“Demokrasi Lokal, Modal Sosial dan Kesejahteraan”
Mohammad Zaki Arrobi1
Pengantar
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia Indonesia ternyata masih
mengandung sejumlah ‘anomali’ demokrasi. Di antara anomali yang harus dijelaskan adalah
mengapa demokratisasi yang dijalankan dari tingkat nasional hingga tingkat lokal tidak
kunjung jua menghasilkan ‘buah’ berupa kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai suatu
pilihan politik, demokrasi dengan prinsip prinsip kebebasan, persamaan dan keberadabannya
diyakini akan mengantarkan masyarakat menuju keadilan sosial sesuai cita cita konstitusi.
Namun fakta yang berbicara tidaklah demikian, lebih dari satu dekade demokratisasi berjalan
tercatat angka kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi. Badan Pusat Statistik tahun 2012
mencatat setidaknya ada 30 juta jiwa lebih rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis
kemiskinan (BPS)2. Kondisi ini tentu paradoksal dengan capaian pembangunan demokrasi kita yang terus membaik, Indeks Demokrasi kita pada tahun 2011 saja mencapai 67,30, studi
Larry Diamond misalkan yang membandingkan kualitas demokrasi Indonesia dengan negara
negara Asia Selatan, menunjukan kualitas dan kemajuan demokrasi di Indonesia berkembang
lebih pesat.3
Persoalan kemiskinan adalah soal hajat hidup orang banyak. Seperti kata Bung Karno
bahwa “perut yang lapar tidak bisa menunggu”, ungkapan ini menyiratkan bahwa persoalan
kemiskinan tidak bisa tidak membutuhkan jalan keluar yang secepatnya. Oleh karenanya
urgensi memecahkan persoalan kemiskinan harus menjadi prioritas utama setiap negara.
Kemiskinan juga menjadi salah satu persoalan global yang cukup serius. Maka tak heran jika
pemberantasan kemiskinan (eradicate extreme poverty) menjadi point pertama dalam rencana
pembangunan global (Millennium Develompment Goals/MDGs) yang telah diratifikasi lebih
dari 200 negara tidak terkecuali Indonesia. Alhasil kewajiban mensejahterakan rakyat sudah
menjadi tanggung jawab nasional sekaligus global. Dalam paper ini akan dijelaskan secara
analitis bagaimana sesungguhnya Indonesia mengalami defisit modal sosial dalam proses
1
Mohammad Zaki adalah Mahasiswa Fisipol UGM, paper ini dipresentasikan dalam acara “Political Publication Week” di Kampus Universitas Indonesia pada tanggal 22 Mei 2012
2
Data Strategis Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik 2011,64
3
demokratisasi di tingkat lokal, defisit ini berakibat disfungsi disfungsi lembaga negara dan
melemahnya masyarakat sipil, akibatnya demokrasi tersendat dan kesejahteraan rakyat pun
urung tercapai. Penulis berargumen bahwa sesungguhnya kombinasi antara demokrasi lokal
yang bersintesa dengan modal sosial akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, paper
ini akan mengulas relasi antara demokrasi lokal, modal sosial dan kesejahteraan serta
kontekstualisasinya dengan kondisi kebangsaan Indonesia.
