). Selain itu juga terdapat kaidah yang berbunyi ma la yudraku kulluhu, la yudraku kulluhu (Jika tidak dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggalkan semuanya).

Budaya, menurut kalangan muda PWNU Jawa Timur, merupakan kreasi manusia yang mempunyai nilai-nilai positif dan berguna untuk kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial. Lebih dari itu, yang dilihat bukanlah simbolnya, melainkan substansi yang dikandung dalam kebudayaan. Jika di dalamnya terdapat nilai-nilai positif yang tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, hal itu bukanlah sebuah halangan dan rintangan.

Meskipun faktannya, tradisi yang sekarang mengakar di masyarakat luas khususnya pulau jawa tidak pernah dilaksanakan oleh Nabi, akan tetapi terdapat nilai-nilai positif yang bisa diambil, seperti memperkuat silaturahmi, mentradisikan sedekah, dan turut mendo’akan orang yang sudah meninggal.28

Kiai Hasyim merupakan sosok penting yang telah menyelamatkan bangsa ini dari ancaman puritanisme yang cenderung menginstitusionalisasi kekalahan dan kegagalan dalam paham keagamaan yang bersifat ekstrem. Pilihan untuk mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang sangat identik dengan

27 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 315-316.

28 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,

(11)

pergulatan intelektualisme dan penghargaan terhadap kemajemukan pemikiran yang sudah berkembang sejak dahulu kala.29

Kompabilitas antara nilai-nilai universal Islam dan kearifan lokal merupakan perpaduan yang menjadikan corak Islam menjadi semakin ramah, sejuk, dan toleran. Yang terpenting dari itu semua, pemahaman keislaman tidak kehilangan corak kedalaman akademis dan rasionalitasnya. Sebab pada akhirnya, setiap pemahaman harus mempunyai rujukan yang kuat dari para Ulama terdahulu, yang telah menelurkan metodologi hukum Islam yang dapat dijadikan sebagai parameter dalam menentukan hukum.30

BAB II

Muslim Indonesia Yang Anti-Kekerasan

A. Kerukunan Umat Islam Di Indonesia

Tak bisa dipungkiri, bahwa manusia merupakan makhluk berbudaya. Dengan daya cipta, rasa, dan karsa, manusia memproduksi kebudayaannya.31 Manusia lahir

dalam pluralitas ruang budaya yang diproduksinya agar saling kenal mengenal, saling menghargai eksistensi masing-masing. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13.

29Ibid., hlm. 13

30 Ibid., hlm. 131

(12)

م

م ك

ك َاننننلمعنجنونٰ ى

ى ننثننمأ

ك ونٰ ررننكنذنٰ نمننممٰ ممككَاننننقملنخنٰ َاننننإمٰ س

ك

َاننلاٰ َاهنييأنٰ َاين

ٰ اُوفكرنَاعنتنلمٰ ل

ن ئمَابنقنونٰ َاببُوعكش

ك

ۚ

ٰ م

م ك

ك َاننقنتمأنٰ همننلنلاٰ دننننمعمٰ ممككمنرنكمأنٰ ننإمٰ

ۚ

ررِيبمخنٰ مرِيلمعنٰ هنلنلاٰ ن

ن إم

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS:Al-Hujuraat | Ayat: 13

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan keberagaman, adat isdtiadat dan budaya masyarakatnya yang bermacam-macam. Namun, perbedaan ini tidak menimbulkan ketegangan-ketegangan yang memuncak di Indonesia. Kedamaian ini tercipta karena masyarakat masih berpegang teguh pada prinsip toleransi ( al-tasamuh). Langkah ini juga telah dilakukan oleh Rasulullah SAW saat mendamaikan antara kalangan Muhajirin dan Anshar.32

Namun, fakta yang terjadi saat ini adalah Islam yang dikenal oleh bangsa asing merupakan agama teroris yang seringkali melakukan pembunuhan, pembantaian, dan pengrusakan secara membabi buta. Timur tengah yang menjadi pusat peradaban Islam, kini menjadi terpecah belah akibat konflik politik yang berkepanjangan oleh orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran Islam.

