• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN NIR HISTORIS Dinamika Rakyat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBANGUNAN NIR HISTORIS Dinamika Rakyat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Dinamika Rakyat dan Relasinya Dengan Tanah di Papua

Oleh: I Ngurah Suryawan

Abstract

The introduction of development uprooted the Papuans from their ‘land tied’ culture. Development is which is identical to modernisation swept away the ‘land tied’ culture of the Papuans because the culture is considered as primitive. The Papuans experience transformation when development cut off their historical relations to the land. This article is meant to elaborate how the process has caused the Papuans to lose their confidence and their strength to participate in the social transformation process. W ithin the context of Papua, their attitudes and lives reflect their philosophy about land as their source of lives. To reveal the Papuans’ social transformation process, this article is based on ethnography and indegenous people’s history research. Kata kunci: pembangunan, nirhistoris, masyarakat adat, transformasi

“Tanah dibutuhkan, tapi orang tidak!” (Tania M urray Li 2010)

Pendahuluan

Dalam perjalanan mengunjungi sebuah kampung di Distrik Arguni Bawah Kabupaten Kaimana, saya mendapatkan pelajaran berharga dari sebuah diskusi di para-para (tempat berkumpul) kampung bersama 4 paitua (bapak) yang menemani saya ke kebun mereka yang saling berdekatan. Seorang paitua (bapak) mengungkapkan, “Orang Papua itu belum mampu kelola hidup. Hutan itu yang hidupi orang Papua. Orang Papua tidak bisa kelola tanah yang tandus. Bagaimana tong (kita) mau kelola hutan kalau hutan su (sudah) dijual ke pengusaha.”

(2)

perusahaan kayu dan kelapa sawit. M ereka tidak lagi mempunyai hak atas hutan yang menjadi sumber penghidupan. Pengalaman pahit dari saudara mereka itulah yang membuat mereka kini berhati-hati menjaga hutan agar tidak lepas dari kepemilikan adat mereka. “Tong (kita) sekarang tra (tidak) sembarang jual hutan dan tanah. Bagaimana tong pu (kita punya) generasi selanjutnya?” tanya seorang paitua (bapak) sambil menunjukkan ke arah ujung bukit yang mereka sebut dengan jaindab (lokasi matahari turun). 1

Perjuangan masyarakat adat menegakkan hak kepemilikan terhadap hutan mereka diwarnai dengan konflik dan kekerasan. Hal ini tidak terlepas dari UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang menetapkan hutan adat adalah hutan negara. Jauh sebelumnya, jika melacak genealogi kepemilikan tanah di Indonesia dimulai kira-kira pada abad 19, selalu saja terjadi kontestasi (baca: pertarungan sekaligus negosiasi) antara negara dan masyarakat. Penetrasi dari perusahaan-perusahaan Trans National

Corporation (TNC) dan gurita kuasa kapital yang bekerjasama dengan

rezim otoritarian dan kapitalistik Orde Baru menggerus jutaan hektar hutan dan tanah-tanah milik masyarakat adat. Intinya, yang diperlukan oleh rezim kapitalistik negara yang bekerjasama dengan otoritas negara hanyalah tanah saja, bukan manusia yang menempati tanah tersebut.

Data Forum Kerja Sama (Foker) LSM Papua menunjukkan pada tahun 2006 saja ada 65 perusahaan HPH di Papua dengan luas konsesi 14,4 juta hektar (ha). Dari 65 perusahaan tersebut hanya 15 HPH yang bertahan. Dengan demikian, sejak awal perusahaan tersebut masuk tentunya melalui pembebasan lahan dari masyarakat. Eksploitasi atas tanah adat Papua berlangsung hingga hari ini dan meminggirkan eksistensi masyarakat Papua. Yermias Degei dalam sebuah artikelnya mengungkapkan bahwa penduduk Papua, khususnya Suku Amungme dan Kamoro yang berada di M imika dipaksa merelakan tanah adat mereka yang memiliki nilai sosial budaya, politik, dan religious. Gunung Ertsberg atau Yelsegel Ongopsegel di daerah Kabupaten M imika yang merupakan daerah keramat orang Amungme dan Kamoro harus rela isi perutnya dilubangi karena kepentingan emas, perak, dan tembaga demi sebuah investasi. Sementara di wilayah adat M alamoi, setidaknya ada dua perkebunan kelapa sawit selain eksploitasi kayu. Kini hutan alam yang secara turun-temurun menjadi sumber kehidupan justru menjadi sumber malapetaka yaitu banjir dan

(3)

longsor.2 Kondisi eksploitasi dan peminggiran eksistensi masyarakat lokal

secara tajam dilihat oleh Tania M urray Li saat menjadi pembicara utama dalam pertemuan European Association of Asian Studies di Gothenburg (Swedia) 2010 dengan mengungkapkan: “tanah dibutuhkan, tapi orang tidak!” dan “sumberdaya manusia dari Jawa didatangkan tanpa pelayaran balik” (Ramstedt, 2011:42).