Gelombang Demokratisasi di Aras Lokal
Arus pemikiran yang menghendaki penguatan dan percepatan demokratisasi di aras
lokal dewasa ini terus menguat. Sejak dekade 1970an dunia internasional telah menjadikan
desentralisasi dan demokratisasi di tingkat lokal menjadi sebuah komitmen global. Wacana
demokratisasi dan pengarusutamaan lokalitas menjadi diskursus utama intelektual di dunia
internasional. Hal ini dipicu oleh runtuhnya Uni Soviet diikuti oleh bankrutnya ideologi
fasisme-komunisme, sehingga demokratisasi diyakini sebagai suatu jalan universal menuju
kesejahteraan dan kemajuan bagi negara negara di seluruh dunia. Di Indonesia ide ide tentang
demokrasi lokal sesungguhnya telah dikenal sejak lama. Sejak awal kemerdekaan para
pendiri bangsa kita (the founding fathers) telah berkomitmen menerapkan demokrasi lokal
untuk mengelola keragaman masyarakat Indonesia. Selama kurang lebih satu dekade di awal
kemerdekaan republik ini belajar dengan sungguh sungguh untuk menerapkan demokrasi dan
desentralisasi, namun bangkitnya dua rezim otoriter-represif di negeri ini meluluhlantakan
fondasi itu. Rezim ‘demokrasi terpimpin’ Sukarno dan developmentalisme Suharto telah
menutup segala ruang ruang politik di aras lokal sekaligus mempraktikkan dengan sempurna
gaya sentralisasi kekuasaan yang represif. Sejarah membuktikkan bahwa ketika kekuasaan
mempraktikkan gaya sentralistiknya maka bencana kemanusiaanlah yang terjadi,
ketimpangan pusat-daerah, penghisapan sumber daya lokal, pelanggaran HAM berat, hingga
kehancuran kearifan lokal menjadi ‘catatan kelam’ rezim otoriter-sentralistik. Perubahan ke
arah demokratisasi baru benar benar berlangsung ssat reformasi pecah di tahun 1998.
Gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 telah membawa
perubahan perubahan yang signifikan bagi tata kelola pemerintahan kita. Watak rezim yang
otoritarian berganti menjadi lebih demokratis, pemerintahan yang sentralistik bertransformasi
ke desentralisasi dan otonomi daerah, dan bergesernya pendulum politik dari executive heavy
ke legislative heavy. Berbagai regulasi pun dibuat untuk menjamin dan mengakselerasi
konkret regulasi yang dijiwai semangat desentralisasi dan demokratisasi di tingkat lokal.
Pilihan terhadap desentralisasi, otonomi daerah dan penguatan demokrasi di tingkat lokal
diyakini menjadi jalan menuju pembangunan yang emansipatif, pemerintahan yang
demokratis, pengelolaan dan penghargaan terhadap keragaman, mengembangkan kreativitas
lokalitas dan menciptakan kesejahteraan bagi segenap masyarakat di daerah daerah seantero
nusantara. Pilihan inipun kemudian menjadi suatu spirit reformasi yang menyebar ke seantero
negeri, sehingga pengarusutamaan lokalitas menjadi diskursus utama publik paska-reformasi
1998.
Problematika Demokrasi Lokal
Memotret gerakan pengarusutamaan lokalitas di Indonesia sesungguhnya dapat kita
lihat sebagai sebuah kondisi yang paradoksal. Di satu sisi banyak kemajuan yang telah
dicapai oleh arus demokratisasi di tingkat lokal, seperti tata kelola pemerintahan yang lebih
demokratis, pembagian sumber daya yang lebih berkeadilan antara pusat dan daerah,
partisipasi masyarakat yang meningkat, dan akuntabilitas serta transparansi yang kian
membaik dari tahun ke tahun. Namun di sisi lain gelombang desentralisasi dan demokratisasi
di tingkat lokal juga mencatat sejumlah problematika yang serius, fenomena maraknya
korupsi di tingkat daerah hingga memunculkan ‘raja raja kecil’, gerakan separatis, oligarki
kekuasaan elit lokal antara penguasa dan pengusaha, banyaknya daerah yang belum siap
mandiri untuk mengelola sumber dayanya, hingga minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD)
sejumlah daerah menghiasi wajah demokrasi lokal kita4.