Mereka biasanya menggunakan term atau dalil amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menegakkan kebajikan dan menumpas kemungkaran dengan menggunakan kekerasan sebagai ide utamanya.33

32 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,

(Jakarta: Kompas, 2010), cet. Ke-2, hlm. 142

(13)

Dalam hal ini, seorang Muslim mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk menciptakan suasana damai. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa kaum muslim adalah orang yang senantiasa menggunakan lisan dan tangannya untuk membangun kedamaian. Maka, seorang muslim sejatinya harus senantiasa menjadi juru damai dalam suasana konfliktual.

Sosok Kiai Hasyim merupakan Ulama besar Indonesia, yang menjadi figur dan penginspirasi banyak pihak agar berjihad dalam konteks menuntut ilmu di dunia pendidikan dan menjadikan paham ahlussunnah wal Jama’ah sebagai salah satu fondasi untuk pengembangan umat. Paham tersebut terbukti menjadikan Islam sebagai sebuah kekuatan konstruktif, yang salah satunya adalah setiap Muslim tidak menganggap dirinya sebagai umat yang paling benar dan tidak mudah terjebak dalam klaim kebenaran.34

Fakta radikalisme dam ekstremisme yang seringkali muncul belakangan ini pada hakikatnya karena mereka melihat sejarah secara parsial, sepotong-sepotong, terutama sejarah umat pasca tahun 1924 dan 1948, yang telah menciptakan “psikologi kegagalan” dan “psikologi kekalahan”, yang kemudian membentuk nalar kekerasan terhadap pihak-pihak yang dianggap biang keladi dari hal tersebut.

Kiai Hasyim mengajak Umat Islam untuk melihat sejarah secara holistis, tidak hanya pada petikan sejarah mutakhir, tetapi juga pada masa kejayaan intelektualisme Islam yang telah menjadikan Islam sebagai agama ilmu, dan kemajuan, agama peradaban dan keadaban. Istimewanya, Kiai Hasyim melihat fakta tersebut justru dalam rangka membangkitkan semangat untuk memberdayakan umat. Karena itu, setelah pulang dari menuntut ilmu di mekkah, ia langsung mengajar di pesantren, kemudian mendirikan pesantren Tebuireng sebagai upaya mencetak kader-kader Muslim unggulan yang siap menghadapi tantangan zaman dengan bekal keilmuan dan tradisi keagamaan yang kuat.35

34Ibid., hlm. 9

(14)

Kiai Hasyim menegaskan bahwa Peran pesantren harus dikembalikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang diharapkan dapat memainkan peran pencerdasan dan kebangkitan moralitas umat. Pesantren harus menjadikan kader-kader muda semakin mengerti agama dan elan transformasi sosial serta keadaban publik.

Disamping itu, faktor lain yang menjadi alasan kecilnya potensi peperangan antar golongan di Indonesia adalah karena dinaungi oleh Pancasila sebagai ideologi negara yang diakui dan disepakati oleh keberagaman masyarakat Indonesia. Negara kita juga berpegang pada ungkapan Empu Tantular, yaitu slogan yang telah mendarah daging dalam tubuh rakyat Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”. Kaum Muslim di negeri ini telah sepakat untuk menerima adanya negara yang bukan negara Islam karena ia dicapai dengan susah payah melalui cara-cara damai. Jadi, patutlah hal ini dipertahankan.36

NU merupakan pemahaman yang ideal bagi masayarakat Indonesia, untuk tetap mempertahankan kesatuan umat dan bangsa ini, karena NU telah merumuskan Islam sebagai moralitas pendidikan dan ajaran/hukum agama. Dengan demikian NU tidak dapat menerima Islam sebagai sesuatu yang ideologis dalam kiprahnya.37

Gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang saja, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka.

NU tidak memandang perlu adanya Negara Islam. Pada tanggal 22 Oktober 1945, pengurus besar NU (hoofbestrur NU), yang saat itu berkedudukan di Surabaya, mengeluarkan “Resolusi Jihad”, untuk mempertahankan dan memperjuangkan Republik Indonesia adalah kewajiban agama atau disebut jihad, meski NKRI bukan

36 K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007) cet. Ke-2, hlm. 28

(15)

sebuah Negara Islam. karena negeri ini adalah sebuah Negara Pancasila dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tetap lestari hingga hari ini, dan kelihatannya tidak akan berubah seterusnya.

