LAPORAN PENELITIAAN HUKUM WARIS ADAT
Dinamika Perkembangan Sistem Pewarisan
Kolektif di Masyarakat Suku Malayu Di
Kenagarian Gurun Panjang Barat Kabupaten
Pesisir Selatan
Diusulkan oleh:
Rayvo Rahmatullah
(14/366564/HK/20045)
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar belakang ...1
B. Rumusan Masalah...2
C. Tujuan penelitian...2
D. Keaslian Penelitisn...3
E. Manfaat Penelitian...4
BAB II TINJAUAN PUSATAKA...5
A. Pengertian umum mengenai hukum waris adat...5
B. Tentang Suku Malayu...6
BAB III METODE/ CARA PENELITIAN...9
A. Jenis dan sifat penelitian...9
B. Jenis data...9
C. Penentuan / pemilihan Lokasi Penelitian...10
D. Subjek penelitian...10
E. Responden dan Narasumber...11
F. Teknik dan alat pengumpul data...11
G. Analisis hasil...12
H. Jalannya penelitian...12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...14
A. Konsep dan sistem pewarisan...14
1. Bentuk harta warisan...14
2. Sistem dan mekanisme pewarisan yang digunakan ...15
BAB V PENUTUP...20
A. Kesimpulan...20
B. Saran...20
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah Penelitian
Penelitian ini berangkat dari dinamika perkembangan yang
terjadi di kehidupan masyarakat daerah yang terpengaruh
dengan kemajuan zaman. Perkembangan tersebut tentu juga
akan berpengaruh pada sistem pewarisan adat yang digunakan
oleh kalangan masyarakat adat itu sendiri. Sifat komunal yang
tumbuh dan bekembang dalam kehidupan masyakat adat akan
terus bergerak menuju pola kehidupan yang individual
selayaknya kehidupan masyarakat di perkotaan. Begitupun
dengan masyarakat adat Minangkabau yang dikenal sebagai
corak kehidupan yang mengutamakan kelangsungan hidup
kelompok daripada hanya sekedar kemakmuran individu.
Berdasarkan hukum adat masyarakat Minangkabau, ditentukan
bahwa sistem pewarisan yang digunakan adalah sistem
kehidupan dan pemikiran komunal yang ada di masyarakat. Pola
kehidupan yang menekankan pada persamaan nasib, satu rasa,
satu cita-cita dan tujuan yang harus dicapai secara
bersama-sama oleh anggota kelompok atau kaum yang ada dalam
masyarakat. Sehingga kepentingan individu berada setelah
kepentingan kelompok telah terpenuhi. Hal inilah yang
menyebabkan mengapa suatu kebersaman dalam masyarakat
Minangkabau adalah hal yang paling utama.
Konsekuensi langsung dari pewarisan kolektif adalah bahwa
tidak ada kepemilikan secara individu dari ahli waris untuk harta
warisan yang dialihkan. Hanya saja masing-masing individu
tersebut dan mengusahaan dan menikmati hasil dari harta
warisan yang terdapat didalamnya. Salah satu kelemahan dari
sistem pewarisan kolektif ini menurut Hilman Hadikusuma adalah
bahwa tidak selamanya suatu kerabat mempunyai
kepemimpinan yang dapat diandalkan dan aktivitas masyarakat
yang makin meluas juga akan menyebabkan rasa setia pada
kawan dan kerabat akan luntur.2
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana bentuk sistem pewarisan di Manangkabau khususnya
di kalangan suku Malayu di kanagarian Gurun Panjang Barat,
Kabupaten Pesisir Selatan. Selain itu, penelitian ini juga akan
melihat sejauh mana pengaruh dari perkembangan hidup
masyarakat tersebut terhadap pergeseran sistem pewarisan
kolektif yang dianut oleh masyarakat hukum adat Minangkabau
selama ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pewarisan yang terlaksana di suku
Malayu yang terdapat di Kanagarian Gurun Panjang
Barat?
2. Bagaimana bentuk pergeseran konsep sistem pewarisan
yang ada di masyarakat suku Malayu di kenagarian Gurun
Panjang Barat?