Namun kini, orang yang berada di atas tanah/hutan seolah mendapat angin segar. Akhirnya, perjuangan masyarakat adat yang dikawal Aliansi M asyarakat Adat Nusantara (AM AN) bersama dua komunitas adat anggotanya, tercapai. M K (M ahkamah Konstitusi) mengabulkan judicial

review atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Ini artinya

masyarakat adat memiliki kewenangan atas hutan adat dan tidak ada lagi status hutan adat adalah hutan negara. Putusan M K itu dibacakan oleh pimpinan sidang, pada hari Kamis, 16 M ei 2013 di gedung M K, Jakarta. Dalam keputusannya, M K mengatakan bahwa UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945. “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah hukum adat,” tegas Akil.3

Ini tentu saja berita yang sangat mengembirakan. Namun persoalan baru justru akan muncul seiring dengan berlangsungnya proses pendaftaran, pemetaan, dan pengakuan hak kolektif masyarakat adat atas wilayah-wilayah hukum adat masing-masing di seluruh Indonesia. Dinamika dan kompleksitas internal masyarakat adat tentu adalah salah satu poin penting yang harus dicermati. Politisasi adat untuk kepentingan para agen atau elit-elitnya susah terbantahkan. Dinamika Otonomi Khusus dan pemekaran daerah menjadi pentas para elit-elit lokal Papua untuk memanfaatkan kesempatan ekonomi politik demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Timmer (2007) menunjukkan bagaimana pemekaran sebagai proses “pemecahan kekuasaan” akhirnya mengarah kepada kontestasi para pejabat-pejabat lokal untuk mengakui tuntutan-tuntutan lokal menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. Di samping itu perangai elite politik yang haus kekuasaan semakin menjadi-jadi. Bayangan dari otsus dan pemekaran daerah adalah melahirkan posisi-posisi baru untuk pegawai negeri,

2 Lihat artikel Yermias Degei, “Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua” (artikel

tanpa tahun). Yermias Degei adalah sekretaris Lembaga Pendidikan Papua-Education of Papua Spirit (edPapaS).

3 Lihat juga “Hore!!! Pernyataan Hutan Adat Sebagai Hutan Negara Adalah Inkonstitusional”

(4)

peluncuran anggaran dan proyek semakin menguatkan keinginan dari pejabat lokal untuk mendukung pemekaran. Akhirnya yang terjadi adalah arena pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di kalangan pemerintahan (birokrasi) dan juga sumberdaya alam yang melibatkan identitas-identitas lokal di tanah Papua. Sisi lain dari Otsus dan pemekaran menjadikan nasionalisme rakyat Papua semakin subur. Sisi laten dari nasionalisme Papua adalah pengalaman orang Papua di bawah pemerintah Indonesia—seperti banjir pendatang, marginalisasi ekonomi, dan tindakan brutal oknum militer dan politik kepada rakyat Papua—semakin hadir di depan mata melalui kebijakan Otsus dan pemekaran (Chauvel, 2008; Laksono, 2009).

Argumen memendekkan rentang kendali pelayanan pemerintah adalah argumen yang diajukan oleh para elite lokal Papua. Dalam hal ini ada proses pendekatan oleh politisi lokal Papua kepada pihak pusat di Jakarta melalui DPR. Dengan diam-diam mereka menerima sogokan uang dalam jumlah besar, dan kemudian menerbitkan undang-undang pembentukan unit-unit daerah yang baru. Desentralisasi dan Otsus memang membuka peluang terjadinya praktik-praktik pemburuan rente ekonomi-politik yang dipraktikkan oleh sesama elit lokal Papua. Perpecahan di antara sesama Papua diekspresikan dengan istilah “komin tipu komin” untuk menunjukkan sesama orang Papua yang baku tipu (saling menipu) untuk memperebutkan keuntungan ekonomi politik demi kepentingan pribadi dan kelompoknya yaitu komunitas adat atau marganya (Suryawan, 2011). Oleh karena itulah komunitas adat dan kebudayaannya juga salah kaprah jika dianggap “murni” dari polusi-polusi pengaruh interkoneksi global yang menyasar kampung-rakyat dengan tempat (tanah/hutannya) (Laksono 2002).

Artikel ini4 mendalami bagaimana program-program pembangunan

yang hadir secara massif di Tanah Papua secara pelan tapi pasti menyingkirkan masyarakat tempatan. Kesatuan masyarakat adat yang mempunyai relasi historis dengan tanahnya dipaksa menepi karena

4 Artikel ini sebelumnya adalah makalah dengan judul “Tanah Dibutuhkan tapi Orang

(5)

kehadiran investasi global yang masuk hingga ke rumah tangga mereka. Banyak kisah tentang masyarakat adat yang kehilangan hutan dan tanah ulayat mereka karena digunakan oleh perusahaan untuk mencari keuntungan. Guna memahami relasi antara tanah dengan keberadaan suatu komunitas, artikel ini mengajukan pendekatan yang memadukan etnografi dan sejarah kerakyatan. Pendekatan ini memfokuskan perhatian kepada dinamika dan transformasi yang dialami oleh rakyat dan relasinya dengan tanahnya dalam usaha mengkonstruksi sejarah dan kebudayaannya.

Pembangunan yang M elumpuhkan

Keberhasilan pembangunan di Tanah Papua sering diukur dengan terbentuknya DOB (Daerah Operasional Baru) melalui pemekaran-pemekaran daerah. Keyakinannya adalah dengan memekarkan daerah maka wewenang untuk mengatur wilayahnya sendiri akan lebih besar. Proses Otsus dan pemekaran Papua mencita-citakan otonomi lebih besar bagi komunitas-komunitas Papua dan institusi-institusinya. Gagasan lain dari pemekaran Papua dari Freddy Numberi dan JRG Djopari dalam Pokok-pokok Pikiran tentang Pemekaran Provinsi Papua adalah untuk memudahkan dan memperpendek rentang kendali pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, peningkatan pelayanan dan pembinaan kemasyarakatan dan terutama meningkatkan kesejahteraan rakyat (Hommers, 2003: 18). Tak kalah penting adalah Otsus dan pemekaran menawarkan bagian yang lebih besar dari pendapatan yang diperoleh dari proyek-proyek penyerapan sumber daya di Papua, termasuk 70% dari industri minyak dan gas dan 80% dari usaha-usaha pertambangan. Selain itu, Otsus melibatkan dana-dana khusus yang menguntungkan komunitas-komunitas pedesaan untuk jangka waktu 20 tahun (Sumule, 2003; Timmer, 2007: 605). Dengan adanya pemekaran diharapkan pembangunan semakin berjalan dengan lancar karena rentang kendali pemerintahan sudah semakin pendek. Pemerintahan baru diharapkan mampu menjadi pelayan masyarakat untuk menghasilkan perubahan sosial karena introduksi pembangunan.