Terlepas dari perbedaan latar belakang suku, agama dan budaya, rakyat harus tetap bersatu untuk mempertahankan Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Dengan demikian, pluralitas budaya, baik berupa eksistensi secara etnis, ras, bahasa, bahkan agama harus disadari dan diterima. Karena penerimaan akan pluralitas budaya ini lah, meskipun kaum muslim menganggap kesatuan umat Islam (Ummah Wahidah) sebagai identitas bersama, umumnya akan tetap memegang erat kesukuan atau etnis.38

B. Bentuk Penanganan Konflik Umat Islam di Indonesia

Perdamaian dalam keberagaman yang ada pada masyarakat Indonesia bukan berarti tak pernah menimbulkan sebuah konflik. Perbedaan perspektif dalam agama juga sempat menimbulkan ancaman ideologi di negeri ini. Tidakan terorisme yang seringkali mengatasnamakan agama Islam dibalik kedok kebejatannya juga kerap kali terjadi di negeri ini. Hanya saja, berbeda dengan timur tengah, di Indonesia jumlah orang-orang yang memiliki pemahaman radikal jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Umat Islam yang memiliki semangat nasionalis. Sehingga, ketegangan-ketegangan yang pernah terjadi di negeri ini tidak pernah memuncak atau sampai menimbulkan peperangan secara besar-besaran.

Disamping itu, Negara kita memiliki dasar hukum dan ulama yang membantu cepatnya penyelesaian masalah yang terjadi. Sebut saja, kasus Bom Bali, Bom di Hotel JW Marriot, kasus Sampang di Madura dan yang terbaru adalah kasus Bom dan tindak terorisme di Sarinah yang terjadi minggu lalu, merupakan beberapa contoh tindak kriminal dengan kedok agama yang sempat terjadi di Indonesia.

Suatu keharusan bagi kita untuk merefleksikan respons Abdurrahman Wahid terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia. Dimana ia secara konsisten memberi sumbangan yang sangat berarti untuk meredakan ketegangan di lapangan

(16)

dan mendorong masyarakat untuk menyelenggarakan dialog dan penguatan hubungan sehingga kekerasan dapat dihentikan dan tidak muncul kembali.39

Sebagai bukti dalam peristiwa pembunuhan besar-besaran di Banyuwangi, jawa Timur pada tahun 1998. Pembunuhan ini telah memakan korban kurang lebih 200 orang. Orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan ini mempunyai latar belakang pendidikan militer yang terorganisir dengan baik. Lebih dari itu, ada bukti kuat bahwa siapa pun yang berada dibalik dibalik pembunuhan ini pasti menginginkan kerusuhan sosial di masyarakat. Respon Abdurrahman terhadap kasus ini adalah dengan mengunjungi banyuwangi dan mendorong para tokoh agama lokal untuk menahan diri agar tidak merespons kekerasan dengan kekerasan. Gus Dur kemudian menegaskan bahwa “kita harus menahan provokasi ini dengan tetap mengkampanyekan perdamaian.”

Inilah contoh penanganan masalah yang sangat sederhana, namun memberikan dampak yang tidak biasa. Peristiwa Bom Bunuh Diri dan Terorisme yang terjadi di Sarinah baru-baru ini, juga ditanggapi dengan tenang oleh masyarakat. Walaupun sempat terjadi kepanikan, namun masyarakat kembali saling menguatkan satu sama lain baik melalui pesan di sosial media maupun himbauan di televisi. Disamping itu, pasca perstiwa tersebut tokoh-tokoh agama dan aparatur negara segera melakukan diskusi untuk pencegahan terjadinya kembali peristiwa tersebut. PBNU dan Muhammadiyah pun menegaskan bahwa dalam situasi seperti ini, kita semua harus bersatu dan jangan mudah tergoyahkan oleh ancaman yang terjadi. Hal ini menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia tidak mudah digoyahkan oleh ancaman terorisme atau pun tidakan ekstremisme lainnya.