C. Tujuan penelitian
Setelah dilakukan penelitian ini, peneliti berharap dapat
menjawab pertanyan mendasar mengenai konsep pewarisan
kolektif yang terdapa di masyarakat Minangkabau khususnya
suku Malayu di kenagarian Gurun Panjang Barat dengan
mengetahui beberapa hal yaitu:
1. Konsep pewarisan yang terlaksana di suku Malayu yang
terdapat di kanagarian Gurun Panjang Barat
2. Bentuk pergeseran konsep sistem pewarisan yang ada di
masyarakat suku Malayu di kenagarisan Gurun Panjang
Barat.
D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pada penelusuran peneliti, penelitian yang
memiliki pembahasan yang mirip dengan penelitian ini adalah
tahun 2006 yang berjudul “Sistem Pewarisan Kekerabatan
Matrlineal dan Pekembangannya di Kecamatan Banuhampa
Pemerintahan Kota Agam Provinsi Sumatera Barat”.
Penelitian tersebut secara umum membahas beberapa hal yaitu:
1. bagaimana perkembangan pewarisan harta tak benda yaitu soko atau gelar yang terdapat di masyarakat Minangkabau.
2. Penelitian ini juga menganalisis putusan pengadilan Terkait dengan gugatan menengenai konflik harta pusaka
3. Membahas secara dalam mengenai faktor penyebab terjadinya perubahan atau pergeseran tersebut.3
Selain dari wilayah penelitian yang berbeda, beberapa substansi
dari kedua penelitian ini juga terdapat beberapa perbedaaan
yang signifikan sehingga nilai keaslian dari penelitian ini dapat
dipertanggugjawabkan.
E. Manfaat Penelitian
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hasil dari
penelitian ini mampu menjawab pertanyan mengenai bentuk dan
pekembangan sistem pewarisan kolektif di masyarakat
Minangkabau secara umum dan khususnya di suku Malayu yang
terdapat di kenagarian Gurun Panjang Barat. Di dunia akademis,
penelitian akan sangat bermanfaat sebagai referensi untuk
pembelajaran ataupun untuk pengembagan penelitian
berikutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSATAKA
A. Pengertian umum mengenai hukum waris adat
Secara umum hukum waris adat adalah sistem hukum yang
mangatur bagaimana proses peralihan ataupun penerusan suatu
harta warisan dari pewaris kepada para ahli waris yang
ditinggalkan . Ada beberapa ahli yang mengemukakan
pendapatnya mengenai hukum waris adat. Menurut Ter Haar,
hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian
dengan proses dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta
kekayaan yang material dan immaterial dari generasi ke
generasi.4
“Selain itu, menurut Soepomo sebagaimana yang di kutip oleh Hilman Hadikusuma, hukum waris adat adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari satu angkatan manusia kepada keturunannya5”
Dari pengetian diatas dapat dikatakan bahwa hukum waris adat
tersebut adalah seperangkat hukum yang mengatur bagaimana
proses peralihan ataupun penerusan harta warisan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dalam hukum adat selain
mengenal harta warisan yang berupa harta benda yaitu hal-hal
yang dapat dinilai dengan uang, juga terdapat harta warisan
4 Ter Haar, 1960, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnja Paramita d/h J. B. Wolters: Djakarta, hlm. 197
yang berupa bukan benda yaitu harta warisan berupa gelar,
tanda kehormatan ataupun yang lainnya
Nampak jelas bahwa kecendrungan masyarakat adat yang
tradisional dan lebih komunal, dan juga tidak melulu berorientasi
pada kehidupan materiil. Sistem pewarisan yang dianut
masyrakat Minangkabau secara umum adalah sistem pewarisan
kolektif. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sistem
pewarisan kolektif adalah sistem pewarisan yang proses
penerusan harta warisan diberikan secara utuh kepada generasi
yang berhak mewaris tanpa adanya pembagian secara individu
dalam kepemilikan harta tersebut.
“Menurut Hilman Hadikusuma sistem pewarisan kolektif adalah harta peninggalan diteruskan atau dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak-tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau mendapatkan hasil dari harta peninggalan itu”.6
Berkenaan dengan kultur masyarakat Minangkabau yang
kental dengan kehidupan islaminya, maka seringkali ada
anggapan bahwa sistem pewarisan kolektif yang ditarik dari
garis ibu adalah hal yang bertentangan dengan aturan waris
menurut agam islam. Hukum waris di Minangkabau berbeda
dengan hukum waris islam, tetapi dalam hal ini tentang apa yang
diwariskanpun juga berbeda. Waris di Minangkabau hanya
tentang harta pusaka tinggi dan gelar pusaka yang
turun-kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami
sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan Penghulu Pucuk
Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.
“Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat”.9
7 Idrus Hakimy dt. Rajo Penghulu, 2004, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, hlm. 117
8 A.A Navis. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Pers. 1984. hlm. 92
Nagari dalam lingkungan pemerintahan daerah Sumatera
Barat dapat dipersamakan dengan desa sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa
yang dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 1 angka 1
menyebutkan
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”10
Idealnya dalam sebuah nagari terdapat empat suku yang
mendiaminya. Suku-suku tersebut pada mulanya merupakan
unsur yang menjalankan pemerintahan nagari secara
bersama-sama. Pada masa sekarang sebuah nagari dipimpin oleh seorang
wali nagari setingkat kepala desa. Namun, keberadaan empat
suku tersebut masih sangat esensial dalam kehidupan masyrakat
nagari.
Di nagari Gurun Panjang Barat yang terletak di kecamatan
Bayang, Kabupaten Pesisir selatan terdapat empat suku yang
mendiaminya yaitu suku Caniago, Jambak, Malayu, dan Tanjung.
Setiap suku tersebutpun masih dibagi lagi dalam beberapa kaum
dengan pemimpin yang disebut datuk yang berbeda-beda pula.
Untuk suku Malayu sendiri terdapat dua kaum yaitu kaum yang
dipimpin oleh Datuk Rajo Lelo dan Datuk Rajo Putiah. Kaum itu
juga terdiri dari beberapa keluarga yang dipimpin oleh mamak
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan sifat penelitian
Memperhatikan permasalahan utama dan objeknya, maka
penelitian ini adalah penelitian dengan tipe penelitian yuridis
emiris. Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara menggali
informasi secara menyeluruh langsung dari lapangan untuk
mengetahui permasalahan yang sedang dibahas. Menurut
Suratman dan Philips Dillah penelitian hukum yuridis empiris
yang disebut juga dengan penelitian sosio legal lebih menitik
beratkan pada perilaku individu atau masyarakat dalam
kaitannya dengan hukum.11 Dalam penelitian ini akan ditemukan
data mengenai bagaimana konsep dari sistem pewarisan yang
dipraktekan di masyarakat suku Malayu di kanagarian gurun
panjang barat. Kemudian akan dilihat bagaimana bekerjanya
hukum adat mengatur kehidupan masyrakat khususnya di bidang
pewarisan. Menurut Soejono Soekantopenelitian empiris terdiri
dari dua macam yaitu penelitian terhadap identifikasi hukum
(tidak terlihat) dan penelitian trhadap efektifitas hukum.12
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang bertujuan untuk melukis tentang suatu hal pada
saat tertentu.13 Dalam penelitian ini masyarakat yang dimaksud 11 Suratman, Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, CV ALfabeta; Bandung, hlm. 88
12 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm.51
adalah masyarakat anggota suku Malayu di kenagarian Gurun
Panjang Barat.
B. Jenis data
Dalam penelitian ini yang merupakan penelitian yuridis
emiris maka jenis data yang dikumpulkan adalah jenis data
primer. Data primer yaitu data yang diperoleh dari lapangan
secara langsung, maksudnya data tersebut merupakan suatu
dinamika yang digali dari masyrakat yang menjadi objek
penelitian. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari hasil
wawancara dengan pemimpin atau yang disebut masyarakat
sebagai panghulu dari suku Malayu di lokasi penelitian.
Wawancara juga dilakukan dengan orang tua peneliti yang
merupkan salah satu anggota dari suku Malayu di lokasi
penelitian ini.
Selain data primer tersebut, penelitian ini juga
mengumpulkan data sekunder sebagai penunjang validitas hasil
penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan cara penelusuran
bahan-bahan kepustakaan yang terkait seperti buku, jurnal atau
pun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Penentuan / pemilihan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah sebuah nagari yang trdapat di
kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat,
yaitu kenagarian Gurun Panjang Barat. Lokasi ini dipilih karena
mempraktekkan hukum adat dalam kehidupan sehari-harinya.
Penggunaan hukum adat tersebut tersebut mulai dari
perkawinan, penyelesaian sengketa tanah ataupun mengenai
permasalahan pewarisan. Peran dari setiap unsur masyarakat
masih dilakasanakan sebagaimana mestinya. Selain itu, lokasi
tersebut juga memiliki kedekatan dengan peneliti sehingga
memudahkan akses dalam memperoleh data penelitian.