Dinamika politik lokal di Indonesia juga diwarnai dengan kecenderungan bangkitnya
kembali ‘politik identitas’ di sejumlah daerah. Kecenderungan ini dapat dibaca dari berbagai
operasi politik operasi politik kalangan elite dominan yang memainkan isu-isu pertentangan
agama dan etnis dalam berbagai konfik sosial di seluruh wilayah di Indonesia5. Meskipun desentralisasi belum mengha-silkan munculnya identitas lokal yang kuat, di beberapa wilayah
dengan preseden ketegangan etnis dan agama, ada kemungkinan para elite dominan lokal
akan memainkan politik identitas demi kepentingan mereka sendiri. Mereka menggunakan
instrumen demokrasi untuk membakar sentimen massa dalam kerangka penguatan politik
identitas dan dalam skenario politik konsosiasional yang dimanipulasi. Beberapa kemelut di
4
Sarjana Sigit, dalam makalah “Demokrasi di tingkat Lokal”, disampaikan pada Seminar “Wajah Demokrasi Indonesia”, diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta Tanggal 30 – 31 Maret 2009 di LPMP Semarang.
5
sekitar pemilihan kepala daerah selama ini membuktikan gejala seperti itu mulai muncul
sebagai pola perebutan pengaruh dan perang legitimasi untuk meraih jabatan kekuasaan lokal.
Akibatnya pemerintah daerah dikooptasi oleh segelintir elit politik dan elit ekonomi untuk
kepentingan pragmatis mereka, sementara kesejahteraan rakyat tidak pernah diurus dengan
serius. Seluruh problematika ini berpangkal menuju satu titik, kegagalan menciptakan
keadilan sosial dan kesejahteraan bagi masyarakat daerah, sesuatu yang kontradiktif dengan
idealitas gerakan pengarusutamaan demokratisasi dan demokrasi lokal.
Modal Sosial : Kajian Teoritik dan Analitis
Modal sosial telah menjadi perhatian akademik yang serius pada bidang politik,
sosial, ekonomi hingga kesehatan dalam satu dekade terakhir ini. Kecenderungan ini
nampaknya juga berkaitan dengan mainstream dunia internasional untuk memperkuat
demokratisasi di tingkat lokal dan upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance). Hal ini misalnya terlihat pada Konferensi Tingka Tinggi (KTT) World
Summit For Social Development di Kopenhagen tahun 1995, konferensi ini menghasilkan
komitmen untuk mempromosikan penguatan modal sosial di aras lokal dan global sebagai
fondasi pengentasan kemiskinan (eradicate poverty). Komitmen Kopenhagen menyiratkan
bahwa pembangunan sosial bukanlah melulu pada bagaimana negara memberi pelayanan
sosial bagi masyarakat, namun juga pada bagaima modal sosial didorong untuk menjadi suatu
jaringan kerja dan relasi relasi asosional untuk membantu mengentaskan kemiskinan. Dalam
hal ini penguatan modal sosial dalam setiap proses demokratisasi telah menjadi komitmen
global negara negara di dunia.
Konsepsi modal sosial pertama kali diketengahkan oleh seorang sosiolog asal
Amerika, James Coleman. Coleman menyatakan bahwa modal sosial ditetapkan oleh
fungsinya. Modal sosial bukan merupakan sebuah entitas (entity) tunggal tetapi berbagai
macam entitas yang berbeda,dengan dua elemen bersama, terdiri dari beberapa aspek struktur
sosial, dan memfasilitasi tindakan pelaku-pelaku tertentu dalam struktur itu. Sebagaimana
bentuk modal lain, modal sosial adalah produktif, membuat mungkin pencapaian tujuan
tertentu yang di dalam ketiadaannya akan tidak mungkin. Sebagaimana modal fisik dan
modal manusia, modal sosial sama sekali tidak fungible tetapi mungkin specific untuk
aktivitas tertentu. Tidak seperti bentuk modal lain, modal sosial melekat dalam struktur
hubungan antara para pelaku dan diantara para pelaku)6. Dengan definisi ini Coleman
6
menempatkan modal sosial sebagai apa saja yang memungkinkan individu atau institusi
untuk bertindak, Modal sosial, karena itu, bukan merupakan sebuah mekanisme, sesuatu, atau
sebuah hasil, tetapi merupakan beberapa atau semua dari mereka (mekanisme, sesuatu dan
hasil) secara simultan. Modal sosial bagi Coleman secara normatif netral, dia diperluakan
atau tidak diperlukan, modal sosial hanya memungkinkan tindakan terjadi dengan
menyediakan sumber daya yang diperlukan. Meskipun agak kabur namun studi Coleman
telah berhasil membawa perdebatan modal sosial ke dalam diskursus ilmu ilmu sosial yang
kemudian dikritik sekaligus diikuti oleh ilmuwan ilmuwan sosial kontemporer lainnya.