Ekstremisme pada hakikatnya merupakan sebuah sebuah tindakan yang tidak bisa ditoleransi karena hanya akan melahirkan kejahatan yang lain. Diantaranya, psikologi keterancaman, yang menyebabkan lahirnya tindak kekerasan balik.40

39 Gus Dur, Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2000), Cet. Ke-1, hlm. 96

40 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,

(17)

Salah satu kekuatan bangsa ini yang tidak mudah digoyahkan oleh ancaman terorisme adalah pancasila dan UUD 1945 yang menjamin perlindungan terhadap setiap warga Negara, mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mewujudkan perdamaian dan ketertiban umum pada pentas global.41

BAB III

KETERBUKAAN UMAT ISLAM DI INDONESIA TERHADAP PENGARUH BUDAYA ASING

A. Modernisasi dalam Budaya Asing

Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika yang muncul ke permukaan adalah manisfestasi tradisionalisme agama itu sendiri. Digabung dengan semangat nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau , keduanya menampilkan kecenderungan tradisionalismenya sendiri: anti-Barat, anti-penuhnya rasionalisme dan penghormatan berlebihan terhadap masa lampau. Bila hal ini diingat dengan benar, dengan sendirinya kita melihat kedangkalan dalam pendekatan tradisional.

Rasionalitas kehidupan beragama yang diperlukan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Ini tidak berarti memandang rendah tradisionalisme agama, karena elemen-elemen positif dan rasional dari tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi, unsur-unsur irasional yang akan menghambat fungsi tradisionalisme

(18)

itu sendiri harus diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu sendiri.

Dengan demikian, revitalisasi tradisionalisme agama amat diperlukan, dalam bentuk memasukkan unsur-unsur rasional kedalamnya, hingga tradisionalisme agama dapat dirasakan sebagai kebutuhan baik di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama populis.42

Perpaduan banyak budaya dan kultur dalam tradisi masyarakat Islam tradisional menandakan adanya unsur-unsur rasional dan kultur asing yang telah diterima masyarakat sejak lama. Sebagai bukti, Masjid Sunan Gunung Djati yang berada di Cirebon memadukan antara corak kebudayaan China dengan menggunakan piring-piring antik China yang ditempelkan pada setiap dinding.

Bahasa Arab banyak yang menjadi bahasa serapan dalam bahasa Indonesia sebagai dampak dari interaksi mereka dalam jual beli pada masa awal penyebaran agama Islam. Bentuk huruf jawi dalam sastra Melayu pun merupakan adaptasi dari huruf Arab.

Penerimaan masyarakat Indonesia bermula dari adanya proses Islamisasi di Indonesia. Penduduk pribumi menerima Islam secara bertahap, Islam pun masuk kedalam lingkungan masyarakat secara hati-hati dan penuh dengan nuansa damai. Sehingga Islam terintegrasi dengan tradisi, norma, dan cara hidup keseharian penduduk lokal itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sudah menerima nilai-nilai dari luar (asing) dan menjadi bukti akan keterbukaan sikap mereka.43

B. Upaya Masyarakat Indonesia Dalam Menanggapi Pengaruh Budaya Barat Saat ini kaum muslim di Indonesia dan umat manusia seluruh dunia dilanda kegalauan yang luar biasa akibat propaganda barat dengan klaim kemajuan

42 K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007) cet. Ke-2, hlm. 14-16

(19)

kebudayaannya. Proses globalisasi yang mendunia membuat masyarakat tidak mampu mengasingkan diri dan menghindar dari pengaruh dan kemajuan tersebut. Karena hal itu memang sunnatullah yang pasti terjadi pada setiap zaman. Namun, terlalu masuk kedalam pengaruh tersebut juga bukan tindakan yang tepat, Karena kebudayaan kita sendiri talah ada dan eksis sebelum kemajuan itu terjadi.

Abdurrahman secara umum berpandangan positif mengenai Barat. Kendati demikian, bukan berarti ia sama sekali tidak kritis dalam analisisnya mengenai negara-negara Barat. Sebagai contoh, ketika beliau diundang untuk berbicara pada peluncuran buku mengenai hubungan Australia dengan tetangga Asia-nya pada tahun 1992, Abdurrahman menawarkan penilaian yang tajam bahwa dalam hubungannya dengan Indonesia, Australia hanya akan mencapai hubungan pada tingkat sosial dan kultural saja. Terbukti bahwa pemikiran Abdurrahman terhadap budaya barat penuh nuansa hati-hati.44

Akan tetapi, kebudayaan barat bukanlah kebudayaan yang sempurna dan selalu positif. Faktanya, ia juga mengandung unsur negatif yang merusak dan meracuni kehidupan karena menawarkan filsafat materialisme dan sekularisme, sementara kita telah memiliki filsafat dan nilai-nilai budaya sendiri.