D. Subjek penelitian
Subjek penelitan dalam penelitian ini adalah pihak yang
terlibat dalam langsung dengan topik penelitian. Subjek
penelitian yang di maksud adalah anggota masyarakat dari suku
Minangkabau yang terdapat di kenagarian Gurun Panjang Barat.
Dalam penelitian ini akan digali secara menyeluruh bagaimana
masyarakat melakukan atau mempraktekkan ketentuan hukum
waris adat dalam kehidupannya
E. Responden
Responden yang dipilih untuk menggali informasi dalam
penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan
yang berkaitan dengan materi penelitian ini selain itu juga
terlibat langsung dalam proses pewarisan. Beberapa orang
tersebut adalah dt. Rajo Lelo dan Ibu Tasmi. Dt. Rajo Lelo adalah
pemimpin dari salah satu dari dua suku Malayu yang terdapat di
nagari Gurun Panjang Barat atau dalam masyarakat disebut
dimintai keterangan terkait isu yang akan digali dalam penelitian
ini karena memiliki pengetahuan yang cukup di bidang ini.
Respinden kedua yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah
orang tua dari peneliti sendiri. Pertimbanganya, dikarenakan
penelitian ini juga melihat bagaimana bentuk pewarisan yang
terjadi dalam keluarga peneliti sendiri. Sehingga dirasa sangat
relevan dalam mewawancarai orang tua penelitia sendiri dan
tentu akan mendapatkan data yang valid dan juga tepat sasaran
dalam penelitian ini. Selain itu, keluarga peneliti merupakan
salah satu anggota dari suku Malayu di kenagarian Gurun
Panjang Barat.
F. Teknik dan alat pengumpul data
Ada beberapa cara yang peneliti gunakan dalam
pengumpulan data penitian ini, cara tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Penelusuran bahan kepustakaan, cara ini digunakan untuk
menemukan data sekunder dalam penelitian. Penelusuran
kepustakaan tersebut dilakukan ke beberapa buku terkait
yang membahas hukum waris adat di Indonesia. Selain itu,
juga dilakukan ke beberapa jurnal yang telah dipublis dan
peratutan perundang-undangan yang belaku.
2. Wawancara, hal ini dilakukan kepada para responden yang
wawancara ini diperoleh informasi yang akurat dan tepat
untuk menjawab pertanyaan dasar dari penelitian ini.
G. Analisis hasil
Setelah mendapatkan seluruh data yang kami butuhkan,
peneliti akan melakukan aalisis data dengan cara kualitatif yaitu
dengan cara menyajikan data dalam bentuk pendeskripsian
secara komprehensif. Data yang akan diolah adalah data-data
hasil dari penelitian lapangan berupa wawancara. Kami
melakukan proses penyuntingan, dan juga men-transcript data
yang kami peroleh. Data yang sudah kami olah akan dianalisis
untuk selanjutnya ditafsirkan.
Tahapan akhir dalam penelitian kami adalah penarikan
kesimpulan. Proses penarikan kesimpulan dilakukan dengan
cara induktif. Peneliti awalnya mancari fakta-fakta yang detail da
bersifat khusus di lapangan untuk kemudian dicari satu benang
merah dalam penarikan kesimpulan
H. Jalannya penelitian
Penelitian dimulai dengan melakukan studi kepustakaan oleh
peneliti sendiri di perpustakaan fakultas hukum UGM serta
perpustakaan pusat UGM selama beberapa hari dan juga
dilakukan dengan penelusuran internet untuk menemukan jurnal,
peneleitian sebelumnya, dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Setelah bahan kepustakaan dirasa cukup kemudian
dengan para responden. Wawancara dilakukan via telepon
antrara peneliti dengan para responden. Hal tersebut dilakukan
mengingat posisi peneliti dan responden yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan wawancara dengan berhadapan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsep pewarisan di suku Malayu Kenagarian Gurun Panjang Barat
1. Bentuk Harta Warisan
Berdasarkan hukum adat Minangkabau dikenal beberapa
jenis harta warisan yang dapat diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
dipertahankan keberadaannya oleh suatu kaum dari generasi ke
generasi dalam beberapa derajat. Maksud dapat dipertahankan
disini adalah bahwa suatu bentuk harta pusaka yang terdapat
dalam satu keluarga tersebut telah diwariskan dalam waktu
tertentu secara turun-temurun, dimana harta tersebut tidak
hilang dari penguasaan keluarga tersebut baik dikarenakan
proses penjualan ataupun hal yang lainnya contoh dari harta
pusaka tinggi seperti rumah gadang dan tanah pusaka.