(6)

berlomba-lomba untuk kembali ke daerah asalnya. Pemetaan dan identifikasi diri suku-suku “asli” sebagai tuan di daerahnya sendiri pun juga dilakukan pada masing-masing kabupaten. Elit pemerintahan di kota M anokwari, juga ramai membicarakan siapa tokoh-tokoh yang berpeluang menjabat sebagai

caretaker bupati dan posisi-posisi penting dalam birokrasi pemerintahan

pada kedua daerah pemekaran.5 Perdebatan antara para elit ini tentunya

berdasarkan pemahaman bahwa pemekaran adalah untuk “masyarakat pemilik tanah” sebagai “suku asli” yang menjadi tuan di tanah kelahirannya sendiri.

Suasana keputusasaan dalam keterhimpitan ekonomi secara gamblang terlihat di tengah gelimang kekayaan alam yang terus menerus dieksploitasi. Dana pembangunan puluhan triliyun rupiah dalam skema Otonomi Khusus seakan tidak berdampak sama sekali terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan fisik dalam bentuk gedung-gedung memang terjadi dengan massif. Namun demikian, kualitas hidup dasar dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan masih sangat memprihatinkan.

Ketika menginjakkan kaki di Kampung W osimo, Distrik Naikere, Kabupaten Teluk W ondama Provinsi Papua Barat, saya menjumpai kondisi gedung Sekolah Dasar Inpres Yukuyeda sangat memprihatinkan. Ruang guru hanya diikat dengan tali bambu dan kursi-kursipun sudah mulai lapuk. Yang lebih mencengangkan saya adalah sudah hampir 2 bulan, 4 guru yang bertugas tidak kembali untuk mengajar anak-anak Kampung W osimo yang sebelumnya dikenal dengan nama W ombu. Beberapa anak-anak saya temui menghabiskan waktu dengan bermain. M ereka yang saya temui menceritakan bahwa temannya ikut orang tua bekerja di kebun.

Bangunan Pustu (Puskesmas Pembantu) yang jaraknya tidak jauh dari SD Inpres Yukuyeda setali tiga uang. Jalan menuju Pustu ditumbuhi rerumputan yang tinggi. Bangunan Pustu pun tampak lengang. Sama sekali tidak tampak pelayanan kesehatan. Bangunan dibiarkan kosong dan masyarakat hanya berharap mendapatkan pelayanan kesehatan jika turun ke kota W asior. “Pustu ini su lama tra dipakai. Katanya pindah ke tempat lain,” ungkap seorang warga Kampung W osimo. Sementara sekolah dan Pustu tidak berfungsi, kehadiran perusahaan kayu yang membelah Distrik

5 Lihat “Diusul jadi Caretaker, Dominggus Mandacan: Itu bukan Rahasia Lagi” dalam Tabura

(7)

Naikere dengan pembangunan jalan-jalan berlangsung dengan massif. Pelabuhan lokasi perusahaan dipenuhi dengan kayu-kayu besar dan alat-alat berat yang sudah membabat habis hutan masyarakat adat. 6

Pembangunan dan investasi yang masuk ke kampung jelas memerlukan tanah untuk mendirikan infrastruktur fisik sebagai salah satu wujud pembangunan selain pembangunan sumber daya manusia di lokasi pembangunan itu sendiri. Hadirnya pembangunan tentu membawa kesadaran dan pemahaman baru bagi masyarakat lokal. Bertemunya ide baru pembangunan dengan kehidupan masyarakat lokal mendatangkan berbagai implikasi. Cara pandang program pembangunan terhadap masyarakat bertemu dengan cara pandang masyarakat melihat pembangunan. Dalam bahasa Laksono (2002:383), perspektif pembangunan yang ditanamkan oleh rezim Orde Baru adalah sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan, sehingga apa saja yang dianggap kuno dan tidak mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap sebagai “keterbelakangan”. Salah satu hal yang dianggap keterbelakangan dan dipandang sebagai penghalang proses pembangunan atau modernisasi adalah kebudayaan tradisional komunitas tempatan. Dengan demikian, pembangunan itu identik dengan kesadaran baru yang hadir dan diterima lepas dari budaya tempatan.

Pembangunan yang ditanamkan oleh negara merasuk dalam kesadaran masyarakat tempatan bukan sebagai sintesa proses historis budaya-budaya tempatan, tetapi lewat daya pikat citra sukses pembangunan di negara-negara industri maju yang didukung kekuatan modal. Lambat laun tapi pasti, tergusurnya masyarakat tradisional tidak semata-mata merupakan soal hilangnya keaslian budaya tradisional masyarakat tempatan, tetapi juga merupakan soal hilangnya pribadi dan rasa percaya diri masyarakat tempatan dan juga masyarakat Indonesia pada umumnya (Laksono 2002:384).