Masyarakat Indonesia hidup di tengah budaya yang menjunjung tinggi agama dan filsafat ketuhanan, lalu haruskan hal itu dihapus demi mendapatkan label “berkebudayaan maju” di zaman yang modern. Jati diri dan kebudayaan Indonesia harus dipertahankan, dan tidak boleh ditenggelamkan karena adanya pengaruh budaya barat. Jati diri tersebut dapat digali dan ditempa dari warisan budaya luhur nenek moyang sebagai cikal bakal eksistensi kita saat ini. Dan sebagai umat Islam tentunya sumber jati diri tersebut harus ditambah dengan nilai-nilai Islam.45

44 Gus Dur, Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2000), Cet. Ke-1, hlm. 94

(20)

Upaya pencarian jati diri ini harus dilakukan dengan cara menggali nilai-nilai budaya tradisional yang luhur untuk dijadikan tiang peyangga yang menopang tegaknya peradaban yang berdiri di atas kaki sendiri. Namun demikian, karena kebudayaan Barat juga telah maju dan terbukti memberikan sebagian dampak positif, unsur ini yang harus mampu diserap untuk mencapai tatanan sosial dan peradaban yang sesuai zaman. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia saat ini menghadapi kewajiban ganda, yaitu melestarikan warisan budaya bangsa yang luhur dan membangun sebuah kebudayaan yang lebih modern.46

Upaya tersebut bertujuan untuk menemukan identitas diri yang mencirikan kekhususan tertentu dalam berbudaya. Keyakinan semacam ini tidak hanya akan memberikan kebanggaan psikologis, tetapi juga akan menjadi sebuah semangat untuk setia memelihara nilai-nilai luhur tradisi besar bangsa. Dengan demikian, kebudayaan yang dibangun berfungsi sebagai instrumen untuk mengakomodasi masa kini dan membuka pintu untuk dinamika masa depan.47

46 Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002) hlm. 2.

(21)

BAB IV

KEMAJEMUKAN MASYARAKAT INDONESIA

A. Kondisi Sosial-Masyarakat Indonesia

Pada negeri jajahan ini telah dipaksakan unsur perubahan yang bersumber dari luar, bukannya yang bermula dari dalam dan tidak pula yang bertolak dari keharusan memasukkan unsur luar, demi pemecahan masalah interen. Maka tidaklah terlalu mengherankan kalau sekiranya perubahan yang diperkenalkan kolonialisme dapat menimbulkan akibat yang berbeda-beda pada lokalitas yang berlainan serta memunculkan realitas yang lain daripada yang direncanakan.48

Pelaksanaan “Politik Islam” yang didasarkan atas strategi bagi keperluan keutuhan Hindia Belanda pada berbagai dunia sosial di kepulauan Indonesia, di satu pihak menimbulkan dikotomi Islam dan penguasa, yang kadang-kadang cukup keras. Sednagkan di pihak lain, hal ini juga mempercepat proses pelebaran jangkauan agama dalam kehidupan politik. Yang bersifat struktural, yaitu makin merenggangnya wakil kekuasaan, sebagai penjaga ketentraman masyarakat, dengan wakil agama (ulama),

(22)

sebagai unsur pengingat akan adanya batas yang mutlak antara haq dan bathil. Sedangkan yang kedua bersifat konseptual ideologis, yaitu makin kuatnya kecenderungan untuk memakaikan kerangka agama dalam menilai realitas.

Di saat gerakan pembaharuan Islam bermula sebagai gejala kekotaan, yang serta merta menimbulkan konflik agama yang cukup serius, di daerah pedesaan para ulama tradisionalis, baik yang heterodoks (terutama dari kalangan tarekat), maupun yang ortodoks, masih sangat berpengaruh. Para ulama tradisionalis inilah yang dijauhkan dari sistem kekuasaan, baik yang bersifat pribumi, apalagi yang merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan di saat dominasi politik kolonial makin kuat. Jadi di daerah pedesaan ini dikotomi antara wakil kekuasaan dengan wakil agama (ulama) dipertajam.