Menurut keterangan dari responden, dikenal pula dua jenis
tanah pusaka tinggi yang dapat diwariskan berdasarkan hukum
adat Minangkabau.
Pertama, tanah kariang (kering) yaitu tanah warisan yang
diperuntukan sebagai lahan yang dapat digunakan untuk
perumahan.15 Jadi, di tanah kering ini dapat dipergunakan
anggota kelurga untuk membangun rumah baru. kedua, ada
yang disebut dengan tanah basah. Tanah basah adalah tanah
yang peruntukanya dimaksudkan untuk pengolahan lahan
pertanian.16
Sedangkan yang dimaksud dengan harta pusaka rendah
adalah harta pusaka yang dapat diwariskan oleh sebuah keluaga
inti (nuclear family) di Minangkabau. Maksudnya harta tersebut
termasuk kedalam harta bersama dalam suatu perkawinan yang
dihasilkan secara bersama oleh suami istri pada saat perkawinan
tersebut.
2. Sistem dan Mekanisme Pewarisan yang Digunakan
Praktek pewarisan yang terjadi di lokasi penelitian masih
menggunakan sistem pewarisan adat Minangkabau itu sendiri.
Suatu harta warisan yang akan diturunkan ke generasi
berikutnya dapat dilakukan saat pewaris atau generasi
sebelumnya masih hidup. Hal tersebut sesuai dengan ciri khas
hukum waris adat dan merupan salah satu hal yang
membedakannya dengan sistem hukum waris barat ataupun
sistem hukum waris islam.
Misalnya dalam pengusahaan sebuah lahan pertanian dapat dilakukan oleh generasi ahli waris selagi pewaris masih hidup. Hal tersebut dapat terjadi jika pewaris menginginkan hal demikian, tetapi ahli warispun berkewajiban memberikan apa yang disebut dengan patigaan yaitu bentuk bagian hasil panen dari lahan pertanian tersebut untuk membiayai kebutuhan si pewaris yang sudah tua.17
Sebagaimana yang diketahui bahwa sistem pewarisan
kolektif memiliki konsekuensi bahwa harta warisan tersebut tidak
dapat dibagi kepemilikannya diantara para ahli waris. Sehingga
harta warisan tersebut harus diusahakan secara bersama dan
hasilnya pun harus dirasakan manfaatnya secara bersama oleh
ahli waris.
Di suku Malayu itu juga terdapat aturan mengenai tugas dan
fungsi antara ahli waris yang perempuan dengan laki-laki.
Sebagaimana dengan ketentuan adat Minangkabau pada
umumnya, laki-laki merupakan seorang pemimpin di dalam
keluarga atau pun kaumnya, maka dalam hal penguasaan harta
pusaka seorang laki-laki bertindak sebagai mamak rumah18.
Konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah bahwa seorang
laki-laki harus bertindak sebagai paga (pagar) bagi harta pusaka
keluarganya. Selain itu, seorang mamak dalam kaum juga
bertindak sebagai penyelesai sengketa yang terjadi antara
anggota kaum.
Seorang mamak harus dapat menjaga keutuhan harta
pusaka dan tetap utuh menjadi kepemilikan kaum yang
dipimpinnya. Tujuan dari mempertahankan keberadaan harta
pusaka dalam penguasaan suatu keluarga dikarenakan fungsi
utama dari penerusan harta pusakan tinggi di Minangkabau
adalah untuk menjamin kelangsungan hidup anggota kaum baik
yang sekarang maupun yang akan datang. Sehingga penting
untuk mempertahankan harta pusaka tersebut dan tidak lepas ke
pihak yang lain.