Studi James Coleman tentang modal sosial menjadi jalan lapang bagi ilmuan ilmuan
sosial lainnya untuk mengelaborasi lebih jauh, diantaranya adalah Robert Putnam. Robert
Putnam adalah seorang sosiolog yang melakukan studi stui serius mengenai modal sosial
dalam struktur masyarakat Amerika pada tahun 1960an. Robert Putnam mengelaborasi
konsepsi modal sosial ala Coleman dengan spektrum yang lebih luas, Putnam melakukan
pendefinisian ulang (redefinisi) konsepsi modal sosial sehingga menjadi sangat berpengaruh
dalam studi studi pembangunan di dunia. Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai bagian
dari kehidupan sosial, jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak
bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan tujuan bersama. Putnam berargumen
bahwa gagasan inti dari teori modal sosial adalah jaringan sosial yang memiliki nilai, kontak
sosial yang akan mempengaruhi produktivitas individu maupun kelompok. Bagi Putnam
relasi relasi sosial yang timbul dari hubungan resiprokal akan berkorelasi dengan memiliki
nilai sosial dan berkontribusi terhadap produktivitas baik individu maupun kolektif.
Menurut Eko Sutoro gagasan Putnam tentang modal sosial dapat ‘dibaca’ sebagai,
Pertama, modal sosial diubah dari sesuatu yang didapat oleh individu kepada sesuatu yang
dimiliki (atau tidak dimiliki) oleh individu lain atau kelompok orang di daerah, komunitas,
kota, negara, atau benua. Kedua, modal sosial dapat dipertukarkan dengan masyarakat sipil,
ini serupa dengan pandangan baru Tocqueville tentang masyarakat sipil. Jadi, asosiasi
sukarela, organisasi non-pemerintah, berdasarkan kepercayaan, menjadi institusi yang
melalui institusi tersebut modal sosial dihasilkan. Ketiga, modal sosial terutama menjadi
sebuah hal yang secara normatif baik dan diberikan untuk (a) mempromosikan pemerintah
dan pembangunan ekonomi7. Jadi berbeda dengan Coleman yang memandang modal sosail netral secara normatif, Putnam memandang lebih positif terhadap kehadiran modal sosial.
Bahkan lebih jauh menurut Putnam modal sosial yang melimpah dalam masyarakat akan
berkorelasi positif terhadap berjalannya suatu pemerintahan yang demokratis dan
pertumbuhan ekonomi yang sustainable.
Modal Sosial dan Kemajuan Ekonomi
Relasi antara modal sosial dan kemajuan ekonomi sesungguhnya telah menjadi
diskursus akademik yang menarik. Francis Fukuyama misalnya berargumen bahwa
ketersediaan modal sosial akan merangsang tumbuhnya kapital ekonomi, tesis ini didapat
Fukuyama setelah melakukan studi di negaranya Jepang. Menurut Fukuyama kehadiran
modal sosial seperti kejujuran, toleransi, kerjasama, dan sikap saling percaya (trust) sesama
warga negara berkontribusi sangat positif pada terciptanya harmoni sosial dan menjadi basis
penting tumbuhnya kapital ekonomi8. Senada dengan Fukuyama, Robert Putnam memandang kekayaan modal sosial pada aras lokal selain mempromosikan demokrasi juga menumbuhkan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable).