Dalam konteks Tanah Papua, Giay (1996) dengan tajam merinci berbagai asumsi-asumsi yang diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan di tanah Papua. Ia menjelaskan munculnya anggapan bahwa orang Papua tidak punya kebudayaan sehingga harus diberikan “adat” dan kebudayaan baru. Perspektif seperti ini terdorong dari rezim kolonisasi yang berniat menguasai tanah jajahan bersama dengan seluruh sumberdaya yang berada

6 Catatan lapangan di Kampung W osimo, Distrik Naikere, Kabupaten Teluk W ondama,

(8)

di dalamnya. Di tanah Papua, rezim kolonial Belanda datang dan membuka lahan-lahan baru sebagai tempat orang Belanda untuk menetap. M ereka menganggap tanah Papua ini luas, subur, dan juga kosong karena penduduknya tidak memiliki tanah ulayat. Rezim kolonial ini bebas menguasai tanah dan menempatkan orang-orangnya hidup tanpa mengakui hak-hak bangsa pribumi yang telah hidup bersama tanah dan leluhur mereka jauh ssebelum kedatangan mereka.

Dari perspektif bangsa pribumi, hadirnya penjajah kolonial Belanda dianggap sebagai penyerbu ke daerah leluhur mereka. Hal inilah yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan perlawanan seperti gerakan “Pamai Jacadewa” di sekitar Jayapura (Kamma, 1995; Giay, 1996). Konteks ini secara jelas menunjukkan bahwa sebelum masuknya agama samawi (Kristen, Katolik, dan Islam) yang perkembangannya pesat di Papua telah terdapat “agama lokal” yang dianut dan dipercayai masyarakat dalam bentuk penyembahan terhadap para leluhur dan roh-roh yang diwujudkan dalam bentuk patung-patung dan benda-benda keramat. M asuknya agama akhirnya menghilangkan “agama lokal” ini dan juga memberangus benda-benda penyembahan yang dianggap oleh agama sebagai penyembah berhala dan faham animisme. Ungkapan “zaman kegelapan” sering dipakai oleh para penyebar agama untuk menunjukkan belum hadirnya agama dan kehidupan “beradab” pada masyarakat Papua karena banyak terjadi Honge (perang suku) dan pelenyapan satu manusia dengan manusia yang lain.

M asuknya injil ke tanah Papua juga menafikan kepercayaan lokal yang ada sebelumnya dan dipercayai oleh masyarakat setempat. Para penginjil datang ke sebuah daerah dengan dengan membawa agama baru mengkotbahkan Allah sang pencipta dan melihat dari cara pandang mereka bahwa masyarakat setempat berada dalam “kegelapan” dan harus diterangi. Namun dalam kenyataannya masyarakat setempat mengira bahwa para penginjil (orang barat) datang ke daerah mereka untuk “mencari Sang Pencipta yang telah menjadi objek penyembahan suku mereka dan bukan mengkotbahkan Sang Pencipta sebagaimana yang diyakini oleh para penginjil ini (Giay, 1995). Ini dengan jelas menunjukkan bahwa masyarakat setempat telah mempunyai kepercayaan sebelumnya yang “ditiadakan” oleh para penginjil. Namun dari perspektif mereka, kepercayaan tersebut harus diganti dengan agama.

(9)

tahun 1960-an adalah munculnya organisasi perlawanan rakyat Papua yang disimplifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi OPM (Organisasi Papua M erdeka) karena pengaruh dari Belanda. Namun kenyataannya, sejarah perlawanan orang Papua telah berperang melawan penjajah Belanda. Orang M ee di Paniai memberontak dan menentang penjajah beberapa kali mulai dengan Pemberontakan Kebo tahun 1938, Perang Agadide tahun 1953, dan Perang Obano tahun 1956. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa sejarah perlawanan Orang Papua jauh ada sebelum OPM berdiri dan dilakukan untuk menentang penjajahan Belanda. Perlawanan ini dilanjutkan dengan perlawanan terhadap kekerasan yang dipraktikkan oleh aparat keamanan Indonesia di Tanah Papua.

Berbagai ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hadirnya “rezim-rezim baru” dalam berbagai wujudnya di Tanah Papua sering kali mengabaikan atau alpa mengakui pengetahuan dan sejarah masyarakat lokal yang telah mempunyai ikatan sejarah dengan tanah, lingkungan, sosial budaya, dan berbagai nilai dan norma yang lahir dan hidup bersama kehidupan mereka. Kehadiran pembangunan sebagai kesadaran baru justru membuat kesadaran untuk bermimpi tentang keberhasilan dan kesejahteraan yang dilihat dari wilayah-wilayah lain, bukan dari kampung sendiri. Hal yang muncul selanjutnya adalah ketergantungan masyarakat terhadap program-program pembangunan hingga mereproduksi budaya-budaya masyarakat untuk kepentingan ekonomi politik. M asyarakat tempatan membayangkan kesuksesan pembangunan di wilayah lain yang seringkali terpisahkan dengan konteks historis dan sosial budaya di wilayahnya sendiri. Hal lain yang terjadi adalah praktik kolonisasi kebudayaan yang dipraktikkan oleh kuasa investasi modal beserta jejaringnya yang menyingkirkan kebudayaan dan masyarakat tempatan.