Masyarakat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai
penyambung eturanan di dalam keluarga atau kaum, maka
peran utamanya adalah penyambung garis keturanan
matrilineal. Harta pusaka tinggi yang diwariskan berada dalam
kekuasaan perempuan, tetapi dibawah pengawasan dan
pemeliharaan seorang mamak. Perempuan di Minangkanbau
berperan sebagai Ambun Puro Aluang Bunian (pemegang kunci
harta kekayaan).19
Perempuan di dalam kaum Malayu tersebut merupakan
pihak yang dapat memanfaatkan harta pusaka tersebut dengan
cara mengusahakannya demi memenuhi kebutuhan anggota
keluarga lainnya seperti anak-anaknya. Pengusahaan tersebut
dapat dilakukan dengan mengolah sawah atau ladang untuk
tanah basah atau juga dapat menggunakan tanah kariang untuk
mendirikan bangunan rumah tempat tinggal keluarga.
Disebutkan bahwa dalam pengusahaan harta pusaka tidak dapat
dilakukan secara terpisah dengan satu yang lainnya. Maksudnya
suatu harta pusaka dalam suatu keluarga merupakan suatu perempuan yang berhak untuk memanfaatkannya, sehingga hal yang dapat dilakukan adalah dua lahan sawah tersebut dapat diolah oleh ketiga perempuan tersebut secara bergilir untuk setiap musim bercocok tanam.20
Di suku Malayu tersebut juga tidak menutup kemungkinan
jika seorang laki-laki dapat memanfaatkan harta pusaka yang
kemudian digunakan untuk menghidupi anak dan istrinya. Hal
terseut dapat terjadi jika semua anggota keluarga perempuan
menyetujuinya dan mereka telah hidup berkecukupan baik dari
usahanya sendiri ataupun dari pemanfaatan harta pusakanya.
B. Pergeseran konsep pewarisan kolektif yang digunakan
Sebagaimana halnya dengan kehidupan kelompok
masyarakat pada umumnya tentu akan terdapat permasalahan
yang terjadi dalam anggota keluarga. Permasalahan tersebut
tentu disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara
satu anggota dengan anggota keluarga yang lainnya. Terdapat
beberapa permasalahan yang sering muncul yang berkaitan
dengan pewarisan dalam suku Malayu di nagari Gurun Panjang
Barat yaitu:
1. Adanya konflik atara para ahli waris terkait dengan
pemanfaatan atau penggunaan harta pusaka yang telah
diwarisi bersama. Konflik tersebut seperti adanya
ketidaksepahaman atau kesepakatan ketika satu anggota
memnfaatkan harta pusaka yang dianggap melebihi haknya.
Sebagai contoh dalam beberapa keluarga yang memiliki
sebuah lahan tanah kariang, lahan tersebut dapat dibangun
rumah oleh salah satu anggota keluarga yang terlebih
dahulu memiliki kemampuan materil untuk melakukannya.
Biasanya rumah yang dibangun tersebut dipergunakan
untuk keperluan keluarga intinya sendiri. Tidak masalah jika
terang-terangan menyetujuinya. Persetujuan tersebut terjadi jika
anggota keluarga yang lain juga mendapat kesempatan
yang sama. Namun, jika hal tersebut tidak disetujui oleh
anggota keluarga yang lain tentu akan menimbulkan
permasalahan. Untuk permasalahan inilah peran seorang
mamak sangat dibutuhkan. Dalam hal ini juga terihat bahwa
dalam kondisi tertentu penguasaan secara individual juga
mulai terlihat dalam proses pewarisannya.
2. Adakalanya terdapat suatu keadaan dimana suatu keluarga
mengalami kesulitan dalam hal ekonomi yang
mengharuskan mereka untuk menjual harta pusaka yang
dimilikinya. Permasalahannya adalah di Minangkabau sangat
tidak dikehendaki untuk melepaskan harta pusaka apalagi
dengan proses jual-beli yang artinya kepemilikan harta
tersebut sudah lepas secara permanen dari keluarga yang
bersangkutan. Sehingga, tujuan dari adanya harta pusaka di
Minangkabau yaitu untuk menjamin kelangsungan hidup
generasi berikutnya menjadi tidak terjamin. Dalam
permasalahan ini biasanya harus ada musyawarah terlebih
dahulu didalam keluarga yang dipimpin oleh seorang
mamak. Opsi pertama yang akan ditawarkan biasanya
adalah dengan menggadaikannya.