Putnam memandang keberadaan modal sosial berkorelasi secara positif dengan
penguatan institusi institusi demokrasi, bahkan melebihi itu modal sosial berbanding lurus
dengan keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi. Tesis Putnam ini didukung oleh studi
komparatifnya di Italia Utara dan Italia Selatan. Putnam menemukan bahwa di Italia Utara
yang relatif maju tingkat industrialisasinya memiliki kekayaan modal sosial yang lebih
melimpah dibanding Italia Selatan, di Italia Utara terdapat kelompok kelompok masyarakat
yang berasosiasi secara sukarela yang disebut komune (commune), komune adalah semacam
institusi lokal yang dibentuk secara sukarela dan asosiatif. Komune inilah yang
mengembangkan tradisi kewargaan yang sangat kuat dalam masyarakat Italia Utara.
Sedangkan di Italia Selatan memang juga terdapat komune komune, namun tingkat inovasi
dan dinamikanya tidak sebaik di Italia Utara, selain itu relasi relasi sosial masyarakat Italia
Selatan juga menampakkan suatu kecenderungan ketidakpercayaan sosial. Selain komune,
kawasan Italia Utara juga mempunyai banyak asosiasi kehidupan di tingkat lokal yang
tumbuh dari bawah (bottom-up) dan partisipatif seperti vicinanze (asosiasi ketetanggaan),
7
Eko Sutoro, dalam makalah berjudul “Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal”, disampaikan pada Seminar Internasional IV “Dinamika Politik Lokal dan Partisipasi rakyat”, yang digelar oleh Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003.
8
populus (organisasi pengelola gereja), consorterie (organisasi pengamanan komunitas), dan
lain-lain. Sementara itu kawasan Italia Selatan (Lazio, Molise, Camp, Sardegna dan Sisilia),
sebaliknya, lebih bersifat feodal, otokratik dan sentralistik yang mereka warisi dari Kerajaan
Norman yang berpusat di Sisilia, terutama pada masa kejayaanFrederick II9. Dengan kondisi yang demikian dapat dimengerti bahwa daerah daerah di Italia Selatan mengalami ‘defisit’
modal sosial, relasi relasi sosial, kemampuan asosional, kultur demokratis dan semangat
desentralisasi sulit berkembang di Italia Selatan. Alhasil menurut Putnam Italia Utara lebih
maju dengan industrinya berkat melimpahnya social capital mereka dibanding daerah daerah
di Italia Selatan.
Studi Putnam sesungguhnya dapat kita lacak lebih jauh pada pemikiran Alexis De
Tocquville . De juga melakukan studi tentang masyarakat Amerika di abad 18, Tocquiville
mengamati bagaimana demokrasi di Amerika dapat bertahan dengan sangat kokoh. Melalui
studi studi seriusnya di sejumlah daerah daerah di Amerika, Tocquiville menemukan fakta
bahwa fondasi demokrasi Amerika adalah melimpahnya asosiasi asiosiasi, hubungan
hubungan sipil dan kemampuan untuk bekerja sama dalam masyarakat Amerika kala itu, De
Tocquiville menyebutnya sebagai kemampuan asosional. Kemampuan Asosional menurutnya
adalah kemampuan untuk menjalin hubungan hubungan sosial dan sikap untuk saling
bekerjasama antar sesama anggota masyarakat10. Kemampuan asosional untuk saling bekerjasama inilah yang menyebabkan ketangguhan sistem demokrasi di Amerika Serikat,
selain itu kemampuan asosional yang melimpah juga membantu meningkatkan kinerja
pemerintahan yang demokratis dan pada akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Pada akhirnya penulis berpendapat bahwa ketersediaan modal sosial yang
memadai tidak saja akan mempromosikan suatu pemerintahan yang demokratis, namun lebih
dari itu akan menghasilkan sebuah pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan
partisipatoris.