Dalam keadaan seperti ini, usaha ke arah domestikasi ulama dan pesantren tradisionalis lebih digiatkan pemerintah kolonial. Mereka yang dari sudut kategorisasi kepemimpinan Islam ini dapat disebut sebagai ulama ulama-bebas kini makin diusahakan untuk lebih bersifat akomodatif, baik dari sudut pengaturan kelembagaan, maupun dengan berbagai corak kebijaksanaan persuasif. Kecenderungan tradisionalisme ini bertambah merata dengan tergabungnya sebagian besar ulama-ulama atau para guru di pesantren, ke dalam organisasi formal seperti Nahdhatul Ulama/ NU (di jawa).49

B. Pesan Persatuan dalam Keberagaman Masyarakat Indonesia

Jika demokrasi menjadikan kediktatoran sebagai musuh bebuyutan, maka lawan dari moderasi adalah intoleransi dan ekstremisme. Karena itu, jalan terbaik yang harus dibangun dalam masyarakat yang plural adalah rekonsiliasi antara demokrasi dan moderasi, demokrasi dan toleransi untuk menggempur kediktatoran dan ekstremisme.

(23)

Demokrasi dan moderasi atau demokrasi dan toleransi ibarat ibarat dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistis. Sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan toleransi yang rentan menimbulkan konflik-konflik komunal. Karena itu, demokrasi dan toleransi harus berkait kelindan, baik dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil.

Oleh karena itu, dalam hubungan sesama manusia diperlukan sebuah ikatan sosial dalam rangka menjaga keberlangsungan hidup yang damai dan toleran. Persaudaraan dan toleransi merupakan prasyarat untuk melahirkan sikap-sikap keberagaman yang moderat. Begitu pula dalam konteks Negara yang menganut kebinekaan, yang diperkuat oleh sistem demokrasi, sikap moderasi merupakan suatu keniscayaan.

Paham dan sikap keberagaman yang harus bernuansa kedamaian, keadilan, dan berkeadaban harus dijadikan sebagai tuntunan dan tuntutan hidup. Kalangan muslim harus berupaya melahirkan pandangan tersebut ditengah arus radikalisasi dan ekstremisme, baik lahir akibat keyakinan teologis maupun sebagai sikap perlawanan terhadap modernitas.

Kiai Hasyim merupakan tokoh ulama yang memberikan inspirasi mengenai sikap moderat yang didalamnya memiliki nuansa persaudaraan dan toleransi agar senantiasa disemai untuk hari esok yang lebih baik, dan terdapat sikap saling menghargai serta hidup berdampingan dengan damai.

(24)

komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik Indonesia; (2) “Pribumisasi Islam”.50

Islam harus ditampilkan sebagai unsur komplementer dalam formasi tatanan sosial, kultural, dan politik negeri ini. Dengan adanya corak sosial, kultural dan masyarakat politik kepulauan Nusantara yang beragam, menurut Gus Dur, maka upaya menjadikan Islam sebagai ideology alternative atau “pemberi warna tunggal” hanya akan membawa perpecahan ke dalam masyarakat secara keseluruhan.51

Pandangan Gus Dur tersebut, bukan berarti dia menentang peran Islam dalam Negara. Yang menjadi titik tekannya adalah bahwa semua komponen masyarakat sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam Negara-bangsa Indonesia. Dengan Pancasila sebagai kompromi ideologi bangsa ini, masing-masing kelompok sosial-keagamaan mempunyai hak yang sama untuk memberi sumbangan nilai-nilai mereka kepada Negara-bangsa Indonesia.52

Beberapa solusi yang dapat diterapkan oleh kita untuk tetap menguatkan tali persatuan diatas kemajemukan bangsa Indonesia adalah: pertama, meningkatkan tali persaudaraan. Kedudukan persaudaraan dalam Islam adalah penting karena hal tersebut akan menjadi penyangga bagi tatanan yang kukuh dalam sebuah masyarakat.53

Adapun landasan teologi yang digunakan oleh Kiai Hasyim yang membangun spirit persaudaraan dan toleransi adalah tiga ayat al-Qur’an sebagai berikut:

ةردنح

م اونٰ س

ر

ف

م ننٰ ن

م ممٰ م

م ك

ك قنلنخنٰ ِيذملناٰ مكككبنرنٰ اُوقكتناٰ س

ك

َاننلاٰ َاهنييأنٰ َاين

ٰ ءبَاننس

ن نمونٰ اربننِيثمك

ن ٰ لبَاننجنرمٰ َاننمنهكنمممٰ ث

ن ننبنونٰ َاننهنجنومزنٰ َاننهننمممٰ ق

ن ننلنخ

ن ون

50 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2007), cet. Ke-1, hlm. 440-441