Menurut responden yang diwawancara ada tiga syarat untuk dapat menggadaikan sebuah harta pusaka tinggi yaitu:
b. rumah gadang katirisan maksudnya adalah bahwa keluarga tidak memiliki biaya yang cukup memperbaiki kerusakan yang ada di rumah gadang keluarga,
c. gadang dirantau nak ka pulang, sebagaimana kebiasaan masyarakat Minangkabau bahwa seseorang pemuda dianjurkan untuk merantau, tetapi adakalanya mereka tidak berhasil dan tidak memiliki biaya untuk pulang kampong.21
Jika dengan cara menggadaikan dirasa masih tidak
dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh keluarga
maka opsi untuk menjual harta pusaka dapat dilakukan
dengan persetujuan semua anggota keluarga.
Dari kedua permasalahan tersebut diatas tampak bahwa
ada pergeseran dalam sistem pewarisan kolektif yang ada di
Minangkabau. Pada permasalahn pertama, dapat dilihat bahwa
pemanfaatan suatu harta pusaka tinggi dapat dinikmati secara
individu oleh masing-masing anggota. Suatu harta pusaka tinggi
dalam bentuk tanah kariang dapat dibangun sebuah rumah
untuk kebutuhan kluarga inti dari salah satu anggota kaum.
Awalnya tanah karian dapat dimanfaatkan untuk keperluan
keluarga inti salah satu anggota kaum dikarenakan rumah gang
yang dimiliki kaun tersebut tidak dapat menampung semua
anggota kaum. Selain itu, pelaksanaannya dikomandoi oleh
mamak rumah dari kaum tersebut.
Pada permasalahan kedua, pergeseran terjadi pada
ketentuan yang menyatakan bahwa harta pusaka tinggi dalam
suatu kaum tidak untuk diperjual belikan. Salah tujuannya adalah
seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya
yaitu untuk menjamin kelangsungan kehidupan generasi yang
akan datang. Namun, disebabkan karena situasi dan kondisi
suatu kaum yang tidak dapat dipastikan seperti permasalahan
ekonomi memaksa masyaraka untuk melakukan pergesran dari
ketentuan tersebut. Tentu memperjual-belikan harta pusaka
tinggi tersebut dilakukan karena tidak ada jalan lain dan
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijelaskan diatas dapat di
ketahui bahwa kehidupan anggota suku Malayu di nagari Gurun
Panjang Barat masih mempraktekkan ketentuan hukum waris
adat Minangkabau dalam kehidupan sehari-harinya. Kaum-kaum
yang terdapat dalam suku Malayu tersebut dalam proses
pewarisannya sesuai dengan prinsip-prinsip pewarisan kolektif
yang digunakan masyrakat Minangkabau pada umumnya.
Hanya saja terdapat pergeseran prinsip-prinsip dari
pewarisan di Minangkabau itu sendiri dalam beberapa hal
adapun bentuk pergeseran tersebut adalah
1. Adanya kesan bahwa harta pusaka tersebut dapat
dibagi-bagi dalam penguasaan individu walaupun tidak dimiliki
secara individu. Hal tersebut dari penggunaan tanah
kariang untuk mendirikan rumah oleh anggota keluarga
2. Adanya pergeseran dari aturan dasar bahwa harta pusaka
tinggi tersebut tidak untuk diperjual-belikan. Penjualan
harta pusaka tinggi tersebut hanya dilakukan dalam
keadaan yang terpaksa
B. Saran
Dalam mempertahankan corak kehidupan masyarakat yang
dibutuhkan peran seorang pimimpin dalam menyelasaikan setiap
permasalahan yang terjadi di antara anggota keluarganya. Suku
Malayu di kenagarian Gurun Panjang Barat dapat
mempertahankan corak kehidupan tradisional dengan peran
semua unsurnya baik dari mamak, bundo kanduang, kemenakan,
Daftar Pustaka Buku-buku
Ter Haar, 1960, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnja Paramita d/h J. B. Wolters: Djakarta
Hadikusuma, Hilman, 2003, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya
Abadi: Bandung
Miko, Alfan, 2006, Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Andalas
University Press; Padang.
Navis, A.A, 1984, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Pers.
Penghulu, Idrus Hakimy dt. Rajo, 2004, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, PT Remaja Rosdakarya: Bandung,
Soekanto, Soerjono, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press,
Jakarta
Suratman, Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, CV
ALfabeta; Bandung
Skripsi dan tesis
Asri Thaher, 2006, Sistem Pewarisan Kekerabatan Matrlineal dan Pekembangannya di Kecamatan Banuhampa Pemerintahan Kota Agam Provinsi Sumatera Barat, Tesis. Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro.
Peraturan perundang-undangan
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007
Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.