Kapitalisasi Tanah Adat dan Fragmentasi

M asyarakat tempatan di Tanah Papua mempunyai filosofi dan pemahaman tentang tanah yang jauh berbeda dengan tanah yang dianggap sebagai modal (capital) yang bisa diperjualbelikan. Orang M ee yang menyebut diri mereka “manusia utama” memaknai tanah (M aki) sebagai mama (Akukai) yang memberikan kehidupan dari tanah maupun manusia. Jika tanah tidak diperhatikan, maka hubungan manusia, Tuhan, dan alam itu tidak akan ada. Orang M ee sering menyebut para penjual tanah dengan

(10)

menurut orang M ee juga memiliki klasifikasinya sendiri yaitu tanah yang sakral, tanah untuk mata pencaharian, dan tanah untuk umum.7

Tanah dalam bahasa M aybrat disebut dengan Tabam. Filosofi tanah menurut orang M aybrat menggambarkan alam semesta, termasuk di dalamnya kehidupan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Dalam bahasa M aybrat: “Tabam Fo

M saka Ra Msikowah Fe, Anu Ra Oh Bsikowah Bo To” (Dunia/alam semesta

itu tidak merusak manusia tetapi manusialah yang merusak). Oleh karena itu, kehidupan atau tingkah laku manusia di dunia digambarkan dalam filosofi tanah (Tabam). 8

Filosofi dari pengetahuan lokal itu sangat berbeda dengan filosofi pembangunan yang justru melakukan kapitalisasi terhadap tanah. Dalam konteks yang lebih problematik, pembangunan juga telah menjadi pemicu perpecahan dan sikap pragmatis—salah satunya terhadap tanah—yang telah menjalar di tengah masyarakat Papua dan juga Indonesia secara umum. Berbagai program pembangunan melalui proyek-proyek berlangsung. Kontraktor-kontraktor pun bermunculan di kampung-kampung guna mengakses proyek yang ditawarkan oleh Pemerintah Daerah. Ini belum termasuk berbagai program-program pembangunan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dengan berbagai nama bertajukkan pemberdayaan masyarakat kampung. Masyarakat di kampung dihadapkan pada situasi banyaknya program pembangunan yang masuk ke daerah mereka dengan berbagai tawaran dana-dana yang tidak sedikit jumlahnya.

Suatu hari di pertengahan M ei 2013, di sebuah kampung pegunungan Distrik Teluk Arguni Bawah Kabupaten Kaimana Papua Barat, sekelompok masyarakat berkumpul di balai kampung membahas masuknya program pemerintah bertajuk pemberdayaan masyarakat kampung. Dana yang akan masuk untuk pembangunan kampung berjumlah ratusan juta rupiah. M asyarakat mengetahui adanya dana tersebut dari sosialisasi program pemberdayaan yang dilakukan oleh pendamping distrik dan fasilitator kabupaten. “Tong pu pikiran “barang ini” (baca: program pembangunan) masuk su ada dana jadi,” ujar seorang warga mengawali pembicaraan. M asyarakat berpikir bahwa ketika program-program pembangunan masuk ke kampung disertai dengan dana, maka pikiran

7 W awancara 30 Juli 2013.

(11)

utama adalah bagaimana memanfaatkan dana yang masuk itu sebagai pekerjaan untuk dibagi-bagi kepada anggota masyarakat. 9

Dalam konteks yang lebih luas di Tanah Papua, keterpecahan merupakan implikasi yang serius dari intervensi negara (baca: pemerintah dan aparatusnya) melalui berbagai program pembangunan dan kebijakan ekonomi politik lainnya. Analisis Broek (1998) mengungkapkan bahwa fragmentasi (baca: keterpecahan) yang terjadi di tengah masyarakat Papua mulai mengarah pada kelumpuhan melakukan inisiatif gerakan sosial keluar dari situasi keputusasaan yang membelenggu. Perbedaan sudut pandang yang kuat mengarah pada polarisasi (keterpecahan) dalam masyarakat sehingga memunculkan kubu-kubu yang akan saling menyalahkan satu dengan yang lainnya.

Secara kasar terdapat tiga kubu yang bertentangan secara keras dan sangat potensial menimbulkan perpecahan. Pertama adalah kelompok masyarakat yang ingin mengungkit kembali segala penderitaan selama bertahun-tahun sehingga menjadi perhatian serius pihak yang berwajib (kubu HAM ). Kedua, kelompok masyarakat yang terbuka melihat kemungkinan perwujudan otonomi yang seluas-luasnya untuk menjadi jawaban atas aspirasi-aspirasi yang sudah terungkap oleh masyarakat (kubu otonomi). Ketiga, kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak mau bicara lagi dan menuntut saja haknya untuk mengatur diri sendiri secara total (kubu Kemerdekaan).

Kubu otonomi pun mengalami fragmentasi dengan munculnya kembali kelompok-kelompok masyarakat yang terus-menerus memperjuangkan pemekaran daerah. Dengan demikian, inisiatif gerakan sosial yang semestinya dibangun berdasarkan kesadaran untuk merubah nasib sendiri akhirnya mengarah kepada motivasi memanfaatkan kepentingan-kepentingan pragmatis (baca: ekonomi politik) yang ditawarkan oleh Otonomi Khusus (Otsus) dan pemekaran daerah. Otsus telah memberikan peluang kepada masyarakat Papua untuk (sebenarnya) memperoleh akses yang besar terhadap peningkatan kehidupan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan menduduki jabatan posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Pemekaran daerah juga memberikan peluang sangat besar kepada masyarakat lokal Papua untuk mengambil peranan penting dengan tujuan utama: penegakan identitas dan martabat rakyat Papua sekaligus kualitas hidup mereka. Namun, tentu yang terjadi adalah jauh dari harapan

(12)

memberikan harkat dan martabat kepada masyarakat. Situasi keterpecahan dan praktik yang dimainkan oleh para elit Papua telah meminggirkan spirit penegakan harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua.