Konteks Indonesia
Dengan memakai paradigma Putnam tentang modal sosial kita dapat membaca
realitas demokrasi lokal kita. Potret demokratisasi di aras lokal kita yang dipenuhi dengan
sejumlah problematika serius sesungguhnya dapat dilacak dari ketiadaaan modal sosial dalam
9
Robert Putnam, Making Democracy Work : Civic Tradition in Modern Italy, (Princeton, Princeton University Press, 1993) 273
10
John Stune dan Stephen Mennel, Tentang Revolusi, Demokrasi dan Masyarakat, (Jakarta, Yayasan
proses penguatan lokalitas. Demokratisasi pada tingkat lokal selama ini hanya mengutamakan
pada aspek legal formal yang cenderung prosedural belaka. Diskursus demokratisasi di aras
lokal selama ini hanya terkonsentrasi pada persoalan persoalan seperti kerangka kebijakan
dan regulasi, pemilihan kepala daerah (pilkada), otonomi daerah, peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) hingga persoalan kelembagaan DPRD,Demokratisasi pada aras lokal
yang terjebak pada apek prosedural ini akhirnya hanya berfokus pada kerangka kelembagaan
penguatan demokrasi lokal semata, berbagai lembaga untuk menjamin demokrasi lokal
dibentuk tanpa melibatkan masyarakat lokal dalam proses proses dialogis perumusan
kebijakan. Wacana publik kita sangat jarang menyentuh pada persoalan bagaimana
demokratisasi pada level lokal juga harus didorong oleh kehadiran modal sosial yang kuat
dalam upayanya membentuk masyarakat sipil yang kokoh.
Alih alih memperkuat lokalitas ‘demokrasi prosedural’ justru memperlemah lembaga
lembaga demokrasi dan struktur sosial masyarakat lokal. Pada tataran substantif, kehadiran
modal sosial (social capital) kurang mendapat perhatian yang memadai, padahal modal sosial
sangat penting bagi terciptanya hubungan hubungan sipil yang baik dalam sebagai upaya
penguatan masyarakat sipil, sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh demokrasi lokal. Tekanan
yang berlebihan pada aspek kerangka kelembagaan yang proseduralistik mengakibatkan
demokrasi lokal mengalami ‘defisit modal sosial’ sehingga berbagai persoalan muncul ke
permukaan. Ketiadaan modal sosial dalam demokrasi lokal mengakibatkan kohesi sosial
masyarakat sulit terbentuk yang berakibat pada maraknya konflik konflik horizontal diantara
anggota masyarakat, kekerasan sipil, ketiadaan kebajikan sipil (public virtue) dan etika publik
yang kontraproduktif bagi pembangunan. Saya hendak berargumen bahwa membuat
demokrasi lokal bekerja dengan lebih baik tidak cukup dengan kebijakan kebijakan yang
demokratis (transparan, akuntabel, responsif), komitmen elit politik lokal, atau capacity
building bagi pemerintahan daerah, melainkan juga harus disokong oleh kekuatan social
capital yang kokoh dalam sektor masyarakat sipil.
Demokratisasi di Indonesia yang sudah dijamin secara regulatif sejak tahun 1998
sejatinya telah mengalami defisit modal sosial, mewahnya regulasi dan kerangka
kelembagaan formal untuk menunjang demokrasi lokal kita nyatanya tidak diimbangi dengan
persediaan modal sosial dalam struktur masyarakat kita. Kemampuan asosional dan relasi
relasi sosial sukarela kurang dapat tumbuh dan berkembang di daerah daerah, akibatnya
masyarakat sipil di daerah daerah mengalami pelemahan secara perlahan lahan. Alih alih
para elit lokal lah yang merajalela, sehingga program program pembangunan ekonomi tidak
memihak rakyat bawah. Selain itu masyarakat Indonesia memiliki problem kultural serius
yang menghambat tumbuhnya demokratisasi di aras lokal.