51 Bakhtiar Effendy, “Islam dan Negara”, dalam Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2007), cet. Ke-1, hlm. 441

52Ibid., hlm. 441

53 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,

(25)

ٰ منَاننحنرملم

ن اونٰ همننبمٰ ننُولكءنَاننس

ن تنٰ ِيذملناٰ هنلنلاٰ اُوق

ك تناون

ۚ

ن

ن َاننك

ن ٰ هنننلنلاٰ ننإمٰ

َاببِيقمرنٰ ممككِيملنعن

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” QS:An-Nisaa | Ayat: 1

Adapun ayat yang kedua ,

ض

م

رملم

ن اٰ ِينننفمٰ اودكنننس

م ف

م تكٰ ن

م أنٰ م

م تكِيملنُوننننتنٰ ن

م إمٰ ممتكِيمنننس

ن ع

ن ٰ ل

م نننهنفن

م

م ك

ك منَاحنرمأنٰ اُوعكط

ط قنتكون

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” QS:Muhammad | Ayat: 22

م

م ه

ك رنَاص

ن بمأ

ن ٰ ى

ى م

ن ع

م أنونٰ ممهكمنص

ن أ

ن فنٰ هكلنلاٰ مكهكننعنلنٰ ننيذملناٰ كنئملنىوأك

“Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” QS:Muhammad | Ayat: 23

Ayat yang ketiga,

َانمنٰ ن

ن ُونعكط

ن قمينونٰ همقمَانثنِيممٰ دمعمبنٰ نمممٰ هملنلاٰ دنهمعنٰ ننُوض

ك ق

ك نمينٰ ن

ن يذملنا

ٰ ض

م

رملم

ن اٰ ِيفمٰ ننودكس

م ف

م يكونٰ ل

ن ص

ن ُويكٰ ن

م أنٰ ه

م بمٰ هكلنلاٰ رنمنأ

ن

ۚ

م

ك ننه

ك ٰ ك

ن ئملنىوأكٰ

ن

ن وركس

م َاخ

ن لما

(26)

Kiai Hasyim bermaksud dari elaborasi ayat tersebut ingin ditekankan dimensi pentingnya silaturahmi. Dalam tradisi Islam, silaturahmi merupakan salah satu dimensi yang paling fundamental dalam membangun persaudaraan toleran. Sebab, silaturahmi merupakan perintah yang dapat membangun sikap keterbukaan dan dialog, serta yang terpenting adalah dalam rangka menghindar dari upaya-upaya melakukan kerusakan di muka bumi.54 Bahkan Bung Karno pernah mempopulerkan

gotong royong sebagai bentuk persaudaraan antarsesama anak bangsa yang menghendaki kemerdekaan dan kemajuan.55

Nilai-nilai tersebut terasa makin mendesak untuk dihidupkan kembali, terutama dalam konteks mendorong agama agar mempunyai korelasi positif dengan spirit kebangsaan dan keharmonisan. Agama harus menjadikan seseorang semakin mengerti betapa pentingnya persaudaraan sebagai salah satu prasyarat terciptanya ikata-ikatan sosial yang kuat, kreatif, dan produktif.

Solusi yang kedua adalah Toleransi yang merupakan sebuah keniscayaan bagi masyarakat yang majemuk, baik dari segi agama, suku, maupun bahasa. Toleransi sudah menjadi konsensus global dan fondasi untuk tatanan masyarakat yang damai dan berkeadaban.

Setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan untuk membangun toleransi. Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan intensif. Kedua, membangun rasa saling percaya diri dalam pelbagai kelompok dan aliran.

Kiai Hasyim menegaskan, manusia adalah makhluk yang senantiasa berinteraksi antara satu sama lain. Untuk itu, Kiai Hasyim memberikan arahan pentingnya perkumpulan, persatuan, kebersamaan, dan kasih sayang. Nilai-nilai tersebut merupakan sebuah keniscayaan untuk membangun toleransi diantara sesama umat.