Situasi keterpecahan ini salah satunya juga disebabkan oleh gesekan antara masyarakat adat dan kuasa investasi global. Inilah yang oleh Tsing (2005) disebut dengan friksi (friction). Di ruang friksi ini terjadi pertemuan kekuatan-kekuatan kapital global dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumber daya manusia di garis depan (frontier) yang mengacu wilayah-wilayah terdepan pertemuan kepentingan masyarakat dan eksploitasi sumber daya yang dilakukan kuasa kapitalisme global. Pertemuan di ruang-ruang frontier itulah yang menuntut masyarakat tempatan memanfaatkan peluang, bersiasat dan sekaligus berpolitik. Di dalamnya dijumpai fragmen-fragmen yang menunjukkan interkoneksi yang aneh, tak terduga, kreatif, dan tak stabil. Apa saja akan menjadi komoditi, barang dagangan, direproduksi terus-menerus. Identitas budaya bagi masyarakat tempatan pada dunia friksi ini menjadi sangat problematik karena akan direproduksi terus-menerus dalam interkoneksinya dengan kekuatan global dan siasat (berpolitik) yang tiada henti (Suryawan 2011; Laksono 2009).

J.B M angunwijaya (1987; Laksono 2002: 380) dengan sangat tajam pernah menggambarkan bagaimana baku tikam (saling tikam) terjadi saat desa kecil dibumi-hanguskan oleh desa besar yang takluk pada kesultanan. Sementara kesultanan ditelan oleh kekuatan dagang global yang kemudian menyatu dalam kekuatan negara penjajah. Dalam ungkapan M angunwijaya dengan kasus M aluku, hubungan sosial yang berkembang seperti hubungan antara ikan-ikan hiu, ido, dan homa, ikan besar yang memangsa yang lebih kecil. Ikan hiu adalah ‘gambar miring’ penjajah yang ganas. Sementara ikan ido atau tuna adalah penguasa pribumi yang tega memangsa homa atau teri yang sesungguhnya rakyatnya sendiri serta menyerahkan dirinya dimangsa hiu.

Etnografi dan Sejarah Kerakyatan: M emahami Transformasi M asyarakat Adat

(13)

menyasar kepada proses pembentukan kebudayaan dan adat (pusat reproduksi makna) yang dialami dalam keseharian masyarakat. Dalam usaha pemetaan hak-hak masyarakat adat dan penegakan identitas budaya masyarakat adat, kedua pendekatan ini sangat tepat dilakukan karena perpaduan observasi partisipatif dan menggali sejarah sosial (baca: kerakyatan) masyarakat adat sendiri. Yang jauh lebih penting adalah keduanya bisa membaca dinamika internal masyarakat adat dan kompleksitas transformasi sosial yang terjadi pada masyarakat adat.

Ada baiknya kita memeriksa kembali cara kita memandang masyarakat adat dan relasinya dengan tanah, hutan dan sumber daya alam. M eminjam perspektif Scott (1995; Zakaria dan Lounela 2002:7), negara seringkali melakukan penyederhanaan-penyederhanaan dalam mengelola dan menetapkan regulasi (aturan) terhadap tanah dan hutan. Penyederhanaan inilah yang disebut dengan “simplifikasi negara” (state

simplifications) dalam memandang heterogenitas kebudayaan dan

masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat atas hutan dan tanah. Proses penyeragaman atau membuat heterogenitas itu tidak berarti sebagai sebuah usaha meredam gerakan-gerakan rakyat yang dilakukan oleh negara yang berkolaborasi dengan kuasa kapital global.

Sejarah relasi historis masyarakat adat dengan tanahnya, dan hutannya itulah yang harus direkognisi (diakui), digali pengetahuan-pengetahuan lokal yang tersimpan di dalamnya, dan direvitalisasi dalam konteks perubahan sosial yang dialami masyarakat adat sehingga berguna untuk dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat adat saat ini. M enangkap kompleksitas relasi historis masyarakat adat dengan tanah/hutannya serta transformasi sosial yang menimpa masyarakat adatsaat ini, perspektif penyederhanaan (simplifications) yang dilakukan oleh negara melalui pendekatan “pembangunanisme” terancam kekurangan bahasa untuk menangkap “isi hati” masyarakat dan semangat perubahan sosial yang mereka inginkan.

(14)

titik inilah pertemuan terjadi antara sejarah kerakyatan dan etnografi. Hal lainnya yang juga sangat penting adalah bahwa sejarah kerakyatan membicarakan suatu peristiwa dari bawah. M enulis sejarah dari bawah berarti mengisahkan kegiatan individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang selama ini tidak pernah dijamah oleh sejarah resmi. Sejarah kerakyatan juga mengangkat derajat aktivitas sehari-hari orang biasa yang tampak sepele menjadi sejajar dengan kisah-kisah perang besar dan keputusan-keputusan yang diambil di bangsal agung keraton-keraton dunia. Secara institusional, sejarah kerakyatan berkembang di luar institusi resmi pendidikan di universitas, meski ada beberapa sejarawan akademik yang mulai melek menggunakan sejarah jenis ini. 10

Arti penting keterkaitan sejarah kerakyatan dan etnografi lainnya adalah seperti yang pernah diperbincangkan oleh Santikarma (2008). Ia memandang bahwa jejak-jejak kesilaman (sejarah) masih berada di antara kita sebagai sumber makna sekaligus kendala. Bagi masyarakat, “sejarah” muncul dalam pengalaman sehari-hari mereka saat membaca dan menegosiasikan kekuasaan. Kadang sejarah digeser jauh dan kadang juga sejarah didekatkan sebagai alat perlawanan, tapi tidak pernah begitu saja, bergerak lurus seiring perjalanan sang waktu. Sebagian dari kita melakukan kritik terhadap “sejarah resmi” dengan argumentasi sejarah terlalu terlibat dengan relasi kekuasaan yang menentukan siapa yang berhak bersejarah, dan narasi kelampauan mana yang diresmikan sebagai kebenaran. Konstruksi bangunan “sejarah” kadang kala terbangun tanpa memperhatikan tujuan etis dan politis karena masih terperangkap dengan bangunan “sejarah” yang dirancang oleh negara. Perspektif sejarah seperti ini beresiko gagal melihat tragedi kekerasan, seperti misalnya pembantaian pasca-1965 atau sejarah kekerasan rakyat Papua, teror yang dilakukan tidak hanya mendiamkan tetapi menciptakan bahasa tersendiri, yang tidak keluar begitu saja dalam ruang umum, tetapi melekat pada tubuh sosial atau habitus seseorang. Ekspresinya akan muncul pada saat bernegosiasi sosial, beperilaku dalam ritual, dan praktik lainnya yang melewati ruang lingkup bahasa. Ia menciptakan bahasanya sendiri. M elihat situasi yang sangat kompleks ini, pendekatan sejarah resmi yang lebih mementingkan dokumen tertulis dan narasi para tokoh-tokoh di pusaran kekuasaan sangat