Kultur feodalistik, otoritarian dan sentralistik telah berurat akar dalam masyarakat
Indonesia. Meski revolusi kemerdekaan sudah relatif mengikis struktur dan kultur feodalistik,
namun bangkitnya rezim Orde Baru selama tiga puluh dua tahun menyuburkan kembali
watak feodal dan sentralistik dalam seluruh kehidupan politik negeri ini. Sisa sisa warisan
Orde Baru ini hingga kini masih ada, gaya kepemimpinan yang sentralistik-feodalistik ini
masih banyak dijumpai di daerah daerah, kadang kadang watak ini terpersonifikasikan pada
pemimpin pemimpin lokal. Banyak kepala daerah yang bergaya ABS (Asal Bapak Senang),
ada juga pemimpin daerah berkolusi dengan penguasaha dan justru meniciptakan oligarki
kekuasaan baru di tingkat lokal. Gejala ini dapat kita lihat dari maraknya konflik konflik
perebutan sumber daya alam di daerah, seringkali korporasi yang dibeking penguasa tampil
sebagai pemenang dalam pertarungan ini dan masyarakat lokal lah yang menjadi korban.
Oleh karenanya ke depan agenda demokratisasi di aras lokal harus senantiasa
memperkuat ketersediaan modal sosial. Penguatan modal sosial dalam proses politik lokal ini
misalnya harus dimulai dengan memperkuat kembali insitusi institusi lokal yang berpotensi
menumbuhkan kemampuan kemampuan asosional masyarakat, di desa desa misalkan ada
banyak lembaga lokal yang dapat memainkan peran ini, seperti lembaga Rukun Tetangga
(RT), Rukun Warga (RW), rembug desa, hingga Badan Pembangunan Desa (BPD). Lembaga
lembaga lokal ini mesti diperkuat secara institusional dan kultural, sebab melalui lembaga
lembaga lokal inilah modal sosial dapat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kekayaan
kultural untuk menyangga fondasi demokrasi lokal. Jika fondasi demokrasi lokal telah kokoh
dengan kekayaan modal sosial yang tersedia, maka suatu pemerintahan yang demokratis akan
merangsang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan lebih mudah di capai. Sebagaimana studi
Putnam di kawasan Italia Utara, bahwa kekayaan modal sosial akan mendorong produktivitas
kerja baik secara individual maupun kolektif.
Kekayaan modal sosial akan membuat pemerintahan lokal berjalan secara efektif
(good governance), demokratis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan begitu
kebijakan kebijakan publik pemerintah akan kompatibel dengan kebutuhan masyarakat
langsung, dan fondasi masyarakat sipil akan menguat sehingga akan semakin mengefektifkan
membuat masyarakat lokal semakin berdaya berkat jejaring sosial yang mereka miliki,
kendali kekuasaan politik-ekonomi berada di bawah kontrol dan akses masyarakat lokal,
kondisi ini akan mempermudah untuk mengakses dan mengelola sumber daya sumber daya
lokal daerah untuk kesejahteraan masyarakat, dengan begitu mimpi kesejahteraan rakyat di
DAFTAR PUSTAKA Buku
Fukuyama, Francis, Guncangan Besar : Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Jakarta, Gramedia Media Utama, 1999
Field, John, Modal Sosial, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2010
John Stune dan Stephen Mennel eds, Tentang Revolusi, Demokrasi dan Masyarakat, Jakarta, Yayasan Obor, 2005
Putnam, Robert, Making Democracy Work : Civic Tradition in Modern Italy, Princeton, Princeton University Press, 1993
Van Benda, Keeber, et al, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007
Laporan Riset
Laporan Riset, Indeks Demokrasi Asia 2011 : Potret Indonesia, disusun oleh: Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
(PUSKAPOL) dan Center for Democracy and Human Rights (DEMOS)
Data Strategis Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik 2011
Makalah
Sarjana Sigit, dalam makalah “Demokrasi di tingkat Lokal”, disampaikan pada Seminar “Wajah Demokrasi Indonesia”, diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta Tanggal 30 – 31 Maret 2009 di LPMP Semarang