54 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,

(Jakarta: Kompas, 2010), cet. Ke-2, hlm. 243

(27)

Membangun kebersamaan dan toleransi merupakan nilai yang paling fundamen dan paling penting dalam masyarakat yang majemuk. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi pada sosial-keagamaan sejak awal menegaskan pentingnya toleransi dan kebersamaan.56 Karena kemajemukan yang ada

pada masyarakat Indonesia memungkinkan terjadinya letupan sosial. Sehingga Persaudaraan dan Toleransi sejatinya harus terus digali dan diekspresikan dalam kehidupan nyata agar kebinekaan yang merupakan khazanah bangsa ini tetap dapat digunakan secara konstruktif untuk kemajuan umat.57

Moderasi NU pada hakikatnya merupakan sebuah jalan alternatif untuk tujuan penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil. Komitmen NU pada demokrasi dan kewarganegaraan membuktikan bahwa moderasi tidak hanya dalam rangka melawan puritanisme, tetapi yang jauh lebih penting adalah menjadikan umat lebih sejahtera, mandiri dan terdidik.

Gus Dur mengatakan bahwa toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan, dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini.58 Masyarakat harus memiliki

kepercayaan yang tinggi bahwa bangsa ini masih mempunyai mutiara-mutiara pemikiran yang didalamnya berisi harapan untuk sebuah fajar baru keindonesiaan59

DAFTAR PUSTAKA

Bakti, Andi Faisal, 2000. Islam and Nation Formation in Indonesia: From Communitarian to Organizational Communications (Jakarta: Logos).

56 Ibid., hlm. 258

57Ibid., hlm. 271

58 Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam” dalam

www.media.isnet,org. Diakses pada 20 Oktober 2005.

(28)

De Graaf, H.J., 1987. South-East Asian Islam to Eighteenth Century, dalam The Cambridge History of Islam, Volume 2A, (Cambridge: Cambridge University Press).

de Graaf, H.J., dkk., 1998. China Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos, terj. Alfajri (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya).

Drewes, G.W.J., 1983. New Light on the coming of Islam to Indonesia?, dalam Reading on Islam in Southeast asia, (Singapore: Institute of Southeast Asean Studies).

Gus Dur, 2000. Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta,).

Haidar, M. Ali, 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

Huda, Nor, 2007. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media).

Kartodirdjo, Sartono, 1992.Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama).

Khalil, Ahmad, 2008. Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press).

Koentjaningrat, 2004. kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa (Jakarta: Gramedia).

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta). Maksum, 2000. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu).

Misrawi, Zuhairi, 2010. HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas).

(29)

Ricklefs, M.C., 1990. Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gajah Mada University Press).

Schneider, Irene, 2004. “Legal and Ethno-Religious”, dalam Richard C. Martin, Encyclopaedia Of Islam and the Muslim World Vol. 2, (New York: Macmillan).

Simuh, 2002. Sufisme Jawa (yogyakarta: Bentang Budaya).

Suryanegara, Ahmad Mansur, 1998. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam Indonesia (Bandung: Mizan).

Wahid, K.H. Abdurrahman, 2007. Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara).

Referensi

Dokumen terkait

Renstra Inspektorat Daerah Kota Batam Tahun 2016 -2021 mempunyai nilai strategis dalam memberikan arah dan sekaligus menjadi acuan bagi Inspektorat Daerah Kota Batam

Perbedaan yang jelas antara ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dengan Buku ke III Kompilasi Hukum

Penurunan volume pembengkakan kaki tikus diduga karena didalam ekstrak terkandung senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan glikosida yang

Berdasarkan latar belakang, maka perlu dilakukan penelitian terhadap variabel-variabel yang dapat mempengaruhi Audit Delay sebagai tolak ukur relevansi laporan

Skor indikator ini mauk ke dalam kategori yang baik yaitu sebesar 86.25%, artinya bahwa karyawan Bank mandiri cabang falatehan mayoritas merasa bahwa mereka

Menurut hemat penulis tentang pendapat Abu Hanifah dan Sebagian Fuqahak serta pendapat Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa isteri tidak boleh memberi zakat kepada

Bahwa kedudukan Wakil Lurah untuk membantu Lurah di tingkat kelurahan di wilayah perkampungan besar dan padat Ibukota Jakarta mendapat tempat tersendiri sebagai

Ma’rifat berarti ma’ruf (kebaikan) dan nakirah berarti mungkar (keburukan). Orang yang mengenal Allah akan senantiasa.. Kehadiran alif lam untuk memakrifatkan suatu