10 Saya mengelaborasi perspektif tentang sejarah kerakyatan dari artikel B. Hari Juliawan,

(15)

besar kemungkinannya gagal menangkap bahasa keseharian para rakyat yang melekat dalam keseharian dan praktik sosial yang mereka lakukan.

Etnografi menawarkan ruang yang bebas untuk memahami bahasa dan ingatan rakyat jelata melalui keterlibatan langsung dalam kehidupan rakyat. Pendekatan etnografi menawarkan kemungkinan yang sangat besar untuk melihat bagaimana para survivor kekerasan membaca, menulis, dan hidup dengan “sejarah”. Etnografi identik dengan menggali ingatan rakyat yang dimaknai sebagai ruang pembebasan dan “sejarah” sebagai alat kekuasaan. M enggunakan etnografi dalam mengakrabi kekerasan dalam keseharian rakyat, kita akan tertantang untuk menembus celah-celah bagaimana teks “sejarah” yang telah diciptakan sebelumnya tidak bisa dibaca hanya sebagai cermin masa lalu, tetapi harus juga dilihat sebagai suatu rintangan yang menghalangi dan sekaligus juga membuka makna. Kelampauan mengambil bentuk tidak hanya dalam bahasa (baca: narasi), tapi juga tersimpan dalam jejak-jejak dalam lingkungan sosial, sebuah site

of memory yang sudah tentu berbeda dengan monumen-monumen

pahlawan di ruas-ruas jalan yang dibangun oleh negara (Santikarma 2008).

Sejarah dalam menerangkan sebuah peristiwa harus lebih jauh dan mendalam memperhatikan bagaimana terjadinya, latar belakang kondisi sosial, ekonomis, politik, dan kulturalnya. Hanya menceritakan belum memberikan eksplanasi (penjelasan) secara tuntas dan lengkap. Sejarah adalah ilmu yang subjektif merupakan suatu konstruk (bangunan, bentukan) yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Sementara sejarah sebagai suatu yang objektif merujuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri (Kartodirdjo 1993). Sementara antropologi adalah ilmu yang memahami bagaimana manusia berkomunitas dan mereproduksi (menciptakan) dan membentuk makna-makna yang disebut dengan kebudayaan.

Kedekatan kerja akademik kedua ilmu ini mendorong terjadinya kolaborasi yang justru akan memperkaya temuan sekaligus juga membuka horizon pemikiran pelaku-pelakunya dan tidak terjebak dalam parokialisme keilmuan (baca: egosentrisme keilmuan). Ada beberapa perspektif yang saya catat dari tali-temali etnografi dan historiografi ini:

Pertama, konteks dan detail. Sejarah sangat ketat dengan waktu dan

(16)

detailnya, catatan akan fenomena kontemporer yang terjadi, akan memberikan konfirmasi kepada studi sejarah. Kedua, kekuatan observasi partisipasi (baca: catatan lapangan/fieldnote) dan oral history (sejarah lisan). Kedua metode ini sebenarnya saling menguatkan. Antropologi bisa belajar bagaimana menggali data dengan menggunakan metode sejarah lisan untuk membuat “sejarah kehidupan” (life history) seseorang dan meletakkan perannya dalam sebuah pembentukan kebudayaan. Sejarawan akan mendapatkan data yang kaya dengan melakukan observasi partisipasi pada jejak-jejak terkini dari penelitian sejarah yang dilakukannya, misalnya dengan melihat field-site (lokasi peninggalan sejarah) atau melakukan oral

history pelaku sejarah dan memperhatikan kondisi lapangan yang terjadi

sekarang. Ketiga, meletakkan masyarakat sebagai subyek yang bergerak (dinamis), tidak statis dan menjadi objek. Antropolog dan sejarah secara bersama-sama membagi alat pengetahuannya (ilmunya) untuk menjadi media proses transformasi dan gerakan sosial masyarakat.

Kesimpulan

M embaca transformasi sosial rakyat Papua dan relasinya dengan tanah, perspektif etnografi dan sejarah kerakyatan menjadi penting peranannya dalam menangkap suara-suara yang berkembang di tengah masyarakat. Perspektif sejarah kerakyatan mengutamakan narasi-narasi dari arus bawah rakyat biasa, sedangkan etnografi berusaha untuk memahami seluk-beluk dinamika yang terjadi dalam masyarakat melalui observasi yang dilakukannya. Dalam konteks relasi rakyat Papua dengan tanahnya, ada beberapa catatan yang setidaknya perlu didiskusikan dan dijadikan kajian lebih lanjut dan dipikirkan untuk selanjutnya melakukan langkah-langkah praksis (baca: advokasi):

Pertama, dalam konteksnya dengan tanah, orang Papua

(17)

adat adalah pemilik tanah yang secara etnografis dan sejarah membentuk kebudayaan bersama tanah yang turun temurun ditempati dan mengelola sumber dayanya secara teratur. Dalam konteks inilah pembangunan menjadi nir-historis.

Kedua, pemahaman tanah sebagai kapital (modal) adalah hasil dari

proses modernisasi (pembangunan). M omen ini dimanfaatkan oleh aktor-aktor lokal dalam masyarakat adat yang berkolaborasi dengan negara dan investor untuk menipu masyarakat adat agar menyerahkan tanahnya untuk kepentingan negara atau investor. Tidak jarang, kasus-kasus sengketa pertanahan mengakibatkan konflik dan kekerasan yang berujung kalahnya masyarakat adat. Kasus konflik pertanahan bermula dari proses klaim negara terhadap tanah-tanah rakyat sehingga tanah ulayat diserahkan kepada negara. Kondisi seperti ini jelas merugikan rakyat yang tidak bisa mendaku tanah dimana mereka dilahirkan.

Ketiga, mengembalikan tanah kepada rakyat dalam bentuk

pemetaan, pengakuan, dan pengelolaan tanah ulayat harus dipikirkan dengan matang. Transformasi sosial dan siasat pragmatisme yang melanda masyarakat adat berpeluang menimbulkan keterpecahan pada tingkat internal masyarakat adat sendiri. Usaha pemetaan dan kajian atas tanah-tanah ulayat masyarakat adat bisa dilakukan dengan pendekatan etnografi dan sejarah kerakyatan. M elalui 2 pendekatan ini, akan terbaca kompleksitas internal dan tantangan-tantangan perubahan sosial yang dihadapi masyarakat adat. Dalam konteks advokasi dan kajian lanjutan, sangat penad untuk mengajukan pendekatan etnografi dan sejarah kerakyatan dalam menangkap dinamika relasi rakyat Papua dengan tanahnya. Pembangunan nir-historis seharusnya diganti dengan pembangunan yang merekognisi konteks sejarah dan kebudayaan rakyat dengan tanahnya. Usaha-usaha advokasi setelah melakukan pemetaan dan kajian didasarkan pada prinsip bahwa gerakan masyarakat adat harus diarahkan menjadi gerakan-gerakan berbasis isu kelas daripada etnisitas (Henley dan Davidson 2010:54). Isu-isu kelas maksudnya adalah melakukan konsolidasi dengan kelompok-kelompok gerakan sosial baru lainnya yang memperjuangkan kelompok minoritas.

Referensi

(18)

Broek OFM , Drs. Theo van den. (2002) M engatasi Keterpecahan yang M elumpuhkan, Jayapura: SKP Keuskupan Jayapura dan LSPP Jakarta, 2002.

Giay, Benny. (1995). “Zakheus Package and His Communities”. Amsterdam: PhD Thesis Vrije Universiteit

Giay, Benny. (1996). “Pembangunan Irian Jaya dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Antropologi” makalah dalam Simposium Masyarakat dan Pembangunan di daerah Irian Jaya yang dilaksanakan BPC GM KI Jayapura.

Henley, David, Jamie Davidson dan Sandra M oniaga (editor). (2010). Adat dalam Politik Indonesia, Jakarta: KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia. Juliawan, B. Hari, (tanpa tahun). “Sosiologi dan Sejarah: Suatu Jawaban untuk Satu

Teka-Teki” artikel tidak dipublikasikan

Kartodirdjo, Sartono. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam M etodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia.

Laksono, P.M (2002). “Tanpa Tanah, Budaya Nir-Papan, Antropologi Antah Berantah” dalam Lounela, Anu dan R. Yando Zakaria (editor). (2002). Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Yogyakarta: Insist, Jurnal Antropologi Indonesia dan Karsa.

Laksono, P.M. (2009). “Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: M emahami Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi Kapital”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 27 Oktober 2009.

Lounela, Anu dan R. Yando Zakaria (editor). (2002). Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Yogyakarta: Insist, Jurnal Antropologi Indonesia dan Karsa.

Ramstedt, Martin dan Fadjar Ibnu Thufail (editor). (2011). Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada masa Pasca-Orde Baru, Jakarta: PSDR LIPI, Max Planck Institute for Social Anthropology dan Grasindo.

Scott, James C. (1995). State Simplifications, Some Applications to Southeast Asia. Amsterdam: CASA.

Suryawan, I Ngurah. (2012). Jiwa yang Patah, Yogyakarta: Pusbadaya Unipa dan Kepel Press

Suryawan, I Ngurah. (2011). “Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Volume 15, Nomor 2, November 2011 (140-153)

Suryawan, I Ngurah (2013), “Lantunan Spirit Dimi Gai bagi Bangsa Papua” dalam John Giyai, M emahami Papua: Dinamika Politik Identitas dan Kearifan Lokal Bangsa Papua. Jakarta: Cermin Papua kerjasama Emudai.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran konsiderasi terhadap sikap toleransi siswa kelas VII SMP Negeri 1

Adu domba yang dilakukan Belanda dapat terjadi terhadap kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain, atau antarpejabat kerajaan.. Apa tujuan Belanda melakukan

Dengan demikian, media Barat telah menjadi kamus dari apa yang ingin dilakukan oleh. negara Barat atas

Sedangkan dalam penelitian ini, akan dijelaskan mengenai data perjalanan dinas di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kudus meliputi data : pegawai,

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk memenuhi fungsi suatu pemasarun, maka apa yang harus dilakukan dalim kegiatan periklanan

[r]

pertambangan. Mereka yang membiayai hal ini terdorong oleh keuntungan yang dat diperoleh dari tiap ons akstraksi logam mulia dan harga tinggi pasar emas selama ini